Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT THE LUCKY BASTARD (RACEBANNON - REVIVAL)

THE LUCKY BASTARD – PART 10

------------------------------------------

harga_10.jpg

"Selamat pagi..." sapa sang dokter sambil tersenyum
"Pagi dokter..." sapa Nica balik. Aku hanya terdiam. Jantungku berdetak kencang. Terdiam. Dia mendekatiku. "Gimana, bisa tidur semalem?" tanyanya di samping ranjangku. Aromanya terasa seperti kematian yang indah. Aku tak bisa menjawab.

"Nyenyak banget dokter.." jawab Nica mewakilkanku.
"Belum dimakan ya makanannya?"
"Katanya habis dokter dateng.." senyum Nica.
"Masih agak panas ya..." punggung tangan yang dingin itu menyentuh dahiku. Rasa kulit yang kembali dari alam lain. Aku tak tahu mana yang lebih dingin, ekspresiku, punggung tangannya, atau termometer di ketiakku.

"Saya ukur tensinya dulu ya" dia memakai stetoskop dan mempersiapkan tensimeter.
"Normal ya tensinya" Bohong. Jantung yang seperti mau copot ini dibilang normal? Jantungku berdegup kencang sekali.
"Kalau nanti panasnya turun, besok sudah boleh pulang" kata dokter itu sambil tersenyum kepada Nica, dan mencatat di map data pasienku. Tidak, aku ingin pulang sekarang juga.
"Makasih ya dokter..." Nica berkata kepadanya setelah dokter itu beres memeriksaku dan akan berlalu.

Dia menunjukkan senyumnya yang khas ke Nica. Senyumnya yang lebar. Rambut pendek sebahunya. Hidung mancungnya. Bahkan wanginya pun masih sama.

"Cantik ya dokternya"
Aku hanya diam.
"Bisa sakit terus kamu disini kalo dokternya kayak gitu..." tawa Nica.
Aku hanya diam.
"Eh, aku jalan dulu ya?"
Aku hanya diam.
"Mamaku mau ngajak aku sarapan dulu sebelum ngantor"
Aku hanya diam.
"Dah sayang" katanya sambil mengecup keningku.
Aku hanya diam.

Aku masih ingat nama di name tag dokter tadi. Nama yang berbeda dari nama di papan pasienku. Aku tak akan lupa nama tadi. Dianti Wisesa Paramita.

------------------------------------------

"Gila" Anggia hanya melongo.
Aku diam.
"Gak salah?"
"Gak salah Nggi" jawabku.
"Mirip kali?"
"Itu Dian beneran"

Kami berdua berpandangan. Ekspresinya datar. Ekspresiku ngeri.
"Fuck" keluhku.
"Terus gimana? Bakal dia lagi besok dokter jaganya?"
"Harusnya bukan dia Nggi dokter jaganya!" bentakku.
"Santai men.... Jangan gue yang dibentak...." Anggia kaget. "Gw juga shock... Makanya langsung siang ini kemari pas lo wassap tadi", lanjutnya.

"Nica siang ga kesini ya?" tanyanya.
"Engga..."
"Jadi tadi ketemu Nica juga?"
"Iya"
"Nica bilang apa?"
"Gue ga pernah cerita ama Nica soal Dian..."
"Kenapa?!?"
"Harus?"
"Ya ampun...." Anggia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pusing.

"Gimana bisa lo ga ceritain soal hal sepenting itu ke Nica?" tanya Anggia gemas.
"Gue mau lupain itu..." jawabku lemas.
"Gila lo...." jawabnya.

Aku hanya berbaring, dengan tatapan kosong ke langit-langit. "Pusing gue Nggi... Turunin railingnya dong... Gue mau duduk..." pintaku ke Anggia.

Anggia menurunkan railing bed ku, dan membantuku duduk. "Gimana perasaan lo sekarang?" tanya Anggia khawatir.

"Ancur" jawabku pelan menatap lantai kamarku.
"Berarti bener dong..." sahut Anggia.
"Bener apa?"
"Lo masih sayang ama Dian" mukaku datar mendengar pertanyaan itu.
"Lo bisa pergi gak Nggi?"
"Hah?"
"Gw pengen sendiri dulu...."

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

Aku masih terduduk diam, berusaha memakan makan siangku. Rasanya jadi jauh lebih hambar daripada kemarin. Aku mendorong troli makan itu ke samping dekat bedhead. Aku menghela nafas, dengan kaki berjuntai kebawah, memandang terus lantai rumah sakit. Rasanya sangat tidak enak. Campuran perasaan benci, kangen, marah, sedih, galau, semuanya bergolak di kelapaku. Gila. Untuk apa dia masuk kesini tadi. Aku tahu dokter jaganya harusnya bukan dia.

Kepalaku pusing. Pusing sendirian seperti ini tidak enak. Cuma aku tidak ingin suara-suara orang lain ikut memenuhi kepalaku. Terbayang semua momen dengan Dian. Rasa kulitnya masih sama di kulitku. Berani-beraninya dia memegang dahiku. Wangi tubuhnya masih sama. Senyumnya masih sama. Kepalaku berputar, mengembalikan waktu ke 6 tahun lalu.

Pertemuan tidak sengaja di rumah teman kuliahku, saat aku terpana pertama kalinya melihat Dian, lalu perkenalan itu, lalu dengan norak meminta kontaknya, dengan norak gencar mendekatinya, dan semua momen norak lainnya. Makan malam pertama, kencan pertama, liburan bersama pertama, hubungan seks pertama, nama-nama anak yang direncanakan, rencana hidup ke depan, semuanya terasa getir sekarang.

Ingatan itu lari ke kosanku dulu. Di tengah hujan deras, sehabis nonton bareng. Disana aku dan Dian pertama kali melakukannya. Walaupun dia bukan yang pertama bagiku, begitu pula sebaliknya, tapi kejadian itu membuat kami lekat, setidaknya untuk 5 tahun kedepan. Kami saling menahan suara kami waktu itu, malu-malu terdengar orang lain. Kami saling berpelukan dalam kegelapan, berciuman seolah-olah tidak ada waktu lagi yang tersisa di dunia ini. Aku bisa merasakan kulitnya yang dingin dan lembut tadi. Masih bisa kuingat sentuhan tangannya di wajahku setiap aku sedih atau down.

Dan amarah itu muncul. Mengingat perselingkuhan yang dia lakukan. Aku belum sempat mengetahuinya lebih lanjut. Detailnya seperti apa aku tidak tahu. Aku sudah keburu emosi waktu itu dan menggagalkan semuanya. Pernikahan dan semuanya. Mendengar kata itu pun aku sudah bergidik sekarang. Masih untung aku masih bisa menghadiri beberapa pernikahan yang ada. Yang kutahu waktu itu aku membuka facebook nya, menemukan pesan baru menanyakan kabar. Facebook yang lupa ia logout di komputer apartemen. Dari sana efek dominonya terasa sampai sekarang. Sesak. Pedih.

Pintu kamar terbuka pelan. Dan sosok itu masuk lagi.

Aku menahan nafas melihatnya berdiri di depanku. Jarak kami hanya sekitar 1 meter. Ekspresi wajahnya tidak jelas. Antara marah, sedih, bingung, aku tak bisa menebaknya. Aku menatapnya tajam, dengan detak jantung yang mendadak meningkat dengan irama yang tidak karuan.

"Kamu ngapain disini?" tanyaku
"Aku magang disini, bagian dari ngambil spesialis" jawabnya pelan masih dengan ekspresi tidak jelasnya.
"Tau dari mana aku disini?"
"Aku liat dari daftar pasien kemarin"
"Terus?"
"Aku bilang ke dokter jaga untuk pagi tadi ngelewatin kamu"
"Buat apa?"
"Gak tau"

Mata kami berdua berhadapan dengan anehnya.

"Aku kayak liat orang mati" lanjutku.
"Sama" jawabnya
"Terus sekarang apa?" rasanya mual sekali ada di situasi seperti ini.
"Terakhir kita ketemu itu setaun yang lalu"
"Iya"
"Aku gak pernah bisa jelasin ke kamu"
"....." aku hanya diam.
"Aku sama ancurnya kayak kamu kalau udah kayak gini" jelasnya.
"Bohong"
"Aku gak bisa jelasin karena kamu udah pergi"
"....."

Tidak ada lagi kata-kata diantara kami berdua. Hening, keduanya diam membisu. Hanya bertatapan dengan penuh keraguan, amarah, dan kerinduan. Mendadak Dian maju selangkah ke hadapanku yang duduk di ujung bed. Wanginya tercium, dan aku reflex menghirupnya dalam-dalam. Masih sama. Masih sama seperti dengan yang kuingat. Aku gemetar di dalam hati. Mukaku kaku tanpa ekspresi, menatap matanya dengan paduan segala macam perasaan yang aneh. Rasanya tulang punggung tercabut dari tempatnya.

"Kayaknya aku udah gak ada harganya lagi di depan kamu..." lanjutnya pelan. "Keputusanku untuk ketemu kamu hari ini salah pasti..." Dian membalik badannya dan mencoba pergi. Mendadak aku berdiri, otomatis mendekap dirinya dengan satu tangan diatas dadanya. Gerakanku terbatas karena selang infus, seperti terjerat olehnya. Rambutnya otomatis mengenai mukaku. Wangi rambutnya masih sama. Aku bisa merasakan getaran jantungnya. Dia pasti juga bisa merasakan getaran jantungku.

"Dian... Please jangan pergi dulu..."

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Wah...gile gw baper suhu. Nenggak dulu :mabuk: biar normal. Serasa de javu.
 
Wah bener kata Angia,
ternyata masih belum bisa move on bener dari Dian,
Masih kebawa ati.......
 
Wou konflik nya makin runyam... Pake acara meluk segala... Hehe ngentot aj sekalian sama dian :adek:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd