racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.757
THE LUCKY BASTARD – PART 28
----------------------------------------
"Nggi?"
"Iya"
"Beneran ini elo"
"Siapa lagi emang"
"Pendek banget rambut elo?"
"Emang"
"Tumben"
"Ganti suasana" senyumnya jahil. Aku nyaris tidak mengenalinya. Mukanya sangat berbeda dengan rambut pendek. Senyumnya tampak sumringah melihat semua komentar orang di kantor.
"Rambutnya bagus Mbak.." komentar Nica. Aku melirik Nica ringan, seperti tanpa ekspresi. Nica hanya membalas tatapanku lalu membuang muka kembali. "Kalau aku sih gak berani potong kayak gitu" senyumnya kaku ke arah Anggia. Anggia cuma senyum-senyum mendengarnya.
"Nica...."
"Iya mas?"
"Nanti malem saya mau ngobrol"
"Oke" Nica menjawab dengan kaku. Dan segera berlalu masuk ke ruangan.
"Dingin amat" celetuk Anggia.
"Terpaksa"
"Terpaksa apaan"
"Terpaksa kalo engga ga beres-beres" jawabku dengan terpaksa.
"Gile, hari pertama"
"Abis? Mau kapan?"
"Iya sih....." Anggia lalu berlalu, menuju ruangannya, tempat dimana orang-orang yang belum datang ke kantor sehabis liburan akan kaget melihat rambutnya yang super pendek.
Dan belum apa-apa Rendy mendadak memberi pesan padaku.
"Gue udah liat IG nya Anggia"
"apaan sih ren?"
"rambutnya"
"kenapa rambutnya?"
"lucuuuuuuuuuu" aku hanya bisa meringis aneh melihat pesan singkat tersebut.
------------------------------------------
"Yakin malem ini lo mau ngomong ama Nica?" tanya Anggia yang menemaniku merokok di teras depan kantor.
"Harus" kataku yakin.
"Ga takut dia nyangka yang enggak-enggak?"
"Ga bisa disalahin kalo dia mikir gitu Nggi" jawabku.
"Yaudah"
"Keliatannya lo lagi seneng?"tegurku melihat raut muka Anggia yang senyum-senyum melihat handphonenya.
"Tebak" serunya
"Apaan"
"Tebak aja" mukanya mendadak jadi sok lucu.
"Nyerah" aku tersenyum kecil melihat tingkahnya.
"Adrian"
"Jadian?"
"Gila, belom lah, gue belom ketemu dia abis liburan"
"Terus apa?"
"Gue mau jalan ama dia jumat malem" giginya yang rapih terlihat semua di senyumannya.
"Ooo..."
"Cuma oo doang?"
"Habis mau komentar apa Nggi" senyumku. Aku membayangkan Anggia dan Adrian jalan bareng. Pasti cocok, ganteng dan cantik.
"Jadi kita gak bisa gituan lagi" bisik Anggia
"Jangan dibahas" jawabku ketus. Anggia cuma tertawa jahil.
"Pasti kangen ama gue"
"Biasa aja"
"Kangen kaaan" bisiknya nakal.
"Hus"
"Nanti gak bisa move on dari gueeeee"
"Berisik"
"Hahaha... lo gampang amat sih digodain" tawa Anggia. Aku hanya bisa tersenyum kecut
"Jadi ceritanya miara brewok itu buat narik perhatian gue?" tanya Anggia jahil.
"Ya masa...." jawabku
"Terus buat apa?"
"Alasannya sama kali kayak elo potong rambut"
"Ooooo ganti suasana?"
"Bisa..." jawabku cuek. "Lagian lo kok jadi agak girly gini sih pakaiannya?" aku bertanya.
"Kompensasi dong, potongan rambut dah boyish, dandanan jadi feminim dikit lah...."
"Bukan gara-gara mau narik perhatian Adrian?"
"Menurut lo gimana?" dia balik bertanya dengan muka sok lucu.
------------------------------------------
Hari pertama kali lalui dengan malas. Membereskan kantor, filing ulang, dan refresh otak, mereview kerjaan yang telah dilakukan tahun kemarin. Rasanya membosankan di hari pertama seperti ini. Ketika badan sudah terbiasa dengan liburan, lalu terpaksa harus bekerja lagi. Menghadapi permasalahan kantoran, menghadapi manusia, menghadapi Nica. Walaupun selama liburan dia aktif mengirim foto-foto tidak senonoh kepadaku, tapi kali ini di kantor dia bersikap seperti layaknya junior ke seniornya, bicara seperlunya, hanya dalam batasan pekerjaan. Pokoknya harus aku selesaikan masalah dengannya. Itu saja yang ada dalam pikiranku.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Aku sudah membereskan semua pekerjaanku hari itu, menunggu Nica keluar dari kantor. Aku memperhatikan ramainya jalan dengan rokok tersangkut di bibirku. Rasanya kurang nyaman, karena aku membayangkan akan melukai Nica lagi. Tapi mengobati selalu menyakitkan. Itu yang aku pelajari. Memikirkan hal-hal yang sudah lalu memang menyakitkan. Tapi kalau itu bisa menjadi obat untuk masa depanku, kenapa tidak? Kenapa harus berusaha dilupakan, yang kemudian akan menambah sakitnya lagi?
"Aku udah beres" suara Nica mengagetkanku dari belakang. "Mau ngobrol dimana?" tanyanya pelan, tanpa melihat mukaku sedikitpun.
"Mau sambil pulang?"
"Terserah, tapi gak akan bisa lama ngobrolnya kecuali muter-muter"
"Di kantor?"
"Terserah"
"Masih ada yang kerja....."
Akhirnya kami kembali berada di mobilku. Dalam hening. Nica di kursi penumpang, duduk rapih dan melihat ke arah jalan.
------------------------------------------
"Kemarin maksudnya apa?" aku membuka dengan pertanyaan, setelah hening cukup lama.
"Kamu tau maksudnya apa" jawabnya pelan
"Kamu tau kan itu gak bener"
"Kamu juga tau kan kalau mikirin orang yang udah ngelukain kamu terus-terusan itu gak bener?" serang Nica.
"Kedengerannya kayak kamu ngomongin diri kamu sendiri" jawabku dingin.
"Kalau kamu ngerasa berhak mikirin Dian ampe segitunya, aku juga berhak mikirin kamu sampe segitunya" jelasnya dengan suara tercekat.
"Kamu gak salah" balasku. Nica tampak bingung. Dan diam, dengan raut yang menyelidik. "Aku gak bisa ngatur apa yang kamu pikirin, terserah kamu. Kamu juga sama, pasti gak mungkin bisa bikin aku gak mikirin siapapun yang aku mau" lalu aku mengambil nafas panjang. "Kesalahanku adalah dengan bertindak bodoh" lanjutku.
"Maksudnya bodoh?"
"Mikirin orang lain sambil ngelukain kamu" jawabku tajam.
"Jadi intinya?" tanya Nica dengan nada yang tidak nyaman.
"Kamu bebas mau mikirin aku sampe kapanpun"
"Maksudnya?" Nica bingung. Tapi penasaran.
"Isi pikiran kamu kan kebebasan kamu. Ya masa aku atur-atur" Nica tampak bingung.
"Jadi kalau aku mikirin kamu terus itu gakpapa?" tanya Nica.
"Gakpapa" jawabku pelan.
"Ada tapinya"
"Apa tapinya"
"Sikap kamu yang harus diatur" Nica tampak terpukul mendengarnya. Tapi sejenak logika yang kujabarkan sepertinya bisa masuk ke kepalanya. Kami diam sejenak.
"Jadi terserah kamu mau mikirin aku sebanyak dan selama yang kamu mau. Tapi kamu gak bisa ganggu-ganggu aku dengan hal-hal atau omongan-omongan kayak kemaren. Soalnya itu nyangkut orang lain. Aku juga bakal gitu kedepannya"
"..." Nica berusaha keras berpikir.
"Dan yang kamu lakuin itu bahaya. Bukan apa-apa. Kita sekantor"
"Masuk akal.. tapi kamu tau gak kalo ngedengernya sakit banget" Nica menatap jalanan dengan kosong.
"Ngomongnya juga sakit. Namanya obat kan gak enak..."
Kami lalu diam lagi. Hening yang tak nyaman. Tapi setidaknya kuharap Nica berhenti dengan segala tindak tanduknya untuk menggodaku kembali.
"Jadi gimana?" Nica bertanya padaku.
"Aku masih mau kenal dan kerja sama kamu" dan aku terpaksa menatapnya tajam. "Tapi udah ketauan kalo hubungan kita sebagai pacar gak sehat. Jadi kita tetep jadi temen sekantor. Di luar kantor pun kita tetep temen kantor. Sampe batas itu aja" aku menarik nafas panjang. "Selain itu udah. Terserah sebenernya kalau kamu masih mau kayak gitu. Yang pasti aku bakal cuek".
"Di Bali ada apa? sampe kamu balik-balik bisa ngomong hal semenyakitkan tapi se masuk akal ini?" Nica tampak menahan emosinya. Bukan tangis. Tapi emosi galau dan bingung.
"Intinya kepalaku disana bisa dibikin kosong"
"Jadi aku harus ngapain?"
"Jangan kayak gitu lagi. Yang paling rugi nanti kamu. Belajar dari aku. Gak jelas sikapku gara-gara pikiranku. Yang paling rugi aku, nyakitin banyak orang...."
"..."
"Aku tau ini gak enak. Tapi aku harap kamu bisa ngerti. Dan kamu bebas mau mikirin siapapun di kepala kamu. Itu hak kamu" aku memaksakan untuk senyum kepadanya. Nica tampak awkward melihat senyumku. Dia tidak memaksa senyum, tapi mengangguk pelan.
"Aku masih mikirin kamu" jelasnya.
"Gak papa, hak kamu"
"Aku masih pengen kita bareng"
"Sebagai rekan kerja"
"Bukan itu maksudku...."
"Paham, tapi hubungan kita sekarang cuma itu. Kamu bebas mikirin aku karena gak ngelibatin orang lain. Tapi kalo udah masuk masalah hubungan, itu ngelibatin aku"
"...."
"Kamu gak bisa maksa aku untuk ngelakuin keinginan kamu" tegasku. "Dan aku gak pengen kamu mikirin aku lagi. Tapi aku gak bisa maksa, jadi silahkan aja...."
"Gak enak dengernya...."
"Tapi itu logis dan bikin kedepannya kita aman"
Nica hanya menelan ludah. Aku tak tahu bagaimana respon selanjutnya.
"Anterin aku pulang sekarang. Aku pusing... Butuh waktu untuk mencernanya..." keluh Nica.
"Oke"
------------------------------------------
Aku telah mengantarkan Nica ke rumahnya, dan berjalan pulang dengan pelan ke apartemen. Kata-kata tadi seperti tidak keluar dari mulutku. Rasanya pun aneh, sakit sekaligus lega. Lega karena Nica tidak menangis, tidak freak out, dan dia mau memikirkan kata-kataku. Sakit karena memang sakit rasanya, seperti menasihati diri sendiri. Tapi pengalamanku membuktikan, bahwa kalau aku bertindak tidak adil kepada orang lain, maka aku sendiri yang akan kena akibatnya, minimal perasaanku akan ikut terluka. Yang bisa kubayangkan sekarang hanyalah berhati-hati dalam bertindak. Membebaskan pikiranku, tidak memaksa untuk mengingat, melupakan, atau memikirkan hal di luar hal yang tidak ingin aku pikirkan.
Gedung apartemen terasa lebih jauh, tapi aku butuh waktu untuk merenungi malam ini. Sejenak aku mampir ke minimarket dalam perjalanan. Membeli makanan, kopi dan rokok untuk menemani malam itu. Lantas aku duduk di kursi di depan minimarket. Kubuka bungkus sandwich dingin itu. Sandwich yang selalu kutolak kalau ingin dipanaskan oleh kasir minimarket. Entah kenapa aku lebih menyukainya dalam suhu dingin. Setelah ritual makan selesai dan meminum kopi kalengan, aku mulai merayakan pertemuanku dengan sahabatku. Rokok. Benda yang kukenal sejak kecil. Selalu kulihat terselip di bibir atau tangan ayahku. Benda yang selalu kucoba-coba hisap sewaktu sd. Mulai sma sudah kuakrabi, dan dia sekarang menjadi teman terbaikku, mungkin lebih dekat daripada Rendy dan Anggia. Dan aku tersenyum mengingat mereka. Rendy yang selalu menyukai Anggia, Anggia yang selalu mau menang sendiri, dan aku yang selalu berada di tengah mereka.
Kutarik rokok itu dalam dalam. Memperhatikan semua bekas chat di handphoneku. Ada yang belum kuhapus. Bekas chat Nica sewaktu di Bali. Kuperhatikan kembali dengan enggan. Isinya hanya foto. Lalu kuhapus itu semua. Biarkanlah itu semua seakan tak ada. Karena yang terpenting adalah perasaanku, perasaan Nica agar tak terluka lagi, dan masa depanku. Di tahun yang baru ini pasti akan berbeda. Thanks to Val, yang mungkin sekarang sudah kembali ke Amerika Serikat. Terimakasih untuk Dian, karena sudah mengajarkan rasanya sakit dan menyakiti. Sejenak kubuka album foto di handphoneku. Aku menekan lama dua folder. Dan keduanya kuhapus. Folder foto-foto bersama Nica. Dan Foto-foto Dian, yang seharusnya sudah dari awal kuhapus.
"Are you sure you want to delete these folder(s)?"
YES
------------------------------------------
BERSAMBUNG