Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tidak Seperti yang Ku Bayangkan

Chapter 3 : Menopause

“Dio! Dio!”

Aku tersentak dan perlahan Ku lihat orang yang memanggilku. Zima!

Aku seperti tak bisa bicara. Apakah Zima tahu ya?

“Nomor 4 sampe 6 udah Lo?” tanyanya.

“Ha?”

“Ini, nomor 4 sampe 6 (sembari menunjukkan buku).”

“Oh, ini.”

Aku hanya diam melihatnya menyalin jawabanku. Tumben juga Dia tidak selesai. Biasanya kan Dia selalu beres. Ini malah terbalik.

“Tumben Lo gak beres.” tanyaku heran.

“Capek Gw, semalem begadang nonton. Kemarin baru dateng kiriman paket. Mau Gw tonton. Ada LOTR Collector Edition lengkap, Superman lengkap, sama Indiana Jones juga.”

“Wah….” Belum Aku melanjutkan, Aku terdiam. Terus terang ada perasaan tidak nyaman. Bagaimana jika Ibunya cerita jika Aku pamit ke Ibunya saat Ibunya sedang berganti pakaian. Terlebih Aku sempat mendapati semua tubuhnya dalam keadaan telanjang, walaupun hanya dari belakang. Bodohnya Aku, Aku tidak menyadari jika Ibunya sedang menghadap cermin. Wajahku habis pucat pasi tertangkap mata Ibunya.

“Dah lama Lo gak maen lagi. Nyokap Gw sempet nanyain.” jelasnya.

“Eh, nyokap??”

“Iya. Awal – awal sering banget Lo maen. Trus ilang.”

“Ya elah, baru sebulan. Lagian juga banyak tugas.” jawabku asal.

“Iya, Gw juga bilang Kita lagi banyak tugas. Klo mau Jum’at nonton, lumayan ngeramein. Tadi juga Komar mau ikut, tahu Gw punya film. Dia mintanya bokep. Ya Gw gak ada.”

“Ya udah.” Jawabku datar.

***
Jum'at pun datang. Aku kembali mengunjungi rumahnya Zima sepulang belajar. Pelan tapi pasti, Kami sampai dan memasuki rumah. Hari ini Aku kembali main di rumah Zima setelah sekian minggu tak main sepeti biasanya. Aku kemudian berhadapan dengan Ibunya Zima. Aku tak berani bertatap lama.

“Eh, Dio! Wah, lama Kamu gak main. Kasihan Zima.”

“Apaan sih Mah.” protes Zima.

“Iya Tante. Lagi banyak tugas aj.”

Seperti biasa, Kami pasti makan dulu. Tidak ada sosis, yang ada sayur kangkung, sayur lodeh, ikan gurame, tempe, tahu, sambal, sirup, lengkap juga. Kami makan dengan lahap dan dahaganya.

Setelah makan, Zima diminta Ibunya pergi untuk mengantarkan makanan ke saudaranya di daerah sebelah. Terpaksa Aku ditinggal sebentar. Tak tahu harus berbuat apa, Ibunya Zima memanggil.

“Dio, sini. Di ruang TV saja ngobrolnya.”

“Oh, Iya tante.”

“Kamu rencananya mau masuk mana?” Ibunya Zima mengawali obrolan sambil menyeruput teh.

“Mmmh, belum tahu Tante, yang jelas gak di sini.”

“Di mana? Di provinsi lain? Di sini kan enak deket.”

“Iya sih, tapi Saya ingin coba daerah baru. Di sini padat dan banyak kendaraan.” jelasku.

“Oh, orang tua setuju Kamu jauh – jauh?”

“Setuju sih Tante. Bapak malah mendukung banget, biar Saya mandiri katanya.”

“Oh, ya ya. Enak ya, Bapak dan Ibu Kamu di rumah. si Dio Ayahnya sudah lama di luar. Katanya mau pulang tiga bulan lagi. Untungnya Zima anaknya hommy dan gak macem – macem…."

Seperti biasa, Ibunya banyak cerita. Sesekali Aku menimpali, hingga kemudian Aku menjadi teralihkan oleh perkataannya..

“….menopause.”

“Ah? Apa Tante?” tanyaku.

“Iya, menopause. Di usia yang sudah gak muda begini, Tante sudah berada di fase itu. Klo laki – laki kan sampe tua juga masih bisa.”

“Oh, menopause ya.”

“Tahu kan?” tanyanya.

“Iya Tante. Kasihan juga Tante. Dikunjungi Ayahnya Zima setahun sekali. Itu pun hanya sebentar. Tapi, Kok masih bisa buat nikah lagi ya? Bude Saya aj udah kepala enam, masih mau nikah lagi. Berarti kan menopause buat sebagian orang gak juga.”

“Oh, ya itu mah tergantung orangnya juga Dio. Klo dipancing – pancing yang bisa juga. Bude kamu yang kepala enam aja bisa apalagi Tante yang belum kepala lima” Jelasnya.

Orbolan terhenti sejenak. Aku juga bingung sebenarnya mau ngobrol apa.

“Kemarin Kamu Kok gak ngetok dulu?”

Duarr!! Jantung mau copot bro. Ibunya Zima masih teringat kejadian itu, padahal sudah sebulan lebih tidak bertemu.

“Aa..aa…maaf Tante. Saya…maaf Tante. Awalnya Saya mau pamit. Tapi,….bingung mau gimana bilangnya. Baru mau ngomong udah ketahuan Tante. Maaf Tante…” Habis sudah, Zima balik, abis Gw…

“Iya gapapa. Tante juga salah gak nutup pintu dulu. Untung Tante ngadep belakang. Iya gapapa, namanya juga Kamu masih muda. Kamu udah punya pacar belum?” tanyanya.

“Belum Tante.” Jawabku malu.

“Oh.” jawabnya biasa sambil memegang leher dan pundak.

“Oh, kenapa Tante?”

“Gak, ini, kemarin habis senam. Mungkin sedikit pegal – pegal.”

“Oh.” Jawabku datar.

“Kamu bisa mijit?”

Pertanyaan Ibunya Zima ini membuatku tak bisa berkata – kata. Setelah kemarin Aku mendapatinya telanjang dan Aku meminta maaf. Kini, Ia ingin Aku menyentuhnya. Aku tak berkutik.

“Gak juga sih Tante.”

“Sebentar.” Ibunya Zima pun segera bangkit dan berjalan menuju kamar.

Samar – samar Ku dengar Ibunya Zima seperti sedang berbicara dengan seseorang melalui handphone. Kalimat percakapan terakhirnya meyakinkanku jika Ibunya Zima meminta Zima untuk melakukan sesuatu sebelum pulang. Alamat panjang durasinya Aku di sini.

Dag! Jantungku berdebar. Ku lihat Ibunya Zima sudah berganti pakaian yang tadinya daster panjang tertutup, sekarang berganti dengan daster tipis dengan tali bahu yang tipis. Lekukan tubuhnya terlihat jelas dibandingkan tadi. Di tangannya terlihat Ia menggenggam botol. Yang membuatku menelan ludah adalah terpampang jelas dua tonjolan di dadanya, belahannya pun terlihat. Daster tipisnya membuatku yakin, Ibunya Zima tak memakai bra. Jantungku semakin tak karuan. Aku menjadi salah tingkah. Tatapan mataku tak tentu arah. Aku dibuat gugup oleh Ibunya Zima.

“Sini.” Ibunya Zima memanggilku untuk duduk di sebelahnya di sofa panjang. Ia kemudian duduk membelakangiku. Sekilas Aku pun memandangi bagian belakang tubuhnya. Aku juga sepertinya yakin jika Ibunya Zima tak memakai celana dalam. Daster ini begitu tipis tapi tak tembus pandang. Tapi juga bisa mudah terlihat jika ada pakaian tambahan di dalamnya. Ini terlihat mulus. Aku pun gugup mendatanginya. Pelan dan pelan Aku duduk menghadap punggungnya.

“Ini, pakai zaitun. Pundak Tante butuh dipijat sedikit. Maaf ya, Tante ganti baju. Soalnya biar kerasa pas Kamu mijit.”

Aku pun meminta izin untuk memijat pundaknya. Saat Aku menyentuhnya, kulitnya terasa lembut. Ibunya Zima pasti sangat merawat tubuhnya. Sembari memijat Aku ingin berbicara tapi tak bisa. Aku hanya memijat.

“Ehmm….mmmh…egghh..”

Hanya suara itu yang terus terdengar. Hal ini membuatku pusing. Bagaimana jika Zima datang. Suara yang dikeluarkannya itu yang membuatku gelisah. Entah kenapa, Aku seperti terangsang. Pelan tapi pasti, Joniku berontak. Aku ngaceng. Aku ngaceng oleh Ibunya Zima. Beberapa kali Aku mencoba melirik apa yang ada di bagian depan tubuhnya, tapi terhalang oleh punggungnya.

“Ini, tangan Tante juga butuh dipijat.” pintanya.

Aku bingung. Bagaimana memijat tangannya dari belakang, kecuali memintanya merubah posisinya tapi Aku takut.

“Agak susah Tante.” timpaku.

“Oh iya, ya (Ibunya Zima perlahan merebahkan tubuhnya di badanku). Maaf ya, Tante bersandar ya ke badan Kamu, biar gampang.”

Oh My, jantungku tambah berdegup kencang. Wajahnya kini bersentuhan dengan wajahku. Napasnya begitu terasa di hidungku.

“Ooo…ke…Tante.” Shit. Saat Aku memijat tangannya, jelas Ku lihat belahan payudaranya. Tonjolan putingnya pun terlihat jelas. Ibunya Zima benar – benar tak memakai bra. Ingin sekali Ku remas. Ku ingin memijat payudaranya. Uh…

“Jika Kamu punya pacar, Kamu bakalan seperti ini.”

“Eh, hmm…ah.” hanya itu yang bisa Ku balas.

“Iya, pelukan terus kayak Kita ini.”

“Oh, maaf Tante.”

“Gak usah minta maaf. Kamu kan lagi mijitin Tante. Jadi klo Kamu pacaran…”

Aku tak bisa berkonsenrasi. Hal yang Ku lihat hanya dua gundukan tersembunyi yang terus mengunci tatapanku. Tak sadar, pijitanku perlahan menurun tekanannya dan seperti sedang mengelus – ngelus saja. Tiba – tiba Ibunya Zima menggeser kepalanya menghadapku.

“Kamu diem aja.” tatapnya heran. “Kamu ngeliatin dada Tante ya?”

“Eh? Ah..ah…”Aku terpojok. Aku gugup. Aku tertangkap. Aku deg degan. Aku ketakutan. Aku...

“Sini…” Ibunya Zima perlahan menarik tanganku dan mengarahkannya untuk menggenggam kedua payudaranya. “Bagian ini belum dipijat. Pelan – pelan ya.” bisiknya dengan sedikit rayuan.

Alamak! Gila! Tatapanku tadi berubah menjadi kenyataan. Kedua telapak tanganku kini benar – benar menggenggam kedua payudaranya. Ini pertama kalinya Aku menyentuh dan meremas payudara wanita. Lembut, kenyal dan membuatku gelisah tak karuan. Pelan - pelan tapi pasti Ku remas payudaranya. Begitu lembut rasanya. Seperti kantung yang berisi air tapi lebih kenyal. Aku ngaceng. Aku ngaceng tak karuan.

Aku memijatnya perlahan. Tapi tanganku gemes ingin meremasnya kuat. Jemariku gemeteran tapi nikmat. Ku lirik mata Ibunya Zima terpejam. Nafasnya menjadi sedikit berat. Bibirnya mengatup dalam sambil sesekali menggigit bibirnya. Ia menikmatinya dan Aku pun menikmatinya dengan tegang. Inginku mencium bibirnya tapi takut. Pelan - pelan Ku coba dekati bibirnya. Pelan seperti tak bergerak karena sangat pelan. Aku bisa...sedikit lagi...

Brmm…!

Suara! Suara mobil datang. Itu Zima! Mataku kemudian terbelalak. Aku harus menyudahi kegiatan ini. Zima sudah kembali.

Perlahan, Ibunya Zima melepas remasanku dan bangkit dari sofa. Ia merapikan botol dan pakaiannya.

“Kamu masuk sana ke kamar Zima.” tukasnya.

Aku hanya diam mematung melihat Ibunya Zima pergi ke kamarnya. Sebelum masuk, Ibunya Zima berkata, “Jangan bilang Zima ya?” ia memintaku sambil tersenyum.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd