[OLOR=RED]FINAL CHAPTER B[/COLOR]
********
Tak lama kemudian Sancaka melihat dua orang gadis yang tadi dilihatnya dilantai satu telah menyusul naik ke diskotik di Lantai empat ini dan terlihat celingak-celinguk mencari sesuatu, kedua gadis itu memang cukup cantik manis.
Sancaka tersenyum sendiri, agaknya kedua gadis itu tentulah mencari dirinya, dia dapat melihat binar kekaguman dimata keduanya tadi sebelum dia menghilang masuk lift.
Teringat akan pulpen yang beberapa hari lalu di belinya dalam salah satu maskapai penerbangan domestik, Sancaka segera mengeluarkan, mengarahkan dan mengedip-ngedipkan senter kecil yang ada dipulpen itu karah kedua gadis itu.
Gadis pertama menangkap kerdipan sinar biru yang dikeluarkan pulpen ditangan Sancaka dengan segera menarik tangan temannya mendekat.
Sancaka mempersilahkan kedua orang gadis itu duduk di mejanya, “Sanca”, ujarnya sambil mengulurkan tangan berkenalan.
“Novi …”, sahut gadis pertama menyambut uluran tangan Sancaka, “Jessy …”, lanjut gadis kedua menyusul memperkenalkan diri.
Sancaka tersenyum, “Mau minum apa?”, tanyanya membuka pembicaraan.
“Terserah abang saja”, jawab Novi manja.
Sancaka kembali menyalakan zipponya dan mengangkatnya keatas.
Setelah beberapa saat mengobrol akhirnya Sancaka mengetahui kalau kedua gadis ini adalah pegawai sebuah kantor akuntan publik yang cukup terkemuka di Jakarta.
Keduanya sedang menunggu kedatangan seorang teman lelaki mereka, teman lelaki mereka itu diminta mencari barang yang bagus buat bekal dugem mereka malam itu, “Sekarang banyak barang yang nggak jelas … jadi kita mau cari dari luar aja …”, bisik Jessy menjelaskan, “Setelah bekerja keras sebulan penuh guna menyelesaikan proyek besar seperti hari ini … kita butuh tiga biji vitamin-e buat terbang lepas sampe pagi”, lanjutnya tersenyum sambil menghembuskan asap rokoknya.
Tentulah pil setan Ecstacy yang dimaksud dengan barang oleh gadis ini pikir Sancaka. Biasanya Sancaka tidak pernah mempedulikan begitu banyaknya orang yang menggunakan barang haram itu, akan tetapi kegundahannya menunggu dan mencari selama tiga hari ini menimbulkan ketertarikan pada dirinya untuk mencoba, biarlah untuk sekedar pembuang kejenuhan pikirnya, “Hubungi temanmu itu … bilang kita butuh tambahan limabelas butir lagi untukku … nanti aku ganti uangnya … cash”, bisik Sancaka ke telinga Jessy.
Walaupun keningnya berkerut terkejut, Jessy tanpa banyak bicara segera meraih handphone miliknya dan mengirimkan pesan singkat ke teman lelakinya sesuai permintaan Sancaka.
Tentu saja Sancaka yang bukan manusia biasa merasa bahwa dia tentu memerlukan dosis beberapa kali lipat dosis manusia biasa jika dia ingin mengetahui efek dari pil setan itu, walaupun jumlah yang dimintanya cukup mengagetkan Jessy.
Beberapa saat kemudian Jessy menunjukkan layar handphone kepada Sancaka, rupanya balasan pesan singkat dari teman lelakinya yang memberitahukan bahwa barang yang diminta sudah berhasil didapatkan, dan ada sejumlah angka tertera disana, Sancaka hanya mengangguk dan menarik segumpalan uang yang diikat karet dari saku kiri depannya, menghitung dan menyerahkan sejumlah uang sebagaimana tertera dalam pesan singkat tadi, “Siiip …”, sahut Jessy senang menyambut uang tersebut dan langsung membalas pesan singkat teman lelakinya.
Sancaka kembali memesan tiga gelas minuman kesukaannya, agaknya Novi menyukai juga minuman beralkohol tinggi itu, gelas gadis itu cepat sekali habisnya, ternyata gadis cantik satu ini cukup kuat minum agaknya.
Seorang lelaki muda yang cukup ganteng dengan raut wajah khas warga keturunan mendekati meja dimana Sancaka, Novi dan Jessy berada.
Jessy segera berdiri menyambut pemuda yang baru datang itu, “Sanca …”, Sancaka memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan, “Herry …”, sahut pemuda itu ramah.
Herry mengeluarkan dua bungkus rokok putih merk luar dari saku celananya, membukanya sekilas dan menyerahkannya kepada Sancaka, yang sebungkus lagi diserahkannya kepada Jessy, “Thanks ya Her … You’re the savior of the day”, Jessy tersenyum sumringah sambil menyerahkan uang yang tadi diberikan oleh Sancaka.
Jessy segera meraih zippo milik Sancaka.
Melihat nyala zippo yang diangkat Jessy, seorang petugas segera datang menhampiri.
Setelah bisik-bisik dengan Sancaka dan Herry, gadis itu kembali memesan enam gelas minuman beralkohol tinggi yang menjadi kesukaan Sancaka ditambah enam botol air mineral dingin.
Novi, gadis yang satunya lagi, sejak tadi tampak asyik sendiri bergoyang sendiri menikmati alunan musik techno kesukaannya.
Hanya sesekali mendekat ke meja untuk meneguk minumannya.
Bahkan tadipun hanya menoleh sesaat dan cuma melambaikan tangan saja menyambut kedatangan Herry.
Bukan main gadis ini pikir Sancaka.
****
Tak terasa waktu sudah melewati tengah malam, sekitaran sepuluh menit yang lalu sancaka telah menelan pil setan terakhir dari limabelas butir yang dibawa Herry tadi, karena tidak merasakan reaksi dari pil setan yang katanya dapat membuat orang terbang melayang itu, maka Sancaka dengan tidak sabaran mulai menelan pil itu setiap selang beberapa menit.
Kini semua pil yang ditelannya tadi bekerja nyaris bersamaan waktunya, tubuh Sancaka mulai bereaksi.
Tak kuasa lagi menahan diri, Sancaka segera bangkit dari duduknya dan sedikit maju menjauhi meja.
Dengan ringan seluruh denyut dan gerak tubuhnya mengikuti setiap beat musik techno yang bergema kencang.
Novi yang tadinya asyik bergoyang sendiri dalam keadaan yang mulai setengah mabuk minuman keras itu segera bergerak mendekati Sancaka.
Gadis itu menempel dan bergoyang mengimbangi gerakan Sancaka.
Sancaka yang semakin tenggelam dan terseret dalam alunan musik mulai merasakan ada gelombang kuat halusinasi yang mulai menyerang kesadarannya.
Pandangannya mulai menangkap gambaran-gambaran dan suara-suara yang tadi tidak sedikitpun tertangkap oleh mata dan telinganya.
Mendekati pukul satu dini hari, tiba-tiba dentuman beat musik melambat, Sancakapun refleks berhenti, dengan didahului suara efek seperti desau angin diikuti alunan string, mengalunlah lagu yang langsung membuat Sancaka terdiam.
Lirik lagu dan vusal effect yang ditampilkan membuatnya tegak terpaku.
When You’re Feeling Down
When You Feel
You Need To Get Away
You Could Just Fly Away
When You’re Feeling Low
When You Feel
You Need To Get Away
You Could Just Fly Away
I Feel The World Is Gone Insane
And If You Feel The Same
You Could Just Fly Away
Fly Away
You Could Just Fly Away
Pandangan matanya terpukau menyaksikan permainan sinar laser diantara gelombang asap putih didepannya, dan seperti sebagian besar pengunjung diskotik itu, Sancaka langsung bersorak histeris penuh kagum ketika seakan-akan seekor naga dengan sesosok tubuh wanita dipunggungnya menyeruak keluar dari gulungan awan dan balutan sinar laser itu.
Dentuman beat kembali menghentak dengan gebukan-gebukan khas Stadium, membuat Sancaka dan seluruh pengunjung yang lain segera bergoyang kembali
Dibawah pengaruh obat yang kuat Sancaka tanpa sadar terus menerus menatap sinar laser biru berkilau dari mata sang naga yang semakin mengenggelamkannya dalam buaian ilusi.
Namun Sancaka bukanlah manusia biasa, memang butuh dosis yang beberapa kali melebihi manusia normal untuk membuat pil setan itu berpengaruh pada dirinya, akan tetapi sebaliknya pengaruh pil setan itupun menguap habis beberapa kali lebih cepat dari manusia normal.
Sancaka tak menyadari bahwa perbuatan bodohnya tadi adalah penyebab banyaknya kematian pengguna pil setan itu yang menjadi overdosis.
Mereka menginginkan reaksi secepatnya, dan dengan dengan tak sabar terus menelan butir tambahan pil setan itu karena menganggap belum ada reaksi, dan ketika beberapa butir pil setan yang telah ditelan itu bereaksi susul menyusul dalam waktu yang berdekatan, jantung mereka yang hanyalah jantung manusia normal tidak lagi kuat menerima beban kerja yang berlebihan, belum lagi penurunan suhu tubuh yang terlalu drastis dan ancaman dehidrasi berlebihan membuat bahaya maut dengan cepat mencengkeram mereka.
Kebanyakan mati sia-sia dalam keadaan tak sadarkan diri.
Tak seimbang dengan kenikmatan sesaat yang tawarkan oleh pil-pil setan itu.
Tentunya bukan bentuk kematian yang pantas digugu dan ditiru.
Ditambah lagi kualitas dan kandungan pil setan itu kini semakin tak jelas, yang dapat saja mengandung bahan-bahan kimia yang berbahaya semakin membuat himbauan “Say No To Drugs” bebar-benar sebuah kata yang bijak dan memang bukan himbauan kosong.
Dari sekian banyak kasus kecanduan narkoba, kebanyakan adalah sama seperti Sancaka tadi, berawal dari sekedar coba-coba, sekedar ingin tahu, terpancing rasa penasaran akan kehebatan dan sensasi yang akan didapat, untuk kemudian tanpa sadar mulai terjerumus dan tenggelam dalam jurang ketergantungan yang tak sedikit berujung kematian.
Keingintahuan yang salah tempat memang terkadang berbuah kematian, seperti kata pepatah kuno “Curiosity Kills The Cat”.
****
Sancaka terduduk lemas, tubuhnya basah bermandikan keringat.
Disambarnya sebotol air mineral dingin dari atas meja, dan mulai menenggak habis isinya, terasa aliran air dingin itu menyegarkan tenggorokannya yang kering.
Novi yang mulai mabuk itu berhenti bergoyang dan mendekati Sancaka, melihat langkah gadis itu mulai limbung, Sancaka segera menarik gadis itu kedalam pelukannya.
Novi hanya tertawa membiarkan.
Tubuh Sancaka seketika menegang kaku.
Bukan karena hangat dan harumnya tubuh Novi yang kini dipeluknya itu.
Melainkan karena kehadiran aura gelap yang tiba-tiba dirasakannya, matanya mulai berputar mencari.
Tak lama kemudian sesosok tubuh berpakaian gaun malam warna hitam muncul diujung tangga.
Sosok tubuh itu langsung berjalan ke arah Sancaka.
“… Rianti …”, hanya bisikan yang lebih merupakan desisan yang sanggup keluar dari bibir Sancaka.
Novi yang mendengar bisikan Sancaka itu membuka matanya, didepannya berdiri seorang wanita yang terlihat anggun dan cantik sekali.
“Novi …”, ujarnya mengulurkan tangan berkenalan.
Gadis yang baru datang itu yang memang Rianti adanya segera tersenyum menyambut, “Rianti …” sahutnya.
“Herry …”, terdengar pemuda yang duduk di meja itupun mengulurkan tangan berkenalan.
Kembali Rianti hanya tersenyum menyambut uluran tangan pemuda itu.
Rianti mendekat kearah telinga Sancaka, “Aku harap ini adalah yang pertama dan terakhir Mas Sanca mencoba pil-pil setan murahan itu … “, bisiknya tegas.
Sancaka bagai anak kecil yang dimarahi ibunya dengan cepat mengangguk-anggukkan kepalanya.
Entah sejak kapan Rianti telah mengawasinya.
Rianti kemudian langsung terlibat obrolan dengan Herry, membiarkan Sancaka yang memeluk tubuh Novi, karena dilihatnya gadis itu tersenyum dengan mata terpejam berada dalam kenyamanan pelukan Sancaka.
Herry yang hanya minum sedikit minuman keras dan masih dalam keadaan sadar sepenuhnya itu kini mendapat teman mengobrol tak lagi bengong sendiri seperti tadi.
Dia tak boleh mambuk karena merasa sudah tugasnya untuk menjaga keamanan dan keselamatan Novi dan Jessy.
Berulang kali setiap Rianti membisikkan sesuatu ditelinga pemuda itu terlihat pemuda itu tertawa keras sambil menunduk.
Telinga Sancaka yang peka dapat menangkap apa yang dibisikkan oleh Riatni dan Herry.
Matanya segera mengawasi kearah Jessy, gadis beberapa kali menoleh ke arah Herry dengan raut muka dongkol.
Agaknya memang gadis itu sebenarnya juga menaruh hati pada pemuda itu, dan selama ini gadis itu pun menyadari bahwa Herry pun menaruh hati padanya, dan Jessy yang sedikit tinggi hati itu merasa senang selama ini dapat mempermainkan perasaan pemuda itu.
Tapi tak urung kedekatan Rianti dan pemuda itu membakar rasa cemburunya.
Jessy yang sudah mulai lepas dari pengaruh pil setan tadi segera mengajak mereka keluar dengan alasan mencari udara segar.
Keluar dari dalam lift dilantai delapan Hotel Sahid Jaya, Rianti segera merangkul pinggang Herry, menyeret pemuda itu pergi sambil membisikkan sesuatu dan terlihat keduanya tertawa-tawa, menuju ke salah satu kamar yang telah dipesan.
Sancaka segera membimbing Novi yang tampak sempoyongan menuju kekamar lainnya, entah sudah berapa banyak minuman yang dihabiskan gadis itu, Novi yang terlihat terdiam melihat aksi Rianti dan Herry tadi akhirnya melangkah mengikuti Sancaka.
Kamar yang dimasuki Sancaka ternyata kamar dengan double-bed.
Sancaka tersenyum melihat pengaturan Rianti ini.
Karena tadi sewaktu masih di Stadium didengarnya Rianti yang meminta Herry untuk memesan dua kamar hotel untuk mereka, satu kamar dengan single-bed dan satu kamar lagi dengan double-bed.
Herry hanya mengangguk-angguk dan segera melaksanakan permintaan Rianti dengan menghubungi teman akrabnya yang bekerja di Hotel Sahid Jaya ini, yang kebetulan sedang bertugas malam itu.
Sancaka membaringkan Novi keatas pembaringan.
Gadis itu menggeliat bangun sambil memegang kepalanya, “Maaf … Aku mau mandi air hangat buat menghilangkan pengaruh minuman ini”, ujarnya sambil melangkah terhuyung ke arah kamar mandi, kali ini gadis itu menggoyang-goyangkan tangannya tak mengijinkan Sancaka untuk membantunya.
Sancaka hanya tersenyum mengangkat bahu membiarkan gadis itu.
Sancaka menoleh kearah Jessy dan tertegun melihat perbuatan gadis itu.
Gadis itu berdiri disamping tempat tidur didekat jendela membelakangi Sancaka membukai seluruh pakaiannya.
Tubuh telanjang gadis itu segera masuk kedalam selimut, “Kemari lah Bang … Jessy kedinginan nih … “, panggilnya lirih sambil mengulurkan kedua tangannya.
Sancaka mendekat dan duduk di tepi pembaringan itu.
Gadis itu tak mungkin dapat menipu dirinya, dia tahu bahwa perbuatan gadis ini hanya terdorong oleh rasa marah dan cemburu melihat Herry dan Rianti yang berangkulan mesra masuk ke kamar lain tadi.
Sancaka tak ingin menyakiti hati gadis itu, dia ingin membuat gadis itu merasa kecewa.
Sancaka segera menyusup kedalam selimut itu, dan masuk kedalam pelukan Jessy, dikulumnya bibir ranum gadis itu.
Jessy memang sudah kehilangan keperawanannya sewaktu masih kuliah dulu, dia berikan mahkotanya dengan rela untuk kekasihnya yang akan berangkat meneruskan pendidikan ke luar negeri.
Apa daya kekasihnya mengalami kecelakaan dan tewas mengenaskan di negeri orang.
Walaupun untuk mendapatkan posisi jabatannya sekarang ini diapun harus merelakan tubuhnya beberapa kali dinikmati oleh Boss dikantornya, namun Jessy bukanlah gadis murahan yang mau bercinta dengan sembarang lelaki.
Belum ada lelaki lain yang menidurinya selain kekasihnya dulu dan Boss dikantornya, bahkan tidak juga Herry yang telah hampir dua tahun ini mengejarnya.
Entah darimana datangnya perasaannya ini, Jessy merasa ada sesuatu yang aneh dalam pelukan dan ciuman Sancaka, membuat gadis itu tergetar dan segera bereaksi membalas lumatan bibir Sancaka.
Tangannya segera bergerak berusaha melepaskan pakaian yang masih dikenakan pemuda itu.
Tak ingin membuang waktu, Sancaka segera melepaskan pelukan dan ciumannya, tersenyum dan berbaring disamping gadis itu sambil melepaskan bajunya.
Jessy tak mau tinggal diam, begitu baju Sancaka terlepas dia segera memeluk dan menciumi dada Sancaka.
Sancaka mengelus-ngelus kepala gadis itu sebentar sebelum berusaha melepaskan celananya, begitu celana itu terlepas Jessy dengan cepat menggerakkan tangan kannya menyambar batang penis Sancaka.
Sancaka terlentang membiarkan sambil membelai-belai rambut gadis itu, permainan lidah dan tangan gadis itu dengan cepat membangkitkan nafsunya.
“Gila … ada ya yang tegang dan keras kayak ini”, bisik gadis itu menghentikan jilatannya didada Sancaka, dan dengan cepat gadis itu bangun duduk dan membungkuk melahap kepala penis Sancaka yang berdiri tegang dalam genggaman tangannya.
Permainan lidah Jessy dan gerakan kepala gadis itu yang membuat batang penis Sancaka terasa masuk sampai ke tenggorokannya ditambah hisapan-hisapan kuat setiap kali penisnya masuk ke mulut gadis itu membuat Sancaka mendesis keenakan.
Jessy merasa puas melihat pemuda itu mendesis dan mulai meremas-remas rambutnya.
Merasa bahwa kepala penis pemuda itu semakin mengembang besar dan terasa mulai berdenyut kencang, Jessy segera menghentikan aktifitasnya, dinaikinya tubuh pemuda itu sambil mengarahkan kepala penis yang berada digenggamannya itu ke belahan bibir vaginanya.
Jessy menatap lekat-lekat ke mata Sancaka sambil menurunkan tubuhnya, Sancaka menggeram pelan, lubang kenikmatan yang baru mengenal dua lelaki itu masih terasa begitu rapat dan mencengkeram dengan ketat.
Jessy mendesis sambil menggigit bibirnya sendiri, dengan perlahan dia terus menurunkan tubuhnya sampai akhirnya batang penis Sancaka tenggelam seluruhnya ke dalam liang vaginanya.
Jessy segera menarik kedua tangan Sancaka kearah buah dadanya, tanpa diperintah lagi Sancaka dengan gemas mulai meremas dan mempermainkan kedua puting susu gadis itu.
Buah dada yang lumayan besar dan tegak menantang itu benar-benar membuat Sancaka gemas.
Dengan bertumpu di dada Sancaka, Jessy mulai menggerakkan tubuhnya naik turun sambil menggoyangkan pinggulnya.
Baik Jessy maupun Sancaka sama-sama mengeluarkan desahan-desahan dan lenguhan halus dengan terpejam rapat.
Semakin lama Jessy semakin mempercepat gerakannya.
Batang penis Sancaka yang menegang dengan sangat keras itu mengocok dan menggesek seluruh liang vagina gadis itu, membuat Jessy semakin menggila, “Auuchhh … Auuchhh ….”, rintihnya berulang-ulang.
Gerakan Pinggulnya semakin cepat tak beraturan.
Sancaka sudah hampir meledak namun dia masih berusaha menahan diri sekuat mungkin.
Kedua tangannya mencengkeram kedua buah dada gadis itu dengan kuat.
Jessy membuka kedua matanya, gadis itu menggeram dengan nafas memburu, “Tuntaskan Bang … Tuntaskan … Aku nggak kuat lagi … aku nggak kuat lagi …”, geramnya berulang-ulang.
Sancaka melepas pertahanannya, cengkeramannya di kedua buah dada gadis itu semakin kuat.
Dengan tubuh mengejang, batang penis Sancaka berdenyut-denyut kuat dan menyemburkan muatannya.
Semburan hangat itu membuat Jessy histeris dengan beberapa hempasan kuat gadis itu pun meraih puncak kepuasannya.
Sancaka menarik tubuh lemas Jessy yang terengah-engah dengan mata terpajam itu kedalam pelukannya.
Keduanya bibir mereka kembali saling lumat dengan gemas.
Jessy menggulingkan tubuhnya kesamping tubuh Sancaka, berusaha mengejar nafasnya yang seperti mau putus rasanya.
Sancaka sempat mengangkat kepalanya dan memandang kearah kamar mandi, dia baru ingat bahwa masih ada Novi didalam sana.
“Tenang Bang … Dia bisa satu jam mandi air hangat kalo sudah mabok begitu …”, bisik Jessy terengah-engah kepuasan.
Sancaka tersenyum tenang, tubuhnya berbalik dan segera memeluk tubuh gadis itu, seperti anak manja diletakkannya kepalanya keatas dada gadis itu, “Manja …”, bisik Jessy sambil membelai-belai rambut pemuda itu.
Sejenak hatinya terasa nyeri membayangkan dikamar yang lain tentunya Herry tengah memeluk tubuh molek Rianti.
Tapi segera ditepisnya perasaan itu.
“Bangun Bang … pakailah kembali pakaian Abang … jangan sampai Novi keluar nanti”, bisik gadis itu, “Abang temani dia ya Bang … Jessy capek mau tidur dulu …”, lanjutnya lagi.
Sancaka bangun dan mengecup kening gadis itu, dengan cepat dikenakannya kembali semua pakaiannya.
Setelah itu dia pun segera berbaring di ranjang yang satunya sambil menyalakan rokoknya.
Diliriknya Jessy dengan segera tertidur pulas.
Baru saja Sancaka menyalakan batang rokok keduanya ketika terdengar suara pintu kamar mandi terbuka.
Novi keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang hanya terbalut handuk, kepalanya juga terlilit handuk, sejenak gadis itu berdiri mematung memandang kearah Sancaka yang berbaring santai diatas tempat tidur itu.
Diliriknya Jessy yang meringkuk dalam selimut di ranjang yang lain, melihat bahu gadis itu yang terbuka dia dapat menduga kalau gadis itu dalam keadaan telanjang dibalik selimut itu.
Melihat situasi bahwa agaknya dia harus berbagi tempat tidur dengan Sancaka membuat wajah gadis itu sebentar pucat sebentar merah dengan jantung berdebar-debar.
Sancaka menyadari kegelisahan gadis itu, telinganya yang sensitif bahkan dapat mendengar jelas degupan jantung gadis itu.
Sancaka bangkit berdiri dan melangkah kearah kamar mandi, biarlah gadis itu menenangkan diri selagi aku membersihkan dan menyegarkan diri pikir pemuda itu sambil berjalan melewati Novi yang tertunduk malu.
Sancaka baru saja melepas bajunya saat terdengar ketukan di pintu kamar mandi, “Maaf Bang … Semua handuknya sudah terpakai oleh Novi”, sahut gadis itu menyodorkan handuk yang tadi dipakainya menutupi kepalanya, “Nggak apa-apa kok … khan bekas dipakai gadis cantik …”, balas Sancaka mencoba bergurau sambil menyambut handuk itu.
Novi hanya tersenyum dan segera berlalu, Sancaka hanya mengangkat bahu dan menutup kembali pintu kamar mandi itu.
Tak lama waktu yang dibutuhkan oleh Sancaka, pemuda itu keluar dari kamar mandi tanpa baju dan hanya mengenakan celana panjangnya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Novi sedikit bersembunyi di dalam selimutnya hanya kepalanya saja yang terlihat, akan tetapi gadis itu belum tidur, matanya menatap tajam kearah Sancaka.
“Belum tidur nih?”, tanya Sancaka sambil berdiri di antara kedua tempat tidur itu, “Aku nggak mau tidur sama Jessy …. hmmm Abang boleh tidur disini tapi nggak boleh macem-macem”, sahut gadis itu dengan wajah tegang.
Sancaka hanya mengangguk sambil tersenyum.
Melihat anggukan kepala Sancaka barulah Novi menggeser tubuhnya memberi tempat buat Sancaka.
Timbul niatnya untuk menggoda gadis itu, “Boleh berbagi selimut khan?”, tanyanya berbisik sambil duduk ditepi pembaringan itu.
Novi yang berbaring menyamping kearah Sancaka itu segera menganggukkan kepalanya, “Tapi aku kalau tidur biasanya cuma pakai CD doang … kalo pake pakaian atau celana lengkap gini nggak bisa nyenyak tidurnya … “, lanjut Sancaka.
“Nggak apa-apa … Buka aja … tapi inget ya … nggak boleh macem-macem”, bisik gadis itu sambil memejamkan matanya.
Sancaka hampir saja tertawa mendengar jawaban gadis itu.
Dibukanya celana panjangnya dan segera menyusup masuk kedalam selimut itu.
Setelah Sancaka masuk kedalam selimut itu dan dirasanya sudah mulai tak bergerak lagi, barulah Novi berani membuka matanya kembali.
Gadis itu sempat terkejut sesaat karena Sancaka berbaring menyamping kearahnya dan wajah pemuda itu cukup dekat dengan wajahnya.
Akan tetapi diapun segera menyadari bahwa tempat tidur ini memang cukup kecil dan bantalnya pun cuma ada satu.
Berbaring berhadapan dengan jarak sedemikian dekat membuat Sancaka semakin jelas mendengar degupan jantung gadis itu yang semakin cepat tak beraturan.
Sancaka menatap lekat-lekat kedalam mata gadis itu, dan ketika sinar mata gadis itu mulai meredup Sancaka dengan perlahan mendekatkan wajahnya dan mengecup sekilas bibir gadis itu.
Novi hanya sempat mendesah pelan, karena kembali Sancaka mengecup dan melumat bibir gadis itu.
Kali ini tidak hanya sekilas, bahkan Sancaka kini menggeser tubuhnya dan mulai memeluk dan meraba tubuh gadis itu.
Sancaka melepaskan ciumannya, “Aku juga nggak bisa tidur pake pakaian lengkap …”, bisik gadis itu tertunduk malu.
Dia dapat menduga bahwa Sancaka menghentikan ciumannya karena sewaktu memeluk dan merabanya tadi pemuda itu mendapati dirinya hanya mengenakan BH dan CD saja.
Sancaka segera memeluk kembali tubuh gadis itu, sambil melumat bibir ranum itu tangannya mulai membuka pengait BH di punggung gadis itu.
Dengan cepat dan tanpa kesulitan yang berarti, BH itupun segera melayang ke samping pembaringan.
Terpampanglah dua bukit kecil yang bulat dan kencang, menilik bentuk puting dan lingkaran disekitarnya agaknya gadis ini juga belum pernah hamil/melahirkan seperti Jessy tadi, Sancaka segera melumat kedua puting susu itu dengan gemas, diremas dan dihisap serta dijilatinya bergantian.
Novi hanya mendesis geli keenakan.
Puas bermain didada gadis itu Sancaka dengan gemas langsung melumat bibir gadis itu sambil meremas kedua buah dada yang bulat kencang itu.
Kemudian tangannya mulai merambat turun kearah celana dalam gadis itu.
Sancaka merasakan bahwa tubuh gadis itu menegang.
Tangannya menyusup dan mulai meraba dan meremas dengan lembut kedua bongkahan pantat gadis itu.
Akan tetapi ketika tangan Sancaka hendak menyusup kedepan kearah selangkangan gadis itu, tiba-tiba tubuh Novi tersentak kaget, gadis itu yang tadi memeluk dan membalas lumatan bibir Sancaka kini berusaha melepaskan diri sambil menolakkan tubuh Sancaka.
Sancaka kaget dan bingung juga melihat wajah ketakutan gadis itu, ditambah lagi ada air mata yang mengalir disana.
Dengan bujukan-bujukan halus akhirnya Sancaka dapat mengorek keterangan dari gadis itu.
Dulu sewaktu Novi masih sekolah dan baru berusia delapanbelasan dia telah dipaksa melayani nafsu bejat saudara sepupunya yang telah menjadi pencandu narkoba setelah sebelumnya dicekoki minuman keras.
Walaupun perbuatan itu hanya terjadi satu kali itu saja dan tidak membuatnya hamil, akan tetapi membawa dampak psikis bagi diri gadis itu.
Setiap kali menjalin hubungan dengan lelaki, setiap kali saat bermesraan dan sang lelaki mencoba turun lebih dari wilayah dadanya, setiap kali itu pula gadis itu menjadi panik.
Setiap kali seorang lelaki memutuskan hubungan, setiap kali itu pula gadis itu mencari pelarian, mencoba menghilangkan kekecewaannya seperti dia mengosongkan botol-botol minuman keras yang terus dituangnya.
Lama kelamaan tak ada lagi waktu luang gadis itu tanpa ditemani minuman keras.
Sancaka merasa kasihan kepada gadis itu, ditariknya gadis itu kedalam pelukannya, ditenangkannya gadis itu.
Cukup lama keduanya terdiam namun keduanya tidaklah tertidur, Sancaka dengan lembut membelai kepala gadis itu, sementara Novi berperang dengan dirinya sendiri.
Novi mengangkat kepalanya dan memandang Sancaka lekat-lekat, “Kalau seandainya aku mengijinkan Abang melakukan yang itu tadi … Maukah Abang berjanji untuk melakukannya dengan perlahan … Dengan lembut …”, tanya gadis itu lirih.
Sancaka tersenyum tetapi pemuda itu tidak juga mengangguk kepalanya.
“Aku ….”, bisikan gadis itu terhenti karena Sancaka langsung menutup mulut gadis itu, perlahan dibaringkannya tubuh gadis itu.
Sancaka dengan lembut mulai mengecup bibir gadis itu.
Setelah Novi mulai membalas lumatan bibirnya dengan tak kalah bernafsu, Sancaka dengan perlahan melepaskan ciumannya.
Membuat gadis itu mendesah penasaran.
Bibirnya mulai merambat ke leher dan turun kearah kedua buah dada gadis itu.
Dikecup dan dijilatinya kedua puting susu gadis itu sambil kedua tangannya memberikan remasan-remasan lembut.
Setelah dirasakannya puting susu gadis itu mulai menegang dan remasan tangan gadis itu dirambutnya semakin kuat, kembali Sancaka menghentikan aksinya.
Membuat gadis itu menggeram lirih penasaran.
Bibrinya mulai merambat kebawah kearah perut gadis itu.
Kedua tangan Sancaka segera berusaha menarik lepas celana dalam gadis itu, Novi membiarkan dan bahkan mengangkat pantatnya mempermudah usaha Sancaka.
Novi memejamkan matanya ketika Sancaka dengan perlahan mulai mengangkat dan membuka lebar kedua pahanya.
Sancaka membungkuk kearah selangkangan gadis itu.
Aroma khas segera menyerbu masuk kedalam hidung pemuda itu.
Tubuh gadis itu mengejang kaku ketika dengan lembut lidah Sancaka mulai menjilat membelah bibir vaginanya.
Novi menutup mulutnya dengan tangannya sendiri, berusaha meredam desahan dan lenguhannya, ketika ciuman dan jilatan Sancaka dibawah sana ditambah remasan-remasan gemas kedua buah dadanya terasa semakin ganas dan liar.
Sampai suatu saat gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat, desahan nafasnya terdengar memburu, kedua tangannya dengan gemas meremas rambut Sancaka.
Didahului desahan panjang tubuh gadis itu tersentak kuat, kedua pahanya menjepit kuat kepala Sancaka.
Ciuman dan jilatan Sancaka telah mengantarkan gadis itu menikmati orgasme pertama dalam hidupnya.
Sancaka merangkak maju dan segera menindih tubuh gadis itu.
Novi segera menyambut dan menyambar bibir Sancaka.
Bibir keduanya segera saling lumat dengan ganas.
Sancaka mulai menggesek-gesekan kepala penisnya di belahan vagina gadis itu.
Novi mengetahui dan merasakan hal itu, gadis itu sudah memutuskan bahwa inilah saatnya dia membiarkan semuanya terjadi, dia bahkan ikut menggerakkan pinggulnya mengimbangi gerakan kepala penis itu.
Namun tak urung gadis itu menjerit lirih ketika kepala penis itu membelah masuk kedalam bibir vaginanya.
Sancaka menghentikan gerakannya, kepala penisnya terjepit kuat dan terasa ngilu sewaktu dia mencoba mendorongnya lebih jauh.
“Aku mulai ya … mungkin akan sedikit terasa sakit … Aku akan mencoba selembut mungkin … Sudah siap?“, bisik Sancaka dan setelah melihat anggukan kepala gadis itu Sancaka pun bangkit duduk diantara kedua paha gadis itu.
Sancaka melebarkan kedua paha gadis itu, diarahkannya kepala penisnya dibelahan vagina gadis itu.
Dengan perlahan diapun menggerakkan pinggulnya mendorong kepala penisnya masuk.
Tubuh Novi menegang.
Gadis itu tampak menggigit bibirnya sendiri.
Kembali Sancaka mendorong penisnya sedikit lebih dalam.
Gerakan penisnya seperti tertahan.
Novi merintih dan meremas bantalnya dengan kuat.
Dengan sedikit sentakan Sancaka memaksa penisnya masuk lebih dalam.
Novi menjerit lirih, rasa perih membuat kedua tangannya refleks menahan gerakan pinggul Sancaka.
Air mata gadis itu mengalir turun.
Sancaka menggerakkan pinggulnya memaksa penisnya masuk lebih dalam lagi.
Novi mulai menangis.
Kedua tangannya dengan lemah berusaha mendorong mundur pinggul Sancaka.
Sancaka menarik mundur pinggulnya dengan perlahan.
Pemuda itu terkejut mendapati ada noda darah dipenisnya.
Akan tetapi dia mendiamkan hal itu, dia tak ingin membuat gadis itu panik.
Dengan segera didorongnya kembali penisnya memasuki liang vagina gadis itu.
Sancaka menarik dan mendorong masuk penisnya dengan gerakan perlahan, sedikit demi sedikit penisnya pun masuk semakin dalam.
Semakin jelas bahwa memang ada darah yang melumuri penisnya.
Novi sudah mulai dapat menikmati gerakan penis Sancaka didalam liang vaginanya.
Tubuhnya mulai menggeliat dan bibirnya mulai mendesah lirih.
Tak ada lagi air mata mengalir disana.
Sancaka kembali menurunkan tubuhnya, kini pemuda itu menarik dan mendorong penisnya sambil menghisap dan menjilati kedua puting susu gadis itu.
Novi mendesah dan melenguh keenakan sambil meremas-remas rambut pemuda itu.
Karena ini pertempuran keduanya setelah dengan Jessy tadi, seharusnya Sancaka dapat bertahan lebih lama dari biasanya, akan tetapi Sancaka merasa bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama menghadapi Novi yang ternyata masih perawan tanpa gadis itu menyadarinya.
Ketatnya liang vagina gadis itu memberikan sensasi kenikmatan yang luar biasa.
Dipeluknya gadis itu.
Kembali bibir keduanya saling lumat dengan ketat.
Sancaka kini memompa penisnya keluar masuk liang vagina gadis itu dengan cepat.
Novi membuka pahanya selebar mungkin, menerima penuh setiap hunjaman penis pemuda itu.
Gerakan pinggul Sancaka semakin cepat, semakin liar tak terkendali.
“Novi … Sudah nggak tahan lagi Bang … Rasanya Novi mau meledak seperti tadi ketika Abang jilatin anunya Novi …”, desah gadis itu diantara ganasnya ciuman Sancaka dibibirnya.
Sancaka tak menjawab diapun sebenarnya sudah tak dapat menahan dirinya, pemuda itu semakin mempercepat dan memperkuat hunjaman-hunjaman penisnya.
Tak lama kemudian Novi menghisap bibir Sancaka dengan kuat, tubuhnya tersentak-sentak mengejang, Sancaka melepaskan pertahanannya, dihempas-hempaskannya pinggulnya dengan kuat, sambil menghunjamkan penisnya sedalam mungkin diapun memberikan semburan kuat kedalam vagina gadis itu.
Sancaka menciumi seluruh bagian muka gadis itu, membuat Novi tertawa geli kesenangan.
Tak sedikitpun merasa sesak dibawah tindihan tubuh Sancaka yang terengah-engah dengan nafas memburu.
Setelah acara mandi bersama, Novi segera memeluk tubuh Sancaka yang lebih dahulu membaringkan diri diatas tempat tidur itu, dan tak butuh waktu lama gadis itupun tertidur pulas dengan senyum bahagia menghias wajahnya.
Matahari sudah naik tinggi, ketika Herry dan Jessy terbangun dalam keadaan kaget, pandangan keduanya melekat erat, betapa tidak keduanya terbangun dalam keadaan saling berpelukan, dan tanpa membuka selimutpun keduanya sadar bahwa mereka sama-sama telanjang.
Herry nekat mendekatkan mukanya kearah Jessy, gadis itu hanya diam dan membiarkan pemuda itu mengecup bibirnya.
Jessy sudah memutuskan akan membiarkan semuanya … membiarkan apapun perbuatan pemuda itu.
Tempat tidur itu menjadi ajang pelampiasan nafsu terpendam keduanya selama ini.
Jessy tak ingin kehilangan dan tak ingin ada perempuan lain merebut pemuda itu lagi.
Kehadiran Rianti dengan pesona mautnya semalam telah menyadarkan gadis itu.
Rencana Rianti dengan memindahkan Jessy menjadi satu kamar dan satu tempat tidur dengan Herry berhasil dengan baik.
****
Dikamar yang lain terlihat Novi berdiri tersenyum dan menatap keluar jendela, mendekap dan menciumi sekuntum mawar merah yang ditinggalkan Sancaka.
“Sampai lain kali gadis manis … Sanca”, cuma itu pesan kecil yang tertulis di tangkai mawar itu.
“Lain kali … Kapankah kali yang lain itu Sanca … Kapan … Aku bahkan sudah merindukanmu Sancaka …”, desah gadis itu lirih.
“Aku akan menunggumu Sanca … Tapi kumohon … Datanglah sebelum kelopak terakhir mawar merah ini jatuh mengering layu Sanca”, desisnya sambil kembali menciumi bunga itu.
****
Kemanakah Sancaka dan Rianti?
Malam itu keduanya tampak bersenda gurau dengan mesranya di teras sebuah rumah besar di kawasan Jakarta Selatan.
Saling menceritakan pengalaman masing-masing sejak terakhir mereka bertemu setelah kematian Gayatri dulu, belasan tahun yang lalu.
Selama ini Rianti hanya dapat menanti datangnya Sancaka, dia menyadari sepenuhnya betapa cinta pemuda itu kepada Gayatri, mungkin sebesar cintanya kepada pemuda itu pula, dan dia akan terus menunggu sampai Sancaka dapat mengikis rasa kehilangan akan istrinya itu.
Bukankah waktu tak menjadi masalah bagi dirinya, menunggu sepuluh atau seratus tahun pun tak ada bedanya.
Keduanya memutuskan mulai saat itu untuk terus bersama.
Tak akan lagi berada dalam keadaan sendirian dalam mengarungi kehidupan abadi yang entah sampai kapan akan berakhir ini.
Harta peninggalan dari Tuan Frantzheof de Van Pierre yang selama ini disimpan dan dikelola Rianti sudah lebih dari cukup untuk menunjang keduanya hidup penuh kemewahan.
Dulu setelah menyelamatkan Gayatri dari Villa Darah itu Rianti langsung menghilang, lenyap bagai ditelan bumi, hanya Sancaka yang tahu kemana perginya Rianti dari sepucuk surat yang ditinggalkannya untuk Sancaka.
Belakangan Sancaka mengetahui ada enam peti penuh terisi lempengan-lempengan emas yang akan diselamatkan gadis itu, setiap lempeng mempunyai berat duapuluh lima gram dengan hiasan cetakan-cetakan simbol yang tidak dimengerti oleh Rianti.
Tapi Rianti tak mau ambil perduli, emas tetaplah emas, apapun bentuk dan tandanya.
EPILOG
Di sebuah ruangan besar yang tampak dipenuhi rak-rak besar dengan berbagai jenis buku yang tersusun rapi, dimana sebuah meja besar terletak ditengah-tengah ruangan itu tampak seorang biarawan yang sudah cukup tua sedang membaca sebuah buku.
Sebuah buku bersampul kulit yang tampak mulai retak-retak permukaannya dengan kertas yang mulai berwarna kuning kecoklatan yang sudah cukup tua agaknya, biarawan itu membalik setiap lembaran buku itu dengan hati-hati, setelah beberapa lama kemudian tampak biarawan tua itu tersenyum setelah menutupkan kembali buku yang sedang dibacanya.
Dengan hati-hati biarawan tua itu meletakkan kembali buku itu disusunan paling atas sebuah rak yang terletak di depan meja besar itu dan kemudian melangkah keluar dan menutup pintu masuk ruangan itu.
Biarawan tua itu tak lain adalah Ignatius Rianto, sejak Padre Gabriel wafat dan meminta dia menyimpankan catatan hariannya di perpustakaan biara ini, setiap tahun pada bulan dimana dulu mereka beramai-ramai menumpas Tuan Frantzheof de Van Pierre si vampire tua, Rianto selalu membuka dan membaca kembali catatan Padre Gabriel itu sambil membersihkan dan merawat buku itu.
Buku catatan harian yang berisikan “The Untold Story” tentang Vampire tua yang bernama Frantzheof de Van Pierre yang sebenarnya nama itu adalah kamuflase nama belanda dari “Prince Of The Vampire” atau pangeran kaum vampire, karena memang sejatinya vampire tua itu termasuk salah satu dari enam high ranking vampire yang menjadi tangan kanan kesayangan dari Count Draculla, dan menjadi semacam raja kecil kaum vampire untuk wilayah Asia dan Australia. Sebelum akhirnya harus menyembunyikan diri jauh di pedalaman Sumatera Selatan guna menghindari kejaran DR Abraham Van Helsing dan kawan-kawan setelah perburuan dan penumpasan Count Draculla dan kakitangannya di Transylvania pada sekitaran tahun 1885 sampai dengan Tahun 1887.
*** TAMAT ***