CHAPTER 72: SHANIA GRACIA (2)
“Saya gak bisa menunggu lebih lama lagi!”
Bos Titan bangun dan bangkit berdiri. Dia merasa sudah lebih baik dan cukup tenaga untuk kembali ke depan lobi. Dia tidak bisa berlama-lama membiarkan para anak buahnya bertempur tanpanya. Rasa khawatir merongrong pikirannya.
“T-tapi, Pak! Bapak belum bisa keluar dengan kondisi Bapak seperti ini! Bapak bisa ambruk!”
Bos Titan geram mendengar jawaban sang dokter. Segera saja kerah kemeja dokter itu ditariknya.
“Menurut Anda saya lemah hah?! Menurut Anda saya mesti diam saja disini?! Sementara anak buah saya di luar sana mempertaruhkan nyawanya?! Anda mau tanggung jawab kalau mereka mati?! HAH? JAWAB!”
Namun tatapan mata sang dokter juga jawabannya membuat Bos Titan tertegun.
“Pak, saya tidak kenal satupun orang dari tim keamanan Bapak. Tapi saya pernah dengar apa yang dibilang pria tadi: Keselamatan Bapak nomor satu. Bapak mau melindungi pegawai Bapak? Bagaimana Bapak bisa kembali ke sana kalau Bapak masih belum fit? Saya memilih mengabdi untuk membantu menjaga kesehatan dan keselamatan para pegawai di sini, terutama Bos Besar Valkyrie.”
“Pak,” Dokter itu melemaskan dadanya, “Bapak boleh pukul saya sesuka Bapak nanti. Tapi tolong saya menjalankan tugas saya dengan baik. Kalau hasil pemeriksaan nanti Bapak sudah cukup fit, saya pasti kasih tau Bapak.”
Bos Titan terdiam. Dia pun melepas cengkramannya dan duduk di pinggir matras.
“Berapa lama saya mesti istirahat di sini?”
“Setengah jam lagi saya periksa, Pak. Kalau memungkinkan, saya bisa bantu pakai suntik adrenalin kadar ringan.”
“Oke. Saya pegang omonganmu.”
***
Buak!
Pukulan terakhir tongkat Bang Simon ke kepala perusuh bukan hanya merobohkan perusuh itu, namun juga dirinya. Tubuh Bang Simon ambruk. Nafasnya tersengal. Dia terkapar di tengah lautan manusia yang pingsan. Pahanya berhenti mengucurkan darah, namun beberapa bagian tubuhnya belum. Rasa nyeri yang tadi tidak terasa, kini menguasai sekujur badannya. Bang Simon dapat merasakan di beberapa bagian tulangnya seperti retak. Rompinya pun berantakan oleh sayatan benda tajam.
Namun dia bernafas lega. Untuk pertama kalinya sejak pertempuran ini berlangsung, dia melihat tidak ada lagi gelombang perusuh baru yang datang masuk ke lingkungan gedung Valkyrie. Bang Simon merasa seperti baru saja memenangkan perang melawan 1000 manusia. Dia melihat sekitar. Hampir semua anak buahnya takluk. Hanya satu dua yang masih bergerak. Kondisi mereka pun tak jauh beda.
Namun sebentar kemudian pikirannya kembali kalut. Bos Titan. Om Minmon. Pegawai Terpilih. Dan para pegawai Valkyrie lainnya. Bagaimana keadaan mereka? Apalagi tadi dia sempat mendengar ledakan dari arah dalam lobi.
Dengan tenaga yang tersisa Bang Simon mencoba berdiri. Dia melihat keluar. Benar-benar tidak ada lagi yang datang. Kini suasana luar dipenuhi oleh warga dan pekerja yang tadi sempat bersembunyi.
Di luar aman. Kini tinggal mengurus yang di dalam. Semoga sempat. Tertatih-tatih Bang Simon melewati tubuh manusia yang bergeletakan di depan lobi.
“P-Pak...”
“Bono. Kamu masih bisa jalan?” Bang Simon membantu salah seorang anak buahnya yang mengerang sakit.
“Si-siap, Pak. Saya ma-sih bisa.” Dengan susah payah Bono menjawab komandannya.
“Jangan dipaksakan. Kamu di sini saja.”
“Tidak, Pak. Kita ha-rus memas-tikan keamanan ergh-Bos Titan. Dan yang lain.” Bono perlahan berdiri. Rasa sakit tentu masih merongrong badannya, namun tekadnya membantunya berdiri.
“Saya ju-ga, Pak.” Adi bertumpu pada pilar untuk berdiri.
“Sa-saya siap, Pak.” Brian duduk untuk mengumpulkan energinya.
“Oke! Ayo kita ke dalam!”
***
“Mati lo!” Buak!
Pukulan terakhir Naomi membuat preman yang menunduk membelakanginya tersungkur. Naomi pun terduduk lemas. Perkelahian itu benar-benar menguras fisik para Pegawai Terpilih. Memar dan bekas darah terpampang jelas di sekujur tubuh mereka. Namun apa yang Bang Simon ajarkan pada Pegawai Terpilih terutama selama pendidikan fisik dan kemampuan bela diri kini terasa hasilnya. Mereka bahkan terkejut melihat kemampuan tempur masing-masing.
“Hah. Hah. Hah. Gila. Gue bisa ngalahin preman-preman ini hahaha!” Tawa Ayana puas.
“Dan kini,” Riskha berdiri perlahan dan berjalan menuju sosok tak berdaya yang merintih kesakitan, “lo harus bayar semua yang lo lakuin ini, Man. Bakal mampus lu!”
Riskha mendekatinya, diikuti Yona, Naomi, Ayana, Nabilah dan Gracia. Arman tidak menyangka para wanita yang dianggapnya lemah, kini berdiri di depannya setelah menghabisi para anak buahnya. Dengan mata kepala sendiri Arman menyaksikan para Pegawai Terpilih memiliki kemampuan tempur yang mencengangkan.
Darimana mereka mempelajari ini semua, batinnya takut.
Namun Arman menguasai dirinya.
Bantuanku pasti datang. Aku hanya perlu mengulur waktu sampai yang lain datang. Puluhan perusuh sudah berhasil masuk gedung. Tidak lama lagi mereka akan menemukan lantai ini.
Veranda dan Yoriko yang tadi terduduk, kini berdiri untuk bergabung dengan teman-temannya. Mendadak dia teringat sesuatu.
“Sevira! Beby!”
“Cepat periksa keadaan mereka.” Tanpa menoleh Yona memerintahnya. Veranda dan Yoriko langsung melesat menuju ruang rapat kecil.
Sepeninggal Veranda, tiba-tiba pintu darurat terbuka. Para Pegawai Terpilih refleks melihat pintu darurat dan bersiap untuk siapapun yang datang. Mereka memasang kuda-kuda.
Namun mereka terkejut ketika melihat siapa yang muncul dari balik pintu.
“Kartika! Ngapain kamu ke sini?!” Yona berseru melihat rekan satu divisi Veranda itu menghambur mendekati mereka sambil menangis. Kartika kemudian tersungkur di depan Gracia.
“Mbak! Mbak! Di bawah Mbak! Preman itu
gebukin para pegawai huhhuhu!”
“Apa?! Kurang ajar! Ayo kita ke bawah!”
“Tapi gimana dengan si brengsek ini!”
“Dia ga akan kemana-mana! Ayo!”
“Vir, kamu udah bisa jalan?”
“Bisa, Kak. Aku udah gapapa.”
“Yaudah ayo.”
Dari dalam ruang rapat kecil, Veranda mendengar ribut suara teman-temannya.
Ada apa di luar? Segera dia keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Dan pada saat itulah, saat melihat seseorang di ruang besar, Veranda tertegun.
Dia…
“GRACIA, JAUHI DIA!” Veranda berteriak. Semua sontak melihat ke arahnya, namun satupun belum bisa mengerti apa maksudnya.
“JAUHI KARTIKA!”
Tiba-tiba Gracia merasa sesuatu menembus bagian samping perutnya.
“Eh?”
Tubuh Gracia mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Sedetik kemudian rasa sakit menjalar dari perut ke seluruh tubuhnya. Gracia mengejang saat menyadari sebilah belati menancap di perutnya. Matanya melotot, kemudian memandang tidak percaya sosok di sampingnya. Sosok yang kini tersenyum jahat setelah jubah penyamarannya terkuak. Kejadian itu berlangsung begitu cepat.
“Heheheh lumayan lah satu kena.” Kartika menyeringai. Sementara para Pegawai Terpilih menatapnya tidak percaya.
“DIA SALAH SATU DARI MEREKA!”
***
Kartika melesat mundur ke belakang. Sementara Gracia jatuh terduduk. Perlahan dia mencengkram gagang belati yang menusuk perutnya. Pelan-pelan dia mencabut belati itu sambil meringis kesakitan. Yang lain langsung mengerumuninya.
Pada saat itu lah segerombolan perusuh masuk. Ternyata mereka dari tadi sudah menunggu di balik pintu. Menunggu skenario Kartika dijalankan. Sama seperti komplotan yang baru dikalahkan, mereka memegang golok, tongkat kayu dan besi. Kartika berdiri di depan gerombolan itu, seperti seorang ketua geng.
“Hehehe mengapa kamu muncul Veranda. Temanmu jadi kena tusuk kan.”
“Brengsek kau pengkhianat! Taik! Kau mau membunuh kami?!” Yona ingin menerjangnya, namun ditahan yang lain.
“Gimana dong. Tawaran yang diberikan terlalu bagus untuk ditolak. Hihihi.”
“Jahanam…!”
“Yon. Gre makin berdarah, Yon! Kita harus mundur, bawa dia ke klinik bawah!” Mau tak mau para Pegawai Terpilih dan Trio SMA mundur menuju pintu darurat ujung satunya. Yona memapah Gracia yang memegangi perutnya. Darah tidak berhenti mengucur. Kartika dan para perusuh mendekati Arman yang masih terbaring.
“Bos. Gimana, bisa bangun?” Kartika membantu Arman duduk.
“Hah. Hah. Hahaha! Aku tau kalian pasti datang! Kita habisi para pelacur itu! Jangan lari kalian!” teriak Arman dengan geram.
Para Pegawai Terpilih membuka pintu darurat dan langsung turun. Yona yang memapah Gracia menjadi orang terakhir yang masuk. Namun pada saat mereka akan turun, Gracia menarik kerah baju Yona. Yona berhenti. Dia menatap Gracia bingung.
Namun pandangan Gracia padanya, membuatnya mengerti sesuatu. Sesuatu yang membuatnya merinding.
***
Blam! Pintu tangga darurat tertutup.
Para Pegawai Terpilih dan Trio SMA berlari pelan menuju bawah. Saat sudah menapak di dasar tangga lantai 4, mereka baru menyadari sesuatu.
“Eh! Kak Yona! Kak Gre! Mereka dimana?!” Beby orang pertama yang menyadari mereka kurang dua orang.
“Jangan bilang… mereka masih di atas?!”
“Astaga! Ngapain mereka?!”
“Terakhir aku liat sebelum kita masuk, Gracia melototin Yona! Aku ga tau apa maksudnya!” Nabilah berseru.
Naomi terdiam, kemudian berpikir sesuatu. Di bawah lampu sorot ponselnya, Veranda dapat melihat raut wajah Naomi berubah. Raut wajahnya menunjukkan ketakutan.
“Astaga!” Seruan Naomi yang mendadak mengagetkan mereka.
“Kenapa Mik?! Ayo kembali! Mereka bakal mati kalo begini!”
Tetapi perkataan Naomi berikutnya menghentikan mereka,
“Gue.. bukannya takut Gracia mati. Gue takut…
Gracia bakal membunuh lagi…”
***
Delapan tahun lalu…
“Ippon!”
“Wasit! Muka saya disentuh! Pelanggaran dong!” Namun wasit tetap bergeming dengan keputusannya.
Sementara lawannya yang memakai judogi berwarna hitam pada pertandingan final hari itu, tersenyum mengejeknya.
***
Brak! Gracia membanting sabuk seragam judonya dengan sangat kesal. Bukan karena harapannya untuk bertanding di tingkat nasional sudah pupus, namun karena ia merasa kalah dengan tidak terhormat. Wasit pada pertandingan final tingkat daerah hari itu jelas-jelas berpihak pada Nissa. Apa yang tidak dilakukannya menjadi pelanggaran, sebaliknya Nissa jelas-jelas melakukan gerakan terlarang namun wasit seperti tidak melihatnya.
Shani hanya duduk di sudut ruangan, menunggunya selesai beres-beres. Dia sangat paham sekarang ini Gracia sama sekali tidak perlu dihibur. Bakal jadi bumerang buat dirinya. Sepasang sahabat lama tentu sudah paham sifat masing-masing. Maka Shani pun mendiamkannya sampai dia merasa
mood Gracia sudah kembali baik. Walaupun untuk kali ini Shani merasa bakal memakan waktu lama untuk mengembalikan
mood-nya.
Begitu juga dengan pelatih dan rekan setimnya. Mereka sudah paham sifat Gracia yang kadang meledak-ledak, apalagi untuk momen seperti ini. Lebih baik tidak usah diganggu. Maka suasana ruang ganti Dojo Hirakan pun hening.
Yang penting sehabis ini kita pulang, pikir mereka.
Namun yang terjadi tak sesuai rencana. Pintu ruang ganti tiba-tiba terbuka lebar dan muncullah seorang pria tua berbadan tegap dengan kemeja kotak-kotak gelap. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan kecil itu dan akhirnya berhenti di satu orang. Dengan langkah panjang pria itu mendekat.
Uh oh, batin Gracia.
Jangan disini. Iya, aku kalah. Target Dojo kita tidak tercapai. Tapi aku udah berusaha semampuku. Dan wasit itu…
“Apa ini? Jelaskan pada saya apa ini!!” Pria tua itu meraung. Gracia terjengit. Begitu juga dengan semua orang di ruangan itu. Dua helai foto yang kusam namun jelas memampangkan Gracia yang sedang berlatih di tempat yang remang.
“Pak, saya…” Gracia tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Tertangkap basah di momen seperti itu membuatnya tidak bisa mencari alasan. Dan parahnya, hal itu membuat pria tua di depannya semakin naik pitam.
“Saya tidak pernah ngelarang kamu berlatih di tempat lain! Apapun! Tinju! Aikido! Karate! Terserah kalian! Tapi kamu kenapa berlatih di tempat seperti itu?! Kamu mau bunuh orang hah?!”
“P-Pak…” Pelatihnya mencoba menenangkan Sensei sekaligus pemilik Dojo Hirakan itu, namun dia malah ikut kena damprat.
“Kamu juga! Bagaimana kamu bisa kecolongan seperti ini! Apa kata Dojo Harimau Emas dan dojo-dojo lain kalo mereka tahu hal ini?! Kita bakal malu, Jihan! Kita malu!” Brak! Loker ruang ganti di samping Sensei menjadi sasaran emosi.
Pandangannya kembali ke Gracia yang menunduk, “Ini kelewatan! Tidak bisa dimaafkan!” Perlahan Sensei merobek dua helai foto itu.
Suasana ruang ganti kembali hening. Setelah mengambil nafas beberapa saat, Sensei akhirnya memutuskan, “Dojo Hirakan, dojo kita, kebanggaan kita, tidak memerlukan calon pembunuh. Mulai hari ini Gracia, kamu ga usah lagi datang ke Dojo.” Sensei berbalik dan meninggalkan ruang ganti.
Semua terkejut mendengarnya, terutama Gracia. Dia paham dia layak menerima hukuman. Namun, langsung dikeluarkan? Tanpa ada peringatan seperti peraturan yang dia ketahui di Dojo? Apakah benar ini kesalahan fatal? Emosinya ikut naik.
“Sensei! Sensei ga bisa seenaknya ngeluarin saya begitu saja! Sensei tidak mau dengar penjelasan saya! Beginikah Sensei kebanggaan Dojo Hirakan?!”
Langkah Sensei terhenti. Jihan menepuk jidat.
Ini bakal panjang, batinnya. Gracia yang tempramental melawan Sensei yang keputusannya selalu mutlak. Sensei berbalik lagi. Suaranya pelan namun berat,
“Apa yang mau kamu jelaskan hah? Apa alasan yang baik dari seseorang yang berlatih di tempat berandalan, memakai tongkat besi memukuli boneka curian? Bulan lalu kelompok itu diperiksa polisi karena salah satu anggotanya dicurigai melakukan tindakan kriminal. Jadi apa alasan baiknya? Cepat jawab saya Gracia.”
“Saya ingin memperdalam bela diri saya! Saya ga bunuh orang! Sensei tidak berhak mengatur pilihan saya di luar Dojo! Lagian orang-orang di situ baik-baik. Johan! Destro! Dan yang lain! Semuanya baik! Tidak seperti Sensei bayangkan! Apa salahnya?!”
Sensei terdiam, kemudian menunduk. Dia kembali menghirup nafas dalam. Kali ini suaranya lebih pelan, namun semakin menusuk Gracia,
“Iya, kamu ngga salah. Saya yang salah. Pak Hidan di awal sudah bilang ngga usah nerima kamu. Saya salah, ngasi kamu kesempatan.”
Setelah itu Sensei benar-benar pergi meninggalkan ruang ganti.
***
Gracia melangkah keluar GOR dengan gontai. Pikirannya kalut. Berbagai kekecewaan datang silih berganti. Pelatih dan rekan setimnya tidak berani menemani Gracia sampai pulang, karena mereka tahu mereka akan ikut kena masalah. Hanya Shani yang masih setia menemaninya.
“Udah, Say. Kita pulang ke rumahmu. Aku temenin sampe kamu baikan. Nanti kita singgah beli es krim vanila kesukaanmu. Oke?” Shani tersenyum mencoba menghibur sahabatnya. Namun Gracia masih diam.
Sesampainya di tangga atas keluar GOR, mereka mendapati tiga orang wanita dan satu orang pria sedang mengobrol sambil tertawa, seperti sedang menunggu mereka. Ternyata Nissa, lawannya di final tadi, bersama tim Dojo-nya.
“Eh ini dia
runner-up kita, dari Dojo kebanggaan. Dojo Hirakan hihihi.”
“Manja banget ya tadi. Dikit-dikit protes. Dikira wasit ga ngerti peraturan apa ya hehehe.”
“Eh, udah ga anak Dojo situ lagi. Kan udah dikeluarin.”
“Maennya sama berandalan sih.”
Provokasi itu tentu membuat Gracia naik pitam. Namun Shani dengan cepat menenangkannya, “Ayo, Gre. Kita pulang aja. Cepetan yuk.” Untunglah Shani berhasil. Mau tak mau Gracia mempercepat langkahnya.
Pada saat itulah, dia mendengar ucapan dari pria di belakang Nissa,
“Anak haram mah maennya dengan anak haram ya hihihi.”
“Heh diem lu hihihi. Kedengaran ntar.”
Gracia menunduk dan berbalik ke arah mereka. Dia kemudian berjalan mendekat.
“Tuh kan aku bilang juga apa hihihi.”
“Gre. Gre. Jangan Gre. Kita pulang aja.” Kali ini bujukan Shani tidak berhasil. Bahkan Shani ditolaknya hingga hampir terjembab.
“Hooo mau ngapain kamu? Kamu mau ngajak berantam? Sama kami para juara tingkat daerah yang bakal bertanding di Nasional ini? Hihihi.” Mereka masih bercanda melihat Gracia yang menunduk di depan mereka.
“Nah gitu dong. Nunduk sama jawara. Apalagi lu sendirian. Lu mau kami keroyok?” ucap salah seorang yang disambut gelak tawa lainnya.
“Siapa yang tadi bilang anak haram?” tanya Gracia pelan namun jelas mereka dengar.
“Gue. Kenapa? Lo mau lawan gue? Aduh gue sungkan lawan cew-“ celotehan pria di belakang tiga wanita itu terhenti ketika dengan satu gerakan cepat lehernya dicengkram dengan kencang. Tiga wanita di depannya bahkan tidak bisa melihat aba-aba gerakan tersebut. Mereka sontak menghindar, kemudian dengan cepat mengerubungi Gracia.
Pria itu mencengkram lengan Gracia yang mencekik lehernya. Namun dia terkejut mendapati tangan Gracia yang keras dan tidak goyah. Dia mulai panik dan memukul-mukul tangan Gracia yang berperawakan jauh lebih kecil dari dirinya. Wajahnya mulai memerah.
Bagaimana bisa cewek seperti ini…
Nissa dan dua temannya pun mencoba menarik dan mengganggu Gracia agar cekikannya terlepas. Namun Gracia bergeming. Dan yang membuat mereka terkejut, mereka melihat raut wajah Gracia yang berbeda, tidak seperti yang biasa mereka tahu.
“
Mati lo… Mati lo semua…”
“
Gre… jangan… buat… untuk… nyakitin.. orang.. ya..” Sekelebat ucapan Johan saat mereka berlatih di markas berantakan itu muncul, namun pikiran Gracia kembali kosong. Kini hanya ada nafsu menghabisi orang-orang yang sudah melecehkan harga diri dan keluarganya.
“Heh! Lepasin!”
“Lo mau bunuh dia?! Hey lepasin!”
Buak! “Kyaahh!” Satu pukulan menghujam perut Nissa. Begitu juga temannya. Rambutnya dijambak dan disentak ke belakang, membuat wanita itu terjatuh. Sementara satu lagi terdiam takut kala Gracia menatap tajam ke arahnya.
Pria di depannya kini tidak tahan lagi. Tubuhnya ambruk, diikuti Gracia yang kini berlutut di atasnya. Cengkramannya sama sekali tidak mengendur. Matanya tajam memelototi wajah si penghina keluarganya itu.
“Khhh! Khh! Am-punkhhh!” Gracia melepas cekikannya. Namun setelah itu, tanpa ampun Gracia mulai meninju wajah pria itu. Berkali-kali. Tanpa henti. Pria itu menghirup nafas dalam-dalam, namun tidak fokus untuk melindungi kepalanya. Dia harus menerima tinjuan bertubi-tubi yang penuh amarah. Pria itu benar-benar tidak bisa menghentikan pukulan Gracia.
Duak! Duak! Duak! Wajah pria itu benar-benar babak belur dan Gracia tidak sedikitpun mengendurkan tinjunya.
“
Mati. Mati. Mati.” Ucapan itu berulang seperti rekaman setiap tinju Gracia menghantam wajahnya.
“Greee sudah Gre-kyaaa!” Shani yang mencoba menarik dari samping, ditolak dengan sangat kuat hingga terjatuh.
“Hey hey apa itu!”
“Hey ada yang berkelahi!”
“Pisahin! Pisahin!” Orang-orang mulai menyadari kejadian itu dan berkerumun, namun tidak ada yang berani memisahkan. Sampai akhirnya,
“GRACIA!” Rentetan tinju Gracia berhenti. Tanpa ekspresi dia menoleh ke sumber suara yang dikenalnya.
“Apa yang kamu lakukan?!”
Gracia hanya memandang tanpa ekspresi, sampai akhirnya menjawab, “Seperti katamu. Aku pembunuh. Benar. Aku pembunuh. Puas? Aku pemb-“ Mendadak badannya jatuh ke atas tubuh pria yang dihajarnya. Gracia tidak sadarkan diri.
***
“
…seperti itu…” Tit. Tit
. “…kalau emosinya memuncak… Dia akan pingsan…” Tit. Tit.
“…Dia…meninggal…” Tit. Tit.
"Hah."
Gracia membuka mata. Kepalanya masih sakit, namun dia bisa menyadari keadaan sekitar. Telinganya menangkap suara detak mesin detektor jantung. Dia mencium aroma obat-obatan. Matanya perlahan menangkap suasana serba putih. Dia di rumah sakit.
“Dok, dia udah sadar!” Pelatih dan rekan Dojonya ingin merubunginya, namun dengan sigap suster menghalangi.
“Jangan rame-rame! Dua orang saja!” Pelatih Jihan dan Shani pun mendekatinya.
“…maaf…” Kata pertama yang keluar dari mulutnya.
“…bagaimana… pria itu…” Pelatih Jihan dan Shani hanya diam, sampai akhirnya Shani tidak tahan lagi. Tangis Shani pecah. Sambil sesunggukan dia menjawab,
“Huhuhu… Me-meninggal, Gre… Ka-kamu ba-kal dipen-jara huhuhu…”
Gracia memejamkan mata. Dia berharap bumi menelannya saat itu juga. Dan tidak kembali lagi.
***
Tumpukan koran di depannya sudah selesai dia baca. Namun ada yang aneh.
Pintu ruang Kepala Sipir terbuka. Seorang pria separuh baya berseragam datang sambil menenteng sebuah map, “Shania Gracia, mulai hari ini kamu bebas bersyarat. Tapi tetap wajib lapor setiap bulan. Kalau tidak lapor, tim Kemasyarakatan akan datang dan kamu bisa masuk penjara lagi. Ngerti?”
“Me-ngerti, Pak. Tapi… siapa yang menjamin saya, Pak?” Tidak mungkin Sensei. Gracia paham sifatnya. Apalagi yang berurusan dengan polisi dan penjara seperti ini.
Pria berseragam itu tidak menggubris Gracia. Dengan cuek dia mengambil beberapa berkas di rak, kemudian keluar lagi. Pada saat di pintu, pria berseragam itu menoleh ke arah Gracia,
“Ada yang ingin bertemu denganmu.” Petugas itu menghilang dari balik pintu. Sesaat kemudian, di pintu kini muncul seorang pria berkulit putih, botak dan berkacamata. Tubuh gempalnya dibalut setelan jas rapi bernada coklat. Senyumnya sumringah, seperti menghangatkan ruang Kepala Sipir yang dingin.
“Halo, Shania Gracia.”
“Ha-lo,” Gracia tergagap menjawab pria tersebut, “Anda… siapa?”
“Perkenalkan, Saya Mino. Saya mau menawarkan sesuatu kepada kamu.” Senyum pria itu bahkan tidak pudar saat menyelesaikan kalimatnya.
Gracia terpana akan auranya. Instuisi Gracia bekerja. Dia yakin pria di depannya ini bukan sembarang orang. Bahkan Gracia berani bertaruh, alasan tidak satupun koran di meja depannya memberitakan kejadian itu pasti ada sangkut pautnya dengan pria ini.
***