Part 71
The Bread Crumbs
by: R.M Distrodiningrat
"Elu yakin ini nggak ada kaitannya dengan bokapnya Trix, Jo?"
"Ngapain tanya gitu?"
"Bokap petinggi parpol, kakek mantan pejabat orba, bayangkan apa yang terjadi sama keluarganya kalau Trix sampai ketahuan jadi penulis cerita porno."
"Katakanlah, kalau emang yang bunuh Ratu orang suruhan bokapnya. Apa mungkin dia seceroboh itu? Politisi terkenal dari partai besar yang membahayakan jabatannya hanya untuk melindungi identitas anaknya yang selama ini dianggap cuma bawa sial?"
"Ya siapa tahu."
"
Or perhaps...," kataku. "Justru ada yang mau menggunakan Trix untuk menjatuhkan bokapnya...."
Sungguh, tak ada berita yang lebih lezat untuk digoreng selain puteri politisi terkenal yang psikopat bersekongkol dengan Meiji untuk membunuh orang-orang yang berniat membocorkan identitas pribadinya sebagai Maestro Cerita Porno. Bahkan lawan politiknya bisa mengarahkan kasus ini pada bokapnya yang dianggap punya kapabilitas untuk 'melenyapkan' orang.
Aku kembali mengintai dari balik tirai. Orang-orang misterius itu kini bertambah banyak. Bahkan dua orang melongok-longok dari balik pagar. Sekarang tinggal adu kuat siapa yang paling lama menunggu.
●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●
Hari menjelang petang. Aku mengambil beberapa pakaian ganti di kamarku yang terletak di sebelahnya karena malam nanti kami pasti bermalam di tempat Mamet.
Butterfly knife dan yang kusimpan di dalam laci tak lupa kumasukkan ke dalam ransel.
Si ratu kepo hanya tersenyum-senyum sambil menebar pandang ke seisi kamarku yang menurutnya nabrak banget sama image Kanjeng Distro yang ada di otaknya selama ini. Seperti yang kuduga, perhatiannya langsung tertuju pada barisan koleksi novel yang memenuhi sebidang dinding. Ia mengambil sebuah. Nama asliku tertera sebagai pengarang.
"Ini elu, Jo?! Bangkeh, gue ngikutin bener novel-novel lu waktu SMA, tahu!" Nanas membolak-balik novel
teenlit yang kutulis dulu "Sampai suatu hari
author-nya berhenti nulis sama sekali.
What happened?"
"
Shit happens," jawabku malas.
Nanas menghela napas dan memandangi rambutku yang kini dipotong pendek dan lengan kanan yang dipenuhi tato.
"
What would you expect? Life-is-shit. Suami gue diembat orang. Temen gue sendiri. E tapi gue juga ngembat dia dari istri pertamanya, ding. Eh, ngapain gue curcol, yah? Hehehe...."
Tidak puas dengan jawabanku, mata 'si kepo' meniti foto-fotoku waktu SMA. Punggungnya menegak tanda tertarik, ada wajah Iko di salah satu figura.
"
Well, THIS explains everything." Sudut bibirnya seketika melengkung.
"Elu tahu, Nas? Elu bikin orang-orang lebih penasaran sama identitas gue daripada Piscok!" sambarku kesal.
"Eh, Jo. Gue pinjam komputer, yah." Tanpa izin, Nanas menyalakan PC rakitan di atas meja gambarku.
"Buat? Tar lu recokin lagi."
"Kagak lah, tenang aja kalo sama gue, mah."
●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●
Matahari telah condong ke barat dan menggelapkan cakrawala. Nanas duduk menghadapi layar monitor. Matanya yang bundar bergerak meniti barisan chat dari teman-temannya di LXW, mencari kemungkinan mengenai akun Piscok yang menyusup dari dalam. Di saat-saat seperti ini bakat kepo-nya ternyata sangat berguna. Aku sedang berkoordinasi dengan Redho dan anak-anak Valhalla untuk melacak keberadaan Piscok dan Star ketika aku mendengar pintu kamarku diketuk.
Nanas membuka pintu. Mbak Juminten melongok ke dalam.
"Mbak, ada yang nyari."
"Siapa?"
"Yang tadi siang. Sekarang datang lagi."
Aku menoleh pada Nanas, menyuruhnya bersembunyi di lantai dua bersama Mbak Juminten. "Kalau ada apa-apa, langsung lapor polisi, oke?"
Nanas mengangguk waspada melihatku berjalan ke arah bangunan joglo di depan. Nyaris tak bersuara, aku mengintip dari balik tirai yang memisahkan lorong pondokan dengan tempat menerima tamu itu.
Tiga orang berbadan tegap duduk di ruang tamu tanpa melepas sepatu. Aku bisa melihat jejak-jejak basah sepatu lars di atas lantai tegel yang berwarna kelabu.
"Selamat petang, bapak-bapak," aku mencoba terlihat tak terintimidasi. Melangkah tenang sambil memperhatikan wajah mereka satu-persatu.
Seorang yang berbadan paling besar berdiri tegang dan menjabat tanganku.
"Jo? Temannya Trisna?" ia bertanya.
Aku mengangguk. "Ada yang bisa dibantu?"
Ketiga orang berparas militer itu saling berpandangan. Ada sesuatu yang tidak beres.
"Ada masalah apa? Trisna baik-baik saja, kan?"
"Ikut kami. Akan saya jelaskan di perjalanan," perintahnya tegas.
"Sebentar. Jelaskan dulu bapak-bapak ini siapa."
Mataku segera bergerak cepat mencari benda yang bisa dijadikan senjata. Asbak besar yang tergeletak di atas meja, dan hanya diperlukan satu gerakan cepat apabila orang-orang itu bertindak nekat.
"Kalau saya jadi anda, saya tidak akan melakukan tindakan gegabah," ucapnya mengintimidasi.
"Saya bisa teriak," aku balik mengancam.
"Tolong jangan mempersulit tugas kami."
Seorang lagi segera berdiri menengahi. Laki-laki tegap berusia awal 30-an, berkumis tipis, berambut cepak, dan mengenakan swater abu-abu. Cahaya ruang tampak remang-remang, tapi dengan jelas aku bisa mengenali wajahnya. Raut tegas yang selalu berada dalam foto keluarga yang diperlihatkan Star padaku ketika menceritakan orang yang paling sayang terhadap dirinya selain aku.
"Kita berada di pihak yang sama. Adik saya berada dalam bahaya."
●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●