Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT VALKYRIE Management

Om Minmon hanya tersenyum tidak menjawab. Tangannya meraih rambut Yona yang sedikit berantakan, kemudian mengelus kepalanya. Yona memejam, menikmati sentuhan seorang ayah yang sudah lama tidak dia rasakan.

“Nak, kamu tau, dari semua Pegawai Terpilih, kamu mempunyai keunikan yang aku suka.”

“Apa itu, Yah?”

“Kamu macho. Macam Chowok.” Tawa mereka pecah.

“Tapi Nak,” Om Minmon melanjutkan, “sekarang ini, aku sadar, pada akhirnya kamu tetap wanita.”

“Maksudnya, Yah?”

Ane di sini agak bertanya-tanya, dari manggil Om menjadi Ayah. Di otak ane ada 2 pertanyaan apakah Om Minmon adalah Ayah kandung Yona atau memang Yona menganggap Om Minmon sudah seperti Ayahnya sendiri merujuk kata dari "sentuhan ayah" itu? Atau malah lagi role play. Mohon pencerahannya suhu.

Tapi kalo boleh, adegan full Yona pas ngewe sambil manggil Om Minmon Ayah gitu seru kali ya haha.

Anyway, semoga lekas update hehe
 
Ane di sini agak bertanya-tanya, dari manggil Om menjadi Ayah. Di otak ane ada 2 pertanyaan apakah Om Minmon adalah Ayah kandung Yona atau memang Yona menganggap Om Minmon sudah seperti Ayahnya sendiri merujuk kata dari "sentuhan ayah" itu? Atau malah lagi role play. Mohon pencerahannya suhu.

Tapi kalo boleh, adegan full Yona pas ngewe sambil manggil Om Minmon Ayah gitu seru kali ya haha.

Anyway, semoga lekas update hehe


Untuk pertanyaan suhu INSYFCL, sudah diceritakan tepat di paragraf sebelum dialog Yona - Om Minmon:
Raut muka Yona yang tidak biasa itu tentu tidak luput dari perhatian Om Minmon. Yona menundukkan kepalanya. Hal sesepele ini harusnya bukan sesuatu yang perlu diceritakan ke Om Minmon, walaupun Yona sudah menganggap Bosnya itu sebagai ayah dan sahabatnya. Namun perasaan ini sudah mengganggu Yona sejak seminggu lalu. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Yona buka suara,

Siap Suhu, pasti lekas update hehe. Nubi tergoda utk ngasi spoiler, tapi ntar jadi ga seru :D
 
CHAPTER 68: PERANG (4)


“Pak Mino! Pak! Bapak dimana?!”

“Saya di kamar. Aman. Gimana keadaan di bawah?!”

“Siap Pak, jangan kemana-mana dulu! Keadaan di sini sedang rusuh! Kami disini bersama Pak Tristan-”

“Titan?! Ngapain dia disitu?! Amankan dia! Sekarang!”

“K-kami sudah bilang, Pak! Tapi… Pak Tristan bersikeras ingin tetap mengusir perusuh, Pak!”

Om Mino menggeram. Belum lagi dia selesai mengurus yang lain, kini Bos Titan menjadi beban pikirannya. Dia tahu Bos Titan tidak mudah dikalahkan di pertempuran. Berbagai aliran bela diri dikuasainya, pun banyak pengalaman telah dilalui. Namun Om Minmon justru mengkhawatirkan kondisi dimana Bos Titan tidak bisa mengendalikan emosinya. Dari berbagai pengalaman yang mereka lalui bersama, Om Minmon paham, kelemahan Bos Titan adalah saat dia tidak bisa mengendalikan emosinya.

***

Sreek!

“Errghh! Bangsatt!” Satu hantaman mendarat di pipi perusuh yang baru saja berhasil menyayat lengan Bos Titan. Darah mengucur. Bos Titan bersiap lanjut menghajar perusuh tadi, namun dia tidak menyadari di belakangnya satu perusuh lain mengayunkan tongkat besi ke punggungnya.

Buak!

“Arghh!”

“Bos!” Bang Simon yang melihat itu langsung bereaksi. Dor! Tanpa ampun dia menembak perut perusuh yang kini terkapar bersimbah darah. Bang Simon langsung berlari ke Bos Titan yang berlutut menahan nyeri.

“Bos! Bos! Masih bisa berdiri? Ayo cari tempat aman!”

Kali ini Bos Titan tidak bisa menolak. Badannya bergetar. Emosinya memuncak. Namun dia tetap menyadari situasi. Para perusuh memang hanya bermodalkan senjata tajam. Satupun tidak menggunakan senjata api. Namun jumlah mereka seperti tidak berkurang sedikitpun. Gelombang baru terus berdatangan. Sudah berapa kali dia hanya bisa menyaksikan saat beberapa gerombolan masuk ke dalam gedung Valkyrie.

“Kenapa polisi tidak datang-datang?!”

“Kami sudah menelepon tadi Pak!”

Kini Bos Titan berhasil berdiri setelah dipapah Bang Simon. Mereka berdua turun ke basement parkir, sementara tim elite terus menghajar para perusuh yang ingin mengejar mereka berdua. Terengah-engah mereka menuju mobil Bos Titan yang terparkir dekat pintu masuk menuju lobi.

“Bos aman di sini. Saya akan kemb-“

“Mon.” Bos Titan menahan Bang Simon dan menunduk, melihat paha Bang Simon yang bersimbah darah.

“Kakimu…”

“Tidak apa-apa, Bos. Keamanan Bos nomor satu. Saya akan kembali ke atas, memastikan tim elite meredam situasi.”

“Simon!” Sekali lagi Bos Titan memanggil. Bang Simon menoleh.

“Jangan mati.” Sambil terdiam beberapa saat, Bos Titan akhirnya hanya bisa mengatakan itu.

“Siap, Bos! Kebetulan saya ga ada rencana mati hari ini.”

***


“Bos! Pasukan sudah datang!”

“Bodoh! Kenapa lama sekali?! Kalian sudah tangkap si bangsat itu?!”

“B-belum ketemu, Bos.” Salah seorang perusuh yang terlihat seperti kepala gerombolan itu, takut-takut menatap Saktia.

“Gobl*k! Kalian lewat mana sih?! Kalian ngga nyusurin dua tangga darurat ini?! Kalian dari lift juga?!” Melihat ekspresi mereka, Saktia langsung mengetahui bahwa mereka naik hanya dari satu tangga darurat.

“Bodoh! Cepat cari anak itu! Dia belum jauh dari lantai ini! Cepaat! Kalian ngapain masih di sini!!” Belasan preman langsung menghambur keluar. Mereka kebingungan mencari jalan menuju tangga darurat ujung lain.

“Hey kau! Baju biru! Sini! Kamu kawal saya turun ke bawah!”

“S-saya, Bos?” Seorang pemuda terakhir yang masih terlihat di pintu memastikan bahwa dia yang ditunjuk Bos besarnya.

“Iya elu!”

“B-baik, Bos!”

“Bos. Birowo kemana?” Arman tidak melihat anak buahnya andalannya itu.

“Dia udah lama turun ke bawah ngejar anak itu! Karena kalian lama!” Dryad melempar handuk yang dari tadi dipegangnya ke muka Arman.

“Turun lu! Bantu mereka!”

“S-siap, Bos.” Arman langsung lari keluar dari kamar itu.

Sepeninggal Arman, kini kamar Saktia kembali sepi, hanya ada Saktia dan seorang anak muda yang hanya tahu dia disuruh untuk melakukan kerusuhan di gedung Valkyrie. Tak pernah terbayang di pikirannya bahwa dia akan satu ruangan dengan seorang wanita cantik yang kini membuatnya salah tingkah.

“Siapa namamu?” tanya Saktia lembut.

“I-ipul, Bos.” Pemuda itu tergagap menjawab.

“Hoo Ipul. Ipul tau siapa saya?”

“T-tau, B-bos. Bos itu… B-bosnya Pak Ar-arman…”

“Bagus. Oh iya… Kamu… masih perjaka?” Pemuda itu langsung menegang mendengar pertanyaan Saktia.

Tanpa menunggu jawaban Ipul, Saktia bangkit berjalan mendekatinya. Saktia kemudian mulai membelai lengan dan pinggul Ipul.

“Kamu tau? Salah satu kelemahan saya ini… tidak tahan kalo ngeliat cowo ganteng. Kapanpun. Dimanapun. Mau lagi di mall… atau lagi di pantai… bahkan saat seperti ini…” Saktia berbisik di belakang telinga Ipul, menghembuskan nafas yang membuat Ipul bergidik geli.

“Sekarang…” Saktia menarik Ipul ke kasur, “ayo kita pecahin perjakamu… Aku paling seneng sama cowok perjaka… Aromanya wangi… Tubuhnya enak…” Seperti terhipnotis, Ipul hanya diam saat ditarik dan berbaring di kasur. Tatapan matanya kosong melihat Saktia yang kembali membuka retsleting roknya. Bahkan dia tidak menyadari, bola mata Saktia yang kini menghitam.

***


“Naah! Ini dia! Mau kemana kamu hah?!” Binsar merentangkan tangannya sambil melotot ke arah Veranda. Sementara Sammy terkekeh melihat penampilan Veranda yang menyedihkan.

“Baru darimana lu hah? Baru nyebur dari got?! Hahaha!” Mereka tergelak.

Veranda tentu tidak heran melihat satu karyawan divisi Administrasi dan satu petugas kebersihan di depannya sekarang ingin menangkapnya. Dia sudah melihat nama Binsar dan Sammy di daftar The Turncoat, komplotan pengkhianat Valkyrie. Veranda sangat ingin mengirimkan nama-nama itu ke email atau ponsel Bos Titan, Om Minmon dan para Pegawai Terpilih, agar mereka waspada. Namun sudah jelas sekarang ini tidak memungkinkan. Maka satu-satunya cara hanyalah menyerahkan dokumen itu langsung ke Bos Titan.

“Hey, kalian. Sebelum kalian menangkapku, aku mau tanya satu pertanyaan.”

“Apa lagi sih, Sayang… Udahlah ga usah nanya-nanya lagi…” Sammy tersenyum mengejek.

“Gapapa, Sam. Kita dengar aja apa pertanyaannya. Toh abis ini kita gerayangi hahaha!”

“Yaudah apa? Cepetan!”

“Pak Tristan… ada di bawah kan? Di Loby?”

Sammy dan Binsar saling memandang, kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Hahaha lu mau ditangkep, diserahin ke Bos, diancurin, tapi nanyanya cuma itu?! Hahaha!”

“Hahaha yaudah gue jawab ya! Iye! Bos lu itu di bawah! Lagi berantem ama preman-preman daerah timur! Bos gue udah ngajak semua preman di ibukota ini untuk ngabisin Bos lu! Dan elu juga! Lu semua dan kantor ini bakal abis! Ga bersisa! Gue bakal dapat banyak duit untuk ngerjain ini doang hahaha”

“Oh kalo begitu yaudah. Kalian bawa aja saya.”

“Hehehe gitu do-“ Tanpa mereka sangka, Veranda berlari turun ke bawah dan menerjang Binsar yang tidak siap. Binsar pun terjengkang. Tanpa ampun Veranda menendang selangkangan Binsar.

“Maaaaargh…!” Wajah Binsar memerah menahan rasa ngilu yang amat sangat di alat vitalnya.

Sammy yang masih tertegun melihat Binsar, terkejut saat Veranda meninju jakunnya. Sammy terhuyung sambil memegang lehernya yang perih. Sambil terbatuk-batuk dia mundur. Dia tak sadar satu langkah di belakangnya tangga turun curam.

“Uhukkh! Khh! Sialan!”

Sammy yang juga tidak siap, kembali harus menerima tendangan tepat di perutnya. Kali ini dia kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling-guling di tangga. Tubuhnya mendarat di tangga dasar lantai 6. Tidak bergerak.

“Aw-awas.. kam-u-“ Duak! Binsar yang mencoba mengancam, kini benar-benar tidak sadarkan diri setelah tendangan sepatu Veranda menghantam pelipisnya.

“Gimana hasil latihan kami dengan Bang Simon dan Mbak Nia?” Kali ini gantian Veranda yang tersenyum mengejek Binsar yang terkapar.

***


Shania yang dari tadi berusaha duduk tenang di singgasananya, kini beranjak berdiri. Dia menggigit jari sambil memegang ponselnya. Tanpa sadar dia hanya berputar-putar di kamarnya.

“Heyy… Sini dong, Sayang… Hehehehe…” Tania Dara yang baru bangun dan masih di bawah efek narkotika bergumam lemas.

Shania hanya mendengus jijik, “Dasar junky.”

Shania paling benci saat sekarang ini, dimana dia harus menunggu laporan dari Saktia. Laporan dari rencana yang sudah dirancangnya matang-matang. Rencana yang dia yakin akan membuat Tuan menoleh. Menoleh dan menyadari bahwa Shania adalah anak buah yang bisa diandalkannya. Shania akan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dan mendapat kepercayaan menjalankan proyek yang lebih besar. Shania tersenyum membayangkannya.

Namun senyumnya kembali hilang saat tersadar rencananya belum terbukti berhasil. Beberapa kali telponnya tidak diangkat. Pasti berhasil, batinnya. Dia tahu Saktia. Saktia akan memakai cara apapun untuk mewujudkan rencananya.

Di luar semuanya itu, Shania kembali mengingat seseorang. Matanya memejam. Dia menghirup nafas dalam-dalam.

…Kalau memang aku tidak bisa mendapatkanmu, maka tidak seorangpun juga bisa…

***


Apakah tangga darurat ini aman sampai bawah?

Baru saja Veranda mempertanyakan hal tersebut di kepalanya, dia langsung menemukan jawabannya. Dari tangga darurat tempat dia berdiri, Veranda jelas dapat mendengar derap langkah disertai teriakan segerombolan pemuda di lantai paling bawah. Tak lama, dia juga mendengar pintu tangga darurat lantai 8 juga terbuka.

“Hey cepat temukan dia!”

Namun Veranda belum ketahuan. Cepat-cepat dia mendorong pintu tangga darurat untuk masuk ke lantai 6. Lantai para Talent.

***
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 69: SEMPROT!


Asap hitam kembali muncul di sudut ruang kerja Melody.

“Bagaimana? Sudah ketemu anak itu?”

“Maaf, Ibu… Kami sedikit kewalahan menghadapi para perusuh di bawah. Mereka bahkan sudah mencapai lantai 5 melalui tangga darurat. Kami-“

“Panggil semua anak buahmu!” Sergah Melody kesal. Tiba-tiba di depan meja kerja Melody, sembilan asap hitam muncul, kemudian berubah wujud menjadi manusia berjubah hitam.

“Saya tidak mau tahu! Kalian bawa anak itu ke hadapan saya! Para perusuh sialan itu tinggal kalian bunuh, kan?! Apa susahnya?! Kalo kurang tenaga, panggil semua yang ada di markas kalian itu! Panggil sekalian Bapak!”

Sepuluh pria berjubah hitam, termasuk ketua yang kini berada di samping Melody, diam sambil menatap Melody.

“Kami akan lakukan secepat mungkin, Ibu.”

Melody hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia gemas melihat pasukan yang ternyata tidak bisa memenuhi ekspektasinya. Pasukan Tengkorak Hitam pun kembali menghilang dari ruang kerjanya.

***

Tidak ada cara lain. Ternyata aku harus keluarkan ini.

“Hahaha mati lo! Peluru lo udah abis?! Gue penggal kepala lo!”

Gerombolan baru kembali datang, namun Komandan Hary tidak melihat tanda-tanda akan ada yang datang lagi. Cukup, kalau segini cukup, batinnya. Dia melihat sekitar. Banyak tubuh-tubuh tergeletak. Darah berceceran dimana-mana. Erangan dan rintihan memenuhi ruangan belakang lobi itu.

Termasuk anak buahnya. Tim andalannya. Tim yang selalu diperbincangkan di Kantor Pusat Kepolisian ibu kota. Kini terbujur tidak berdaya. Beberapa masih sadar dan terduduk namun tidak bisa berbuat banyak.

“Maaf, Pak Tristan…” Komandan Hary batuk darah. Tangannya perlahan meraih sesuatu di belakang pinggangnya.

“Minta maaf lo sekarang?! Terlambat, Tolol hahaha!”

“Maaf, Pak Tristan… Gedung Bapak kayaknya harus sedikit rusak…”

Cling. Suara besi beradu. Para perusuh menegang menyadari sesuatu. Namun terlambat, sekalipun seseorang dari mereka berteriak menyuruh teman-temannya kabur,

“Awass granaatt!”

Terlambat. Sebuah granat yang timing-nya sudah dihitung Komandan Hary dilempar menuju mereka yang masih berkumpul.

Duaaarrr!

***

Triririt.

Om Minmon melihat layar ponselnya.

“Halo! Kau dimana?!”

“H-hey, Mon…” Bos Titan masih terengah-engah. Kini sabetan golok dan bekas pukul tongkat kayu besi semakin terasa di sekujur badannya. Rasa sakit merongrong.

“Ak-aku aman. Di basement. Brengsek… Gimana aku bisa melindungi keluargaku, Mon… Melody. Nabilah. Yang lain… Para pegawai… Teknisi… Bagaimana keadaan mereka…” Bos Titan mencengkram keras ponselnya. Tubuhnya bergetar menahan tangis.

“Tenang aja. Mereka itu kuat. Para pegawai juga kompak. Kita bisa percaya mereka. Sekarang, aku kirim orang ke tempatmu. Untuk bantu ke tempat aman.”

“Hah. Siapa-“ Tut. Telepon terputus. Ponsel terlepas dari genggamannya. Bos Titan bertanya-tanya, siapa yang dikirim Om Minmon menuju tempatnya. Dia bernafas pendek dan mulai merasakan kakinya mati rasa. Namun seperti Bang Simon, Bos Titan tidak berencana mati pada hari itu. Sambil memegangi perutnya Bos Titan membetulkan posisi duduknya di jok, tanpa menyadari seseorang sudah berada di dekat pintu mobilnya.

Tuk tuk. “Pak?”

Bos Titan menoleh kaget. Lebih kaget lagi saat dia melihat siapa yang datang.

“Kau? Yang disuruh Mino itu kau?”

***


Veranda berlari masuk menuju ruang besar Talent. Saat pintu kaca otomatis terbuka, dia langsung melihat seseorang yang semalaman ini ingin dia temui.

“Nengg Veeee….!”

“Bianca! Finally!”

“Neng ada apa ini? Kok Neng lebam-lebam gini? Astaganada! Kok kepala Neng berdarisa?! Aduh aduh ayo sini akika obatin dulu!”

“Ngga ada waktu. Kamu denger aja apa aku bilang: sembunyikan semua talent yang ada di lantai ini. Jangan ada yang ketahuan. Saat ini banyak preman bersenjata yang udah masuk gedung. Kalian harus selamatkan diri. Ngerti?”

“Ngerti.”

“Yaudah cepetan sembunyi.”

Saat Bianca kabur ke ruang istirahat Talent, pintu darurat terbuka.

“Bang! Itu dia!” Dari balik pintu kaca otomatis, Veranda bisa melihat sekelompok pemuda bersenjata tajam berlari ke arahnya. Dia pun berlari menuju lift, namun seketika jalannya dihadang oleh para perusuh itu.

“Mau kemana lo sekarang hah?! Hahaha kaya kita Bang! Akhirnya ketemu juga nih pecun!”

Veranda menghitung jumlah pemuda di depannya. Sembilan. Bang Simon dan Mbak Nia belum mengajarkan Veranda untuk berhadapan dengan sembilan orang bersenjata tajam yang ingin membawanya hidup atau mati. Veranda tertunduk. Sudah…? Sampai sini saja…? Andaikan aku bisa mencapai lift itu lebih cepat…

Tring!

Lift di depannya terbuka. Veranda menatap heran ke arah lift, ingin melihat siapa yang pada momen rusuh seperti ini naik lift. Para perusuh itu pun ikut menoleh ke lift di belakang mereka.

“Kan udah gue bilang, ngecatnya besok aja. Ga ujian nih kita.”

“Kalo sekarang kelar kita bisa dapat duitnya hari ini, bego. Ujian kan ada remedialnya.”

“Udah-udah diem lu pada. Bang, dinding yang mau di-pilox yang mana? Aduh mana paha gue gatel lagi. Udah gue bilang kita ganti baju dulu. Ngapain pake baju sekolah gini.”

Para perusuh bingung melihat kemunculan tiga remaja yang masih berseragam SMA dengan bekas semprot pylox di beberapa bagian. Masker respirator tergantung di leher mereka dan beberapa botol cat semprot tergantung di strap pinggang mereka layaknya seniman grafiti jalanan. Salah seorang remaja memakai ransel yang tampaknya berisi perlengkapan lain. Beberapa perusuh menelan ludah tatkala melihat rok seragam tiga remaja tersebut terlipat, menyingkapkan paha mereka yang putih mulus.

“Kayaknya disini deh. Iya kan bang? Di sini kan dindingnya?”

“Ng-hah! Siapa lu! Ga-“

“Ah elah bang orang kita nanya doang kok marah-marah sih.”

“Lagian Bang,” seorang remaja mulai memasang masker respiratornya, diikuti dua remaja lain, “kita kan mau nyemprot. Ngapain lu pada di sini…”

Tanpa basa-basi mereka mencabut dua botol cat semprot dan mulai menyemprot cat itu membabi buta ke muka para perusuh. Para perusuh kaget mendapat serangan itu. Mereka memegangi wajah kesakitan.

“Argghh mata guee! Anjingg lo!”

“Ahh jangann! Awas loo bangsat!”

Mereka yang manahan perih di mata, membabi buta mengayunkan tongkat dan golok. Tentu trio SMA dengan mudah menghindari sabetan senjata mereka. Buru-buru mereka berlari ke arah Veranda yang masih terduduk.



“Kak. Kakak yang namanya Veranda, kan?”

“I-iya.” Veranda masih bingung melihat tiga orang remaja di depannya. Ngapain anak SMA jam segini di Valkyrie? Grafitti? Apa yang mau di-grafitti di ruangan kayak gini?

Seorang remaja membuka maskernya, “Kak, namaku Sevira. Ini Beby. Ini Yoriko. Kami ditugaskan Om Minmon untuk ngawal kakak, kemanapun tujuan kakak. Ayo kita pergi, Kak. Mumpung mereka ga bisa liat. Ini,” Sevira memberi sebuah masker respirator seperti yang mereka pakai, “pakai Kak, kita bakal turun dari lift.”

Buru-buru mereka berlari kembali menuju lift. Namun saat akan memencet tombol lift…

Jeglek! Dennggg!

Mereka seperti mendengar suara tuas besar ditarik. Sedetik kemudian, lampu-lampu ruang besar talent mati. AC dan layar TV di dinding ikut mati. Ruang talent mendadak gelap, hanya bercahayakan sinar matahari yang masuk dari sela-sela dinding kaca gedung.

“Hah ada apa ini?”

“Mati listrik. Ayo, ga ada jalan lain, kita dari tangga darurat.”

“Astaga. Tangga darurat lagi.” Veranda mendengus sebal.

Mereka pun berlari masuk tangga darurat. Tangga darurat benar-benar gelap, tidak ada sedikitpun cahaya yang masuk. Veranda memimpin jalan turun, diikuti dengan Yoriko, Sevira dan Beby. Mereka meraba pegangan tangga sambil menapak hati-hati. Mereka terdiam saat mendengar beberapa teriakan dari beberapa lantai di bawah mereka.

“Hoy! Siapa itu?”

“Hei jawab! Dimana anak itu?!”

Sevira berusaha menutup mulutnya, namun mendadak terasa gatal di hidungnya. Dia langsung membuka masker ingin menggosok hidungnya. Namun terlambat,

“Haciuhh!”

“Hey itu suara wanita! Itu mereka! Kejar!”

“Kyaaaa!” Beby dan Yoriko reflek berteriak sambil berlari turun ke pintu darurat lantai 5. Lantai kantor Management Talent. Veranda ikut berlari di belakang mereka.

“Heh gimana sih lu! Pas lagi butuh diem malah bersin! Ketauan kan!” Yoriko mengomel sambil membuka pintu darurat.

“Ya gue mana biasa pake masker kayak gini. Masker gue biasanya bengkoang!” Sevira tak mau kalah sambil membantu membukakan pintu.

“Kak Ve, duluan cepat!”

“Kalian kemana?” Veranda tentu tidak bisa meninggalkan remaja yang jauh lebih muda darinya di situasi seperti ini.

“Tenang aja kak, kami hambat mereka.” Trio SMA mengambil posisi di samping pintu.

“Oke kalo gitu gue ikut.” Veranda memasang kuda-kuda di depan pintu.

“T-tapi, Kak.”

“Udah, tenang. Gue juga ga mungkin ninggalin lo bertiga di sini. Lo ditugaskan ngawal gue kan?” Veranda tersenyum percaya diri, yang dibalas dengan senyuman dari Trio SMA.

Dan benar saja, para perusuh langsung membuka pintu darurat dan disambut dengan semprotan cat dari celah pintu yang terbuka lebar.

“Semproooottt!” Beby berteriak. Para perusuh limbung memegangi wajahnya. Pada saat itulah, Veranda menendangi mereka satu persatu, membuat beberapa perusuh jatuh berguling ke tangga lantai bawah. Perusuh lain yang ambruk menghalangi perusuh di belakangnya untuk masuk ke lantai kantor Management Talent.

“Ayo lari!” ajak Veranda setelah melihat satu gerombolan itu tidak bisa masuk lagi.

Lantai kantor Management Talent. Tidak seperti kantor di lantai dua sampai lantai empat yang ramai. Di lantai ini hanya beberapa pegawai yang menjalankan tugas berkaitan dengan talent. Pun saat ini, tidak ada terlihat satupun pegawai dan manager artis, yang memang lebih sering di luar mengurus aktivitas para talentnya.

“Kenapa ga ada orang di sini? Ini kantor Om Minmon sepi amat.”

“Memang seringnya sepi. Ayo-“ Namun langkah Veranda terhenti. Dia seperti baru saja mendengar sesuatu. Sesuatu yang familiar dan sering dia dengar saat menonton film laga. Setelah itu dia mendengar suara sesuatu bergulir. Tak salah lagi. Veranda mengejang dan berteriak,

“Semuanya lompaatt!” Beby dan Yoriko kaget mendengar teriakan Veranda, namun refleks ikut lompat ke balik sofa. Namun tidak dengan Sevira. Dia yang bingung dengan perintah Veranda, hanya berdiri diam saat ledakan granat melempar dirinya ke dinding.

Dhuaaaarr!

“Seviraaa!”

***
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 70: ONE DOWN.

“Medis! Medis! Cepat keluarkan semua obat-obatan kalian!”

Dua petugas medis dan dokter yang hari itu bertugas kaget melihat kondisi Bos besar mereka yang berantakan dan bersimbah darah. Namun mereka langsung bergerak cepat menangani kondisi Bos Titan yang mendekati kritis.

“Kamu. Cek tensinya! Kamu ambil semua persediaan perban dan kain kasa kita, siapkan alkohol dan betadin.”

“Baik, Pak.”

“Oke, Pak, saya ambil persediaan kain kasa dulu.” Seorang perawat bergegas keluar klinik.

Dokter jaga itu langsung berlari menyiapkan pengobatan Bos Titan. Tergesa-gesa dia melangkah sehingga beberapa kali hampir terjembab. Pada saat dia meletakkan obat penghilang rasa nyeri di samping ranjang, Bos Titan mencengkram pergelangan tangannya,

“Hey.” Bos Titan menatap mata dokter itu. Si dokter takut- takut membalas tatapan Bos Titan. “Ngga perlu terburu-buru. Lakukan dengan tenang. Aku ngga apa-apa.”

“B-baik, Pak.” Dokter itu menghembuskan nafas lega.

“Dan kau,” Bos Titan menoleh ke orang yang tadi memapahnya berjalan dari basement ke klinik, “kita punya banyak waktu, ceritakan siapa kau sebenarnya.”

***

“Sebentar.” Orang itu hanya tersenyum melihat Bos Titan. Kemudian dia pelan-pelan keluar klinik.

Dari semua bagian di Loby, klinik dan swalayan ternyata tidak terganggu sama sekali oleh kerusuhan. Kedua tempat tersebut utuh tidak terjamah penjarahan. Dan suasana kini lebih lengang.

Tanpa menimbulkan suara, dia berjalan menuju belakang swalayan. Dan saat itulah dia mendengar seseorang seperti berbicara pelan di telepon.

“H-halo. Halo. Pak. P-Pak. Di sini ad-“ Bisikan si penelepon langsung terhenti kala Orang itu membekap mulutnya. Si penelepon sontak berontak, berusaha melepas sergapan orang itu. Namun kekuatan mereka jauh berbeda. Si penelepon pun lemas tak sadarkan diri.

“Mau ambil kain kasa ya? Hmm. One down. No, four down.”

***

“Ini kain kasanya, Dok.” Orang itu meletakkan di samping tempat tidur. Dokter jaga yang menerimanya bingung.

“Lho kemana petugas kliniknya?”

“Dia kabur. Wajar. Kondisi di gedung sekarang rusuh.”

“Kau penyebabnya?” Bos Titan langsung bertanya. Namun orang itu hanya tersenyum.

“Nanti, kalau Pak Tristan sudah sehat. Saya bisa jelaskan. Saya pergi dulu.”

“Hey! Jangan perg-!”

“Pak,” potong Orang itu, “peraturan pertama tim elite: keselamatan Bos nomor satu.” Orang itu pun menghilang.

***

“Gue sampe harus ngelempar granat hanya untuk… menangkap kelinci?”

Arman mengelap tangannya yang berminyak sembarang di kemejanya. Belasan anak buahnya mengikuti di belakang. Ruangan kantor Manajemen Talent kini berantakan. Beberapa meja rusak terkena ledakan. Semantara di sana-sini asap berbau gosong mengepul.


Yoriko dan Beby langsung berlari merubung Sevira yang tergeletak diam. Mereka panik melihat Sevira yang bersimbah darah di lengan dan leher.

“Vir! Vir! Ayo bangun Vir!”

Arman yang melihat itu menggumam cuek, “Habisi mereka.”

“Hey!” Veranda langsung berdiri sambil mengangkat tangan. Semua serempak menoleh ke arahnya.

“Jangan ganggu mereka. Aku kan yang kalian cari? Mereka ga ada hubungannya.”


“Ngga ada? Mereka udah bikin anak buah gue ga bisa ngeliat! Lu tau ga berapa biaya yang harus gue tanggung?!” Arman berteriak kesal.

“Elu! Elu! Elu! Harusnya lu bertiga minta uang jajan ke gue! Abis itu gue entotin! Abis itu gue bayar lo! Gitu harusnya anak SMA yang bener!” Amarah Arman disambut tawa anak buahnya.

“Ga sudi gue minta uang ke bajingan kayak lo! Anjing!” Yoriko bangkit berdiri. Dia ikut naik pitam. Dia tidak rela temannya diperlakukan seperti ini. Di belakangnya, Sevira perlahan membuka mata dan merintih nyeri.

“Vir! Vir! Ko, Sevira sadar.”

“Bentar lagi dia kembali ga sadar. Elu juga. Elu juga. Ndrong, habisi.”

Seorang pemuda berambut gondrong berwajah seram berjalan perlahan. Sambil memainkan parangnya, dia bersiul menatap Yoriko yang berdiri tegak. Sedikitpun tidak ada ketakutan terlihat di tatapan mata Yoriko.

“Hmm boleh juga lu. Mau mati gini masih berani melotot hehehe.” Preman gondrong itu terkekeh melihat Yoriko.

“Jangaan!” Veranda yang ingin menghalangi, justru dihalangi oleh anak buah Arman yang lain.

“Lu abis ini. Sekarang,” dengan tenang preman gondrong itu mengangkat parangnya, bersiap menebas Yoriko, “sampe jumpa.”

“Jangaaaann!”

***

Mobil SUV hitam meluncur cepat dan berhenti tepat di gerbang belakang gedung Valkyrie yang tertutup. Gerbang yang biasanya dipakai untuk bongkar muat kebutuhan gedung itu terlihat sepi. Hanya ada seorang satpam yang menjaga.

“Hey! Buka.”

“Anda sia-“

“Buka! Cepat!” Seseorang yang duduk di bangku depan menodongkan pistol. Satpam itu pun langsung buru-buru membuka gerbang berikut portalnya. SUV hitam itu pun langsung meluncur masuk. Melihat mobil yang baru masuk, satpam itu pelan-pelan mengambil ponsel dari balik lacinya, kemudian mencari kontak.

Namun saat dia akan menekan tombol hijau, di pintu pos berdirilah seseorang tegap melipat tangan,

“Mau ngapain?”

“Heh lu-“ Tanpa sempat berkata, kerah satpam itu langsung dicengkram. Setelah itu, beberapa tinju mendarat di wajahnya, sampai dia tidak sadarkan diri.

Five down.”

Dari dalam mobil SUV hitam, keluarlah seorang wanita dan pria. Wanita itu tampak bingung.

“Di sini?”

“Iya. Kamu udah ingat kan tugas mu? Ingat, lantai 3. Hidupmu selanjutnya, tergantung tugasmu hari ini. Jangan sampai salah.” Pria itu kembali masuk mobil. Tak perlu lama, SUV hitam itu sudah hilang dari bagian belakang gedung Valkyrie.

***
 
Terakhir diubah:
PT. VALKYRIE OCEANIA
MENGUCAPKAN

SELAMAT HARI RAYA
IDUL FITRI 1441 H
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN


MOHON MAAF JIKA BEBERAPA KALI LEBARAN KAMI BELUM BISA MENYELESAIKAN MASALAH DI PERUSAHAAN KAMI.
AUTHORNYA SERING LEMBUR.
KAMI BISA APA.
#2020GANTIAUTHOR


Ttd,
Tristan
CEO of Valkyrie​
 
Sebelumnya, di Valkyrie Management:
Yang Yoriko tahu, dia ditugaskan untuk melindungi wanita yang bernama Veranda. Tidak pernah dibayangkannya, di hadapannya kini seorang preman berambut gondrong berwajah seram menghunuskan goloknya, dan tanpa rasa belas kasih akan menebas lehernya…


CHAPTER 71: PULIHNYA SI JAHAT


Klontaangg!

“Eh copot copot brengsek lo! Heh siapa itu!”

Semua kaget saat tong sampah stainless berbentuk silinder melayang dan mengenai salah satu preman berdiri di belakang Arman. Isi tong sampah itu berhambur keluar. Semua sontak menoleh ke belakang, arah tong sampah itu dilempar. Sedetik mereka menangkap bayangan melesat cepat menuju balik dinding.

Fokus Arman dan yang lainnya otomatis terpecah, termasuk preman gondrong di depan Yoriko. Kesempatan itu tentu tidak disia-siakan Yoriko. Dengan sekuat tenaga dia mengayunkan kakinya untuk menendang selangkangan si Gondrong.

Duak! “Aaahhhhh! Erghh bangs-nghh-bangs-aat..!” Si Gondrong terhuyung, setengah mati menahan ngilu yang amat sangat di penisnya. Sebentar kemudian dia ambruk, tidak kuasa menahan rasa sakit. Si Gondrong pingsan.

“Mati lo! Taik!” Yoriko memekik penuh emosi.

“Heh! Kurang aj-“ Belum sempat Arman menyelesaikan makiannya, fokus mereka harus kembali terpecah kala sesuatu kembali terlempar ke arah mereka. Kali ini papan peringatan lantai basah melesat cepat, menghantam tepat ke wajah salah satu preman.

“Ergh! Heh siapa itu?! Bangsat!”

“Kejar!!” sergah Arman. Dari sudut matanya dia menghitung lesatan bayangan di sekeliling mereka. Satu. Dua. Tiga. Empat. Ada empat orang yang kini mengelilingi mereka. Gerakan mereka penuh perhitungan. Kegesitannya juga patut diwaspadai. Tong sampah yang pertama terlempar bukan benda yang yang ringan. Perlu tenaga ekstra untuk melemparnya. Siapa mereka ini, batin Arman.

Saat semuanya tanpa sadar berpencar, dari belakang Beby terdengar langkah ringan dan cepat. Beby refleks menoleh ke arah suara langkah. Matanya melotot kala pinggangnya dicengkram keras dan tubuhnya yang masih terduduk memeluk Sevira ditarik kasar ke belakang. Begitu juga dengan Sevira yang masih terbaring lemah, tanpa daya ditarik oleh sosok satu lagi. Yoriko dan Veranda hanya bisa melongo saat Beby dan Sevira menghilang dari pilar besar menuju ruang rapat kecil.

Veranda yang tercekat akhirnya memanggil nama sosok yang baru dilihatnya tadi,

“Yo-yona?”

***

“Clear!”

Mendengar teriakan itu Arman menoleh ke sumber suara. Dirinya terkejut saat mendapati di tengah ruangan kini hanya ada Veranda dan Yoriko. Sevira yang tadinya terbaring terkena ledakan raib. Begitu juga dengan Beby. Arman merasa seperti dibodohi. Dengan gusar dia berteriak,

“Heh brengsek! Tunjukkan diri lo! Gue tebas kepala lo sekarang juga!”

Seolah menuruti perkataannya, sosok-sosok yang tadinya melesat dan bersembunyi kini menampakkan dirinya. Di berbagai sudut dari balik pilar dan dinding, kini muncul enam orang yang ternyata bukan dengan tangan kosong. Mereka masing-masing menggenggam tongkat besi dan kayu. Satu dua sayatan dan bekas darah terlihat jelas di baju mereka, menunjukkan mereka juga baru saja melakukan perkelahian.

“Kayaknya udah pengen banget bunuh orang ya, sampe kami buka pintu darurat ga ada yang denger hehehe.” Ujar salah seorang sambil terkekeh.

“Ayana...” Arman menggeram, “Bangsat kau…”


“Yang di lantai bawah itu anak buah lo? Lo didik lagi deh, lemah semua gue liat.” Seorang di ujung lain membetulkan kacamatanya.

Kali ini Arman melongo dan terbahak, “Hahaha! Naomi? Seriously? Duta kosmetik kita? Berkelahi? Bawa tongkat besi? Hahahaha! Nice! Gue suka ini! Lo keliatan jauh lebih seksi kalo begini, Mi. Ingetin gue untuk nyicip tubuh lo ya sebelum gue tebas kepala lo!”


“Oke,” Naomi mengikat rambutnya sambil menatap genit Arman dan para preman. Para preman menelan ludah melihat posenya, “Kita liat nanti ya, lo yang nyicip gue,” ikatan rambutnya selesai. Tangannya kembali menggenggam keras tongkat besinya, “atau penis lo satu-satu gue iris.” Bibirnya menyeringai.

Dari belakang Veranda, kini berjalan seseorang yang tadi menyeret Beby.

“Yo-“

“Kita urus masalah kita nanti,” Yona sama sekali tidak menoleh ke arah Veranda. Matanya menatap tajam para perusuh, “setelah semua ini kelar.”


“Oke.” Mendadak dada Veranda terasa sesak. Rasa haru memenuhinya. Dia sama sekali tidak menyangka teman-temannya yang sudah lama tidak dia lihat dan memiliki hubungan kurang baik sebelum semua ini terjadi, datang menyelamatkan saat nyawanya dan Trio SMA terancam. Veranda paham saat ini dia adalah buronan Valkyrie, namun teman-temannya masih mau percaya padanya.

Dan hanya satu orang yang bisa melakukan ini. Veranda menatap seseorang yang berdiri di dekat lift yang juga sedang melihatnya. Riskha.


“Lo mau ke bawah kan? Pergi sana. Biar yang ini kami urus.”

Veranda justru tersenyum. Matanya menatap tajam ke arah Arman, “Gue belum lupa ajaran Bang Simon: kalo mau habisi penjahat, habis sampe mati.”

“Yaudah. Inget, jangan mati. Cuma gue yang boleh bunuh lo. MAJUUU!”


Pertarungan Pegawai Terpilih vs Arman dan para Preman pun tak terhindarkan lagi.

***

“Ayo sayang! Ayo! Enak kan memek ku?! Hihihihi! Aku suka kontolmu! Ayo! Ayo!” Saktia meracau saat vaginanya dihentak berkali-kali dari belakang oleh penis Ipul.

“M-mbak! Enak banget! Say-saya belum pernah ngerasain beg-gini! Ergh! Ahh! Ahh!” Racauan Ipul tak kalah ributnya.

Mata Saktia terpejam. Tanpa sadar mulutnya menganga. Dia mengakui penis yang satu ini berhasil membuatnya menggelinjang, tidak seperti penis Birowo dan Rio. Penis perjaka memang beda, batinnya senang. Tak lama dia merasakan sesuatu yang sedari tadi dinantikannya.

“Hihihi sayang aku mau keluar! Cepetin! Ayo! Ayo!” Tanpa sungkan Ipul menggenjot selangkangan Saktia. Penisnya mengeras. Gelombang kenikmatan menelusup ke syaraf-syaraf batang penisnya. Uratnya berdenyut cepat. Rasa pegal di pinggulnya seperti tak terasa, dikalahkan oleh rasa geli enak di alat vitalnya.

“Engghhhh! Hahaha! Bagus! Bagus!” Paha Saktia mengejang-ngejang. Dia menggigit jarinya sendiri, mencoba menahan rasa geli yang berlimpah. Sementara di liang vaginanya, Ipul dapat merasakan jepitan pada penisnya, yang semakin membuatnya menggelinjang.

“Sayang! Terasa kan empotan memekku? Hihihi! Enak kan? Enak?!”

“Enak, Mbak! Lagi, Mbak! Lagi!”

Kuat juga nih bocah, batin Saktia. Tapi apapun akan aku turuti, Sayang. Sebelum tubuhmu gantian aku makan.


“Sini kamu.” Saktia mencabut penis si bocah baru gede. Doggy style berakhir. Saktia kini mengambil alih permainan. Si bocah ditolaknya hingga terbaring di kasur. Penisnya yang tegang berdiri tegak. Namun Saktia tidak membiarkan Ipul hanya terbaring keenakan. Dia ingin bocah ini menikmati penuh tubuhnya di senggama pertama dan terakhirnya.

“Senderan cepat!”

“I-iya, Mbak.”

Ipul mengambil posisi bersandar di kepala kasur. Dengan gerakan gesit penisnya sudah dimasukkan Saktia, kali ini bukan di vaginanya namun di duburnya.

“Kamu ini ya hihihi baru sekali ngentot udah ngerasain memek sama anus! Hihihi! Enak ga?!”

“E-nak banget Mbak! Ahh! Ahh! Enak, Mbak!” Penis Ipul menegang maksimal saat liang dubur Saktia mulai memutar-mutar menggesek sekujur batang penisnya. Saktia dengan kesetanan memutar dan memaju-mundurkan pantatnya. Dia tidak membiarkan hanya vaginanya yang merasakan penis perjaka, tapi juga lubang pantatnya. Saktia dapat merasakan denyut penis Ipul beradu dengan syaraf liang duburnya, mengucurkan rasa nikmat di selangkangannya.

“Nih! Remes! Jepit! Hisap! Sesukamu hahaha!” Saktia menjambak rambut Ipul dan membenamkan kepala Ipul ke belahan dadanya. Ipul yang mendapat perintah baru langsung dapat menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Jarinya meremas keras dan menjepit puting susu kiri Saktia, sementara mulutnya menjilat dan menyedot puting susu kanan. Ipul bahkan sesekali berani memagut bibir Saktia yang terus menggelinjang. Peluh mereka di kulit yang bersentuhan bercampur menjadi satu.

Kali ini tangan Ipul bergerilya dari buah dada menuju pantat Saktia. Entah mendapat ide darimana, pantat Saktia diremas dan ditampar dengan keras. Rangsangan itu membuat Saktia semakin bernafsu. Mulutnya terus mendesah keenakan, kombinasi dari gesekan penis Ipul dan cengkraman di bokongnya.

Akhirnya Saktia merasakan orgasmenya kembali datang. Semakin cepat dia menghentak sambil sesekali memutar pinggulnya. Ternyata hal lain yang diinginkannya juga datang. Wajah Ipul yang memerah mendekati wajah Saktia yang menunduk,

“Mbak. Enghh-s-saya mau ngec-rot.”

“Crotin di dalam aja, Sayang hihihi.”

“Bo-leh, Mbak?”

“Orgasme pertamamu harus istimewa hihihi. Ayo! Penuhin lubang pantatku! Udah lama aku ga ngerasain air mani perjaka hhihihi!”

Mendengar itu, libido Ipul semakin melonjak. Apalagi kali ini Saktia menjilat dan mengisap daun telinganya. Segera saja spermanya melesat melewati batang penisnya dan,

“Ngghhhh! Mb-baaakkk!” Ipul tidak bisa menahan rasa ngilu di batang penisnya. Tubuhnya mengejang keenakan. Sensasi hebat yang baru pertama kali dialaminya. Dia bisa merasakan penisnya seperti dipaksa menyemburkan seluruh sperma simpanannya.

Saktia pun begitu. Sensasi orgasme terakhir bersamaan dengan ejakulasi perjaka membuatnya mengejang hebat. Dia bisa merasakan semburan sperma yang begitu kencang di dalam liang duburnya. Dirinya tak berhenti tertawa ketika menikmati kenikmatan ini tidak hanya di selangkangannya namun juga di seluruh tubuhnya.

Tak terasa lima menit mereka merasakan sensasi nikmat masing-masing, sampai akhirnya tubuh Saktia ambruk di atas tubuh Ipul.

“Hah. Hah. Hah. Gimana? Enak ga ngentot?” Sambil terengah Saktia menggoda Ipul. Matanya mengerling.

“Enak banget, Mbak.”

“Kamu tahu? Aku pengen banget ngentot sama kamu lagi. Kontolmu enak banget. Aku pengen banget melihara kamu. Tapi karena kondisi sekarang mendesak, kamu bayarnya sekarang aja ya.”

“Ba-bayar? Maksudnya gimana, Mbak?” Ipul bingung sambil menatap wajah Saktia yang begitu dekat.

“Udah kamu diem aja, saatnya kamu bayar.” Saktia langsung mencabut penis Ipul dari duburnya dan memasukkannya ke liang vaginanya. Sementara bibirnya memagut bibir Ipul.

Sebentar kemudian bibir dan vaginanya mulai menjalankan tugasnya. Vaginanya menggembung, memompa penis Ipul yang masih tegang, sementara bibir Saktia menyedot bibir Ipul. Rasa sakit mulai menjalar di sekujur tubuh Ipul. Dia yang ingin berteriak hanya bisa mengeluarkan suara tertahan. Tangannya memukul-mukul dan mencakar pinggul Saktia namun tiada arti. Ipul seperti merasakan darahnya dipompa paksa keluar. Rasa nikmat yang baru saja dirasakannya berganti dengan rasa sakit yang membuatnya lemas. Tangannya berhenti memukul.

Mata Saktia memerah kemudian menghitam. Dia sungguh menikmati saripati seorang remaja tanggung yang baru saja melepas keperjakaannya. Mulutnya selesai menyedot, namun vaginanya masih bekerja memompa penis Ipul. Setiap detiknya Saktia menikmati setiap tetes cairan hitam kemerahan meresap di vaginanya. Kulit tubuhnya kemudian menjadi semakin kencang, seiring dengan kulit tubuh Ipul yang menjadi berkeriput. Tak disangkanya, nutrisi tubuh Ipul ternyata cukup untuk memenuhi kebutuhannya hari itu. Ipul yang masih memiliki sisa kekuatan hanya bisa terengah-engah.

“Mb-mbak…”

“Iya, Sayang, iya. Sama-sama. Kamu mau bilang makasih karena udah dikasi yang enak-enak kan? Aku juga makasih karena bisa mengisap saripati tubuhmu hihihi…” Saktia, atau lebih tepatnya Dryad, mengikik melihat Ipul yang kini tak berdaya.

Setelah tuntas tanpa sisa, vagina Saktia berhenti menyedot. Saktia bangkit dan dengan tenang memakai kembali baju kerjanya. Setelah selesai, dia kembali melihat tubuh Ipul yang kini ringkih.

“Bergabung sana, dengan dua temanmu hihihi…” Dengan tenaga tak terlihat, tubuh Ipul terangkat dan masuk ke dalam toilet. Bruk! Tubuh Ipul menimpa tubuh Rio di lantai kamar mandi.

Saktia menatap dirinya di cermin. Kulitnya kini lebih kencang. Luka-luka memar di wajah dan lengannya benar-benar sirna. Raut wajahnya pun lebih segar. Sekarang Saktia seperti lahir kembali.

“Kini saatnya,” Bibirnya menyeringai, “menyelesaikan ini semua. Hihihi.”

***

Bruk! Tubuh Ipul menimpa tubuh lain di lantai kamar mandi.

“Ergh…Ahh…”

Tentu erangan pelan itu tidak terdengar Saktia. Pun ketika sosok lemah yang ditimpa tubuh Ipul mulai bergerak tanpa menimbulkan suara. Sekujur tubuhnya sakit, namun cairan isotonik dan susu yang sempat masuk ke dalam tubuhnya kini bekerja. Tubuhnya kini memiliki tenaga, walau tak seberapa.

“Kini saatnya, menyelesaikan ini semua. Hihihi.” Telinganya dapat mendengar jelas suara Saktia yang merambat melalui pintu kamar mandi.

Saat Saktia meninggalkan kamarnya, tubuh itu akhirnya benar-benar sadar.

“To-long akuu…”

***
 
CHAPTER 72: SHANIA GRACIA (2)


“Saya gak bisa menunggu lebih lama lagi!”

Bos Titan bangun dan bangkit berdiri. Dia merasa sudah lebih baik dan cukup tenaga untuk kembali ke depan lobi. Dia tidak bisa berlama-lama membiarkan para anak buahnya bertempur tanpanya. Rasa khawatir merongrong pikirannya.

“T-tapi, Pak! Bapak belum bisa keluar dengan kondisi Bapak seperti ini! Bapak bisa ambruk!”

Bos Titan geram mendengar jawaban sang dokter. Segera saja kerah kemeja dokter itu ditariknya.

“Menurut Anda saya lemah hah?! Menurut Anda saya mesti diam saja disini?! Sementara anak buah saya di luar sana mempertaruhkan nyawanya?! Anda mau tanggung jawab kalau mereka mati?! HAH? JAWAB!”

Namun tatapan mata sang dokter juga jawabannya membuat Bos Titan tertegun.

“Pak, saya tidak kenal satupun orang dari tim keamanan Bapak. Tapi saya pernah dengar apa yang dibilang pria tadi: Keselamatan Bapak nomor satu. Bapak mau melindungi pegawai Bapak? Bagaimana Bapak bisa kembali ke sana kalau Bapak masih belum fit? Saya memilih mengabdi untuk membantu menjaga kesehatan dan keselamatan para pegawai di sini, terutama Bos Besar Valkyrie.”

“Pak,” Dokter itu melemaskan dadanya, “Bapak boleh pukul saya sesuka Bapak nanti. Tapi tolong saya menjalankan tugas saya dengan baik. Kalau hasil pemeriksaan nanti Bapak sudah cukup fit, saya pasti kasih tau Bapak.”

Bos Titan terdiam. Dia pun melepas cengkramannya dan duduk di pinggir matras.

“Berapa lama saya mesti istirahat di sini?”

“Setengah jam lagi saya periksa, Pak. Kalau memungkinkan, saya bisa bantu pakai suntik adrenalin kadar ringan.”

“Oke. Saya pegang omonganmu.”

***

Buak!

Pukulan terakhir tongkat Bang Simon ke kepala perusuh bukan hanya merobohkan perusuh itu, namun juga dirinya. Tubuh Bang Simon ambruk. Nafasnya tersengal. Dia terkapar di tengah lautan manusia yang pingsan. Pahanya berhenti mengucurkan darah, namun beberapa bagian tubuhnya belum. Rasa nyeri yang tadi tidak terasa, kini menguasai sekujur badannya. Bang Simon dapat merasakan di beberapa bagian tulangnya seperti retak. Rompinya pun berantakan oleh sayatan benda tajam.

Namun dia bernafas lega. Untuk pertama kalinya sejak pertempuran ini berlangsung, dia melihat tidak ada lagi gelombang perusuh baru yang datang masuk ke lingkungan gedung Valkyrie. Bang Simon merasa seperti baru saja memenangkan perang melawan 1000 manusia. Dia melihat sekitar. Hampir semua anak buahnya takluk. Hanya satu dua yang masih bergerak. Kondisi mereka pun tak jauh beda.

Namun sebentar kemudian pikirannya kembali kalut. Bos Titan. Om Minmon. Pegawai Terpilih. Dan para pegawai Valkyrie lainnya. Bagaimana keadaan mereka? Apalagi tadi dia sempat mendengar ledakan dari arah dalam lobi.

Dengan tenaga yang tersisa Bang Simon mencoba berdiri. Dia melihat keluar. Benar-benar tidak ada lagi yang datang. Kini suasana luar dipenuhi oleh warga dan pekerja yang tadi sempat bersembunyi. Di luar aman. Kini tinggal mengurus yang di dalam. Semoga sempat. Tertatih-tatih Bang Simon melewati tubuh manusia yang bergeletakan di depan lobi.

“P-Pak...”

“Bono. Kamu masih bisa jalan?” Bang Simon membantu salah seorang anak buahnya yang mengerang sakit.

“Si-siap, Pak. Saya ma-sih bisa.” Dengan susah payah Bono menjawab komandannya.

“Jangan dipaksakan. Kamu di sini saja.”

“Tidak, Pak. Kita ha-rus memas-tikan keamanan ergh-Bos Titan. Dan yang lain.” Bono perlahan berdiri. Rasa sakit tentu masih merongrong badannya, namun tekadnya membantunya berdiri.

“Saya ju-ga, Pak.” Adi bertumpu pada pilar untuk berdiri.

“Sa-saya siap, Pak.” Brian duduk untuk mengumpulkan energinya.

“Oke! Ayo kita ke dalam!”

***

“Mati lo!” Buak!

Pukulan terakhir Naomi membuat preman yang menunduk membelakanginya tersungkur. Naomi pun terduduk lemas. Perkelahian itu benar-benar menguras fisik para Pegawai Terpilih. Memar dan bekas darah terpampang jelas di sekujur tubuh mereka. Namun apa yang Bang Simon ajarkan pada Pegawai Terpilih terutama selama pendidikan fisik dan kemampuan bela diri kini terasa hasilnya. Mereka bahkan terkejut melihat kemampuan tempur masing-masing.

“Hah. Hah. Hah. Gila. Gue bisa ngalahin preman-preman ini hahaha!” Tawa Ayana puas.

“Dan kini,” Riskha berdiri perlahan dan berjalan menuju sosok tak berdaya yang merintih kesakitan, “lo harus bayar semua yang lo lakuin ini, Man. Bakal mampus lu!”

Riskha mendekatinya, diikuti Yona, Naomi, Ayana, Nabilah dan Gracia. Arman tidak menyangka para wanita yang dianggapnya lemah, kini berdiri di depannya setelah menghabisi para anak buahnya. Dengan mata kepala sendiri Arman menyaksikan para Pegawai Terpilih memiliki kemampuan tempur yang mencengangkan. Darimana mereka mempelajari ini semua, batinnya takut.


Namun Arman menguasai dirinya. Bantuanku pasti datang. Aku hanya perlu mengulur waktu sampai yang lain datang. Puluhan perusuh sudah berhasil masuk gedung. Tidak lama lagi mereka akan menemukan lantai ini.

Veranda dan Yoriko yang tadi terduduk, kini berdiri untuk bergabung dengan teman-temannya. Mendadak dia teringat sesuatu.

“Sevira! Beby!”

“Cepat periksa keadaan mereka.” Tanpa menoleh Yona memerintahnya. Veranda dan Yoriko langsung melesat menuju ruang rapat kecil.

Sepeninggal Veranda, tiba-tiba pintu darurat terbuka. Para Pegawai Terpilih refleks melihat pintu darurat dan bersiap untuk siapapun yang datang. Mereka memasang kuda-kuda.

Namun mereka terkejut ketika melihat siapa yang muncul dari balik pintu.

“Kartika! Ngapain kamu ke sini?!” Yona berseru melihat rekan satu divisi Veranda itu menghambur mendekati mereka sambil menangis. Kartika kemudian tersungkur di depan Gracia.

“Mbak! Mbak! Di bawah Mbak! Preman itu gebukin para pegawai huhhuhu!”

“Apa?! Kurang ajar! Ayo kita ke bawah!”

“Tapi gimana dengan si brengsek ini!”

“Dia ga akan kemana-mana! Ayo!”

***


“Vir, kamu udah bisa jalan?”

“Bisa, Kak. Aku udah gapapa.”

“Yaudah ayo.”

Dari dalam ruang rapat kecil, Veranda mendengar ribut suara teman-temannya. Ada apa di luar? Segera dia keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Dan pada saat itulah, saat melihat seseorang di ruang besar, Veranda tertegun. Dia…

“GRACIA, JAUHI DIA!” Veranda berteriak. Semua sontak melihat ke arahnya, namun satupun belum bisa mengerti apa maksudnya.

“JAUHI KARTIKA!”

Tiba-tiba Gracia merasa sesuatu menembus bagian samping perutnya.

“Eh?”

Tubuh Gracia mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Sedetik kemudian rasa sakit menjalar dari perut ke seluruh tubuhnya. Gracia mengejang saat menyadari sebilah belati menancap di perutnya. Matanya melotot, kemudian memandang tidak percaya sosok di sampingnya. Sosok yang kini tersenyum jahat setelah jubah penyamarannya terkuak. Kejadian itu berlangsung begitu cepat.

“Heheheh lumayan lah satu kena.” Kartika menyeringai. Sementara para Pegawai Terpilih menatapnya tidak percaya.

“DIA SALAH SATU DARI MEREKA!”

***

Kartika melesat mundur ke belakang. Sementara Gracia jatuh terduduk. Perlahan dia mencengkram gagang belati yang menusuk perutnya. Pelan-pelan dia mencabut belati itu sambil meringis kesakitan. Yang lain langsung mengerumuninya.

Pada saat itu lah segerombolan perusuh masuk. Ternyata mereka dari tadi sudah menunggu di balik pintu. Menunggu skenario Kartika dijalankan. Sama seperti komplotan yang baru dikalahkan, mereka memegang golok, tongkat kayu dan besi. Kartika berdiri di depan gerombolan itu, seperti seorang ketua geng.

“Hehehe mengapa kamu muncul Veranda. Temanmu jadi kena tusuk kan.”

“Brengsek kau pengkhianat! Taik! Kau mau membunuh kami?!” Yona ingin menerjangnya, namun ditahan yang lain.

“Gimana dong. Tawaran yang diberikan terlalu bagus untuk ditolak. Hihihi.”

“Jahanam…!”

“Yon. Gre makin berdarah, Yon! Kita harus mundur, bawa dia ke klinik bawah!” Mau tak mau para Pegawai Terpilih dan Trio SMA mundur menuju pintu darurat ujung satunya. Yona memapah Gracia yang memegangi perutnya. Darah tidak berhenti mengucur. Kartika dan para perusuh mendekati Arman yang masih terbaring.

“Bos. Gimana, bisa bangun?” Kartika membantu Arman duduk.

“Hah. Hah. Hahaha! Aku tau kalian pasti datang! Kita habisi para pelacur itu! Jangan lari kalian!” teriak Arman dengan geram.

Para Pegawai Terpilih membuka pintu darurat dan langsung turun. Yona yang memapah Gracia menjadi orang terakhir yang masuk. Namun pada saat mereka akan turun, Gracia menarik kerah baju Yona. Yona berhenti. Dia menatap Gracia bingung.

Namun pandangan Gracia padanya, membuatnya mengerti sesuatu. Sesuatu yang membuatnya merinding.

***

Blam! Pintu tangga darurat tertutup.

Para Pegawai Terpilih dan Trio SMA berlari pelan menuju bawah. Saat sudah menapak di dasar tangga lantai 4, mereka baru menyadari sesuatu.

“Eh! Kak Yona! Kak Gre! Mereka dimana?!” Beby orang pertama yang menyadari mereka kurang dua orang.

“Jangan bilang… mereka masih di atas?!”

“Astaga! Ngapain mereka?!”

“Terakhir aku liat sebelum kita masuk, Gracia melototin Yona! Aku ga tau apa maksudnya!” Nabilah berseru.

Naomi terdiam, kemudian berpikir sesuatu. Di bawah lampu sorot ponselnya, Veranda dapat melihat raut wajah Naomi berubah. Raut wajahnya menunjukkan ketakutan.

“Astaga!” Seruan Naomi yang mendadak mengagetkan mereka.

“Kenapa Mik?! Ayo kembali! Mereka bakal mati kalo begini!”

Tetapi perkataan Naomi berikutnya menghentikan mereka,

“Gue.. bukannya takut Gracia mati. Gue takut… Gracia bakal membunuh lagi…

***

Delapan tahun lalu…

“Ippon!”

“Wasit! Muka saya disentuh! Pelanggaran dong!” Namun wasit tetap bergeming dengan keputusannya.

Sementara lawannya yang memakai judogi berwarna hitam pada pertandingan final hari itu, tersenyum mengejeknya.

***

Brak! Gracia membanting sabuk seragam judonya dengan sangat kesal. Bukan karena harapannya untuk bertanding di tingkat nasional sudah pupus, namun karena ia merasa kalah dengan tidak terhormat. Wasit pada pertandingan final tingkat daerah hari itu jelas-jelas berpihak pada Nissa. Apa yang tidak dilakukannya menjadi pelanggaran, sebaliknya Nissa jelas-jelas melakukan gerakan terlarang namun wasit seperti tidak melihatnya.

Shani hanya duduk di sudut ruangan, menunggunya selesai beres-beres. Dia sangat paham sekarang ini Gracia sama sekali tidak perlu dihibur. Bakal jadi bumerang buat dirinya. Sepasang sahabat lama tentu sudah paham sifat masing-masing. Maka Shani pun mendiamkannya sampai dia merasa mood Gracia sudah kembali baik. Walaupun untuk kali ini Shani merasa bakal memakan waktu lama untuk mengembalikan mood-nya.


Begitu juga dengan pelatih dan rekan setimnya. Mereka sudah paham sifat Gracia yang kadang meledak-ledak, apalagi untuk momen seperti ini. Lebih baik tidak usah diganggu. Maka suasana ruang ganti Dojo Hirakan pun hening. Yang penting sehabis ini kita pulang, pikir mereka.

Namun yang terjadi tak sesuai rencana. Pintu ruang ganti tiba-tiba terbuka lebar dan muncullah seorang pria tua berbadan tegap dengan kemeja kotak-kotak gelap. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan kecil itu dan akhirnya berhenti di satu orang. Dengan langkah panjang pria itu mendekat.

Uh oh, batin Gracia. Jangan disini. Iya, aku kalah. Target Dojo kita tidak tercapai. Tapi aku udah berusaha semampuku. Dan wasit itu…

“Apa ini? Jelaskan pada saya apa ini!!” Pria tua itu meraung. Gracia terjengit. Begitu juga dengan semua orang di ruangan itu. Dua helai foto yang kusam namun jelas memampangkan Gracia yang sedang berlatih di tempat yang remang.

“Pak, saya…” Gracia tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Tertangkap basah di momen seperti itu membuatnya tidak bisa mencari alasan. Dan parahnya, hal itu membuat pria tua di depannya semakin naik pitam.

“Saya tidak pernah ngelarang kamu berlatih di tempat lain! Apapun! Tinju! Aikido! Karate! Terserah kalian! Tapi kamu kenapa berlatih di tempat seperti itu?! Kamu mau bunuh orang hah?!”

“P-Pak…” Pelatihnya mencoba menenangkan Sensei sekaligus pemilik Dojo Hirakan itu, namun dia malah ikut kena damprat.

“Kamu juga! Bagaimana kamu bisa kecolongan seperti ini! Apa kata Dojo Harimau Emas dan dojo-dojo lain kalo mereka tahu hal ini?! Kita bakal malu, Jihan! Kita malu!” Brak! Loker ruang ganti di samping Sensei menjadi sasaran emosi.

Pandangannya kembali ke Gracia yang menunduk, “Ini kelewatan! Tidak bisa dimaafkan!” Perlahan Sensei merobek dua helai foto itu.

Suasana ruang ganti kembali hening. Setelah mengambil nafas beberapa saat, Sensei akhirnya memutuskan, “Dojo Hirakan, dojo kita, kebanggaan kita, tidak memerlukan calon pembunuh. Mulai hari ini Gracia, kamu ga usah lagi datang ke Dojo.” Sensei berbalik dan meninggalkan ruang ganti.

Semua terkejut mendengarnya, terutama Gracia. Dia paham dia layak menerima hukuman. Namun, langsung dikeluarkan? Tanpa ada peringatan seperti peraturan yang dia ketahui di Dojo? Apakah benar ini kesalahan fatal? Emosinya ikut naik.

“Sensei! Sensei ga bisa seenaknya ngeluarin saya begitu saja! Sensei tidak mau dengar penjelasan saya! Beginikah Sensei kebanggaan Dojo Hirakan?!”

Langkah Sensei terhenti. Jihan menepuk jidat. Ini bakal panjang, batinnya. Gracia yang tempramental melawan Sensei yang keputusannya selalu mutlak. Sensei berbalik lagi. Suaranya pelan namun berat,

“Apa yang mau kamu jelaskan hah? Apa alasan yang baik dari seseorang yang berlatih di tempat berandalan, memakai tongkat besi memukuli boneka curian? Bulan lalu kelompok itu diperiksa polisi karena salah satu anggotanya dicurigai melakukan tindakan kriminal. Jadi apa alasan baiknya? Cepat jawab saya Gracia.”

“Saya ingin memperdalam bela diri saya! Saya ga bunuh orang! Sensei tidak berhak mengatur pilihan saya di luar Dojo! Lagian orang-orang di situ baik-baik. Johan! Destro! Dan yang lain! Semuanya baik! Tidak seperti Sensei bayangkan! Apa salahnya?!”

Sensei terdiam, kemudian menunduk. Dia kembali menghirup nafas dalam. Kali ini suaranya lebih pelan, namun semakin menusuk Gracia,

“Iya, kamu ngga salah. Saya yang salah. Pak Hidan di awal sudah bilang ngga usah nerima kamu. Saya salah, ngasi kamu kesempatan.”

Setelah itu Sensei benar-benar pergi meninggalkan ruang ganti.

***

Gracia melangkah keluar GOR dengan gontai. Pikirannya kalut. Berbagai kekecewaan datang silih berganti. Pelatih dan rekan setimnya tidak berani menemani Gracia sampai pulang, karena mereka tahu mereka akan ikut kena masalah. Hanya Shani yang masih setia menemaninya.

“Udah, Say. Kita pulang ke rumahmu. Aku temenin sampe kamu baikan. Nanti kita singgah beli es krim vanila kesukaanmu. Oke?” Shani tersenyum mencoba menghibur sahabatnya. Namun Gracia masih diam.

Sesampainya di tangga atas keluar GOR, mereka mendapati tiga orang wanita dan satu orang pria sedang mengobrol sambil tertawa, seperti sedang menunggu mereka. Ternyata Nissa, lawannya di final tadi, bersama tim Dojo-nya.

“Eh ini dia runner-up kita, dari Dojo kebanggaan. Dojo Hirakan hihihi.”

“Manja banget ya tadi. Dikit-dikit protes. Dikira wasit ga ngerti peraturan apa ya hehehe.”

“Eh, udah ga anak Dojo situ lagi. Kan udah dikeluarin.”

“Maennya sama berandalan sih.”

Provokasi itu tentu membuat Gracia naik pitam. Namun Shani dengan cepat menenangkannya, “Ayo, Gre. Kita pulang aja. Cepetan yuk.” Untunglah Shani berhasil. Mau tak mau Gracia mempercepat langkahnya.

Pada saat itulah, dia mendengar ucapan dari pria di belakang Nissa,

“Anak haram mah maennya dengan anak haram ya hihihi.”

“Heh diem lu hihihi. Kedengaran ntar.”

Gracia menunduk dan berbalik ke arah mereka. Dia kemudian berjalan mendekat.

“Tuh kan aku bilang juga apa hihihi.”

“Gre. Gre. Jangan Gre. Kita pulang aja.” Kali ini bujukan Shani tidak berhasil. Bahkan Shani ditolaknya hingga hampir terjembab.

“Hooo mau ngapain kamu? Kamu mau ngajak berantam? Sama kami para juara tingkat daerah yang bakal bertanding di Nasional ini? Hihihi.” Mereka masih bercanda melihat Gracia yang menunduk di depan mereka.

“Nah gitu dong. Nunduk sama jawara. Apalagi lu sendirian. Lu mau kami keroyok?” ucap salah seorang yang disambut gelak tawa lainnya.

“Siapa yang tadi bilang anak haram?” tanya Gracia pelan namun jelas mereka dengar.

“Gue. Kenapa? Lo mau lawan gue? Aduh gue sungkan lawan cew-“ celotehan pria di belakang tiga wanita itu terhenti ketika dengan satu gerakan cepat lehernya dicengkram dengan kencang. Tiga wanita di depannya bahkan tidak bisa melihat aba-aba gerakan tersebut. Mereka sontak menghindar, kemudian dengan cepat mengerubungi Gracia.

Pria itu mencengkram lengan Gracia yang mencekik lehernya. Namun dia terkejut mendapati tangan Gracia yang keras dan tidak goyah. Dia mulai panik dan memukul-mukul tangan Gracia yang berperawakan jauh lebih kecil dari dirinya. Wajahnya mulai memerah. Bagaimana bisa cewek seperti ini…

Nissa dan dua temannya pun mencoba menarik dan mengganggu Gracia agar cekikannya terlepas. Namun Gracia bergeming. Dan yang membuat mereka terkejut, mereka melihat raut wajah Gracia yang berbeda, tidak seperti yang biasa mereka tahu.

Mati lo… Mati lo semua…

Gre… jangan… buat… untuk… nyakitin.. orang.. ya..” Sekelebat ucapan Johan saat mereka berlatih di markas berantakan itu muncul, namun pikiran Gracia kembali kosong. Kini hanya ada nafsu menghabisi orang-orang yang sudah melecehkan harga diri dan keluarganya.

“Heh! Lepasin!”

“Lo mau bunuh dia?! Hey lepasin!”

Buak! “Kyaahh!” Satu pukulan menghujam perut Nissa. Begitu juga temannya. Rambutnya dijambak dan disentak ke belakang, membuat wanita itu terjatuh. Sementara satu lagi terdiam takut kala Gracia menatap tajam ke arahnya.

Pria di depannya kini tidak tahan lagi. Tubuhnya ambruk, diikuti Gracia yang kini berlutut di atasnya. Cengkramannya sama sekali tidak mengendur. Matanya tajam memelototi wajah si penghina keluarganya itu.

“Khhh! Khh! Am-punkhhh!” Gracia melepas cekikannya. Namun setelah itu, tanpa ampun Gracia mulai meninju wajah pria itu. Berkali-kali. Tanpa henti. Pria itu menghirup nafas dalam-dalam, namun tidak fokus untuk melindungi kepalanya. Dia harus menerima tinjuan bertubi-tubi yang penuh amarah. Pria itu benar-benar tidak bisa menghentikan pukulan Gracia.

Duak! Duak! Duak! Wajah pria itu benar-benar babak belur dan Gracia tidak sedikitpun mengendurkan tinjunya.

Mati. Mati. Mati.” Ucapan itu berulang seperti rekaman setiap tinju Gracia menghantam wajahnya.

“Greee sudah Gre-kyaaa!” Shani yang mencoba menarik dari samping, ditolak dengan sangat kuat hingga terjatuh.

“Hey hey apa itu!”

“Hey ada yang berkelahi!”

“Pisahin! Pisahin!” Orang-orang mulai menyadari kejadian itu dan berkerumun, namun tidak ada yang berani memisahkan. Sampai akhirnya,

“GRACIA!” Rentetan tinju Gracia berhenti. Tanpa ekspresi dia menoleh ke sumber suara yang dikenalnya.

“Apa yang kamu lakukan?!”

Gracia hanya memandang tanpa ekspresi, sampai akhirnya menjawab, “Seperti katamu. Aku pembunuh. Benar. Aku pembunuh. Puas? Aku pemb-“ Mendadak badannya jatuh ke atas tubuh pria yang dihajarnya. Gracia tidak sadarkan diri.

***

…seperti itu…” Tit. Tit. “…kalau emosinya memuncak… Dia akan pingsan…” Tit. Tit. “…Dia…meninggal…” Tit. Tit.

"Hah."

Gracia membuka mata. Kepalanya masih sakit, namun dia bisa menyadari keadaan sekitar. Telinganya menangkap suara detak mesin detektor jantung. Dia mencium aroma obat-obatan. Matanya perlahan menangkap suasana serba putih. Dia di rumah sakit.

“Dok, dia udah sadar!” Pelatih dan rekan Dojonya ingin merubunginya, namun dengan sigap suster menghalangi.

“Jangan rame-rame! Dua orang saja!” Pelatih Jihan dan Shani pun mendekatinya.

“…maaf…” Kata pertama yang keluar dari mulutnya.

“…bagaimana… pria itu…” Pelatih Jihan dan Shani hanya diam, sampai akhirnya Shani tidak tahan lagi. Tangis Shani pecah. Sambil sesunggukan dia menjawab,

“Huhuhu… Me-meninggal, Gre… Ka-kamu ba-kal dipen-jara huhuhu…”

Gracia memejamkan mata. Dia berharap bumi menelannya saat itu juga. Dan tidak kembali lagi.

***

Tumpukan koran di depannya sudah selesai dia baca. Namun ada yang aneh.

Pintu ruang Kepala Sipir terbuka. Seorang pria separuh baya berseragam datang sambil menenteng sebuah map, “Shania Gracia, mulai hari ini kamu bebas bersyarat. Tapi tetap wajib lapor setiap bulan. Kalau tidak lapor, tim Kemasyarakatan akan datang dan kamu bisa masuk penjara lagi. Ngerti?”

“Me-ngerti, Pak. Tapi… siapa yang menjamin saya, Pak?” Tidak mungkin Sensei. Gracia paham sifatnya. Apalagi yang berurusan dengan polisi dan penjara seperti ini.

Pria berseragam itu tidak menggubris Gracia. Dengan cuek dia mengambil beberapa berkas di rak, kemudian keluar lagi. Pada saat di pintu, pria berseragam itu menoleh ke arah Gracia,

“Ada yang ingin bertemu denganmu.” Petugas itu menghilang dari balik pintu. Sesaat kemudian, di pintu kini muncul seorang pria berkulit putih, botak dan berkacamata. Tubuh gempalnya dibalut setelan jas rapi bernada coklat. Senyumnya sumringah, seperti menghangatkan ruang Kepala Sipir yang dingin.

“Halo, Shania Gracia.”

“Ha-lo,” Gracia tergagap menjawab pria tersebut, “Anda… siapa?”

“Perkenalkan, Saya Mino. Saya mau menawarkan sesuatu kepada kamu.” Senyum pria itu bahkan tidak pudar saat menyelesaikan kalimatnya.

Gracia terpana akan auranya. Instuisi Gracia bekerja. Dia yakin pria di depannya ini bukan sembarang orang. Bahkan Gracia berani bertaruh, alasan tidak satupun koran di meja depannya memberitakan kejadian itu pasti ada sangkut pautnya dengan pria ini.

***
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd