Jaya Suporno
Guru Besar Semprot
Fragmen 3
Malam Burjo Kelabu
Malam Burjo Kelabu
Sudah jam 3 dini hari ketika kami sampai di kost-an ku di daerah Kledokan, dekat Selokan Mataram. Saat memasukkan motor ke garasi, aku melihat motor Slamet di pojokan, dia sudah pulang rupanya.
"Jay... aku... di sini dulu... ya... boleh?"
Aku terdiam, perlu beberapa saat untuk mencernya permintaan Liz itu.
"Please?" katanya lagi.
"Yaudah, nanti aku tidur di kamar Slamet," ucapku sambil membukakan pintu kamar buat Liz.
Gelagapan, aku mengganti spreiku yang kotor dengan sprei baru. Menyemprotkan bayfresh untuk menghilangkan aroma sperma sisa coli tadi sore. Kemudian aku menuju kamar Slamet yang terletak persis di samping kamarku.
"Met... Slamet... masih bangun, nggak?" aku berkata sambil mengetuk. Slamet membuka pintu sambil mengucek matanya.
"Opo, Jay? wis ngantuk aku."
"Boleh bobok bareng, nggak?" sungguh, pemilihan kata yang salah sodara-sodara.
"Brak!" Slamet langsung menutup pintu dan menguncinya. "Jancuk! Ngapain kon, arep bobok bareng aku?!!!!" Ia berteriak dari dalam kamarnya, histeris. Sedikit overacting memang Si Slamet ini.
"Eh, enggak... nganu... boleh numpang tidur, nggak?"
"EMOH, CUK! Turu nang kamarmu dewe wae!!!!!"
(Waduh, nggak mungkin aku bilang di kamarku ada Liz, bisa panjang penjelasannya)
"Slamet... Slamet..." aku masih berusaha membujuk Slamet.
"Minggat, kon!" dia malah mengusirku.
"Slamet... Slamet sayang..." (lagi-lagi pemilihan kata yang salah sodara-sodara)
"Minggat, kon!!!!!! DASAR HOMO LAKNAT!" Slamet menjerit sambir menendang pintu.
= = = = = = = = = = = = = = = =
Aku kehilangan harapan.... hingga akhirnya aku kembali ke kamarku dengan putus asa. Liz masih di situ, meringkuk seperti anak kucing kedinginan di ranjangku, ranjang khas anak kost yang hanya kasur digeletakkan di lantai.
Slamet kenapa? kok pakai nendang pintu segala?" Liz berkata pelan.
"Ng-nggak tahu, deh... tu anak PMS, kali..."
"Hehehehe... terus kamu tidur di mana?"
"Hehehe," aku cuma nyengir sambil garuk-garuk kepala.
"Udah, di sini aja... toh ini juga kamarmu."
"Y-ya-yakin?"
"Haqqul Yakin..." kata Liz, sambil melempar bantal ke arahku.
Aku cukup tahu diri, aku tidur di lantai saja. Kebetulan kamarku dialasi dengan karpet plastik murahan, jadi tidak terlalu dingin. Lama kami saling diam. Wajahku jadi gerah, dan situasi makin awkward, maka aku berinisiatif menyalakan kipas angin.
"Cowok itu brengsek ya, Jay..." Liz berkata, memecah keheningan.
"Ya iyalah, makanya aku nggak suka sama cowok," jawabku.
Liz terkekeh pelan. "Kamu bisa aja."
"Tapi tetap aja digosipin homo, hidup suram."
"Iya... iya... maaf deh, Jay." Liz tertawa kecil. "Kecuali kamu... kamu enggak berengsek, kok..."
"Ya iya lah..."
"Iya... makanya aku berani tidur di sini... kalau sama cowok lain... tidur satu kamar sama cewek, pasti udah diapa-apain."
Dibilang seperti itu, aku cuma bisa nyengir bego. Nggak tega memang aku ngapa-ngapain sahabatku ini.
"Aku percaya sama kamu kok, Jay..." Liz terdiam sebentar. "Aku percaya... percaya kamu memang nggak suka sama cewek."
"Asu."
= = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Lama sudah aku tidur di sebelah Liz. Aku nggak tahu sudah jam berapa, yang pasti aku sama sekali nggak bisa memejamkan mata. Ternyata benar, tidur sekamar sama cewek bikin jantungku deg-deg-an nggak karuan. Lama aku memandangi langit-langit kamarku yang penuh sarang laba-laba.
"Jay."
"Apa?"
"Lum bobok?"
"Belum."
"Jay, boleh pinjam dada-mu, nggak?"
"Pinjam nggak boleh... sewa, dong... 1 jam 10 ribu..."
Tanpa menjawab, Liz tahu-tahu merebahkan kepalanya di dadaku, memelukku erat-erat. "Jay... huk... huk... huk...," tak lama ia mulai menangis di dadaku.
"Liz... eh? Ente nangis? Waduh, jangan nangis dong... ntar dikira ane ngapa-ngapain ente... Liz... udah... cup... cup.... cup..."
"Jay... aku sayang banget sama dia... tapi... tapi... ," tangisnya segera pecah. "Aku aja, Jay... yang mimpinya ketinggian...... aku kira... aku kira...."
Makin lama, tangisan itu terdengar semakin pilu, semakin menyakitkan. Malam itu, sekali lagi Liz menumpahkan segala kesedihannya. Dan aku, apa yang bisa orang bodoh ini lakukan selain menampungnya? Aku hanya bisa memeluk Liz erat-erat, ketika tubuhnya berguncang-guncang hebat dalam pelukanku.
.
.
My shattered dreams and broken heart
Are mending on the shelf
I saw you holding hands
Standing close to someone else
Now I sit all alone
Wishing all my feelings was gone
I gave my best to you
Nothing for me to do
But have one last cry...