CHAPTER 77: VERANDA v MELODY
“Pak…”
“Ya bagaimana?!”
“Tampaknya…” dokter itu sebenarnya enggan melanjutkan, namun dia harus mengatakannya demi keselamatan Bos Besar nya, “Bapak harus istirahat lebih lama lagi.”
“Apa katamu?! Kau pikir aku bisa menunggu di kondisi sekarang ini?!” Bos Titan meraung geram.
“Pak. Dengar saya dulu. Dengan kondisi Bapak seperti ini, kalau saya menyuntikkan adrenalin, akan menjadi bumerang buat Bapak. Sekarang Bapak punya tenaga tambahan, tapi setelah itu jantung Bapak bisa terkena dampaknya.”
“Saya tidak mau tahu! Jantung saya itu urusan saya! Cepat suntikkan! Kalau nanti ada pegawai yang tidak bisa saya selamatkan, aku akan siksa kamu sampai mati!”
Tubuh dokter itu bergetar, namun dia menguatkan diri, sampai akhirnya bergumam pelan, “Salah satu Sumpah Dokter yang saya ucapkan pada saat saya resmi menjadi dokter adalah ‘Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.’ Pak, ancaman Bapak tidak akan membuat saya mengambil risiko itu. Keselamatan bapak, saat ini dan ke depannya, menjadi tanggung jawab saya. Kalau saya paksakan suntik Bapak, itu jelas bertentangan dengan perikemanusiaan.“
Tatapan Bos Titan melunak. Dia memejamkan matanya sambil menunduk. Setelah beberapa saat, Bos Titan memandang kembali dokter di depannya, “Siapa namamu, Dok? Saya lupa.”
“Saya dr. Atmojo, Pak.” Dokter itu sedikit menundukkan kepalanya saat mengenalkan diri.
“Dokter Atmojo,” Bos Titan beranjak berdiri dari matras tempat dia berbaring tadi, “mulai hari ini, Anda dibebas-tugaskan.”
Bos Titan keluar ruangan dengan sedikit pincang. Dr. Atmojo tahu dia tidak akan bisa menahan lagi Bos Besar nya itu. Toh dia juga sudah dibebastugaskan. Namun entah kenapa dia merasa lega. Sambil memejamkan mata menunduk, dr. Atmojo menggumamkan salah satu kalimat yang bukan hanya selalu diingatnya, tapi juga akan selalu dia perjuangkan dalam hidupnya,
“Tujuh. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Tuhan, lindungilah beliau. Hanya itu yang hamba bisa lakukan.”
Amarah yang sedari tadi menguasai diri Melody, berubah menjadi rasa angkuh sejak dia menerima energi dari Bapak. Veranda tidak lagi menjadi sasaran amarahnya, melainkan seperti tikus mainannya yang tidak bisa lari kemana-mana lagi. Dengan energi tidak terlihat di tangannya, Melody menghamburkan kertas dan benda-benda lain ke sekujur tubuh Veranda yang saat ini menjerit kesakitan.
“Mel! Ampun Mel! Dengerin aku dulu!” Pekik Veranda di tengah hamburan kertas dan lemparan buku-buku.
“Diam kamu! Pengkhianat! Perusak! Tidak tahu diri! Berapa yang sudah dibayar Shania ke kamu hah?! Anak pelacur! Kamu sangka Bos Titan membangun kembali keluarga ini dengan mudah?!” Melody belum berhenti menghentakkan energi ke sekelilingnya. Dia merasa tidak terkalahkan.
Melody makin kesetanan. Kali ini dia mengerahkan energi lebih besar untuk menggeser benda yang lebih berat. Kursi dan meja kantor mulai bergeser sesuai kemauannya. Veranda yang melihat itu bergidik, membayangkan jika meja kursi itu menghantam atau menimpa tubuhnya.
“Mel! Sudah! Dengerin aku! Bukan aku Mel! Tapi-”
“Diam kamu! Aku udah tahu busukmu! Semuanya udah terbukti!”
“Ngga Mel! Ng-“ Veranda refleks menghindar ketika satu kursi melayang dengan cepat ke arahnya. Begitu juga dengan perangkat komputer dan meja yang terlempar untuk menghantamnya.
Melody sukses memporakporandakan seisi ruangan besar kantor lantai 3 tersebut. Dia sedikit terengah, namun staminanya seperti tidak berkurang sedikitpun. Melody menyeringai sambil melihat telapak tangannya.
“Kenapa kau tidak memberiku energi ini saat kita pertama bertemu, Bapak…” Gumamnya sambil terkekeh.
Namun sebentar kemudian Melody sadar, Veranda sudah tidak terlihat. Dia kesusahan mencari karena meja kursi rak dan perangkat lain berantakan akibat ulahnya sendiri.
“Brengsek! Kemana si bangsat itu? Cari dia!”
“Baik, Ibu.” Sepuluh pria berjubah itu langsung melesat.
“Kamu tidak akan bisa kemana-mana, Veranda!”
***
Veranda sampai di ujung ruangan besar. Dia sudah tidak bisa kemana-mana lagi dan akhirnya memilih untuk bersembunyi di celah antara rak tinggi berkas. Tubuhnya bergetar. Banyak kekuatan hitam yang sudah dia hadapi hari ini. Veranda sadar apapun yang dia punya tidak akan bisa melawan mereka. Dia bisa mati kalau terus berhadapan dengan kekuatan seperti ini.
Tangannya semakin keras mendekap map merah lusuh. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Kali ini tidak ada lagi yang bisa membantunya. Veranda sadar, Bos Titan, Om Minmon, Bang Simon pasti sedang berhadapan dengan para perusuh. Tidak ada waktu untuk melindunginya. Dan kini yang menginginkan kepalanya justru adalah mentor dan rekan kerjanya sendiri.
“Dimana kau Veranda…” suara berat mengalun pelan tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Veranda makin merapatkan tubuhnya ke dalam. Matilah aku. Matilah. Mereka akan menemukanku.
“Dimana…”
***
Suara derap langkah kaki dari jauh mengagetkan pasukan Tengkorak Hitam. Mereka menoleh ke sumber suara. Tak salah lagi, itu buruan mereka.
“Itu dia! Cepat tangkap!” Komplotan itu kembali melesat mengejar.
Sementara Veranda tidak percaya dengan apa yang baru dia intip dari balik rak.
Seseorang yang baru saja berlari tadi… sangat mirip dirinya! Bahkan berpakaian dengan tampang sama persis dengannya!
***
“Kenapa lama sekali?! Brengsek! Memang harus aku yang turun tangan!” Melody mendengus gusar. Sudah 10 menit dia menunggu. Tidak mungkin Veranda bisa kabur jauh. Akses Lantai 3 sudah dalam kuasanya.
“Tidak perlu mencari. Aku di sini.”
Melody terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Di belakangnya, Veranda sudah berdiri, menatapnya tajam. Ini sudah keterlaluan. Dia teringat kembali perjuangannya, para Pegawai Terpilih, Trio SMA bahkan Rio untuk mengantarnya sampai ke lantai ini. Namun Melody dengan gampang menuduh dengan ketidaktahuannya.
“Di atas sana, Yona, Nabilah, Gracia dan yang lain melindungiku supaya aku bisa menemui Bos Titan atau Om Minmon. Bahkan Rio sekarat untuk bisa menyelamatkanku. Supaya aku bisa membeberkan semuanya. Tapi kamu Mel malah mau membunuh aku tanpa tahu apa-apa tentang apa yang terjadi!”
“Diam mulut lancangmu itu! Bertahun-tahun kami membangun kembali istana ini dan ketika kamu datang kamu mau ngehancurin lagi! Pelacur tak tahu diuntung!”
“Aku difitnah, Mel! Aku punya bukti! Kamu ditipu! Semuanya ini karena Sak-“
“Pengkhianat! Sampah! Semua bukti sudah jelas! Kau sudah tidak layak lagi di dunia ini!”
Veranda tersenyum geram, “Pengkhianat katamu? Kamu kira aku ga tahu siapa orang-orang berjubah hitam di belakangmu tadi? Kamu bergabung dengan komplotan pembunuh Tengkorak Hitam? Bos Titan udah jelas berseberangan dengan mereka, tapi sekarang kamu malah bergabung. Siapa yang pengkhianat sekarang?”
“DIAM KAMU BRENGSEK!” Amarah Melody memuncak. Energi yang terkumpul di telapak tangannya semakin pekat dan besar. Dia mengerahkan semuanya serentak. Seluruh perabot kantor yang berantakan kembali terlempar menuju satu arah.
Veranda sudah siap menghadapinya. Dalam hati Veranda memang takut, namun dia sudah menghadapi hal seperti ini sebelumnya. Sekarang tidak ada pilihan selain melawan.
“Awas!”
Tiba-tiba sesosok tubuh menerjangnya dan ikut terlempar bersamanya. Veranda dan seseorang yang mendorongnya luput dari hantaman meja dan rak, namun tubuh mereka menghantam mebel lain. Sambil meringis menahan sakit Veranda cepat-cepat bangun untuk melihat siapa yang menyelamatkannya dari amukan Melody.
Dada Veranda mendadak sesak, perutnya mengejang, saat melihat sosok yang terkapar di sampingnya adalah orang yang sekarang ini ingin dia temui. Lebih dari itu, pria ini adalah alasan mengapa Veranda masih bertekad untuk hidup. Pria yang selalu menjadi motivasi Veranda. Dan dari lubuk hati terdalam, pria ini menjadi cinta pertama Veranda sejak menginjakkan kaki di ibukota.
“Bos Titan!”
***
Melody tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Kenapa Bos Titan bisa sampai ke lantai ini? Kenapa tubuhnya penuh luka seperti itu? Dan kenapa… Bos Titan menyelamatkan Veranda? Bos Titan harus tau kalau dia pengkhianat!
“B-Bos…” Melody seperti terpaku. Kakinya tidak bisa digerakkan. Bos Titan terkapar beberapa meter di depannya, terbatuk sambil menahan perih akibat ulahnya.
Veranda membantu Bos Titan untuk duduk dan bersandar pada salah satu kaki meja. Rasa haru menyesaki dadanya ketika dia bisa kembali menyentuh pria yang sangat dia sayang. Apapun akan Veranda lakukan untuk membuat Bosnya aman dan nyaman.
Bos Titan akhirnya bisa mengendalikan dirinya. Dibantu Veranda, kaki Bos Titan menapak keras di lantai untuk berdiri.
“B-Bos…” Kembali Melody ingin mendekati Bos Titan dan memastikannya aman, namun rasa bersalahnya jauh lebih besar.
“Mel,” akhirnya Bos Titan bersuara, “apa benar… kamu bergabung dengan Tengkorak Hitam?”
***