Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT True Story sama Adek Cewek Gue Gan

Bimabet
Part 4

Aku mulai gunakan mulutku, diawali dengan lidahku untuk menyentug ujung putingnya, adikku kini terpekik sambil menatap wajahku. Tatapan matanya sayu.
"Mas" katanya tanpa arti..
Aku kembali sentuh dengan lidah puting payudaranya, terus menerus. Tiba-tiba tangannya yg sejak td menutup mulut atau mencengkeram seprai menjangkau kepalaku, aku sedikit terkejut, namun dia sepertinya menahan kepalaku agar tetap melumat dadanya.
ane ngebayangin ini kayanya gimana gitu hehe
up up page 19
 
Goyang lagi mang..:pantat:
Nunggu mlm datang..
Biar bs baca updatenya..
 
Part 9A


Kalau boleh jujur aku adalah orang yg tak terlalu suka dengan keramaian, aku bisa saja menggunakan alasan apapun untuk menghindari keramaian kalau alasan keramaian tersebut tidak penting buatku. Bahkan bila aku terpaksa ikut hadir ditengah keramaian maka aku akan mencari alasan atau melakukan apapun untuk menyingkir saat semua larut dalam keramaian tersebut. Aku lebih suka menyendiri, malah kadang aku bisa saja asik dalam kesendirianku. Tapi bukan berarti menjadikan aku orang yg sulit bergaul, baik d sekolah, rumah, kampus hingga kantor, orang-orang mengenalku sbg Arman yg supel & menyenangkan, mereka selalu bilang aku orangnya enak diajak ngobrol, bercanda bahkan gila-gilaan sekalipun. Berbeda 180 derajat dgn Hana, adikku satu-satunya ini tumbuh menjadi pribadi tertutup, cukup pendiam & tidak suka yg aneh-aneh.

Ibu ku pernah cerita perbedaan kami sejak kecil, dulu aku anak yg hyperaktif, berlari kesana kemari tak karuan, & tak pernah menolak digendong siapapun, sedang adikku selalu nyaman dalam gendongan ibu atau ayahku, dia pasti menangis ketakutan kalau digendong selain orangtua ku, bahkan pada kakek nenek, serta saudara2 kami adikku menolak. Pribadi adikku yg sangat kalem & pendiam ini membuatnya tak terlalu memilik banyak teman, bukan tidak punya tapi tidak sebanyak temanku tentu. Sejak dia kecil yg ku tau hanya dua sahabat dekat yg dia punya, Silvi & Metta, mereka tetangga kami satu RW berbeda RT. Tetapi dibalik sifat eksklusif & pendiamnya, adikku tumbuh menjadi anak yg sopan, santun, & membuat siapapun yg dekat dengannya pasti merasa segan dgn kepribadiannya, namun sayangnya aku harus mengakui bagi para pria kepribadian adikku ini menimbulkan rasa penasaran & rasa ingin tahu lebih jauh untuk memilikinya, ada hasrat untuk menggali lebih dalam tentangnya. Seandainya aku belum jatuh cinta pada keindahan tubuhnya, aku sendiri bingung disebelah mana daya tarik seperti tadi bisa muncul dari adikku ini. Mungkin suhu bisa menjelaskannya?


Aku merasakan belaian tangan pada pipiku sebelum akhirnya sebuah kecupan mendarat dibibirku. “Bangun mas, kata ibu temenin ke rumah Bu Vera” bisik adikku lembut ditelinga kiriku. Perlahan mataku terbuka, yg kulihat hanyalah punggung adikku yg berlalu dari pintu kamarku yg sudah terbuka, pasti ibuku menyuruhku membangukanku, jam menunjukan pukul setengah Sembilan pagi saat kulihat ponsel ku, semalam sepertinya aku lupa mengunci pintu kamarku, jadi pantas saja kecupan Hana tadi hanya sesaat, Sial!! kataku. Pagi ini aku memang berjanji pada ibuku untuk mengantarkannya ke rekanan bisnis butik beliau, bu Vera namanya.

Beliau adalah teman lama ibuku, semenjak ibu pindah k kota ini karena pernikahannya dgn ayah, bu Vera adalah orang yg banyak membantu ibu beradaptasi karena rumahnya tidak jauh dgn rumah kami. Namun semenjak bisnis baju muslimnya maju pesat, bu Vera sekeluarga pindah ke kawasan perumahan yg cukup elit dikota kami, itu terjadi waktu aku kelas satu SMP. Suami bu Vera sendiri adalah seorang anggota Polisi, Om Deden namanya, dan memiliki tiga orang anak, Hendi, Yunda perempuan satu-satunya, & Genta. Hendi & Yunda berbeda tiga tahun, Yunda lebih tua setahun dariku namun seangkatan dlm jenjang pendidikan, & Genta berbeda tujuh tahun dari Yunda. Aku cukup kenal mereka bertiga, selain karena dulu rumah kami berdekatan, waktu SMP aku & Hana cukup sering diajak ibu mampir ke rumah bu Vera. Tapi semenjak SMA aku mulai malas mengantar ibuku kemana-mana, hingga komunikasi ku benar-benar putus dgn keluarga beliau saat kuliah, jadi pagi ini adalah pertemuan kami lagi setelah sekitar delapan tahun. Lama juga ya. Hehehehe

“Ar, buruan kamu mandi, tuh Hana udah bikinin nasi goreng buat kamu sarapan. Ibu udah janji loh sama bu Vera, jgn kamu bikin telat” ibu sedikit membentakku yg masih melamun d atas kasur. “iya, sabar lah, rumah bu vera jg gak akan kemana-mana kok” kataku sedikit kesal dipaksa bangun. Ya, saat ini masih suasana libur lebaran, jadi aku sebenarnya ingin bebas bersantai ria dirumah.


“Mas!! Kok kamu pake kaos gitu?!! Ganti ah, pake kemeja kek!!” dengus ibuku ketika aku keluar kamar, “loh kenapa emangnya?” aku bertanya bingung.

“pokoknya gak, jangan pake kaos, dandan yg rapih!!” perintah ibuku dengan penuh kuasa.

“kita ini mau kondangan emang bu? Cuman maen toh?” aku coba membantah

“udah kamu dengerin omongan orang tua knp sih?!! Ganti baju sekarang sana!!!”

“emang kita disana mau ngapain sih bu? Nyambut pejabat?”

“susah amat sih kamu d atur Ar jadi anak, udah sana ganti baju!!!”

“hadeeeeh” aku mengeluh dalam hati, “apaan sih nih emak-emak, mau maen aja pake baju rapih2 segala” sungutku dalam hati, agak dongkol juga dgn perintahnya, terpaksa aku mengalah & kembali k kamar.


Perjalanan dari rumahku ke rumah bu vera sekitar setengah jam, aku menyetir mobil Inova ayahku dengan santai, sejujurnya aku masih agak ngantuk walau sudah kuseduh kopi sebelum berangkat tadi, yah hari libur seperti ini dipaksa bangun pagi, mata ku juga sadar bahwa tidur adalah kenikmatan yg luar biasa. Lalu lintas kota ku tidak semacet biasa karena masih suasana libur lebaran, jd aku tak perlu terburu-buru. Tak terasa sampailah kami di perumahan tempat bu Vera tinggal, komplek perumahan ini cukup nyaman asri, masih banyak tanah lapang namun tidak gersang karena banyak pepohonan, untung juga cuaca saat itu mendung-mendung sejuk.

Ibuku memencet bell rumah bu Vera, tak berapa lama sesosok wanita yg rambutnya ikal panjang dicat pirang, berkulit kuning langsat, mengenakan baju kaos lengan panjang warna merah marun serta celana jeans selutut menyambut kami ramah, lalu mempersilahkan kami masuk, tak perlu waktu lama buatku mengenalinya, meski terlihat lebih gemuk dari terakhir aku melihatnya, dia pasti bu Vera.

Aku hanya tersenyum melihat Ibu menyambut pelukan hangat bu Vera lalu bercipika-cipiki khas ibu-ibu, setelah aku mencium tangannya kami melangkah masuk.

“eeh arman udah besar yah sekarang, udah jd bujangan, gagah. Padahal dulu kurus loh” seloroh bu Vera melihat perubahan pada fisikku. “iya bu, ada perbaikan gizi dari yg dulu. Hehehehe” jawabku sambil bercanda.

Memang ketika SMP saat terakhir kali aku bermain ke rumahnya, aku bertubuh ceking tinggi, sekarang aku tubuhku cukup ideal, tidak atletis, tetapi tinggi & berisi, jadi wajar bu Vera cukup kaget melihat perubahan fisikku.

Setelelah mempersilahkan kami duduk disofa aku sempat memperhatikan keadaan rumah bu Vera, ada banyak sekali perubahan dibanding terakhir kali aku kesini. Dulu dihalaman rumahnya bu Vera memiliki seekor monyet, kandang burung besar yg isinya seekor elang, & kolam ikan, aku & Hana senang sekali memperhatikan hewan2 itu dulu karena ibu kami melarang kami memelihara binatang. Sekarang halaman tersebut hanya ada tanaman-tanaman hias yg rindang & menyejukan. Lalu keadaan dalam rumahnya juga banyak berubah, aku ingat catnya dulu berwarna krem terang, kini berwarna biru muda yg lucu & enak dipandang mata.

“Mana anak-anak sm Deden Ver?” kata ibu ku membuka obrolan

“Yunda sm Genta sih ada tuh d kamar, tapi kalo Hendi dia gak pulang masih ditengah laut” jawab bu vera. Kalo aa Deden dia lagi main tenis sm bapak2 komplek”

“kerja dimana kak Hendi bu?” aku bertanya penasaran

“naah ini, sombong sih jarang main kesini, jd gak tau apa-apa. Hehehe.. Hendi kerja dipengeboran minyak lepas pantai Ar, jadi pulangnya sekitar tiga bulan sekali.”

“oooh gitu” aku mengangguk mengerti “padahal sy pengen ketemu kak Hendi, udah lama ga ngobrol bareng. Hehe”

“eh mau pada minum apa? Ada sirup markisa dr Makasar mau? Kemaren om Deden bawa”

“apa ajalah Ver” jawab ibuku

“Ndaaaaaa, naaak bikinin sirup markisa nya sih tolong dua, sekalian panggilin Genta d kamar, ini loh ada bu Ida, masa kamu ga salam” Ida nama (samaran) ibuku.

“iyaaaaa maaah” teriak suara dari kamar. Aku dapat mengenali suara ini, Yunda, aku sedikit penasaran bagaimana rupa Yunda & Genta yg sekarang, pasti banyak berubah pikirku, sebenarnya aku kangen juga bercanda bareng mereka lagi seperti dulu. Biasanya aku bermain PS bareng Kak Hendi & Genta, sedang Hana & Yunda bermain Barbie bersama. Masa kecil yg benar-benar indah, aku senyum2 sendiri mengingatnya.

Tak berapa lama Yunda keluar dari ruang tengah, menyajikan dua gelas sirup berwarna kuning, terlihat menyegarkan buat ku, Genta mengikuti dibelakang kakaknya. Melihat Yunda yg sekarang membuatku agak terbelalak, dia terlihat jauh lebih manis dari terakhir kali aku melihatnya, kebetulan aku, adikku, & Yunda pernah satu SMP, & Yunda saat itu adalah cewek yg sejujurnya tidak menarik sama sekali, bertubuh kurus terbungkus kulit putihnya, badannya pendek kecil, apalagi sifatnya yg cerewet & galak, benar-benar bukan cewek yg menarik waktu itu. Kami tak pernah sekelas, & saat dirumahnya dulu pun kami tak sering saling bicara karena asik dengan mainan kami masing-masing.

Tapi Yunda yg kulihat sekarang adalah Yunda yg berbeda, kalau dulu dia kurus, sekarang tubuhnya padat berisi, pantat yg sintal terbungkus celana rumahan panjang, pipi chubby dalam balutan jilbab kuning yg panjangnya menutupi kedua payudara yg sekilas aku yakin ukurannya sama dgn Hana adikku, kulitnya kuning langsat seperti ibunya serta paras yg harus ku akui lebih mempesona dari Hana. Bila aku menilai adikku enam atau tujuh, maka untuk Yunda aku berani memberi nilai delapan, dia sungguh-sungguh berubah drastis dari terakhir kali aku melihatnya.

Sedang Genta masih kurus seperti dulu, tapi dia sudah hampir setinggi aku. kalau Yunda berwajah ibunya, maka Genta adalah duplikat sempurna om Deden, tapi aku melihat dia masih agak baby face, wajahnya tak banyak berubah dari saat kami kecil dulu, apa karena dia anak bungsu ya. Bu Vera pun mengajak mereka berdua duduk diruang tamu bersama kami.

“ka Arman, apa kabar? Udah lama gak ketemu ya?” Genta tersenyum menyapa sambil menyalamiku “Baik Ta, wah kamu udah jd mahasiswa ya sekarang, kuliah dimana?” aku bertanya sambil balas menyalaminya “di jogja kak, sy ngambil teknik mesin” balas Genta.

“ooh, keren banget” kataku sambil mengangkat jempolku, sebelum aku mengalihkan pandanganku ke Yunda, dia mengangguk padaku sambil tersenyum, aku jadi kikuk sendiri, dulu kami sudah jarang bicara, sekarang harus mencari obrolan yg mencairkan kekakuan kami.

“eekhmm… kalo kabar lu gmn Nda? Udah gawe dmn skrg?” aku memulai obrolan.

“sehat gw Ar” dia membalasku sambil tersenyum, tapi matanya menatap ke serbet meja tamu sambil memainkan jari-jari tangannya sendiri, “sekarang gawe d Bank gw”.
Yunda memang membalas pertanyaanku, tapi aku menangkap nada canggung dari kata-katanya, bahkan terlihat agak enggan berada disitu.

“Lu kuliah dimana sih Nda? Kan kita udah lama banget ga ketemu nih. Hehehe” aku bertanya lagi dgn nada serenyah mungkin, berharap Yunda bisa mencairkan dirinya
“gw kuliah di jogja jg Ar, sama kaya Genta” masih dgn nada yg kaku. Yang membuat aku bingung adalah gelagat ibuku & bu Vera yg hanya memperhatikan kami tanpa mencoba membantuku mencairkan suasana, bukankah harusnya ibu-ibu ikut nimbrung kalau memperkenalkan anak masing-masing yg sudah lama tak bertemu?

Walau sebenarnya aku masih bertanya-tanya ada apa dgn Yunda yg kupikir dia sedang dilanda masalah personal, ditambah gelagat aneh dari ibu serta bu Vera, aku mencoba keluar dari suasana ini dgn bertanya konsol game apa yg Genta punya lalu mencoba mengajaknya main bareng seperti dulu, dgn demikian aku bisa membiarkan ibu & bu vera ngobrol ngalor ngidul, serta Yunda bs balik kekamarnya hingga menyelamatkan kami dari kecanggungan tadi. Namun semuanya tak berjalan sesuai keinginanku, ketika aku bertanya pada Genta dia hanya nyengir sambil menjawab “eeee, sebenernya aku pingin sih ngajak ka Arman main, tapi sorry kak, aku mau pergi, udah janji sama temen2 aku”

Aku jadi lemas menerima jawaban Genta, “ooh gitu, yaah sayang banget, padahal udah kangen kita maen game kaya dulu sama ka Hendi. Hehehehehe” aku mencoba senyum walau tak bisa kusembunyikan kekecewaanku. Tak berapa lama Genta pun minta diri, meninggalkan aku, ibu, Bu vera serta Yunda.

Selepas kepergian Genta, bu Vera langsung mengusir aku & Yunda, serta meminta Yunda menemaniku ngobrol dihalaman belakang “Nda, kamu ajak Arman ngobrol dulu sana, mamah sm tante Ida ada yg mau diobrolin, penting! Sanah!!” nada bicara perintah penuh kuasa mirip seperti ibuku.

Waduuh!! Apa mereka tidak menangkap rasa canggung d antara aku & Yunda? Lagipula aku bingung, Yunda yg aku kenal dulu adalah cewek cerewet & banyak bicara, knp sekarang dia jd wanita kaku begini? Aku tak habis pikir sama sekali, yah minimal kalau aku ajak bicara dia menjawab dengan nada yg ramah kek.

Dengan malas, Yunda berdiri menuju ke halaman belakang, aku masih terpaku pada tempatku, benar-benar enggan untuk bangkit, sebelum di usir paksa oleh ibuku

“udah Ar sana sama Yunda dulu, ibu kan mau ngobrol penting sama bu Vera”

“Ar disini aja deh, malu lah ngobrol berduaan doang sama cewek Bu” aku mencoba menolak

“loooh knp harus malu Ar, dia kan temen kamu jg dulu, kalian udah lama kenal pula, kan bisa ngobrolin waktu kalian kecil dulu. Hehehe.. udah sana Ar, bawa aja minumnya, ada gazebo kok disana, kamu bisa santai” kali ini bu Vera yg memaksaku..

Sambil kuraih sirup markisa ku, aku melangkah gontai ke halaman belakang, Yunda sudah duduk ditepi gazebo, walau dari jauh dapat kulihat wajahnya dingin, bahkan aku berani bilang dia terlihat nerveus, yaah aku sepertinya bisa paham sih, ngobrol berdua dgn orang yg belum klop, siapa yg tidak begitu.

Halaman belakang bu Vera juga jauh berbeda dari waktu aku kecil, dulu pagarnya bambu, halamannya tanah lapang yg sering dijadikan tempat main bola anak-anak diperumahan ini. Namun sekarang pagar tembok tinggi, dipenuhi rumput serta dua pohon palem, & sebatang pohon mangga yg rindang. Aku bahkan sempat melihat beberapa kelinci abu-abu melompat-lompat dihalaman belakang ini, pasti punya Yunda pikirku.

Aku menyusul Yunda, ikut duduk ditepi gazebo. “waah lapangan bola nya udah di gusur ya Nda? Jadi enak gini sekarang” kataku memulai obrolan, masih mencoba mencairkan suasana

“iya Ar, papaku yg ngerubahnya” Jawabnya singkat, mata Yunda menatap langit. Aku benar-benar benci keadaan ini, & kalau sudah begini aku lebih suka to the point, jadi aku mencoba jujur.

“dari td waktu diruang tamu gw liat lu aneh Nda, sorry ya lu kaya males nemuin gw sama nyokap gw. Senyum lu kecut banget tadi pas disana. Lu kenapa sih Nda? Ada masalah?”

Bukannya menjawab Yunda malah menatapku tajam “Jadi maksud lu, lu setuju sama rencana nyokap-nyokap kita Ar?” kali ini dia berbicara serius, tapi nadanya tetap tenang.

“rencana? Maksud lu apa Nda? Gak ngerti gw”

“jadi nyokap lu belum cerita sama lu Ar?”

“belum, tentang apaan sih emang? Apa tentang bisnis mereka berdua mau disatuin terus lu jadi direktur terus gw wakilnya? Yah gw sih gak masalah kok. Hehehe” kataku masih sempat bercanda, namun yg kudapat malah tatapan mencela dari Yunda, mau tak mau senyum ku hilang.

Yunda menarik nafas panjang, sebelum dia berdiri, lalu kembali menatapku yg masih duduk d gazebo
“jadi emang lu belum tahu yah Ar…” katanya sambil mengangkat seekor kelinci yg ternyata ada dibawah kaki gazebo sejak tadi,lalu menggendong & membelai-belainya.

“Nyokap kita… mau ngejodohin kita Ar”


TBC.. (tu bi kontinyu)
Apdet besok malem, semoga masih semangat ngikutin cerita hidup ane yg hina ini..
 
Terakhir diubah:
Part 9A


Kalau boleh jujur aku adalah orang yg tak terlalu suka dengan keramaian, aku bisa saja menggunakan alasan apapun untuk menghindari keramaian kalau alasan keramaian tersebut tidak penting buatku. Bahkan bila aku terpaksa ikut hadir ditengah keramaian maka aku akan mencari alasan atau melakukan apapun untuk menyingkir saat semua larut dalam keramaian tersebut. Aku lebih suka menyendiri, malah kadang aku bisa saja asik dalam kesendirianku. Tapi bukan berarti menjadikan aku orang yg sulit bergaul, baik d sekolah, rumah, kampus hingga kantor, orang-orang mengenalku sbg Arman yg supel & menyenangkan, mereka selalu bilang aku orangnya enak diajak ngobrol, bercanda bahkan gila-gilaan sekalipun. Berbeda 180 derajat dgn Hana, adikku satu-satunya ini tumbuh menjadi pribadi tertutup, cukup pendiam & tidak suka yg aneh-aneh.

Ibu ku pernah cerita perbedaan kami sejak kecil, dulu aku anak yg hyperaktif, berlari kesana kemari tak karuan, & tak pernah menolak digendong siapapun, sedang adikku selalu nyaman dalam gendongan ibu atau ayahku, dia pasti menangis ketakutan kalau digendong selain orangtua ku, bahkan pada kakek nenek, serta saudara2 kami adikku menolak. Pribadi adikku yg sangat kalem & pendiam ini membuatnya tak terlalu memilik banyak teman, bukan tidak punya tapi tidak sebanyak temanku tentu. Sejak dia kecil hanya ku tau dua sahabat dekat yg dia punya, Silvi & Metta, mereka tetangga kami satu RW berbeda RT. Tetapi dibalik sifat eksklusif & pendiamnya, adikku tumbuh menjadi anak yg sopan, santun, & membuat siapapun yg dekat dengannya pasti merasa segan dgn kepribadiannya, namun sayangnya aku harus mengakui bagi para pria kepribadian adikku ini menimbulkan rasa penasaran & rasa ingin tahu lebih jauh untuk memilikinya, ada hasrat untuk menggali lebih dalam tentangnya. Seandainya aku belum jatuh cinta pada keindahan tubuhnya, aku sendiri bingung disebelah mana daya tarik seperti tadi bisa muncul dari adikku ini. Mungkin suhu bisa menjelaskannya?


Aku merasakan belaian tangan pada pipiku sebelum akhirnya sebuah kecupan mendarat dibibirku. “Bangun mas, kata ibu temenin ke rumah Bu Vera” bisik adikku lembut ditelinga kiriku. Perlahan mataku terbuka, yg kulihat hanyalah punggung adikku yg berlalu dari pintu kamarku yg sudah terbuka, pasti ibuku menyuruhku membangukanku, jam menunjukan pukul setengah Sembilan pagi saat kulihat ponsel ku, semalam sepertinya aku lupa mengunci pintu kamarku, jadi pantas saja kecupan Hana tadi hanya sesaat, Sial!! kataku. Pagi ini aku memang berjanji pada ibuku untuk mengantarkannya ke rekanan bisnis butik beliau, bu Vera namanya.

Beliau adalah teman lama ibuku, semenjak ibu pindah k kota ini karena pernikahannya dgn ayah, bu Vera adalah orang yg banyak membantu ibu beradaptasi karena rumahnya tidak jauh dgn rumah kami. Namun semenjak bisnis baju muslimnya maju pesat, bu Vera sekeluarga pindah ke kawasan perumahan yg cukup elit dikota kami, itu terjadi waktu aku kelas satu SMP. Suami bu Vera sendiri adalah seorang anggota Polisi, Om Deden namanya, dan memiliki tiga orang anak, Hendi, Yunda perempuan satu-satunya, & Genta. Hendi & Yunda berbeda tiga tahun, Yunda lebih tua setahun dariku namun seangkatan dlm jenjang pendidikan, & Genta berbeda tujuh tahun dari Yunda. Aku cukup kenal mereka bertiga, selain karena dulu rumah kami berdekatan, waktu aku & Hana cukup sering diajak ibu mampir ke rumah bu Vera. Tapi semenjak SMA aku mulai malas mengantar ibuku kemana-mana, hingga komunikasi ku benar-benar putus dgn keluarga beliau saat kuliah, jadi pagi ini adalah pertemuan kami lagi setelah sekitar delapan tahun. Lama juga ya. Hehehehe

“Ar, buruan kamu mandi, tuh Hana udah bikinin nasi goreng buat kamu sarapan. Ibu udah janji loh sama bu Vera, jgn kamu bikin telat” ibu sedikit membentakku yg masih melamun d atas kasur. “iya, sabar lah, rumah bu vera jg gak akan kemana-mana kok” kataku sedikit kesal dipaksa bangun. Ya, saat ini masih suasana libur lebaran, jadi aku sebenarnya ingin bebas bersantai ria dirumah.


“Mas!! Kok kamu pake kaos gitu?!! Ganti ah, pake kemeja kek!!” dengus ibuku ketika aku keluar kamar, “loh kenapa emangnya?” aku bertanya bingung.

“pokoknya gak, jangan pake kaos, dandan yg rapih!!” perintah ibuku dengan penuh kuasa.

“kita ini mau kondangan emang bu? Cuman maen toh?” aku coba membantah

“udah kamu dengerin omongan orang tua knp sih?!! Ganti baju sekarang sana!!!”

“emang kita disana mau ngapain sih bu? Nyambut pejabat?”

“susah amat sih kamu d atur Ar jadi anak, udah sana ganti baju!!!”

“hadeeeeh” aku mengeluh dalam hati, “apaan sih nih emak-emak, mau maen aja pake baju rapih2 segala” sungutku dalam hati, agak dongkol juga dgn perintahnya, terpaksa aku mengalah & kembali k kamar.


Perjalanan dari rumahku ke rumah bu vera sekitar setengah jam, aku menyetir mobil Inova ayahku dengan santai, sejujurnya aku masih agak ngantuk walau sudah kuseduh kopi sebelum berangkat tadi, yah hari libur seperti ini dipaksa bangun pagi, mata ku juga sadar bahwa tidur adalah kenikmatan yg luar biasa. Lalu lintas kota ku tidak semacet biasa karena masih suasana libur lebaran, jd aku tak perlu terburu-buru. Tak terasa sampailah kami di perumahan tempat bu Vera tinggal, komplek perumahan ini cukup nyaman asri, masih banyak tanah lapang namun tidak gersang karena banyak pepohonan, untung juga cuaca saat itu mendung-mendung sejuk.

Ibuku memencet bell rumah bu Vera, tak berapa lama sesosok wanita yg rambutnya ikal panjang dicat pirang, berkulit kuning langsat, mengenakan baju kaos lengan panjang warna merah marun serta celana jeans selutut menyambut kami ramah, lalu mempersilahkan kami masuk, tak perlu waktu lama buatku mengenalinya, meski terlihat lebih gemuk dari terakhir aku melihatnya, dia pasti bu Vera.

Aku hanya tersenyum melihat Ibu menyambut pelukan hangat bu Vera lalu bercipika-cipiki khas ibu-ibu, setelah aku mencium tangannya kami melangkah masuk.

“eeh arman udah besar yah sekarang, udah jd bujangan, gagah. Padahal dulu kurus loh” seloroh bu Vera melihat perubahan pada fisikku. “iya bu, ada perbaikan gizi dari yg dulu. Hehehehe” jawabku sambil bercanda.

Memang ketika SMP saat terakhir kali aku bermain ke rumahnya, aku bertubuh ceking tinggi, sekarang aku tubuhku cukup ideal, tidak atletis, tetapi tinggi & berisi, jadi wajar bu Vera cukup kaget melihat perubahan fisikku.

Setelelah mempersilahkan kami duduk disofa aku sempat memperhatikan keadaan rumah bu Vera, ada banyak sekali perubahan dibanding terakhir kali aku kesini. Dulu dihalaman rumahnya bu Vera memiliki seekor monyet, kandang burung besar yg isinya seekor elang, & kolam ikan, aku & Hana senang sekali memperhatikan hewan2 itu dulu karena ibu kami melarang kami memelihara binatang. Sekarang halaman tersebut hanya ada tanaman-tanaman hias yg rindang & menyejukan. Lalu keadaan dalam rumahnya juga banyak berubah, aku ingat catnya dulu berwarna krem terang, kini berwarna biru muda yg lucu & enak dipandang mata.

“Mana anak-anak sm Deden Ver?” kata ibu ku membuka obrolan

“Yunda sm Genta sih ada tuh d kamar, tapi kalo Hendi dia gak pulang masih ditengah laut” jawab bu vera. Kalo aa Deden dia lagi main tenis sm bapak2 komplek”

“kerja dimana kak Hendi bu?” aku bertanya penasaran

“naah ini, sombong sih jarang main kesini, jd gak tau apa-apa. Hehehe.. Hendi kerja dipengeboran minyak lepas pantai Ar, jadi pulangnya sekitar tiga bulan sekali.”

“oooh gitu” aku mengangguk mengerti “padahal sy pengen ketemu kak Hendi, udah lama ga ngobrol bareng. Hehe”

“eh mau pada minum apa? Ada sirup markisa dr Makasar mau? Kemaren om Deden bawa”

“apa ajalah Ver” jawab ibuku

“Ndaaaaaa, naaak bikinin sirup markisa nya sih tolong dua, sekalian panggilin Genta d kamar, ini loh ada bu Ida, masa kamu ga salam” Ida nama (samaran) ibuku.

“iyaaaaa maaah” teriak suara dari kamar. Aku dapat mengenali suara ini, Yunda, aku sedikit penasaran bagaimana rupa Yunda & Genta yg sekarang, pasti banyak berubah pikirku, sebenarnya aku kangen juga bercanda bareng mereka lagi seperti dulu. Biasanya aku bermain PS bareng Kak Hendi & Genta, sedang Hana & Yunda bermain Barbie bersama. Masa kecil yg benar-benar indah, aku senyum2 sendiri mengingatnya.

Tak berapa lama Yunda keluar dari ruang tengah, menyajikan dua gelas sirup berwarna kuning, terlihat menyegarkan buat ku, Genta mengikuti dibelakang kakaknya. Melihat Yunda yg sekarang membuatku agak terbelalak, dia terlihat jauh lebih manis dari terakhir kali aku melihatnya, kebetulan aku, adikku, & Yunda pernah satu SMP, & Yunda saat itu adalah cewek yg sejujurnya tidak menarik sama sekali, bertubuh kurus terbungkus kulit putihnya, badannya pendek kecil, apalagi sifatnya yg cerewet & galak, benar-benar bukan cewek yg menarik waktu itu. Kami tak pernah sekelas, & saat dirumahnya dulu pun kami tak sering saling bicara karena asik dengan mainan kami masing-masing.

Tapi Yunda yg kulihat sekarang adalah Yunda yg berbeda, kalau dulu dia kurus, sekarang aku tak bisa bohong kalau tubuhnya padat berisi, pantat yg sintal terbungkus celana rumahan panjang, pipi chubby dalam balutan jilbab kuning menutupi kedua payudara yg sekilas aku yakin ukurannya sama dgn Hana adikku, kulitnya kuning langsat seperti ibunya serta paras yg harus ku akui lebih mempesona dari Hana. Bila aku menilai adikku enam atau tujuh, maka untuk Yunda aku berani memberi nilai delapan, dia sungguh-sungguh berubah drastis dari terakhir kali aku melihatnya.

Sedang Genta masih kurus seperti dulu, tapi dia sudah hampir setinggi aku. kalau Yunda berwajah ibunya, maka Genta adalah duplikat sempurna om Deden, tapi aku melihat dia masih agak baby face, wajahnya tak banyak berubah dari saat kami kecil dulu, apa karena dia anak bungsu ya. Bu Vera pun mengajak mereka berdua duduk diruang tamu bersama kami.

“ka Arman, apa kabar? Udah lama gak ketemu ya?” Genta tersenyum menyapa sambil menyalamiku “Baik Ta, wah kamu udah jd mahasiswa ya sekarang, kuliah dimana?” aku bertanya sambil balas menyalaminya “di jogja kak, sy ngambil teknik mesin” balas Genta.

“ooh, keren banget” kataku sambil mengangkat jempolku, sebelum aku mengalihkan pandanganku ke Yunda, dia mengangguk padaku sambil tersenyum, aku jadi kikuk sendiri, dulu kami sudah jarang bicara, sekarang harus mencari obrolan yg mencairkan kekakuan kami.

“eekhmm… kalo kabar lu gmn Nda? Udah gawe dmn skrg?” aku memulai obrolan.

“sehat gw Ar” dia membalasku sambil tersenyum, tapi matanya menatap ke serbet meja tamu sambil memainkan jari-jari tangannya sendiri, “sekarang gawe d Bank gw”. Yunda memang membalas pertanyaanku, tapi aku menangkap nada canggung dari kata-katanya, bahkan terlihat agak enggan berada disitu.

“Lu kuliah dimana sih Nda? Kan kita udah lama banget ga ketemu nih. Hehehe” aku bertanya lagi dgn nada serenyah mungkin, berharap Yunda bisa mencairkan dirinya

“gw kuliah di jogja jg Ar, sama kaya Genta” masih dgn nada yg kaku. Yang membuat aku bingung adalah gelagat ibu & bu Vera, seperti hanya memperhatikan kami tanpa mencoba membantuku mencairkan suasana, bukankah harusnya ibu-ibu ikut nimbrung kalau memperkenalkan anak masing-masing yg sudah lama tak bertemu?

Walau sebenarnya aku masih bertanya-tanya ada apa dgn Yunda yg kupikir dia sedang dilanda masalah personal, ditambah gelagat aneh dari ibu serta bu Vera, aku mencoba keluar dari suasana ini dgn bertanya konsol game apa yg Genta punya lalu mencoba mengajaknya main bareng seperti dulu, dgn demikian aku bisa membiarkan ibu & bu vera ngobrol ngalor ngidul, serta Yunda kembali pergi dari kecanggungan tadi. Namun semuanya tak berjalan sesuai keinginanku, ketika aku bertanya pada Genta dia hanya nyengir sambil menjawab “eeee, sebenernya aku pingin sih ngajak ka Arman main, tapi sorry kak, aku mau pergi, udah janji sama temen2 aku”

Aku jadi lemas menerima jawaban Genta, “ooh gitu, yaah sayang banget, padahal udah kangen kita maen game kaya dulu sama ka Hendi. Hehehehehe” aku mencoba senyum walau tak bisa kusembunyikan kekecewaanku. Tak berapa lama Genta pun minta diri, meninggalkan aku, ibu, Bu vera serta Yunda.

Selepas kepergian Genta, bu Vera langsung mengusir aku & Yunda, serta meminta Yunda menemaniku ngobrol dihalaman belakang “Nda, kamu ajak Arman ngobrol dulu sana, mamah sm tante Ida ada yg mau diobrolin, penting! Sanah!!” nada bicara perintah penuh kuasa mirip seperti ibuku.

Waduuh!! Apa mereka tidak menangkap rasa canggung d antara aku & Yunda? Lagipula aku bingung, Yunda yg aku kenal dulu adalah cewek cerewet & banyak bicara, knp sekarang dia jd wanita kaku begini? Aku tak habis pikir sama sekali, yah minimal kalau aku ajak bicara dia menjawab dengan nada yg ramah kek.

Dengan malas, Yunda berdiri menuju ke halaman belakang, aku masih terpaku pada tempatku, benar-benar enggan untuk bangkit, sebelum di usir paksa oleh ibuku

“udah Ar sana sama Yunda dulu, ibu kan mau ngobrol penting sama bu Vera”

“Ar disini aja deh, malu lah ngobrol berduaan doang sam cewek Bu” aku mencoba menolak

“loooh knp harus malu Ar, dia kan temen kamu jg dulu, kalian udah lama kenal pula, kan bisa ngobrolin waktu kalian kecil dulu. Hehehe.. udah sana Ar, bawa aja minumnya, ada gazebo kok disana, kamu bisa santai” kali ini bu Vera yg memaksaku..

Sambil kuraih sirup markisa ku, aku melangkah gontai ke halaman belakang, Yunda sudah duduk ditepi gazebo, walau dari jauh dapat kulihat wajahnya dingin, bahkan aku berani bilang dia terlihat nerveus, yaah aku bisa paham sih, ngobrol berdua dgn orang yg belum klop, siapa yg tidak begitu.

Halaman belakang bu Vera juga jauh berbeda dari waktu aku kecil, dulu pagarnya bambu, berupa tanah lapang yg sering dijadikan tempat main bola anak-anak diperumahan ini. Namun sekarang pagar tembok tinggi, dipenuhi rumput serta dua pohon palem, & sebatang pohon mangga yg rindang. Aku bahkan sempat melihat beberapa kelinci abu-abu, pasti punya Yunda pikirku.

Aku menyusul Yunda, ikut duduk ditepi gazebo. “waah lapangan bola nya udah di gusur ya Nda? Jadi enak gini sekarang” kataku memulai obrolan, masih mencoba mencairkan suasana

“iya Ar, papaku yg ngerubahnya” Jawabnya singkat, mata Yunda menatap langit. Aku benar-benar benci keadaan ini, & kalau sudah begini aku lebih suka to the point, jadi aku mencoba jujur.

“dari diruang tamu gw liat lu aneh Nda, sorry ya lu kaya males nemuin gw sama nyokap gw. Senyum lu kecut banget tadi pas disana. Lu kenapa sih Nda? Ada masalah?”

Bukannya menjawab Yunda malah menatapku tajam “Jadi maksud lu, lu setuju sama rencana nyokap-nyokap kita Ar?” kali ini dia berbicara serius, tapi nadanya tetap tenang.

“rencana? Maksud lu apa Nda? Gak ngerti gw”

“jadi nyokap lu belum cerita sama lu Ar?”

“belum, tentang apaan sih emang? Apa tentang bisnis mereka berdua mau disatuin terus lu jadi direktur terus gw wakilnya? Yah gw sih gak masalah kok. Hehehe” kataku masih sempat bercanda, namun yg kudapat malah tatapan mencela dari Yunda, mau tak mau senyum ku hilang.

“jadi emang lu belum tahu yah Ar…” kata Yunda sambil berdiri, lalu dia mengangkat seekor kelinci yg ternyata ada dibawah kaki gazebo lalu menggendong & membelai-belainya.

“Nyokap kita… mau ngejodohin kita Ar”


TBC.. (tu bi kontinyu)
Apdet besok malem, semoga masih semangat ngikutin cerita hidup ane yg hina ini..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd