Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TRJBK NSTLG

Masih penasaran with the future not with the past, ditunggu kelanjutannya suhu.

Btw makasih sudah update..
 
Baru sadar kalo si jay agak ga.. gagap...
Tapi urusan ranjang dah nggak gagap. Hehe...

Kayaknya seru oom kalo jay akhirnya gebuk-gebukan sama Kw.
 
jay klo ini cerita ga lanjut tak umpanin ke banci kaleng kaleng diar di culik, harus harus dan harus tamat:kretek:



btw mancjaaappp :adek::adek::adek:
 
tadinya cuma jd silent reader...setelah baca ni cerita jadi niat login

....josss om..teruske...
gelar tiker...
 
"Met, Met! Oi! Ya elah, dicurhatin malah bengong."

Slamet cuma nyengir, sibuk membolak-balik buku yang ia baca dari tadi sambil menunggu capcay pesanan kami matang.

Sudah jam 8 malam, namun hujan juga tak berhenti turun. Barusan anak-anak kost nitip minta dibelikan makan sama Slamet (yang konon nggak mempan masuk angin). Sebenarnya aku nggak tega anak itu di-bully terus-terusan, maka aku menemaninya.

Sekalian curhat.

"Curhat apa, Bro?"

"Senja..."

BB-ku bergetar. BBM dari Senja yang kutinggal di kost. "Laper... kangen"

Kubalas, =bentaaaaar."

"Met."

"Yo."

"Ane tadi ketemu Liz di kampus."

"Sudah ane duga," Ucap Slamet tanpa menoleh dari bukunya.

Slamet. Anak itu belum lulus, masih mengulang beberapa mata kuliah, sambil bolak-balik revisi Bab I Skripsi, namun kabar baiknya, sekarang Slamet punya pacar. Kalian tidak salah baca, SLAMET PUNYA PACAR, (kutulis dengan huruf besar, biar epic), anak semester 1, namanya Jihan... cocok sama-sama S dan J....

Ehem, Jihan itu orangnya manis, solehah dan rajin mengaji, cocok buat Slamet yang nggak neko-neko, namun masalahnya Jihan gemar membaca, beda jauh s ama Slamet yang terbelakang dalam hal sastra.

Nah, akibatnya seperti ini, Slamet jadi sering minjem novel-novelku, dibaca sebelum tidur, kadang-kadang diilerin.

"Tadi ane juga ketemu Liz." Ucap Slamet, sambil menutup bukunya. "Ane tebak." Slamet bergaya seperti paranormal. "Ente pasti keinget Liz, kan? Ente masih sayang sama Liz, kan? Jelas banget, Masbro! Persis seperti cerita di buku ini! Persis!"

"Tapi Senja..," ucapku dengan hampa, seiring pesanan kami yang datang.

"Lah, entenya gimana?"

Aku terdiam lama, sebelum mengutarakan unek-unekku selama ini, Liz yang selalu hidup di dalam ingatanku, dan Senja yang ada di dunia nyata dan jelas-jelas mencintaiku. Mau nggak mau hatiku harus memilih salah satu.

"Kalau dalam hati ente masih ada pertanyaan seperti itu, berarti ente nggak bener-bener tulis mencintai senja."

Aku tertegun, satu karena Slamet kini bertransformasi menjadi filsuf dadakan. Dua karena aku menyadari sesuatu:

Aku tidak bisa menyakiti Senja lebih jauh lagi.

= = = = = = = = = = = = = =

Fragmen 14
Hati Tak Pernah Memilih

Sampai Jam 9 malam hujan berkurang intensitasnya, hanya tinggal gerimis tipis yang menyelimuti kampung padat di utara kampus. Udara malam Jogja yang dingin menyelinap ke dalam kost-kostanku yang gelap, Listrik belum juga menyala. Kata KW, gardu di Jalan Kaliurang tersambar petir.

"Hujan, Ma... di Ringroad juga banjir. Senja nginep di kost Kania ya,," kata senja di telepon.

Nyala api lilin di sudut kamarku bergoyang-goyang di tiup angin yang beriup dari ventilasi. Sinarnya memulas wajah Senja dengan warna jingga. Wajah Senja tampak semakin imut berbicara di telpon dengan ibunya. Berulang kali pipinya yang lucu tampak cemberut saat membujuk ibunya agar diizinkan menginap.

"Gimana?" tanyaku. "Kalau nggak boleh, biar aku yang antar kamu pulang."

"Dikasih, hehe.." Wajah Senja berseri-seri.

Senja menggelendot di pelukanku. Aku membelai rambutnya, wajahnya sungguh innocent. Sungguh jahat aku, kalau sekedar menjadikannya pelampiasan cinta.

Mungkin itu yang dirasakan Liz dulu: yang menjadi alasan kenapa dia meninggalkanku. Dan kini, aku dihadapkan pada retorika yang sama.

"Aku sayaaaaang banget sama kamu, Jay.." kata Senja sambil memelukku. "Senja nggak nyesel. Karena Senja telah menyerahkan perawan Senja ke orang yang tepat, di saat yang istimewa."

Aku terdiam sebentar, "memang... saat yang istimewa itu..."

"Saat berdua sama orang yang Senja sayang, sementara di luar hujan turun.." ucap Senja dengan senyum merekah, dan pandangan yang semakin mengawang.

Aku terdiam, kadang perasaan cinta yang kita tahu tidak bisa membalasnya, malah menjadi beban yang berat.

"Jay... aku sayang kamu..."

"Aku... juga..."

Aku benar-benar sayang kepada Senja.

Entahlah, aku tidak tahu perasaanku. Aku begitu mencintai Senja, tapi semakin aku mencintainya, semakin aku merasa bersalah kepadanya....

Nyala lilin bergoyang dengan resah. Aku takut mengecewakan Senja, seperti yang Liz lakukan kepadaku dulu.

"Jay."

"Iya.."

"Kamu kan udah pendadaran, bulan depan udah wisuda kan?"

"Iya, akhirnya lulus juga haha.."

"Hehe.. kemarin papaku nanya, habis lulus mau ga kamu kerja di tempatnya?"

"Jadi apa? Jadi OB? Ogah!" jawabku setengah bercanda.

"Bukaaan... yah, memang nggak sesuai jurusan kita, sih, tapi kamu pasti suka."

"Apa?"

"Layouter."

"Oh, boleh tu haha."

"Iya,.. habis itu.. habis itu kita bisa."

Senja tidak melanjutkan kata-katanya, wajahnya tersipu. Aku tahu maksudnya.

Aku mengecup kening Senja, "Iya, sayang.." namun aku ragu, apakah aku bisa mempertanggungjawabkan kata-kataku barusan.

Wajah Senja berbinar-binar mendengarnya. Kemudian ia berceloteh tentang gaun pengantin yang akan dikenakannya, tentang rumah mungil yang indah, tentang berapa anak yang akan kami miliki.

Aku merasa Senja semakin mirip dengan seseorang pemimpi: aku. Sejenak aku merenung, menyadari lingkaran karma yang tak habis-habis. Dan pertanyaannya, sampai kapan?

= = = = = = = = = = = = = = = =​

Hujan yang beranjak reda dan awan yang mulai tersingkap menampakkan milyaran bintang yang serupa taburan pasir bercahaya di kubah langit yang berwarna hitam keunguan.

Kami duduk berdua di antara angin dingin yang menghembus dari lereng Merapi. Senja terbenam dalam swetaer kedodoran milikku, membiarkan tubuh mungilnya yang menggigil kudekap erat. Aku memandangi mata Senja lekat-lekat, meraih dagunya. Mata Senja terpejam, aku mengecup bibirnya. Lembut, sangat lembut.

Malam itu, aku dan Senja memandangi langit Jogja yang tak berawan. Milyaran bintang berkelap-kelip dengan indah dan kami bagaikan sepasang bayangan yang mengapung di luas jagad raya. Senja bersandar di pundakku, ia tersenyum. Indah, jauh lebih indah dari semua bintang itu. Aku menghela nafas, menyadari adegan demi adegan yang direka ulang.

"Jay, aku cinta kamu," Senja tiba-tiba berkata.

"Aku... juga..."

"Pengin deh, kayak gini terus," kata Senja

"Iya." Jawabku sambil tersenyum.

"Pengen deh, punya suami kaya kamu."

Aku tersenyum sinis pada permainan Sang Takdir. Dialog ini, aku yakin aku pernah mendengarnya, namun dengan pemeran yang berbeda.

Aku tertawa getir.

"Kenapa?"

"Kanu tahu? dulunya aku naif kaya kamu."

"Apa salahnya punya mimpi?" kata Senja agak sebal.

"Terbangun dari mimpi itu rasanya... "

Senja memotong perkataanku dengan jari yang ditempelkanya di bibirku....

Aku mengira Senja akan cemburu dan mengambek seperti biasanya. Tapi anak itu hanya tersenyum lembut mengecup keningku dan berbisik, "Sakit sekali, pasti. Aku tahu kok rasanya." Senja membelai rambutku, merebahkan kepalaku di atas pangkuannya.... "tapi lebih menyakitkan lagi ketika melihat orang yang aku sayang terus menderita karena masa lalu... sampai kapan kamu mau seperti ini, Jay...?"

Aku tersenyum pada permainan Sang Takdir. Dialog ini, aku yakin aku pernah mendengarnya, namun dengan pemeran yang berbeda.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Senja menginap di kostku Malam itu. Di bawah nyala lilin, kami memulai lagi sebuah percumbuan yaang ganas. Entah siapa yang memulai, tahu-tahu saja pakaian kami sudah berserakan di lantai.

Aku membuka laci plastik kecil di samping tempat tidurku, mengambil kondom –sisa dengan Liz dulu, hiks-

"Itu sisa-sisa dulu sama Liz kan?!"

"Umm.. memang kenapa?"

"Senja nggak mau pakai bekas-bekas Liz!"

"Tapi ini kan kondom baru! Belum dibuka!"

"Pokoknya nggak mau!" wajahnya yang imut tampak cemberut.

"N-nanti kalau kamu h-hamil g-gimana?"

"Kamu nikahin aku." Senja menjawab enteng, sambil tersenyum lucu.

Aaaaaaaarggghhhhh

Tidaaaaaaaaaak....

"I love you..." bisik Senja pasrah. Tangannya merentang, bersiap menyambut tubuh telanjangku yang menindihnya.

"I love you..." balasku, sambil mengarahkan kejantananku ke belahan kewanitaannya yang membuka, hingga perlahan Senja melengguh panjang, menikmati. Malam itu begitu dingin, namun aku merasakan hangat yang merayap di hatiku. Malam itu kami kembali bercinta dengan ganas, namun tidak lagi sosok Liz yang terlintas. Melainkan sosok Senja yang merintih dan menggelinjang.

Tubuhku menindih tubuh Senja, payudaranya yang montok terhenyak tertimpa tubuhku. Aku menggoyangkan pinggulku dengan bergairah, hingga kamarku di penuhi suara rintihan dan suara paha yang beradu.

Hujan sudah reda, dan menyisakan dingin yang menusuk kulit. Namun aku merasakan panas yang membara. Peluh membasahi tubuh kami yang telanjang, membuatnya berkilat kilat ditimpa cahaya lilin.

Senja hanya menurut ketika aku membalik tubuhnya, hingga sekarang dirinya terbaring di atas tubuhku. Wajah Senja sayu, menatapku malu-malu. Ia menggerakkan pinggulnya dengan canggung. Sedikit- sedikit penisku terlepas dari vagina-nya. Ia memasukkan lagi, namun terlepas lagi. Ah, mungkin posisi ini terlalu sulit. Pada percobaan ketiga barulah Senja bisa menunggangi tubuhku dengan lancar.

Senja mengerang sambil meremas payudaranya sendiri. Senja menunggangiku dengan liar. Pinggulnya bergerak dengan cepat di atas perutku. Payudaranya yang montok berguncang kencang seiring goyangannya.

"Jangan kenceng-kenceng ooh...tar aku keluar duluan.."

"Tahan Jay.. aku bentar lagi.. uuuuuuuumh.. ssssssssh..... Aaaaakkkkh...." Senja melenguh panjang. Wajahnya mengadah, punggungnya melenting-lenting sebelum ia ambruk di dadaku sambil terenggah.

Aku membalikkan lagi tubuhnya, dan langsung melumat bibirnya.

"H.. h.. h.. Kamu belum yah.." Senja tersenyum sambil terenggah.

"Bentar lagi paling hehe," bisikku lalu menciumi lehernya

Malam itu kami bercinta dengan sepuasnya. Aku menghujamkan penisku ke rahim Senja, sementara ia mendekapku erat. Suara erangan dan teriakan kami bergema ke seluruh ruangan. Tubuh telanjang kami sudah basah oleh keringat, bergesekan dengan liar di atas kasur.

"Sennjaa... aku sudah mau keluar.."

"Mmmmmmh.. . keluarin.... di dalem aja.. Jay..."

Kaki Senja mendekap pantatku, tidak memberikan kesempatan padaku untuk menarik pinggulku. Otot- otot dinding kewanitaannya berkedut kencang."

"Senjaa! Aku sayang kamu!"

"Aku juga, Jay!!"

Tubuhku bergerak di luar kesadaran. Senja menjerit, tubuhnya juga mengejang. Ia mendekapku erat-erat.

"Mmmh!" di saat-saat terakhir ia melumat bibirku.

Kepalaku terasa ringan. Untuk sesaat aku merasa waktu berjalan dalam slow motion. Aku bisa merasakan, tubuh kami mengejang bersama, pelan- sangat pelan. Suara nafas Senja seperti diputar dalam tempo yang lambat. Peluh yang menetes dari tubuh kami melayang pelan di udara, sebelum jatuh di atas kasur. Telingaku berdenging, sesaat aku tidak bisa mendengar apa-apa.

Perlahan lahan aku mulai bisa mendengar suara nafas kami yang tersengal, disusul suara Senja yang membisik manja di telinga.

Kami tergeletak kelelahan dengan nafas yang terengah.Senja merebahkan kepalanya di dadaku, memelukku erat. Aku membelai rambutnya, panjang sebahu, sangat berbeda dengan rambut pendek yang dulu kubelai. Sudahlah, Senja bukan Liz. Liz juga bukan Senja. Perlahan aku mulai berpikir tak ada gunanya terikat masa lalu, jika hanya akan membuat kita kehilangan masa depan.

= = = = = = = = = = = = = = = =​

"Jay.. aku nggak bisa bobok nie.." kata Senja.

"Aku juga.."

"Nyanyiin lagu dong, suaramu kan bagus."

De ja vu. Aku sudah muak dengan ini.

"Mau lagu apa? Iwak Peyek? Kucing Garong? Bukan Pengemis Cinta..? hehehe "

"Huu.. kalau gitu pilihan lagunya... aku aja yang nyanyi ya..." kata Senja.

Senja membelai rambutku, meninabobokanku. Ia mulai bersenandung.

Aku tidak bisa menjawab... belaian Senja mengusap kepalaku dengan sabar... malam semakin dingin... hingga akhirnya sayup-sayup aku menangkap suara yang mengalun merdu.... kudengar Senja mulai bersenandung.... pelan... lirih...

"I.. I'm a new day rising.. I'm the brand new sky that hangs the stars upon tonight..."

Anjrit! Di antara sekian juta lagu di dunia, kenapa Senja memilih lagu ini?!

"It's times like these you learn to live again...

It's times like these you give and give again...

It's times like these you learn to love again..."

Suara Senja mengalun merdu di dingin udara. Masuk kedalam lubang telingaku. Frekuensinya menggetarkan gendang telinga dan cochlea, kemudian dihantarkan sebagai impuls-impuls listrik ke sistim limbik-ku. Nyanyian itu, seperti pisau bedah yang membuka kenangan yang tersembunyi di korteks serebralku.

"Senja..." suaraku tertahan -menahan tangis-, bangkit dan duduk di sebelah Senja.

"Hehehe suaraku jelek yah?"

"Kenapa sih, kamu sayang banget sama aku?"

"Aku... nggak tahu... aku..." Senja tidak melanjutkan kalimatnya, ia hanya menggelendot lucu di dadaku.

Polos.

Dalam sepersekian detik muncul ingatan indahdengan Senja di otakku. Gambar-gambar itu bagaikan membentuk kolase foto dalam neuron-neuronku: Ada gambar saat pertama kali Senja curhat tentang KW, ada gambar saat aku menyatakan cintaku pada Senja. Ada Senja yang sedang menghiburku saat aku sedih, menyemangatiku mengerjakan skripsi yang kutinggalkan karena patah hati. Ada Senja yang membelikanku dasi untuk sidang skripsi, Senja yang tersenyum ceria dan berputar-putar mengellilingku.

Aku tak bisa kehilangan itu semua.

Tangisku pecah. Aku menangis dipelukan Senja. Senja bingung, ia hanya mengusap kepalaku dengan lembut. Hangat. Aku merasa aku sudah menyakiti Senja tanpa sepengetahuanya. Aku sudah seringkali menyakiti hati perempuan yang mencintaiku dengan tulus ini.

Malam itu, mimpiku yang biasanya kosong mulai terisi dengan beberapa imaji. Dari dalam kekosongan mimpi, mulai muncul panorama senja di Pantai Baron, kemudian muncul wajah Senja, ia tersenyum kepadaku. Sementara, sinar matahari di belakangnya membentuk garis-garis serupa sayap malaikat. Senja mengulurkan tangannya ke arahku, mengajakku berputar-putar di atas pasir. Senja tersenyum, matanya berputar lincah di atas pipinya yang bulat seperti mochi.

Indah.
 
Aduh kok berasa jadi peran Jay pas baca updetan ini :aduh:
Terima kasih atas updetannya suhu
 
Asik dpt bertamax di aman kan semoga kau bahagia sama senja ya hu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd