Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERPEN Tugas Kelompok [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 4 (B)

Celana untuk Ririn

Setelah jumatan, aku mengajak Ririn main hari ini. Panas terik siang hari tak menghalangi aku dan Ririn mengeliling kota Bandung. Sebagaimana aku yang lebih duluan menjadi mahasiswa di Bandung daripada Ririn, otomatis aku lebih tau jalan-jalan di Kota Bandung. Setelah mengisi tanki bensin full di SPBU Dago, aku ajak Ririn berkeliling ke Bandung daerah utara, menuju Cimahi, lalu ke Cibereum hingga Cibiru. Tak jarang Ririn memberitahuku bahwa dia punya teman yang kuliah di kampus-kampus yang kita lewati. Ririn banyak bicara membicarakan semua tentangnya, aku jadi tau benang merah Ririn dari dulu sampai sekarang.

SMA kelas 3 adalah awal Ririn mencoba menggunakan kerudung meskipun waktu itu masih buka-tutup, kadang berkerudung kadang tidak. Awal-awal menjadi mahasiswa, teman SMAnya yang berbeda kampus mengajak Ririn untuk ikut di komunitas yang berada di kampus temannya itu. Ririn mendapat prinsip-prinsip supaya berubah menjadi pribadi yang taat. Karena lingkungan dan teman-teman baru di komunitasnya itu kemudian ia mulai melebarkan kerudung hingga menutupi dada; anti terhadap pacaran; dan selalu menggunakan rok/gamis. Tentu saja aku sempat merasa menjadi ‘benalu’ untuk Ririn, tapi aku berfikir ini juga pilihan Ririn yang lebih memilih mau lebih kenal, dekat dan menjadi pacarku.

Hari itu juga adalah hari yang paling bikin pantat kesemutan karena kebanyakan motoran. Sampai di sebuah factory outlet, aku belokan motor dan berhenti parkir.

“Ngapain ke sini?”

“Mau beli kemeja ah”

Ririn pun turun dari motor, dan kami berdua masuk ke dalam toko.

Sambil melihat-lihat barang dagangan aku bertanya pada Ririn.

“Kenapa sih? Kok gak mau banget pake celana kalau ngampus?”

“Aku gak pede, lagian udah kebiasaan pake rok”

“ya kan ada yang potongannya lebar. Padahal aku tuh pengen banget da kalau ngebonceng kamu, kamu duduknya enggak miring terus. Biar bisa sambil meluk aku gitu. Ehehe”

“ih apaan sih”

Aku dan Ririn melihat-lihat kemeja. Aku mencobanya dan menanyakan apakah kemeja ini cocok aku pakai atau tidak pada Ririn. Akhirnya aku memilih kemeja warna coklat sesuai apa yang Ririn sarankan.



Sambil berjalan menuju ke kasir:

“Kalau aku beliin kamu celana, pake ke kampus yah pliiiisss”

“Aku bukan enggak punya celana buat ngampus. Tapi udah biasa pake rok/gamis.”

“Iya ini mah aku pengen aja beliin kamu”

“Punya banyak uang? Gak sekalian atasannya gitu? Hahaha”

“hahaha malah minta lebih. Sok atuh kamu pilih-pilih mau mana.”

Awalnya Ririn terus menolak untuk dibelikan celana, tapi aku terus memaksanya. Ririn mengeliling rak-rak mencari model yang disuka dan ukuran yang pas. Aku berjalan di belakangnya mengikuti ke mana arah Ririn berjalan.

Akhirnya kita keluar dari factory outlet dengan membawa kemeja untukku dan celana panjang berwarna hijau tosca untuk Ririn. Kami pun melanjutkan perjalanan. Makan, ngopi, jajan, semua dilalui dengan suka-tawa bahagia. Ririn tampak senang, terlihat dari ekspresinya. Dia mengulang-ulang ucapan terima kasih padaku. Aku senang melihat Ririn senang.



Jam 8 malam, aku mengantarkan Ririn pulang.

Makasih yah buat hari ini.” Kata Ririn sambil turun naik motor

“Makasih juga buat hari ini. Besok lagi yah.”

“Besok ke mana?”

“Tangkuban parahu. Pernah?”

“Di mana itu teh?

“Itu yang dari kampus *** tadi kelewatan, nah ke atas lagi.”

“Jauh?”

“Lumayan. Dari pagi oke? Jam 9an deh”

“Iya hayu”

“love you”

“love you more. Dadaaahh”

Aku pun pulang ke kostan setelah Ririn masuk ke gang kostannya.





Tangkuban Parahu

Jam 8 pagi aku sudah mandi dan bersiap-siap untuk menjemput Ririn di kostannya. Hari ini Aku dan Ririn akan pergi ke ke Tangkuban Parahu (TKP) sebagaimana yang telah direncanakan kemarin.

Ririn memakai gamis warna biru dongker dengan jilbab yang lebar. Aku mengomentari pakaiannya karena aku merasa tidak cocok pakai pakaian itu untuk main ke tempat yang lumayan jauh dan outdoor.

“Padahal pake celana yang kemarin dibeli” kataku

“Enggak ah, sayang kan celananya baru nanti kotor. Hehehe”

“Yakin mau begini? Gak bakal salah kostum?”

“yaaahhh gimana dong?” kata Ririn tampak murung.

“Yaudah gapapa kalau kamu maunya gini. Lagian tetep cantik kok”

Ririn pun naik motor setelah memakai helm yang aku berikan. Duduk menyamping seperti biasa.

Kampret emang. Jujur, aku sangat dongkol pada Ririn. Padahal bakal lebih enak kalau dia gak pakai rok/gamis supaya duduknya enggak nyamping. Tapi kalau aku tetep minta supaya dia ganti kostum, itu bakal celaka. Takut malah gak jadi main. Takut malah Ririn bete kemudian mainnya gak happy. Jadi aku mencoba menerima saja apa kemauan Ririn.

Sepanjang jalan, seperti biasa kita berbincang, berhenti sarapan, melanjutkan perjalanan, berhenti di indomaret untuk beli makanan ringan, minuman manis, dan beli rokok untuk persediaan di sana. Meskipun dilarang oleh Ririn untuk membeli rokok tapi aku tetap membelinya dengan alasan di sana cuacanya dingin.

Tiba di Tangkuban Parahu, membayar tiket masuk, parkirkan motor, dan berjalan-jalan di sekitar TKP.

“Jiah ternyata gini doang yah. Gak ada wahana apa gitu. Bete.” Ucapku mengeluh pada Ririn. Iya aku bete aja gitu karena ya emang bete. Liat kawah gunung doang. Belum juga 1 jam di sana, aku udah ngerasa bete. Enggak ada yang bisa dilakuin, yaa palingan foto-foto. Aku gasuka.

“Ih jangan gitu atuh. Kan bareng aku. Ini tuh ‘our time’ kita. Kalau kamu bilang gitu jadi kayak yang enggak seneng main sama aku” kata Ririn merespon keluhanku.

Ririn memang pandai mengambil sisi positif dari segala hal yang aku keluhkan. Anggap saja itu salah satu faktor yang bikin aku jatuh cinta pada Ririn.

Beruntungnya, ada sekelompok turis asing yang berjalan menuju sebuah posko di sekitaran sana. Ternyata posko itu adalah tempat tour guide. Aku dan Ririn mendatangi posko itu, di sana tersedia banyak brosur tentang gunung tangkuban parahu dan peta wilayah rekreasi gunung Tangkuban Parahu.

Saat aku melihat-lihat peta dan baca-baca brosur, tour guide menghampiriku. Dia seorang ibu-ibu.

“Mau didampingi juga?” Tour guide itu menawariku

“Emang ada lokasi apa aja sih bu?”

“Ada sumber air panas di sana” sambil menunjuk ke sebuah arah.

“Jauh?”

Lumayan. Harus di damping ke sananya

Aku berfikir ah itu hanya akal-akalannya saja. Masa iya harus pake tour guide. Tapi aku coba menanyakan informasi lebih

“Berapa harganya kalau didampingi?”

“Aa berapa orang?”

“Cuma berdua” kataku sambil menunjuk Ririn

“150 deh enggak apa-apa”

“Oooohh. Muhun atuh engkin upami bade ka ditu, abdi ka dieu deui (iya kalau mau ke sana [sumber air panas], nanti aku ke sini lagi)” ucapku.

Sengaja aku pakai bahasa sunda supaya menunjukan kalau aku warga jawa barat juga. Biar enggak dipaksa. Maklum, di tempat wisata nota bene para penyedia jasa selalu terkesan ‘memaksa’ kepada pengunjung. Apalagi kalau dari luar daerah.



Aku dan Ririn berjalan menjauh dari posko itu.

“yuk ah kita ke sumber air panasnya” kataku setelah cukup jauh dari posko

“didampingi?”

“gausah. Mahal ah 150 mending dipake buat kita makan”

“tau jalannya gitu?”

“lah gampang, nyasar juga masih di Indonesia ini” kataku.



Aku dan Ririn berjalan ke arah yang ditunjukan oleh tour guide dan ternyata iya. Aku melihat gapura yang sudah agak rusak dengan jalan setapak. Aku dan Ririn masuk menuju ke sana dengan sebelumnya menanyakan ke tukang kopi keliling untuk memastikan apakah benar gapura ini adalah jalan untuk menuju ke sumber air panas.

Aku berjalan berjalan berjalan jauuuuuhhhh ke dalam. Benar-benar jalan setapak bebatuan dan tanah. Tidak bisa dilewati motor (kecuali motor trail). Kurang lebih 2 KM dari gapura menuju tempat sumber air panas.

Ririn memakai gamis panjang ditambah lagi sepatu yang dipakai Ririn bukan sepatu outdoor sehingga membuatnya lebih kesusahan (licin) untuk melangkah dan berpijak. Beberapa kali terpeleset hampir jatuh beberapa kali juga dia reflek memegang tanganku.

Di sepanjang perjalanan yang benar-benar jalan kaki. Kita banyak berbicara. Saling menceritakan semuanya terutama kisah dimana kita masih belum saling mengenal. Kita menceritakan lagu, makanan, film kesukaan. Dan hal-hal lainnya termasuk aku menceritakan mantan-mantanku.

Ini adalah waktu paling lama kita bergandengan tangan. Tak hanya saling menggenggam jemari tangan, Ririn memeluk lenganku hingga siku tanganku yang dipeluk menyentuh bahkan menempel dengan payudara Ririn yang mungil.

Beberapa kali aku dan Ririn beristirahat saat berjalan. Duduk di bangku kayu yang sudah ada di pinggir jalan sambil membuka bekal makanan yang dibeli di Indomaret tadi dan ada 2 misting berisikan Nuget dan sosis goreng yang sudah dipotong-potong kecil lengkap dengan saosnya, di misting satunya lagi ada Nutrijel kotak-kotak rasa coklat. Kedua misting itu Ririn siapkan dari kostannya.

“Aku bikin Nutrijel ini semalem loh”

“Hebat. Sengaja?”

“Iya sengaja aku bikin sebelum tidur buat bekel ke sini. Hehehe. Suka gak?”

“Banget. Aku suka nutrijel” jawabku. Sebetulnya aku biasa aja sih makan nutrijel tapi yaa demi menyenangkan hati kekasih apa salahnya sedikit bohong. Ehhee

Entah karena kebetulan atau karena apa, ini hari sabtu. Biasanya tempat rekreasi ramai oleh pengunjung, tapi TKP hari ini tidak begitu ramai dan jalan menuju sumber air panas justru lebih sepi dibanding di sekitaran kawah gunung.

Semakin terus aku dan Ririn berjalan, semakin semerbak bau blerang yang kita hirup. Dan paraaaammmm…. Kita sampai di lokasi sumber air panas.

Lokasi sumber air panas sangat tidak mengecewakan buatku. Ini lebih asik daripada ngeliat kawah doang. Tidak terlalu banyak orang-orang di sini. Ada pedagang telur yang menawar-nawarkan. Awalnya aku heran kenapa jualan telur ayam, tapi ternyata selain kita bisa merendamkan kaki, kita juga bisa merendam telur ayam di sumber air panas. Aku dan Ririn membeli telur ayam itu dua butir meskipun harganya lebih mahal daripada di warung dekat kostan.

Aku membuka jaket, kaos kaki, sepatu, dan celana panjang (aku hanya menggunakan celana boxer dan kaos). Ririn hanya membuka kaos kaki dan sepatunya. Aku turun duluan ke air panas yang dalamnya kurang-lebih sebetis.

“wiiihhh enak, rin. Ayo sini turun.” Ajakku dengan tawa lebar merasakan keasyikan

“Panas banget gak?” tanya Ririn memastikan

“enggak lah. Kalau panas banget mah melepuh.”

Ririn mengangkat gamis bagian bawahnya, dan ternyata tidak seperti biasanya, Ririn tidak menggunakan celana panjang di dalam gamisnya. Sontak saja aku terperana melihat kakinya yang benar-benar putih, mulus tidak ada bekas luka, dan tidak ada bulu-bulu kaki.

Ririn berjalan perlahan turun memasukan kakinya yang mulus itu. Aku dan Ririn sempat bercanda menciprat-cipratkan air, menenggelamkan telur, menguburnya dengan lumpur juga bebatuan supaya telurnya tidak mengambang. Hingga sekitar 30 menit kemudian, aku dan Ririn mengambil telur yang tadi ditenggelamkan dan memakan telurnya yang sudah matang.

Sore hari, langit mendung, lokasi sumber air panas semakin sepi dari pengunjung, aku dan Ririn pun memutuskan kembali ke parkiran motor untuk pulang. Kita berjalan melewati jalan yang sama sebagaimana saat berangkat. Di tengah perjalanan menuju parkiran motor, hujan turun lumayan lebat. Aku dan Ririn berhenti berteduh di saung tua yang ada di pinggir jalan setapak.

Air hujan yang lumayan deras ditambah angin yang berhembus kencang membuat rintik hujan masih mengenai badan kami. Aku dan Ririn berdiri saling mendekatkan diri menjauhi cipratan air hujan, sesekali aku mencuri cium di saung itu setelah yakin tidak ada orang di sekitar. Beberapa kali kami berciuman di sana. Tapi ciuman sebentar, lagi pula aku takut ketauan terus nanti divideoin warga sekitar dan viral di medsos. Semakin lama kami berpacaran, dalam hal peluk-cium, aku menjadi lebih mudah mendapatkannya dari Ririn.

Merasa cukup ketakutan karena hari mulai semakin gelap, dan di jalan sudah sangat jarang sekali ada orang. Karena hujan tak kunjung reda, sedangkan waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Aku dan Ririn memutuskan untuk melanjutkan berjalan menuju parkiran motor. Aku berjalan di depan Ririn sambil tanganku tidak terlepas dari pegangan Ririn. Rasa khawatir lebih dominan dibanding merasa mesra dan senang. Aku dan Ririn terus berjalan tanpa banyak bicara.

Setelah keluar dari gapura, aku dan Ririn segera berlari-lari menuju parkiran motor. Kami berteduh di teras warung yang sudah tutup dekat parkiran. Di tempat berteduh, ada beberapa warga lokal, dan pengunjung lain yang sedang berteduh juga. Pakaian kami berdua tidak begitu basah kuyup, hanya lebab saja. Rimbun pepohonan di jalan setapak membantu menahan air hujan membasahi baju yang kami pakai.



“Aman?” aku memastikan kondisi Ririn.

“Iya.”

“Kaki enggak terkilir kan?” aku memastikan kondisi Ririn lagi karena tadi saat Ririn sempat beberapa kali terpeleset karena jalan setapak yang basah.

“Enggak kok. Makasih udah perhatian.” Ucap Ririn sambil melingkarkan kedua tangannya di tangan kananku.

“Enggak nyesel kan diajak main kayak gini?” tanyaku

“Enggak banget” jawab Ririn, lalu dia menyandarkan kepalanya di bahu kananku.

Hari semakin gelap. Hujan tidak benar-benar reda, tapi tidak begitu deras seperti tadi. Aku memutuskan untuk menerobosnya. “yuk ah pulang. Kalau nunggu bener-bener Reda bakal lama. Takut kemaleman” ajakku pada Ririn. Ririn menyetujuinya. Aku menyalakan motor, Ririn naik, dan motor pun melaju.

Hujan yang asalnya tidak terlalu deras, kembali menjadi deras saat aku dan Ririn di perjalanan pulang. Aku melihat ada Alfamart di pinggir jalan. Aku membelokan motor, berhenti dan memarkirkan motor, kemudian berteduh.

Karena tak kunjung reda. Aku masuk ke alfamart dan membeli jas hujan model kelelawar (ponco). Asalnya aku ingin membeli jas hujan yang ada atasan dan bawahan. Tapi harus beli dua untuk Ririn juga sehingga sudah barang tentu pasti harus ngeluarin uang lebih banyak. Jadi aku membeli jas hujan model kelelawar saja karena bisa dipake untuk menutupi Ririn yang dibonceng, meskipun Jas hujan kelelawar identik dengan tukang ojek, tapi siapa juga yang akan mempedulikan penampilan saat situasi seperti ini.

“Gak apa-apa yah pake ini? Biar cepet pulang nyampe kostan. Bete kalau harus berteduh lama” Ucapku pada Ririn

“Iya gak apa-apa.” Jawab Ririn.

Aku memakai jah hujan yang baru dibeli, “Nanti kamu masuk ke dalem sini yah. Kamu gak usah pakai helm biar enggak ribet” ucapku pada Ririn sambil memeragakan bagaimana Ririn menutup tubuhnya pake jas hujan ini.

“Iya tau. Aku juga pernah” Kata Ririn

Kemudian aku menaiki motor. Lalu Ririn duduk di motor sambil mengangkat bagian belakang jas hujan dan menutupi tubuhnya.

“Udah ketutupan?” tanyaku

“Udah.” Kata Ririn

Aku melihat ke belakang untuk memastikan Ririn sudah tertutup jas hujan. Lalu aku tancap gas.

Ririn masih duduk menyamping. Tapi tangan kanannya memelukku. Telapak tangan Ririn memegang perutku. Tubuhnya merapat ke punggungku. Aku merasakan sedikit bahwa payudara mungilnya mengenai punggungku juga. Ini baru pertama kalinya Ririn memelukku saat naik motor. Oh aku senang sekali.

Sambil motor melaju, sesekali badanku menggigil kedingInan, saat aku menggigil itu, tangan Ririn yang melingkar ke perutku mengeratkan pelukannya. Aku memahami sepertinya Ririn mencoba memberikanku kehangatan agar tidak terlalu dingin. Sesekali aku juga melepaskan tangan kiriku dari stang motor dan masuk ke dalam menggenggam telapak tangan kanan Ririn yang ada di perutku. Kita berpegangan tangan. Hujan deras, cuaca dingin, di dalam jas hujan pelukan Ririn dan genggaman tangannya memang tidak cukup menghangatkan badan, tapi ini cukup menghangatkan hatiku. Setiap beberapa saat, Ririn selalu menanyakan sudah sampai mana. Aku menjawab setauku. Iya Ririn di dalam tertutup bagian belakang jas hujan sehingga dia tidak bisa melihat jalan.

“Kalau sekarang udah di mana?”

“Setbud”

“Udah lewat termInal ledeng?”

“Bentar lagi”

“lumayan yah masih jauh nyampenya”

“Sabar yah.”

“Iya. Kamu hati-hati nyetirnya. Gak usah ngebut, jalanan licin”

“Oke. Mau makan dulu gak?”

“Iya mau. Aku laper”

“Oke aku cari tempat makan yah.”



Malam Mingguan

Aku berhenti di tukang pecel di pinggir jalan. Aku dan Ririn memesan makanan.



“Kamu mau apa?” tanya Ririn.

“Soto aja deh. Pengen yang kuah” jawabku sambil melepaskan jas

“Aku mau daging bebek yah. Agak mahal tapinya. Boleh?”

“Iya boleh.”

Makanan dihidangkan, kita makan lahap. Sehabis makan, kita duduk-duduk sambil menunggu hujan reda.

“Udah ngecilin hujannya.”

“Iya semoga sebentar lagi reda.”

“Basah kuyup gak kamu?”

“enggak”

“Ih iya enggak. Kok bagian bawah gamis kamu gak basah?”

“Iya kan aku angkat sedikit terus jasnya aku lebarin pake tangan kiri”

“Iya atuh tangan kiri, kan tangan kanan kamu mah tadi meluk aku. Ihihi”

“Ih apa sih” ucap Ririn sambil tersenyum dan menepuk pahaku.

“Ke kostan aku aja yuk.? Tidur disana aja. Nginep.”

Ririn melihat mataku, seperti membaca maksudku. Aku hanya mengangkat alis.

“Enggak apa-apa gitu? Nanti ada ibu kost gimana?”

“Gak apa-apa. Temen-temen kostan aku mah pada nyantai. Si Ibu kost juga rumahnya jauh dari kostan. Jarang ngontrol juga.”

Ririn hanya terdiam, meminum teh hangat. Ririn seperti kebingungan antara takut tapi nuansa romantis sudah sangat terbentuk diantara kita, sebab sejak tadi pagi bahkan kemarin, kita berbarengan terus.

“Rin, mau ke kostan aku aja? Malam minggu ini atuh.” Aku mencoba membujuk Ririn

Ririn masih tidak menjawab tapi dia terus melihat mataku saat aku menanyakan hal itu seperti mencoba membaca pikiranku.

“Btw, makasih loh buat hari ini. Hari ini, kita banyak pegangan tangan. Kamu juga ngebolehin aku ngerokok di deket kamu. Ehhehee. Aku jadi makin sayang” Ucapku mencoba memberi penguatan-penguatan supaya Ririn mau menginap di kostanku.

“Iiihhh itu kan gara-gara cuaca dingin aja di sana. Tapi kalau besok-besok mah tetep aja kamu enggak boleh ngerokok deket aku. Awas aja aku marah” Jawab Ririn dengan muka yang membuatku semakin ingin mengajaknya menginap.

Setelah habis sebatang rokok, aku mengajaknya pulang.

“Hayu ah pulang. Nih kamu yang bayar” ucapku sambil memberikan uang ke Ririn.

Ririn menghampiri mamang pecel untuk melakukan pembayaran, aku mengambil jas dan melipatnya. Hujan sudah reda. Jas sudah tidak perlu digunakan.

“Bang, ini kembaliannya” kata Ririn.

“Simpen dulu aja di kamu.”

“Jadi gimana?” tanya Ririn

“Apanya yang gimana?”

“Aku nginep atau pulang?”

“Ih malah nanya balik. Aku sih pengennya kamu nginep. Tapi aku gak ngajak lagi karena aku takut nanti kamu ngerasa dipaksa dan akhirnya kamu terpaksa untuk nginep. Aku mah gimana kamu. Kamu mau nginep di kostan aku, ya boleh aku sangat seneng, kamu mau pulang ke kostan kamu juga gapapa, aku tetep seneng. Pokoknya apa yang kamu pilih, asalkan itu emang kemauan kamu. Aku bakal seneng.”

Ririn diam seperti berfikir seolah ini soal yang sulit dia jawab.

“Coba deh tanya aku sekali lagi.” Kata Ririn

“hah?” aku heran

“Cobaaa abaaang tanya akuuuu sekali lagiii” ucap Ririn dengan intonasi yang lebih lambat dan nada yang manja menggemaskan

“The person who loves you is asking you, mau nginep atau pulang?”

Ririn tersenyum dan berkata “The person who loves you chooses to……. Nginep”

Aku pun tersenyum pada Ririn.

“Tapi ke kostan aku dulu yah sebentar”

“Mau ngapain?”

“ada deh, kepo banget sih. Wleee”

Motor kembali melaju, meneruskan perjalanan, Tiba di kostan Ririn, aku menunggu di motor dekat warteg, Ririn masuk ke kostannya. Sekitar 10 menitan, dia datang lagi dan kita pun berangkat ke kostanku. Sepanjang jalan aku kegirangan. Sulit menahan senyum bahagia ini. Jas hujan tidak sedang digunakan, tapi Ririn memelukku dari belakang dengan kedua tangannya dan tubuhnya merekat erat di punggungku sambil duduk yang masih menyamping sebagaimana biasanya.

Aku berhenti di alfamart sebelum ke kostan.

“Mau ngapain?”

“Beli rokok”

“udah abis lagi? Parah”

“Masih ada sih 4 batang. Tapi biarin beli lagi aja”



Ya, aku sengaja ke alfamart untuk membeli rokok class mild. Merk rokok yang menurutku lebih pas sebelum mesum dibandingkan garpit. Selain rokok, aku membeli beberapa cemilan untuk di kostan. Sempat ingin membeli kondom tapi aku berfikir tidak akan sampai berhubungan intim dengan Ririn, akhirnya aku hanya membeli rokok dan beberapa cemilan saja. Lalu melanjutkan perjalanan menuju kostan.

Sekitar jam 10 malam, aku dan Ririn tiba di kostan. Ririn terlebih dahulu masuk kamar sambil membawa bungkusan belanja setelah aku memberikan kunci kamarku. Aku memarkinkan motor terlebih dahulu.

Aku masuk ke kamar, Ririn sedang mengeluarkan misting dan beberapa cemilan yang belum habis saat di TKP dari totebagnya. Aku membuka sepatu, kaos kaki, jaket dan celana jeans panjang. Aku hanya menggunakan celana boxer dan kaos sebagaimana tadi berendam.



“Sepatu kamu aku masukin yah” ucapku sambil membawa sepatu Ririn yang basah ke dalam kamar dan aku simpan di balik pintu yang terbuka.

“Kaos kaki kamu mana?” tanyaku

“tuh, basah.” Kata Ririn sambil menunjuk ke arah toilet.

“oohh iya”

“Itu pas yah ukuran sprei aku sama ukuran kasur kamu” kata Ririn

“Iya. Pas juga yang punya spreinya mau tidur di sini. Ehehe”

Ririn hanya tersenyum sambil mengeluarkan barang-barang.

“Aku mau masak air panas buat mandi. Kamu mau mandi gak? Kalau mau, aku bikin air panasnya agak banyak biar cukup buat berdua”

“Anduknya?”

“Pake anduk aku aja. Gak ada panu atau kurap kok aku. Sumpah, nih liat” kataku sambil mengangkat kaos dan memperlihatkan punggungku pada Ririn.”

“Sikat giginya?”

“Ada dooonngg ada banyak masih baru” jawabku.

Untungnya beberapa bulan kemarin aku beli sikat gigi yang 1 bungkus ada 4, dan itu masih tersisa 3 lagi.

“Yaudah iya aku mandi.”

“oke. Aku bikin air panas dulu atuh yah” aku keluar kamar menuju dapur umum, mengisi panci dengan air, menyimpannya di kompor, menyalakan api, dan kembali ke kamar.

Sambil menunggu air panas, aku menyalakan rokok class mild, kemudian duduk di dekat pintu supaya kamar tidak pengap oleh asap dan mengobrol membicarakan hari tadi dengan Ririn. Sambil mengobrol Ririn mencuci misting bekas tempat nuget dan sosis dan nutrijel di toilet, membereskan sedikit kamar dan meja belajar, lalu dia rebahan di kasur sambil bermain HP.

“Hari ini gak banyak main hape” Kata Ririn, matanya fokus ke layar HP

“Ya bagus dong”

“Iya tapi jadi kudet. Hahahaa”

“dasar follower lambe turah hahahaa”

“biarin wleee”

Setelah beberapa menit, aku membawa air panas ke kamar dan menyimpannya di toilet.

“Mau siapa dulu yang mandi? Atau bareng? Yuk bareng aja yuk” kataku sambil aku bercanda menarik-narik tangan Ririn mengajaknya mandi bareng sambil mengkelitik pinggang Ririn.

“gamauuuu…. Ahahaa gamau abang ih ampuunnn” respon Ririn

Aku pun melepaskan tarikanku, lalu masuk ke toilet untuk mandi, setelah sebelumnya aku kecup kening dan kedua pipi Ririn.





Selesai aku mandi.

“Riiiinn, sorry dong ambilin celana boxer sama kaos di lemari”

“ini nih bang..” saut Ririn dari balik pintu toilet.



Aku membuka pintu toilet setengah, dan hanya menongolkan kepalaku saja. Ririn menutup matanya menggunakan telapak tangan.

“Lah ngapain nutup mata? Wkwkwk”

“Gamau takut jail nanti pintunya dibuka full”

“Hahahaha negatif thinking aja siah anaknya teh”

“Biarin. Waspada aku mah”



Aku mengambil kaos dan celana boxer yang diberikan Ririn. Memakainya dan keluar dari toilet.

“Udah, sok sanah giliran kamu”

Ririn bangun dari rebahannya, terdiam dan tampak ragu.

“Lah malah diem. Kenapa? Buruan ntar airnya keburu dingin”

“Ih abang keluar kamar dulu sanah. Aku mau buka kerudung.”

“masih gak mau buka kerudung depan aku? Botak yah? Wkwkwkwk”

“Iya botak, kenapa kalau botak? Hayoh.” Ucap Ririn agak nyolot


“Buset dah santai kali. Wkwkwk. Yaudah iya aku keluar kamar” kataku sambil aku mencari HP, rokok, dan korek untuk dibawa ke luar kamar.

Saat aku hendak keluar dan sudah berada di bibir pintu, Ririn memanggilku dari dekat.

“Bang…..”

Aku menoleh ke arah Ririn. Ririn menghampiriku dan menutupkan pintu.

“Dih malah ditutup, katanya nyuruh keluar” kataku

Ririn menatapku dalam. Aku menatap Ririn keheranan. “Bang, aku tuh udah janji ke diri aku sendiri untuk enggak lepas kerudung di depan lelaki. Tapi aku bakal ingkari janji itu sekarang. Ini semua karena aku sayang sama abang dan percaya ke abang.”

Aku tertegun mendengar ucapan itu dari mulut Ririn.

Aku pegang kedua pipinya sambil mengatakan “Kalau kamu merasa sangat berat melakukannya, aku enggak apa-apa kok kalau harus keluar. Beneran deh aku gapapa. Tapi kalau kamu memang benar ingin melakukannya, aku merasa menjadi lelaki yang sangat beruntung bisa mendapat kasih sayang san kepercayaan dari kamu.”

Ririn mendekatkan dirinya padaku, aku mundur hingga aku tersender tegak di pintu. Ririn mencoba mendekatkan wajahnya dengan wajahku, karena aku lebih tinggi dari Ririn, Bibir Ririn hanya lebih dekat dengan leherku, padahal dia sudah berjinjit.

“ciuuumm…” kata Ririn dengan nada manja dan ekspresi wajah menggemaskan dengan bibir yang dimoyongkan ke depan hendak mencium.

“hih malah minta cium, gamau ah bau belum mandi. Bau. Ihihi” jawabku sambil tersenyum kecil

“Ih dasaaarrr… awas loh kalau aku udah mandi, aku gamau dicium” Ucap Ririn mengancamku gemas.

Ririn membalikan badannya dan menghadap ke cermin. Aku masih berdiri tersandar di tembok. Perlahan dia melepaskan peniti yang ada di dada kirinya, dan melepaskan jarum pentul di kerudung yang berada di lehernya.

Ririn menengok melihatku. Aku masih di posisi yang tidak berubah memandanginya.

Ririn mengangkat kain kerudungnya, dan menyimpan di atas loker sebelah kanan dekat lemari baju. Dari belakang, aku melihat leher bagian belakang Ririn yang putih, rambut Ririn yang diikat dan ciput (daleman kerudung) yang masih melekat di kepalanya.

Dengan kedua tangannya, Ririn membuka ikatan tali ciput yang berada di bawah kuncirnya. Tali ciput terlepas, dia melepaskan ciputnya dan menyimpannya tepat di atas kain kerudungnya tadi. Ririn membalikan badannya ke arahku, dia melihatku, aku melihatnya dengan posisi dan tempat yang masih belum berubah.

Rambut-rambut depan yang mengalur ke belakang, sepasang telinga yang polos tanpa anting, leher yang putih dengan tahi lalat kecil di pangkal leher bawahnya, selaras dengan mata Ririn yang kontras putih-hitam, dengan bibir Ririn yang tipis merah muda.



“Cantik gak?”
tanya Ririn padaku

“jidat nong-nong. Ihihi” jawabku sambil tertawa kecil halus.

“iihhh nyebelin ih” ucap Ririn sambil menutup jidat dengan kedua telapak tangannya.

“ahahaha…. Cantik kok cantik cantik seriusan” aku tertawa dan berjalan mendekati kasur lalu duduk sila di atasnya.

“Kenapa sih abang tuh malah nyebelin disaat aku baper-bapernya. Aku minta kiss, malah dibilang bau. Aku buka kerudung pengen dibilang cantik malah bilang jidat nong-nong. Huh bete ah.” Kata Ririn memasang wajah cemberut yang menggemaskan, lalu dia berjalan masuk ke toilet, menutup pintunya, kemudian;

“awas kalau ngintip!!!!” Teriak Ririn dari dalam toilet.

Aku tersenyum lebar karena tingkahnya itu.
Sengaja aku menolak untuk menciumnya, Sengaja aku tidak mengatakan cantik padanya. Aku hanya memainkan ritme, suasana, dan perasaan dengan menarik-ulurnya saja. Agar Ririn terpikat dan terikat.

Ketika Ririn sedang mandi, aku keluar kamar untuk merokok. Habis dua batang, aku kembali masuk kamar. Menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam, menyalakan laptop, mamasukan colokan speaker ke laptop, membuka spotify, kemudian memutar playlist british pop 90’s. Aku duduk di depan laptop sambil sesekali membuka facebook dan twit**ter di Laptop.



Beberapa saat kemudian,

Pintu toilet terbuka, Ririn mengenakan gamis biru dongker yang dipakainya sejak pagi. Ada tiga kancing di bagian dadanya, dua kancing paling atas tidak dikancingkan, handuk melingkar di atas kepalanya. Ririn melangkah keluar toilet, menginjak-injak lap-kain di dekat pintu toilet, lalu duduk di sampingku yang sedang menghadap laptop, kemudian Ririn membuka handuk yang melingkar di kepalanya sambil menggosok-gosokan rambutnya yang masih agak basah.

“awas jangan cium aku” ucap ririn dengan mulut yang cemberut menggoda

“mau” jawabku

“gak boleh” ucap ririn masih sambil menggosokan rambut dengan anduk

“boleh”

“Ih gak boleh. Tadi aku minta cium, abang malah gamau” Ririn seperti menggodaku.

Aku pun hanya tersenyum saja. Beberapa saat kemudian;

“simpenin dong” Ririn menyimpan handuk di atas kepalaku.

“Ih gak sopan nyuruh-nyuruh ke senior” ucapku sambil aku membawa handuk itu ke toilet lalu mengantungkan handuk di rak gantung toilet. Aku melihat bungkusan kresek tergantung, aku pegang dari luar, ternyata bungkusan itu berisi tanktop, celana dalam, dan Bra milik Ririn. Hmmm aku tau, ternyata tadi sebelum ke kostanku, dia mengambil pakaian dalam baru untuk ganti. Aku semakin terangsang membayangkan betapa wanginya tubuh Ririn yang habis mandi dan pakaian dalam yang baru ganti.

Aku keluar toilet, menghampiri Ririn yang sedang melihat layar laptop, aku gendong dia di depanku sambil aku berucap “mmhh… udah berani nyuruh senior yah”. Tangan Ririn langsung melinkar ke pundak dan leherku. Tangan kananku menahan kedua sendi lutut kaki Ririn, dan tangan kiriku menahan punggungnya. Saat aku berdiri menggendongnya Ririn tertawa entah bahagia atau geli atau bahkan keduanya. Aku mengangkat bahu kiriku, kepala Ririn sedikit naik lebih tinggi, dan aku langsung mencium bibir Ririn yang merah muda itu.

“manis” kata Ririn sambil mengecap

“Iya, tadi abis ngerokok mild” Jawabku.

Aku menidurkan Ririn di atas kasur pelan-pelan. Ririn telentang di atas kasur kemudian ia menyamping membalakangiku. Aku membetulkan posisi penis supaya lebih leluasa saat penisku ereksi, kemudian aku menikam Ririn dengan peluk yang erat. Secara kebetulan, lagu Wonderwall-Oasis menjadi backsound yang sangat pas.



Keningku menempel di bagian belakang kepala Ririn, wangi sampo dove di rambut Ririn menambah gairahku. Tidak ada kata-kata terucap, kita hanya diam menghayati pelukan ini. Aku menghembuskan nafas secara perlahan dari mulutku ke arah tengkuk leher Ririn. Ririn menggerak-gerakan kepalanya.

Tangan kiri Ririn bergerak ke belakang meraih kepalaku, mengusap-usap rambutku, aku hembuskan nafasku lagi dari mulut mengenai tengkuk lehernya sambil tangan kiriku perlahan menelusuri pinggangnya, perut, hingga menyentuh payudara Ririn yang mungil; payudara sebelah kanannya yang lebih dekat ke kasur. Aku menggerak-gerakan tangan kiriku memutar mengeliling lingkar payudara mungilnya itu. Terasa payudara Ririn mulai mengembang, nafas Ririn semakin dalam, aku meremas payudaranya, Ririn menekuk kakinya, memundurkan pinggulnya mengenai penisku yang mulai ereksi.

Aku terus meremas payudaranya dari luar gamisnya, semakin kencang tanganku meremas payudara Ririn, semakin terasa pundak Ririn yang naik-turun karena Ririn menghirup nafas panjang. Ririn memegang punggung tanganku yang sedang meremas payudaranya dan meletakan tanganku di atas perutnya. Kemudian Ririn memutarkan badannya, dan sekarang ia menyamping ke arahku. Kita saling berhadapan. Keningku dan keningnya menempel, lalu disusul ujung hidung kita yang menempel, mata kita benar-benar berdekatan, aku mengusap punggung Ririn, membelai rambutnya, mengusap pungunggunya lagi lalu menelusuri ke bawah hingga aku bisa menyentuh pantatnya. Sambil mengusap dan meremas pantanya, bibirku menyambar bibir tipis Ririn, Kita berciuman lagi. Aku dan Ririn saling melumat bibir, memainkan lidah.



Sambil terus berciuman, aku mengusap kaki Ririn dengan kakiku, kita saling menggesekan kaki kita. Aku mengangkat ujung gamis Ririn bagian bawah hingga ke atas lutut dengan kakiku. Jempol kakiku secara perlahan menelusuri halus kaki Ririn. Dari mata-kaki ke lutut ke mata-kaki lagi, terus berulang. Ririn mengangkat kaki kananya, dan menjepit kaki kiriku dengan paha bagian dalam.

Aku tekuk kakiku hingga masuk ke dalam, mengenai vagina Ririn yang masih mengenakan celana dalam. Ririn melepaskan ciuman, “hhhh….” Menarik nafas dari mulutnya, matanya terbuka lebar kaget. Tangan kananya mendorong lututku ke bawah, lalu dia menurunkan ujung gamisnya ke bawah pula hingga menutupi betisnya.

Aku merubah posisi menjadi telentang, Ririn menaikan kepalanya ke atas dadaku, sisi kiri wajahnya menempel di dadaku.

“halus kaosnya” ucap Ririn sambil menggerakan pipinya merasakan benang-benang kaos yang aku pakai.



Beberapa saat kita saling terdiam, aku menarik pinggul Ririn dengan tangan kiri sehingga tubuhnya berada di atas tubuhku, kaki kita saling mengait. Penisku yang ereksi menempel dengan pinggangnya. Ririn melihat ke arahku. Dagunya menempel di dadaku.

Aku melihat wajahnya yang jelita tanpa kerudung yang biasa dipakainya. Tangan kiriku bergenggaman dengan tangan kanan Ririn. Tangan kananku mengusap lembut rambut Ririn, dari depan-belakang, ke tengkuk leher, dan menyamping mengelus telinga Ririn yang polos tanpa anting.

“ich liebe dich [bhs. German yg artinya I love you]Ucapku

“ich liebe auch sie [bhs. German yg artinya I love you too]ucap Ririn

Aku mengangkat ujung bagian bawah gamis Ririn supaya lutut dan pahanya terbuka, Ririn menurunkannya dengan tangan kirinya, aku melakukannya lagi, Ririn pun menurunkannya lagi.

“Ih jangan” Kata Ririn. Dagunya masih menempel di dadaku.

“Kenapa jangan?”

“malu” jawab Ririn

Aku meraba pantatnya, meremas-remas, Ririn mengangkat bahunya dari dadaku, mendekatkan wajahnya padaku, pinggulnya menggesek penisku yang keras, dia mencium keningku lalu mencoba bibirku lagi.

Aku memegang pinggang Ririn dengan kedua tanganku, menjatuhkannya perlahan ke samping kanan, Ririn telentang, kami masih berciuman, sambil memainkan lidah, aku menaiki tubuh Ririn, posisiku berada seperti sedang sujud yang beralasakan tubuh Ririn. Aku lepaskan bibirku dari lincahnya gerak bibir Ririn, aku kecup dagunya, bibir dan lidahku turun menelusur merasakan kulit halus leher Ririn, tahi lalat kecil yang menjadi pemanis di pangkal bawah lehernya aku kecup berkali-kali dan aku sentuh dengan ujung lidahku, Bibir dan lidahku masih belum juga berhenti menelusuri terus ke bawah hinggga kedua kancing gamis yang terbuka itu di berada di tepi samping bibirku, aku terus mengecup, membasahi dadanya. Aku mengulangi hal sama dari arah sebaliknya, dada, pangka leher, dagu dan kembali di bibir Ririn.

Ririn mendorong perlahan pundak kiriku dengan tangan kananya, aku terbaring menyamping di sebelah kiri Ririn menghadapnya.

“matiin lampunya, silau” ucap Ririn dengan suara yang pelan.

Aku berdiri dari ranjang memadamkan lampu kamar.

Karena pijar cahaya dari lampu toilet, layar laptop yang menyala, dan lampu di luar depan pintu, kamar menjadi temaram tidak begitu gelap. Aku masih cukup bisa melihat wajah manis Ririn dengan rambutnya yang tebal dan agak ikal.

“Sini berdiri” ajakku pada Ririn di pinggir ranjang.

“Gamau ah. Ngapain coba” kata Ririn sambil telentang

“ya berdiri aja, pelukan sambil berdiri”

Ririn menjulurkan tangan kirinya meminta aku menarik membantunya bangun dari kasur. Ririn bangun, berdiri di dekatku, kami berhadapan. Ranjang berada di samping kiri Ririn-di samping kananku.

“Do you want to say something?” tanyaku pada Ririn.

Ririn memelukku sambil mengatakan “Makasih ya bang, aku enggak nyesel aku gak pulkam kemarin lusa. Aku seneng bisa bareng abang terus”

Aku membalas peluk Ririn dengan erat.

“abang gak bakal ngomong sesuatu juga gitu ke aku?” Tanya Ririn.

“The person who loves you want to spend tonight with you” ucapku

“The person who loves you is shy to say ‘okay’”



Aku dan Ririn kembali begumul di ranjang. Aku berada di tepi sisi kasur, Ririn di sisi dekat tembok. Aku dan Ririn berbaring menyamping menghadap ke arah yang sama, dari belakang aku cium Ririn mulai dari tengkuk leher belakang, menelusur ke depan, ke pipi, ke mulut, sambil aku grayangi tubuhnya yang tertup gamis. Aku usap perutnya, naik ke atas ke payudaranya sebelah kanan yang lebih dekat ke kasur. Aku meremas perlahan-lahan hingga sampai benar-benar aku remas dengan tekanan.

Ririn menggelinjang, gerak badannya tak beraturan, nafasnya cepat, “ssshhhh….huuuuhhh….sssshhhh huuuuhhh”

Aku terus menggerayangi payudara mungilnya itu sambil bibirku tak henti membasahi tengkuk lehernya.



“ssshhhhh……..” Ririn memegang tangan kiriku yang aku pakai untuk meremas payudaranya, dia memindahkan tanganku ke payudara sebelah kirinya yang belum aku remas.

Aku meremas payudara kirinya.

“sssshhhh huuuuhhh” nafas Ririn cepat.

Aku menggesek-gesekan betisku dengan betis Ririn sambil aku angkat gamis bagian bawahnya hingga pahanya terbuka.

Ririn tidak menurunkan gamisnya, ia tidak berbuat apa-apa selain mengatur nafas.

Aku terus meremas payudara Ririn. Payudara kanan-kiri bergantian. Tangan kiri Ririn ke belakang memegang telinga kiriku, aku mengambil tangan itu dan aku arahkan ke penisku yang sudah ereksi.

Telapak tangan Ririn berada di atas penisku yang ereksi dan hanya ditutupi oleh celana boxer.

Sambil bibirku menelusuri kulit pipi Ririn yang halus, aku mengatakan dengan suara lembut, “masukin tangan kamunya, yang”

Ririn menggelengkan kepalanya.

“gerak-gerakin tangannya, yang”

Ririn mengusap-usap penisku dengan jemarinya dari luar celana boxer. Ririn tidak berkata apa-apa, ia masih mengatur nafas “ssshh huuuuhh”

Di bagian bawah, lututku sudah dijepit oleh kedua paha Ririn. Aku terus gerak-gerakan lututku menggesek paha Ririn bagian dalam. Sesekali lututku menyentuh vagina Ririn yang hanya menggunakan celana dalam saja.

Semakin kuat aku meremas payudara Ririn, semakin sering lututku menyentuh vagina Ririn, semakin tak beraturan dan cepat juga nafas dan tubuh Ririn menggelinjang.

Tangan Ririn yang semula hanya mengelus penisku, menggenggamnya dan sesekali menekan-meremas penisku.

“uuuhhhh” aku terperangah sambil melirik gerak tangan Ririn di penisku. “terus sayang mainin yang aku” pintaku pada Ririn dengan nada yang lembut. Tangan Ririn semakin cepat menekan-remas penisku.

Aku berhenti meremas payudara Ririn yang mungil, tangaku meraih ujung gamis bagian bawah, kemudian menariknya ke arah perut Ririn hingga celana dalam Ririn yang bermotif garis-garis dengan warna gradasi pastel terlihat olehku.

Aku sibak lagi ujung gamisnya semakin ke atas hingga pusar di perut Ririn terbuka,

“pegang kainnya, yang” ucapku sambil memberikan ujung gamis bagian bawah ke telapak tangan kanan Ririn. Ririn memegang ujung gamis agar tak turun menutupi perutnya.

Aku usap perut Ririn perlahan dengan punggung tanganku. Memutar disekitar perut naik perlahan menelusur ke ulu hati hingga BH Ririn dapat aku sentuh.

Aku selipkan tanganku ke dalam BH dari sela-sela diantara kedua payudara Ririn, aku usap tepi pinggir payudara sebelah kanan Ririn.

“sssshhh huuuuuhhhhh sssshhhhh huuuuuuhhh”

Karena pengait BH belum terlepas, membuat BH terlalu sempit untuk aku menyelipkan tangan.

Lalu kemudian aku menggerakan tangan kiriku beranjak dari sekitaran payudara Ririn menuju ke bawah, menelusur ke bagian ulu hati, perut, mengusap-usap memutari pusar, ke bawah, semakin ke bawah hingga karet celana dalam Ririn aku sentuh.

“angkat sedikit kepalanya, yang” Pintaku agar tangan kananku tidak lagi terhimpit antara sisi kanan kepala Ririn dan bantal.

Ririn mengangkat kepalanya, aku menggeser tangan kananku ke bagian dalam, menyentuh leher Ririn dari bawah. Aku gapai payudara Ririn dengan tangan kananku, aku remas pelan-pelan, semakin aku tekan dan remas payudara Ririn, semakin membuat tubuh Ririn menolak untuk diam.

“let me kiss you” Pintaku

Ririn menoleh hingga dagunya berada dekat dengan bahu kirinya, aku mendekatkan bibirku lalu mencium bibir perempuan yang aku sayangi itu.

Saat berciuman, tangan kananku meremas payudara Ririn, Tangan kiri Ririn meremas penisku yang tertutup celana boxer, disaat seperti itu; tangan kiriku yang sudah menyentuh karet celana dalam Ririn menyelinap masuk ke dalam celana-dalam.

Bulu-bulu halus yang tidak begitu lebat terasa di ujung jemari-jemari tanganku. Semakin aku masuk, mengusap bulu-bulu halus itu, semakin kencang Ririn menghisap lidah dan bibir bawahku.

Tanpa diminta, tangan kiri Ririn tiba-tiba masuk ke dalam boxer-ku, melewati bulu-bulu jembutku, kemudian jemarinya menekuk sesuai lingkar penisku. Lalu aku dorong lagi tangan kiriku yang berada di dalam celana-dalam Ririn, menyentuh daging tebal di selangkangan Ririn.



Ririn melepaskan ciumanku, “SSSSHHHHHHHHHHH……..bhaaaaannnggggg” suara Ririn merintih.

“abhang udah keras ssshh…huuuh” ucap Ririn sangat perlahan mendesah sambil menggenggam penisku di dalam celana boxer

“Ririn masih sempit” aku bisikan ke telinga kirinya.

Aku gerakan jari tengahku mengusap-mengoles-menelusuri belahan vagina Ririn yang masih sempit.

“sssshhhhh aaaahhhhhhhh, bhhhaaaang” Ririn menahan desahannya. Pinggulnya tak kunjung bisa diam. Ia melepaskan gengaman tangannya dari penisku, menariknya keluar dari dalam celana boxer, dan memegang tangan kiriku. Tangan kanan Ririn mengepal sambil masih menahan ujung bagian bawah gamisnya

Jari tengah terus aku gerak-gerakan. Sesekali pergelanganku diturunkan ke bawah hingga ujung jariku bisa menyentuh bulu-bulu di duburnya.

“aaaaaahhhhhh”

“sssshhhh… Huuuuuuuuhhhh”

“aaaahhhh”

“ssshhh…. Huuuuuuuuuuuuhhhhh”

“Aaaahhhh”

“Bhaaaannnggg… huuuuuhh sssshhh.”




Ririn menarik tangan kiriku keluar dari celana dalamnya, ia memutarkan badannya ke arahku. Kita berhadapan saling berbaring menyamping.

Wajah Ririn terlihat sedikit lelah dan gelisah, keringat-keringat kecil muncul dari keningnya. Beberapa helai rambutnya menempel di keningnya yang basah.

Ririn cantik dan menggoda malam ini, aku mencintainya, aku bergairah padanya.

Setelah kita saling mengecup pipi, hidung, dan kening, Ririn berbaring telentang sedangkan aku masih menyamping menghadap ke arah Ririn.



Tangan kiriku aku letakan di perutnya yang tidak tertutup gamis. Aku mengelus-ngelus perutnya lagi, Ririn memegang pergelangan tanganku kemudian menarik ke payudaranya seperti meminta untuk aku remas-remas lagi.

Aku merubah posisiku. Aku duduk di kasur, menyender di sisi tembok yang berada di atas kepalaku saat aku berbaring, kakiku berselonjor dan membuka selangkanganku. Lalu aku meminta Ririn duduk di depanku; diantara kaki kanan dan kiri, menyenderkan punggungnya di dadaku.

“yuk sini duduk” sambil aku menepuk kasur di dekat penis diantara kedua pahaku.

Ririn bangun dari telentangnya.

“Buka gamisnya?” tanyaku meminta

“gamau, malu.”

“Sini peluk dulu”

Ririn mencondongkan badannya ke arahku, ia bertumpu dengan lutunya, kemudian memelukku, sedang aku masih duduk selonjoran di atas kasur menyender pada tembok. Kita berpelukan; Ririn melingkarkan tangannya di pundakku, aku melingkarkan tanganku di pinggangnya.

Saat berpelukan, aku mencari pengait BH yang ada di punggung Ririn, setelah kudapati pengait BH itu, aku pegang masing-masing sisinya dengan kedua tangan, aku dorong bersamaan ke arah tengah.

Ririn melepaskan pelukan kemudian berdiri tegak dengan bertumpu pada lututnya di depanku, melihat ke arahku.

“iiihhh abang malah dilepas” ucap Ririn, matanya melebar kaget.

“sini sayang duduk di sini” aku menepuk kasur di area dekat penisku, diantara kedua pahaku. Aku tidak menghiraukan ucapan Ririn sebelumnya.

Dengan gestur malu-malu kucing, Ririn bergerak menyesuaikan posisi badannya dan duduk di tempat yang aku pinta.

Penisku menempel dengan pinggul bagian belakang Ririn, Punggung Ririn merekat erat di dadaku, kepala Ririn bersandar di pundakku sebelah kanan. Kita duduk dengan posisi seperti ini, sangat erat, dan aku merasakan hubungan yang begitu intim. Aku dan Ririn saling mencintai dan saling membirahi.

“Kalau aku bilang ‘aku sayang abang’ abang bosen gak dengernya?” ucap Ririn dengan suara yang pelan dan lembut dibarengi backsound lagu dari soptify yang entah berjudul apa.

“kalaupun semisal syarat ketemu kamu itu aku harus jalan kaki ngelewatin jalan setapak menuju sumber air panas di tangkuban parahu, setiap hari aku lakuin. Capek mungkin iya, tapi kalau bosen dan nyerah, kayaknya enggak bakalan” ucap bullshitku

“Aku sayang abang. Sayaaaang banget. Aku enggak nyesel sayang ke abang” kata Ririn.

Aku memegang kedua tangan Ririn sambil bilang, “semoga kamu percaya kalau aku punya rasa yang sama juga”



Aku mulai menggerayangi tubuh Ririn lagi. Dengan posisi seperti ini ditambah tali BH yang sudah tidak saling mengait semakin mempermudahku.

Aku mengecup leher Ririn. Ririn semakin menengadahkan kepalanya.

Aku remas kedua payudara Ririn dengan kedua tanganku dari luar gamis secara terus menerus, menekan-meremas-berulang.

Pinggul Ririn menggelinjang, bergerak tak beraturan, penisku tersentuh-tergesek oleh pinggulnya yang tak bisa diam itu.



Aku memasukan tangan kananku ke dalam gamis; naik menuju payudara, di saat bersamaan, aku masukan tangan kiriku ke dalam celana-dalam Ririn; turun menuju vagina.

Aku menyentuh vaginanya lagi, tapi kondisi vaginanya tidak sama seperti sebelumnya, sekarang vagina Ririn sudah basah. Sambil lehernya aku kecup, payudaranya aku remas-remas dengan tangan kanan, aku usap-usap klitorisnya dan kemudian

“EEEUUUU……..HHHHAAAAAAHHHHHH” desah Ririn terdengar jelas dari telinga kananku.

Jari tengahku masuk menembut selaput vaginanya.

Ririn mulai menggerakan pinggulnya berpola maju-mundur seirama dengan gerak jari tengahku yang keluar-masuk.

“eeeuuuhhhhh bhaaaannngg….. eeeuuuhhh bhaaaannngg….”
“Ssssshhhhh aaaaahhhhh”
Ririn mendesah basah sambil mencoba menahan desahannya sendiri.

Tangan kananya menggapai apapun yang bisa digenggamnya sambil mengepal, tangan kirinya merangkul ke belakang leherku dengan erat. Kepalanya menengadah, pandangan matanya tak terarah.

“eeeuuu….hhhhhh….eeeuuuuhhhhhh…”

“bhaaanngg…. Akhu…. ta….takut….kedeng…eran…suaranyaahhh…keluarh....bhaaaanngg”
ucap Ririn lambat, pelan, tersengal-sengal. Ia kerepotan mengatur antara keinginannya bicara dan nafas juga sensasi yang dirasa.

Aku mengajaknya berciuman untuk menahan desahannya agar tidak terlampau keras.

Tapi setiap kali jariku masuk ke dalam vaginanya, Ririn melepaskan ciuman dan mendesah menghebuskan nafas, “aaa~ahhh….”

“bhu….bukha bang… bhu….bukha bang…”
kata Ririn sambil tangan kiri yang merangkul di leherku menarik-narik kaos yang aku pakai.

Aku mengeluarkan kedua tanganku dari dalam gamis dan celana dalam. Aku lepaskan rangkulan Ririn, setelah punggung dan kepalanya tidak bersender ditubuhku, aku melepaskan kaos yang aku pakai. Kemudian aku jatuhkan ke lantai di pinggir ranjang.

Dengan suara yang lembut dan meminta, aku berbisik pada Ririn, take off your clothes, sayang”, sambil mengkat kedua tangannya lurus ke atas, Ririn menjawab dengan suara agak lemas, “do by you”.

Aku membuka kancing ketiga, aku pegang ujung bawah gamisnya, kemudian aku tarik ke atas. Ririn menurunkan tangannya melepaskan dari bagian lengannya, tangan kanan Ririn ke belakang memegang rambutnya, kepalanya menunduk. Kemudian gamis biru dongker itu lepas dari tubuh mungil Ririn. Aku menjatuhkan gamis itu di tempat yang sama dimana kaosku tergelatak.



Mataku tidak terlepas dari BH yang longgar karena tali pengaitnya sudah aku lepas, BH yang bermotif persis sama dengan celana dalam Ririn yang aku sudah lihat sebelumnya. Pola bergaris akan menjadi pola favoritku sejak malam ini. Warna gradasi pastel akan menjadi warna favoritku sejak malam ini. Aku mencintai malam ini dengan segala rupa yang tertangkap oleh mata; lekuk tubuh Ririn, garis pola, dan gradasi warna.



Ririn melepaskan tali BH yang melingkar di pundak kiri dengan tangan kananya, kemudian telapak tangan kanannya menutup payudara mungil sebelah kiri.

Ririn melepaskan tali BH yang melingkar di pundak kanan dengan tangan kirinya, kemudian telapak tangan kirinya menutup payudara sebelah kanan.

Sambil tangannya menyilang menutup payudara, Ririn memintaku mengambil BH miliknya dan menyimpannya bersamaan dengan tumpukan kaos milikku dan gamis miliknya.

Tanpa bicara apalagi bercanda, aku melakukan apa yang Ririn minta.

Ririn memelukku dengan cepat agar aku tak terus memperhatikannya,

Kedua tangan Ririn melingkar di dekat ketiakku, dagu Ririn menyentuh kulit pundakku, payudara Ririn yang mungil dan putingnya menyentuh dadaku. Aaaahhh ini jauh lebih baik dari SUNYODA yang dilakukan pada Ina.

Aku memeluk Ririn dengan sangat. Pinggangnya yang ramping, punggungnya yang halus, warna kulit dan warna pastel celana dalam yang dikenakannya sungguh enak dipandang. Aku memejamkan mata merasakan pelukan sehebat ini, pelukan tanpa ada helaian benang yang membatasi.



Setelah beberapa menit aku meresapi pelukan hebat ini,

“Sayang, nafas kamu kena leher aku bikin aku horny” ucapku pada Ririn

“sikap dan cara perhatian abang ke aku bikin aku sayang dan mau melakukan ini” Jawab Ririn.



Ririn memegang kedua pundakku, mendorongku perlahan ke arah samping hingga aku berbaring telentang dengan kaki (telapak-lutut) menjulur ke lantai.

Ririn menaiki tubuhku, kemudian seperti posisi sujud dimana aku di bawahnya, Ririn mencium Bibirku, lalu menuju leherku dan kemudian dia mengecup-ngecup dadaku, menyentuh putingku dengan lidahnya. Oooohhh aku sungguh sangat merasakan birahi yang membara.

Aku memegang kepala Ririn dengan kedua tangan agar Ririn berhenti melakukan itu karena aku sangat merasakan sensasi geli yang sulit aku tahan. Tanganku melingkar di bagian pantat Ririn. Aku bangun dari tidur dan mencoba berdiri menggendong Ririn. Lalu aku berputar dan menjatuhkan Ririn perlahan ke kasur hingga ia telentang.

Ririn mengambil bantal yang ada di samping kirinya dan menutupi payudaranya dengan bantal.

“jangan gini, aku malu” ucap Ririn memeluk bantal

“Enggak apa-apa gini, aku mau” ucapku sambil tersenyum genit.

Perlahan aku mengambil bantal yang dipeluk Ririn.

Payudara yang saat aku raba berukuran mungil itu ternyata memiliki warna yang bersih. Putingnya berwarna lebih gelap dibanding warna kulit tubuhnya. Aku turunkan tubuhku bertumpu pada tangan yang berada di pinggir kanan-kiri tubuh Ririn. Aku julurkan lidahku dimulai dari bawah pusar. Aku telusuri dengan lidahku naik ke atas, ke ulu hati, ke bagian pinggiran payudara aku berputar menjilati payudaranya.

Ririn menyentuh rambutku, mengusap-usap rambutku, dan mendorong kepalaku seperti meminta agar lidahku mengenai putting payudaranya.

Aku jilat dan aku sentuh-sentuh puttingnya dengan ujung lidahku sesekali aku hisap puttingnya. Ririn mendesah;

“ssssshhhhh,… hhuuuuhh”

“eeeuuuuhhh…haaaahh”


Ririn hanya mendesah. Saat mendesah, kepala Ririn bergerak tak terarah tak beraturan, sensasi ini tak bisa membuatnya bersikap tenang. Kedua tangannya memegang tanganku dengan kuat kemudian melepaskannya, menarik sprei kasur dan mengepalnya, kemudian melepaskannya. Sebagaimana kepalanya, Tangan Ririn seperti ingin menggenggam apa yang bisa digenggamnya dalam posisi seperti ini.



Aku meminta Ririn untuk memainkan penisku dengan mulutnya, tapi Ririn enggan melakukannya. Beberapa kali aku mencoba, sebanyak kali itulah Ririn menggelengkan kepalanya. Ia tetap enggan jika penisku masuk ke dalam mulutnya yang dihiasi bibir tipis dan merah muda itu.

Aku berdiri di lantai bertumbu dengan kedua lututku, aku memegang kedua pergelangan kaki Ririn yang menjulur ke lantai. Aku naikan ke atas ranjang kasur, kemudian aku dorong agar kakinya menekuk, lalu tangan kananku memegang lutut kiri Ririn, begitupun yang sebelahnya. Aku menahan agar Ririn tidak merapatkan selangkangannya.

Kedua tangan Ririn menutupi vaginanya, kepalanya menggeleng-geleng seperti memintaku untuk tidak melakukannya. Semakin kuat tekanan kedua lutut Ririn untuk saling mendekat-merapatkan selangkangannya, semakin kuat pula tanganku menahan lutut Ririn.

Aku menurunkan tubuhku, mencari posisi yang sesuai. Wajahku sudah berada tidak jauh dari vagina Ririn.

“jangan bang” Rintih Ririn memohon

Tanpa mempedulikan permohonan Ririn, aku mendekatkan mulutku ke vaginanya, menarik celana dalam yang dipakainya hingga naik ke paha, aku mencium aroma sirih dan sedikit amis.

Basah. Vagina Ririn sudah basah. Aku menjulurkan lidah dan menyentuhkan ujung lidahku di pangkal pahanya.

“eeuuhhh” desan Ririn sambil pinggulnya bergerak.

Lidahku berputar putar di sekitar vagina Ririn

“sssshhhh aaaaaahhhh…..

Ssshshhh uuuuuuhhhhh


Nafas Ririn semakin tidak beraturan. Tangannya mencoba menahan kepalaku, tapi tenaganya tak ada karena sensasi lidahku yang bergerak di selaput vaginanya membuatnya menggeliat-geliatkan badannya.

“aaaahhhh….aaaahhhhh” desah Ririn

Sambil aku menjilati vaginanya, tangan kiriku masuk memegang penisku. Aku menggenggam penisku dan menggerakan tanganku maju-mundur.

Tanpa berpikir panjang, aku berdiri, menyesuaikan mensejajarkan penisku dengan vagina Ririn dan mendekatkan penisku pada vagina Ririn yang basah itu.

Ririn terkejut, ia berusaha bangun tapi kesulitan karena lemas,

Aku tempelkan penisku di vaginanya yang masih sempit itu.

Aku gesek-gesekan penisku yang sudah sangat keras di vagina Ririn yang basah itu

Aku pegang penis dengan tangan kiri, aku arahkan ke lubang vagina Ririn

Vaginanya yang masih sempit, sulit ditembus oleh penisku

Aku dorong pinggulku ke depan sambil tangan kiriku mengarahkan penis ke lubangnya.

Ujung kepala penisku sudah lumayan masuk di bibir selaput vagina Ririn, lalu terdengar;

“sss….saaaa….saaa…kit… bhhhaaaannggg….aaaahhh ssshhh huuuuh” rintih Ririn

Aku melihat wajah Ririn yang kesakitan seperti menahan tangis.

Kedua tangan Ririn menutup wajahnya.

Aku menarik keluar penisku yang sudah setengah masuk itu.

Celana boxer aku naikkan ke atas, aku pakai lagi sebagai mana mestinya.

Lalu aku memegang kedua pergelangan tangan Ririn yang menutup wajahya, aku simpan di samping badannya sesuai sisi, aku cium bibirnya, dan aku peluk dia dengan rasa sayang dan sedikit rasa kasian karena Ririn kesakitan.

Ririn memeluk erat tubuhku, kemudian dengan suara sambil menangis dan nafas yang tak beraturan, Ririn membisik padaku; “engak bang.… don’t do that yet. Aku takut. Masih belum berani dan sakit banget bang”

“I love you. Do you still love me?” ucapku sambil memeluk Ririn erat.

“iyaaahhh… sshhh huuuuuhh” jawab Ririn sambil menarik nafas dalam dan menghebuskannya panjang.



Aku dan Ririn, berbaring telentang bersampingan. Tidak ada kata yang keluar dari mulut kita berdua, kita hanya sama-sama menatap atap yang sama, mengatur nafas, meredakan birahi yang sempat menjadi-jadi. Aku masih bertelanjang dada, Ririn masih menutup payudaranya dengan bantal yang dipeluknya. Sekitar 20 menit kita terdiam. Aku menyentuh tangan Ririn, Ririn merespon sentuhan tanganku. “Oh ternyata Ririn belum tidur” ucapku dalam benak.



“Sayang?Tanyaku

“Iya” jawab Ririn

“Nyalain yah lampunya?”

“Iya”.

Aku berdiri untuk menyalakan lampu kamar.

Sprei yang kusut; selimut yang terjatuh dari atas ranjang; kaos, gamis dan BH milik Ririn yang menumpuk di lantai; wajah Ririn yang cantik dengan mata yang lelah dan rambutnya yang acak-acakan, seketika terlihat jelas saat lampu kamar menyala. Mataku jeli melihat-lihat sekitar sprei khawatir ada darah yang menetes, tapi syukurnya tidak ada,



“Nih” aku memberikan BH pada Ririn.

“simpen aja di sana” Ririn menunjuk ke atas loker tempat kerudung dan ciputnya disimpan

“gabakal dipake?”

“enggak. Mau tidur braless aja”

Aku melempar BH nya dan untungnya BH mendarat pas di atas loker.

“kalau ini mau dipake?” tanyaku sambil memperlihatkan gamis Ririn

“iya atuh dipake, siniin” Aku memberikannya pada Ririn.

Aku memakai kaos; mematikan lagu di laptop; mengambil rokok, HP dan korek.

“aku keluar dulu yah”

“ngerokok?”

“iya. Jangan dikunci. Nanti aku malah tidur di luar” ucapku sambil senyum lebar

Ririn hanya membalas senyumku dengan senyumnya.



Aku tutup pintu kamar dari luar, lalu berjalan ke kursi panjang di teras kostan. Menyalakan rokok, menyalakan HP. Waktu menunjukan pukul 03.43 WIB. Aku scroling TL Instagram, melamun, sempat terpikir untuk onani di toilet kamar karena tadi kurang klimaks. Andai saja aku lebih tega memasukan penisku ke vagina Ririn, mungkin malam ini akan berakhir dengan penetrasi yang melegakan. Habis 2 batang, kembali masuk ke kamar. Ririn sudah tertidur dengan mengenakan selimut. Setelah mengunci pintu dari dalam, aku minum air putih, dan berbaring di pinggir Ririn berbagi selimut kemudian memeluknya hingga aku terlelap tidur.







SUNMORI
Sunday Morning with Ririn



“Bangun….. abang, bangun… udah siang” Ririn membangunkanku sambil mendorong-dorong pundak dan pinggangku.

“jam berapa?” tanyaku

“setengah sembilan. Ini ih makan dulu aku udah beli sarapan”

“di mana kamu beli? Kapan?” Tanyaku sambil aku melihat bungkusan kresek

“tadi ngegofood. Jam 8an”

“terus kamu ngambil ke luar gitu ke gerbang kostan?”

“iya. Emang kenapa?”

“ketemu sama penghuni kostan lain gak?”

“enggak”

“iya sih rata-rata di sini bangunnya pada siang”

“ayok ih sarapan dulu ini. Ketoprak.”

“Kamu udah makan?”

“belum. Pengen makan bareng”

“cium dulu dong”

“ih gak mau ah.”

“morning sex ai kamu. Sini give me hug and kiss”

“gamau bau jigong”

“emang kamu udah mandi?”

“eheheh belum sih, tapi aku udah cuci muka sikat gigi”

“sini peluk cium dulu biar hari mingguku menyenangkan sejak pagi”

“janji peluk cium aja yah?”

“emang gak mau sambil apa?”

“gak mau kayak semalem, tanganya masuk-masuk, sampe-sampe ‘itunya’ abang dikeluarin. Pokonya last night we almost did a dangerous thing”

“iya janji peluk cium doang”

“awas loh kalau lebih”

Ririn naik ke atas kasur menghampiriku, mencium pipi dan keningku, kemudian aku dan ririn saling mengikat lidah dipagi hari. Bau sih, terutama mulutku yang bau tapi yaa gapapa, lagi pula Ririn mau. Ehehehe

Kita saling memeluk erat. Aku merasakan payudara Ririn langsung tanpa ada cup BH

“eh, masih gak pake BH?

“Iyah. Kerasa?”

“Ho’oh”

“Tadi ngambil makanan gak pake BH?”
lanjutku bertanya

“Enggak.”

“Pake kerudung gak?”

“Pake atuh”

“Lah terus keliatan atuh nyetak putting kamu?”

“ih apaan sih. Ya enggak atuh, kan kerudungnya aku lebarin nutupin dada”

“ooohhh iya”

“Nih ulah abang nih semalem nih liat” Ririn menunjukkan tanda merah (cupang) di bagian dada dekat payudaranya dan bagian perut di samping pusar.

“ah gak begitu merah, besok-besok juga ilang. Leher gak ada?”

“enggak ada” kata Ririn

“hayu ih sarapan” Ririn kembali mengajak

“nanti atuh agak siangan. Jam 10 lah”

“ih aku lapeeerrr.. huhuhu” ririn memasang muka ingin dikasihani

“yaudah makan duluan”

“pengen bareeeennnggg”

“cuddle dulu sini”

“iiihhh malah ngajak cuddle”

Aku tarik tubuh Ririn, kita berbaring menyamping posisi spooning. Sepertinya posisi itu adalah posisi favorit kita. Aku memang benar-benar menyukainya karena merasa begitu intim dengan pasangan. Penisku yang mulai mengeras aku tempelkan ke pinggu Ririn yang berada di depanku.

“ih ‘itu’ abang kerasa” kata ririn sambil menggeser pinggulnya ke depan agar tidak mengani penisku

“semalem juga kena, kamu biasa aja”

“abang harus ngurang-ngurangin nonton video yang begituan”

“kenapa gitu?”

“Iya jadinya abangnya omes mulu, pake segala minta aku buat mainin ‘itu’ abang pake lidah aku. Ih wuek”

“iya kenapa sih gamau mulu?”

“ya atuh gak mau. Jorok bang. ‘itu’buat apa? Pipis kan. Kotor banyak kuman. Mulut aku buat apa? Makan. Ih wueeekkk nanti aku kalau makan ngebayanginnya ‘itu’ abang. Jorok, gamau ah. I never do that”

“bawel”

“biarin. Wleee”

“pake tangan kok mau?”

“yang kiri kan. Kalau yang kanan gak mau juga, buat makan juga.”

“Yaudah sekarang pake tangan kiri aja”

“GAK MAUUUUU…. Katanya janji Cuma peluk cium ih. Ayoooo sarapan, aku laper”



Aku melepas pelukanku. Ririn bangun dan duduk di lantai dekat meja laptop, membuka keresek dan bungkusan ketoprak. Aku duduk sejenak, kemudian berjalan menuju toilet, cuci muka. Keluar toilet, aku duduk di dekat Ririn, lalu kita makan bersama.





Selesai makan dan minum, aku merokok 1 batang, kembali ke kamar, membuka laptop menonton The Soleh Solehun Interview di Youtube. Sedangkan Ririn, membereskan tempat tidur, melipat selimut, membuang bungkus-bungkus cemilan yang habis, membersihkan kamar dan toilet.



Chat whatsApp masuk dari Ina:

“Bang kunci masih di abang?” tanya Ina

“iya masih. Pulang kapan?”

“Ini masih di jalan TOL. Sekitar jam 3 sorean kayaknya nyampe kostan. Nanti aku kabarin kalau udah ngelewat gasibu”

“Iya, takutnya aku telat, kamu nunggu di kedai kopi atau di mana dulu aja weh yah. Tapi aku usahain gak telat”

“iya, bang.”



Aku tidak memberitahu Ririn bahwa aku memegang kunci kostan Ina dan sore ini aku mau mengembalikannya.



Adzan dzuhur berkumandang.

“Mandi gih bang udah dzuhur”

“kamu juga belum mandi”

“ih malah ngebalik-balikin”

“kamu tadi solat subuh gak?” tanya kuk sambil senyum lebar

“enggak. Aku bangun jam setengah 7”

“padahal masih bisa kalau gitu, asal langsung aja. Katanya itu juga sih.”

“ya kan belum mandi besar, lagian emang agak males juga. Ehehe”

“kok jadi males sih? Biasanya paling rajin”

“Aku dari kemarin nih yah, dzuhur-ashar-maghrib-isya-terus tadi subuh, gak solat. Ih parah banget yah aku. Gara-gara bareng abang mulu kali yah? Ih abang bukannya nyontohin yang baik.”

“gausah nyalahin”



Jam 1 siang, Aku dan Ririn sudah makan, Ririn sudah selesai beres-beres kostan, Aku belum selesai menonton youtube.

“Bang anter pulang” pinta Ririn

“Gak bakal mandi dulu di sini?”

“nanti aja ah di kostan”

“kenapa gak mau mandi di sini?”

“baju dari kemarin. Aku gak bawa salin pakaian dalem lagi”

“ya gapapa mandi dulu aja, nanti nyampe kostan tinggal ganti daleman sama baju”

“enggak ah. Udah gak enak dipake ini juga dalemannya”



Kemudian aku mandi dan bersih-bersih. Saat mandi, terlintas dalam pikiran untuk onani melampiaskan adegan semalam, tapi aku urungkan karena lebih baik setelah mandi aku mesum dulu sama Ririn sebelum mengantarnya pulang. Barangkali bisa penetrasi meskipun cuma di HJ.



Aku keluar dari toilet dengan segar dan bugar. Aku masih memakai celana boxer tapi bukan yang semalam aku pakai. Ririn sedang duduk di lantai sambil bermain ular di HP, punggungnya menyender pada kayu yang menjadi ranjang kasur.

“Hayu atuh geura pake kerudung, siap-siap”

“Bentar, tanggung ini aku hampir sejuta.”

“lah baru hampir. Aku pernah nyampe 3jt 800an”



Karena game ular Ririn tak kunjung mati sedangkan waktu semakin mendekati jam 3 yang mana aku harus mengembalikan kunci kostan Ririn, akhirnya aku mengambil HP Ririn secara tiba-tiba dan menyimpannya di belakang punggungku.

“iiihhh abaaaannggg” Ririn kaget.

Aku hanya ketawa tanpa suara sambil mengangkat alis

“ih padahal udah sejuta itu, bisa lebih sampe sejuta setengah”

Aku masih tidak meresponnya dengan kata-kata

“Nyebelin ih, ayok pulang. Siniin Hpku” kata Ririn.

Aku mengacungkan jari telunjuk, kemudian menyentuh-nyentuhkannya ke pipi kananku sebagai isyarat bahwa aku ingin Ririn mencium pipiku.

“iihh cium mulu dari semalem. Gak bosen apa?” kata Ririn

Aku sempat berfikir iya juga yah. Kok aku doyan banget sih dicium dan cipokan sama Ririn. Tapi emang Ririn menggoda sih buat aku.

Aku berdiri untuk menyimpan HP Ririn di atas meja, di samping laptop. Ririn berdiri setelah aku melakukannya. Saat Ririn berdiri, aku langsung sergap tubuh mungil Ririn, dan aku jatuhkan lagi perlahan di kasur yang sudah dirapihkan Ririn.

Di atas kasur, aku duduk menahan dengan lutut dan ujung telapak kaki bagian depan, pantatku ditopang oleh kedua tumitku. Pinggul Ririn tepat berada di tengah antara paha kanan dan kiri.

“I caught you, little girl” ucapku pada Ririn

“OMG, bad wolf. Somebody help me” Kata Ririn berakting dengan nada orang berteriak tapi suaranya pelan.

Aku mengecup-ngecup, melumat, membasahi leher Ririn yang putih menggoda.

“Jangan dimerahin, bang” ucap Ririn pelan sambil menggerakan kepalanya memberikan ruang agar aku leluasa melakukannya.

“Iya enggak, sayang” ucapku dengan lembut, sambil mengangkat ujung bagian bawah gamis Ririn ke atas perutnya.

Celana dalam Ririn yang digunakannya semalam sudah terlihat, langsung aku menempelkan penisku yang masih tertutup boxer ke atas vagina Ririn yang ditutupi celana dalam.



Sambil aku mengemut telinga Ririn yang polos tanpa anting dan sesekali aku julurkan lidahku ke lubang telinga Ririn, aku menggesek-gesekan penisku perlahan dengan ritme yang konstan.

Ririn merasakan rangsangan yang dahsyat ketika lidahku bergerak-gerak membasahi bagian telinganya.

“mmmmhhhhh……” nafas Ririn mulai terdengar keras.

“fuuuuuhhhhh…..” balasku di dekat telinga ririn sambil aku menghembuskan nafas lembut perlahan ke telinganya.

Tangan Ririn meremas pundakku, mencari apapun yang bisa digenggamnya.

Ririn menggerak-gerakan vaginanya seirama dengan gerakan pinggulku sehingga penis dan vagina Ririn harmonis tergesek-gesek, terasa sangat merangsang jiwa kita berdua.

Aku menempelkan penisku dan berhenti menggerakan pinggangku, tapi pinggang ririn terus bergerak naik-turun, pinggulnya seolah tak bisa berhenti saat aku terus melumat telinganya.

“bhaaa….aaangg”

“aaaa~hhh”
desah Ririn mengeras, gerak pinggulnya seperti kejang menekan penisku.



Tubuhku aku tahan dengan tangan kanan saja, sedang tangan kiriku menggapai vagina Ririn. dan saat aku sentuh tepat di vaginanya, ooohh celana dalamnya basah lagi.

Aku masukan jari-jari tangan kiriku ke dalam celana-dalam, memutar-mutar di area klitoris Ririn

Gerakan pinggul Ririn yang naik-turun semakin cepat sesuai dengan desahannya yang ditahan karena takut ketauan tetangga kostan.

“aa…aaahh

“ah..aahh

“aaa~hh”




Aku tekan dengan cukup kuat jari tengahku agar bisa masuk ke dalam lubang vagina Ririn yang masih sempit

Tak lama ketika jari tengahku benar-benar masuk ke dalam lubangnya, aku gerakan keluar- masuk jariku dengan lebih cepat, semakin cepat gerak jariku, semakin lebar Ririn mengangkang, semakin lebar Ririn menganggkang, semakin kuat dan tak berarah cengkraman dan gerak tangan juga kepalanya.

4x-8x-12x-18x….terus hingga sekitar 25x jari tengahku bergerak cepat keluar-masuk lubang vagina Ririn, Ririn mendesah lebih keras dari desah-desah sebelumnya;

“AAAAAAAHHHHH, bhaaa~annnggg”

Aku menarik keluar jariku dari lubang vagina itu kemudian disusul cairan yang keluar menyiram membuat vagina Ririn, celana-dalam garis-garis berwarna merah pastel, dan Sprei kasur basah.

“Sssshhhh huuuuuhhhh…ssshhh..huuuuuh” Ririn mengatur nafasnya yang pendek dan tak beraturan. Kakinya yang mengangkang mulai diturunkan, menempel ke kasur, berselonjor. Matanya layu, keringat mengucur di lehernya. Tangan yang tadinya bergerak kesana-kemari mencengkram apa yang bisa dicengkram, menggenggam apa yang bisa digenggam, kini terkulai di samping tubuhnya.





Aku berdiri dari kasur, membelakangi Ririn, mengambil HP, dan membaca pesan masuk dari Ina “bang, udah di mana? Ini aku udah ngelewat Gasibu”. Saat aku mengetik untuk membalasnya, terdengar suara Ririn yang letih “Baanngg, kamu harus nikahin aku”.


BERSAMBUNG........


Luar biasa... Cuma bisa bilang itu...
 
EPISODE 5



MENGEMBALIKAN KUNCI KOSTAN INA

Aku mengenakan celana jeans, kaos, dan jaket disaat Ririn di toilet. Selesai Ririn menggunakan kerudungnya, aku dan Ririn keluar kamar. Ririn belum benar-benar pulih dari letih, gerakannya masih lambat, jalannya terlihat pelan dari satu langkah ke langkah lainnya.



“gak ada barang yang ketinggalan?”

“biarin ah ada juga, tinggal ke sini lagi atau minta abang anterin barangnya”

Kami berdua menaiki motor. Sebagaimana biasanya, Ririn duduk menyamping. Sebagaimana malam tadi, Ririn duduk sambil memeluk.

“dipake BH nya geningan?” tanyaku pelan saat Ririn sudah memelukku dan payudaranya menempel di punggungku.

“Yaiyalah”

“giliran sama aku, pelukan, dipake. Tadi pagi ngambil grabfood gak dipake”

Ririn mencubit perutku keras, “awww anjir nyeri” reflekku. Aku pun tancap gas menuju kostan Ririn mengantarkannya pulang.



Di jalan, aku dan Ririn membeli 4 potong pepaya. Potongannya memanjang, setiap potong dibungkus plastik bening yang panjang pula. 2 bungkus milikku, 2 bungkus milik pacarku. Tiba di warteg dekat gang kostan Ririn, Ririn turun perlahan dari motor.

“Masih lemes?”

“Lumayan. udah enggak terlalu”

“Jangan lupa mandi. Pepayanya makan”

“iya”

“Abis ini aku langsung pulang yah”

“Iya, daadaaaah”

“Daaaahhh”

Aku menunggu Ririn masuk gang. Setelah Ririn jauh dari pandangan, aku mengeluarkan HP, menelepon Ina.

“dimana?”

“Sebentar lagi turun di kostan.”

Aku menuju kostan Ina yang tidak begitu jauh dari warteg tempat Ririn turun. Aku menunggu di gerbang kostan Ina. Sudah habis pepaya 1 bungkus dan rokok 4 batang, Ina baru datang.

“yak bagus bilang ‘sebentar lagi’ tuh bener-bener sebentar” sindirku

“ahahaaa sorry baangg maklum traffic jam kan emang unpredict”

“nih” sambil aku kasihkan kunci kostan Ina

“thank you abang. Mau langsung pulang? apa mampir dulu ke dalem?”

“bawa makanan apa gitu?”

“dih otaknya teh makanan mulu. Hahaha”

“ehehehe… Mampir ah, gabut di kostan sendiri dari pagi”

makanya ajak maen siapa kek gitu biar gak bete”

“yang mau diajak maennya juga baru dateng dari pulkam, mau ngajaknya juga pasti capek”

“diiihh apaan sih… udah ah yuk masuk” ucap Ina senyam-senyum

Ina membuka gerbang pagar kostan, kita berjalan menuju kamar Ina. Pintu kamar terbuka, Ina masuk kamar sambil berucap “yuhuuuu kostankuuu aku kangen” dengan nada lebay. Aku masuk tanpa lebay.

“botol-botol udah dibawa kan bang?” tanya Ina.

“udah dari waktu kamis malem juga”

“yuhuu udah steril sekarang kostanku. Hahaha” ucap Ina pake nada lebay lagi.

Aku cuma diem aja. Duduk dan senderan sambil main HP.



Ina melepaskan kerudungnya dan mengantungkannya di paku di balik pintu. Lalu kemudian Ina mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam ranselnya. Pakaian-pakaian disimpan di lemari, cemilan dan botol minuman manis disimpan di dekat TV.



“abang udah makan belum? Nih Ibu ngebawain timbel (nasi bungkus)” kata ina menawarkan padaku.

“beuh mantap… apa aja lauknya?”

“Ayam, tahu, tempe, sambel, ikan asin, tumis waluh”

“ih terbaik dong si Ibu. Mantap”

“iya nih. Sok aja makan”

“masih belum begitu laper”

Sebetulnya aku kabita (tertarik pada makanan) dengan apa yang dibawa Ina, tapi sekitaran pinggang yang agak sakit akibat kondisi ‘kentang’ karena 2x mesum sama Ririn enggak sampe crot membuat aku lebih bernafsu memakan Ina daripada apa yang dibawanya.



Sekitar 40 menit aku dan Ina berada di ruang yang sama dengan fokus yang berbeda, bahkan mengobrol pun hanya seperlunya. Ina lebih banyak bermain HP sambil mengoperasikan laptopnya. Aku bermain HP sambil sesekali melihat layar TV dan melirik Ina.



Hasrat birahi yang makin terasa membuatku memikirkan cara bagaimana bisa mesum bareng Ina. Dimulai dari aku yang membicarakan postingan Anya Geraldine yang cantik dan sexy membuat aku mendambakannya, lalu artis-artis lain yang cantik dan sexy juga. Kemudian Ina yang memperlihatkan artis-artis luar negeri yang macho, tampan, berotot, yang membuat Ina mendambakannya.

Niat awal aku membicarakan hal itu untuk memberikan kode bahwa aku sedang memiliki hasrat biarahi justru malah terkesan membuat insecure diri kita masing-masing. Bagaimana tidak, foto-foto artis yang kita dambakan sangat bertolak belakang dengan tubuh kita, dan seperti mengisyaratkan bahwa aku bukan type yang Ina inginkan begitupun sebaliknya. Akhirnya aku menghentikan pembicaraan tentang hal itu.

Aku terus berfikir bagaimana memberi kode yang pas agar Ina mengerti dan mau untuk melakukan mesum. Ina memang tidak menarik secara fisik. Tapi rasa sakit pinggang karena ‘kentang’ dan cerita Senior waktu itu saat dia di-HJ dan BJ oleh Ina menjadi dua hal yang memotivasiku untuk melampiaskan pada Ina.

Singkat cerita, cara-cara yang tidak pas itu kemudian menemukan titik terang. Benar apa yang dikatakan oleh orang-orang bahwa jika ada laki-perempuan berdua di tempat yang sama maka yang ketiganya adalah setan. Aku mengajak ina bermain ludo offline di HP-ku. Karena memang game ludo menjadi salah satu hal yang trend di lingkungan kampus

“Gabut. Main ludo yuk. Berani enggak?”

“berdua doang mah kurang seru atuh. Harus berempat biar rame”

“gimana mau berempat orang di sini aja cuma berdua. Kita mainin ke-4 warnanya aja. 1 orang pegang 2 warna.”

Ina pun mengiyakan ajakanku. Kita bermain seperti biasa. Karena saat bermain agak terganggu dengan notif WA grup dan aku khawatir ada chat PC dari Ririn sehingga diketahui oleh Ina, maka aku mematikan jaringan data selular di HP-ku.

Kita bermain seperti biasa. Aku duduk di karpet, Ina tengkurap di kasur dengan bantal yang dijadikan sandaran dadanya. Kasur ina tidak menggunakan ranjang sehingga saat ina tengkurap di kasur dengan aku yang duduk sila masih bisa dekat dengan HP yang diletakan diantara kita. Posisi kita tidak benar-benar berhadapan, jarak kita seperti angka 6 dan angka 8 pada jam dinding. Ina berada di sebelah kiriku.

Keseruan terjadi ketika bidak salah satu dari kita berada di kotak yang sama sehingga membuat bidak yang ‘ditabrak’ harus kembali ke tempat asal (kandang).

“iiihhh abang jangan tabrak yang akuuuu. kkwkwkwkwk”

“aaahh bete ah hahahaa”

“hahahahaaa sukuriiinnnn aku balas dendam”

“yesss dadah abaangg aku duluan. wkkwk”


Kurang lebih seperti itulah ekspresi Ina saat bidaknya ‘ditabrak’ atau ‘menabrak’ bidak milikku. Saat ina reflek ingin menepuk lutut/pundakku tak jarang aku reflek menangkisnya sehingga tangan kita justru saling berpegangan. Ina terlihat lebih berambisi untuk memenangkan pertandingan sedang aku lebih berorientasi menabrak bidak Ina agar kembali ke kandang.



Nuansa terbangun seiring banyaknya sentuhan tangan dengan tangan, tangan dengan pundak dan wajah kita yang berkatan saat berbicara. Entah nuansa apa yang dirasakan Ina, mungkin baper atau mungkin juga semi-sange. Tapi saat itu aku merasa birahi memuncak kembali.

Entah karena hoki atau karena strategi, permainan dimenangkan olehku. Kedua warna yang aku pegang lebih dulu terkumpul di kotak terakhir. Aku menang dari Ina. Ina sempat terus menganggap aku curang karena aku lebih sering menabrak bidaknya. Aku menapikan anggapan curang itu dengan tertawa, bercanda, dan sentuhan lembut. Ketika sedang seru-canda di akhir permainan, aku sibak perlahan rambut pinggir ina, aku kaitkan di belakang telingnya hingga telinga kanan Ina yang lebih tebal dari telinga Ririn terlihat.



“mmmm…minta apa yah aku sebagai pemenang. hahaha”

“dih dih enggak ada perjanjian sebelumnya kalo yang menang dapet hadiah” jawab Ina, sambil menggulingkan badannya yang gendut ke sisi sebelah kiri. Posisinya menjadi telentang. Jarak kita semakin renggang dari posisi angka 6 dan 8 di jam dinding. “ahahaha iya juga yah. Duh nyesel gak bikin perjanjian yang menang dapet apa” jawabku sambil memperhatikan Ina.



PERANG ANTARA PIKIRAN DAN SELANGKANGAN

Mataku tidak terlepas dari lekuk yang yang menonjol di bagian dada Ina. Payudaranya lebih enak dilihat dibanding wajahnya. Aku bergeser naik, duduk di kasur. Nekat aku meraih tangan kanan Ina yang sedang telentang lalu aku menggeserkan lagi tubuhku supaya duduk lebih dekat dengan Ina.

Ina tiba-tiba bangun, dan duduk. Aku sempat kikuk saat ina bangun, aku menganggap Ina takut dan menghindar dariku yang siap menerkam saat dia telentang.

Tanganku sudah tidak memegang tangannya lagi tapi kita duduk di atas kasur berdekatan.

Perlahan tapi pasti, aku mendekati tubuh gendut Ina yang sedang duduk sila di atas kasur. Diawali memegang lutut kirinya menuju paha yang besarnya sebesar perutku. Ina hanya memegang punggung tanganku yang berada di pahanya itu. Aku usap-usap pahanya. Tangan Ina tidak menahan gerakan tanganku.



Wajahku aku dekatkan dengan wajah Ina yang tidak cantik itu, mendekati bibir Ina yang tidak merah muda. Bibir Ina bergerak pelan seperti menyiapkan sambutan selamat datang pada bibirku. Mendekat mendekat mendekat lalu aku palingkan wajahku ke samping dan mendarat di pundak kanan Ina sambil aku lingkarkan tanganku ke tubuh Ina. Aku dan Ina berpelukan sambil duduk. Memeluk ina sambil duduk membuat payudara Ina tak begitu SUNYODA.

Aku tak jadi menciumnya karena nafas yang keluar dari mulut Ina baunya tak enak. Sepertinya ada gigi ina yang bolong atau entah karena apa, tapi nafasnya bau tak sedap. Mungkin ini alasan yang sama kenapa Senior tidak cipokan dengan Ina waktu itu.



Ingin aku cium leher Ina disaat kepalaku berada di pundaknya, tapi lagi-lagi leher Ina beraroma kecut-cuka. Mungkin karena keringat di lipatan-lipatan lehernya itu. Aku menyadari bahwa Ina baru saja menempuh perjalanan pulang dari kampung halamannya, berkeringat kena panas matahari, ditambah belum mandi. Wajar kalau bau. Aku jadi tidak bernafsu untuk mencium bibir Ina dan mengecup lehernya. Tapi hasrat mesum masih tinggi.

Aku melepaskan pelukan. Kita saling berhadapan. Kedua tanganku perlahan menuju payudaranya yang besar. Ini kali pertama aku ‘ngegrepe’ sambil bertatapan-berhadapan tanap ciuman sebelumnya, tanpa mengecup apapun. Canggung. Sungguh sangat canggung. Aku mati gaya di depan Ina.

Sebagaimana lelaki yang ‘kandel kulit bengeut (tak tau malu)’, aku terus menggerakan jemariku, meremas-acak payudara Ina yang besar itu, aku buka ikatan sabuk, kancing celana, dan sleting dengan tangan kanan, lalu aku masukan ke dalam celana boxer, kemudian posisikan penisku agar dapat ereksi dengan tidak terhalang celana sambil aku usap-usap penisku yang semakin mengeras.

Meskipun sebenarnya aku merasa mati gaya tapi terus aku remas-remas payudara Ina.

“Na….” ucapku sambil aku setengah berdiri (bertumpu dengan lutut) aku dekatkan penisku ke arah Ina memberikan gesture pertanda aku ingin Ina memainkan penisku.

Ina masih duduk sila dan memandangiku. Ina nampak tidak begitu terangsang tapi tiba-tiba ada tangan yang meremas payudaranya.

Aku yang sudah nekat tak tau malu ditambah hasrat saat dengan Ririn yang belum benar-benar reda membuat aku mengeluarkan penisku yang sudah keras dan bengkok ke kiri dari dalam boxer.

Aku tarik tangan kanan Ina ke arah penisku.

“please do it, Na”

Tangan Ina yang telapaknya agak basah itu menggenggam penisku yang tegang dan bengkok.

Dari pangkal penis hingga kepala penis, tangan Ina melingkar bergerak maju-mundur. Ke depan kepala penis – ke batang penis – ke pangkal penis – ke batang penis – ke kepala penis. Terus Ina lakukan berulang-ulang. Tangaku terus meremas payudara Ina yang besar.

Semakin lama, gerakan tangan Ina semakin cepat. Semakin cepat gerakan Ina mengocok penisku, semakin tanganku tak kuasa meremas payudara Ina.

“bbeeeuuuhhhh… Naaaaa…” aku mengerang nikmat.

Ina memiliki skill yang tidak dimiliki perempuan yang aku sayang.

‘fuuuuhhhh…..” kepalaku lebih banyak menengadah ke atas menahan linu-nikmat gerakan tangan Ina di penisku

Aku bangun berdiri sambil tanganku menyentuh bahu ina bagian dalam memberikan isyarat agar Ina tidak duduk sila saja. Ina pun terbangun, dia setengah berdiri bertumpu pada lutunya.

puk…puk..ppukkk… suara tangan ina menari di batang penisku

Tiba-tiba….

tttttsaaaaahhhh Ina memasukkan penisku ke dalam mulutnya yang bau itu. Bibirnya yang tebal menjelajahi kulit penisku yang sudah keras maksimal. Linu-nikmat di sekitaran pantat, lutut, hingga jempol kaki sangat aku rasakan. Apalagi saat kantung biji pelirku dilahap oleh Ina.

“oooookkkhhhhhhh…..”

“oookkkhhhhh….”


Ina terus melakukannya dengan terampil. Jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Ririn.

“fuuuuhhh… na… na… udah dulu na.. bentar bentar” kataku sambil menahan kepala Ina yang terus bergerak. Ina mengeluarkan penisku yang diemutnya. Aku meminta Ina membuka bajunya sambil aku ke berpindak ke karpet.

Ina membuka bajunya. Tanktop yang kekecilan tidak sampai menutupi seluruh perutnya dan BH yang sewarna dengan tanktop masih dikenakan.

Belahan payudara Ina sangat jelas terlihat seperti garis tengan lapang futsal. “anjing gede banget bangsat” gumamku dalam hati.

Aku meminta Ina meminkan penisku lagi.

Jujur, aku lebih ingin dimainkan penisku oleh Ina saja. Aku merasa ogah untuk membuat Ina ‘enak’ dengan cara menelusuri tubuh Ina dengan bibirku, lipatan kulit-lemak yang gelimbir-gelimbir itu membuat aku enggan melakukannya. Ditambah lagi aku membayangkan Ina yang belum mandi sepulang perjalanan dari pulkamnya. Lehernya saja sudah kecut, apalagi lipatan di badannya. Ah sudah lah.



Ina kembali memainkan penisku yang on-fire.

Aku lebih banyak menengadahkan kepalaku merasakan linu-nikmat jemari tangan, bibir tebal, dan lidah Ina di penisku.

Sesekali aku menundukkan kepala melihat Ina bermesraan dengan penisku, tapi totol-totol biang keringat di sekitaran dadanya merusak keindahan belahan dada Ina. Belum lagi bekas jerawat di punggung ina yang seperti taburan bawang goreng itu mengacaukan ‘mood’ ku. Jadi aku lebih sering memejamkan mata dan menengadahkan kepala saja.

‘’’eeuuuhhh naaaa…fuuuuhhh…..”

Otot-otot pantatku menguat-meregang atas sensasi lidah Ina yang menyentuh kepala penisku.

“eu…eu..euaaaahhh…” aku pre-cum

“mmmhhh… cuh…” Ina mengeluarkan penisku lalu meludahi kepala penisku

“aaaaa….hhhhh… hhrrhrrrrrhrhhrr…..” aku menikmati penisku yang dilumat

“hshshshshssssshh……”

Merasa kalau aku terus dibeginikan aku akan cepat ejakulasi. Aku meminta ina berhenti dan menelanjanginya.

“aku buka-buka dulu. Kamu juga dong”

Aku melepaskan celana dan boxer yang sudah merosot di lututku. Lalu membuka kaos.

Aku lebih dulu telanjang bulat di banding Ina. “gila, tadi dan semalem aja aku gak sampe telanjang gini sama Ririn” gumamku lagi dalam hati. Ina membuka tanktop dan BH nya, tapi tidak melepas celananya.

“I'm naked” ucapku pertanda aku meminta Ina melakukan hal yang sama

“gak ah” jawab Ina.

Ucapan seniorku itu aku buktikan sekarang. Payudara ina yang besar dan bisa menutup mukanya itu nyata. Tapi bentuknya aneh. Besar tapi tidak menggemaskan. Putingnya lebih hitam dibanding putting Ririn. Ah aku lebih suka payudara Ririn. Gemas dan bersih.



Dengan gesturnya, Ina seperti mengajakku berciuman. Tapi aku mengalihkan dengan meraba-raba payudara ina yang besar dan mengarahkan penisku ke payudaranya. Aku masih enggan berciuman dengan Ina.

Aku sentuh-sentuhkan kepala penisku ke putting payudara Ina. Aku gesek-gesekan ke semua bagian payudaranya. Aku simpan penisku di tengah dan aku himpit penisku dengan kedua payudaranya.

-plookkk…pplookk-

Uh sungguh rasanya penisku ingin bucat. Aku cabut penisku karena khawatir aku ejakulasi cepat.

Aku bisikan ke Ina sambil aku buka celananya agak memaksa.

“Na, buka yah. Abang jilat dan mainin pussy kamu biar enggak abang aja yang enak”

Mulut Ina berkata “enggak mau” tapi tubuh ina tidak ada yang menahan gerak tanganku membuka celananya.

Bagian pinggang celana berhasil aku turunkan hingga tengah pantat Ina. Pantat Ina yang sangat besar. Di pantatnya itu aku melihat singkayo dan kulitnya yang glimbir-glimbir lemak seperti permukaan body mobil yang bonyok-bonyok. Aku langsung tarik lagi celana ina ke atas sambil bilang “yaudah kalau Ina gak mau.”

Sebelum aku menemukan semakin banyak hal-hal yang membuat ‘mood’ turun, aku memutuskan untuk tidak menahan klimaks. Aku arahkan lagi tangan Ina ke penisku memintanya memainkan penisku.

Ina meremas penisku dengan tekanan yang pas dan gerakan yang terampil.

Sambil penisku dimainkan tangan Ina, lidah ina menyentuh biji pelirku, bibirnya menyeruput kulit kantung pelir. Aku memejamkan mata berfokus merasakan linu-nikmat sensasinya. Membayangkan celana dalam dan BH gari-garis gradasi pastel milik Ririn, Bibir Ririn yang merah muda mengucup dada dan putingku, Bibir tipis ririn yang aku kecup dan gigit manja, ucapan lembut Ririn bernada manja, payudara Ririn yang mungil, mengkel, dan mulus kulitnya.

“eeeeeuuuhhhh………”

“fuuuuhhhhh……”

“rrrhhhh……”

“huuuuuhhhh”

“ssssssshhhh………..”


Otot pantat semakin meregang, jemari kaki bereaksi, lutut dan paha ikut bersensasi

Aku tahan kepala Ina, aku mundurkan pinggulku agar Penis keluar dari mulut Ina, aku tekan perlahan penisku diarahkan ke belahan dada Ina.

Kemudian…. Aku tembakan semua sprema yang tertahan sejak semalam.

Belahan payudara ina yang jelas seperti garis tengah lapang futsal dengan totol-totol biang keringat, aku sirami dengan cairan kental berwarna putih pucat.

Sungguh adegan mesum yang dilematis. Tanpa kasih dan hanya mengejar crot semata. Persetan dengan apa tanggapan Ina. Aku sudah ejakulasi. Aku berikan kotak tisu pada Ina kemudian aku memasuki toilet membersihkan penisku dan memijat mengeluarkan cairan yang sedikit masih ada.



Aku kembali memakai boxer, celana jeans, dan kaos. Kemudian kulirik wajah Ina yang seperti kecewa atau B aja atau entahlah, aku tidak begitu peduli juga.

“kedepan dulu, na. ngerokok” kataku setelah membawa HP. Aku buka pintu kamar dan pergi ke luar.



Menyalakan rokok, hisapan demi hisapan. Ini mesum paling aneh bagiku. Enak tapi tidak nikmat. Terasa lemas tapi tidak puas. Tiada mesra, tiada kasih-sayang, tiada kecup. Ternyata seks bukan hanya adegan ranjang saja. Kalaupun melakukan dengan orang yang tidak dicinta, paling tidak harus melakukan dengan orang yang bisa aku terima.

Tubuh Ina tidak bisa aku terima sepenuhnya. Pantatnya yang besar justru membuat aku enggan menyetubuhinya. Aku menganggap akan kesulitan mencari lubang vagina Ina untuk penisku. Di dalam pikiranku, “mungkin aku akan menemukan lubang vagina Ina saat aku dudukan dia di ember berisi air, kemudian akan ada gelembung-gelembung, lalu aku cari berasal dari mana gelembung-gelembung itu dan aku sumpal dengan sesuatu yang bisa menjadi tanda bahwa itu lubang vaginanya.” Ehehee.

Aku nyalakan layar HP dan aku hidupkan jaringan datanya. Notif WA muncul, pesan baru dari Ririn. Chat yang panjang membuat aku berfikir panjang.

“Apa yang dikatakan Ririn masuk akal. Bisa aku terima. Aku tidak bisa menapikan sayangku pada Ririn. Hanya demi pria sepertiku, Ririn mengorbankan banyak hal dan hal-hal berharga, termasuk prinsipnya. Lagi pula akan ada waktu yang tepat untuk melakukan hal itu pada Ririn” Ucapku pada diriku setelah berfikir panjang memikirkan chat Ririn yang panjang.

-CERITA BERAKHIR-
Terima kasih untuk para Suhu-suhu yang mau membaca dan memahim kisahku.
Bang, seumpamanya aku adalah pembuat dinding untuk hatiku sendiri berarti abang adalah pemanjatnya. Setinggi apapun aku bikin dinding, setinggi itu pula tekad abang menaikinya. Tapi pada suatu waktu justru aku yang sengaja berhenti untuk meninggikan dinding itu supaya abang gak terlalu susah menaikinya dan bisa tiba di hati aku. Tapi pada suatu waktu justru aku yang pengen ngehancurin dinding yang udah aku buat supaya abang lebih mudah datang ke hati aku.

Aku juga gatau gimana abang bisa ada di hati aku, entah karena abang yang panjat atau aku yang hancurin dindingnya. Ririn gatau bang. Tapi Ririn ngerasa abang udah nyampe di hati Ririn. Ririn seneng sekaligus takut.

Aku gak bisa ngelupain kejadian dari semalem. Aku ngerasa itu udah kelewa batas. Kalau boleh jujur, Abang tuh bukan typical cowo aku. Terutama dari kebiasaan abang dan pergaulan abang yang buat aku kurang sreg. Tapi pada akhirnya, semua perempuan juga akan sama. Mengenyampingkan ‘kategori cowo’ yang dipengen atas dasar kenyamanan.

Banyak yang udah aku lakukan sama abang yang sebelumnya belum pernah Ririn lakuin. Ririn sayang abang. Ririn pengen abang juga sayang aku. Tapi sayang kita jangan jadi musibah buat kita. Ririn takut bang.

“Kalau kamu tidak bisa mewarnai hidup seseorang, maka jangan pudarkan warna aslinya” semoga abang tidak melakukan itu ke hidup Ririn.

Ririn sayang abang.
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Kok agak sedih² gmn gt ya baca chat nya, sama kayak ane dikasih chat dari seorang akhwat yg milih utk berhenti dan perlahan pergi dari kehidupan ane 😩
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd