Part 38
Selamat Datang di Dunia Maya
by: R.M Distrodiningrat
Seberapa penting makna menjadi juara sebuah lomba menulis cerita panas bagi seorang penulis di sebuah komunitas online. Sanjungan dan pujian? Pembuktian diri? Mengejar passion? Sebenarnya pertanyaan ini retoris saja, namun jawaban yang kuterima sungguh tak disangka-sangka.
"Everything", jawab Star ketika kutanya. "Aku akan melakukan apapun buat jadi juara satu lomba
Summit War," tandasnya dengan nada suara yang merindingkan bulu roma.
Star pernah berkata, bahwa kalau ada
achivement seorang TrickstΔr yang belum tercapai sampai saat ini, ialah menjadi juara satu
Summit War! Ironis sekali memang, penulis berjuluk
Mirage of Deceit malah belum pernah sekalipun berhasil memuncaki ajang paling bergengsi di SF cerpan tersebut. Namun dengan diadakannya kembali ajang itu, berarti kali ini ia punya kesempatan unjuk diri.
2 tahun hiatus bukan berarti TrickstΔr tidak berkarya sama sekali. Aku tahu, diam-diam anak itu masih tetap menulis, meski dengan akun kloningan. "Untuk mendapatkan
feedback yang objektif," begitulah ia berkilah. Selama dua tahun ini pula Star mengembangkan beberapa teknik penulisan yang tidak pernah terpikirkan saat menulis
My Final Heaven. Cara bercerita yang naratif, gaya bahasa prokem '
lu-gue', teknik multi PoV, bahkan Star mencoba meninggalkan gaya cerita deskriptif, penuh detil dan metafora yang membesarkan namanya.
Meiji pernah berkata, bahwa Star memiliki total 9 ekor kloningan dengan 9 macam gaya bahasa (berikut cara menjawab komentar) yang berbeda-beda. Makanya aku tak heran lagi, ketika dengan mudah dia bisa menulis cerita menggunakan 3 PoV sekaligus di mana tiap karakter memiliki gaya narasi masing-masing,- yang diterapkannya dalam cerbung terbarunya,
Delicatessen.
Permasalahannya sekarang, sejauh mana engkau akan berusaha untuk tampil sebagai pemenang? Sebenarnya pertanyaan ini retoris saja, karena sungguh, kegelapan hati manusia tak akan pernah ada yang menyangka.
= = = = = = = = = = = = = = = =
Sudah seminggu kulihat Star jarang keluar kamar. Cerbung '
Delicatessen'-nya tidak disentuh sama sekali, bahkan untuk membalas komentar pembaca seperti yang biasa dilakukannya selama ini. Aku hanya melihatnya keluar dini hari. Matanya menghitam seperti tidak tidur 3 hari 3 malam. Rambutnya acak-acakan. Pandangannya gamang dengan senyum-senyum dingin yang membersit tanpa sebab. Aku seperti menyaksikan Dr. Faust atau Dr. Frankenstein dalam wujud yang berbeda.
"Star... kamu nggak apa-apa, kan?"
Star menggeleng.
"Aku serius..." Kuusap pipinya. "Nggak ada biang kerok lagi, kan?
Star menggeleng lagi.
"Kamu harus baca cerita aku, Jo..." anak itu berkata dengan tatapan kosong. Suaranya serak pertanda radang mulai muncul di tenggorokannya. "Ini adalah mahakarya terbaik yang pernah aku buat..."
Aku memaksa tersenyum, mengusap poninya pelan. "Pasti bagus dong, muridnya siapa dulu."
Star membalasnya dengan senyum beku di atas wajahnya yang pucat. Digamitnya tanganku, -terasa dingin. Lalu diajaknya aku melihat ceritanya yang baru saja rampung di dalam laptop Hello Kitty, satu-satunya sumber cahaya di kamarnya yang dibiarkan gulita dan berantakan.
Masquarade, judul itu tertulis besar dengan font Times New Roman
italic berwarna merah darah, lengkap dengan desain cover sebuah keyboard laptop yang dipenuhi darah.
Artsy, yet creepy.
Aku duduk di samping Star yang memelukku. Membaca huruf demi huruf, merunuti paragraf-demi paragraf, dan seketika itu darahku dibuat membeku. Siapapun tak akan bisa menyangkalnya kini,
Masquarade adalah puncak pencapaian seorang
Mirage of Deceit. Tertohok Masa Lalu,
My Final Heaven,
Delicatessen, bahkan karya-karya terbaik Kanjeng Distro dilampauinya sudah.
Cerita
thriller ini dieksekusi dengan sempurna. Star menulis fan fiksi tentang Dewi Lestari, penulis novel idola kami berdua. Dalam cerita itu, Star bercerita tentang kegilaan fans fanatik Dewi Lestari (dibiarkan sebagai narator tak bernama), yang terobsesi mewujudkan kisah-kisah di dalam novel 'Supernova' menjadi kenyataan, meski harus menghilangkan nyawa orang-orang yang mengkritik tulisan sang novelis. Di akhir cerita, sang novelis baru tahu bahwa narator tak bernama tersebut adalah dirinya sendiri.
Twisty, seperti biasa. Tapi aku harus mengakui, bahwa
Masquarade adalah karyanya yang paling gelap.
"Ini beneran... mahakarya," desisku tak percaya.
Star tersenyum bangga, angkuh, dengan ekspresi yang tak pernah ditampakkan sebelumnya.
"
But... is it worth?" Aku mengusap wajahnya pucat. "Maksud aku, lihat muka kamu, pucat, sakit, kamu nggak sayang sama diri kamu sendiri?"
"Demi
Summit War? Aku akan melakukan apapun buat jadi juara satu
."
"So, it's merely about winning or losing..."
"
It's about everything," tandasnya, mantap.
Aku menggeleng. "
It's more important than that."
"Ayolah Jo, jangan munafik gitu. Kamu sama saja kaya orang-orang yang bilang, 'aku ikut lomba cuma buat ngejar passion', tapi tetap saja jantungnya deg-deg-an waktu pengumuman juara. Munafik."
Aku mengernyitkan alis. "Apa yang salah dengan mengejar passion?"
"Bayangin aja kalau nanti yang jadi juara bilang, '
saya tidak layak menjadi juara, karena saya sebenarnya menulis ini karena murni untuk mengejar passion saya sebagai penulis'. Coba bayangin, Jo.... bayangin gimana sakitnya perasaan orang-orang gagal menjadi juara, yang sudah susah payah menulis, mengerahkan segala daya upaya hanya untuk bisa berada di podium pertama. Bagaimana sakitnya jika jerih payah aku direduksi hanya menjadi 'mengejar passion'?!" jerit Star tidak terima.
"Siapa yang ngomong gitu?"
"Kamu bisa ngomong kaya gitu karena kamu RM. Distrodiningrat,
King of a King, Top of Everything! Aku nggak punya bakat nulis kaya Kanjeng Distro atau A-J yang memang dari lahir kayanya udah bisa nulis cerita keren," Star berkata putus asa. "Kamu tahu gimana susahnya aku nulis cerita ini? Gimana perjuangan aku sampai aku bisa nulis kaya sekarang ini? Itu semua karena dukungan orang-orang yang peduli sama aku. Meiji, Piscok, Kibo, Oom Yaz, Redhot, Nopa, dan aku nggak mau ngecewain mereka semua!"
"Siapa yang bilang aku berbakat?"
"Nggak!" Star menepis tanganku. "Buat orang yang dari sananya udah jenius nulis, kamu nggak bakalan ngerti!"
"Star...." Aku menggenggam tangannya yang gemetar.
"...aku nggak punya bakat..."
"Udah..."
"...semua ini murni karena kerja keras..."
"Star... cukup...."
"Dan aku akan nunjukin ke orang-orang, kalau orang yang biasa direndahkan kaya aku bisa juga jadi juara satu!"
"Star!" akhirnya ia kusentak.
Star terkejut. Sesaat kemudian matanya mulai berkaca-kaca dan tangisnya perlahan memecah. Star kembali menjadi bocah kecil cengeng yang selalu menangis ketika di-bully oleh teman-temannya di kampus. Aku memeluknya erat. Tubuh mungilnya gemetar hebat dalam pelukanku. Belum pernah aku melihat Star menangis seperti ini. Ada kesedihan yang terpendam di alam bawah sadar yang akhirnya meledak dalam sebuah tangisan panjang yang meraung-raung.
Dengan sabar aku belai rambutnya sambil terus memeluknya erat-erat. "Aku sayang kamu...," bisikku, terus menciumi pipinya yang basah dengan air mata. "Aku nggak mau lihat kamu kaya gini...."
Dan ia hanya menangis.
"Ini cuma dunia maya...," bisikku.
"Dunia maya ini hidup aku," sahutnya lirih. "Di dunia nyata aku bukan siapa-siapa. Cuma di dalamnya aku bisa nemuin keluarga dan teman-teman yang sampai kapanpun nggak bisa aku dapetin di dunia nyata..."
Aku menghela nafas berat. TrickstΔr,
The Mirage of Deceit adalah legenda, semua orang tahu itu. Tanpa jadi juara 1
Summit War pun ia sudah jadi penulis ternama yang dicintai dan dikagumi oleh ribuan pembaca. Sungguh, dengan segala pencapaian yang dicapai oleh Star kini, aku benar-benar kagum dan bangga. Aku sebagai mentornya, bahkan dilampaui sudah. Tapi apalah arti semua itu, apabila orang yang kukasihi menjelma menjadi sosok yang sama sekali berbeda?
Bersambung....