Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG U G I (Lelaki Pendiam Bermata Teduh)

Bimabet
TUJUH
======

Hal yang sangat disesali Marsanda dalam hidupnya adalah bertemu dengan Iwa Kartiwa. Lelaki bangsat itu telah merenggut keperawanannya dengan cara menipu. Ia mengaku bujangan saat mereka bertemu di pasar Dangdeur. Saat itu, Sanda bekerja di toko bahan-bahan kue milik Koh Hok Lim yang terletak di sudut pasar. Iwa datang secara teratur, ia berbelanja berbagai bahan untuk membuat kue pancong alias bandros.

Selalu dengan senyum manis menyapa Sanda, memuji-muji dan merayu. Lalu akhirnya mengajak Sanda ikut berjualan pada hari Minggu di dekat stasiun kereta api Cicalengka.

Berjualan kue pancong kalau sedang ramai keuntungannya lumayan. Marsanda melihat pekerjaan itu tidaklah buruk, keuntungannya cukup menjanjikan dan kalau mereka hemat, mereka bisa menabung.

Bila tabungan cukup, mereka bisa menikah. Begitulah yang dijanjikan Iwa saat mengajak Sanda jalan-jalan di malam minggu hingga larut. Waktu pulang, Iwa mengantarnya sampai rumah, lalu di halaman belakang, dekat kebun, Iwa menarik celana Sanda hingga dengkul dan ia juga menurunkan celananya juga untuk menongolkan kontolnya yang sudah tegang, lalu menusukkan ke liang memek Sanda secara langsung.

Awalnya sakit tapi enak. Iwa menggenjotnya lalu beberapa menit kemudian mendadak lelaki itu menggeram aneh.

“Arrgggkhhhh….” Desisnya keras. Lalu mendadak saja celana dalam dan celana panjang Sanda yang meregang di dengkulnya basah oleh cairan kental. Iwa kemudian buru-buru mengenakan celananya dan pamitan pergi. Tapi malam itu Marsanda tidak bisa tidur, ia merenung dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri. “Benar juga apa kata Teh Minar, ewean itu ternyata kurang enak.”

Karena semalam tidak bisa tidur, esoknya Sanda bangun kesiangan. Ia bangun jam 12 siang. Tapi itu tak menyurutkan dirinya untuk pergi ke stasiun Cicalengka untuk membantu Iwa, toh biasanya juga kalau pagi dan siang, jualan tidak begitu ramai. Tiba di stasiun, Sanda melihat ada seorang perempuan hamil tengah melayani pembeli di gerobak kue pancong milik Iwa. Ketika Sanda bertanya kepada perempuan itu, dia siapanya Iwa, perempuan itu menjawab istrinya. Sanda terhenyak tapi pura-pura bersikap biasa saja.

Iwa sendiri begitu melihat Sanda datang dari kejauhan, dia langsung ngacir, pergi entah ke mana. Keesokan harinya setelah pulang kerja, Sanda mendatangi Iwa yang sedang berjualan. Memukul kepalanya dengan bata merah dari belakang dan menghancurkan gerobaknya sampai remuk tidak berbentuk.

Sanda kemudian ditangkap polisi dan mendekam di dalam bui selama 1 minggu. Persoalan diselesaikan secara kekeluargaan, keluarga Iwa tidak menuntutnya hingga ke pengadilan. Namun masyarakat menghukum Sanda secara sosial. Ia dianggap pelakorlah, perempuan murahanlah dan lain sebagainya. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya sebagai pelayan toko bahan kue.

Suatu hari, Iwan Setiawan mengantarkan motor ojeg yang merupakan milik bersama antara bapaknya, yakni Pak Jaja, dengan Pak Yaya, Setiap 2 hari sekali, mereka giliran narik dengan motor bersama tersebut. Setelah menyerahkan motor tersebut kepada Pak Yaya, Iwan kemudian mendekati Sanda yang tengah memberi makan ayam-ayam peliharaan. Memeluknya dari belakang dan berbisik di telinga Sanda mengajaknya ewean.

“Nanti aku kasih 10 ribu.” Bisik Iwan. Sanda menjawabnya dengan sebuah tonjokkan kilat persis mengenai hidung Iwan hingga mengucurkan darah.

Dari ke 5 anak Pak Yaya, Marsanda boleh dikata yang paling jangkung, dan sebetulnya yang paling menarik. Sanda menyukai kebersihan dan olahraga serta pekerjaan-pekerjaan fisik lainnya, dalam banyak hal ia juga rajin dan cekatan, sayang sifatnya yang agak temberang membuat Sanda melakukan banyak kesalahan dalam hidupnya dan ditakuti oleh beberapa orang lelaki.



DELAPAN
========

Selesai makan, Sutinah dan Kokom menyeduh kopi dan membawanya ke teras samping, dekat paviliun yang merupakan kamar mereka. Malam sudah jatuh dan bintang-bintang tampak bertaburan di langit yang biru pekat.
“Apa mungkin si Ugi mau membeli kopi kita dengan harga 500 ribu, Nah?” tanya Kokom sambil menyalakan sigaretnya.
“Entahlah, setelah apa yang dilakukan oleh si Iwan, mungkin dia akan lebih berhati-hati dalam membeli kopi.” Jawab Sutinah. Ia menjumput sigaret terakhir dan menyalakannya.
“Si Iwan benar-benar tolol.”
“Dasar lelaki tukang kawin… uang hasil tipu-tipunya pasti dipake kawin lagi sama si Lilis… eh, ia kan baru 16 tahun.”
“Ya, tapi dengan uang 2 juta setengah, Mang Opi pasti mau melepas anaknya.”
“Dua juta setengah? Wow, rugi banyak si Ugi.” Sutinah mendecak.
“Kata si Minar, kopi arabika yang dipisahkannya paling banter hanya 10 kilo, itu pun si Iwan dapatnya dari mencuri milik koperasi desa. Ia mencampurkannya dengan kopi sampah yang dibuang sama koperasi…”
“Kamu inget enggak Kom, dulu si Ugi sering ngelirik-lirik kita… aku inget dulu waktu kamu sengaja ngelihatin paha kamu yang membuat dia melotot… he he he…”

Kokom ikut terkekeh.

10 tahun yang lalu, mereka masing-masing masih memiliki suami sebelum menjadi janda. Mereka pernah merasakan tahun-tahun yang menyenangkan memiliki seorang lelaki dalam kehidupan mereka. Pernah merasakan betapa nikmatnya kelelakian mereka ketika bekerja dengan penuh semangat menusuk-nusuk selangkangan. Itu tak terlukiskan. Sutinah dan Kokom paham bahwa hidup tak selamanya seperti yang mereka inginkan. Suami-suami mereka mati dengan cara berbeda dan di tempat yang berbeda, namun hasilnya tetap sama, membuat Sutinah dan Kokom menjadi janda.

“Kamu bisa ke sana dan menawarkan kopi ini.” Kata Sutinah sambil mengisap sigaretnya dalam-dalam, “kamu bisa pergi secara diam-diam.”
“Kamu gila, Nah.” Kokom berkata dengan wajah merah. Mendadak saja memeknya yang bersembunyi di balik celana dalamnya, berkeriut-keriut kegatalan. Bertahun-tahun tidak disentuh lelaki, “si neneng cantik”nya jadi sangat sensitif.
“Kamu bisa tawarkan 500 ribu… dengan sedikit menggoda-goda…” Ujar Sutinah penuh arti.
“Apaan sih!”
“Aku tahu si Ugi sejak dulu menyukai kamu… he he he… siapa tahu dia juga lagi gatel…”
“Kamu gila!”
“Aku pernah melihat dia lagi kencing, Kom…. Ssst, kontolnya gede… dijamin kenyang.”
“Kamu aja yang pergi sana.” Kokom berkata sebal, tapi sekarang dia merasakan kriat-kriut memeknya semakin kencang. Semakin gatal. “Lagi pula dia bukan anak kecil lagi, Nah. Ugi sekarang beda dengan Ugi yang dulu.”
“Tapi semua lelaki pada dasarnya sama, mereka butuh perempuan untuk…”
“Perempuan juga sama Nah, mereka butuh laki-laki.”
“Makanya kamu pergi ke sana… cepet gih.”
“Ogah. Belum tentu juga dia mau membeli kopinya.”
“Berapa aja harganya, yang penting jadi duit.”

Kokom terdiam sejenak. Dia menyesap kopinya dan mengisap sigaretnya.
“Baiklah, aku akan pergi. Yang penting kopinya jadi duit kan?”
“Ya, yang penting jadi duit.” Ujar Sutinah sambil menyeringai senang.






SEMBILAN
=========

Ketika kecil, Rina adalah anak yang sangat cengeng. Ia juga sangat takut pada suara geledek. Walau sekarang semuanya terasa seperti sesuatu yang menggelikan, namun saat itu Rina benar-benar ketakutan setengah mati. Ia ingat waktu pulang sekolah ia berlari sekencang-kencangnya sambil menangis karena suara geledek yang meledak-ledak. Langit mendung dan suasana siang berubah menjadi temaram. Ia ketakutan dan ingin secepatnya tiba di rumah. Namun saat tetes gerimis yang pertama turun diikuti ledakan suara halilintar, Rina yang panik terjengkang jatuh karena terantuk jalanan gang yang tidak rata. Ia jatuh persis di depan rumah Nek Ijah dan tanpa diduga Ugi ke luar dari rumah untuk menolongnya.

Ugi membantunya berdiri sambil tersenyum.

Rina tahu, walau kakak-kakaknya dan orang-orang lain selalu meledek Ugi, tapi cowok itu adalah cowok yang sangat baik. Orangnya juga tenang dan tak banyak bicara. Rina suka dengan cara Ugi melakukan sesuatu.

Pada saat Ugi membantunya berdiri, suara geledek susulan datang lebih keras. Rina meloncat dan memeluk Ugi sekuat-kuatnya. Pemuda kecil itu menyambut pelukannya dan membalasnya dengan dekapan yang kuat dan nyaman, lalu membawanya ke dalam rumah yang hangat. Saat itulah Rina pertama kali merasakan bagaimana pelukan seorang pria bisa demikian sangat nikmat dan menyamankan hati.

Hujan kemudian turun dengan sangat deras dan Rina tertidur dalam pelukan cowok itu.

Rina juga ingat ketika suatu hari ia memasuki kamar Ugi dan menemukan cowok itu tengah melipat baju dan memasukkannya ke dalam tas.
“Aa mau ke mana?”
“Mau ke Jakarta, nyusul mamah.”
“Sendiri?”
“Ya, sendiri.”
“Emang Aa tahu jalannya?”
“Ya, tahu. Masa enggak tahu.”
“Emang Aa berani?”
“Ya beranilah, masa takut.”
“Aa mau balik lagi ke sini?”
“Ya, mau lah. Rumah Aa kan di sini.”
“Kalau Aa pulang, mau enggak bawain oleh-oleh buat Rina?”
“Enggak tahu, Rin.”
“Kalau Rina kangen pengen dipeluk, gimana A?”
“Enggak tahu, Aa kan jauh ada di Jakarta.”
“Kata Nek Ijah, Aa enggak boleh pergi.”
“Soalnya nenek enggak mau sendirian. Tapi kalau Aa di sini terus, Aa enggak bisa sekolah sampai SMA.”
“Aa pengen sekolah yang tinggi ya?”
“I ya.”
“Buat apa?”
“Biar bisa cari duit yang banyak.”
“Buat apa duit banyak-banyak A?”
“Buat… mmm, misalnya beliin oleh-oleh buat kamu.”
“Beneran?”
“Beneran.”

Entah mengapa saat itu Rina merasa sangat senang sekali. Ia memeluk Ugi dan menciumi pipi pemuda itu tanpa bisa dihentikan. Ia juga menggesek-gesekan memeknya ke paha cowok itu. Rasanya nikmat sekali. Tak bisa dihentikan.
“Sudah, sudah. Aa pergi dulu ya.”
“Hati-hati ya A.”
“I ya. Kamu juga jangan cengeng dan suka nangis, kamu harus kuat.”
“I ya, A. Rina janji enggak cengeng.”

Setelah itu, Ugi menghilang selama 10 tahun.





SEPULUH
========

Bukan hal yang mudah bagi Kokom untuk memutuskan pergi ke rumah Ugi. Bagaimana pun, pemuda yang dulu dekil dan kucel itu telah meningkat derajatnya ke langit. Ia ganteng, kaya dan sarjana. Tidak mungkin bagi dirinya mendapatkan hati pemuda itu walau dulu pernah memuja dirinya. Jangankan mendapatkan hati pemuda itu, sedangkan untuk bisa dekat dan melihat bisnis apa yang digelutinya pun begitu jauh. Selain itu, usianya kini tak bisa dibilang muda. Ia sudah memasuki 35, kakaknya Sutinah sudah 39 dan kakak sulungnya Munaroh, sudah 42.

Coba katakan, satu saja, alasan apa yang bisa membuat Ugi tertarik kepadanya? Wajah dan body? Ia tak secantik Marsanda yang memiliki hidung mancung dan tubuh semampai. Kulit putih? Kulitnya tak seputih Rina atau Ranti. Payudara membusung dan menantang? Ia tak memiliki payudara sebagus Minarni.

Dia tak punya apa-apa. Ia cuma janda miskin yang kesepian. Walau ia punya sebidang tanah dan rumah warisan orangtuanya, tapi itu milik bertiga. Milik dirinya, Sutinah dan Munaroh. Ia juga tak punya pekerjaan tetap selain berkebun dan berternak ayam.

Satu-satunya yang dia miliki sekarang adalah memeknya yang gatel minta digergaji dengan batang tumpul yang hangat dan keras. Ya, digergaji sekeras-kerasnya dan secepat-cepatnya hingga bendungan kenikmatan di dalam perutnya ambrol. Soalnya sudah terlalu lama dia hanya merasakan jari-jarinya sendiri. Di saat tidak haid, dia bisa mencolok-colok memeknya sehari tiga kali. Apalagi malam kalau tidak bisa tidur. Colmek itu hukumnya wajib.

Tapi seberapa enak dicolok sama jari sendiri? Takkan lebih enak jika dicolok sama jari orang lain, apalagi sama kontol. Beuh! Pokoknya mah tak bisa dilukiskan. Apalagi ini kontol Ugi yang ganteng. “Ah, tidak. Ugi pasti takkan mau mengewe memek aku yang merana ini.” Kata Kokom dalam hatinya.

Jantung Kokom berdebar saat berdiri di depan pintu rumah Ugi. Suasana sekitar sepi. Di gang sudah tidak ada orang yang lalu lalang. Terdengar dari dalam rumah Ugi, jam dinding berdentang 8 kali.

Setengah ragu, ia memijit bel. Rasanya seperti setahun Kokom menunggu daun pintu terbuka ketika akhirnya wajah ganteng itu muncul di ambang pintu. Ia memakai piyama biru muda yang tipis dan halus. Badannya menyiarkan harum parfum maskulin yang membuat “si neneng cantiknya” berontak di balik celana dalamnya.
“Eh, Ceu Kokom.” Suaranya demikian lembut dan senyum ramahnya tidak dibuat-buat, “ada apa ya?”
“Eu… eu… anu Gi, ceuceu mau…”
“Masuk dulu, Ceu. Di luar dingin.”
“Ceuceu cuma sebentar…” tapi dalam hati Kokom merasa girang betul disuruh masuk ke dalam rumah.
“Masuk dulu.” Kata Ugi sambil membuka pintu lebar-lebar, “anginnya kenceng bener.”

Suasana rumah itu demikian nyaman, terang dan bersih saat Kokom masuk. Dari ujung ruangan terdengar suara televisi, menyiarkan suatu acara komedi.
“Silahkan duduk Ceu.”
“Maafkan sudah mengganggu…”
“Enggak, aku lagi santai, lagi nonton TV.”
“Ceuceu dengar dari Minar… katanya Ugi nerima beli kopi.”
“Oh Tuhan, itu kesalahan Ceu. Enggak, aku bukan bandar atau pengepul kopi. Aku sebenarnya enggak niat beli kopi apa pun, tapi Iwan menjualnya denga harga murah dan ia katanya lagi butuh duit.”
“Maksud ceuceu ke sini sebenarnya mau jual kopi… tapi kalau Ugi tidak berkenan… ya udah… enggak apa-apa.”
“Mm… sebetulnya tak ada salahnya membeli kopi bagus dengan harga murah, Ceu. Waktu aku membeli kopi dari Iwan, aku ingat mantan aku, namanya Adelia Putri Sutejo, dia punya kafe. Aku pikir aku bisa menjualnya ke dia.”
“Tapi ternyata Ugi ketipu ya?”
“Begitulah. Kopi yang bagusnya hanya sedikit, sekitar 10 kilo-an. Sayang sebetulnya Iwan nipu aku. Tadinya aku berencana merekrut dia untuk usaha yang sedang aku rintis.”

Oh, ternyata dia punya mantan! Bisik Kokom dalam hatinya, “dan mantannya mempunyai kafe… waw.”
“Ceuceu enggak jadi deh nawarin kopinya.” Kata Kokom merasa kalah.

Ugi tertawa kecil. Itu bukanlah jenis tawa menghina atau jenis apa pun yang bersifat merendahkan, tapi itu adalah jenis tawa karena suatu lawakan yang kurang lucu. Tawa yang berasal dari hati yang baik dan bijak.
“Kenapa enggak coba dulu, Ceu?” kata Ugi dengan ujung senyum tersunging di sudut bibirnya.
“Mak–maksudnya?”
“Aku yakin ceuceu tidak berniat menipu. Malam-malam datang ke rumah laki-laki yang hidup sendiri, itu membutuhkan nyali yang tidak kecil. Ceuceu pasti dalam keadaan terdesak.”

Kokom terdiam. Dalam hatinya dia mengeluh, “ya, aku terdesak, aku tak tahan ingin memekku ini dikontolin kamu, Gi, digenjot dan digergaji sampai puas.”
“Kenapa diam?” tanya Ugi.
“Eng–enggak. Ini, eu, anu, ceuceu mau nawarin kopi luwak asli… tidak banyak, cuma satu kilo. Kopi ini, didapat dari hasil mungutin di sepanjang kaki Gunung Kareumbi… di sana banyak luwak liar yang…”
“Cukup, Ceu. Tak usah detil. Aku ingat dulu waktu kecil aku suka juga main ke kaki gunung untuk mencari jamur dan mencari tinja luwak yang berisi biji kopi utuh… hmm… itu pekerjaan sulit.”
“Untuk mengumpulkan 1 kilo, ceuceu perlu waktu sekitar 2 – 3 bulan, Gi.”
“Ceuceu minta berapa?”
“Apanya?”
“Tentu saja harganya.”
“Memang Ugi mau membeli kopi ceuceu?”
“Sebetulnya kalau soal mau atau tidak, aku lebih cenderung tidak mau. Tapi masalahnya bukan itu. Aku tahu ceuceu sedang kesulitan, sebagaimana hampir semua orang di kampung ini juga mengalami kesulitan. Paham kan Ceu?”
“Ceuceu kurang paham maksud Ugi apa?”
“Maksudnya, aku akan bantu kesulitan ceuceu.” Ugi berkata sambil menatap Kokom dengan tatapan lembut, “sekarang sebutkan berapa harganya.”

Kokom teringat akan tatapan Ugi yang seperti itu. Tatapan itu sama dengan tatapan yang dulu, ketika pemuda ganteng itu masih abg culun. Waktu itu Kokom mengenakan daster, ia lalu sengaja membukakan pahanya agak lebar. Tapi Kokom lupa bahwa pada waktu itu ia baru saja berhubungan dengan suaminya, ia benar-benar lupa apakah saat itu ia memakai celana dalam atau tidak. Kokom hanya setengah yakin bahwa ia tidak memakai celana dalam.
“Har–-harganya… bagaimana kalau 500 ribu? Bi… bisa kurang koq.”
“Baik, 500 ribu. Aku tidak akan nawar.” Kata Ugi sambil bangkit berdiri, ia melangkah menuju kamarnya dan mengambil dompet. Lalu kembali lagi dengan dompet di tangan, duduk di kursi sofa yang empuk, membuka dompetnya dan menghitung uang.
“Satu, dua, tiga, empat, lima…ini, ceu.” Kata Ugi menyerahkan 5 lembar uang pecahan seratus ribu.

Sepasang mata Kokom berbinar. Baginya, uang 500 ribu bukanlah uang sedikit. Itu artinya selama satu bulan mereka tidak akan kekurangan beras. Setiap malam mereka bisa tidur nyenyak karena perut dalam keadaan kenyang. Ia mengambil uang itu dengan kedua tangannya, sepasang matanya menatap Ugi dengan tatapan terimakasih.
“Ada yang perlu saya bantu lagi?” tanya Ugi dengan lembut.

Kokom menatap kesungguhan pemuda itu. Lihatlah sekarang wajahnya, berkumis tipis hampir tak kentara, pipinya halus bersih walau tidak mulus –-tapi itu justru menjadi penambah kegantengan wajahnya–– dadanya bidang di balik piyamanya yang lembut, pahanya kuat, dan benda itu, yang ada di tengah-tengah selangkangannya, tampak menonjol. Menjanjikan kenikmatan yang diidam-idamkan setiap wanita.

Kokom ingin menjawab, “ada Gi, ada satu lagi yang bisa kamu bantu. Ewelah memek ceuceu sekeras-kerasnya dan sehebat-hebatnya, hancurkan liang memek ini dengan kontol kamu yang tebal, besar dan panjang, gali sedalam-dalamnya sumur memek ini hingga memancurkan mata air kenikmatan surgawi… Ugi… cepat telanjangi ceuceu, bawa ke ranjang kamu yang nyaman dan harum. Beliakkan memek ceuceu, gergaji dengan kontolmu, perkosa ceuceu… ceuceu tidak akan teriak… hanya akan mengerang-ngerang nikmat… Ugi… Ugi….”

Tetapi tentu saja Kokom tidak mengatakan hal itu.
“Ini sudah lebih dari segalanya, Gi, terimakasih.” Kata Kokom dengan suara gemetar.
“Baiklah kalau begitu.” Ugi berkata dengan lembut, ia berdiri dan melangkah menuju pintu, membukakannya, “silahkan.”
“Terimakasih, Gi, mari.”

Kokom melangkah cepat ke rumahnya melalui halaman samping, langsung menuju teras di mana Sutinah sedang duduk menunggu di atas bale-bale bambu.
“Berhasil.” Kata Kokom sambil mengipas-ngipas lima lembar uang seratus ribuan yang digenggamnya dengan satu tangan.

Tapi anehnya reaksi Sutinah bukannya ikut gembira. Ia malah melotot dengan wajah seperti melihat kerbau berkepala 3.
“Kamu kenapa, Nah? Aku berhasil menjual kopi seharga 500 ribu!” seru Kokom gembira.
“Kamu yakin kamu tidak diapa-apain sama Ugi?”
“Maksud kamu apa sih, Nah?”
“Ugi pegang-pegang kamu tidak?”
“Tidak.”
“Sumpah?”
“Sumpah demi tuhan!”
“Lalu kenapa itu celana di bagian memekmu basah berlendir seperti itu?”
“Apa???”
“Kamu tidak ngompol, Kom. Kalau ngompol pasti bau pesing. Itu bau lendir.”

Kokom terdiam sejenak, lalu menunduk. O H , T U H A N !!!!

Ia cepat berlari ke kamar dan melepas celana panjang katun dan celana dalamnya, Sutinah mengejarnya dan merebut celana dalamnya.
“Ya, ampun Kokom, baru ngobrol aja kamu ngecrot seperti ini, apalagi kalau digenjot… kamu pasti pingsan ke-enakan.”
“Aku… aku…”
“Sudah, tak perlu diperpanjang. Yang penting kopinya jadi duit.”
“Ya, ya, yang penting kopinya jadi duit.”

Malam itu Kokom tidur dengan pulas tanpa harus melakukan colmek lebih dahulu seperti kebiasaannya selama ini.



SEBELAS
========

Malam sudah lama jatuh, mungkin sudah mendekati jam sepuluh. Sutinah menebah selimut kainnya yang tipis, ia turun dengan hati-hati dari ranjang bambunya agar tak menimbulkan suara keriut yang keras. Sejenak ia mengintip ke kamar Kokom, dilihatnya adiknya itu tengah nyenyak dibuai mimpi.

Tinah tersenyum kecil.

Ia lalu berjinjit ke luar rumah melalui halaman belakang yang gelap. Memperhatikan sekitar dengan seksama. Sunyi dan sepi. Bumi terdiam tanpa suara, hanya cericit bunyi tikus di sudut kebun. Langit biru pekat, penuh bintang. Malam cerah.

Pelahan ia melangkah menyusuri bayangan gelap rumah dengan sangat hati-hati. Tiba di pagar samping rumah Ugi yang terbuat dari tembok yang kokoh, ia menyelinap masuk melalui celah pagar yang terletak paling belakang yang merupakan celah paling lebar. Ia menyusup dengan langkah menyamping lalu dengan cepat bergerak memasuki halaman belakang rumah pemuda idaman wanita itu. Melangkah ke teras dan membuka pintu belakang dengan hati-hati.
“Ugi… ini ceuceu.” Katanya sambil masuk ke dalam rumah, menutupkan pintunya dan menguncinya.
“Kirain ceuceu enggak akan ke sini.” Kata Ugi sambil menutup laptop. Lalu menggeliat sebentar.
“Pasti ke sini, Gi, soalnya udah seminggu. Ceuceu cuci kaki dulu ya sekalian pengen ngompol.”

Ugi mengangguk dan tersenyum.

Sejak Ugi datang 3 bulan yang lalu, Ceu Tinah adalah orang yang paling gembira menyambut kedatangannya. Tetapi ia tidak pernah memperlihatkannya pada siapa pun bahkan Sutinah seakan-akan tidak peduli akan kehadiran Ugi sebagai tetangganya. Padahal hatinya senang bukan main.

Wajah Sutinah berseri-seri saat ke luar dari kamar mandi.
“Langsung aja ya Gi, soalnya ceuceu udah enggak kuat.” Katanya sambil menurunkan celana daster tuanya sekaligus dengan celana dalamnya.
“Boleh Ceu, tapi isep dulu ya biar tegangnya sempurna.” Jawab Ugi. Ia menatap postur tubuh Ceu Tinah yang kurus kecil. Meski janda ini sudah berusia 39 tahun, tapi jangan salah, ia masih memiliki memek terawat yang tebal dan ketat. Ugi tak pernah berhenti terpesona dengan bentuk memeknya yang tembem itu. Ditambah dengan klitorisnya yang menonjol di antara belahan bibir-bibir memeknya yang berjembut halus, membuat Ugi selalu tak berkesip menatapnya.
“Di kamar atau di sini?” tanya Ugi sambil melepaskan celana pendek piyama birunya.
“Di sini aja.” Kata Sutinah, ia lalu meraih gulungan karpet yang terbuat dari bahan karet sintetis, lalu menghamparkannya di depan televisi LCD 21 inch yang tidak dinyalakan. Ugi mengelus pantat Sutinah saat membungkuk untuk menghamparkan karpet.
“Masih halus seperti dulu.” Kata Ugi sambil meremasnya sebentar.
“Tapi semakin peot.” Jawab Sutinah dengan senyum lebar. Ia berbalik dan mendorong dada Ugi agar berbaring di atas karpet. “Ugi rebahan aja, ceuceu yang kerja di atas.”

Ugi tersenyum, merebahkan diri dan memejamkan mata. Sepasang pahanya yang berwarna kuning pias tampak mengejang saat Sutinah meraih batang kontolnya yang berwarna seperti warna kulit sawo yang sudah matang. Coklat muda yang pias. Sementara kepala kontolnya yang berbentuk seperti helm Jerman berwarna pink tua mendekati merah ati.

Sutinah duduk bersimpuh di sisi pemuda itu dan menggenggam dengan lembut batang kontol yang kenyal, lembut dan kuat itu, yang mensemerbakkan wangi kejantanan pria muda yang menawan dengan demikian tajam. Pelahan mulut Sutinah mengulum kepala kontol itu dengan lembut, mengisapnya pelahan lalu bibir-bibir mulutnya mengemuti sepanjang batang kontol yang mulai membengkak. Menjejalkan seluruh batang kontol itu masuk ke dalam langit-langit mulutnya hingga ketika membesar terasa menyentuh tenggorokannya.

“Agkhhh…” Ugi mendesah. Otot-otot perutnya mengeras.

Hanya dengan sekali kulum, batang kontol itu berdiri tegak dengan sangat gagahnya. Tebal, gemuk dan panjang. Sutinah melepaskan kulumannya dan mulai menjilati seluruh bagian batang kontol pemuda itu dan membasahi dengan ludahnya. Lalu mencucup bagian bawah buah zakar pemuda itu selama beberapa kali. Batang kontol yang digenggam itu mulai semakin keras dan tangan Sutinah yang mungil mulai tak bisa menggenggamnya secara full. Sutinah kemudian menjulurkan ujung lidah ke anus pemuda itu, terasa agak pahit tapi Sutinah menyukainya. Ujung lidahnya kemudian menyapu-nyapu bagian lunas dan anus sehingga pemuda itu mengerang pelahan
“Enak kan?” kata Sutinah sambil berdiri dan melangkahkan kaki untuk mengangkangi tubuh pemuda itu yang telanjang dari bagian pinggul ke bawah.
“Enak, Ceu.” Jawab Ugi, wajahnya tampak seperti meringis kesakitan dengan mata masih terpejam.

Sutinah tersenyum kecil. Ekspresi itu masih sama dengan ekspresi 10 tahun yang lalu. Ia jongkok mengangkang di tengah-tengah tubuh Ugi, digenggamnya batang kontol Ugi sambil ia mendekatkan memeknya. Kepala kontol yang bagai bogem itu ia geser-geserkan di sepanjang belahan memeknya, bolak-balik dari atas ke bawah. Setiap kali bogem kepala kontol itu menemukan itilnya, Sutinah memukul-mukulnya untuk menemukan rasa nikmat yang disukainya. Ia dengan sabar terus menggesek-gesek belahan memeknya dan memukul-mukul itilnya dengan bogem kepala kontol Ugi sampai memeknya mengeluarkan cairan lendir yang banyak.

Setelah cukup banyak lendir yang ke luar, Sutinah lalu mengobel-obel liang memeknya dengan menggunakan kepala kontol Ugi. Itu adalah salah satu kesukaan Sutinah sejak dulu. Ia akan terus mengobel-obel sampai itilnya berkedut dan memuncratkan orgasme yang pertama.

Pemuda itu mengeluh seperti orang demam, “masukin ceu.” Pintanya.

Sutinah tak peduli dengan keluhan sekaligus permintaan itu, ia hanya peduli dengan kenikmatannya sendiri. Ia berpikir, sudah terlalu lama memeknya menganggur dan hanya jarinya saja yang sering mampir untuk mengobel, itu pun kurang nikmat. Minggu kemarin, ketika siang-siang Ugi menyempatkan menusuk memeknya sambil berdiri di teras belakang rumah, ia merasa kurang puas. Kurang lama sih. Soalnya keburu ada Pak RT datang bertamu, hendak memberikan dokumen-dokumen kependudukan yang sudah rampung. Terpaksa ia mempercepat pengentotannya dan membiarkan Ugi memeluk pinggangnya saat menyemprotkan spermanya di dalam memek Sutinah sambil berdiri. Minggu kemarin itu adalah eweannya yang kedua dengan Ugi, yang pertama justru ketika Ugi datang untuk pertama kalinya ke rumah itu, yang kondisinya masih kurang bagus. Tapi eweannya sangat bagus. Satu jam mereka saling memberi kenikmatan yang membuat Sutinah merasa sangat puas dan kenyang. Dan ingin mengulanginya lagi. Lagi. Dan lagi.

Sungguh Sutinah tidak ingin mempercepat kenikmatan yang sedang direguknya ini segera selesai. Ia ingin memperlamanya dan kalau perlu, ia ingin mengubur batang kontol sekaligus dengan bogemnya selama-lamanya di dalam liang memeknya. Ia ingin memeknya ambyar dan lendirnya keluar sampai kering. Oleh sebab itu, ia terus mengobel-obel liang memeknya dengan bogem kontol Ugi tanpa peduli bagaimana pemuda itu mengerang-erang dan memohon untuk dicecabkan sepenuhnya ke dalam liang memek Sutinah.

“Tidak, kali ini aku akan mengobel-obel memekku ini dengan bogem kontol sepuas-puasnya. Kalau perlu sampai memekku memble dan ambyar, aku tidak peduli. Aku ingin mengewe kontol ini sampai kenyang.” Kata Sutinah dalam hatinya.
“Masukin Ceu sekarang, masukin.” Terdengar Ugi mengerang.
“Sabar, Gi, ceuceu masih enak nih.”
“Ma–masssukkinhhh…”

Sutinah hanya menyeringai kecil. Ia memasukkan bogem kepala kontol itu ke dalam liang memeknya pada ujungnya, lalu dikobel-kobelkannya sehingga liang memeknya terbeliak-beliak. Ia melakukannya berulang-ulang hingga akhirnya mendadak Ugi bangkit dari rebahannya, kedua tangannya mengulur meraih pantat Sutinah dan membetotnya sehingga secara otomatis memeknya maju yang menyebabkan batang kontolnya menyelusup masuk secara cepat ke dalam liang memek Sutinah.

“Aiikhhh…” Sutinah berseru tertahan. Awalnya ia merasa kecewa, tapi itu hanya sebentar saja karena ternyata batang hangat yang keras itu, seperti biasanya, memberikan sensasi yang lebih nikmat dari pada pengobelan yang dilakukannya. Ia menyengir saat menunduk, dilihatnya setengah panjang batang kontol itu sudah ditelan oleh mulut memeknya yang rakus. Dari batang itu, menetes cairan putih kecoklatan yang meleleh hingga ke buah zakar pemuda itu.

Sutinah kemudian mendorong dada pemuda itu hingga rebah kembali, bersamaan dengan itu ia menekan pantatnya dengan kuat hingga batang kontol itu masuk seluruhnya. Kini bibir-bibir memek Sutinah menekan pubis berbulu pemuda itu hingga rapat. Terasa padat dan nikmat.
“Ugkh…” Ugi mengeluh enak. “Genjot ceu.”

Tapi Sutinah tidak melakukan permintaan Ugi. Ia malah menekan lebih kuat sehingga itilnya menggesek pubis berbulu Ugi, lalu ia menggeser-geser pantatnya maju mundur sambil terus menekan. Awalnya pelahan, lalu semakin lama semakin cepat. Lendir cinta bercucuran membasahi seluruh buah zakar Ugi yang kecoklatan, sebagaimana peluh mulai menetes di pelipis Sutinah.

Sepasang kaki Ugi yang panjang mengejang keras. Otot-ototnya tampak menegang. Itu sama persis dengan batang kontolnya yang berada dalam liang memek Sutinah, menegang dengan sangat keras.

Sutinah mulai merasakan kehangatan yang nikmat di dalam memeknya. Bagaimana pun kontol Ugi memiliki kepala bogem yang gendut dan batang kontol yang gemuk serta panjang yang telah memasuki seluruh vulva liang memeknya dan bahkan mungkin bogem kepala kontol itu menyentuh ujung rahimnya.

Sutinah menarik nafas dalam-dalam, ia merasakan magma yang ada di dalam perutnya sudah bergolak dan akan meledak ke luar. Mendadak ia mengambil keputusan untuk mengangkat pantatnya sehingga batang kontol gemuk itu perlahan memperlihatkan dirinya yang dipenuhi lendir cinta, yang kini berwarna seperti susu kental manis. Lalu dengan cepat ia menurunkan pantatnya dalam kecepatan tinggi, menariknya ke atas dan menghujamkannya lagi ke bawah, begitu terus berulang-ulang tanpa bisa dihentikan kecuali oleh gelegak magma yang akan meledak dari dalam perutnya.

Pada detik ke 175 terhitung sejak Sutinah menggenjot kontol gemuk Ugi, janda mungil itu mulai kuyup dengan keringat yang membasahi punggung, leher dan pertengahan payudaranya, pada saat itu juga sebuah hawa hangat menjalar di sekujur tubuhnya. Bibir-bibir memeknya, baik yang bagian luar mau pun bagian dalam, sudah lagi berkedut-kedut dan siap memuntahkan semua lendir cinta yang ada di dalam perutnya.
“Aku akan meledak.” Kata Sutinah dengan nafas tersengal.
“Akkhuu… jhu…ga….” Jawab Ugi, suaranya gemetar.
“Ayo sama-sama… huft!”
“Heup!!!”

Srrrrrr…. Ceprot… ceprot… ceprot…. Srrrr…. Srrrrr…. Srrrr… srrrrr…
Arrrrgggkhhhhh…

Kedua tubuh insan itu gemetar hebat dengan saling berpelukan selama 5 menit. Setelah itu, Sutinah berguling ke sisi pemuda itu dan terkapar di karpet karet sintetis. Ia menghela nafas panjang. Matanya terpejam, mulutnya menyunggingkan senyum kepuasan. Beberapa detik kemudian Sutinah pun tertidur.

Ugi menoleh ke arah Sutinah yang terlelap. Ia kemudian bangkit dan beringsut, mendekati selangkangannya Sutinah. Ugi tersenyum menatap memek tembem Sutinah yang belahannya nampak mekar. Pelahan dari liang memeknya mengucur sperma Ugi, jatuh menetes seperti ingus, membasahi lunas dan anus janda muda yang bertubuh mungil itu.
“Memek janda kampung memang lezat.” Batin Ugi dalam hatinya sambil berdiri. Ia lalu melangkahkan kaki menuju ke kamar mandi, untuk membersihkan diri.

(bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd