Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TRJBK NSTLG

Bang tisu bang, baper nih
Mau ngelapin abis ngecroot wkwk
Cerita e bagus banget, terus berkarya bang :thumbup
 
Terjebak nostalgia, alias jebakan maut yang susah untuk bisa move on....

Makasih suhu udah update...
 
keren suhu lengkap nih cerita ada sedih,bahagia,kocak paket lengkap suhu
 
iseng buka semprot eh ternyata muncul cerita lejen...
yg ditulis dewa mesum ababil...
wkwkwkwk kampret emang om jay ini...

dan atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan di dorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yg bebas, maka ane harus baca lagi cerita ini..

still waiting tutukane omjay ....
 
suer baper banget baca nya suhu..
klo gak salah dulu taun 2012an pernah baca karya suhu yg ini tapi blm mpe tamat ane udh off dr forum, begitu balik kaya ny smw karya suhu jg ikutan ilang.
Jadi makin baper nunggu update nya suhu
 
Marathon ane bacanya dari pej wan..
Ealah Jay...ra maido...senadyan wis janji ra bakal terjebak masa lalu soale wis duwe Senja tapi sing jenenge masa lalu pancen wis marai pengen mbaleni neh..
Terlalu indah dilupakan...terlalu sedih dikenangkan...
 
"Sudah sampai mana, sayang?"

"Baru sampai Ambarawa."

"Hah? Kok nyasar sampai Ambarawa?"

"Eng.. ini... Hotel Ambarawa Lestari, udah lewat Purworejo."

"Hah?! Hotel?!"

"Iya! Mobil pakde-ku kehabisan air radiator, mesinnya kepanasan, mogok, jadinya kami nginap di hotel!"

Aku tidak sepenuhnya bohong kok! Karena mobil masih harus menunggu perbaikan -setidaknya sampai pagi. Kami memutuskan untuk bermalam di hotel di daerah Ambarawa.

Hotel itu sudah tua, mungkin peninggalan belanda. Jelas terlihat dari perabotnya yang sangat retro, seperti dalam film-film era tahun 70'an. Lampu 15 watt berpijar dengan malas di atap, kadang meredup akibat tegangan yang tidak Stabil. Sinarnya yang berwarna oranye dihalangi kipas angin usang yang menempel di langit-langit di dekatnya, menimbulkan ilusi optik berupa bayangan yang bergerak cepat di seantero kamar.

Di ujung kamar, Liz juga menelpon. Ia duduk di atas ranjang besi usang, sepreinya baru dicuci, namun tampak kecoklatan dimakan usia.

"Pa,.. Liz telat sampai Semarang nie.. Mobilnya mogok."

Liz memainkan ujung rambutnya, sambil menelpon ayahnya.

"Iya... Liz nginep di hotel... ada... teman..." ia terdiam "cowok.." ia terdi am lagi mendengarkan ayahnya berbicara di telpon.." Iiiih, sebegitunya, Liz kan udah gede, lagian temen Liz nggak suka cewek kok! Dia sukanya cowok-cowok yang tegap berbulu."

ASU!

"Jay.. kok diem?"

"Eh, i-iya... ada apa, Sayang?"

"Itu suara siapa di belakang? Kok kaya ada suara cewek?"

"Nganu.. nganu.. itu suaranya Bu Lik Sri.."

"Oh.. kamu nggak lagi sama Liz kan? hihihi... nggak mungkin kali, ya..."

Jantungku serasa mau copot.

"Ah, kamu bilang apa? Maaf-maaf di sini sinyalnya jelek! Udah ya.. tar sms-an aja.."

"Jay?"

"I love you.. mmmuach!"

Aku menutup teleponku.

Liz tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur, sambil mengetik BBM buat Senja.

"J4y c@p3 nY, s0Q sMz-n gY y4h. "

Alay juga punya perasaan.

= = = = = = = = = = = = = = = = =

Fragmen 16
Dosa Termanis


Liz membaringkan kepalanya di sampingku. Kami sudah dewasa, kami mengerti konsekuensi dan resiko yang jelas apabila dua orang berbeda jenis kelamin berada dalam dalam satu kamar yang sama. Yah, walaupun kondisi yang sama dengan jenis kelamin yang sama juga tidak mengurangi resiko tersebut, ngerti? Ah, sudahlah tidak usah dibahas.

Kami berbaring bersisian sambil memandangi kipas angin yang bergantung tepat di atas kami. Kipas itu berputar resah, seperti putaran roda kehidupan, seperti siklus pertemuan dan perpisahan.

Aku memegang tangan Liz, ia tidak menolak.

"Ini.. Salah.. Jay..."

"Banget..."

"Aku merasa berdosa... bersalah sama Senja." Liz berkata, sambil menggigit-gigit bibirnya.

"Kamu kira aku enggak?" bisiku pelan, mengusap rambutnya.

Lama kami terdiam.

"Besok kamu sudah gak di sini, kan?"

"Iya, aku pasti bakal kangen kamu.."

"Aku juga..."

Aku berbalik ke arah Liz, berbaring dengan posisi menyamping. Wajah Liz memandang kosong ke langit-langit, dadanya yang terbalut t-shirt putih naik turun. Galau, namun kegalauan yang menawan.

Aku memandangi wajahnya yang kini tampak semakin cantik. Aku membelai wajahnya dengan punggung tanganku. Liz diam saja, meski ada setitik air menetes dari sudut matanya, jatuh menuruni pipinya dan segera kuusap dengan buku jari. Tangisnya terdengar sayup. Aku membelai rambutnya. Liz memegang tanganku, ia berbalik dan menangis di pelukanku.

Aku tak menjawab, membiarkannya menangis di pelukanku. Malam itu, sekali lagi Liz menumpahkan segala kesedihannya. Dan aku, apa yang bisa orang bodoh ini lakukan selain menampungnya? Aku memeluknya erat, tubuhnya berguncang-guncang hebat dalam pelukanku.

Aku memandang mata Liz lekat-lekat, wajah itu, astaga aku ternyata tidak pernah bisa berhenti mencintainya.

Wajah kami begitu dekat, sampai aku bisa merasakan pipinya yang basah. Aku membenamkan wajahku ke atas wajahnya. Liz menoleh, bibir kami bersentuhan.

Aku mengecupnya. Liz menyambut kecupanku.

Kami berciuman di dalam resah, di bawah derau kipas angin yang gundah. Kami bergumul sengit, seperti halnya batin kami yang bergulat dengan kenyataan bahwa ini salah, bahwa aku mencintai Senja, namun aku juga masih mencintai Liz!

Liz menciumku dengan penuh emosi.

Ini salah Jay, ini salah! Kamu sudah mengkhianati Senja! Suara batinku menjerit.

Aku melumat bibir Liz.

Tapi besok Liz sudah pergi jauh!

Aku membiarkan naluri dan perasaan yang memutuskan. Segala jarak, segala kerinduan selama ini seolah dibayar lunas, tuntas oleh cumbu yang menggebu.

.​
Andai aku bisa
Memutar kembali waktu
Yang telah berjalan
Untuk kembali bersama
Di dirimu selamanya.
.


Lalu terjadilah. Dosa termanis itu. Sepasang tubuh yang saling mencumbu, melepaskan segala kerinduan di atas dipan yang berderit derit. Liz mendesah di wajahku, nafasnya yang harum memenuhi paru-paruku. Bibir Liz masih seperti dulu, lembut dan menghanyutkan. Aku menghirup nafas dalam-dalam, aroma tubuh dan kenangan yang menyertainya... hingga tiba-tiba...

"Bbbbrrt..." BB-ku bergetar-getar di atas meja di samping kasur. Mungkin Senja menelponku...

.​
Bukan maksud aku
memaksa dirimu
masuk terlalu jauh
ke dalam kisah cinta
yang tak mungkin terjadi...
.



Bbbbrrt... Brrrt.. brrrt.... BB-ku terus bergetar-getar

"Jay.. .. h..nggak diangkat?"

"Nggak usah.."

Aku terus mencumbu Liz.

Brrrt... brrrt bbbrttt...

BB terus bergetar, merusak konsentrasi kami. Aku meraihnya dan me-reject panggilan.

Bbbbrrt... Brrrt..

BB-ku kembal bergetar.

"Angkat, Jay.."

"Ng-nggak usah.."

"Angkat..."

"Nggak."

"Angkat!!!" Liz setengah berteriak, ia mendorong tubuhku kuat-kuat.

Aku mengangkat telepon dengan kesal. Ternyata benar Senja, ia tidak bisa tidur karena kangen kepadaku.

Aku berdiri mondar-mandir sambil membujuknya untuk tidur. Sementara Liz meringkuk di ujung dipan, memandangi jendela dengan tatapan nanar.

Begitu telepon ditutup, aku meloncat ke atas ranjang, namun Liz menepis tanganku.

"Kamu jahat, Jay!"

"Hah?"

"Kamu Jahat! Kamu sudah jahat sama Senja!"

Liz benar.

"Tapi aku cinta kamu L-"

Aku belum sempat menyelesaikan kalimatku, ketika tamparan keras mendarat di pipiku.

"KAMU NGGAK PUNYA HAK BUAT NGOMONG GITU!" Liz berteriak.

"Aku memang sayang kamu!" jeritku

"AKU JUGA SAYANG KAMU, TAPI AKU SUDAH NGGAK PUNYA HAK UNTUK ITU!!" Liz berteriak histeris sebelum menangis sendiri. Aku membelai wajahnya, namun Liz menepis tanganku kasar. Aku memaksakan memeluknya, Liz meronta namun akhirnya ia menyerah. Liz menangis dalam pelukanku.

.
Dan aku tak punya hati
Untuk menyakiti dirimu
Dan aku tak punya hati tuk mencintai
Dirimu yang selalu mencintai diriku
walau kau tahu diriku
Masih bersamanya...

= = = = = = = = = = = = = = = = = =
Malam semakin dingin, seperti suasana dalam kamar itu. Liz meringkuk di dekat jendela sambil memandangi kabut tipis yang mulai turun di luar sana.

Aku duduk di lantai di seberang kamar, menyalakan sebatang rokok. Aku menghembuskan asapnya ke langit-langit, membiarkannya dihapus oleh putaran kipas angin.

"Kamu.. sayang Senja?" tanya Liz.

"Sayang."

"Cinta?"

"Cinta," jawabku mantap.

"Kalau gitu, kamu nggak boleh kaya aku Jay..."

Kami terdiam, hanya ada suara putaran kipas angin.

"Dulu, karena tidak bisa ngelupain Bang Igo, aku sudah nyakitin kamu...."

Aku diam, menghisap rokok dalam-dalam, abunya jatuh ke lantai.

"Aku.. sudah belajar banyak hal dari itu..."

Aku masih diam, menghembuskan asapnya ke udara, sehingga kamar itu dipenuhi bau rokok.

"Kita... tidak boleh terjebak dalam nostalgia, Jay..."

Liz bangkit dan duduk di sampingku. Ia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.

Kami terdiam, Liz merebahkan kepalanya di pundakku. Aku menggenggam tangannya. Aku memejamkan mata, memunguti setiap keping kenangan bersama Liz.

= = = = = = = = = = = = = = =​

"Namaku Eliza, panggil aja Liz." ia berbisik pelan, saat disuruh berjongkok di pojok bersamaku. Kami adalah satu-satunya mahasiswa baru yang dihukum karena terlambat hari itu, di hari pertama ospek.

"Oh, kalau aku Jaya." Bisikku tak kalah pelan. Karena di ujung sana, senior yang galaknya naudzubille itu sedang mencak-mencak, menceramahi teman-teman agar tak meniru kami.

"Jaya? Panjangnya apa?"

"J= Jay panggilannya, A=Asyik orangnya, Y=Yahud suaranya, A=Asoy geboy goyangannya."

= = = = = = = = = = = =

"Gawat!"

"Apa Jay? Ada yang hilang? HP? Dompet?"

"Hatiku, kamu yang ambil, yah? Hehehe."

"Iiiiiiiih gombaaaal!" Wajah Liz tersipu dan merona merah. "tapi lucu, hihihi.... Kamu so sweet banget sih, Jay."

"Ya iyalah, Ajay: tampang gorilla hati Raisa."

= = = = = = = = = = = =

Liz menggenggam tanganku erat-erat saat Bianglala mulai berputar di ketinggian. Dan lampu di bawah kami, nampak berkelip-kelip seperti ribuan bintang.

Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Liz menyandarkan kepalanya di pundakku.

"You came a long.. just like a song..." aku menyanyikan lagu buat Liz.

Liz menoleh ke arahku dan tersenyum,memelukku erat.

"You brighten my day..." Liz melanjutkan.

"You know I can‟t smile without you... I can't lough.. I can't sing.. I find it hard to do anything.." Kami bernyanyi seiring bianglala yang terus berputar.

= = = = = = = = = = = =

Dan semua kenangan berputar seperti film. Sementara kipas angin terus berputar seperti roda takdir Clotho, Lachesis, dan Athropos. Malam itu dipenuhi dengan percakapan sepasang insan. Kami saling berwacana dan berkontemplasi. Berbincang mengenai takdir, mengenai mimpi, mengenai masa lalu yang tak dapat diputar ulang. Malam itu kami menangis, tertawa, melepas segala emosi ke udara.

Kami tersenyum, menertawai takdir yang mempermainkan kami. Memang perpisahan memang sudah tidak bisa dielakkan, tapi inilah kenang-kenangan terakhir dari kisah kami.

Aku memandangi wajah Liz lekat-lekat, aku sangat mencintainya. Aku mengecup keningnya, Liz tersenyum. Aku mengecup bibirnya, merasakan lembut dan hangatnya, mungkin untuk yang terakhir kali.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Malam itu kami bercinta untuk terakhir kalinya, seolah menghapus jarak yang hilang selama ini. Aku memejamkan mata, membiarkan nafsu dan emosi mengambil alih.

Aku membiarkan tanganku bergerak, membelai sekujur tubuh Liz, menyusuri lekuk tubuhnya. Aku merasakan birahi yang menggelegak, bergolak-golak dalam dadaku.

Aku memejamkan mata, melarutkan diri dalam nafsu yang gemuruh.

Sementara kipas angin di langit-langit berputar resah, seolah tidak sanggup mendinginkan udara yang memanas oleh nafas kami.

Pengap, tubuh kami membasah oleh peluh. Aku melumat bibir Liz, menghisapnya kuat kuat. Kami berpagutan sambil berpelukan di atas ranjang. Kami saling menghisap, lidah kami saling membelit dan membelai. Hangatnya, lembutnya, mungkin besok aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Resah itu begitu entah. Kami bergelung dan bergumul. Melumat dan menggeliat, memasrahkan semuanya kepada birahi belaka.

Sekarang Liz duduk di atas pangkuanku yang duduk bersila, ia melingkarkan pahanya di punggulku. Liz tersenyum, menciumi wajahku dengan emosional. Pingulnya bergerak-gerak, sehingga kejantananku menggesek di pangkal pahanya. Nafas Liz memburu di wajahku, wajahnya sudah merona merah. Liz menatap mataku dalam-dalam seolah menembus ke relung hatiku.

Kejantananku memasuki rahim Liz, seperti menjelajahi ruangan penuh kenangan yang misterius. Liz mendesis, saat batang keras bergesekan dengan dinding kewanitaannya yang basah sempurna.

Begitu.

Sempit....

Basah.....​

Hangat.....

Geli....

Ngilu...

Rindu.....

Pilu....


Semua membaur seperti seribu perasaan yang bergolak di hatiku.

Lampu berkedip pelan, memulaskan warna kuning ke sekujur tubuh Liz yang penuh keringat. Aku memandangi wajahnya yang sayu, seluruh lekuk tubuhnya yang dilelehi buliran peluh, sepasang buah dadanya yang menggantung indah.

Liz melepas ikat rambutnya, ia menggerakkan kepala, mengibaskan rambutnya di udara. Ia tampak begitu menawan. Liz memandangi mataku lekat-lekat. Kini rambutnya tergerai, menutupi pundaknya. Ia tersenyum, sebelum menggerakkan pinggulnya.

Liz memejamkan matanya khusyuk. Malam itu kami bersetubuh. Menyatukan dua tubuh yang berbeda, dua jiwa yang berbeda, menjadi satu. Membaurkan segala emosi dan segala kerinduan.

Aku mendekapnya erat, menciumi lehernya yang berkeringat. Emosional, Liz menggeliat, memejam penuh kenikmatan, menciumi wajahku. Pinggul Liz menandak-nandak, terkadang berputar, memilin kejantananku yang terjebak dalam liang basah yang dipenuhi keajaiban. Sensasi geli ini, pijatan dinding kewanitaan Liz, membuatku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Ada yang menggelegak, hendak meledak. Aku merasakan pinggulku bergerak diluar kesadaran.

Aku berteriak, kejantananku berkedut-kedut nikmat ketika benihku memancar deras di dalam rahimnya. Namun Liz terus memompa, seakan tidak peduli. Aku masih mengeras, mungkin untuk beberapa saat lagi. Liz tidak mau menyianyiakan kesempatan ini. Ia terus mengayun dan mengayun.

Ia mulai meracau penuh gairah, bersiap menyambut puncaknya. Wajahnya yang basah sudah merona merah, sayu, penuh dengan birahi. Mata Liz memejam, dicakarnya punggungku. Liz berteriak panjang.Dadanya membusung, punggungnya melengkung. Sesaat kemudian seluruh tubuhnya bergetar hebat, menggelinjang ke sana kemari.

Kepalaku terasa ringan, kami seperti ambruk ke atas ranjang, dengan gerakan Slow motion. Kipas angin berputar resah, mengiringi nafas kami yang terenggah. Aku memeluknya, membelai rambut Liz yang kini sudah memanjang.

Lama kami berpelukan, kami membiarkan angin yang berhembus dari kipas angin membelai tubuh kami yang telanjang.

"Jay, kamu tahu, aku nggak bisa berhenti sayang kamu.."

Aku mengecup kening Liz yang berkeringat. "Aku juga..."

"Tapi kamu harus janji satu hal..." Liz menarik nafas panjang. "Kamu.. jangan pernah ngecewain Senja..."

"Pasti," jawabku tegas.

Mata Liz tampak berbinar cerah. Liz tersenyum, namun kali ini bukan senyum yang dipaksakan.

"Kamu juga harus janji, Liz.. kamu harus bisa move on.."

"Pasti dong.. emang cowok cuma kamu doang haha... manis sih manis... cinta sih cinta... tapi kere hahahaha...."

"Hehe... Populasi cowok sekarang dikit lho, makanya anyak yang poligami.. kamu.. hehehehe.." Aku jadi membayangkan punya istri dua, win-win solution ultimate happy ending wkwkwkwk...

Aku berkata lagi, "Liz... Kamu mau..?"

"Poligami? Ogah!"

"Bukaaan! Kamu mau berapa ronde?"

Liz menutup wajahku dengan bantal. "Dasar cowok mesuuuuuum!!"

"Hahaha" Tawa kami berderai, seolah lupa akan perpisahan yang menanti.

"12 Rondeee!!!" Liz menjawab sambil tersenyum.

"What?! Patah perkakas ane nanti!!"

Malam itu kami bercinta, bercinta, dan bercinta seolah tidak ada hari esok. Berkali-kali Liz mengerang, merintih, memproklamirkan puncak gairah yang membahana....

= = = = = = = = = = = = = =​


Masih pagi dini hari, ketika BB-ku bergetar. Telepon dari bengkel, mobil kami sudah bisa digunakan. Aku mengecup pipi Liz yang terbaring di sampingku. Ia mengeliat malas, sambil tersenyum. Aku mengecup bibirnya.

"Yuk.. dah beres nie mobilnya"

"Mandi dulu?"

"Hehe.. boleh.."

Dingin air di pagi buta seolah menghapuskan rasa sakit selama ini. Rasa sakit karena kenangan dan rindu.

Aku membiarkan air membasuh tubuh Liz, membuatnya berkilat-kilat penuh titik air. Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Liz meletakkan tangannya di dadaku.

"You came a long.. just like a song..." aku menyanyikan lagu buat Liz.

"Hahaha lagu ini!!!" Liz tampak berbinar.

"Hehe, masih ingat?"

Liz mengangguk. Liz menoleh ke arahku dan tersenyum, kemudian ia menyandarkan kepalanya di dadaku, memelukku erat.

"You brighten my day..." sahutnya.

"You know I can‟t smile without you... I can't lough.. I can't sing.. I find it hard to do anything.." Kami bernyanyi sambil berdansa pelan. Berputar-putar di antara air keran yang menderu deras

You came along just like a song
And brighten my day
Who would have believed
that you where part of a dream?
Now it all seems light years away...

And now you know
I can't smile without you
I can't smile without you
I can't laugh and I can't sing
I'm finding it hard to do anything

You see I feel sad when your sad
I feel glad when you're glad
If you only knew what
I'm going through
I just can't smile

= = = = = = = = = = = =​


Fajar sudah menyingsing ketika kami melewati Tugu Muda ke arah barat. Mobil Grace menggunakan transmisi otomatis, sehingga aku bisa dengan leluasa menggenggam tangan Liz. Aku menggenggamnya erat, karena ini adalah saat-saat terakhirku bersamanya.

"Jay.." kata Liz saat mobil kami berhenti di Lampu merah.

"Apa?"

"Di depan sana udah rumahku.

"Oh.."

Begitu singkat kenangan kami.

"Liz, jangan pernah lupain aku.."

"Iya, kamu juga.."

Aku mengecupnya di bibir untuk terakhir kalinya. Manis bercampur getir pahit.

Lampu menyala hijau, tanda hidup harus terus berjalan.

= = = = = = = = = = = = = = = =

Hampir pukul 6 ketika kami tiba di rumah Liz, dan disambut oleh orang tuanya. Papa Liz tinggi besar, dan badannya penuh bulu lebat. Nyaliku langsung ciut melihatnya, namun sepertinya Papa Liz lebih takut kepadaku. Ia memandangku dengan takut-takut, karena kemarin malam Liz mengatakan bahwa aku suka cowok yang berbulu.

"Jaya, Oom," aku memperkenalkan diri.

Ayah Liz cepat-cepat menarik tangannya setelah bersalaman denganku.

"Jaya? Kok mirip kaya nama mantan pacarnya Liz?"

"Oh itu teman saya, Jaya Mahardika.. kalau saya Jaya Suporno." Aku berbohong dan pura-pura kemayu.

Liz menahan tawa dari kejauhan.

Ternyata penerbangan Liz ditunda sampai jam 3 Sore. Hari itu aku seharian berkumpul dengan keluarga Liz- yang seharusnya menjadi keluargaku- ah sudahlah tidak usah diungkit-ungkit lagi.

Sore itu, aku ikut mengantar Liz ke Bandara. Liz berpelukan dengan orangtuanya sambil menangis, aku terharu melihatnya, aku teringat ibuku yang menunggu di rumah.

Liz menoleh ke arahku, dan tersenyum. Senyumnya bukan lagi senyum kehilangan, namun senyum yang indah dan lega.

"Dah, Ajay...."

Aku mengangguk.

"Makasih ya Jay, makasih buat semua kenangan indah selama ini."

Perih.

Liz tersenyum. " tapi di Jogja menanti kenangan... bukan... masa depan yang lebih indah dari aku."

Liz benar.

Aku memeluknya erat. Orang tua Liz ikut terharu, mungkin mengira anaknya berpisah dengan sahabat gay-nya.

"I love You-"

"I love you." Bisik kami berbarengan.

Liz tersenyum dan berlalu di balik pintu otomatis.

Saat itu aku masih bisa tersenyum, saat Liz menghilang di balik kerumunan antrian orang di sana.

Aku baru menyadari pandanganku yang mengabur ketika mobil yang kukendarai melaju meninggalkan Semarang. Garis-garis pembatas jalan bergerak dengan cepat, resah seolah memberi isyarat kenangan yang tak akan kembali lagi

Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, menaiki Bukit Gombel yang gelisah diterpa matahari senja. Mobil yang kunaiki perlahan menjauh dari kota Semarang, menjauh dari semua kenangan bersama Liz.

Aku menyalakan radio, mengalun lagunya Utada Hikaru yang dinyanyikan ulang oleh Boyz II Men. Panorama senja di depanku membuatnya seperti ending sebuah film.

The last kiss we shared
tasted like our wine
Sweet and bitter like our memories
And I long for you
to come right back to me

Tomorrow the time
will be the same as today
Nothing goes on in my heart
except your memories
Where will you be
and who will you think of?

You were always gonna be my love
And you should know
Even if I fall in love with somebody else
I'll remember to love,
you taught me how
You're always going to be the one
And for now,
I'll still be singing this love song for
Somebody like you, my first love
 
Ajay pulang sendiri ke Jogja...
Mampir Bandungan jay!:D
 
Bukan perpisahan yang harus ditangisi tapi pertemuan yang harus disesali :suhu:
 
Bimabet
"Sudah sampai mana, sayang?"

"Baru sampai Ambarawa."

"Hah? Kok nyasar sampai Ambarawa?"

"Eng.. ini... Hotel Ambarawa Lestari, udah lewat Purworejo."

"Hah?! Hotel?!"

"Iya! Mobil pakde-ku kehabisan air radiator, mesinnya kepanasan, mogok, jadinya kami nginap di hotel!"

Aku tidak sepenuhnya bohong kok! Karena mobil masih harus menunggu perbaikan -setidaknya sampai pagi. Kami memutuskan untuk bermalam di hotel di daerah Ambarawa.

Hotel itu sudah tua, mungkin peninggalan belanda. Jelas terlihat dari perabotnya yang sangat retro, seperti dalam film-film era tahun 70'an. Lampu 15 watt berpijar dengan malas di atap, kadang meredup akibat tegangan yang tidak Stabil. Sinarnya yang berwarna oranye dihalangi kipas angin usang yang menempel di langit-langit di dekatnya, menimbulkan ilusi optik berupa bayangan yang bergerak cepat di seantero kamar.

Di ujung kamar, Liz juga menelpon. Ia duduk di atas ranjang besi usang, sepreinya baru dicuci, namun tampak kecoklatan dimakan usia.

"Pa,.. Liz telat sampai Semarang nie.. Mobilnya mogok."

Liz memainkan ujung rambutnya, sambil menelpon ayahnya.

"Iya... Liz nginep di hotel... ada... teman..." ia terdiam "cowok.." ia terdi am lagi mendengarkan ayahnya berbicara di telpon.." Iiiih, sebegitunya, Liz kan udah gede, lagian temen Liz nggak suka cewek kok! Dia sukanya cowok-cowok yang tegap berbulu."

ASU!

"Jay.. kok diem?"

"Eh, i-iya... ada apa, Sayang?"

"Itu suara siapa di belakang? Kok kaya ada suara cewek?"

"Nganu.. nganu.. itu suaranya Bu Lik Sri.."

"Oh.. kamu nggak lagi sama Liz kan? hihihi... nggak mungkin kali, ya..."

Jantungku serasa mau copot.

"Ah, kamu bilang apa? Maaf-maaf di sini sinyalnya jelek! Udah ya.. tar sms-an aja.."

"Jay?"

"I love you.. mmmuach!"

Aku menutup teleponku.

Liz tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur, sambil mengetik BBM buat Senja.

"J4y c@p3 nY, s0Q sMz-n gY y4h. "

Alay juga punya perasaan.

= = = = = = = = = = = = = = = = =

Fragmen 16
Dosa Termanis


Liz membaringkan kepalanya di sampingku. Kami sudah dewasa, kami mengerti konsekuensi dan resiko yang jelas apabila dua orang berbeda jenis kelamin berada dalam dalam satu kamar yang sama. Yah, walaupun kondisi yang sama dengan jenis kelamin yang sama juga tidak mengurangi resiko tersebut, ngerti? Ah, sudahlah tidak usah dibahas.

Kami berbaring bersisian sambil memandangi kipas angin yang bergantung tepat di atas kami. Kipas itu berputar resah, seperti putaran roda kehidupan, seperti siklus pertemuan dan perpisahan.

Aku memegang tangan Liz, ia tidak menolak.

"Ini.. Salah.. Jay..."

"Banget..."

"Aku merasa berdosa... bersalah sama Senja." Liz berkata, sambil menggigit-gigit bibirnya.

"Kamu kira aku enggak?" bisiku pelan, mengusap rambutnya.

Lama kami terdiam.

"Besok kamu sudah gak di sini, kan?"

"Iya, aku pasti bakal kangen kamu.."

"Aku juga..."

Aku berbalik ke arah Liz, berbaring dengan posisi menyamping. Wajah Liz memandang kosong ke langit-langit, dadanya yang terbalut t-shirt putih naik turun. Galau, namun kegalauan yang menawan.

Aku memandangi wajahnya yang kini tampak semakin cantik. Aku membelai wajahnya dengan punggung tanganku. Liz diam saja, meski ada setitik air menetes dari sudut matanya, jatuh menuruni pipinya dan segera kuusap dengan buku jari. Tangisnya terdengar sayup. Aku membelai rambutnya. Liz memegang tanganku, ia berbalik dan menangis di pelukanku.

Aku tak menjawab, membiarkannya menangis di pelukanku. Malam itu, sekali lagi Liz menumpahkan segala kesedihannya. Dan aku, apa yang bisa orang bodoh ini lakukan selain menampungnya? Aku memeluknya erat, tubuhnya berguncang-guncang hebat dalam pelukanku.

Aku memandang mata Liz lekat-lekat, wajah itu, astaga aku ternyata tidak pernah bisa berhenti mencintainya.

Wajah kami begitu dekat, sampai aku bisa merasakan pipinya yang basah. Aku membenamkan wajahku ke atas wajahnya. Liz menoleh, bibir kami bersentuhan.

Aku mengecupnya. Liz menyambut kecupanku.

Kami berciuman di dalam resah, di bawah derau kipas angin yang gundah. Kami bergumul sengit, seperti halnya batin kami yang bergulat dengan kenyataan bahwa ini salah, bahwa aku mencintai Senja, namun aku juga masih mencintai Liz!

Liz menciumku dengan penuh emosi.

Ini salah Jay, ini salah! Kamu sudah mengkhianati Senja! Suara batinku menjerit.

Aku melumat bibir Liz.

Tapi besok Liz sudah pergi jauh!

Aku membiarkan naluri dan perasaan yang memutuskan. Segala jarak, segala kerinduan selama ini seolah dibayar lunas, tuntas oleh cumbu yang menggebu.

.
Andai aku bisa
Memutar kembali waktu
Yang telah berjalan
Untuk kembali bersama
Di dirimu selamanya.
.


Lalu terjadilah. Dosa termanis itu. Sepasang tubuh yang saling mencumbu, melepaskan segala kerinduan di atas dipan yang berderit derit. Liz mendesah di wajahku, nafasnya yang harum memenuhi paru-paruku. Bibir Liz masih seperti dulu, lembut dan menghanyutkan. Aku menghirup nafas dalam-dalam, aroma tubuh dan kenangan yang menyertainya... hingga tiba-tiba...

"Bbbbrrt..." BB-ku bergetar-getar di atas meja di samping kasur. Mungkin Senja menelponku...

.
Bukan maksud aku
memaksa dirimu
masuk terlalu jauh
ke dalam kisah cinta
yang tak mungkin terjadi...
.


Bbbbrrt... Brrrt.. brrrt.... BB-ku terus bergetar-getar

"Jay.. .. h..nggak diangkat?"

"Nggak usah.."

Aku terus mencumbu Liz.

Brrrt... brrrt bbbrttt...

BB terus bergetar, merusak konsentrasi kami. Aku meraihnya dan me-reject panggilan.

Bbbbrrt... Brrrt..

BB-ku kembal bergetar.

"Angkat, Jay.."

"Ng-nggak usah.."

"Angkat..."

"Nggak."

"Angkat!!!" Liz setengah berteriak, ia mendorong tubuhku kuat-kuat.

Aku mengangkat telepon dengan kesal. Ternyata benar Senja, ia tidak bisa tidur karena kangen kepadaku.

Aku berdiri mondar-mandir sambil membujuknya untuk tidur. Sementara Liz meringkuk di ujung dipan, memandangi jendela dengan tatapan nanar.

Begitu telepon ditutup, aku meloncat ke atas ranjang, namun Liz menepis tanganku.

"Kamu jahat, Jay!"

"Hah?"

"Kamu Jahat! Kamu sudah jahat sama Senja!"

Liz benar.

"Tapi aku cinta kamu L-"

Aku belum sempat menyelesaikan kalimatku, ketika tamparan keras mendarat di pipiku.

"KAMU NGGAK PUNYA HAK BUAT NGOMONG GITU!" Liz berteriak.

"Aku memang sayang kamu!" jeritku

"AKU JUGA SAYANG KAMU, TAPI AKU SUDAH NGGAK PUNYA HAK UNTUK ITU!!" Liz berteriak histeris sebelum menangis sendiri. Aku membelai wajahnya, namun Liz menepis tanganku kasar. Aku memaksakan memeluknya, Liz meronta namun akhirnya ia menyerah. Liz menangis dalam pelukanku.

.
Dan aku tak punya hati
Untuk menyakiti dirimu
Dan aku tak punya hati tuk mencintai
Dirimu yang selalu mencintai diriku
walau kau tahu diriku
Masih bersamanya...


= = = = = = = = = = = = = = = = = =
Malam semakin dingin, seperti suasana dalam kamar itu. Liz meringkuk di dekat jendela sambil memandangi kabut tipis yang mulai turun di luar sana.

Aku duduk di lantai di seberang kamar, menyalakan sebatang rokok. Aku menghembuskan asapnya ke langit-langit, membiarkannya dihapus oleh putaran kipas angin.

"Kamu.. sayang Senja?" tanya Liz.

"Sayang."

"Cinta?"

"Cinta," jawabku mantap.

"Kalau gitu, kamu nggak boleh kaya aku Jay..."

Kami terdiam, hanya ada suara putaran kipas angin.

"Dulu, karena tidak bisa ngelupain Bang Igo, aku sudah nyakitin kamu...."

Aku diam, menghisap rokok dalam-dalam, abunya jatuh ke lantai.

"Aku.. sudah belajar banyak hal dari itu..."

Aku masih diam, menghembuskan asapnya ke udara, sehingga kamar itu dipenuhi bau rokok.

"Kita... tidak boleh terjebak dalam nostalgia, Jay..."

Liz bangkit dan duduk di sampingku. Ia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.

Kami terdiam, Liz merebahkan kepalanya di pundakku. Aku menggenggam tangannya. Aku memejamkan mata, memunguti setiap keping kenangan bersama Liz.

= = = = = = = = = = = = = = =​

"Namaku Eliza, panggil aja Liz." ia berbisik pelan, saat disuruh berjongkok di pojok bersamaku. Kami adalah satu-satunya mahasiswa baru yang dihukum karena terlambat hari itu, di hari pertama ospek.

"Oh, kalau aku Jaya." Bisikku tak kalah pelan. Karena di ujung sana, senior yang galaknya naudzubille itu sedang mencak-mencak, menceramahi teman-teman agar tak meniru kami.

"Jaya? Panjangnya apa?"

"J= Jay panggilannya, A=Asyik orangnya, Y=Yahud suaranya, A=Asoy geboy goyangannya."

= = = = = = = = = = = =

"Gawat!"

"Apa Jay? Ada yang hilang? HP? Dompet?"

"Hatiku, kamu yang ambil, yah? Hehehe."

"Iiiiiiiih gombaaaal!" Wajah Liz tersipu dan merona merah. "tapi lucu, hihihi.... Kamu so sweet banget sih, Jay."

"Ya iyalah, Ajay: tampang gorilla hati Raisa."

= = = = = = = = = = = =

Liz menggenggam tanganku erat-erat saat Bianglala mulai berputar di ketinggian. Dan lampu di bawah kami, nampak berkelip-kelip seperti ribuan bintang.

Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Liz menyandarkan kepalanya di pundakku.

"You came a long.. just like a song..." aku menyanyikan lagu buat Liz.

Liz menoleh ke arahku dan tersenyum,memelukku erat.

"You brighten my day..." Liz melanjutkan.

"You know I can‟t smile without you... I can't lough.. I can't sing.. I find it hard to do anything.." Kami bernyanyi seiring bianglala yang terus berputar.

= = = = = = = = = = = =

Dan semua kenangan berputar seperti film. Sementara kipas angin terus berputar seperti roda takdir Clotho, Lachesis, dan Athropos. Malam itu dipenuhi dengan percakapan sepasang insan. Kami saling berwacana dan berkontemplasi. Berbincang mengenai takdir, mengenai mimpi, mengenai masa lalu yang tak dapat diputar ulang. Malam itu kami menangis, tertawa, melepas segala emosi ke udara.

Kami tersenyum, menertawai takdir yang mempermainkan kami. Memang perpisahan memang sudah tidak bisa dielakkan, tapi inilah kenang-kenangan terakhir dari kisah kami.

Aku memandangi wajah Liz lekat-lekat, aku sangat mencintainya. Aku mengecup keningnya, Liz tersenyum. Aku mengecup bibirnya, merasakan lembut dan hangatnya, mungkin untuk yang terakhir kali.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Malam itu kami bercinta untuk terakhir kalinya, seolah menghapus jarak yang hilang selama ini. Aku memejamkan mata, membiarkan nafsu dan emosi mengambil alih.

Aku membiarkan tanganku bergerak, membelai sekujur tubuh Liz, menyusuri lekuk tubuhnya. Aku merasakan birahi yang menggelegak, bergolak-golak dalam dadaku.

Aku memejamkan mata, melarutkan diri dalam nafsu yang gemuruh.

Sementara kipas angin di langit-langit berputar resah, seolah tidak sanggup mendinginkan udara yang memanas oleh nafas kami.

Pengap, tubuh kami membasah oleh peluh. Aku melumat bibir Liz, menghisapnya kuat kuat. Kami berpagutan sambil berpelukan di atas ranjang. Kami saling menghisap, lidah kami saling membelit dan membelai. Hangatnya, lembutnya, mungkin besok aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Resah itu begitu entah. Kami bergelung dan bergumul. Melumat dan menggeliat, memasrahkan semuanya kepada birahi belaka.

Sekarang Liz duduk di atas pangkuanku yang duduk bersila, ia melingkarkan pahanya di punggulku. Liz tersenyum, menciumi wajahku dengan emosional. Pingulnya bergerak-gerak, sehingga kejantananku menggesek di pangkal pahanya. Nafas Liz memburu di wajahku, wajahnya sudah merona merah. Liz menatap mataku dalam-dalam seolah menembus ke relung hatiku.

Kejantananku memasuki rahim Liz, seperti menjelajahi ruangan penuh kenangan yang misterius. Liz mendesis, saat batang keras bergesekan dengan dinding kewanitaannya yang basah sempurna.

Begitu.

Sempit....

Basah.....​

Hangat.....

Geli....

Ngilu...

Rindu.....

Pilu....


Semua membaur seperti seribu perasaan yang bergolak di hatiku.

Lampu berkedip pelan, memulaskan warna kuning ke sekujur tubuh Liz yang penuh keringat. Aku memandangi wajahnya yang sayu, seluruh lekuk tubuhnya yang dilelehi buliran peluh, sepasang buah dadanya yang menggantung indah.

Liz melepas ikat rambutnya, ia menggerakkan kepala, mengibaskan rambutnya di udara. Ia tampak begitu menawan. Liz memandangi mataku lekat-lekat. Kini rambutnya tergerai, menutupi pundaknya. Ia tersenyum, sebelum menggerakkan pinggulnya.

Liz memejamkan matanya khusyuk. Malam itu kami bersetubuh. Menyatukan dua tubuh yang berbeda, dua jiwa yang berbeda, menjadi satu. Membaurkan segala emosi dan segala kerinduan.

Aku mendekapnya erat, menciumi lehernya yang berkeringat. Emosional, Liz menggeliat, memejam penuh kenikmatan, menciumi wajahku. Pinggul Liz menandak-nandak, terkadang berputar, memilin kejantananku yang terjebak dalam liang basah yang dipenuhi keajaiban. Sensasi geli ini, pijatan dinding kewanitaan Liz, membuatku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Ada yang menggelegak, hendak meledak. Aku merasakan pinggulku bergerak diluar kesadaran.

Aku berteriak, kejantananku berkedut-kedut nikmat ketika benihku memancar deras di dalam rahimnya. Namun Liz terus memompa, seakan tidak peduli. Aku masih mengeras, mungkin untuk beberapa saat lagi. Liz tidak mau menyianyiakan kesempatan ini. Ia terus mengayun dan mengayun.

Ia mulai meracau penuh gairah, bersiap menyambut puncaknya. Wajahnya yang basah sudah merona merah, sayu, penuh dengan birahi. Mata Liz memejam, dicakarnya punggungku. Liz berteriak panjang.Dadanya membusung, punggungnya melengkung. Sesaat kemudian seluruh tubuhnya bergetar hebat, menggelinjang ke sana kemari.

Kepalaku terasa ringan, kami seperti ambruk ke atas ranjang, dengan gerakan Slow motion. Kipas angin berputar resah, mengiringi nafas kami yang terenggah. Aku memeluknya, membelai rambut Liz yang kini sudah memanjang.

Lama kami berpelukan, kami membiarkan angin yang berhembus dari kipas angin membelai tubuh kami yang telanjang.

"Jay, kamu tahu, aku nggak bisa berhenti sayang kamu.."

Aku mengecup kening Liz yang berkeringat. "Aku juga..."

"Tapi kamu harus janji satu hal..." Liz menarik nafas panjang. "Kamu.. jangan pernah ngecewain Senja..."

"Pasti," jawabku tegas.

Mata Liz tampak berbinar cerah. Liz tersenyum, namun kali ini bukan senyum yang dipaksakan.

"Kamu juga harus janji, Liz.. kamu harus bisa move on.."

"Pasti dong.. emang cowok cuma kamu doang haha... manis sih manis... cinta sih cinta... tapi kere hahahaha...."

"Hehe... Populasi cowok sekarang dikit lho, makanya anyak yang poligami.. kamu.. hehehehe.." Aku jadi membayangkan punya istri dua, win-win solution ultimate happy ending wkwkwkwk...

Aku berkata lagi, "Liz... Kamu mau..?"

"Poligami? Ogah!"

"Bukaaan! Kamu mau berapa ronde?"

Liz menutup wajahku dengan bantal. "Dasar cowok mesuuuuuum!!"

"Hahaha" Tawa kami berderai, seolah lupa akan perpisahan yang menanti.

"12 Rondeee!!!" Liz menjawab sambil tersenyum.

"What?! Patah perkakas ane nanti!!"

Malam itu kami bercinta, bercinta, dan bercinta seolah tidak ada hari esok. Berkali-kali Liz mengerang, merintih, memproklamirkan puncak gairah yang membahana....

= = = = = = = = = = = = = =​


Masih pagi dini hari, ketika BB-ku bergetar. Telepon dari bengkel, mobil kami sudah bisa digunakan. Aku mengecup pipi Liz yang terbaring di sampingku. Ia mengeliat malas, sambil tersenyum. Aku mengecup bibirnya.

"Yuk.. dah beres nie mobilnya"

"Mandi dulu?"

"Hehe.. boleh.."

Dingin air di pagi buta seolah menghapuskan rasa sakit selama ini. Rasa sakit karena kenangan dan rindu.

Aku membiarkan air membasuh tubuh Liz, membuatnya berkilat-kilat penuh titik air. Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Liz meletakkan tangannya di dadaku.

"You came a long.. just like a song..." aku menyanyikan lagu buat Liz.

"Hahaha lagu ini!!!" Liz tampak berbinar.

"Hehe, masih ingat?"

Liz mengangguk. Liz menoleh ke arahku dan tersenyum, kemudian ia menyandarkan kepalanya di dadaku, memelukku erat.

"You brighten my day..." sahutnya.

"You know I can‟t smile without you... I can't lough.. I can't sing.. I find it hard to do anything.." Kami bernyanyi sambil berdansa pelan. Berputar-putar di antara air keran yang menderu deras

You came along just like a song
And brighten my day
Who would have believed
that you where part of a dream?
Now it all seems light years away...


And now you know
I can't smile without you
I can't smile without you
I can't laugh and I can't sing
I'm finding it hard to do anything


You see I feel sad when your sad
I feel glad when you're glad
If you only knew what
I'm going through
I just can't smile


= = = = = = = = = = = =​


Fajar sudah menyingsing ketika kami melewati Tugu Muda ke arah barat. Mobil Grace menggunakan transmisi otomatis, sehingga aku bisa dengan leluasa menggenggam tangan Liz. Aku menggenggamnya erat, karena ini adalah saat-saat terakhirku bersamanya.

"Jay.." kata Liz saat mobil kami berhenti di Lampu merah.

"Apa?"

"Di depan sana udah rumahku.

"Oh.."

Begitu singkat kenangan kami.

"Liz, jangan pernah lupain aku.."

"Iya, kamu juga.."

Aku mengecupnya di bibir untuk terakhir kalinya. Manis bercampur getir pahit.

Lampu menyala hijau, tanda hidup harus terus berjalan.

= = = = = = = = = = = = = = = =

Hampir pukul 6 ketika kami tiba di rumah Liz, dan disambut oleh orang tuanya. Papa Liz tinggi besar, dan badannya penuh bulu lebat. Nyaliku langsung ciut melihatnya, namun sepertinya Papa Liz lebih takut kepadaku. Ia memandangku dengan takut-takut, karena kemarin malam Liz mengatakan bahwa aku suka cowok yang berbulu.

"Jaya, Oom," aku memperkenalkan diri.

Ayah Liz cepat-cepat menarik tangannya setelah bersalaman denganku.

"Jaya? Kok mirip kaya nama mantan pacarnya Liz?"

"Oh itu teman saya, Jaya Mahardika.. kalau saya Jaya Suporno." Aku berbohong dan pura-pura kemayu.

Liz menahan tawa dari kejauhan.

Ternyata penerbangan Liz ditunda sampai jam 3 Sore. Hari itu aku seharian berkumpul dengan keluarga Liz- yang seharusnya menjadi keluargaku- ah sudahlah tidak usah diungkit-ungkit lagi.

Sore itu, aku ikut mengantar Liz ke Bandara. Liz berpelukan dengan orangtuanya sambil menangis, aku terharu melihatnya, aku teringat ibuku yang menunggu di rumah.

Liz menoleh ke arahku, dan tersenyum. Senyumnya bukan lagi senyum kehilangan, namun senyum yang indah dan lega.

"Dah, Ajay...."

Aku mengangguk.

"Makasih ya Jay, makasih buat semua kenangan indah selama ini."

Perih.

Liz tersenyum. " tapi di Jogja menanti kenangan... bukan... masa depan yang lebih indah dari aku."

Liz benar.

Aku memeluknya erat. Orang tua Liz ikut terharu, mungkin mengira anaknya berpisah dengan sahabat gay-nya.

"I love You-"

"I love you." Bisik kami berbarengan.

Liz tersenyum dan berlalu di balik pintu otomatis.

Saat itu aku masih bisa tersenyum, saat Liz menghilang di balik kerumunan antrian orang di sana.

Aku baru menyadari pandanganku yang mengabur ketika mobil yang kukendarai melaju meninggalkan Semarang. Garis-garis pembatas jalan bergerak dengan cepat, resah seolah memberi isyarat kenangan yang tak akan kembali lagi

Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, menaiki Bukit Gombel yang gelisah diterpa matahari senja. Mobil yang kunaiki perlahan menjauh dari kota Semarang, menjauh dari semua kenangan bersama Liz.

Aku menyalakan radio, mengalun lagunya Utada Hikaru yang dinyanyikan ulang oleh Boyz II Men. Panorama senja di depanku membuatnya seperti ending sebuah film.

The last kiss we shared
tasted like our wine
Sweet and bitter like our memories
And I long for you
to come right back to me

Tomorrow the time
will be the same as today
Nothing goes on in my heart
except your memories
Where will you be
and who will you think of?

You were always gonna be my love
And you should know
Even if I fall in love with somebody else
I'll remember to love,
you taught me how
You're always going to be the one
And for now,
I'll still be singing this love song for
Somebody like you, my first love

Ini dia part yg nubi tunggu-tunggu. Demen bgt ane ngebayangin Liz buka ikat rambut :genit:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd