Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TRJBK NSTLG

Bimabet
anjir punya pacar tomboy ngeri juga suhu bisa2 fantasinya ke BDSM, haha
 
Makasih updatenya om jay:beer:
Diawal nggonduk om! Kirain tamat...
Tpi sukses ketawa sendiri bacanya;)
 
set dah oum...bisa aja.

dipikir kentang...ea jadi bdsm...

top oum, nubi ketawa sndri neh...
lanjuut...
 
Sakti tulisanya kang... Berasa balik k kenangan masa kuliah dulu....
 
Rambut dadaku botak jendral!

Ngebayangin adegan satu itu bikin ane hampir kesedak meses coklat. Hahaha...

Gemes sama mereka. Lanjut om!
 
Buseet....
Om Jay selalu
penuh dengan kejutan....

Kereen.....
Dominatrix pas...
Hanya kurang dramatis... mungkin karena karakter
Lelakinya 'rada' banyol....
 
Huasyemmm OM Jay gak ngomong onok crito anyar, genre ne bedo maneh BDSM...., wuakakaka...

Mantaf om critone, nitip sandal dhisik ndek kene...
 
Aduh itu si Jay di BDSM sama Liz, ikut aja Jay, sapa tau disono bisa bales perbuatan Liz dengan lebih nikmat dan hakiki :alamak:
 
Buseet....
Om Jay selalu
penuh dengan kejutan....

Kereen.....
Dominatrix pas...
Hanya kurang dramatis... mungkin karena karakter
Lelakinya 'rada' banyol....
part berikutnya dibaca ampe abis yaaaah
 
Bimabet
Beberapa bulan sudah aku dan Liz menjalin hubungan, dan seperti orang-orang yang menikmati 'kebebasan' hidup jauh dari orang tua, beginilah kami, tinggal seatap dan menjalin cinta layaknya suami istri.

"Kayak mimpi, ya...." bisik Liz, sambil menggelendot di dadaku.

"Iya, aku nggak nyangka bakal sejauh ini sama kamu..."

Liz terkikik pelan, aku mengecup bibirnya lembut.

"Jay."

"Apa?"

"Gimana kalau semua ini cuma mimpi, dan waktu kamu bangun aku sudah nggak ada di sampingmu."

"Maksudmu?"

"Eng-enggak apa-apa." Liz cepat tersenyum, dan memelukku.

= = = = = = = = = =

Malam itu Liz meminta dinyanyikan sebuah lagu. "Jay nggak bisa bobok nie, nyanyiin lagu, dong. Suaramu kan bagus."

Aku tersenyum, mulai bersenandung.

"Lagunya Trees and The Wild ya?" kata Liz pelan.

"Selera lagu kita sama ya.."

Aku membelai rambut Liz sambil meninabobokannya.

"So much to say, but I wont make it quick / I lose my mind each time I look up your eyes /So why wont you close them? //

"And all those sleepless nights / Just reminds me of one thing though // How fast time passes us by..."

Mata Liz sudah terpejam, dadanya naik turun seiring nafasnya yang tenang dan wajahnya yang nampak damai.

Selimut tipis itu kutangkupkan di atas tubuh telanjang kami, sebelum berbaring di sampingnya. Aku menghirup nafas dalam-dalam, membaui aroma tubuh Liz yang membius.

Tanpa sadar aku sudah terlelap dan bermimpi.

Manusia memiliki mimpi yang setinggi langit. Alexander bermimpi menguasai dunia, Icarus bermimpi terbang ke angkasa, Nemo bermimpi menyelam 20,000 kaki sampai dasar samudra, sementara mimpiku jauh lebih sederhana. Aku bermimpi mencintai Liz, hidup bersama dengannya, dikelilingi anak-anak kami yang lucu. Aku bermimpi terbangun di pagi hari dengan bidadari yang terlelap di sampingku. Aku bermimpi menghabiskan ribuan malam dalam sisa hidupku dengan Liz.

Namun...

Mimpi itu sementara, kawan. Suatu pagi kau akan mendapati dirimu terbangun, dan mimpi tertinggal dalam ingatan yang tiada.

= = = = = = = = = =​


Suara hujan, gemuruh terdengar sesekali.

Waktu tersadar aku mendapati diriku tertegun, tanganku penuh dengan 12 bendel skripsi yang sudah dijilid hard cover. Di sekelilingku hanya ada wajah-wajah yang tak kukenal.

Di luar hujan turun. Deras, sangat deras.

Dan aku telah berhasil memperdaya kalian semua. Siapa yang mengira 8 bab kisah cinta ku dengan Liz yang kalian baca hanyalah flashback belaka.

Inilah kenyataan: aku lulus, Liz akan pindah ke Papua.

Blackberry-ku berbunyi, di-ping berkali-kali, sebelum berdering dan menampilkan sebuah nama: Senja sayang. Aku menghela nafas berat, memutuskan tidak mengangkatnya.

Barusan aku bertemu dengan Liz setelah tidak bertemu dengannya sekian lama. Yah, aku tahu semuanya tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi.

Tanpa kusadari, pertemuan singkatku dengan Liz barusan membuatku terhanyut dalam nostalgia, dan segala kenangan yang kualami bersama Liz terputar kembali bagaikan potongan gambar dalam film 8mm.

Aku memejamkan mata, ada baiknya aku bermimpi, sekali lagi.

Jauh di dalam korteks serebri, di mana semua kenangan dikekalkan, aku mengambil tumpukan roll film 8 mm dari rak di otakku, dan memasangnya dalam proyektor imajiner.

Sesaat kemudian, ingatanku bersama Liz kembali terputar bagai sebuah film.

"Gimana kalau semua ini cuma mimpi? Dan waktu kamu bangun, aku sudah nggak ada di sampingmu."

"Aku akan bermimpi, sekali lagi.."

= = = = = = = = = = =

Fragmen 9
Mimpi-mimpi


You came along just like a song
And
brighten my day

Who would have believed
that you where part
of a dream?
Now
it all seems light years away...


Samar-samar terlihat gambaran aku dan Liz yang Sedang berbaring sambil berpelukan. Kami kelelahan karena bercinta semalaman. Pelan-pelan sinar matahari menelusup dari balik korden kumal kamar kost-ku.

"Met pagi Ajay Sayang" kata Liz, sambil menggeliat malas.

"Met pagi, istriku..." Aku membelai wajah Liz. Ia tersenyum sayu, tetap menawan meskipun baru bangun tidur.

"Hihihi.." Liz tertawa sambil mendorong wajahku.

"Kenapa?"

"Bau nagaaa!" Liz terkekeh jenaka.

"Mandi bareng, yuk..."

= = = = = = = = = = = = = = =​


Pagi itu, masih dalam rangkaian long weekend. Kostkostan G-30-S Ini sepi, karena para penghuninya kebanyakan pulang kampung. Kami mandi di kamar mandi lantai satu.

Kamar mandi itu berukuran sedang 3x4 meter. Di ujungnya terdapat bak mandi dan Kloset jongkok.

Aku menyalakan keran, agar suara kami tidak terdengar dari luar, sesaat kemudian suara air sudah bergema memenuhi dinding kamar mandi yang berlumut.

Aku meloncat-loncat kedinginan, saat Liz menyiramkan air ke tubuhku. Kami terkikik-kikik sambil saling menyiram dan membasuh tubuh.

"Eh, jangan yang itu, banyak kumannya," cegahku, karena Liz hendak mengambil sabun batangan milik Slamet.

"Pakai ini aja," kataku, sambil mengambil sabun cair milik KW.

Gak modal banget yah? wkwkwkwk...

Liz menuang sabun itu ke tangannya sebelum mengusap dadaku. Kemudian kami saling menyabuni tubuh sambil berhadapan. Liz tertawa-tawa kecil saat aku menyabuni payudaranya. "Hihi, Jay nakal ah.."

Tanganku bergerak menyusuri lekuk tubuh Liz sampai pinggulnya.

"Hihihi" Liz mendongak dan tersenyum, manis sekali. Aku mengecup kening Liz, ia tersenyum dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku meraih dagu Liz, dan mengecup bibirnya. Lembut sangat lembut. Liz memejamkan matanya, menikmati ciuman yang kuberikan. Perlahan-lahan Liz mulai membalas ciumanku, mengulum bibirku pelan.

Suara lengguhan kami bergema di kamar mandi, bercampur dengan suara air keran yang mengalir deras.

Aku dan Liz saling melumat bibir dengan buas. Aku menghimpit tubuh Liz ke pintu, hingga menimbulkan suara berdebam. Liz tak mau kalah, didorongnya tubuhku ke arah bak mandi. Saking semangatnya bercumbu, tanganku menyenggol tempat sikat gigi hingga jatuh berhamburan.

Sikat gigi Slamet masuk ke lubang kakus.

Gawat.

= = = = = = = = = = = = = = = = =

Setelah mandi, Liz memasakkanku semangkuk mie rebus yang kebanyakan air (Liz nggak bakat memasak, harus kuakui)

Kami duduk di ruang tengah, sambil sarapan, dan menonton acara musik pagi, yang artis dan penontonnya joget-joget dalam pangung yang sama, yang gerakannya cuma cuci-kucek-jemur.

"Liz, kamu jadi istriku aja. Daripada kumpul kebo gini, dosa." kataku polos, sambil mengusap kepalanya.

Liz cuma nyengir, mengaduk semangkuk mie rebus yang kebanyakan air.

"Huu.. beresin dulu kuliah, tuh! Lagian anak kita mau dikasih makan apa? Kamu kan kere!"

"Dikasih makan nasi, lah! Masa dikasih makan beling, memang anak kita kuda lumping?"

Liz terbahak, dan mencubitku gemas.

"Hehehehe.... Liz,bulan depan kan dah masuk Skripsi, paling bentar lagi aja wisuda, habis itu..."

"Berkhayalnya jangan ketingiaaan! Nanti jatuhnya sakit!" Liz mencubit pipiku.

"Hehe, kan nanti ada kamu yang nangkap aku."

Liz cuma tersenyum. Waktu itu aku belum paham maksud senyumnya.

= = = = = = = = = = = = = = = = =​

Liz mengenakan kaus Metalica milikku yang nampak kebesaran, tubuhnya yang masih basah sehabis mandi membuat lekuk tubuhnya tercetak jelas dibaliknya. Aku menelan ludah melihat sepasang tonjolan misterius mencuat di balik dadanya.

"Liz, kamu nggak pakai BH, ya?"

"Emang, nggak pakai cd juga malah, ntar temenin ambil loundry, ya..." ucapnya enteng, namun membangkitkan imajinasi si Jay Ho yang kedinginan di balik celana batikku.

Serius, cewek yang hanya mengenakan t-shirt tanpa apa- apa lagi, jauh lebih menggairahkan daripada cewek yang bugil

Iiiiih, cepet banget bangunnya!” kata Liz menyaksikan kejantananku berdiri dibalik celana batik yang kukenakan.

“Minta ronde dua nih, kayaknya…”

“Hehe yuk,” Liz tersenyum.

Liz hendak menarikku ke kamar, ketika aku menahannya.

“Neng, di sini aje neng..”

“Ogah ah di sana aje..”

“Neng, di sini aje neng..”

“Ogah ah, di kamar aje..”

“Udah ah, di sini aja yuk..”

“Iiih, kamu itu ya.. nanti kan nggak enak sama yang lain.”

“Halah, yang lain pada pulang kampung. Slamet juga lagi keluar cari makan.” Aku tidak bohong, saat long weekend itu hanya ada aku dan Slamet di kos-kosan itu, yang lain pada pulang kampung, KW juga dari pagi sudah menghilang. Kalau tidak ada Liz, pasti aku menghabiskan malam berdua saja dengan Slamet, nonton bokep bareng, coli bareng.

“Hehe..” Liz nyengir. Sesaat kemudian ia memelorotkan celanaku. Kejantananku yang tegang mengacung tanpa gentar.

“Yakin?”

“Iya.. iya.. hehe buruan, sebelum Slamet datang.” Liz cengar-cengir tidak jelas, buru-buru mengambil kondom dari kamarku.

Sepertinya ia tipe orang yang menyukai variasi yang aneh-aneh.

Aku duduk di sofa ruang tamu itu, memasang pelindung dengan grogi. Liz mengambil posisi berjongkok di atas perutku, namun kali ini ia membelakangiku, reverse cowgirl, istilahnya.

Sekedar mengingatkan, di balik kaus itu Liz tidak mengenakan apa-apa lagi, maka dengan leluasa aku bisa mengarahkan kejantananku ke selangkangan Liz dari belakang.

“Sssssh.... uuuummmh...” Liz mulai mendesah, saat aku menggesekkan kejantananku ke bibir kewanitaannnya, perlahan hingga Liz desahan Liz semakin binal, dan kewanitaannya mulai dibanjiri lendir.

“Ayo, Jay..” Liz menggenggam kejantananku, membimbingnya masuk ke kewanitaannya yang merekah membuka.

Liz menurunkan tubuhnya, anak itu menjengit pelan, menjambak rambutku ketika batangku perlahan menembusi liangnya yang hangat.

“Oooooooooh....” Liz mengerang panjang. Kejantananku habis terbenam dalam lubang itu. Liz mendiamkannya sesaat, membiarkan dinding kewanitaannya memijat kejantananku.

“Liz,.. siap ya..”

“I-Iya..” Liz menoleh sambil tersenyum sayu.

Aku mengecup pipinya yang lucu sebelum Liz mulai memompa pinggulnya, naik turun, mengayun di atas pangkuanku, hingga kejantananku menghujam kewanitaan liz dalam-dalam.

“Ahhh! Aaah! Liz berteriak saat ujung kejantananku mentok sampai rahimnya. “ooooooh.... yeeessss.” Liz mulai menceracau tidak jelas.

“Umh.. umh..” Aku melenguh pelan, ikut menggenjot dari bawah sambil meremas payudara Liz. Aaaaah.... meki Liz masih saja terasa rapat bagiku...

“Sayuuur… sayur… Gurameh…” dagang sayur lewat di depan kost. Aku bisa melihatnya melintas dari balik pagar, apalagi jendela kost-an kami terbuka lebar. Damn, situasi ini menimbulkan sensasi berdebar yang sulit dijelaskan.

“Oooh! Oooh! Ooooh...” Liz malah tambah bersemangat memompa pinggulnya. Mungkin terlarut dengan sensasi takut ketahuan itu.

“Bakpau... Bakpau... arem-arem... tarahu... tarahu….” Seorang pedagang melintas lagi, membuat Liz seperti kesetanan. Ia memutar-mutar pinggulnya, sesekali ia menjepit kejantananku dengan otot-otot kewanitaannya.

“Ssssshhhh Jay... kitaaa... oooh... kelihatan dari luar nggak yaaah?”

“Ummh, ng-nggak tahu.. kelihatan mungkin...”

“Ouuuuh.... ummmmh.... yeeeeesss....” Liz kemudian melengguh binal, makin menghayati, makin menikmati.

Liz merebahkan punggungnya ke arahku. Aku memeluknya, dan meremas kedua payudaranya dari luar. Putingnya yang mengeras menapak jelas dari balik kaus, dan segera kubelai dan kupilin-pilin, membuat Liz semakin binal menggelenjang.

“Ooooh.. Jay nakal..” Kepala Liz menengadah, aku segera melumat lehernya yang putih, menggigit dan menghisap-hisap hingga meninggalkan bekas cupang.

Liz tiba-tiba mengubah posisi menjadi berbalik menghadapku. Kemudian kembali memompa pinggulnya. Aku bisa dengan jelas melihat wajah Liz yang sayu dan memerah. Liz menunduk dan tersenyum. Senyum di atas wajah yang terangsang itu sangat sensual, kawan.

Suara sofa berkeriut, saat Liz menggerakkan pinggulnya maju-mundur, kadang memutar dibarengi erangan seksi dari bibirnya yang membuka. Liz menatap nanar, dengan jelas bisa melihat orang yang lalu lalang di luar jendela kost-ku.

“Uuuuuuuuuh......” Wajahnya nampak semakin bernafsu, menyadari beberapa orang melirik ke arahnya. Liz menaikkan kausnya sampai di atas dada. Sehingga, pantat-pinggul-sampai payudaranya terekspos dengan jelas. Aku paham maksudnya, aku segera melumat puting susu Liz, membuatnya semakin menggila. Sedetik kemudian Liz sudah melolosi kaus Metallica itu, telanjang bulat.

“Jaaaaaay... aaaaaaah..... ooooohhhhh.” Liz semakin meradang, melonjak-lonjak di atas pangkuanku dengan garang. Sesekali diciuminya wajahku yang berkeringat dengan penuh nafsu, sesekali dihisapnya leherku sambil digigit tipis.

“Liiizzzzz.... uuuuuh....” Aku melengguh tertahan, merasakan kejantananku seperti diremas, dihisap oleh kewanitaan Liz yang hangat dan Licin. Liz semakin bernafasu melihat wajahku yang merem melek keenakan, ia semakin binal menggelinjang, menandak-nandak, membiarkan ku mencengkeram pantatnya yang bulat sekal.

“Mmmmh... Jaaay... ooooh.... isep... Jaaaay....” Liz membekap kepalaku, mengarahkannya ke arah dadanya yang membusung. Tanpa ragu kuhisap puting coklat muda yang sudah mengacung tegak, namun....

“Susu murni nasional…” entah kenapa hari ini banyak sekali pedagang lewat di depan kost-ku.

“Humph hahaha..” kali ini aku tidak bisa menahan tawa.

“Ah! Ah! H.. h.. hahahahahaha....”

Kami tertawa terbahak-bahak. berhenti sejenak.

“Lanjut?”

“Ho-oh.”

“Ganti posisi, yuk.”

Liz mengangguk.

Kali ini dia mengambil posisi menungging, perutnya bertumpu pada sofa. Aku berlutut di belakangnya, mengarahkan ujung kejantananku, pada kewanitaan Liz yang menyembul.

“Awas salah lubang!” kata Liz.

“Halah, kayak dulu nggak pernah anal aja, pas masih jadi cowok,” kataku.

Aku ditonjok.

“hehehe iya.. iya.. tenang aja..” Aku memajukan pinggulku, kejantananku melesak ke sela-sela gundukan kewanitaan Liz yang membasah.

“Aw!” jerit Liz ketika aku mulai mendorong.

“Hah? Kenapa? Salah?”

“Enggak.. uh.. ssh.. enak.. banget… hehe”

“Sip..”

Aku kembali memompa. Kali ini lebih beringas dari sebelumnya. Sambil mencengkeram pantat Liz yang yahud, aku mendorong pinggulku, maju-mundur, masuk keluar kewanitaan Liz yang sudah banjir.

“Sssssssh... oooooooooohhhhh....” Liz melengguh keenakan. Nunggging-nungging nikmat aku sodok dari belakang. “Jaaaay.... turunin dikit... iyaaaah. Di sanaaaaa... aaaaaaah....” Liz merem melek, menceracau penuh kenikmatan, mengarahkan kejantananku agar menusuk tepat di g-spotnya.

“Sssssh ooooooh....” anak itu semakin kesetanan,meremas sofa kuat kuat menikmati sodokanku. Kewanitaanya makin banjir, hingga meleleri batang sampai buah zakarku, dan aku terus memompa, terus....

“Ugh... Liiiz...” Aku mengerang pelan, menahan geli yang luar biasa nikmat. Dengan buas kucumbui leher Liz, sambil kuremas remas payudaranya, membuat anak itu semakin menggelinjang, semakin menggila.

Wajah Liz sudah memerah, jelas sekali ia sudah hampir sampai di puncak.

Tiba-tiba terdengar suara motor, dan bunyi pintu gerbang dibuka.

“Liz, Slamet tuh.. uh.. uh..

“I.. iya.. a.. a..”

“Pindah? Ah.. ah..”

“N-Nanggung..”

Aku tambah bernafsu memompa tubuh Liz, sementara suara motor terdengar diparkir di garasi samping. Situasi ini memicu sekresi adrenalin di dalam aliran darah kami.

Liz bergerak seperti orang kesetanan, mendesah tertahan namun semakin menggila. Di belakang, terdengar suara pintu dibuka, dan suara langkah mendekat.

“Jay! Nnnnggggh..... aaaakuu.... aaaaakuu....... nnnngggghhhhhhh,” Liz menutup mulutnya kuat-kuat. Punggung Liz melengkung, sesaat sebelum berkelojotan heboh.

“Liz! mmhmmh” aku merasakan kemaluanku juga berkedut-kedut, kemudian pinggulku seperti bergerak di luar kendaliku. Aku memeluk Liz erat, melumat bibirnya, meremas payudaranya.

“Mmmmh!mmmmmmmhhh!!!” kami menjerit berbarengan, tertahan. Sedetik kemudian ada sesuatu yang meledak, di tubuhku, dan di tubuh Liz yang mengejang hebat.

= = = = = = = = = = = = = = = = =​

Suara langkah semakin mendekat. Aku dan Liz segera mengambil posisi, pura-pura merokok sambil menonton TV.

Slamet datang sambil membawa satu kresek nasi bungkus. Anak itu berjalan tergesa menuju dapur, mungkin tak ingin membagi nasinya pada kami.

"Ck.. ck.. ck.. dasar anak muda jaman sekarang."

Slamet mengomentari kami yang saling menyuap mesra.

"Hehe.." Liz cuma nyengir, pura-pura amnesia.

"Dasar tidak punya toleransi dalam berasmara," omel Slamet. Sesaat kemudian kudengar dia sudah bernyanyi lagunya warkop."Bakumba kumba kumba kumba teo.... Lakumpul kumpul kumpul kumpul kebo.... kebiasaan anak muda dalam pergaulan masa kini Suka-suka sendiri."

Menyebalkan, Slamet benar-benar sirik, dan kekanakan.

"Jangan cemburu gitu, Met. Burung ane memang punya Liz, tapi pantat ane Special buat ente!!" Slamet ini homophobia, aku tahu kelemahannya.

"Najis!" Slamet segera berlalu. Namun sekilas aku Melihat Slamet memperhatikan tubuh Liz yang tercetak jelas di balik kausnya.

Sesaat kemudian terdengar suara teriakan Slamet dari belakang, "Asu! Jancuk! Sikat gigiku tibo nang WC! cuk!" berbagai kata umpatan keluar dari mulut Slamet. Nggak pakai lama, aku dan Liz langsung pergi dari tempat itu.

= = = = = = = = = = = = = = =​

Slamet sepertinya benar-benar marah padaku, karena setelah itu seharian aku tidak melihatnya di kost. Padahal kami sudah berjanji akan pergi ke Pasar Malam Sekaten di Alun-alun Utara bersama KW dan gebetannya.

Ya, kalian nggak salah baca: KW Punya gebetan. cewek teman sekampus kami yang sudah lama dia ajak main =adek-kakak-adek-kakak-an'

"Kunto-Kunto-Kunto, bando yang ini bagus nggak?" tanya Gebetan KW saat melihat-lihat di lapak pernak-pernik saat kami tiba di TKP.

"Bagus," jawab KW, singkat-padat-jelas.

"Bagus mana sama yang ini? Yang ini unyu juga, loooh."

"Bagus itu."

"Aku cocok nggak pakai yang ini?"

"Cocok."

"Asyiiiik makasiiiiih Kuntooooo.."

Absurd abiiiiiiiis. Aku heran, kenapa dua orang itu bisa cocok. Liz yang sedang mengelendot di lenganku juga sampai terkekeh-kekeh melihat tingkah KW dan gebetannya.

Dan di sinilah kami, double date di tengah pasar malam dan aneka hiburan rakyat. Sebenarnya, aku kesepian juga karena Slamet nggak jadi ikut, padahal aku sudah berencana nyuruh-nyuruh dia ngantre tiket, beliin makanan, bawain belanjaan, nepukin nyamuk... sedih... sedih.... sedih nggak ada Slamet.

Pasar malam ini digelar rutin setiap tahun selama satu bulan lebih untuk memperingati Maulud Nabi dengan puncak acara yang ditandai dengan Grebeg Muludan. Ada berbagai wahana kelas rakyat di sana, dari odong-odong, kemudian komidi putar yang digerakkan dengan tangan (serius, karena ada Mas-Mas yang dengan semangat 45, memutar2 wahana agar berjalan).

Setelah puas berputar naik Odong-odong, akhirnya kami naik Bianglala kelas ekonomi, yang ukurannya tidak sampai seperempat dari yang di Dufan. Besinya sudah mengusam, dan gerakannya memutar patah-patah karena digerakkan dengan mesin diesel.

Liz menggenggam tanganku erat-erat saat Bianglala mulai berputar di ketinggian. Dan lampu di bawah kami, nampak berkelip-kelip seperti ribuan bintang.

Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Liz menyandarkan kepalanya di pundakku.

Mesra abiiiiiis...

"You came a long.. just like a song..." aku menyanyikan lagu buat Liz.

Liz menoleh ke arahku dan tersenyum, memelukku erat.

"You brighten my day..." Liz melanjutkan.

"You know I can't smile without you... I can't lough.. I can't sing.. I find it hard to do anything.." Kami bernyanyi seiring bianglala yang terus berputar.

You came along just like a song
And
brighten my day
Who
would have believed
that
you where part of a dream?
Now
it all seems light years away...
And now you know

I can't smile without you

I can't smile without you

I can't laugh and I can't sing
I'm
finding it hard to do anything

You see I feel sad when your sad
I
feel glad when you're glad

If you only knew what
I'm
going through
I
just can't smile

Liz menoleh ke arahku, warna-warni cahaya lampu terpulas di wajahnya, cantik sekali. Aku mengecup kening Liz, ia tertawa kecil dan mempererat pelukannya. Aku membelai pipi Liz, meraih dagunya. Liz kembali tersenyum, sebelum aku mengecup bibirnya yang lembut. Pelan, menghayati setiap nafas yang berhembus di wajah kami.

"Indah ya..." Liz tersenyum menggeggam tanganku lebih erat.

"Iya, kaya mimpi aja.."

"Mimpi... ya..."

"Kalau ini mimpi, aku nggak pengin bangun Liz"

"Kalau kamu bangun gimana?"

Aku terdiam "Aku akan sampai di kenyataan."

Liz tersenyum getir, "Kalau kenyataan itu pahit?"

"Aku akan bermimpi, sekali lagi."

"Kita nggak bisa terus-terusan hidup dalam mimpi,

Jay." Liz merapatkan wajahnya di lenganku.

"Kalau gitu, aku akan buat mimpiku jadi kenyataan," tandasku mantap. "Mimpi kita."

Liz cuma tersenyum mendengarnya.

"Liz, will you marry me?"

Liz tidak menjawab. Ia menangis sesengukan.

= = = = = = = = = = = = = =​

Kami pulang tanpa banyak bicara. Malam itu Liz masih menginap di kamarku. Aku dan Liz berbaring berhadapan. Aku membelai rambut Liz yang pendek. Liz tersenyum, pipinya tampak semakin menggemaskan.

"I love you Liz.."

"I love you too.."

Aku mengecup bibirnya sesaat, lembut. Belum pernah aku merasa sebahagia ini.

"Liz, yang tadi belum dijawab.."

"Ih, dari pagi ngomongin nikah mulu, dah kebelet Merit, ya?"

Aku cuma nyengir garing dikatai begitu. "Iya, tahu dah aku kere.." aku merajuk.

"Bukan masalah itu.."

"Terus?"

"Jay... lagian kamu yakin, kita bakal terus samasama?"

Deg...

Perih mendengar kata-kata Liz ini.

Aku terdiam, kemudian menghela nafas. "Besok kita pasti sama-sama kok.. besoknya lagi.. besoknya juga, " kataku. "Pasti."

"Aku sudah beberapa kali menjalin hubungan, kamu tahu, kan? Sudah beberapa kali itu juga aku gagal. Makanya... siapa tahu.... kita..."

"Enggak, nggak akan," ucapku pasti.

Liz tersenyum mendengarnya, namun senyum itu nampak getir.

"Baru kali ini aku ketemu sama pemimpi seperti kamu." Lama anak itu menatapku, prihatin. "Jay, dari awal aku sudah cerita. Aku bener-bener sayang sama kamu. Aku nggak mau hubungan ini malah nyakitin kamu."

"Liz?"

"Jay... aku mau... kamu jangan terlalu banyak berharap," tandas Liz. "Jangan kaya aku, Jay... dulu aku juga terlalu banyak bermimpi.."Liz menutup mulutnya, sebelum terisak. "Terbangun dari mimpi itu perih, Jay... kenyataan itu... menyakitkan... " Liz kembali sesengukan.

Aku memeluk Liz erat-erat. Aku tahu ini tentang apa. Sepertinya Liz masih belum mampu melupakannya. Mungkin aku belum bisa menjadi hari yang baru, aku belum Bisa menjadi langit yang baru bagi Liz. Belum, mungkin nanti.

Aku mengecup kening Liz sebelum ia tertidur. Malam itu, aku masih bisa memimpikan tentang rumah mungil. Aku sedang membaca koran, Liz sedang memasak. Di halaman, anak-anak kami berlarian, bermain kejar-kejaran.

Pada Frame berikutnya ada gambaran Liz yang sudah keriput mengeroki punggungku yang masuk angin. Wajahnya tetap saja cantik meski sudah dimakan usia.

= = = = = = = = = = = = = =​

telah lama aku bertahan
demi cinta wujudkan sebuah harapan
namun kurasa cukup ku menunggu
semua rasa telah
hilang....


sekarang aku tersadar
cinta yang kutunggu
tak kunjung datang...


apalah arti aku menunggu
bila kamu
tak cinta
lagi...

Tiap malam, aku melompat-lompat dari satu mimpi ke mimpi yang lain. Dari satu ekspektasi ke ekspektasi yang lain. Namun kenyataannya Liz seperti menghindar. Sepertinya ada tembok besar di hatinya yang menghalangiku untuk melangkah lebih jauh. Seperti ada sesuatu dari masa lalu yang menghalangi Liz melangkah.

Mungkin aku yang terlalu naif, mungkin aku yang terlalu tak sabar. Setiap aku menggali lebih jauh, pasti berakhir dengan pertengkaran, begitu berulang-ulang, sehingga hubunganku dan Liz menurun drastis.

Mungkin memang aku yang terlalu naif.

Membayangkan Liz sebagai cinta pertama yang berlangsung selamanya...

Sampai akhirnya kami terduduk di teras kostku, tempat di mana aku pertama kali menyatakan cintaku padanya, setelah hampir sebulan kami bertengkar hebat.

"Jay, lebih baik kita temenan lagi aja."

Kalimat itu membuka percakapan sore itu, pelan, namun menyakitkan.

"M-maksud-mu"

"Terus terang, aku nggak bisa kayak gini terus."

Aku terdiam lama, kehilangan kata-kata.

"Jay, kamu inget yang aku bilang saat kamu pertama nembak aku?" Liz berkata hati -hati. "Kamu itu spesial, kamu orang terakhir yang aku pilih jadi pacar, cuma karena aku nggak ingin nyakitin kamu, aku nggak ingin kita jauh cuma-gara-gara kita putus."

"Liz, a-aku..."

"Aku.. belum pantas buat ini, Jay. Kamu terlalu baik buat aku," ucap Liz hati -hati. "Kita... memang sebaiknya kita nggak sama-sama lagi."

"Kenapa?"

"Aku nggak seperti yang kamu kira. Aku... nggak bisa jahatin kamu lebih jauh lagi."

Lama aku berargumen, memintanya untuk tetap tinggal, namun keputusan Liz sudah bulat.

"Maafin aku, nggak bisa mewujudkan mimpi mimpimu," kata Liz pada akhirnya.

"Aku aja kali yang mimpinya ketinggian.."

Aku pura-pura tersenyum. Getir, senyum itu terasa begitu pahit di sudut bibir.

"Kan udah aku bilangin"

"Iya."

"Kita tetap berteman, kan?" kata Liz.

Aku mengangguk, meski aku tahu semuanya tak akan bisa kembali seperti dulu lagi.

Liz tersenyum dan melambai.

Waktu itu aku masih membalas senyumnya, namun setelah melihat Liz menghilang di balik pagar kostku, barulah tangisku pecah.

Kita tak pernah memiliki
Rumah yang kita diami semusim
telah dituntut kembali


dan tanah yang kita pijak
makin larut dalam pasang laut


sedang kesetiaan yang dijanjikan kekasih
berhenti pada khianat


dan nyawa ini sendiri
terancam setiap saat

tak ada yang kita punya

yang kita bisa hanya
membekaskan telapak kali
dalam, sangat dalam
ke pasir

lalu cepat lari
sebelum semua berakhir

semuanya luput
juga waktu


(Juga Waktu, Subagio Sastrowardoyo)

= = = = = = = = = = = = = = = =​

Pagi itu, aku sampai pada kenyataan yang pahit. Saat terbangun aku merasakan kosong yang teramat. Tak ada lagi Liz di sisiku, dan akan pernah ada lagi. Kamarku seakan bertambah luas, meninggalkan rekam jejak imaji liz yang masih bergaung di dindingnya yang menyuram. Tawa Liz yang berderai, Liz yang mengangis saat curhat denganku, Wajah Liz yang merona merah saat bercinta denganku.

Tak ada lagi. Saat ini aku mendapati diriku terbangun, dan mimpi tertinggal dalam ingatan yang tiada.

Aku keluar kamar, duduk di teras dan menyalakan sebatang rokok dengan pandangan hampa. Liz benar, mungkin aku yang bermimpi terlalu tinggi.

Seorang pengarang novel, Donny Dhirgantoro mengatakan "Apabila kamu punya mimpi, taruh dia 5 cm di depan kening kamu, jadi nggak pernah lepas dari mata kamu." Sementara Andrea Hirata pernah menulis, "Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu."

Namun saat ini aku berpikir, "What is the point of dreaming?".

Alexander mati diracun dalam rangka mewujudkan mimpinya menaklukkan dunia. Icarus mati, jatuh di laut karena terbang mendekati matahari.

Apa gunanya bermimpi, kalau toh anda akan terbangun juga. Terbangun dalam kenyataan. Kenyataan itu pahit, Jenderal!

Mulai hari itu, aku menjadi orang yang paling pesimis di seluruh dunia. Persetan, aku bukan Ikal yang mengejar mimpinya sampai Edensor! Aku bukan Genta yang mendaki sampai Mahameru!

Aku hidup di dunia nyata, bukan di dalam novel. Mulai hari itu, aku menghabiskan waktuku dengan men-tweet status-status galau, me-retweet status nyesek dari @RadioGalauFM. Playlist-ku dipenuhi dengan lagu patah hati dari "Someone Like You"-nya Adele, sampai "Apalah Arti Menunggu"-nya Raisa.

Setiap tempat yang mengingatkanku pada Liz, bisa membuatku mewek ceperti cewek. Kerjaanku setiap hari hanya bengong sambil merokok di teras. Skripsi tak terurus.

Kuliah nitip absen pada KW karena malas ketemu Liz.

Bahkan bokep pun tak kusentuh, Miyabi dan Sasha Grey sudah tak mampu membuatku ereksi.

Aku memandangi halaman facebook-ku dengan galau:

Memandangi tulisan "Adipati Jaya Mahardika is now Single" di halaman Facebook-ku. Di bawahnya tertulis ucapan belasungkawa dari teman-teman.

Jimmy Pranoto wrote : "Pertamax diamankan."

Ya elah, Tega banget si Jimmy mengambil pertamax di atas penderitaan orang lain.

Buluk Ganteng wrote: "Pertamax mahal, ane Premium aja gan.."

Ini si Buluk juga sama aja.. haduuh.. haduuh...

Gracia Anindhitia wrote "Jay, kok bisa? Yang sabar ya.. padahal kalian cocok lho"

Grace memberi comment. Kubalas, " Iya, mudah-mudahan bisa sabar... Makasih banyak untuk selama ini..."

Slamet Riyadi wrote: "Dunia tak seluas daun kelor masbro.."

Apa maksudnya Slamet ini, adanya dunia tak sesempit daun kelor kaleee. Comment Slamet malah membuat hatiku bertambah sempit.

Kunto Wicaksono wrote: "sabar ya"

KW, Seperti biasa, singkat-padat-jelas.

L@n4 Ch@nt1q wrote: C3mun6Udh e4 k4q, mSH Ad q QuqZ

Ya elah, homo alay ini spawn lagi.

Setiap hari aku melihat halaman Facebook Liz, namun sepertinya ia tidak pernah log-in.


= = = = = = = = = = = = = = = =​

Aku sempat putus asa, dan berpikir untuk pindah orientasi seksual, hingga teman-temanku, Slamet dan KW prihatin dengan kondisiku. Mereka mengajakku jalan-jalan ke Pantai Baron di daerah Gunungkidul. Kali ini, aku menerima niat baik Slamet. Kami berangkat dengan mengendarai motor, aku berboncengan dengan Slamet, sedang KW berangkat bersama gebetannya.

Sesampainya di pantai aku malah tambah sedih. Panorama matahari terbenam, teluk kecil yang dikelilingi tebing karang, dan perahu-perahu nelayan di sana membuat perasaanku bertambah mellow.

Aku berdiri di atas batu karang, dan bergaya layaknya penyair.

"Ini kali tiada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut!"

Aku berteriak seperti orang gila. Slamet dan KW memegangiku karena malu. Aku melanjutkan puisi karangan Chairil Anwar itu sampai bait ke tiga. Aku benar-benar stress!

"Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa terdekap."

"Hihihi.. aneh banget sih..." tiba-tiba gebetan KW membuka suara. "Udah santai aja lagi, mending fotoin kami." katanya, sambil menyerahkan kamera digital kepadaku. Ia segera memasang pose mesra bersama KW.

Santai aja gundulmu, Cuk!

Aku mengambil foto mereka -pasangan itu- dengan setengah hati, bikin sirik aja. Karena sebal sengaja aku agak menurunkan kamera- sehingga kepala mereka terpotong.

"Ehehe... makasih yah Jay, ngomong-ngomong puisinya bagus, apa judulnya?"

"Oh itu, judulnya Senja di Pelabuhan Kecil."

"Hihihi.. sama kaya namaku dong, Senja," ucap Gebetan KW dengan jenaka.

Senja tersenyum. Matanya bergerak lincah di atas pipinya yang bulat seperti kue mochi.

Senja...

Namanya Senja...

Deja vu?
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd