Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Trix!

Ke bali terdengar percakapan.

Itu 'm' nya ketinggalan Kak :hammer:

Part 72
You Are My Thrill (part 2)

Part 72
You Are My Thrill (part 2)

Apdet 'Part 72' nya ampe 'Tripost' :hammer:

Kirain masih terus lanjut :hua:

-

Dan adalah nuhun buat apdet nya Kak :kopi:

Ternyata d garap juga ya sama PC, semoga ga ke enakan :malu:

Tapi jangan" sama" pake 'Azas Manfaat' aja ya :|

Ditunggu next apdet nya :kopi:










:Paws:
 
ahh:bacol:duchhh.. se:konak:daaap! Saking semangatnya itu jeng @elizaa sampai crott tiga kali...
:pandaketawa:


wahh itu Iko..!?:takut: dihabisi Mamet, alias nggak selamet kah??
dan Flo :hua: buat bancaan ditengah deras hujan..​
 
gara-gara koneksi lemot, kacau semua update-annya.... aku upload ulang ya....
 
Part 70
You Are My Thrill (bagian 1)
By: Trickst∆r



_____________________________

Cerita ini hanya fiktif belaka. Kesamaan nama, tempat, dan kejadian adalah kebetulan semata. Penulis tidak bertanggung jawab atas adanya perbedaan penafsiran mengenai tulisan ini.

_____________________________​

Trix ver 3.0

Ada part yang dihilangin. Ada part yang ditambah. Ada yg nggak berubah. Apalah ini. Silahkan dibaca ulang dan dikomen.

_____________________


"I am the eye in the sky
looking at you,
I can read your minds


I am the maker of rules
Dealing with fools
i can cheat you blind..."

.
And that's, my darling. We fell into his trap. The twist within the twist. Dan di baliknya masih ada beberapa tipuan lagi. Betapa ironis. Padahal dulu kamu yang mengatakan itu kepada saya ketika menciptakan persona Mirage of Deceit. Dan sekarang barulah kamu menyadari bagaimana rasanya menjadi homo fictus yang terperdaya tipuan pengarangnya sendiri.​

Kita terjebak. Saya tahu itu. Tapi menjerit dan menampakkan ekspresi takut tak akan banyak membantu. Melihatmu tersudut seperti tikus justru akan membuatnya menggila seperti Christian Bale dalam film American Psycho. Kamu tidak mau berakhir dengan kepala dibelah kapak bukan? Bagus. Karena saya pun tak mau.

Orang ini sinting. Saya juga sudah tahu. Tapi tidak lebih sinting daripada orang yang memiliki dua kepribadian dalam satu kepala. Tapi siapa yang tahu jika di kepalanya juga ada dua persona yang saling berebut tubuh? A-J dan Piscok. Bahkan bisa jadi lebih dari dua. (Dan tiba-tiba saja saya merasa kalian sebenarnya cocok).

'Diam, dan keluarkan kita dari sini,' bisikmu geram dalam kepala saya.

Baiklah. Maka biarkan saya yang mengambil alih.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

"Apa yang kamu mau dari saya?!" aku berkata ─dengan menggunakan bibirmu tentu saja.

Dia menyeringai penuh kesombongan, lalu memepet tubuh mungilmu pada dinding tanpa menyadari bahwa kini aku yang berkuasa atas otot dan rangka milik seorang Starla ─atau Trisna ─atau dengan sebutan apapun kamu ingin dipanggil.

"You didn't see it's coming, aren't you?" bisiknya tepat pada telingaku.

Lihatlah. Dia ingin dipuji.

"Kamu sinting!"

"Aahahahaha! I take that as compliment."

Aku bisa melihat senyum kemenangan yang melebar di wajahnya. Lihat. Hanya dibutuhkan satu pujian kecil agar ia membeberkan semua rencana jahatnya seperti seorang tokoh jahat dalam buku komik.

Kamu lihat? Dia bagaikan sebuah buku yang terbuka. Personanya sebagai A-J jauh lebih mudah dibaca ketimbang Piscok yang nyaris tidak pernah menampakkan ekspresi.

Orang ini benar-benar sakit jiwa. Tapi entah kenapa, aku malah jatuh iba. Aku bisa melihat pantulan wajahmu ─wajah kita di dalam matanya.

"Ayolah, ini semua berbeda dengan skenario cerita yang biasa kamu tulis. Di dunia nyata ada terlalu banyak variabel yang tidak bisa dikontrol dan diprediksi..." aku mendekatkan kepala dan mengusap pundaknya. "Akhiri semua ini, dan tidak akan ada yang terluka."

"My plan is perfect. Always," tegasnya angkuh.

"Serapih apapun sebuah rencana. Selalu akan ada kemungkinan terjadinya galat..," bisikku pelan. "dan layaknya kartu domino 'satu kesalahan kecil' bisa menjatuhkan sistem yang teratur ke dalam sebuah chaos...."

"Kamu tahu?" lelaki itu berkata, dekat, hingga napasnya mengembus tepat di tengkukku. "Kamu kira saya tidak menyiapkan cara untuk mendapatkan Meiji dan Flo kembali?"

"Dan kamu kira saya tidak menyiapkan cara untuk membongkar identitas Babe?"

Ia terkikik gemulai. "Siapa saya? A-J? Piscok? Kadang-kadang saya bahkan tidak tahu lagi apakah 'saya' yang saya anggap sebagai 'saya' benar-benar 'ada'."

Orang ini gila. Tapi aku merasa ada salah satu jalan pikirannya yang saling berkorelasi dengan isi otakmu.

"Ayolah, kami cuma titik-titik kecil dalam mahakaryamu," desahku membujuk, "tapi saya tahu... apa yang kamu inginkan sebenarnya...."

Ia menjawab dengan seringai dingin dan ciuman yang didaratkan di leherku, −seolah tak sudi mendengarkan lanjutan dari kata-kataku.

"It's not me you're after, no...? Bukan juga teman-teman saya... kamu mengincar 'sesuatu yang lebih besar'...."

Aku bisa merasakan dengusan napasnya ketika bibirnya menempel di leherku. Juga brewok kasarnya yang menggerus permukaan kulitku. Tangan kanannya perlahan bergerak melingkar di atas perut, sementara tangan kirinya merayap pelan di atas tulang selangka, mendekapku dari belakang. Jantungku berdegub mengantisipasi. Dadanya yang bidang kini menempel di balik punggungku.

Lalu, dengan wajahnya yang masih terbenam di antara susunan belikatku, aku berkata lagi, "Lepaskan semua teman-teman saya...." aku mengecup punggung tangannya, "And i'm your's... tubuh dan jiwa... kamu bisa jadikan saya hewan peliharaan... kamu bisa menggunakan saya sebagai boneka... untuk menjatuhkan bapak saya...."

Tiba-tiba ia terbahak congkak. "Saya yang salah dengar? Atau kamu memang sedang memohon demi nyawa teman-teman kamu...?" Tangannya membelai rambutku, lembut, namun di detik berikutnya dijambak kasar sehingga membuat daguku mendongak kesakitan.

Aku menyeringai pertanda menikmati.

"I'm not begging," bisikku dingin. Tanganku balas mencengkeram selangkangannya kuat-kuat. "I am threatening."
 
Terakhir diubah:
Part 71
The Bread Crumbs
by: R.M Distrodiningrat




"Elu yakin ini nggak ada kaitannya dengan bokapnya Trix, Jo?"

"Ngapain tanya gitu?"

"Bokap petinggi parpol, kakek mantan pejabat orba, bayangkan apa yang terjadi sama keluarganya kalau Trix sampai ketahuan jadi penulis cerita porno."

"Katakanlah, kalau emang yang bunuh Ratu orang suruhan bokapnya. Apa mungkin dia seceroboh itu? Politisi terkenal dari partai besar yang membahayakan jabatannya hanya untuk melindungi identitas anaknya yang selama ini dianggap cuma bawa sial?"

"Ya siapa tahu."

"Or perhaps...," kataku. "Justru ada yang mau menggunakan Trix untuk menjatuhkan bokapnya...."

Sungguh, tak ada berita yang lebih lezat untuk digoreng selain puteri politisi terkenal yang psikopat bersekongkol dengan Meiji untuk membunuh orang-orang yang berniat membocorkan identitas pribadinya sebagai Maestro Cerita Porno. Bahkan lawan politiknya bisa mengarahkan kasus ini pada bokapnya yang dianggap punya kapabilitas untuk 'melenyapkan' orang.

Aku kembali mengintai dari balik tirai. Orang-orang misterius itu kini bertambah banyak. Bahkan dua orang melongok-longok dari balik pagar. Sekarang tinggal adu kuat siapa yang paling lama menunggu.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●
Hari menjelang petang. Aku mengambil beberapa pakaian ganti di kamarku yang terletak di sebelahnya karena malam nanti kami pasti bermalam di tempat Mamet. Butterfly knife dan yang kusimpan di dalam laci tak lupa kumasukkan ke dalam ransel.

Si ratu kepo hanya tersenyum-senyum sambil menebar pandang ke seisi kamarku yang menurutnya nabrak banget sama image Kanjeng Distro yang ada di otaknya selama ini. Seperti yang kuduga, perhatiannya langsung tertuju pada barisan koleksi novel yang memenuhi sebidang dinding. Ia mengambil sebuah. Nama asliku tertera sebagai pengarang.

"Ini elu, Jo?! Bangkeh, gue ngikutin bener novel-novel lu waktu SMA, tahu!" Nanas membolak-balik novel teenlit yang kutulis dulu "Sampai suatu hari author-nya berhenti nulis sama sekali. What happened?"

"Shit happens," jawabku malas.

Nanas menghela napas dan memandangi rambutku yang kini dipotong pendek dan lengan kanan yang dipenuhi tato.

"What would you expect? Life-is-shit. Suami gue diembat orang. Temen gue sendiri. E tapi gue juga ngembat dia dari istri pertamanya, ding. Eh, ngapain gue curcol, yah? Hehehe...."

Tidak puas dengan jawabanku, mata 'si kepo' meniti foto-fotoku waktu SMA. Punggungnya menegak tanda tertarik, ada wajah Iko di salah satu figura.

"Well, THIS explains everything." Sudut bibirnya seketika melengkung.

"Elu tahu, Nas? Elu bikin orang-orang lebih penasaran sama identitas gue daripada Piscok!" sambarku kesal.

"Eh, Jo. Gue pinjam komputer, yah." Tanpa izin, Nanas menyalakan PC rakitan di atas meja gambarku.

"Buat? Tar lu recokin lagi."

"Kagak lah, tenang aja kalo sama gue, mah."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●
Matahari telah condong ke barat dan menggelapkan cakrawala. Nanas duduk menghadapi layar monitor. Matanya yang bundar bergerak meniti barisan chat dari teman-temannya di LXW, mencari kemungkinan mengenai akun Piscok yang menyusup dari dalam. Di saat-saat seperti ini bakat kepo-nya ternyata sangat berguna. Aku sedang berkoordinasi dengan Redho dan anak-anak Valhalla untuk melacak keberadaan Piscok dan Star ketika aku mendengar pintu kamarku diketuk.

Nanas membuka pintu. Mbak Juminten melongok ke dalam.

"Mbak, ada yang nyari."

"Siapa?"

"Yang tadi siang. Sekarang datang lagi."

Aku menoleh pada Nanas, menyuruhnya bersembunyi di lantai dua bersama Mbak Juminten. "Kalau ada apa-apa, langsung lapor polisi, oke?"

Nanas mengangguk waspada melihatku berjalan ke arah bangunan joglo di depan. Nyaris tak bersuara, aku mengintip dari balik tirai yang memisahkan lorong pondokan dengan tempat menerima tamu itu.

Tiga orang berbadan tegap duduk di ruang tamu tanpa melepas sepatu. Aku bisa melihat jejak-jejak basah sepatu lars di atas lantai tegel yang berwarna kelabu.

"Selamat petang, bapak-bapak," aku mencoba terlihat tak terintimidasi. Melangkah tenang sambil memperhatikan wajah mereka satu-persatu.

Seorang yang berbadan paling besar berdiri tegang dan menjabat tanganku.

"Jo? Temannya Trisna?" ia bertanya.

Aku mengangguk. "Ada yang bisa dibantu?"

Ketiga orang berparas militer itu saling berpandangan. Ada sesuatu yang tidak beres.

"Ada masalah apa? Trisna baik-baik saja, kan?"

"Ikut kami. Akan saya jelaskan di perjalanan," perintahnya tegas.

"Sebentar. Jelaskan dulu bapak-bapak ini siapa."

Mataku segera bergerak cepat mencari benda yang bisa dijadikan senjata. Asbak besar yang tergeletak di atas meja, dan hanya diperlukan satu gerakan cepat apabila orang-orang itu bertindak nekat.

"Kalau saya jadi anda, saya tidak akan melakukan tindakan gegabah," ucapnya mengintimidasi.

"Saya bisa teriak," aku balik mengancam.

"Tolong jangan mempersulit tugas kami."

Seorang lagi segera berdiri menengahi. Laki-laki tegap berusia awal 30-an, berkumis tipis, berambut cepak, dan mengenakan swater abu-abu. Cahaya ruang tampak remang-remang, tapi dengan jelas aku bisa mengenali wajahnya. Raut tegas yang selalu berada dalam foto keluarga yang diperlihatkan Star padaku ketika menceritakan orang yang paling sayang terhadap dirinya selain aku.

"Kita berada di pihak yang sama. Adik saya berada dalam bahaya."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​
 
Terakhir diubah:
EDITED
-TRIX VER 3.0-
 
Terakhir diubah:
Part 72
You Are My Thrill (bagian 2)
By: Trickst∆r



"Dan apa yang membuatmu berpikir saya tidak akan membunuh kamu?"

Aku mengusap bibirnya. "Kamu tidak akan berani... You're not the Devil, Be..." Intimidatif, aku menempelkan bibir di telinganya. "My father is...."

Guruh besar terdengar waktu Babe Piscok membeliak geram dan mendorongku jatuh menimpa meja kerja. Aku merasakan tubuh kekarnya yang menindih tubuhku dari belakang, juga jari-jari tangannya yang melingkar di leherku.

Kasar, ia menjambak rambutku, membungkam perkataanku dengan ciuman yang segera terlepas karena cakaran tajamku pada wajahnya.

Ia tersenyum menikmati ujung kuku-ku yang menggores kulit pipinya. "Bertahun-tahun saya melakukan pekerjaan kotor bapak kamu. Demi apa?" Terdengar kekehan pelan ketika wajahnya kembali terbenam di pangkal leherku.

Aku termegap tak bersuara, setengah nikmat, setengahnya lagi nyeri ketika buah dadaku diremas-remas tak manusiawi. Sedang pundak dan leherku dipenuhi bekas gigitan yang mengucurkan darah segar.

"Tell me, darling... Do you hate your father?" desahnya sambil menciumi buah dadaku.

"Very..." jawabku sambil mendesah nikmat. Kasar, ia meremas bongkahan kenyal dadaku sambil menurunkan penutupnya hingga bagian tubuh atasku telanjang sama sekali.

"What if i tell you..." lenguhnya tak terdengar, karena sibuk mengulum puncak dadaku. "kalau misalnya ada cara buat membalas perlakuan bokap... dengan cara... well... yang lebih elegan... would you like to take it?"

Aku tersenyum kecil, mendesah dalam lumatannya. "Kenapa? tertarik dengan 'tawaran'ku...?"

Ia ikut tersenyum. "Lalu bagaimana dengan 'si cantik'?"

"Dia sudah nggak penting," jawabku berbohong. "Sama seperti Meiji, juga Flo... kamu nggak perlu lagi mikirin mereka...," aku berbisik tepat di telinga sambil mengulum helaian daunnya. "Mereka cuma titik-titik kecil yang nggak berarti...," desahku menggoda dengan lidah yang menguas pelan di leher diikuti dengan remasan gemas pada pundaknya. "It is 'The King' you're after... am i wrong, no?"

Ia menyeringai dingin, balas menggerayangi perut dan dadaku. Tangannya menjangkau turun menuju bagian lembab di pangkal pahaku −aku telah basah− cairan pelicin yang mengalir deras meninggalkan jejak lembap yang tercetak jelas. Dua ruas jari bergerak menyusup ke balik karet elastisnya, mengusap langsung pada belahan rapatnya yang terlarang dan membuatku mengerang.

Semuanya bagaikan sumbat kegilaan yang dibuka. Sehingga tahu-tahu saja aku mendapati tubuhku dihempas di atas ranjangnya. Seperti digerakkan oleh kekuatan tak tampak, tanganku bergerak menjangkau jauh ke bawah dan mencengkeram erat-erat batangan otot yang terasa panas dan berkedut-kedut dalam genggamanku.

"Kecuali Iko..." Tanganku mencengkeram sepasang buah zakarnya kuat-kuat membuatnya tercekam dalam perpaduan rasa sakit dan nikmat yang teramat. "Orang yang satu itu boleh disingkirkan."

Ia ikut terkikik kecil, seperti menemukan belahan hati yang sama-sama dipenuhi gagasan-gagasan keji.

"Tapi jangan dibuat terlalu mencolok," kataku lagi. "Kebakaran atau keracunan gas karbon monoksida bisa jadi ide yang bagus," aku tersenyum tanpa dosa, meski dua jarinya kini berada di dalam tubuhku yang mendamba.

Senyumnya melebar seketika dan kepalaku dihempaskannya sekuat tenaga ke atas tumpukan bantal. Bagai seekor banteng yang hilang akal, ia mendengus geram, menyerang bibirku dengan pagutan. Dijambaknya rambutku kasar yang kubalas dengan cakaran tajam pada bahunya. Dicengkeramnya leherku kuat-kuat, maka kugigit bibirnya kuat-kuat hingga menimbulkan berkas luka yang mengalirkan rasa logam pada lidah. Darah dibayar darah. Mata dibayar mata. Atas nama Eros, kami bergumul demi saling melukai. Seperti yang selalu dikatakannya, hanya dibutuhkan satu dorongan kecil agar kami bergerak merayakan birahi.

Berbeda dengan bibir Jo yang lembut dan wangi. Bibirnya tebal dan kasar, dipenuhi odor nikotin bercampur alkohol dan feromon lawan jenis justru memicu hasrat tak sadar yang membuatku semakin basah. Dan lumatan buas pejantan alfa itu, justru membuat sisi binatangku menyambut gembira dan membiarkan lidahnya menyapu setiap permukaan lidahku dalam sebuah tarian primordial yang saling membelit.

Ke atas tempat tidur aku dihempas. Ciuman itupun terlepas, dan kami medapati wajah kami yang saling tatap dengan napas yang sama-sama tersengal. Bulir-bulir keringat jatuh di atas wajahnya, dan senyum dingin mengembang di sudut-sudut bibirnya. Aku bisa menatap pantulan wajahku sendiri di dalam sepasang matanya yang dipenuhi dengan kegilaan yang sama.

Ia terbaring pada ranjang yang berantakan, membiarkan aku menciumi setiap serabut ototnya seperti seekor anak kucing yang menyusu pada induknya. Ketiaknya yang jantan. Dadanya yang bidang. Perutnya yang penuh guratan. Hingga bagian bagian bawah tubuhnya yang mengeras terasa panas dan berdenyut dalam rongga mulutku.

Aku menaiki tubuh telanjangnya yang telentang, menjangkau ke bawah perutnya dan mengarahkan bagian keras tubuhnya itu ke tempat yang seharusnya. "All you need is me... Lepasin semua teman-teman aku... And i'm yours...." aku menekan pinggulku perlahan, sehingga batangan keras itu memenuhi tubuh mungilku. "Political mariage... tempting... isn't it?" desahku ketika ujung tumpulnya menyentuh mulut rahimku.

Ia mencoba meraih buah dadaku, tapi tamparan kerasku pada wajahnya membuatnya tak memilikii pilihan selain tunduk pada goyangan pinggulku yang bergerak menghenyak, menandak liar di atas tubuhnya.

Kemudian yang ada hanyalah hasrat karnal yang menyublim. Puncak-puncak gairah yang menetas. Gairahnya tuntas bersamaan dengan ujung tumpul yang memuntahkan seisi kelenjar prostatnya. Aku bisa merasakan benihnya yang memenuhi rongga tubuhku. Juga napasnya yang mendengus-dengus buas di telingaku. Otot-otot punggungnya yang telanjang bergerak mengejang dan menggelinjang dalam cengkeraman cakar-cakarku.

Ia mengerang. Gemetar sebelum usai. hingga yang tersisa hanyalah enggahan napas dan uap panas yang menguar memenuhi udara dengan sisa-sisa gairah. Gerimis tipis masih turun membungkus cakrawala dalam warna kelabu. Aku mendapati wajahnya yang terbenam di pangkal leherku, dan kulit kami yang sama-sama telanjang saling berhimpitan membagi peluh dan panas tubuh.

Pengkhianatan. Getir yang tersisa di ujung lidah. Beginikah rasanya, Jo?

.

[PLAYLIST]

Eye in The Sky | The Alan Parson's Project

 
Terakhir diubah:
gara-gara koneksi lemot, kacau semua update-annya.... aku upload ulang ya....

Ada 'notif' dari sini and jumlah 'suku kata' banyak kirain langsung d geber lagi apdet baru nya..

Ternyata revisi :hua:









:Paws:
 
benernya pengen di edit yang di halaman 102, tapi tetep kacau formatnya... akhirnya aku upload lagi, tapi BB Code-nya ditulis manual... :pusing:
 
trnyata di wattpad kurang adegan esek2 ya
 
Hmm. :baca:

Pemula yang hina dan unyu-unyu ini titip ini saja deh, Sis.
Tentu koreksi jika salah.
:)

...

What if i tell you...” lengguhnya tak terdengar, karena sibuk mengulum puncak dadaku. “kKalau misalnya ada cara buat membalas perlakuan bokap... dengan cara... wellwell... yang lebih elegan... would you like to take itwould you like to take it?”

...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd