Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TRJBK NSTLG

Hohooo...thks updatenya suhu Jay. Ini tokoh ajay merepresentasikan suhu jay gk si ya ? Namanya mirip2 gitu....aha..hahaha
 
entah mungkin ada polesan lg ato mungkin sama, tapi kalo uwe baca yg ini sm yg -onoh, kok yg d sini lebih ngeh..
 
Met... met! Revisi kok bab 1. Hehe.

Kira-kira kalo slamet beradegan SS, heboh nggak oom?
 
Makasih suhu atas updatenya ..

Hehe..Akhirnya Slamet punya pacar...
 
semoga buaian senja bisa damai dalam pelukan, perasaan jadi ikut melon yah...
 
Kok ane cari gak ada ya gan? Wkwkwk apa Uda dihapus ya?
ada kok ane cari barusan ada, cari di kolom "search" terus bakal muncul di kategori story, atau cari aja di akun Jaya_Suporno
 

Gaudeamus igitur
Juvenes dum sumus.
Post jucundam
juventutem
Post molestam
senectutem


Nos habebit humus.
Ubi sunt qui ante nos
In mundo fuere?
Vadite ad superos
Transite
in inferos
Hos si vis videre.


Vita nostra brevis est
Brevi finietur.
Venit
mors velociter
Rapit
nos atrociter
Nemini
parcetur.


Bulu kudukku merinding mendengar lagu De Brevitate Vitae, lagu yang selalu dinyanyikan di acara wisuda itu.

Tak terasa sudah satu bulan berlalu sejak pertemuanku dengan Liz, sejak aku menghabiskan malam dalam hujan bersama Senja. Sejak saat itu begitu banyak peristiwa terjadi. Sampai hari ini, hari di mana aku dan mahasiswa lain sedang menjalani prosesi kelulusan di Auditorium Kampus kami.

"Para wisudawan dipersilahkan duduk." Kata pembawa acara, seusai lagu dinyanyikan.

Aku mengipas-ngipas dengan lembar susunan acara. Toga yang tebal itu membuatku kepanasan. Lama aku menunggu, sampai akhirnya namaku dipanggil.

"Adipati Jaya Mahardika!"

Aku maju ke podium dengan gagahnya. Menerima ijazah dan bersalaman dengan Pak Dekan. Aku nyengir kuda karena tahu bakal difoto.

Aku melirik ke barisan keluarga wisudawan, mencari-cari Bapak, Ibu, dan Adik-adikku. Namun tempat itu terlalu luas.

Mataku menjelajah lagi ke arah kerumunan orang yang menunggu di sana, berharap menemukan seseorang yang kuharapkan datang hari ini. Ah, harapanku terlalu muluk. Setelah apa yang terjadi, setelah segala hal yang kulakukan kepadanya, mustahil dia datang hari ini.

Aku menghela nafas panjang, sambil mendengarkan sambutan perwakilan mahasiswa yang ber IPK 3,99 itu.

Menjemukan.

Aku memejamkan mataku, menafsir-nafsir takdir, mengira-ngira jarak antara pertemuan dan perpisahan.

Menyakitkan.

Aku kembali tersesat ke dalam ruangan teater imajiner dalam pikiranku. Aku memandangi tumpukan roll film berisi kenanganku, kenangan terakhirku dengannya.

Aku mengambil sebuah roll film, dan memasangnya dalam proyektor imajiner. Perlahan gambaran yang penuh grain muncul dalam benakku.

Kenangan terakhir dengannya....

= = = = = = = = = = = = = = = = = =

Fragmen 15
Jogja, Au Revoir

Aku terpaku menatap layar proyektor imajiner, perlahan-lahan mengalun suara piano yang mendayu. Perlahan nampak gambaran tiang lampu jalan yang bergerak cepat di kiri dan kananku. Juga pemandangan jalan yang berkelok.

Imaji senja yang hampir tenggelam itu masih penuh grain. Sinar matahari di hadapanku membuat flare yang mencuat. sementara telingaku dipenuhi riuh suara kendaraan yang menderu.

Aku sedang memacu mobil di jalanan yang ramai. Di belakangku melaju truk barang, membunyikan klaksonnya hendak menyalipku.

"Jay, hati-hati! Jangan ngelamun! Di-bel tuh sama truk!" kata orang di sampingku.

Aku memasang sein kiri untuk memberikan kesempatan truk bertuliskan "pra one are you the end tought so peer" itu melintas. Matahari hampir tenggelam, posisinya begitu rendah di cakrawala.

Silau, aku menurunkan penghalang sinar yang ada didepanku. Saat ini aku duduk di belakang setir, mengemudikan mobil di jalan raya antar kota yang menghubungkan Yogyakarta-Magelang. Hujan yang turun semenjak siang hanya tinggal gerimis tipis. Wiper mobil bergerak pelan menghapus tetes air yang selalu menetes, seperti nostalgia.

"Maaf ya, jadi ngerepotin..." Ia mengikat rambutnya yang kini sudah memanjang sepundak.

"Ah, nggak apa-apa," kataku, sambil meliriknya.

Wajahnya sudah jauh berubah, lebih tegar, lebih dewasa.

"Senja nggak marah kamu nganter aku ke Semarang?"

"Kayanya, sih... kaya nggak tahu Senja aja, dia kan cemburuan..."

"Jiahkakakaka..." tawanya berderai masih seperti dulu. "Terus kamu bilang apa ke Senja?"

"Ponakanku di Korea sunatan, sekalian kumpul trah."

"Kroya! Emang kamu saudaranya Lee Dong Wuk?"

"Ye, Aku masih sodaraan sama Won Bin! Tahu."

"Jiahakaka! kamu masih aja tolol!"

"Hehe.." aku tersenyum kecut.

"Maaf ya, udah ngerepotin kamu, cuma gara-gara aku ketinggalan kereta."

Dari rincian di atas, sepertinya aku tidak perlu menjelaskan lagi siapa orang itu. Dia sekarang tampak berbeda, rambutnya kini sudah panjang sepundak dan diikat kebelakang, namun ia tetap mengenakan pakaian yang terkesan tomboi: celana jins belel, dan t-shirt putih ketat bertuliskan 'Skill is Dead!'.

Aku tahu ini memang salah. Aku tidak bisa menolak saat Grace tiba-tiba meminta tolong padaku untuk menggantikannya mengantar Liz ke Semarang.

Karena besok, pesawat yang hendak membawa Liz ke Papua via Denpasar sudah harus berangkat, padahal mereka terlambat naik kereta terakhir ke Semarang.

Aku tahu perbuatanku ini akan menemukan konsekuensi di kemudian hari. Toh aku tidak berselingkuh, aku hanya mengantar seorang teman, batinku memberi pembelaan. Aku merasa masih ada yang mengganjal di antara aku dan Liz, dan harus diselesaikan dengan segera agar semua bisa lega, setidaknya sebelum ia pergi jauh.

Aku kira hanya dengan cara inii aku dapat waktu lebih banyak untuk membicarakan itu. Namun sudah sepertiga perjalanan, lidahku seperti kelu. Setelah apa yang terjadi di antara kami, memang sulit untuk memulai pembicaraan.

Suasana semakin awkward. Aku berinisiatif menyalakan radio.

"Rasa cinta yang dulu tlah hilang / Kini bersemi kembali.. / Tlah kau coba, lupakan dirinya /Hapus cerita lalu.."

Anjrit! Lagunya Ada Band! Sahabatku Kekasihku! Kurang jancuk apa judulnya. Lagu ini membuat suasana semakin aneh. Aku mengganti stasiun radio.

"Memang salahku, yang tak pernah bisa / Meninggalkan dirinya tuk bersama kamu... // Walau tuk terus bersama, kan ada hati yang kan terluka / dan ku tahu, ku tak mau.."

Asu! Lagunya Ahmad Band. Liriknya membuatku salah tingkah. Aku mengganti saluran lagi.

"Mau dikatakan apa lagi, / Kita tak akan pernah satu, / Engkau di sana, aku di sini /Meski hatiku memilihmu..."

Aaaaargh! Aku tak kuat lagi, aku mematikan radio.

"La-lagunya aneh-aneh ya.." kataku, sambil nyengir garing.

Liz cuma tertawa kecil. "Music directornya lagi galau...."

"Wakakaka.... emang masih nge-trend yah galau?"

"Masih, lah."

Liz terdiam, ia menempelkan kepalanya di kaca samping, memandangi deretan pedagang arca batu yang berjajar di pinggir jalan Yogyakarta-Magelang. Suasana jadi tidak enak sodara-sodara.

Aku mencoba mencerahkan suasana. "Eh, ngomong-ngomong masih ingat nggak? Waktu aku ditelanjangin pas nginep rame-rame di rumah Grace?"

Liz cepat tersenyum. "Oh, inget dong... yang kamu coli sambil nonton bokep maho itu kan?"

"Itu bukan bokep maho! Itu film Brokeback Mountain! Film menang oscar! Heath Ledger dan Jake Gyllenhaal"

"Cie sampai apal sebegitunya."

"Hahaha asem! Gara-gara itu aku digosipin homo, suram."

"Hahaha, emang kamu dari dulu maho!" tawanya kembali berderai seperti biasa.

"Ye, daripada kamu transeksual!" balasku. "Eh,sudah ketemu KW belum? Dia sekarang Macho, lho!"

"Kenapa? Kamu naksir? Slamet kamu kemanain?" Liz nyengir jahil.

"Kampret. Oh, iya! Sekarang Slamet punya pacar hahaha..."

"Eh, Serius??!!" Liz membelalak tak percaya. "Dia nggak bilang waktu ketemu aku!!!! Jiahkakaka. Eh, tapi jangan bilang kalau pacarnya Slamet cowok."

Dan kami-pun tertawa-tawa mengingat masa lalu.

"Nyalain lagi radionya, Jay!"

Suara Monita Tahalea memenuhi kabin. Liz berdendang-dendang kecil. Aku menginjak gas dalam-dalam, menahan perasaan yang berkecamuk di dadaku. Di kejauhan perlahan-lahan senja tenggelam, berganti langit maghrib yang hitam kemerahan.

"Kita pernah ada di satu masa bersama / Walau kini tak sama, jangan lupakan indahnya //

Masih selalu ada / Cerita lama dan tawa // Masih tersimpan juga sedih saat kau tak ada //

Ingat dan teruslah kau kenang-kenang semua / Kata-kata tak perlu kau ucapkan juga // Asal kau terus kau simpan dalam sudut jiwa / Ku kan dapat merasakannya //

Ku percaya jalanan kita Semestinya membawa bahagia

= = = = = = = = = = = = = = = =​

Hari sudah malam, kami beristirahat di Magelang, kota di antara Yogyakarta - Semarang. Liz sedang asyik menikmati semangkuk soto ayam ketika hapeku bergetar: Senja Sayang. Segera aku memberi isyarat Liz untuk tutup mulut.

"Iiiih Jay.. jahat bangeeet.. nggak sms dari tadi sore."

"Ya elah, aku kan tadi nyetir, nggak bisa SMS."

"Nyetir? Kok nggak naik kereta?"

"Uum.. eh... iya.. naik mobil pakde ku.. sekalian nyetirin keluarga pakde ku yang dari Solo," aku berbohong (ya iyalah)

"Lho, kok aku nggak tahu kamu ada pakde diSolo?"

"Ummm eh... a-ada... N-namanya Pakde Suporno hehe... he... he... sodara jauh.. a-aku juga baru tahu.."

"Nggak peduli! lain kali kabar-kabarin dong... aku kan khawatir kamu kenapa-kenapa."

"Iya.. iya sayaaang."

"Huu.. udah sampai di mana?"

"Di Magelang.. eh."

kampret, kelepasan.

"Emang ke Kroya lewat Magelang?"

Buat yang nggak tahu jalan, aku jelasin kalau Magelang dan Semarang itu via jurusan utara dari Jogja, sedangkan Kroya itu jurusan ke barat ke arah Bandung-Jakarta.

"Uh.. eh.. maksudku lagi di Rumah Makan Magelang dekat Wates." Good recovery! Aku memang jenius.

"Jay, kangen nie.."

"Aku juga."

"Walau kita terpisah jauh, tapi hati kita kan selalu dekat, ai ai ai... ai ai ai.. aishiteru.."

"Eeeng... udah ya.. udah diajakin berangkat lagi."

"Eh iya.. hehe.. dah Ajay.. I love you mmuach!"

"I love you too.. mmmuach!"

= = = = = = = = = = = = =​

"Wakakaka... nggilani tenan kamu, Jay!" Tawa Liz pecah, anak itu terbahak sambil memukul-mukul meja.

"Hehe," aku tersenyum kecut sambil menggaruk-garuk kepalaku,

"Pake mmuach... mmuach... dulu sama aku aja nggak pakai gitu.."

"Kenapa? Nyesel?"

Liz langsung terdiam. ".... Nggak mau! Nggilani!! Hahaha!" Anak itu tertawa terbahak, namun aku tahu, tawanya yang terakhir tampak dipaksakan.

= = = = = = = = = = = = = =​

Kami melanjutkan perjalanan melewati lereng barat Gunung Merapi. Menaiki lereng gunung ke arah utara. Jalanan cukup lebar dan mulus, namun hari sudah gelap dan lampu penerangan jalan sebagian tidak menyala. Aku harus menyetir dengan hati-hati karena truk dan bus antarkota melaju kencang dari arah berlawanan.

"Jay.. ada nyium bau aneh ga?"

"Ane kentut, wah kecium ya."

Kepalaku dijitak, Liz membuka jendela.

"Eh, kok aku juga nyium.. kamu kentut ya?" kataku.

"Gundulmu!" Liz tambah mangkel.

"Lho? Eh? kok kaya bau kemenyan di bakar?"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, tahu-tahu asap sudah mengepul dari kap mobil Grace.

"Kyaaaaaaaaaa^^" kami berteriak seperti Coboy Junior kesetrum. Buru-buru aku menepikan mobil sambil membuka kap, sontak asap tebal membumbung.

Rupanya air radiator belum diisi, sehingga habis dan mesin kepanasan. Setelah asap mereda, aku memasukkan air mineral ke dalamnya.

Aku mencoba menstarter mobil. "Lho kok nggak mau ya?"

"Eh,, yang bener? Coba lagi, Jay." Liz agak panik

Aku mecoba lagi, malah terdengar suara ledakan.

"Kyaaaaaaaaaaa^^" aku menjerit histeris, namun manis.

"Udaaah, Jay! Jangan dicoba lagi, tar kenapa-kenapa!"

= = = = = = = = = = = = = = = = =​

Kami menelpon Grace, ia menanyakan posisi kami. Kata Grace di Ambarawa ada bengkel 24 Jam. Grace akan menelpon ke sana, sebentar lagi petugasnya akan datang ke tempat kami.

Kami menunggu. Di sekeliling kami tidak ada rumah penduduk, hanya ada hutan di lereng gunung merapi. Sementara di sisi kiri jalan ada lembah yang tajam.

Liz duduk di pembatas di tepi lembah. Tubuhnya diterpa lampu kendaraan berat yang melintas terburu. Aku duduk di sampingnya, menyalakan sebatang rokok. Musim itu seharusnya masih musim penghujan, namun segala kesedihan yang terkandung awan seolah sudah dicurahkan dalam hujan siang tadi, sehingga malam itu langit cerah tanpa awan. Rasanya seperti déjà vu.

Hening, terdengar laju kendaraan yang lewat sesekali, hingga akhirrnya Liz membuka suara.

"Aku mantan yang kampret ya, Jay."

"Emang."

"Kan udah kubilang dari awal kita temenan aja."

Hening lagi. Konvoi Klub Motor Harley lewat di depan kami.

"Kamu nyesel, pacaran sama aku?"

Aku nyengir kecut. "Kalo dipikir-pikir nyesel juga, sih, mana cidera hati nggak ditanggung BPJS, Liz," jawabku, jujur.

Liz ikut nyengir, terpaksa. "Tapi sekarang kamu udah dapet gantinya, kan?"

"Yah..."

"Senja baik banget, loh. Jangan dikecewain, yah... hehehe..."

Kami tak saling berkata-kata, karena yang diperlukan hanyalah keheningan belaka. Malam itu aku dan Liz memandangi langit yang tak berawan. Milyaran bintang berkelap-kelip dengan indah di tengah belantara semesta. Aku pernah mengira orang inilah yang ditakdirkan menjadi yang terakhir bagiku, tapi siapa kita sehingga merasa mampu mendahului takdir yang ditulis di balik langit. Mungkin memang begitu jalannya. Mungkin sejak awal kami tidak pernah ditakdirkan jadi satu. Aku dan Liz hanyalah sebutir debu yang tersesat di antara lorong-lorong takdir, diombang-ambing dalam lautan ketidakpastian.

"Banyak banget sebenernya yang aku pengin omongin sama kamu. Tapi kayanya udah telat banget, yah," kata Liz pelan.

"Sebelum kamu pergi. Aku cuma mau minta maaf kalau ada salah."

"Aku kali, yang sudah buat banyak salah sama kamu Jay, sorry...," Liz tersenyum getir.

"I-iya."

"Yang terakhir juga.. yang sama Bang Igo..."

Masih saja perih setiap mengingatnya.

Cepat aku menukas, "Iya, ah sudah lewat juga haha."

Liz tersenyum kecil dan mengalihkan pandangannya yang mulai berkca.

"Jay, kamu tahu? Waktu putus sama kamu yang bikin aku sedih bukan karena aku kehilangan pacar aku, tapi karena aku harus... kehilangan sahabat aku."

= = = = = = = = = = = = = =


"Namaku Eliza, panggil aja Liz." ia berbisik pelan, saat disuruh berjongkok di pojok bersamaku. Kami adalah satu-satunya mahasiswa baru yang dihukum karena terlambat hari itu, di hari pertama ospek.

"Oh, kalau aku Jaya." Bisikku tak kalah pelan. Karena di ujung sana, senior yang galaknya naudzubille itu sedang mencak-mencak, menceramahi teman-teman agar tak meniru kami.

"Jaya? Panjangnya apa?"

"J= Jay panggilannya, A=Asyik orangnya, Y=Yahud suaranya, A=Asoy geboy goyangannya.

= = = = = = = = = = = = = = =​

Ketika aku pertama kali bertemu dengan Liz.

Ketika Liz nangis-nangis gara-gara diputusin Bang Igo.

ketika kami pertama kali bercinta

Ketika aku menyadari telah jatuh cinta pada sahabatku, dan menyatakan cintaku secara awkward.

Ketika kami pertama kali berantem, dan baikan dengan mengaitkan kelingking, lucu.

Dalam sekejap kenanganku bersama Liz, yang kemarin malam sudah kukubur rapat-rapat, kembali muncul. Kenangan itu seperti air bah yang meruah, tanpa bisa kukendalikan lagi.

Semuanya mengalir deras seperti deru hujan yang tak berhenti turun, memerangkapku dalam sebuah ruang hampa, bernama nostalgia.

Kami seperti pagi dan senjakala yang selalu mengejar satu sama lain, namun tak juga bersua. Kami berpelukan di tengah kegelapan, dan kami hanyalah sepasang bayangan di tengah labirin takdir yang menyesatkan.

Ketika aku tersadar, tahu-tahu saja bibir kami sudah saling menempel. Tak sampai sedetik, karena Liz cepat mendorong tubuhku, dan memalingkan wajahnya yang berubah sendu.

"Jay... ini salah," bisiknya, nyaris tak bersuara.
 
Huhuhuhuhuu... Cerita cinta berlatar Jogja selalu sukses bikin aku Terjebak Nostalgia.
 
"jay ini salah" bisik liz hampir tak bersuara.

ekspresi gw : "vangsadh pas lagi seru nya di potong" hampir tak bersuara :lol::lol::lol:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd