Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Vampire Untold Story

Bimabet
CHAPTER 3
SEORANG PEMUDA DAN GERBANG PENANTIANNYA


Baru pada paginya, sambil Yuni menyusun hidangan sarapan pagi, Sancaka dapat puas-puas bertanya.
Barulah ia mengetahui kalau ada 3 buah villa di perkebunan ini, Villa Mendung yang ditempati oleh Sancaka, Villa Bulan yang ditempati oleh Tuan Frantzheof de Van Pierre, dan cukup jauh keatas gunung terdapat satu Villa lagi yang disebut Villa Darah yang merupakan tempat khusus bagi Tuan Frantzheof de Van Pierre setiap Bulan Purnama penuh.

Untuk melayani pertanyaan Sancaka gadis itu tidak meninggalkan ruangan itu, ia hanya berdiri disisi tempat tidur Sancaka, melayani setiap pertanyaan pemuda yang sedang sarapan pagi itu.
Yuni mengingatkan bahwa Villa Darah merupakan tempat terlarang bagi siapapun, termasuk Sancaka, hanya orang-orang tertentu yang mendapat undangan khusus yang boleh kesana.

Sancaka sempat tersedak mengetahui bahwa Yuni adalah selir ke-enam dari Tuan Frantzheof de Van Pierre, Tantri adalah selir pertama, kelima gadis yang melayani jamuan makan kemarin semuanya adalah selir-selir Tuan Frantzheof de Van Pierre.
Yuni ditugaskan melayani Sancaka sampai dengan Sarapan pagi ini, selanjutnya yang akan melayani pemuda itu adalah selir ke-lima, yang akan bertugas melayani Sancaka sampai dengan sarapan pagi besok, demikian seterusnya, mereka ditugaskan untuk melayani “semua” keperluan Sancaka, demikian perintah Tuan Frantzheof de Van Pierre kepada kelima selirnya, kecuali Tantri tentunya.
Disetiap Villa terdapat 5 orang pelayan dengan tugas masing-masing, mereka tinggal di rumah kecil di bagian belakang setiap Villa.

Tak lama kemudian Pak Udin melangkah masuk, “Tuan Frantzheof de Van Pierre berpesan kehadiran tuan muda ditunggu di Villa Bulan jam 9 nanti”, katanya sambil membungku hormat, “Saya akan memeriksa kuda yang akan tuan muda tunggangi nanti”, lanjutnya menundurkan diri.

Sancaka kaget, ia belum pernah menunggang kuda! Akan tetapi Yuni dapat menenangkan pemuda itu dan mengatakan bahwa kalau memang belum bisa nanti kuda Sancaka akan berjalan dituntun oleh mandor perkebunan, akan tetapi Sancaka harus cepat-cepat belajar menunggang kuda karena tanpa kuda akan menyulitkan Sancaka sendiri ketika memeriksa perkebunan yang luas itu nantinya.
Gadis itu akan meminta selir ke-tiga untuk mengajari Sancaka, diseluruh perkebunan selir yang memiliki darah campuran belanda itu yang paling pandai menunggang kuda.

Ketika Sancaka bertanya kenapa tidak ada sepotongpun cermin di villa itu, Yuni hanya mengatakan kalau Tuan Frantzheof de Van Pierre membenci benda itu, “Lagipula kalau hanya untuk mematut diri … tidak perlu cermin khan? tuan tinggal panggil dan kami siap membantu tuan berdandan”, jelasnya.

Mendengar Sancaka menanyakan mengapa Yuni seakan selalu dapat membaca pikirannya, gadis itu tertawa geli, namun gadis itu tidak mau menjawab pertanyaan pemuda itu, “Hanya kebetulan kok itu”, elaknya.

“Sudah ya sarapannya … saya bereskan ya”, katanya melihat pemuda itu sudah menjangkau rokoknya.

Selesai membereskan semuanya, Yuni membungkuk mencium pipi Sancaka, “Sampai bertemu lima hari lagi”, bisiknya. Kemudian gadis itu mengundurkan.

Sancaka menghabiskan rokoknya kemudian bersiap untuk pergi menemui Tuan Frantzheof de Van Pierre di Villa Bulan, dia jelas tak akan membuat majikannya itu menunggu.
Karena memang tak dapat menunggang kuda akhirnya Sancaka benar-benar seperti anak kecil yang duduk diatas kuda yang dituntun Pak Udin, Tuan Frantzheof de Van Pierre yang melihatnya datang seperti itu tertawa terbahak-bahak, “Nanti kuminta Wulan mengajarimu menunggang kuda”, katanya disela-sela tawa.
Agaknya itulah selir ke-tiga yang dimaksudkan Yuni tadi pikir pemuda itu.

****

Sekitar jam dua siang Sancaka telah kembali lagi ke villa, disulutnya sebatang rokok dan diapun duduk mengaso sebentar diberanda depan.

Tadi Tuan Frantzheof de Van Pierre hanya menunjukkan batas-batas perkebunan the dan perkebunan kopi miliknya.
Ditengah perkebunan itu terdapat sebuah bangunan semacam pendopo yang cukup besar, disanalah mereka beristirahat siang itu setelah berkeliling, hidangan makan siang pun telah disiapkan, para mandor lapangan telah pula berkumpul ditempat itu, Sancaka telah diperkenalkan sebagai pengelola perkebunan yang baru, semua mandor lapangan diminta mematuhi semua perintah pemuda itu.

Setelah habis dua batang rokok, Sancaka bangkit berdiri dan melangkah masuk menuju kamarnya. Enaknya ngopi dulu terus tidur siang pikir pemuda itu.
Diraihnya bandulan itu.
Belum sempat ditariknya, pintu kamarnya terbuka, seorang gadis hitam manis melangkah masuk, tanganya membawa nampan berisi gelas keramik bertutup, “Kopinya tuan”, sebagaimana Yuni gadis inipun tampak selalu tersenyum manis.

“Silahkan dinikmati”, katanya meletakkan gelas itu keatas meja. Setelah membungkuk hormat gadis itu pun segera melangkah keluar dan menutupkan pintu.

Sancaka yang sejak tadi mengamati seluruh gerak-gerik gadis itu hanya mengangguk.

****

Sancaka duduk dan menikmati kopinya sambil merokok, pikirannya menerawang, gadis tadi walaupun tidak putih seperti Yuni tapi badannya lebih menantang, apakah benar seperti yang dikatakan Yuni tadi bahwa kelima selir Tuan Frantzheof de Van Pierre diperintahkan untuk melayani “semua” keperluannya.
Baru sampai disitu saja pikiran kotor yang mulai muncul sudah cukup membuat penis pemuda itu pelan-pelan mulai bereaksi.

Pintu kamarnya kembali terbuka, tampak gadis itu masuk hanya dengan mengenakan kimono putih seperti yang dikenakan Yuni kemarin, dia hanya melirik kearah Sancaka dan tersenyum geli, melihat Sancaka yang tampak bengong.
6329c5523075943

Gadis itu terus melangkah terus kearah tempat tidur Sancaka, menurunkan semua kelambu, “Kopinya udah habis khan … bobok siang yuk” kata gadis itu menoleh kerah Sancaka, ditanggalkannya kimono itu, lalu masuk kedalam kelambu dan naik keatas tempat tidur.

Tanpa pikir panjang Sancaka segera bangkit dan menyusul gadis itu kedalam kelambu. Tempat tidur itu segera menjadi arena peratrungan keduanya.

Demikian kehidupan Sancaka yang tentunya harus bekerja keras di perkebunan itu, dia bekerja penuh semangat pagi sampai sore mengelola perkebunan Tuan Frantzheof de Van Pierre, sore sampai pagi mengelola “kebun” para selir londo itu dengan penuh keringat.

****

Hari itu Sancaka menerima sepucuk wikipedia, orang tuanya memintanya pulang sebentar ada urusan penting yang harus dibicarakan. Sancaka berangkat segera setelah mendapat ijin selama dua minggu penuh dari Tuan Frantzheof de Van Pierre.

Dari penjelasan orang tuanya dia mengetahui bahwa kedua orang tua Gayatri ingin diadakan semacam pertunangan antara Sancaka dan Gayatri, hal ini dikarenakan walaupun sebentar lagi gadis itu akan menyelesaikan pendidikannya Gayatri meminta pernikahan ditunda, gadis itu ingin menerapkan keilmuannya dan mengabdikan diri untuk melayani masyarakat barang setahun atau dua tahun.
Dan Gayatri menyetujui rencana kedua orang-tuanya, dia akan segera sampai kembali ke Palembang dua tiga hari lagi, akan tetapi mungin segera kembali ke Jawa setelah acara pertunangan selesai.

Rumah Sancaka dan Rumah Gayatri terlihat mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Tiga hari itu merupakan tiga hari yang menyesakkan bagi Sancaka, setiap kali berpapasan dengan Ratih dia selalu dapat melihat betapa gadis itu memandangnya dengan sendu penuh kerinduan, walaupun berusaha terlihat riang tapi Sancaka tahu bahwa gadis itu terluka tetapi suasana rumah yang sibuk itu tidak memberikan tempat dan waktu bagi keduanya.

****

Acara pertunangan Sancaka dan Gayatri berjalan dengan baik, keesokan harinya Sancaka mendengar kalau tunangannya itu kurang enak badan, Sancaka segera menjenguknya, karena mereka berdua telah bertunangan maka kedua orang tua Gayatri mengijinkan Sancaka masuk kedalam kamar gadis itu. Dilihatnya gadisnya duduk bersandar di kepala tempat tidurnya, mukanya agak pucat. Sancaka mengambil kuris rias gadis itu dan duduk disamping

Ibunya Gayatri masuk kedalam kamar, dia hanya tersenyum melihat mereka berdua, “Kopinya nak Sanca”, diletakkannya kopi itu di meja rias gadis itu, “Ibu mau ke pasar dulu” lanjut orang tua itu sambil keluar.

“Terima kasih bu … maaf ngerepoti”, jawab Sancaka sopan.

“Hu … sok sopan gitu” kata gadis itu berusaha mencubit Sancaka, “Sini duduk sini” kata gadis itu sambil bergeser agak ketengah tempat tidur.
Sancaka segera berpindah, Gayatri langsung menyenderkan kepalanya ke bahu pemuda itu. Sancaka meraih tangan gadis itu kedalam genggamannya. Merekapun terlibat obrolan ngalor-ngidul.

Satu hal yang tidak diketahui Gayatri, Sancaka yang ada dihadapannya bukanlah Sancaka seperti yang dikenalnya dulu.
Terbukti tak lama kemudian pemuda itu sudah mulai melancarkan serangannya.

Diangkatnya dagu gadis itu, dikecupnya gadis itu, Gayatri yang juga merindukan pemuda itu langsung membalas, ciuman Sancaka bertambah ganas, sebenarnya hal ini cukup memngejutkan gadis itu, selama ini pemuda itu selalu menciumnya dengan lembut, tapi ditepiskannya pikiran itu, mungkin hanya karena terlalu rindu pikirnya.

Tangan Sancaka mulai turun kearah dada Gayatri, tangan pemuda mulai meremas buah dada sebelah kirinya dengan lembut, tangan kanan pemuda itu mulai bergerilya, membuka semua kancing bagian depan dan melepas kaitan BH gadis itu.

Sancaka pun merunduk, mulutnya hinggap dan langsung menghisap-hisap putting susu gadis itu, Gayatri mendesis perlahan, “Kacian … bayi besar udah haus yah?” tanyanya tersenyum, dibelai-belainya pemuda itu.

Belaian Gayatri terhenti seketika, mukanya pucat pasi dengan mata mendelik ketika tangan Sancaka mengelus paha, menyingkapkan roknya dan langsung mengarah ke selangkangannya.
Dirapatkannya kedua pahanya, cukuplah itu sebagai teguran buat kelancangan tangan pemuda itu pikirnya.
Tetapi reaksi yang didapatnya sangat mengejutkan. Sancaka tetap bersikukuh dan meneruskan gerakan tangannya yang tadi sempat terhenti, didorongkannya tanganya dengan paksa, sekuat-kuatnya jepitan paha Gayatri tidak mungkin dapat menahan gerakan maju tangan pemuda itu.
Tangan Sancaka berhasil masuk dan membekap lembah kenikmatan gadis itu, untung masih terlindungi oleh celana dalamnya. Kening Gayatri berkerut tak senang, tetapi dia masih diam tak bersuara, biarlah kalau cuma pegang-pegang pikirnya toh kami sudah bertunangan, tidak apa-apa pikirnya, sebagai seorang calon dokter dia tentu paham batas-batasnya.
Diapun tidak setegang tadi, jepitan pahanya hanya untuk menahan memberikan batasan terhadap gerakan tangan pemuda itu.

Jari tangan Sancaka mulai beraksi, bermain lincah dibelahan vagina gadis itu, celana Gayatri sudah mulai basah, gadis itu sendiri hanya dapat mendelik dan mendesah lirih, dia tetaplah wanita normal yang juga bisa terangsang, sejenak dia mengendurkan pertahanannya, dinikmatinya perlakuan Sancaka.
Reaksi Gayatri memang wajar, karena selama mereka pacaran Sancaka belum pernah melangkah sejauh ini, peluk-cium-netek itu memang sudah biasa, karena memang itulah batasan maksimal yang diberikan Gayatri dan Sancaka dulupun menyetujuinya.

Gayatri agaknya sudah terlena kini, kedua tangan Sancaka bergerak menarik celana dalam gadis itu ke bawah, kepala Sancaka segera bergerak kebawah mengarah ke selangkangan gadis itu, lidahnya bergerak membelah vagina gadis itu dengan jilatan kuat, seketika itu Gayatri tersentak bangun, ia cepat beringsut mundur sambil kedua tangannya mendorong kepala pemuda itu kuat-kuat, ditariknya celananya keatas dengan terisak, tangannya pun segera melayang menampar muka Sancaka yang sedikit terlongon tak menyangka akan reaksi gadis itu.

“Keluar!”, teriak gadis itu histeris, “Mas Sanca jahat!”, teriaknya lagi, membuat Sancaka meloncat turun dari tempat tidur gadis itu, Gayatri segera menyembunyikan diri dalam selimut.

Sancaka hanya berdiri terpaku, setelah beberapa kali gadis itu meneriakkan kata-kata “keluar”, Sancakapun mambalikkan badan dan melangkah keluar dari kamar gadis itu. Tangannya masih mengelus-elus bekas tamparan tadi.
Pikirannya kalut, campur baur antara perasaan menyesal telah menyinggung gadis itu dan perasaan kesal atas penolakan tunangannya, apa beda sekarang atau nanti pikirnya.
Dia sudah sampai didepan gerbang Gayatri tadi, kenapa masih disuruh menunggu.

Untung rumah Gayatri sedang sepi sehingga teriakan-teriakan gadis itu tadi tidak sampai menimbulkan heboh.

****

Sesampai dirumah ia segera melangkah kebelakang ke arah kamar mandi, ia ingin mendinginkan kepalanya dengan mandi.
Didepan kamar mandi ia tertegun sejenak, didengarnya Ratih sedang bersenandung kecil, dan benarlah tak lama pintu kamar mandi terbuka, Ratih berdiri disana, matanya lekat memandang Sancaka.

Sancaka melangkah mendekat, segera dikecupnya bibir gadis itu dengan mesra, Ratih segera membalas, “Ratih kangen banget sama mas Sanca”, bisiknya diantara panasnya ciuman pemuda itu.

Sancaka hanya tersenyum, tanganya segera menarik tangan gadis itu, ditariknya menuju kamar gadis itu, matanya jalang mengawasi keadaan rumah, jangan samapi ada yang memergoki mereka.
Segera ditutup dan dikuncinya pintu kamar gadis itu, ditariknya gadis itu kedalam pelukannya, ditariknya lepas handuk yang melilit ditubuh Ratih, dibalikkannya tubuh gadis itu membelakanginya, ditekannya punggung gadis itu sehingga kini berdiri menungging dengan tangan bertelekan tepi pembaringan.

Sancaka segera membuka seluruh pakaian yang melekat ditubuhnya, sementara Ratih hanya diam menunggu dengan pasrah.

Dimbimbingnya penisnya menuju kearah belahan vagina gadis itu, ditekannya dengan mantap, kini penisnya perlahan dapat masuk dengan gagahnya tidak sesulit dulu ketika ia memetik keperawanan gadis itu, Ratih hanya dapat merintih dan meremas-remas selimutnya.

Setelah seluruh batang penisnya tenggelam kedalam liang vagina gadis itu, Sancaka segera bergerak memaju-mundurkan pinggulnya, tangannya meremas-remas bongkahan pantat gadis itu.
Liang vagina ketat itu membuat Sancaka mengeram lirih, apalagi setiap sodokan Sancaka membuat gadis itu tersentak mengejang, memberikan jepitan-jepitan yang merupakan sensasi tambahan yang sangat dinikmati oleh Sancaka.

Sancaka yang sudah mendapat banyak pelajaran tambahan dari selir-selir Tuan Frantzheof de Van Pierre, sudah sedikit mampu mengontrol dirinya, dia mampu melakukan sodokan-sodokan mantap dengan kecepatan yang hampir sama, Ratih yang belum banyak pengalaman itu semakin sering tersentak mengejang, gadis itu menggigit selimutnya menahan suara-sura rintihnnya yang makin tak terkendali.

Akhirnya tubuh Ratih bergetar hebat, tangannya menjambak rambutnya sendiri, dibenamkannya mukanya ke kasur jeritannya pun teredam, Sancaka menekankan batang penisnya sedalam mungkin, ia menikmati lagi denyutan-denyutan hangat liang vagina gadis itu. Dibiarkanya sejenak gadis itu menikmati puncak orgasmenya.

Sancaka membalikkan tubuh Ratih, gadis itu kini terlentang lemah dengan nafasnya memburu, segera diterkamnya dengan penuh nafsu, batang penisnya tak perlu dituntun lagi, dengan mudah ia menemukan lubang persembunyiannya, kini dipegang dan diangkatnya kedua paha gadis itu, kedua paha Ratih kini terpentang. Membuat vagina gadis itu kini seakan menengadah keatas siap menerima semua serangan penis pemuda itu.

Didekapnya gadis itu, dengan buas dilumatnya bibir gadis itu sebentar. Sancaka tetaplah Sancaka, kesukaannya adalah netek, kinipun ia dengan buas menetek di dada Ratih, pantatnya mulai bergerak naik-turun, liang vagina ratih yang telah basah itu membuat Sancaka dapat memberikan hunjaman-hunjaman sesuai kemauannya.

Ratih yang lugu itu mengelepar dibawah tindihan dan hantaman penis Sancaka, “Ratih nggak kuat mas … Ratih nggak kuat”, rintihnya berulang kali.

Sancaka memompakan penisnya ke liang vagina gadis itu dengan buas, gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat, ia tak mampu bertahan lagi, nafasnya serasa mau putus, Ratih menjerit kuat tapi hanya terdengar suara “mmmh”, gadis itu telah menutup mulutnya dengan kuat sambil mengejang hebat, kakinya tersentak menendang, Sancaka menggeram, kali ini tidak membiarkan gadis itu sampai dipuncak sendirian, dengan sentakan kuat iapun menghunjamkan penisnya sedalam mungkin, penisnya menyembur dengan kuat.

Setelah cukup beristirahat Sancaka segera bangkit dan mengenakan kembali pakaiannya, dikecupnya kening gadis itu, “Nanti malam kamarnya jangan dikunci … mas Sanca mau menyusup kemari”, bisiknya.
Setelah membuka pintu dan mengintai situasi diluar kamar, Sancaka segera menyelinap menuju kamarnya sendiri.

Ratih dengan lemah menarik selimut menutupi tubuh telanjangnya, iapun segera tertidur dengan bibir tersenyum bahagia.

****

Gayatri dapat merasakan perubahan sikap Sancaka terhadap dirinya, walaupun pemuda itu nampak berusaha menutupi hal itu.
Sebenarnya setelah habis tangisnya dan mengetahui bahwa Sancaka langsung pulang siang itu, gadis itu timbul rasa sesal dihatinya, dia sudah mengecewakan hati tunangannya, diapun saat itu sudah membulatkan tekadnya akan memberikan apa yang diinginkan pemuda itu, hanya sayangnya sejak kejadian itu Sancaka selalu menahan diri. Membatasi keakraban dan kemesraan mereka bahkan mencium bibir gadis itupun tidak dilakukannya lagi.

Sampai tiba waktunya Gayatri harus kembali ke Jawa pun Sancaka seakan tetap menjaga jarak dengan gadis itu, Sancaka dapat melepas kepergian gadis itu dengan senyum, sementara Gayatri walaupun tersenyum akan tetapi hatinya gundah gulana.
Sayang gadis itu tidak tahu, bahkan mungkin tidak akan pernah tahu, bahwa kehangatan yang tidak diberikannya kepada pemuda itu dengan mudah bisa didapat Sancaka dari Ratih dan selir-selir Tuan Frantzheof de Van Pierre.
 
Terakhir diubah:
Chapter 4
SISI KELAM SANG PENGUASA PERKEBUNAN

Hari itu seperti biasanya Sancaka memeriksa perkebunan kopi yang dikelolanya, inspeksi dilakukannya bergantian berselang-seling hari antara kebun the dan kebun kopi, hasil inspeksi segera diimplementasikan dalam bentuk arahan kepada mandor-mandor lapangan yang ada.
Pekerjaan Sancaka sudah jauh berkurang beratnya, ia sudah mahir menunggang kuda sehingga pekerjaan inspeksi dapat dilakukan dengan cepat dan tidak terlalu melelahkan.
Melihat semua mandor selalu mengikuti arahannya dia yakin pekerjaanya akan sangat memuaskan Tuan Frantzheof de Van Pierre.

Sancaka membuka jam sakunya, jam berlapis dan berantai emas hadiah Tuan Frantzheof de Van Pierre, ah sudah jam tiga sore pikirnya, sudah cukup pekerjaannya hari ini.

Sampai di Villa, Sancaka langsung melempar tubuhnya ke tempat tidur, dia membutuhkan istirahat yang cukup, hari ini giliran selir ke-tiga Tuan Frantzheof de Van Pierre, selir yang paling liar dan binal diantara kelima selir yang melayaninya secara bergiliran itu.

Sancaka terbangun karena merasa sesak seperti tertindih beban berat, begitu dia membuka matanya, Wulan sudah langsung memencet hidungnya dengan gemas, “Bangun pemalas … jangan pernah berleha-leha kalau Wulan yang sedang bertugas”, katanya tersenyum geli.

Sancaka, entah kenapa, selalu cepat terangsang kalau berdekatan dengan gadis satu ini, segera dipeluknya dan dibalikkannya tubuh gadis itu, mukanya bergerak mendekat dan bermaksud melumat bibir ranum Wulan.
Dia mendengar tawa geli gadis itu, tangan gadis itu telah dengan sigap menutup dan menghalangi bibir Sancaka, “Jangan sekarang … jangan sekarang”, katanya sambil terus tertawa geli dan menghindari serangan bibir Sancaka.

“Ihh … si Nogopasung udah bangun yah?”, teriaknya dan langsung mendorong-dorong tubuh Sancaka, “Sabar dong ganteng … Wulan punya kejutan buat kamu nanti” katanya sambilmengecup bibir Sancaka sekilas.

Sancaka hanya tersenyum,

“Mandi yuk”, ajak Wulan, Sancaka tidak segera bangkit, “Boleh … tapi mimik dulu yah aku haus”, goda pemuda itu.

“Dasar pemalas”, katanya sambil kembali memencet hidung pemuda itu, tapi tangannya segera bergerak membuka kancing baju depannya, dan segera terpampang buah dadanya yang bulat besar menantang, ditarik dan dibenamkannya kepala pemuda itu sambil terkikik geli, satu hal yang disukai Sancaka dari gadis ini adalah dia tidak mengenakan BH.

Dibiarkannya beberapa lama pemuda itu menetek didadanya dengan buas, “Sudah … celana dalam Wulan mulai basah nih” katanya lagi.

Sancaka bangkit dan tersenyum, ditariknya gadis itu bangun, dan merekapun sambil berangkulan segera menuju kamar mandi.

****

Selama mandi sore tadi sampai dengan selesai makan malam barusan, Sancaka habis-habisan dibuat penasaran oleh Wulan, gadis itu sengaja menghindar dan menahan semua serangan pemuda itu, “Jangan sekarang” atau “Sabar dikit kenapa”, itu ke itu terus saja jawaban gadis itu.

Seakan tak mau tahu betapa konak Sancaka dibuatnya, pemuda itu tergelatak terlentang di tempat tidur sambil menikmati rokoknya.

Tak lama kemudian Wulan masuk kedalam kamar pemuda itu, “Dasar pemalas … pakai ini” katanya tersenyum geli melihat ekspresi muka Sancaka, Sancaka menyambut benda yang dilemparkan gadis itu, “Pakainya seperti ini”, lanjut gadis itu memperagakan, ah ternyata itu semacam jubah hitam dan terbuat dari sutera tapi untuk apa pakai jubah segala pikir pemuda itu.

“Eh … kok malah bengong … ayo cepat” kata gadis itu melotot, “mau yang enak gak?” tanyanya sambil menarik Sancaka bangun.

“Iya … iya … dari tadi udah minta-minta tapi nggak dikasih”, sungut pemuda itu sambil mengenakan jubahnya.

“Jadi ngambek nih ceritanya … apa mau netek dulu?” tanya gadis itu menggoda Sancaka, gadis itu tertawa geli sambil memaju-majukan dadanya.

Begitu Sancaka bergerak untuk menangkapnya, gadis itu segera meloncat dan menghindar sambil berlalri keluar kamar, “Wulan tunggu di beranda belakang”, teriaknya sambil cekikikan.

Bukan main gemasnya Sancaka, gadis satu itu selalu berhasil mempermainkan dirinya, sekaligus juga selalu bisa memuaskan nafsu birahinya apalagi kalau gadis itu mengambil posisi diatas, Sancaka selalu terpuruk kalah dibuatnya.

“Ayo cepat … ntar terlambat”, kata Wulan yang saat itu sudah duduk diatas kuda hitam kesayangannya. Kuda coklat yang biasa dipergunakan Sancaka melakukan inspeksi di perkebunan telah pula dituntun oleh gadis itu.

“Pakai kerudung jubahnya”, perintah gadis itu dan segera menggebrakkan kakinya, “ikut saja dan tutup mulut”, katanya lagi.

Sancaka hanya tersenyum kecut, gadis satu ini memang bukan main pikirnya. Ia pun segera mengekor di belakang gadis itu.

Sancaka cukup terkejut juga karena malam-malam berjubah hitam-hitam pula tapi kenapa agaknya Wulan menuju ke atas gunung ini. Bukankah tempat diatas terdapat Villa Darah, bukankah tempat itu terlarang baginya.
Sancaka mendongak kelangit, celaka pikir pemuda itu, malam ini malam purnama, mau apa gadis itu, apa ingin mencelakakan dirinya, jantung Sancaka berdebar keras, hanya kerudungnya yang dapat menyembunyikan pucatnya wajah pemuda itu.

Taka lama kemudian Sancaka melihat sebuah bangunan dikejauhan, dengan dua buah menara tinggi dibagian depannya, agaknya lebih pantas di sebut kastil.

Lebih kurang dua ratus meter dari bangunan itu Wulan memberikan kode berhenti dengan tangannya, dia melompat turun dari kudanya, meletakkan jari telunjuk didepan bibirnya memberikan isyarat untuk tidak bersuara, dengan perlahan gadis itu menambatkan kudanya ke pohon terdekat.
Sancaka mengikuti perbuatan gadis itu dengan sedikit bingung, tapi dia tak mau berpikir banyak dia ingin tahu apa maksud dan tujuan gadis itu.

“Kita sudah sampai”, bisik gadis itu ditelinga Sancaka, “Ini adalah Villa Darah … ikuti wulan dan jangan bersuara … hati-hati melangkah jangan menimbulkan bunyi yang mencurigakan” jelas gadis itu selanjutnya.
Gadis itu tidak tahu atau pura pura tidak tahu betapa pemuda itu tercekat dan pucat pasi mendengar ucapannya.

“Jangan takut … kalau ada apa-apa Wulan yang tanggung jawab”, bisik gadis itu, dielusnya muka pucat Sancaka dan diberinya ciuman sekilas, tangannya menarik tangan pemuda itu, Sancaka terpaksa mengikuti gadis itu.

****

Bangunan yang mereka tuju tidaklah berwarna merah, bangunan itu berwarna putih dan terawat bersih, lebih terawat daripada dua Villa lainnya malah, rasanya janggal di sebut sebagai Villa Darah.

Sancaka dan Wulan terus bergerak berindap-indap, seperti dua sosok bayangan yang terus bergerak perlahan menuju salah satu jendela besar disamping bangunan itu.

Sesampai disamping jendela itu, Wulan meraba-raba didinding, agak jauh dari jendela itu dia seperti mencongkel sesuatu, dan tampak ada bagian dingding yang bergerak, wulan menarik bagian itu dan meletakkannya ditanah, ternyata satu bagian bata yang utuh yang dapat dilepas, gadis itu mengintai sejenak, bibirnya tampak tersenyum.
Ia pun segera memberikan kode kepada Sancaka sambil menunjuk ke arah dinding yang kini berlubang itu, Sancaka beringsut dan hendak mengintip kedalam, “Apapun yang terjadi didalam jangan sekali-kali bersuara … mengerti?” bisik gadis itu lirih. Sancaka hanya mengangguk dan segera mengintip ke dalam.

Ruangan itu cukup luas seluruh dinding dan langit-langitnya berwarna merah, sementara lantainya sangat kontras berwarna putih, dibagian tengah tampak sebuah tempat tidur berbentuk bulat yang juga dilapisi kain sutra berwarna merah.

Diatas tempat tidur tergolek sesosok tubuh telanjang, tubuh putih mulus, yang membuat Sancaka menahan nafas adalah yang tergolek telanjang dengan pose merangsang itu adalah Tantri, Selir Utama Tuan Frantzheof de Van Pierre, juga terdapat seorang lelaki yang duduk membelakangi Sancaka, lelaki yang tanpa baju itu agaknya sedang asyik memandangi tubuh molek Tantri, tangannya naik turun mengelus-elus paha gadis itu.

Sancaka mengalihkan pandangannya karena mendengar suara pintu terbuka, dilihatnya seorang gadis melangkah masuk kedalam kamar itu, Sancaka belum pernah melihat gadis itu, setelah berada di sisi pembaringan gadis itu berhenti dan hanya berdiri menunduk, gadis itu mengenakan kimono sutera berwarna merah darah.

Tantri bergerak turun dari tempat tidur, didekatinya gadis itu, Tantri tampak membisikkan sesuatu ketelinga gadis itu, gadis itu menganggukkan kepalanya, Tantri membuka selendang pengikat kimono gadis itu, dan langsung menggunakannya sebagai penutup mata gadis itu, diikatkannya kesekeliling kepala gadis itu, kemudian dibuka dan dibiarkannya kimono itu jatuh ke bawah.

Gadis itu berdiri telanjang dengan mata tertutup, Tantri memegang kedua bahu gadis itu, dibimbing dan dibaringkannya gadis itu ke atas tempat tidur, lelaki yang duduk membelakangi Sancaka bangkit berdiri, ah ternyata lelaki itu adalah Tuan Frantzheof de Van Pierre, yang tampak tersenyum puas melihat betapa molek dan menggairahkannya gadis yang baru masuk tadi, Tantri segera melangkah mendekati Tuan Frantzheof de Van Pierre, segera dibukanya kain sutera merah yang melilit di pinggang londo itu, Tuan Frantzheof de Van Pierre kini telah berdiri telanjang dengan penis yang berdiri tegang mengacung, penis yang lebih besar dari milik Sancaka.

Tuan Frantzheof de Van Pierre segera merayap diatas tempat tidur itu, dia mulai menjilat dari betis gadis itu, terus merambat keatas, dan berhenti sebentar melumat putting susu gadis itu, gadis itu tampak mengerinjal dan mendesah lirih, jilatan londo itu kembali bergerak ke leher, dan kemudian melumat bibir gadis itu. Tangannya mengelus seluruh bagian tubuh gadis itu.

Tuan Frantzheof de Van Pierre itu menyibakkan kedua paha gadis itu, gadis itu berusaha menutupi kewanitaannya dengan tangan, tetapi kedua tangan itu dengan halus langsung disingkirkan oleh Tantri dan digenggamnya kedua tangan gadis itu, Tuan Frantzheof de Van Pierre tersenyum puas melihat betapa bibir-bibir vagina gadis itu masih begitu rapat dengan bulu-bulu yang masih halus disekitarnya.

Tuan Frantzheof de Van Pierre menjulurkan tangan dan jari telunjuknya menyusuri belahan bibir vagina gadis itu yang sudah mulai basah dari atas kebawah, kemudian dijilatnya telunjuk itu, londo itu menunduk dan membenamkan mukanya keselangkangan gadis itu, lidahnya naik turun di belahan vagina gadis itu, gadis itu mengelinjang dan mendesah keenakan, lidah londo itu mulai masuk dan membelah lebih dalam keliang vagina gadis itu, gadis itu mengejang, semakin lama lidah Tuan Frantzheof de Van Pierre semakin bergerak makin dalam mengobok-obok mulut gua kenikmatan gadis itu, dan tanpa sadar pantat gadis itu ikut bergoyang naik turun mengikuti gerakan lidah Tuan Frantzheof de Van Pierre.

Dibombardir serangan lidah Tuan Frantzheof de Van Pierre yang sudah banyak pengalaman itu membuat gadis lugu itu tak dapat bertahan lama, dengan tersentak gadis itu menjerit kuat, tubuhnya menggeliat-geliat keenakan, Tuan Frantzheof de Van Pierre tak menyia-nyiakan kesempatan itu, mulutnya menempel ketat ke permukaan vagina gadis itu, londo itu menyedot dengan kuat berulang-ulang, seakan ingin menguras cairan kenikmatan gadis itu.

Sancaka mengamati semuanya dengan jakun turun naik, Wulan yang berada disampingnya hanya tersenyum-senyum melihat raut muka pemuda itu, “Ingat … jangan mengeluarkan suara sedikitpun”, bisik gadis itu lirih sekali.

Wulan bergerak ke bawah, dia berlutut di depan pemuda itu, dibukanya celana pemuda itu seluruhnya, penis Sancaka yang memang sudah tegang segera mengacung didepan wajah gadis itu, Sancaka mengalihkan pandangannya ke bawah, ia sudah hendak menggerakkan bibirnya bertanya tapi dia langsung bungkam melihat telunjuk di bibir gadis itu, Wulan menggenggam batang penis Sancaka dengan tangan kanannya, sementara tulunjuk kirinya memberi isyarat agar pemuda itu meneruskan aksi mengintipnya tadi.

Tetapi Sancaka tersentak seketika, pandangannya yang baru akan melihat kembali kedalam ruangan itu langsung beralih ke bawah, untung dia ingat untuk tidak bersuara sedikitpun, dilihatnya Wulan sedang menjilat-jilat kepala penisnya, dan kemudian memasukkan kepala penis itu kedalam mulutnya, kepala gadis itu maju mundur dengan gerakan menghisap dan menjilat sedemikian rupa yang membuat Sancaka matia-matian berusaha agar tidak menggeram keenakan.
Memang ini adalah hal yang benar-benar baru bagi Sancaka, ia baru kali ini mengetahui adanya permainan seks seperti itu.
Wulan melirik keatas dan merasa sangat puas dapat mengerjai pemuda itu, kembali telunjuknya memberi isyarat agar Sancaka meneruskan mengintip kedalam ruangan itu.
Sancaka kembali mengintip kedalam.

Dia melihat Tantri duduk membungkuk disebelah atas kepala gadis yang tertutup matanya itu, kedua tangan gadis itu menggenggam erat tangan Tantri, kepalanya terdongak dengan menggigit bibirnya sendiri, Tantri tampak membisikkan sesuatu kepada gadis itu, sementara Tuan Frantzheof de Van Pierre tampak memegang dan membimbing penisnya di depan liang vagina gadis itu, londo itu tampak menggerak-gerakkan pinggulnya berusaha mendorong menembus liang vagina itu. Setiap usaha paksa penis itu itu selalu diiringi jerit tertahan gadis itu.
Tahulah Sancaka bahwa gadis itu pastilah masih perawan, rasa sakit yang diakibatkan penis Tuan Frantzheof de Van Pierre yang diatas ukuran rata-rata orang melayu itu tentu menimbulkan rekasi mencengkeram yang mempersulit kepala penis itu untuk masuk.

Tuan Frantzheof de Van Pierre setelah beberapa kali berusaha tampaknya telah berhasil memasukkan bagian kepala penisnya keliang vagina gadis itu, dan sambil tersenyum sumringah dia pun menghentakkan pinggulnya, seluruh batang penisnya tenggelam diiringi jeritan kuat gadis itu.
Tanpa sadar Sancaka juga mengayunkan pinggulnya kedepan, seluruh batang penisnya terbenam sampai kedalam tenggorokan Wulan, tangannya langsung meremas rambut Wulan. Pemandangan yang dilihatnya dan kuluman mulut Wulan membuat semuanya menjadi sangat sensasional.

Didalam ruangan, Tuan Frantzheof de Van Pierre tampak mulai menggoyangkan pinggulnya, tampak penisnya keluar masuk vagina gadis itu, ada rona merah dibatang penis itu, sementara gadis itu hanya tersentak-sentak lemah dan tampaknya menahan sakit dan isak tangis.
Diluar Wulan mulai menggerakkan kepalanya maju mundur dengan cepat, tangan kanannya pun mulai bergerak mengocok seirama.

Didalam ruangan, Tuan Frantzheof de Van Pierre tampak mulai menindih gadis itu, mulutnya menghisap dan menjilat putting susu gadis itu dengan buas, kedua tangan gadis itu sudah dilepaskan oleh Tantri, dan kini tampak memeluk erat Tuan Frantzheof de Van Pierre.
“Achh” dan “Auch”, hanya itu suara erang nya mengiringi setiap hujaman penis Tuan Frantzheof de Van Pierre, agaknya gadis itu telah mulai merasakan nikmatnya.

Tuan Frantzheof de Van Pierre mulai melumat bibir gadis dan meningkatkan hunjaman-hunjaman penisnya, terdengar londo itu menggeram berulang kali.
Sancaka merasakan penisnya berdenyut hebat, Wulan segera tanggap, mulutnya menghisap kuat-kuat kepala penis Sancaka, sementara tangan kanannya mengocok batang penis pemuda itu dengan cepat, Sancaka menutup mulutnya rapat-rapat, batang penisnya menyembur hebat, Wulan sampai tersedak dibuatnya, konaknya sejak siang terlampiaskan sudah.
Sancaka menengok kebawah dengan nafas memburu, lututnya sedikit gemetar, dibawahnya Wulan menelan habis air mani pemuda itu, bahkan lidahnya berputar membersihkan sisa semburan disekitar bibirnya, dikecupnya kepala penis Sancaka yang masih berdenyut-denyut itu, mulutnya tersenyum puas.

Setelah membenahi celana Sancaka, Wulan bangkit dari jongkoknya dan memeluk pemuda itu dari belakang, kepalanya bersandar di punggung Sancaka.
Sancaka kembali mengamati kedaan didalam ruangan itu.

Dilihatnya Tuan Frantzheof de Van Pierre masih sesekali mengeram dan makin mempercepat gerakan pinggulnya sambil mengamati raut wajah gadis itu, sementara kedua tangan gadis itu tampak meremas lengan londo itu dengan kuat, kedua insan itu tampaknya sudah mendekati puncak kepuasan masing-masing.
Sampai puncaknya gadis itu menjerit tertahan dengan tubuh tersentak, Tuan Frantzheof de Van Pierre pun menhunjamkan batang penisnya sekuat-kuatnya sambil membenamkan mukanya keleher gadis itu.
Kedua kaki gadis itu tampak menendang-nendang kebawah, tangannya mengapai kesana-kemari, tubuh mulusnya tampak berkelojotan dibawah tindihan Tuan Frantzheof de Van Pierre. Bukan main orgasme yang dicapai keduanya pikir Sancaka.

Beberapa saat kemudian terlihat tubuh gadis itu bergetar lemah dan akhirnya diam tak bergerak lagi.
Tuan Frantzheof de Van Pierre bangkit dan segera menghambur kedalam pelukan Tantri yang sejak tadi berbaring dan menyaksikan semuanya disebelah gadis itu. Tantri tampak membelai-belai rambut Tuan Frantzheof de Van Pierre dengan penuh sayang.
Sancaka mengamati gadis yang tertutup matanya itu, ada yang janggal disana, gadis itu masih diam kaku tak bergerak, kepalanya terdongak keatas, mulutnya menganga dengan kulit tubuh pucat membiru, ada dua titik hitam dengan lingkaran kebiru-biruan di leher gadis itu, tidak ada tanda-tanda kalau gadis itu masih bernafas.

Sancaka tercekat, “Mati”, pikirnya seketika, “Gadis itu telah mati”, nafasnya sesak dan perutnya terasa mual, lututnya terasa goyah, Sancaka jatuh terduduk menutup mulutnya.

“Siapa itu?” terdengar suara Tantri membentak.

“Lari … cepat lari”, bisik Wulan yang langsung menyeret pemuda itu berlari menuju kuda-kuda mereka yang ditambatkan tadi.
Jatuh bangun Sancaka mengikutinya, ia sempat menoleh dan melihat Tantri berdiri di jendela itu, ia tidak punya waktu untuk memikirkan dan tidak mau menebak-nebak apakah gadis itu melihat dirinya dan Wulan.

Setelah cukup jauh dari tempat itu, Sancaka tak dapat lagi menahan rasa mualnya, ia menghentikan kudanya dan meloncat turun serta langsung memuntahkan semua isi perutnya.
“Dasar pemalas … jangan loyo begitu”, ejek Wulan sambil tersenyum geli, kali ini Sancaka melirik dengan tajam kearah gadis itu.
Wulan menangkap kegusaran pemuda itu, iapun meloncat turun dari kudanya, dirangkulnya bahu Sancaka, “Ayo ganteng … kita harus cepat kembali ke Villa … kita tidak boleh ketahuan telah mengintai ke Villa Darah”, bujuknya.

Merekapun kembali menunggang kudanya supaya cepat Sampai di Villa Sancaka. Sesampai di Villa Wulan segera membimbing pemuda itu ke ruang mandi, “Mandi air hangat yah … biar segar”, bujuknya. “Tunggu disini … Wulan mau ambil minuman”, lanjutnya sebelum keluar.
Sancaka masih terguncang, ia hanya mengikut saja perintah gadis itu, “Tunggu disini … Wulan mau ambil minuman”, lanjutnya sebelum keluar.

Sancaka masuk ke kolam dan langsung tergolek lesu, saran Wulan memang sedikit dapat mengurangi goncangan bathinnya.

Tak lama kemudian tampak Wulan yang juga sudah membuka seluruh pakaiannya dan ikut masuk ke kolam, “Minum ini … nanti semuanya akan lebih baik” katanya sambil menyodorkan gelas berisi anggur merah.
Sancaka menyambutnya. Ia mencoba menikmati anggur merah itu. Wulan hanya mengamatinya dan tak bersuara sedikitpun, ia membiarkan saja pemuda itu dengan pikirannya sendiri. Gadis itu tersenyum setiap kali Sancaka meneguk minumannya.

****

“Dasar pemalas … mandi sendiri nggak ngajak-ngajak Wulan”, kata gadis itu sambil memencet hidung Sancaka, pemuda itu tergagap bangun.

“Makanya jangan mandi sendiri … jadinya ketiduran begini”, kata gadis itu geli, “Pantesan dari tadi Wulan cari-cari nggak ketemu” lanjut gadis itu.

Sancaka memegang kepalanya sendiri, kepalanya terasa berat dan pandangannya sedikit nanar. Apa benar ia ketiduran disini pikirnya.
“Belum makan … iya kan?” tanya gadis itu, “makanya jadi pusing”, katanya memapah Sancaka bangkit.

Sancaka memang merasa betapa perutnya sangat lapar, dan ia melihat Wulan masih berpakaian lengkap. Hanya samar samar dan terpenggal-penggal ia merasa ingat kejadian di Villa Darah barusan.

“Kok bengong …. Mimpi apa barusan?”, tanya Wulan setelah mengenakan kimono kepada pemuda itu sambil terus memapahnya keluar ruang mandi.
Sancaka tercenung apakah kejadian di Villa Darah yang samar-samar diingatnya hanyalah mimpi, ia kembali memegang kepalanya yang terasa berat.

“Ayo kita langsung makan … ntar Wulan bikinin kopi hangat buat ngurangin rasa pusingnya”, kata gadis itu lagi dan membimbing Sancaka ke ruang makan.

Sancaka makan dengan lahap, perutnya terasa sangat kosong dan berkeroncongan terus minta diisi. Selesai makan Wulan sudah menyediakan secangkir kopi dimeja kamar tidur Sancaka. Sementara Sancaka merokok dan menikmati kopinya, gadis itu merapikan tempat tidur sambil sesekali melirik kearah Sancaka yang masih terlihat seperti orang kebingungan.

“Tuh kan melamun lagi … ayo bobok yuk”, bisiknya mesra sambil merangkul Sancaka dari belakang, “Aku punya kejutan untuk kamu”, lanjutnya.

Ditarik dan dibimbingnya pemuda itu keatas pembaringan. Dibukanya seluruh pakaian Sancaka, “Ini Wulan persembahkan khusus buat kamu … Wulan nggak pernah ngelakuin ini pada siapapun sebelum ini” katanya dan kemudian langsung merayap diatas tubuh pemuda itu, dijilat dan dihisapnya kedua putting susu Sancaka, Sancaka langsung bereaksi, tangannya membelai-belai kepala gadis itu.

Lidah Wulan terus bergeser ke bawah, dijilat-jilatnya kepala penis pemuda itu, Sancaka mendesah, sedikit terkilas dibenaknya rasa-rasanya diapun pernah memimpikan perbuatan Wulan seperti ini kepadanya, tapi entah kapan dan dimana, semuanya masih terasa samar-samar.

Tapi pemuda itu tidak sempat banyak berpikir lagi, mulut Wulan telah mulai mengulum dan menghisap-hisap kepala penisnya, diapun menggeliat dibuatnya.

Wulan dengan lincah memainkan peran mulut dan lidahnya sambil menggerakkan kepalanya, sesaat dia menjilat-jilat seluruh kepala dan batang penis pemuda itu, sesaat kemudian dia sudah mengulum dan menjilat-jilat buah zakar pemuda itu, dilanjutkan dengan mengocokkan batang penis pemuda itu didalam mulutnya. Semakin lama tempo permainan mulut dan lidah gadis itu semakin cepat dan ganas.
Sancaka hanya merem-melek keenakan, tangannya hanya dapat meremas-remas rambut gadis itu dengan geram.

Sesekali Wulan memasukkan seluruh batang penis pemuda itu kedalam mulutnya, terasa penis itu memenuhi mulut dan tenggorokannya, Wulan mengocok-ngocok penis itu ditenggorokannya dan pada saat itu Sancaka pasti menggeram nikmat. Remasan dan kocokan tenggorokan gadis itu memberikan sensasi nikmat tersendiri di kepala dan batang penis Sancaka. Terutama saat gadis itu nampak mulai tersedak seperti mau muntah dan terpaksa mengeluarkan batang penis itu dari mulutnya dengan cepat, menimbulkan sensasi nikmat tersendiri.

Ketika dirasakannya penis pemuda itu sudah sangat tegang dan mulai berdenyut-denyut, Wulan segera menghentikan gerakannya, dia bangkit berdiri dan tanpa melepas bajunya ia membuka celana dalamnya, ia kemudian berdiri mengangkangi tubuh Sancaka, Wulan berjongkok diatas pinggul pemuda itu, “Saatnya pelajaran tambahan cara menunggang kuda yang baik”, katanya sambil tersenyum, diraihnya dan dibimbingnya penis Sancaka ke bibir vaginanya, diapun menurunkan tubuhnya dengan perlahan, kepala penis Sancaka langsung menyeruak masuk kedalam vagina gadis itu.

Tubuh Wulan mulai bergerak naik turun dengan teratur, setiap tubuh gadis itu bergerak turun dengan cepat maka batang penis Sancaka langsung terbenam seluruhnya ke liang vagina gadis itu, sementara setiap tubuh Gadis itu bergerak naik dengan perlahan terasa memberikan jepitan ke batang penis Sancaka.

Sancaka mengulurkan tangannya meremas-remas buah dada dibalik pakaian gadis itu, Wulan mempercepat gerakan naik-turunnya, dia ingin menggapai kepuasan bersamaan dengan pemuda itu.
Wulan menjulurkan tangan kanannya keselangkangannya, jari telunjuknya memainkan clitorisnya sendiri sambil terus bergerak naik turun dengan cepat.
Sancaka sudah tak kuat lagi menahan diri, dia meremas-remas buah dada gadis itu dengan kuat, Wulan juga merasakan penis pemuda itu sudah mulai berdenyut-denyut lagi. Dia kini bergerak naik-turun sambil mengayunkan pinggulnya dengan cepat, dia berusaha mengejar ketinggalannya, tak lama kemudian keduanya saling pandang dan saling menggeram, Sancaka mengangkat pantatnya keatas dan Wulan menghempaskan pinggulnya kebawah hampir bersamaan, batang penis Sancaka terbenam dan terus berdenyut menghabiskan semburannya.

Wulan segera membungkuk dan melumat bibir Sancaka, Sancaka segera menyambut dan merangkul gadis itu, mereka terus berciuman sampai semua sensasi kenikmatan orgasme bersamaan itu hilang.

“Makasih yah”, bisik Wulan dan bergulir kesamping, kemudian merebahkan kepalanya ke dada Sancaka. Sancaka membelai-belai rambut gadis itu.

****

Sancaka masih belum dapat memejamkan matanya, ia berada dalam kebingungannya sendiri, ia terus saja menghisap dalam-dalam dan menghembuskan rokoknya dengan kuat, seingatnya dia pulang dari perkebunan lebih cepat daripada biasanya tadi siang, tapi apakah benar dia tertidur di kamar mandi? Benarkah dia dan Wulan tidak menyusup ke Villa Darah? Benarkah semua itu hanya mimpi?

Wulan telah tertidur disamping pemuda itu dengan kepala rebah di dada pemuda itu sejak tadi.
Sementara Sancaka terus melamun sampai dirinya tertidur sendiri.

****

Ada dua hal yang tidak diketahui Sancaka, hal pertama adalah peristiwa yang dialaminya di Villa Darah adalah kejadian yang nyata-nyata dialaminya, hal kedua adalah Wulan telah mencampurkan sejenis ramuan khusus kedalam anggur merah yang diminumnya di kolam mandi tadi.

Jadi tidak mengherankan kalau esoknya Sancaka tanpa sadar telah meyakini kata-kata Wulan semalam dan Sancaka benar-benar sudah menganggap bahwa peristiwa diingatnya mengenai Villa Darah adalah benar-benar mimpi adanya.
Pemuda itu kembali menjalani kehidupannya di perkebunan itu sebagaimana biasanya.
 
Chapter 5
SELIR UTAMA SANG PENGUASA

Beberapa minggu kemudian, setelah sarapan pagi yang dilayani Yuni, Sancaka seperti biasa segera berkuda ke perkebunan, seperti biasa pula ia melakukan inspeksi dan memberikan pengarahan kepada para mandor yang ada.

Waktu kira-kira pukul dua sore, namun Sancaka telah selesai melakukan inspeksi sampai dengan bagian terjauh perkebunan itu, saat akan menaiki kudanya meninggalkan perkebunan dia melihat seorang wanita berbaju putih dan mengenakan payung putih kecil menyusuri bagian tengah perkebunan Teh itu

Sancaka menaiki kudanya dan mulai membayangi wanit itu dari kejauhan, wanita itu bergerak meninggalkan kawasan perkebunan itu, Sancaka kembali melihat arloji sakunya, masih pukul setengah tiga pikirnya. Dia memutuskan untuk mengikuti terus, dia penasaran siapa dan mau kemana wanita itu.

Setelah hampir setengah jam, wanita itu menuju jalan setapak yang menurun, Sancaka masih mengikuti dengan hati-hati, dari kejauhan terdengar suara air mengalir deras. Wanita itu menuju ke sungai dibawah pikir Sancaka.

Sancaka turun dan menambatkan kudanya cukup jauh, diapun segera berindap-indap mengambil jalan memutar ketempat yang lebih tinggi. Sancaka makin penasaran, walaupun hari masih tergolong siang namun tidak baik rasanya wanita pergi ke tempat sesunyi ini sendirian.

Sancaka makin dekat ke tepi sungai makin berhati-hati, ia tidak ingin ketahuan si wanita, kalau ternyata si wanita itu ternyata berniat mandi bisa-bisa runyam ceritanya kalau dia kepergok berindap-indap seperti ini.

Sancaka mengambil tempat digerombolan pohon sejenis pakis, rasanya dia tidak terlalu jauh dari arah jalan menurun tadi. Disibakkannya pelan-pelan daun-daun pakis itu, mulutnya langsung menganga, kira-kira dua meter didekat batu besar didepan tampak seorang gadis yang berdiri membelakanginya, gadis itu sedang melepas seluruh pakaiannya satu persatu.

Lekuk tubuhnya dari bahu pinggang dan pinggul serta pahanya tampak sempurna, putih mulus menggairahkan.
Gadis itu melangkah menuju sungai sampai kedalaman air sudah mencapai pinggangnya, dia pun berbalik dan mulai menurunkan badannya mencelupkan diri ke dalam air.
Bukan si gadis yang kedinginan terkena air sungai itu, Sancaka lah yang langsung merasa sekujur tubuhnya terasa dingin dengan muka pucat pasi penuh keringat dingin, betapa tidak gadis itu adalah Tantri, selir kesayangan Tuan Frantzheof de Van Pierre.

Disatu sisi pemuda itu menjadi agak takut karena gadis yang diintipnya itu adalah Selir Utama sang pemilik perkebunan alias majikannya, disisi lain pemuda itu sangat ingin melihat keindahan lekak-lekuk tubuh gadis itu dari depan.

Akhirnya nafsunya yang menang, Sancaka bertekat meneruskan aksi mengintipnya. Konak juga karena sejak tadi hanya mendapat sekilas pandang, itupun hanya bagian dada gadis itu kalau dia sedang bermain air sambil berdiri.

Tantri menyelam dan menghilang dari pandangan Sancaka, pemuda itu jadi celingak-celinguk mencari bayangan gadis itu.
Tak lama kemudian gadis itu muncul didekat sebuah batu besar, setelah menoleh kesana-sini seakan ingin memastikan tidak ada orang lain di sungai itu Tantri kemudian berdiri bersandar pada batu besar itu, kedua tangannya meremas-remas buah dadanya sendiri, matanya terpejam rapat, tangan kanannya mulai turun ke bawah kearah selangkangannya.
Gadis itu meliuk-liuk dengan tangan kiri meremas-remas buah dadanya sedangkan tangan kanan mengelus-elus belahan vaginanya.

Kemudian gadis itu mulai memasukkan jari tengahnya keliang vaginanya, Tantri mulai mengocokkan tangannya, semakin lama gerakannya semakin cepat, tubuh gadis itu melengkung kedepan, kocokan tangannya semakin liar dan cepat.
Tubuh bugil gadis itu tampak seperti menggigil tetapi bukan karena kedinginan.
Mulutnya tak berjenti mendesah-desah seperti orang kepedasan.

Beberapa saat kemudian terdengar jerit tertahan dari mulut gadis itu, kedua pahanya menjepit tangannya sendiri dengan kuat, gadis itu agaknya telah meraih orgasmenya.

Setelah gelombang orgasmenya reda Tantri segera duduk diatas batu-batu sungai, gadis itu duduk berendam dan beristirahat dari pendakiannya.

Tak lama kemudian Tantri berjalan keluar dari sungai itu, berjalan langsung kearah Sancaka, Sancaka menahan nafas dengan tubuh tegang tak bergerak, untungnya gadis itu berjalan agak menunduk sambil memeras rambut panjangnya.
Seakan tak menyadari betapa sepasang mata mengawasi setiap inci permukaan tubuhnya, Tantri dengan santainya berdiri menghadap tempat Sancaka mengintip sampai rambutnya dirasa telah cukup kering.
Kemudian gadis itu berpakaian kembali.

Sancaka tetap diam tak bergerak sampai gadis itu pergi dengan kudanya, setelah Tanri tak terlihat lagi barulah Sancaka menjatuhkan dirinya duduk dengan nafas terengah-engah, bukan main keindahan tubuh Tantri yang dilihatnya tadi desahnya.

Sancaka menuju kesungai dan mencuci mukanya, berusaha meredakan konaknya. Segera ia menuju tempat kudanya ditambatkan dan selanjutnya langsung membalapkan binatang itu pulang.

****

Sancaka telah sampai dijalan menurun menuju ke Villa, dilihatnya Diah selir kelima Tuan Frantzheof de Van Pierre yang tadinya duduk diteras langsung berlari ke dalam ketika melihat pemuda itu datang di kejauhan.
Diah adalah seorang gadis yang pendiam, seorang gadis yang berkulit hitam manis. Yang selalu menundukkan muka dengan sopan bila berdekatan dengan Sancaka, yang tidak akan bersuara jika tidak diajak bicara, yang tidak pernah memancing-mancing gairah birahi pemuda itu.

Sancaka melompat sigap dari punggung kudanya dan melangkah masuk ke ruang tamu, Diah yang telah meletakkan secangkir kopi di meja dengan sopan menyambut topi pemuda itu, Sancaka langsung duduk ke kursi panjang dan mengeluarkan rokoknya. Dilihatnya secangkir kopi dan sepiring kecil pisang goreng di meja. Sancaka tersenyum senang.

Diah kemudian berjongkok disamping pemuda itu, melepaskan sepatunya, dan meletakkanya ditempat sepatu diluar kamar pemuda itu.

“Sini … duduk sini”, kata Sancaka melihat Diah telah kembali keruang tamu. Gadis itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepala dan duduk diujung lain kursi panjang itu.

“Numpang istirahat yah … Siang ini panasnya nggak ketulungan … jadi capek sekali rasanya”, kata Sancaka berbaring di kursi panjang itu dan meletakkan kepalanya di pangkuan Diah. Gadis itu lagi-lagi hanya tersenyum mengangguk.

Sancaka meneruskan menikmati rokoknya sambil berbaring, sementara Diah hanya diam membiarkan dan hanya membelai-belai pemuda kepala pemuda itu.

“Merokok sudah … Makan pisang goreng sudah … Minum kopi sudah”, kata Sancaka sambil mematikan rokoknya, “Jadi yang belum tinggal yang ini”, lanjut pemuda itu sambil meremas lembut buah dada Diah.

Diah hanya tersenyum, “Emang ada yang ngelarang?”, tanya gadis itu menunduk malu.

Sancaka tertawa dan mencubit dagu gadis itu, tangannya segera menyibak kimono gadis itu, buah dada gadis itu kini terpampang jelas.

Sesuai permintaan Sancaka semua selir Tuan Frantzheof de Van Pierre ketika bertugas melayani dia kini tidak diperbolehkan lagi memakai pakaian dalam.

Diah membungkukkan badannya sehingga puting susu kirinya mendekati mulut Sancaka, pemuda itu dengan sigap langsung melahap puting susu gadis itu, Diah hanya tersenyum dan membelai-belai pemuda kepala pemuda itu.

Merasa bahwa pemuda itu semakin ganas menetek dan meremas buah dadanya, Diah memindahkan aktifitas tangannya ke selangkangan pemuda itu, tangannya menyusup kedalam celana pemuda itu, dibelai-belainya batang penis Sancaka, kemudian digenggam dan dikocok-kocoknya dengan perlahan.

Sancaka mulai belingsatan, diapun bangun dan segera membuka celananya, setelah berlutut didepan Diah yang masih dalam posisi duduk segera dibukanya kimono gadis itu.
Ditariknya kaki gadis itu, Diah melorot hingga pantatnya menggantung di bibir kursi, Sancaka segera mengarahkan kepala penisnya ke bibir vagina gadis itu.

Diah dengan menggigit bibirnya ikut memperhatikan kepala penis pemuda itu, Sancaka mulai menekan dan kepala penisnya pun masuk ke liang vagina gadis itu, Sancaka menahan gerakan penisnya, ditempelkannya telapak tangannya dibawah pusar gadis itu dan jari jempolnya segera memainkan klitoris gadis itu.

Diah mulai mengelinjang dan memejamkan matanya, Sancaka semakin mempercepat gerakan jarinya, Diah menjepitkan pahanya ke pinggul Sancaka, pemuda itu terus mempermainkan klitoris dengan tangan kanan sementara tangan kirinya meremas-remas buah dada kiri Diah, kepala penisnya serasa diremas-remas liang vagina gadis itu.

Diah membuka matanya, dia memandang pemuda itu dengan mata sayu, “Masukkan … masukkan”, rintihnya memelas, tangannya menggapai dan berusaha menarik pinggul Sancaka, Sancaka tetap bertahan malah semakin mempercepat gerakan jarinya di klitoris gadis itu.

Sampai akhirnya gadis itu menjerit dan menarik pinggul Sancaka sekuat tenaganya, Sancaka membiarkan tarikan gadis itu, seluruh batang penisnya terbenam dalam liang vagina gadis itu, Sancaka membiarkan gadis itu yang meliuk dan tersentak-sentak menikmati orgasmenya, terasa penisnya bagai diremas dan disedot liang vagina gadis itu.

Diah tersandar lemas dengan mata terpejam, masih terengah-engah dengan nafas yang memburu, membuka mata dan menyadari Sancaka memperhatikannya dengan tersenyum gadis itu menjadi malu sendiri, ditutupnya mukanya dengan tangannya.

Sancaka menyibakkan kedua tangan gadis itu, “Kenapa pake tutup muka gitu … nggak enak yah”, Diah menggeleng kepalanya dengan cepat, “Diteruskan nggak nih?” tanya pemuda itu menggoda, dan Sancaka langsung tertawa dan memencet hidung Diah ketika melihat gadis itu menganggukkan kepalanya berkali-kali.

Sancaka meletakkan kedua tangannya diatas kedua buah dada gadis itu, dipelintir-pelintirnya puting susu gadis itu, diapun mulai menggerakkan pinggulnya mundur dengan perlahan, setelah kepala penisnya nyaris keluar dari bibir vagina gadis itu langsung dihunjamkannya kembali dengan cepat, Diah langsung tersentak, “augh…” terdengar desah tertahan gadis itu.

Sancaka ikut mendesah, liang vagina gadis ini biarpun cepat sekali basah bila dirangsang dan sangat becek setelah orgasme, tapi tetap terasa sekali remasan-remasan dinding liang vaginanya, memang benar kata orang-orang cewek hitam manis lebih enak dibandingkan cewek putih, pikir pemuda itu.

Sancaka terus menggerakkan pinggulnya dengan irama yang sama, hanya saja semakin lama semakin cepat, Diah mengejang-ngejang keenakan, kepalanya menggeleng kekanan dan kekiri dengan mata terpejam rapat, lenguhan “mmh…” atau “achh…” gadis itu di setiap hunjaman penis Sancaka semakin membuat pemuda itu mempercepat gerakannya.

Sancaka merasa pendakiannya tinggal sedikit lagi, pangkal batang penisnya mulai berdenyut-denyut dengan kuat, gerakan pinggulnya mulai tak beraturan penisnya menghunjam-hunjam vagina gadis itu dengan kuat.
Ketika rasa itu mulai tak tertahankan lagi Sancaka langsung berdiri, ditariknya kepala Diah kearah selangkangannya, gadis itu mengerti keinginan pemuda itu, tangannya langsung menyambar batang penis itu dan memberikan kocokan-kocokan dengan cepat, mulutnya menganga didepan kepala penis Sancaka menanti semburan.

Sancaka menggeram, kepalanya mendongak keatas dengan mata terpejam, tangannya meremas rambut dan menarik kepala gadis itu, dihunjamkannya penisnya kedalam mulut gadis itu, tangan Diah menekan ke paha Sancaka dengan kuat berusaha menarik mundur kepalanya, tubuh gadis itu meliuk-liuk tak beraturan.
Semburan kuat air mani Sancaka telah membuat Diah tersedak, gadis itu setengah mati menahan rasa mual yang naik ketenggorokannya.
Setelah beberapa saat barulah Sancaka mengendurkan tekanan tangannya, Diah langsung menarik mundur kepalanya, gadis itu terduduk sambil menutup mulutnya dengan tangan berusaha menahan gejala mualnya.

Sancaka segera berjongkok dan mengangkat gadis itu untuk bangun dan mendudukkannya di kursi, hati pemuda itu langsung terenyuh melihat ada air mata yang mengalir di pipi gadis itu, “Maafkan kekasaranku tadi yah”, bisiknya sambil memeluk gadis itu.
Diah balas memeluk dan terisak, digeleng-gelengkannya kepalanya sambil berbisik, “Nggak apa-apa … yang penting Mas puas”.

Sancaka menarik kepalanya dan langsung melumat bibir gadis itu dengan mesra.

****

Ketika Sancaka dan Diah mandi sore harinya, ketika Sancaka sedang menikmati kuluman dan sedotan mulut gadis itu sambil duduk dibibir kolam, dia terkejut melihat bayangan sesorang yang berdiri dibalik tirai di pintu masuk kamar mandi, namun orang tersebut tidak kunjung masuk ke kamar mandi itu.

“Diah selesaikan urusanmu … dan setelah makan malam antarkan Sancaka ke Villa Darah untuk menemuiku”, terdengar suara orang itu, seorang wanita rupanya pikir Sancaka.
Diah masih terus menjilat dan mengulum kepala penis Sancaka dan seakan tidak memperdulikan ucapan wanita itu.

Sancaka menunduk dan memandang Diah dengan sorot mata penuh pertanyaan, tetapi dia akhirnya diam ketika melihat Diah hanya memandang sekilas kearahnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, gadis itu tidak sedikitpun menghentikan kegiatannya.
Sancaka menengok lagi kearah tirai pintu masuk akan tetapi bayangan wanita itu sudah tidak ada lagi disana.

Rasa penasaran membuat keinginan bercinta pemuda itu banyak berkurang, dia hanya menimbangi saja permainan Diah dikolam mandi sore itu.

****

Sancaka berdiri didepan pintu masuk Villa Darah dengan hati berdebar kencang, dia telah mengetahui bahwa bayangan wanita dikolam mandi sore tadi adalah Tantri, Selir Utama Tuan Frantzheof de Van Pierre, Diah yang memberitahukan hal itu ketika mereka dalam perjalanan tadi.

Diah telah pulang kembali ke Villa dimana Sancaka tinggal, dia hanya bertugas mengantar katanya, dan Sancaka langsung diperintahkan masuk pesannya.

Dengan tangan gemetar Sancaka mendorong pintu didepannya, diapun melangkah masuk, Sancaka tertegun sejenak, rasa-rasanya dia pernah melihat ruangan ini, pemuda itu menepuk keningnya, dia ingat bahwa dia pernah bermimpi tentang ruangan ini.

“Mau masuk tidak?”, mendengar suara itu Sancaka refleks menoleh, dilihatnya Tantri duduk dikursi tinggi didepan semacam mini-bar di sudut sebelah kiri, gadis cantik itu mengenakan kimono merah darah. Bagian samping kimono itu memperlihatkan kaki jenjangnya yang putih mulus.

Dengan gugup Sancaka menganguk-anggukan kepalanya dan segera menutupkan pintu dibelakangnya, “Jangan lupa dikunci”, perintah gadis itu.

Setelah menguncikan pintu itu Sancaka melangkah kearah mini-bar dimana Tantri berada, Tantri mengawasi semua gerak-gerik pemuda itu dengan pandangan mata tajam dan dingin.
Tantri segera menyodorkan segelas anggur merah kepada Sancaka setelah pemuda itu duduk di kursi tinggi dihadapannya.

Tantri mengangkat gelasnya ke bibirnya, “Suka yang kamu lihat di sungai tadi siang?”, katanya dengan pandangan mata tajam kearah Sancaka.
Sancaka yang saat itu sedang mimum langsung tersedak dengan muka pucat pasi.
Tantri yang melihat reaksi pemuda itu langsung tertawa lepas sambil menurunkan gelasnya, “Kayaknya percuma aku masih mengenakan kimono ini … padahal kamu sudah melihat semuanya siang tadi”, katanya sambil tersenyum manis.

Sancaka tambah gugup dibuatnya, gadis itu dengan senyum manisnya menjadi semakin cantik saja dimata Sancaka.
Sejak awal melihat Tantri memang Sancaka merasa pernah melihat gadis ini entah kapan dan dimana.

“Aku punya penawaran menarik untukmu”, kata gadis itu sambil menjulurkan kakinya kearah selangkangan Sancaka.
Ujung kaki gadis itu membelai-belai dan sesekali menekan batang penis Sancaka yang ada didalam celananya. Terdengar tawa geli gadis itu menyadari betapa batang penis pemuda itu rupanya sudah bangun dengan tegang.

“Kamu tahu siapa aku? Selain sebagai Selir Utama Tuan Frantzheof de Van Pierre tentunya”, tanya gadis itu tanpa menatap Sancaka, matanya asyik mengamati selangkangan pemuda itu sambil kakinya terus mempermainkan batang penis Sancaka.

Sancaka terlihat diam dengan kening berkerut, darimana dia tahu siapa gadis ini, walaupun dia merasa pernah mengenal Tantri entah kapan dan dimana.

“Kalau kamu tahu siapa aku … aku akan mengijinkanmu menyetubuhiku malam ini … kalau kamu tidak tahu siapa aku … aku hanya akan mengijinkanmu menciumku malam ini … dibagian manapun yang kamu inginkan ….”, katanya lagi tanpa menghentikan aktifitas kakinya.

“Bagaimana? Sebuah penawaran yang cukup menarik bukan?”, lanjut gadis itu, “Aku kasih waktu sampai dengan anggurmu habis …. aku tunggu jawabanmu diatas pembaringan merah itu”, dan Tantri segera berdiri dan melangkahkan kakinya karah pembaringan merah ditengan ruangan itu.

Sambil berjalan gadis itu melepaskan kimononya, dan setelah berada diatas pembaringan itu Tantri kemudian berbaring miring menghadap Sancaka sambil tersenyum manis.

Betatapun kerasnya Sancaka berusaha dia tidak dapat lagi berpikir jernih, nafsu birahinya telah naik ke kepala, ditambah lagi pose tubuh Tnatri yang sangat menggoda semakin membuat pemuda itu menerkam tubuh Selir Utama Tuan Frantzheof de Van Pierre itu.

Dihabiskannya minumannya dan diapun melangkah gontai kearah pembaringan itu.

“Maaf … aku sungguh tidak tahu”, kata Sancaka setelah berdiri disisi pembaringan itu.

Tantri hanya tersenyum dan berkata, “Buka semua bajumu … aku ingin melihat tubuh telanjangmu dengan demikian kita impas …. dan sesuai perjanjian tadi … kamu boleh menciumku dibagian manapun yang kamu inginkan”, gadis itu bergulir ke tengah pembaringan dengan posisi terlentang.

Sancaka kembali memandang takjub melihat tubuh molek gadis itu, dibukanya pakaiannya satu-persatu, keudian diapun naik ke pambaringan itu, Tantri hanya memandangnya sambil tersenyum, Sancaka segera mengambil posisi menindih tubuh tantri, dipeluk dan dikecupnya bibir gadis itu, Tantri membalas dengan penuh gairah, ciuman Sancaka merambat turun ke leher dan buah dada gadis itu, ganasnya sancaka menetek didadanya membuat Tantri mendesis-desis sambil meremas-remas rambut pemuda itu.
Setelah puas menetek Sancaka merayap turun kearah selangkangan gadis itu, dilumat, disedot dan dijilat-jilatnya dengan kuat bibir serta liang vagina gadis itu, Tantri meliuk-liuk keenakan, tangannya tidak lagi meremas-remas rambut pemuda itu, melainkan kini menekankan kepala pemuda itu sekuat-kuatnya keselangkangannya.

Tak lama kemudian terdengar Tantri menggeram, pantat gadis itu terangkat sejenak dan terhempas kembali, tubuhnya tersentak-sentak dan pahanya menjepit kuat kepala Sancaka. Gadis itu telah mencapai puncak orgasmenya.

Dengan sigap gadis itu bangun dan mendorong kuat tubuh Sancaka hingga jatuh terlentang, diterkamnya tubuh pemuda itu, dijilatnya telinga pemuda itu sambil berbisik, “Diam dan nikmati … sesuai perjanjian kamu tidak boleh menyetubuhiku … tetapi aku boleh memperkosa kamu, bukan?”, digenggam dan diarahkannya batang penis Sancaka, setelah pas dan kepala penis itu membelah bibir vaginanya, Tantri segera menekan dengan kuat, gadis itu menggeram dan menggigit leher Sancaka.

Sancaka meremas kedua bongkahan pantat gadis itu, ditahannya gerakan pantat gadis itu sejenak.
Lubang vagina gadis itu terasa masih sangat ketat mencengkeram batang penisnya, apa mungkin hanya sesekali saja gadis ini melayani nafsu birahi Tuan Frantzheof de Van Pierre.
Masih sangat ketat seperti liang vagina Ratih pada waktu baru dua-tiga kali mencicipi serangan batang penisnya dulu.

Merasa remasan dan tekanan tangan pemuda itu dipantatnya telah berkurang, Tantri mulai memompa batang penis Sancaka dengan gerakan perlahan sambil menjilat-jilat telinga pemuda itu, kemudian gadis itu dengan ganas melumat bibir Sancaka.

Melihat betapa pemuda itu merem-melek keenakan Tantri hanya tersenyum, jilatannya berpindah keputing pemuda itu, kini ganti dia yang menjilat dan menyedot puting susu pemuda itu dengan ganas, gerakannya mulai makin cepat tak beraturan, remasan liang vagina gadis itu membuat Sancaka tak bakal kuat bertahan lebih lama lagi, pemuda itu memeluk dengan kuat dan mulai ikut menggoyangkan pantatnya menyambut.
Tantri mendesis geram, “Kamu memang bandel … disuruh diam malah goyang”, digigitnya dada pemuda itu, gerakan gadis itu makin cepat dan kuat, “kamu memang pemuda sialan … aku sudah hampir tak kuat lagi”, lanjutnya dengan nafas memburu.

Sancaka tak jauh berbeda, diremasnya rambut gadis itu dengan kuat, pemuda itu mengejang kuat dan berusaha mengangkat pantatnya setinggi mungkin, batang penisnya berdenyut-denyut dengan kuatnya, Tantri berusaha menghempas-hempaskan pantatnya dengan kuat, dan pertahanan pemuda itu amblas sudah, penisnya menyembur dengan kuat kedalam liang vagina gadis itu.
Tantri menekankan pantatnya dengan kuat, diapun telah mencapai orgasmenya.

Dilumatnya habis-habisan bibir pemuda itu, “Mulai hari ini kamu adalah budak seks milikku … aku berhak memperkosa kamu kapanpun aku mau”, kemudian diapun bergulir kesamping pemuda itu, “kecuali kamu bisa mengingat siapa aku … kamu baru bisa bebas dari perbudakan” lanjutnya sambil tertawa geli.

Sancaka menoleh dan memandang kearah gadis itu, memangnya siapa yang nggak mau menjadi budak seks gadis secantik kamu pikirnya.

“Kalau begitu aku nggak bakalan berusaha mengingat-ingat itu … ntar aja ngingatnya kalau udah bosan diperkosa”, goda Sancaka.

“Sialan kamu yah”, jerit Tantri sambil berusaha mencubit pinggang pemuda itu. Sancaka berusaha mengelak dan menangkap tangan gadis itu. Kedua insan itu saling bercanda dengan mesra.

“TANTRI!”, terdengar gema suara geram melengking di kejauhan, Tantri refleks meloncat dari pembaringan saking takutnya, “Celaka … Dia sudah pulang”, desis gadis itu.

Dengan cepat gadis itu berlari kesana kemari menutup seluruh jendela yang terbuka, setelah itu mendorong lemari disamping pembaringan, “cepat lari keruang bawah tanah … ikuti terus lorong dibawah sana sampai keluar dan cepat kembali ke villa tempatmu tinggal”, suara gadis itu membayangkan ketakutan dan kecemasan. Tampak semacam pintu dengan anak-tangga menurun disana.

Gadis itu meraih botol besar berisi cairan bening bertangkai panjang dengan semacam balon diujungnya, dan mulai menyemprotkan isi botol hampir keseluruh ruangan, tercium wangi melati yang sangat kuat, sejenis farfum agaknya.

Sancaka masih berdiri tertegun memperhatikan semua itu.

“Cepat lari … kalau ketahuan kita bisa mati”, sentak gadis itu sambil mendorong pemuda itu kearah lorong bawah tanah.

Dikecupnya sebentar bibir Sancaka, “Hati-hati” bisiknya sebelum menarik lemari dan menutup jalan ke ruang bawah tanah itu.

Sancaka tahu siapa yang dimaksudkan gadis itu, diapun tak mau tertangkap basah telah menggauli selir kesayangan majikannya, tak ingin berlama-lama disitu, segera diraihnya sebatang obor yang tertancap didinding dan mulai menuruni tangga ke bawah.
 
Wah mantap ini, ane udah baca ampe tamat, semoga disini juga tamat,..
Judulnya apaan huuu kl boleh tau...maapin nubie...termasuk penggila buku yg kudu tamat sekali baca...abis sering ketinggalan kl dibuat cerbung gini...maap ya suhu TS,..(link nya kalo boleh ya suhu...)
Makasih banyak...
 
Chapter 6
TERJEBAK DI VILLA DARAH

Tangga menurun itu cukup landai dan berbentuk seperti sebuah setengah lingkaran besar, akan tetapi karena permukaan tangga itu sudah mulai ditumbuhi dan dipenuhi lumut maka entah berapa kali pemuda itu nyaris jatuh tergelincir.

Setelah menuruni tangga itu lebih kurang sepuluh meteran, akhirnya Sancaka menginjakkan kakinya di lantai ruang bawah tanah itu, ruang bawah tanah itu berbentuk memanjang dengan langit-langit melengkung, seperti di anak tangga menurun tadi, ruang bawah tanah ini setiap beberapa meter diterangi dua buah obor, satu dikiri satu dikanan.

Lebar ruang bawah tanah itu sekitar duabelas meteran, terbagi menjadi tiga bagian memanjang, di kiri seperti kolam, dan dibagian tengah seperti sebuah jalan, sedangkan bagian sebelah kanan sama seperti bagian sebelah kiri juga seperti sebuah kolam. Yang menarik perhatian Sancaka adalah permukaan kolam itu ditutupi oleh semacam jeruji dari besi bundar yang cukup besar.

Pemuda itu mendekati bibir kolam sebelah kiri dan mengarahkan obor ditangannya keatas permukaan kolam itu, akan tetapi tidak terlihat tanda-tanda dasar kolam itu, menandakan betapa dalamnya kolam itu.
Pemuda itu tak habis pikir untuk apa kolam itu dibangun di ruang bawah tanah seperti ini, yang lebih mengejutkan adalah batang-batang jeruji besi yang malang-melintang hanya beberapa jari diatas permukaan kolam itu dipenuhi duri-duri besi seperti mata anak panah bentuknya, tampak runcing dan tajam dengan jumlah banyak sekali, semua duri tajam itu mengarah kebawah kearah kolam.
Seakan seluruh permukaan kolam itu dipasang jeruji semacam itu untuk mencegah sesuatu keluar dari kolam itu, entah makhluk seperti apa yang berada didalam kolam itu, akan tetapi jelas pemasangan jeruji semacam itu menunjukkan kalau mahkluk itu sangat berbahaya.
Penasaran pemuda itu melangkah ke arah kolam sebelah kanan dan menemukan hal yang sama.

Setelah puas mengamati dan tak mampu menemukan alasan keanehan di kedua kolam itu maka Sancaka mulai melangkah maju menyusuri jalan ditengah ruang bawah tanah itu.
Setelah sampai ditengah barulah sancaka dapat melihat bagian diujung sana, ternyata ruang bawah tanah ini cukup panjang, mungkin ada sekitar seratus meteran lebih. Kolam yang memanjang dikiri dan kanan jalan yang dilalui Sancaka hanya sampai kira-kira sepertiga panjang ruang bawah tanah ini saja.
Sepertiga bagian diujung sana merupakan ruangan dengan lantai yang luas. Hanya saja bagian diujung sana kurang diterangi oleh penerangan karena banyak tiang-tiang obor disekeliling lantai itu yang agaknya tidak menyala.

Ketika Sancaka telah mendekati bagian lantai yang luas itu, pemuda itu melihat ada empat rantai ukuran sedang yang berwarna putih kekuningan yang memanjang dari dasar bagian tengah-tengah lantai kearah langit-langit. Rantai-rantai tampak bergoyang dan mengendur, mata pemuda itu dengan penasaran mengikuti arah rantai itu.

Reflek pemuda itu meloncat mundur dan menjerit tertahan, obor ditangannya nyaris lepas, betapa tidak, pemuda itu seakan melihat hantu ketika sesosok bayangan hitam melayang turun bersamaan dengan mengendurnya rantai itu.
Jantung pemuda itu berhenti berdenyut dan mukanya pucat pasi, matanya tak lepas kearah sosok bayangan hitam itu, walaupun lututnya terasa goyah gemetar saking takutnya.

Sedetik kemudian pemuda itu menjerit histeris, melemparkan obor ditangannya dan langsung berbalik serta lari tunggang-langgang ketika sosok hitam itu melesat cepat kearahnya diikuti bunyi gemerincing yang nyaring.
Sancaka berlari sekuat dia mampu, dan langsung menaiki tangga yang tadi dituruninya, baru beberapa anak tangga pemuda itu telah tergelincir dan jatuh tersungkur, tangan dan kakinya terasa nyeri bukan main karena terbentur sudut-sudut anak tangga itu.
Sambil mengelus tangan dan kakinya pemuda itu melihat kearah belakang, ternyata sosok bayangan hitam itu masih mengejarnya, hanya saja kini tidak melesat cepat hanya melayang dan mengambang perlahan kearahnya.
Rasa nyeri ditangan dan kakinya membuat pemuda itu tidak dapat bergerak lagi. Dia hanya bisa diam pasrah menunggu. Tampak keringat dingin telah bermunculan di kening pemuda yang ketakutan setengah mati itu.

Ketika sosok bayangan hitam itu hampir sampai di anak tangga pertama, Sancaka tidak kuat lagi menahan takutnya, pemuda gagah itu langsung terkulai dan jatuh pingsan.

****

Sancaka membuka matanya, tubuhnya terasa dingin, setelah bangkit duduk barulah ia menyadari bahwa ia tadi terbaring diatas semacam altar dari batu pualam putih, ukuran altar ini cukup besar paling tidak berukuran dua kali tiga meter.
Matanya nanar memandang ke sekeliling, dia masih berada di ruang bawah tanah sialan ini rutuknya. Pemuda itu meraba bagian belakang kepalanya yang terasa sakit, agaknya karena terbentur sudut anak tangga ketika dia pingsan tadi.

Sancaka meloncat turun dengan muka pucat, dia baru teringat dengan sosok bayangan hitam yang menakutkan itu.

“Namamu Sancaka bukan?”, terdengar suara seperti suara wanita berbisik di telinga kanan Sancaka.

Refleks Sancaka menoleh kekanan, “Iya … ben..”, jawaban pemuda itu terhenti karena tidak ada seorangpun disebelah kanannya.

“Ada yang hilang anak muda?”, kembali terdengar suara seperti suara wanita itu berbisik di telinga kiri Sancaka, pemuda itu refleks menoleh kekiri dan langsung jatuh tersungkur, sebuah tamparan kuat hinggap dipipi pemuda itu sebelum ia sempat melihat suara siapa itu.

“Diam dan jangan bergerak tanpa kuperintah!”, terdengar suara seperti suara wanita itu membentak dengan marahnya.

“Pertama … kau tidak akan dapat keluar dari tempat ini melalui pintu darimana engkau masuk … karena pintu itu hanya berfungsi satu arah saja”, terdengar kembali bisikan di telinga kiri Sancaka.

“Kedua … kau tidak akan dapat keluar melalui jalan lain tanpa bantuanku”, kini bisikan itu terdengar di telinga kanan Sancaka.

Pemuda jangankan bergerak, menoleh saja dia sudah tidak berani lagi.

“Sekarang bangun dan berdiri diatas altar itu!”, terdengar suara itu membentak lagi. Sancaka segera bangun dan naik berdiri diatas altar itu. Tampak bayangan hitam berkelebat kesekeliling ruangan dimana altar itu berada dan kini bagian ujung ruang bawah tanah itu menjadi terang benderang, kiranya bayangan hitam itu telah menghidupkan seluruh obor yang ada.

Sancaka melihat sosok bayangan hitam itu masih mengambang melayang di sudut kanan setelah menghidupkan tiang obor terakhir dilantai itu, sosok bayangan itu kemudian berbalik dan melayang mendekat kearah Sancaka.

Sosok bayangan itu berhenti persis didepan sancaka, kemudian tangannya bergerak keatas menyingkapkan tudung kepalaya, Sancaka mengawasi dengan lutut gemetar, sekuat tenaga pemuda itu menahan rasa takutnya.

Sesosok wajah muncul dihadapan pemuda itu, sosok wajah yang membuat Sancaka menatap terbeliak, sesosok wajah yang cantik jelita dengan senyum manis muncul dari balik tudung hitam itu.
Sosok bayangan hitam yang begitu ditakutinya ternyata adalah seorang wanita cantik, bodoh dan memalukan sekali kau ini makinya pada diri sendiri.

Melihat reaksi Sancaka wanita itu tertawa geli, seluruh bulu roma ditubuh Sancaka langsung berdiri, pemuda itu melihat betapa diantara barisan giginya yang putih rapi dan bagus itu, gigi taring wanita itu lebih panjang dari barisan giginya yang lain, walapun tidak sedikitpun mengurangi kecantikan wanita itu tetapi tetaplah menimbulkan kesan seram bagi Sancaka.

Tangan wanita itu kembali bergerak menanggalkan jubah hitam tebal yang dikenakannya, kembali Sancaka melongo dengan jakun turun naik.
Wanita itu kini hanya mengenakan gaun putih tipis yang membayangkan lekak-lekuk tubuhnya yang jelas tidak mengenakan apa-apa selain gaun tipis itu. Bentuk tubuh yang memang indah dan ditambah wajah yang cantik itu membayangkan kedewasaan wanita yang sudah matang.
Ukuran bahu, pinggang dan pinggulnya, buah dada yang cukup besar bulat menantang, belahan gaun di bagian pinggul itu memperlihatkan kedua pahanya yang putih mulus dengan kaki yang jenjang, membuat tubuh itu benar-benar sempurna.

Hanya pandangan pemuda itu sedikit terpaku pada pergelangan tangan dan kaki wanita itu, ada belenggu dengan rantai panjang berwarna putih kekuningan dimasing-masing pergelangan itu.
Hanya saja tidak terlihat bekas-bekas luka disana, seakan si wanita dapat mengenakan belenggu itu dengan nyaman-nyaman saja, tidak sedikitpun membuatnya terganggu.

Wanita itu melayang semakin mendekat dan menjejakkan kakinya tepat dihadapan pemuda itu, wajahnya hanya terpisah beberapa jari dari wajah Sancaka, hembusan nafasnya yang hangat dan harum menerpa wajah pemuda itu, “Namaku Rianti … Untuk dapat keluar dari sini kau harus memberikan tiga macam kepuasan bagiku” bisiknya.

Kedua tangan Rianti mulai bergerak menanggalkan seluruh pakaian Sancaka, binar dimatanya menunjukkan bahwa dia menyukai apa yang dilihatnya. Rianti pun kembali melayang sedikit menjauhi Sancaka sambil menanggalkan seluruh pakaiannya.

“Kauperhatikan rantai yang membelengguku ini … disetiap pangkalnya terdapat sebuah rol penggulung rantai dengan mekanisme pengunci … gulung dan kencangkan rantai-rantai ini serta kuncikan”, perintah Rianti, kemudian tubuhnya melayang dalam posisi terlentang dengan ketinggian kira-kira sepinggang Sancaka.

Sancaka bergerak kearah salah satu pangkal rantai itu didinding, ada sejenis rol dengan roda penggulung dilengkapi pengait di roda-roda giginya, jika pengait itu diturunkan maka roda gigi tidak dapat berputar, agaknya itulah mekanisme pengunci yang dimaksud Rianti tadi.
Sancaka memutar roda penggulung itu dan terdengar gemerincing rantai yang tertarik, agaknya yang sedang diputarnya ini adalah bagian rantai di tangan kanan Rianti. Sancaka terus memutar sementara Rianti tampak menahan, “Cukup … Kuncikan!” dan pemuda itu segera memasang pengait keroda gigi penggulung itu setelah mendengar teriakan Rianti
Setelah keempat rantai itu tertarik kencang, kini posisi Rianti tampak terlentang mengambang dengan kaki dan tangan terpentang lebar seperti orang hukuman.

“Tugas pertamamu … tunjukkan keperkasaanmu, setubuhilah aku yang tak berdaya ini dengan buas sesukamu sampai terpuaskan nafsuku!”, perintah wanita itu.

Sancaka terbengong sejenak, tidak salahkah pendengarannya, ataukah memang wanita cantik ini memiliki kelainan jiwa.

“Setan kau Sancaka … tidak kau dengarkah perintahku!”, Rianti menjerit histeris.

Sancaka segera mendekat kearah selangkangan wanita itu, belahan vagina itu terlihat masih rapat, agaknya sudah sekian lama tidak terjamah. Aroma khas yang tercium dari sana mulai membuat batang penisnya bangun berdiri.

Tangannya meraba mulai dari paha dan terus keatas, kemudian diremas-remasnya buah dada Rianti, sambil menggesek-gesekan kepala penisnya dibelahan vagina wanita itu. Rianti hanya diam dengan mata dan mulut terkatup rapat.

Sancaka mulai tak tahan lagi, siapa yang tahan disuguhi tubuh molek seperti ini pikirnya, diarahkannya kepala penisnya ke belahan vagina Rianti, Sancaka berusaha menekan dan kepala penisnya mulai membelah bibir vagina wanita itu.
Hanya saja setelah kepala penisnya masuk terasa betapa liang vagina Rianti menjepit kuat seakan tak merelakan batang penis Sancaka untuk menerobos lebih jauh.

Sancaka kembali mendorong akan tetapi kepala penisnya hanya berhasil maju sedikit saja, jepitan liang vagina Rianti benar-benar menghalangi gerakannya.
Sancaka segera memegang pinggul Rianti dan segera mengambil ancang-ancang, tidak mungkin aku tak sanggup menembus pertahananmu tekad pemuda itu, kedua tangannya menarik pinggul itu kuat-kuat dan bersamaan dengan itu ia menggerakkan pinggulnya dengan dorongan kuat.

Batang penis Sancaka menembus jepitan kuat liang vagina Rianti, pemuda itu merasakan sedikit ngilu di kepala penisnya, “Terkutuk!” jerit Rianti dan kepalanya terkulai, liang vaginanya masih berusaha menjepit dengan kuat.

Sancaka gemas juga mendengar makian-makian Rianti sejak tadi, diapun mulai terbakar emosi, dengan tanpa ragu-ragu lagi dia mulai menghunjam-hunjamkan penisnya dengan kuat ke liang vagina Rianti.

Perlawanan gadis itu mulai mengendur, jepitan liang vaginannya sudah tak sekuat tadi, akan tetapi mulutnya terus-menerus memaki-maki Sancaka dengan segala macam sumpah serapah.
Sancaka terbakar sudah emosinya, sumpah serapah Rianti dibalasnya dengan hunjaman-hunjaman cepat dan liar.

Jepitan-jepitan liang vagina Rianti disetiap hunjaman batang penisnya tak urung menambah kenikmatan bagi Sancaka.
Tetapi pemuda itu tetap berusaha bertahan, dia ingin menunjukkan kepada wanita aneh ini bahwa dia sanggup memberikan kepasan padanya.
Untungnya pertempuran dengan Tantri sebelumnya telah sedikit membantu membuat pertahanan Sancaka tidak lekas jebol.

Sampai akhirnya Rianti mengejang hebat dan meronta-ronta tak terkendali, “Terkutuk! … Terkutuk!”, jeritnya histeris.
Tangan dan kakinya menyentak-yentakkan rantai yang mengekangnya, keempat rol penggulung itu sampai berderak-derak dibuatnya.
Sancaka meloncat mundur dan terlongong bingung.

Setelah Rianti tidak lagi tersentak-sentak Sancaka melangkah mendekati tubuh yang tergantung itu. Dilihatnya ada sisa-sisa aliran air mata di pipi Rianti, “Lepaskan semua pengait rantai terkutuk itu Sancaka”, bisik wanita itu merintih.

Sancaka berlari melepas semua pengait itu, tubuh Rianti jatuh terkulai dilantai. Sancaka segera berlari kembali dan merengkuh tubuh Rianti kedalam pelukannya. Rianti terisak didada pemuda itu.

“Terima kasih Sancaka … aku masih belum mampu melupakan peristiwa terkutuk itu … peristiwa terkutuk ketika aku diperkosa dulu”, rintih Rianti, “peristiwa yang paling kubenci … tapi dasar terkutuk … peristiwa itu pula yang pertama memperkenalkan kenikmatan itu padaku”.

Sancaka membiarkan Rianti menangis sepuasnya.

****

Setelah puas menangisi diri, Rianti segera bangkit berdiri, kini gadis itu memandang mesra kearah Sancaka sambil tersenyum manis.
Tak sedikitpun tampak sisa-sisa kesedihannya tadi, benar-benar wanita yang aneh pikir Sancaka.

“Sekarang tugas keduamu Sancaka … aku ingin kau mencumbu aku dengan penuh kemesraan dan luapan birahi”, katanya.

Rianti kemudian melayang tinggi kelangit-langit ruang bawah tanah itu, dan melayang turun kembali sambil duduk diatas semacam ayunan dari jalinan kain-kain sutera warna-warni yang juga tergantung pada dua rantai yang juga berwarna putih kekuningan.
Dan ayunan itu berhenti diketinggian yang pas sama dengan Sancaka yang dalam keadaan berdiri.

Sejenak ia membiarkan mata pemuda itu kembali menjelajahi tubuh telanjangnya, setelah itu dengan jari telunjuknya ia memberi isyarat agar pemuda itu mendekat kearahnya.
Sancaka dengan gemetar melangkah mendekat kearah Rianti dengan nafas yang sudah tak terkendali lagi.
Melihat pemuda itu masih dapat menahan diri walaupun jelas terlihat betapa sudah sangat ingin menerkam tubuh telanjangnya membuat Rianti semakin menyukai pemuda itu.

Setelah langkah Sancaka semakin dekat wanita itu membentangkan tangannya menyambut, Rianti membuka kedua pahanya dan dengan perlahan mengaitkan kakinya ke sekeliling pinggul pemuda itu, sehingga gerakan maju pemuda pas berhenti dengan posisi batang kemaluannya yang sudah tegang itu bergesekan dengan belahan vagina Rianti.
Rianti memejamkan matanya dan mendesis lirih.

Sancaka sudah tidak dapat menahan diri lagi, segera dipeluknya tubuh telanjang itu, dipagut dan dilumatnya bibir Rianti, Rianti pun membalas tak kalah ganasnya.

Kedewasaan Rianti dan semakin berpengalamannya Sancaka membuat keduanya dengan mudahnya menyelaraskan gerakan dan posisi pinggul masing-masing. Dengan mudah kepala penis Sancaka menemukan menyusup ke dalam liang vagina Rianti.
Dengan satu sentakan seluruh batang penis pemuda itu langsung menghunjam kedalam vagina Rianti.
Lumatan bibir keduanya langsung terhenti berganti desahan dan geraman nikmat.

Sancaka langsung menyambar dan dengan ganas mulai melumat buah dada Rianti, Rianti mendesis dan berusaha mengimbangi dengan mengoyang-goyangkan pingulnya. Liang vagina Rianti mulai menunjukkan jati dirinya, liang vagina wanita itu rupanya memiliki otot-otot yang sudah terlatih sempurna, Sancaka menyedot kuat puting susu wanita itu dan menggeram nikmat merasakan remasan dan sedotan liang vagina Rianti.

Pemuda itu tidak mau kalah telak dalam pertempuran perdana ini, ditegakkannya tubuhnya dan dibukanya jepitan kaki wanita itu, dipegangnya kedua pergelangan kaki Rianti dan kemudian dibentangkannya selebar mungkin.
Sancaka mulai menggerakkan pingulnya memompa dan menghunjamkan batang penisnya keluar masuk liang vagina wanita itu, membuat Rianti mendesis nikmat sambil meremas-remas buah dadanya sendiri.
Semakin lama gerakan Sancaka semakin cepat dan kuat, diiringi bunyi plak-plok dan sumpah serapah yang keluar dari mulut Rianti. Agaknya benar bahwa kenikmatan membuat mulut wanita itu menjadi tidak terkontrol.
Anehnya seperti tadi, semua sumpah serapah itu semakin menyemangati gerakan Sancaka, membuat gerakan pemuda itu semakin liar dan ganas.

Sampai suatu saat Rianti mendelik dan menjerit nyaring, “Seetaan!”, terdengar suaranya menggeram dan kakinya menyentak kuat, dan tubuhnya bergetar hebat melenting-lenting seperti cacing kepanasan dengan kedua tangan menutup muka, penis Sancaka sampai tercabut dari liang vaginannya, Sancaka berusaha tetap memegang pergelangan kaki wanita itu walaupun cukup sulit dan membuat lengannya terasa ngilu.
Hebatnya tubuh Rianti tidak terjatuh dari ayunan itu, tubuhnya melayang sesuka hatinya seperti tidak mengakui adanya hukum gravitasi.
Cukup lama sampai tubuh wanita itu mulai tenang dan hanya terdengar suara nafasnya yang terengah-engah.

Rianti memandang mesra kearah Sancaka, “Setan kamu Sancaka! Sudah lama aku tidak merasakan kenikmatan terkutuk ini!”, makinya sambil tersenyum manis.
Tangannya terjulur dan Sancaka mengerti segera dipeluknya tubuh gadis itu, “Kamu sudah memenuhi permintaanku dan telah memberikan kepuasan yang kedua”, bisik gadis itu, Sancaka hanya tersenyum dan langsung menyambar bibir gadis itu, kembali keduanya berciuman dengan ganas.
Rianti membiarkan pemuda itu kembali menetek dengan ganas didadanya, tangannya meremas-remas rambut pemuda itu dengan gemas.

Ditahannya kepala pemuda itu dan didorongnya menjauh, Sancaka terpaksa menghentikan kesenangannya sejenak, Rianti melayang turun dari atas ayunan itu.
Dengan gerakan jari telunjuknya ia memberi perintah, dan Sancaka dapat dengan mudah mengerti maksud wanita itu.
Kini gantian dia yang duduk diatas ayunan sutera itu, tangannya berpegang pada pangkal ayunan itu. Rianti segera melayang keatas dan menduduki tubuh pemuda itu.

Tangan kanannya menekan dada Sancaka dan tangan kirinya terjulur kebelakang, diraihnya batang penis pemuda itu, diangkatnya pantatnya dan diarahkannya kepala penis pemuda itu ke liang vaginanya.

Rianti tersenyum manis kearah Sancaka, “Sekarang giliranmu untuk diam dan jangan membalas”, bisiknya dan mulai menurunkan pantatnya, batang penis pemuda itu kembali memasuki lorong kenikmatan yang tadi meninggalkannya.
Rianti mulai memompa sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya, kembali remasan dan sedotan liang vagina wanita itu membuat Sancaka mengejang keenakan, ingin sekali dia meremas-remas buah dada yang menggantung dihadapannya tetapi kedua tangannya harus dipergunakan bergantung pada ayunan sialan ini, membuat pemuda itu hanya dapat menggeram keenakan.

Rianti tampaknya benar-benar ingin menaklukkan pemuda itu, gerakan pinggulnya cepat dan terkontrol baik, Sancaka benar benar tak dapat bertahan lagi. Mata pemuda itu terpejam rapat dan tarikan nafasnya nafasnya mulai tersendat-sendat. Sancaka mendongakkan kepalanya mencoba bertahan dari deraan kenikmatan yang diberikan Rianti.

Pemuda itu tak melihat betapa mata Rianti berkilat melihat urat nadi di leher Sancaka yang membesar dan berdenyut kencang.

Tepat ketika Sancaka telah mendekati detik-detik akhir pertahanannya, Rianti membungkuk dan membenamkan mukanya keleher pemuda itu, gerakan pinggulnya menjadi liar tak terkendali, dan tepat ketika Sancaka mengeram kuat dan sedang terhempas di puncak kenikmatan, pemuda itu memeluk erat tubuh Rianti dan tak sedikitpun merasakan ketika Rianti segera menancapkan taringnya ke urat nadi dileher pemuda itu.

Kenikmatan yang amat sangat ditambah terputusnya sebagian aliran darah keotaknya membuat pemuda itu terkulai pingsan dalam pelukan wanita itu
Rianti melepas pagutannya, dia tidak ingin membunuh pemuda itu, dahaganya telah terpenuhi sudah.
Tanganya menyeka bibirnya yang sedikit berlepotan darah, bibir itu tersenyum manis sekali, dikecupnya kening Sancaka dan berbisik, “Kepuasan ketiga”, dengan sekali kelebatan saja Rianti sudah menghilang dari tempat itu.

****

Sancaka terbangun dengan kepala yang terasa berat, dia mencoba memandang ke sekelilingnya, akan tetapi pandangannya terasa berkunang-kunang, tubuhnya terasa lemah sekali.
Rupanya dia masih terbaring diatas altar yang sama.
Sancaka berusaha turun dari altar itu, akan tetapi seluruh persendiannya terasa goyah, diapun kembali tersandar di altar itu.

“Duduk dan beristirahatlah dulu … kau tak akan dapat keluar dengan tubuh lemah seperti itu”, terdengar suara Rianti menegurnya, dan tampak gadis itu melayang mendekat dengan nampan besar ditangannya.

“Makanlah agar tenagamu segera pulih”, lanjut gadis itu sambil menyusun makanan diatas altar itu dari nampan yang dibawanya.

Sancakapun tidak mau membantah, pemuda itu makan dengan lahapnya. Rianti hanya diam dan duduk diatas ayunannya memperhatikan sambil tersenyum.

Setelah makan Sancaka merasa lebih baik. Dan baru pemuda itu menyadari lehernya sebelah kiri terasa nyeri, dirabanya dan terasa ada dua bekas luka kecil yang telah mengering disana. Akan tetapi dia tidak tahu bekas luka apa itu.

“Itu luka bekas gigitanku … masih sakitkah?” terdengar suara Rianti menjelaskan.

“Tidak … lain kali kalau mau gigit pelan-pelan yah”, jawab Sancaka tertawa. Tidak menyadari bahwa gigitan Rianti bukanlah gigitan sembarangan.

Rianti hanya tersenyum manis, dan tidak memberikan penjelasan lebih jauh.

****

Akhirnya dengan bantuan Rianti Sancaka dapat keluar dari ruang bawah tanah itu dan kembali ke Villa tempatnya tinggal, ketika ia keluar dari ruang bawah tanah itu hari sudah mulai siang. Sancakapun langsung mengambil kuda dan melaksanakan tugas hariannya, memeriksa perkebunan.
 
Chapter 7
BAHAYA MULAI MENGANCAM

Sancaka menunggangi kudanya dengan perlahan sambil memeriksa perkebunan yang menjadi tanggung jawabnya, tubuhnya masih terasa lemah, agak sedikit kurang tenaga, hanya saja pemuda itu belum menyadari betapa dia cukup banyak kehilangan darah akibat gigitan Rianti semalam.

“Tuan Muda … Tuan Muda Sancaka!”, terdengar teriakan seseorang.

Sancaka menahan laju kudanya dan menoleh kearah sumber suara itu, ternyata Pak Udin yang memanggil-mangil namanya sambil memacu kudanya, “Selamat siang Tuan Muda … saya mendapat tugas dari Tuan Besar untuk menyampaikan beberapa hal kepada Tuan”, kata orang tua itu setelah menghentikan kudanya disisi Sancaka.

“Ya silahkan Pak udin … sambil jalan saja ya Pak”, kata Sancaka sambil menyentakkan tali kekang ditangannya, kudanya pun mulai berjalan lagi dengan langkah pelan.

“Baik Tuan Muda”, sahut orang tua itu sambil mengimbangi langkah kuda Sancaka.

Pak Udin mulai menyampaikan pengarahan-pengarahan dari Tuan Frantzheof de Van Pierre untuk Sancaka mengenai masalah-masalah perkebunan yang perlu mendapat perhatian khusus dari Sancaka.
Sancaka hanya mendengarkan dan sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Saya rasa hanya itu pesan-pesan dari Tuan Besar untuk Tuan Muda … kalau rasanya ada yang kurang jelas saya menyampaikannya mohon Tuan Muda menanyakannya langsung kepada Tuan Besar”, kata orang tua itu.

“Cukup jelas kok Pak Udin … yang disampaikan Pak Udin sudah cukup jelas … kalau Pak Udin tidak ada pekerjaan lain tolong temani saya memeriksa perkebunan hari ini”, kata Sancaka sambil tersenyum.

“Baik Tuan Muda”, sahut orang tua itu.

Demikianlah Pak Udin menemani Sancaka memeriksa perkebunan hari itu, karena para mandor lapangan telah mengerjakan pengarahan yang diberikan Sancaka hari sebelumnya, dan dilihat oleh pemuda itu semuanya sudah berjalan dengan cukup baik maka Sancaka tidak memberikan pengarahan tambahan hari itu kepada para mandor lapangan, dia hanya berkeliling dan mengawasi saja.
“Sudah siang nampaknya … sebaiknya kita istirahat dulu Pak Udin”, kata pemuda itu sambil membuka syal miliknya.

“Ya Tuan Muda … mungkin makan siang telah disiapkan di pondok istirah…ASTAGA!”, orang tua itu terdengar menjerit tertahan dan terjatuh dari kudanya karena tanpa sadar orang tua itu telah meloncat saking kagetnya.

“Ada apa Pak?”, tanya Sancaka kaget sambil menoleh kesana-kemari, dia tidak menemukan binatang buas atau ular atau sesuatu yang aneh yang dapat membuat orang tua itu menjadi kaget seperti itu.

“Tidak ada apa-apa Tuan Muda … Tidak ada apa-apa”, sahut orang tua itu dengan gugup sambil berusaha menaiki kudanya kembali.

Sancaka melihat betapa tangan orang tua itu sedikit gemetar dan raut mukanya menunjukkan ketakutan yang sangat.
Akan tetapi pemuda itu tidak berkomentar lebih jauh, akan kutanyakan nanti setelah istirahat dan makan siang pikir pemuda itu.

****

Sore itu Sancaka begitu sampai di Villa tempatnya tinggal langsung terduduk melamun di teras depan.
Begitu dalamnya pemuda itu tenggelam dalam lamunannya sendiri, sehingga tak menyadari seorang gadis telah berdiri cukup lama mengamati dibelakangnya, seorang gadis manis berkulit dengan postur tubuh tinggi semampai, mata sipit gadis itu memandang kasihan kearah Sancaka.

Gadis itu bernama Sari, selir ke-2 dari Tuan Frantzheof de Van Pierre, kulit putih dan mata sipitnya menegaskan daerah asalnya, sekuntum bunga dari Borneo yang telah berhasil dipetik oleh si Tuan Londo.

Gadis itu tadinya sedang membereskan kamar Sancaka, setelah mendengar kedatangan pemuda itu dan karena hari telah larut senja dan matahari sudah hampir tenggelam, dia pun keluar membawakan kimono untuk Sancaka, melihat Sancaka terduduk melamun diapun hanya terdiam memeluk kimono itu.

“Ehem…”, gadis itu berdehem kecil untuk menarik perhatian sancaka, karena sudah cukup lama dia berdiri disana dan agaknya pemuda itu sedikitpun tidak menyadari kehadirannya.
Buyarlah lamunan pemuda itu, ditolehnya kebelakang dan segera terlihat olehnya Sari yang tersenyum manis kearahnya.

Gadis itu melangkah ke hadapan Sancaka, kemudian berjongkok didepan pemuda itu sambil meletakkan kimono yang tadi dibawanya keatas pangkuan Sancaka dan mulai membuka sepatu Sancaka, “Apa sih yang dipikirkan Tuan … kok sejauh itu lamunannya … sampai-sampai nggak menyadari kehadiran gadis secantik Sari ini”, godanya sambil sesekali melirik kearah wajah pemuda itu.

“Nggak ada kok … cuma istirahat dan menikmati rokok”, jawab Sancaka sekenanya sambil tersenyum, diulurkannya tangannya membelai rambut gadis itu, “Ooo … Nggak ada apa-apa yach”, terdengar suara gadis itu bergumam sambil meletakkan sepatu Sancaka di bawah kursi teras itu.

“Kalo nggak ada apa-apa … berarti Sari boleh ngapa-ngapin nich”, kedua tangannya mengambil kimono dipangkuan Sancaka, membeberkan dan menyelimutkannya ke tubuh pemuda itu. Kemudian dia pun menyelinap kedalam dan mulai mengelus-elus batang penis yang masih tersimpan didalam celana pemuda itu.
Sancaka hanya tersenyum membiarkan.

Sari mulai membuka celana pemuda itu dan berusaha mengeluarkan batang penis yang telah mulai tegang itu. Sancaka menoleh kekanan-kekiri takut ada orang lain yang melihat keisengan gadis itu.
“Sari ini masih diteras … nanti dilihat orang”, bisik Sancaka setengah mendesis ketika Sari mulai mengulum dan menyedot kepala penisnya.
Sancaka hanya bisa terdongak dengan mata terpejam, tak bisa protes lagi ketika kuluman dan jilatan gadis itu semakin aktif.

Melihat usahanya membangkitkan kehidupan di dunia bawah pemuda itu telah berhasil, Sari segera melepaskan kulumannya dari kepala penis pemuda itu, “Males ach … Sari mau bobok di kamar aja .. terusin sendiri aja yach”, katanya bangkit berdiri dan melihat muka Sancaka yang sedikit bingung, gadis berlari ke arah kamar tidur sambil tertawa geli.

Sancaka segera mengejar gadis itu kedalam, gadis sialan pikirnya gemas, masak udah dikasih pemanasan terus ditinggal.

Diatas tempat tidur tampak Sari masih cekikian geli sambil terbaring terlentang dengan tangan terbuka lebar memberi sambutan. Sancaka segera menerkam gadis itu. Dilumatnya dengan ganas bibir gadis itu dan kedua tangannya segera membukai seluruh pakaiannya dan pakaian gadis itu.

Dipegang dan diangkatnya kedua lutut gadis itu dan dipentangkan kekiri dan kekanan, batang penisnya yang sudah tegak menantang sejak tadi segera mencari sasaran, kepala dan batang penisnya segera masuk dan tenggelam kedalam liang vagina gadis itu.

Sancaka mulai memompa dan menghentakkan pinggulnya, hunjaman yang cepat dan dalam dari batang penis Sancaka membuat gadis itu mendesah-desah dengan kuat, gadis itu berusaha menarik kepala Sancaka mengharapkan ciuman, akan tetapi Sancaka tidak mengindahkan dan terus memompa.
Sambil mempercepat gerakan pinggulnya Sancaka mulai melumat buah dada gadis itu, mulutnya mengulum da menyedot putting susu gadis itu dengan kuat.
“Auch .. Sari nggak kuat nahan enaknya” bisik gadis itu berulang-ulang sambil sesekali menjilat atau menggigit telinga Sancaka.

Sancaka pun sudah mendekati puncaknya, gerakan pinggulnya semakin cepat tak beraturan lagi, suara erangan dan desahan dari keduanya semakin kuat.
“Auch … dikit lagi … dikit lagi”, desahan dan rintihan Sari membuat gerakan pinggul Sancaka semakin cepat dan kuat, akhirnya dengan satu sentakan kuat Sancaka menghunjamkan seluruh batang penisnya ke dalam liang vagina gadis itu.
Keduanya saling berpelukan erat dan sama-sama menggeram nikmat, terlihat tubuh keduanya sesekali mengejang, menghabiskan sisa orgasme yang telah mereka capai disaat bersamaan tadi.

Sari mengulurkan tangannya kebawah, mengeluarkan batang penis pemuda itu dari liang vaginanya, dan mengurut batang penis itu dari bawah keatas, jari telunjuknya segera menumpulkan sisa cairan kenikmatan pemuda itu, untuk kemudian dengan nikmatnya dia mengulum jarinya itu.
Sancaka tersenyum geli dan mencubit hidung gadis itu, “Diantara selir-selir yang lainnya … kamu memang yang paling nakal”.
“Tapi suka khan?”, balas gadis itu sambil memeluk dan mengecup pipi Sancaka, “Capek dan gerah nich … mandi yuk” bisiknya lagi.

Sancaka mengangguk dan bangkit berdiri. Keduanya segera menuju tempat pemandian sambil terus bercanda.

****

Malam harinya, setelah sebelumnya memastikan bahwa Sari telah benar-benar tertidur pulas, Sancaka segera memacu kudanya kearah Villa Darah, malam ini bukanlah malam Bulan Purnama jadi pemuda itu dapat leluasa memacu kudanya tanpa takut ketahuan Tuan Frantzheof de Van Pierre.

Keterangan dari Pak Udin tadi siang masih membebani pikirannya, menurut Pak Udin gigitan di lehernya bukanlah gigitan sembarangan, gigitan yang dapat saja menimbulkan kematian, akan tetapi orang tua itu langsung bungkam tidak mau memberi keterangan lebih jauh.
Memang Sancaka tidak mau memberitahukan kepada Pak udin siapa yang telah menggigitnya ketika orang tua itu bertanya tadi siang.
Ditambatkannya kudanya agak jauh dibelakang Villa Darah.

Tanpa kesulitan Sancaka telah berada di pintu masuk ruang bawah tanah di Villa Darah, setelah meraih salah satu obor di dinding pemuda itu langung melangkah menuruni tangga kebawah.

Baru turun tiga anak tangga pemuda itu langsung tersenyum kagum ketika mendengar gema suara Rianti bertanya, “Ada apa kau kemari lagi Sancaka … Apa belum cukup tiga kepuasan yang kuberikan kemarin?”.

“Darimana kau tahu bahwa ini aku Rianti?”, tanya pemuda itu sambil terus berjalan menuruni tangga.

“Bau tubuhmu Sancaka … bau tubuhmu telah tercium olehku sejak saat kau membuka jalan masuk tadi … bau tubuh yang tercampur bau khas sisa-sisa bertempur memuaskan nafsu”, terdengar suara Rianti yang diiringi tawa geli wanita itu.

“Jangan bilang bahwa kau cemburu Rianti”, goda pemuda itu sambil terus menuruni tangga. Tidak terdengar jawaban wanita itu. Sancaka telah sampai di anak tangga terakhir, tidak terlihat Rianti disekitar tempat itu, pemuda itu langsung melangkah menuju ujung ruang bawah tanah itu.

“Jangan mempermainkan aku Rianti … ada sesuatu yang ingin kutanyakan”, kata pemuda itu sambil terus melangkah.

Setelah sampai dibagian ruangan dimana dia dan Rianti kemarin mengumbar nafsu birahi, barulah Sancaka menemukan sosok Rianti yang ternyata berbaring terlentang diatas altar ditengah ruangan itu dengan mata terpejam seperti orang tidur, Sancaka tertegun sejenak, bukan karena tubuh terlentang Rianti yang menggairahkan, tetapi karena kejanggalan yang tidak masuk logikanya, kalau wanita itu sejak tadi terbaring dialtar ini, bagaimana dia dapat mencium bau tubuh Sancaka dan bahkan bau sisa pertempurannya tadi dengan Sari sejak saat ia masuk ruang bawah tanah ini.

Melihat tidak ada reaksi dari Rianti, Sancaka segera mendekat dan duduk disamping tubuh terlentang yang memang menggairahkan itu, wanita itu mengenakan kimono sutera tipis warna ungu. Tangan Sancaka segera terulur menyingkap belahan baju didada wanita itu, tak tertahan pemuda itu langsung membungkuk dan menetek disana dengan penuh nafsu.
Ketika Sancaka mengangkat mukanya dilihatnya Rianti hanya memandangnya dengan tersenyum.

“Bagaimana maumu malam ini Sancaka … bertarung dulu baru bertanya ataukah bertanya dulu baru bertarung”, tanya Rianti sambil membelai pipi Sancaka dengan mesra.

Baru saja pemuda itu hendak membuka mulutnya menjawab, Rianti langsung menutup mulut Sancaka, “Ssst … aku ingin memberikan kepuasan buat kamu … anggap saja balasan untuk kepuasanku dalam pertarungan kemarin”, bisiknya.

Rianti bangkit duduk dan mendorong tubuh Sancaka hingga rebah terlentang, kemudian wanita cantik itu berdiri tegak diatas tubuh pemua itu dengan kaki terpentang lebar, setelah melempar senyum nakal kepada Sancaka, diapun mulai menggerakkan tubuhnya, meliuk-liuk dengan gerakan tari yang sangat erotis, kedua tangannya mulai menanggalkan kimono tipisnya.

Sambil menari itu setiap Rianti kali meliuk-liuk sambil berjongkok diatas tubuh Sancaka akan ada satu bagian pakaian pemuda itu yang terbuka, Sancaka hanya dapat diam dan membiarkan satu-persatu pakaiannya terlepas sambil menikmati suguhan tarian erotis yang dimainkan Rianti.

Sesekali pula Rianti meliuk-liuk sangat rendah, menggesekkan buah dada ke pipi dan dada Sancaka, dan setiap kali itu pula Rianti tersenyum genit melihat reaksi Sancaka, dia tak membiarkan mulut pemuda itu melahap buah dadanya.
Membuat Sancaka semakin konak saja.

Setelah puas menari Rianti melangkah mundur dan duduk bersimpuh diantara kedua kaki pemuda itu, sambil terus tersenyum genit diangkatnya kaki kanan Sancaka, lidahnya mulai merambat dari ujung kaki pemuda itu, dengan perlahan terus merambat ke betis dan paha pemuda itu, sampai di pangkal paha pemuda itu lidahnya segera menyapu habis kedua buah zakar pemuda itu, jilatannya merambat naik ke batang dan kepala penis pemuda itu, cukup lama jilatan gadis itu naik-turun disana, untuk kemudian melakukan hal yang sama dengan kaki kiri pemuda itu.
Sancaka hanya dapat menahan nafas menikmati perbuatan Rianti.

Mulut Rianti dengan lahap mulai menjilat dan menyedot kepala penis pemuda itu, sesekali dengan perlahan kepala dan batang penis pemuda itu masuk seluruhnya ke dalam mulut dan tenggorokan Rianti.
Rianti baru berhenti setelah dirasakannya betapa kepala dan batang penis pemuda itu mulai berdenyut kencang, dia tak ingin pemuda itu sampai di puncak sendirian.
Jilatannya merambat naik ke perut dan terus ke dada pemuda itu, lidahnya dengan lincah bermain di putting Sancaka, membiarkan Sancaka yang sedikit terengah-engah nafasnya karena pencapaiannya ke puncak yang tinggal selangkah lagi itu diputus oleh Rianti.

Rianti baru mengangkat mukanya dan memandang kearah pemuda itu setelah dirasanya nafas pemuda itu mulai teratur lagi, Rianti merayap lebih tinggi dan segera menyambar bibir pemuda itu, Sancaka segera membalas dan memeluk tubuh wanita itu dengan ketat.

Sambil membalas ciuman ganas Sancaka itu Rianti menjulurkan tangannya ke bawah, dipegang dan diarahkannya kepala penis pemuda itu ke celah bibir vaginanya.
Tawa Rianti meledak dan ciuman keduanya pun terlepas, melihat reaksi Sancaka yang begitu penisnya menempel dibelahan vagina wanita itu langsung menyentakkan pantatnya keatas sekuatnnya, membenamkan seluruh batang penisnya dan menggeram nikmat, “Kasihan banget … udah nggak tahan lagi yach sayang?” bisik Rianti setelah tawanya reda.

“Aku antar ke puncak yach”, bisik Rianti sambil kedua lengannya merengkuh kepala pemuda itu, ditekan dan dibenamkannya lagi seluruh batang penis pemuda itu kedalam liang vaginanya, dilumatnya bibir pemuda itu dengan ganas, pipinya ditekankan menempel ketat dengan hidung pemuda itu, membuat Sancaka kesulitan bernafas, kemudian Rianti menggoyang pinggulnya dengan cepat sambil terus mempertahankan posisi seluruh batang penis pemuda itu terbenam diliang vaginanya sedalam mungkin.
Sancaka hanya dapat megap-megap dan meremas-remas pantat Rianti, tubuhnya mengejang dengan kuat, sensasi yang dirasanya menjadi berlipat-ganda dari biasanya.

Dibawah serangan ganas Rianti pemuda itu tak dapat bertahan lama, dipeluknya dengan kuat pinggang wanita itu dan tubuh Sancaka tersentak mengejang berusaha mengangkat pantatnya setinggi mungkin. Batang penisnya berdenyut beberapa kali memberikan semburan kuat kedalam vagina wanita itu.
Rianti melepaskan pagutan bibirnya dan tersenyum, membiarkan Sancaka yang terengah-engah dengan mata terpejam rapat.

Rianti melepaskan rangkulannya dan merebahkan kepalanya ke dada bidang pemuda itu, melihat kepuasan pemuda itu tadi membuat dia berusaha menahan rasa haus darahnya walaupun bunyi degup jantung pemuda itu terdengar begitu menarik selera sebagai seorang vampire.

Keduanya sama-sama tak mengeluarkan sepatah kata pun, Sancaka membelai-belai kepala wanita itu, sementara Rianti tetap diam tak bergerak membiarkan sampai batang penis pemuda itu mengecil dan tercabut dengan sendirinya dari dalam liang vaginanya.
Tak lama kemudian kedua insan itu akhirnya pun tertidur masih dalam posisi yang sama.

****

Keluar dari ruang bawah tanah itu, Sancaka merasa ada seseorang yang mengawasinya, pemuda itu
berjalan kearah tempat dimana kudanya ditambatkan sambil melirik kesana-kemari, sudah cukup berjalan akan tetapi dia tidak menemukan sosok orang tersebut.

Setelah dekat tempat kudanya Sancaka melihat kudanya mulai meringkik dan gelisah seperti ketakutan, Sancaka segera berlari dan menenangkan kudanya.

Baru saja Sancaka duduk dipunggung kudanya, tampak sesosok bayangan hitam berkelebat diantara dahan-dahan pepohonan yang berada tidak jauh didepannya, sosok bayangan hitam itu tampak berhenti dan melemparkan sesuatu kerah Sancaka, tampak kelebatan sinar putih dengan suara berdesing.
Sancaka tidak mau mengambil resiko, pemuda itu mengelak dengan merebahkan diri di atas pungung kudanya, kelebatan sinar putih itu lewat diatasnya, Sancaka langsung pucat, pemuda itu segera berdiri dan menoleh kebelakang, tidak salah penglihtannya tadi, memang benda itu sebatang tombak, di pohon dibelakangnya menancap sebatang tombak panjang dengan mata tombak putih berkilauan.

Tanpa pikir panjang lagi digebraknya kudanya, tidak dihiraukannya lagi ada dimana dan siapa sosok bayangan hitam, merasa nyawanya terancam Sancaka membalapkan kudanya seperti orang dikejar setan.

Pemuda itu baru dapat bernafas lega setelah berada di dalam Villa tempat tinggalnya.

****

Pagi itu walaupun Sancaka duduk diatas kudanya dan tampak berkeliling memeriksa perkebunan, akan tetapi pikirannya melayang kesana-kemari. Rasanya masih terdengar jelas suara Rianti yang menjawab semua pertanyaannya semalam.

Dari mulut Rianti kini Sancaka tahu bahwa Tuan Frantzheof de Van Pierre adalah seorang Vampire, mahkluk terkutuk yang hidup dari menghisap darah, seseorang yang telah menjual jiwanya kepada Iblis dengan imbalan hidup abadi dengan kekuatan-kekuatan khusus diluar nalar manusia biasa.

Tuan Frantzheof de Van Pierre jugalah yang telah memperkosa Rianti dan mengubah wanita itu menjadi Vampire, Rianti yang tadinya hidup penuh kesucian sebagai seorang biarawati yang tinggal di Biara Katholik di Tanjung Sakti sekitar 30 kilometer dari lokasi perkebunan ini, kecantikannya telah membuat mabuk Tuan Frantzheof de Van Pierre, kecantikan yang membawa petaka bagi dirinya.

Karena selalu gagal walaupun Tuan Frantzheof de Van Pierre telah menggunakan segala daya dan upaya untuk mendapatkan hati dan cinta Rianti, mengakibatkan dia menjadi sedemikian murkanya sehingga menjalankan rencana licik untuk menghancurkan hidup wanita itu selamanya.
Tuan Frantzheof de Van Pierre menculik Rianti dari Biara dan membawanya ke Villa Darah, di malam terkutuk itu Tuan Frantzheof de Van Pierre mengikat tangan dan kaki Rianti ke empat sudut ranjang yang ada di Villa Darah, dan mencabik-cabik pakaian biarawati yang dikenakan Rianti.
Yang menyiksa Rianti adalah Tuan Frantzheof de Van Pierre memperkosanya dengan penuh kelembutan, menggunakan seluruh kemampuan dan keahliannya dalam bercumbu untuk memberikan kenikmatan bagi wanita itu, membuat Rianti menjadi hancur lahir bathin, hancur secara lahir karena tubuhnya telah ternoda, hancur secara bathin karena betapapun keras penolakan hati Rianti atas pemerkosaan itu Rianti mulai mengenal dan menikmati semua cumbuan yang diberikan Tuan Frantzheof de Van Pierre.
Semalam suntuk Tuan Frantzheof de Van Pierre memperkosanya beberapa kali, semalam suntuk pula Rianti berulang kali terhempas dalam kenikmatan, airmatanya terus mengalir akan tetapi bibirnya dengan terkutuk terus-menerus merintih nikmat.
Saat Fajar menyingsing Tuan Frantzheof de Van Pierre disaat Rianti mencapai orgasmenya langsung membenamkan taringnya ke leher wanita itu, menghisap hampir seluruh darah di tubuh Rianti, pada saat wanita itu berada diambang hidup dan mati, Tuan Frantzheof de Van Pierre meutus semua ikatan wanita itu dan melukai nadi ditangannya, menawarkan kesempatan kepada Rianti bahwa wanita itu akan tetap hidup hanya jika Rianti balas menghisap dan meminum darahnya.
Rianti yang telah labil lahir bathin itu mengambil keputusan yang salah, diraihnya tangan itu dan dengan cepat seakan takut mati dia menghisap darah yang keluar dari luka itu. Tuan Frantzheof de Van Pierre dengan senyum sumringah membiarkan Rianti menghisap darahnya sepuasnya sampai tubuhnya sendiri terasa lemas.
Direngkuhnya tubuh Rianti yang terkulai pingsan.
Rianti tersadar dengan tangan dan kaki terbelengu rantai panjang yang terbuat dari campuran emas, perak dan tembaga. Setelah beberapa lama barulah Rianti tahu bahwa dia kini disekap di Ruang Bawah Tanah di Villa Darah tempatnya diperkosa dulu.
Namun nasi telah menjadi bubur, dia bukanlah Rianti yang dulu lagi. Kebutuhannya akan darah membuat dia tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi tempat pelampiasan nafsu birahi dan menuruti semua perintah Tuan Frantzheof de Van Pierre.

Tuan Frantzheof de Van Pierre memberikan tugas khusus bagi Rianti untuk menjaga kolam berterali di ruang bawah tanah itu.
Kolam yang merupakan tempat Tuan Frantzheof de Van Pierre menyiksa sekaligus menghabisi semua Vampire yang menentangnya.
Kolam itu sengaja didesain khusus untuk mencegah pelarian dari Vampire yang terhukum, walaupun kemungkinan untuk melarikan diri sangat kecil sekali.

Dari keterangan Rianti pula Sancaka mengetahui bahwa banyak sekali mitos tentang Vampire yang ternyata tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, diantaranya adalah seorang Vampire tidak akan mati jika terpapar di sinar matahari, juga tusukan pasak kayu di jantung tidak akan serta-merta membunuh seorang Vampire.
Cara paling efektif membunuh seorang Vampire hanyalah dengan jalan mutilasi dan kemudian setiap bagian tubuhnya dibakar terpisah sampai hancur menjadi abu.

****

Sancaka membiarkan saja kudanya melangkah seenaknya, dia hanya mengarahkan saja, bahkan dalam perjalanan pulang dia masih melamun, pikirannya masih juga melayang kesana-kemari.

“siing … slep .. jeb”, Sancaka menahan laju kudanya dan menoleh kekanan serta langsung terpaku dengan muka pucat pasi, betapa tidak dia hanya mendengar bunyi suara berdesing dan sesuatu menghantam topinya kearah kanan untuk kemudian disadarinya bahwa topi lebarnya telah terpanggang sebatang anak panah dan menancap ditanah dipinggir jalan setapak ini.

Belum hilang kaget dan takut pemuda itu kembali terdengar suara berdesing dan sebatang anak panah lainnya telah menancap ditopinya itu, tepat dimana anak pertama menembus topinya.

“Hahaha … bagaimana Sancaka, tidakkah itu membuktikan kemahiranku memanah yang sangat sempurna” terdengar suara dari atas tebing disisi kiri jalan, Sancaka menoleh dan mukanya semakin pucat, disana berdiri Tuan Frantzheof de Van Pierre dengan busur terpentang hanya saja kini membidik kearahnya.
Mata itu, mata itu membidik dengan penuh kebencian kearah diriku, ada apakah, apakah ada hubungannya dengan perbuatannya di Villa Darah bersama Tantri, atau malah karena pertemuannya dengan Rianti semalam, pikiran pemuda itu menjadi tambah kalut dan rasa takut mulai meliputinya.

“Hahaha … sayang tidak kutemukan sasaran yang cukup menantang di tubuhmu itu … selain topimu tadi”, kata Tuan Frantzheof de Van Pierre sambil menurunkan busur panahnya.

Tuan Frantzheof de Van Pierre turun dari tebing itu ke arah Sancaka sambil terus tertawa, satu hal yang cukup memberi kelegaan kepada Sancaka, walaupun dia menyadari sepenuhnya bahwa jika londo terkutuk itu menginginkan tentu dengan mudah dapat membunuhnya dengan sekali bidik saja.
Sancaka turun dari kudanya dan berdiri menunggu.

“Hahahaha … kau tahu Sancaka kemahiranku memanah telah sangat tersohor didaerah ini dan daerah-daerah sekitar … makanya tidak ada yang berani macam-macam di perkebunanku ini”, katanya sambil merangkul bahu Sancaka dan menarik pemuda itu untuk berjalan beriringan pulang.

Sepanjang jalan sampai ke Villa dimana Sancaka tinggal, Sancaka hanya mendengarkan semua celoteh Tuan Frantzheof de Van Pierre pemuda sambil sesekali berkomentar seadanya.

****

Sancaka berdiri didepan lemari pakaiannya sambil memandangi kotak ditangannya, kotak yang kemarin malam dititipkan oleh Rianti, kotak itu tertutup rapat tak dapat dibuka akan tetapi tidak terlihat dimana letak kuncinya, pemuda itu tidak tahu apakah isi kotak itu, Rianti meminta agar kotak itu diantarkan ke Biara dimana dulu Rianti mejalani hidup sucinya.
Biar kuantarkan sebelum aku cuti ke Palembang jumat lusa pikir pemuda itu dan menyimpan kembali kotak itu di belakang tumpukan pakaiannya.

Sejenak dipandanginya tubuh molek Wulan yang sudah tertidur lelap setelah pertarungan tadi, pemuda itu tersenyum sendiri menyadari bahwa ternyata sebanyak apapun beban pikirannya tidak membuatnya kehilangan selera untuk bercinta.
Sancaka segera menyusul tidur berbaring disisi Wulan.
 
Update lagi gan
Lumayan seru ceritanya apakah nanti ratih akan jadi korban si londo atau gayatri ?
Makin penasaran sama cerita satu ini
 
Chapter 8
BAHAYA MASIH MENGANCAM DAN MUNCULNYA BALA BANTUAN

Pagi itu Sancaka sedang sarapan pagi setelah selesai menyiapkan pakaian yang akan dibawanya ke Palembang, tak lama kemudian terdengar ringkik kuda di teras depan, pemuda itu cepat-cepat menyelesaikan sarapannya.


“Selamat pagi Tuan Muda”, sapa Pak Udin melihat kemunculan Sancaka di teras.

“Selamat pagi Pak Udin … kita berangkat sekarang saja ya Pak, mumpung masih pagi”, balas Sancaka sambil tersenyum, dan langsung menaiki kudanya.

“Baik Tuan Muda”, sahut Pak Udin sopan, orang tua itu menaiki kudanya dan mengikuti kuda Sancaka dari belakang.

Tak lama kemudian atas permintaan Sancaka maka kuda Pak Udin berada didepan, Sancaka memang tidak tahu jalan karena belum pernah ke arah Tanjung Sakti untuk alasan itu pulalah pemuda itu meminta bantuan Pak Udin untuk mengantarkannya.

****

Sancaka dan Pak udin berhenti sejenak dan mengamati Biara diatas sana, tampak beberapa bangunan terpisah, dikelilingi pagar yang cukup tinggi dengan gerbang terbuat dari kayu yang kelihatan kokoh, Pak Udin turun dari kudanya dan mengetuk pintu gerbang biara itu.

Setelah Pak Udin mengetuk beberapa kali dengan agak kuat tampak bagian kecil dari gerbang itu terbuka, kiranya ada semacam jendela kecil di sisi kiri gerbang itu, sepasang mata tampak mengawasi keadaan diluar dari sana, Sancaka mengangguk hormat dan berkata, “Selamat pagi … saya ingin bertemu Kepala Biara”.

“Sebentar Tuan”, sahut orang itu dari dalam, jendela kecil itu tertutup kembali, dan terdengar bunyi derit panjang yang nyaring ketika pintu gerbang itu mulai terbuka, seorang biarawan muda melangkah keluar mendekati Sancaka, “Maaf Tuan … Kepala Biara sedang tidak ada ditempat … Kalau boleh tau Tuan siapakah? … Dan ada keperluan apa dengan Kepala Biara?”, biarawan muda itu bertanya dengan sopan setelah membungkuk hormat.

Sancaka menganggukkan kepalanya membalas penghormatan itu dan segera meloncat turun dari kudanya, “Nama saya adalah Sancaka … saya bekerja di perkebunan milik Tuan Frantzheof de Van Pierre … saya hanya bermaksud mengantarkan titipan seseorang … mohon disampaikan kalau Kepala Biara telah kembali lagi nanti”, karena Sancaka menjelaskan keperluannya sambil membuka kantung di pelana untuk mengambil kotak titipan Rianti, pemuda itu tidak melihat betapa biarawan muda itu tampak berusaha menutupi keterkejutannya.

Sancaka menyerahkan kotak itu, “kotak ini … kotak ini”, terdengar suara si biarawan muda menerima kotak itu dengan terbata-bata, “Anda siapa tuan? Dimana pemilik kotak ini? Bagaimana kotak ini bisa dititipkan kepada Anda?”, biarawan muda itu mencecar Sancaka dengan pandang penuh selidik dan sarat rasa curiga.

Sancaka sendiri memandang tajam kearah biarawan muda itu, wajah biarawan muda itu dirasa tidak asing baginya, “Aku tak dapat memberikan keterangan itu kepada saudara”, jawab Sancaka sambil tersenyum, “Aku hanya akan memberikan keterangan kepada Kepala Biara saja … dan tolong sampaikan juga bahwa aku akan berada di Palembang selama dua minggu kedepan … kalau memang mendesak Beliau dapat mencariku di alamat ini”, lanjut pemuda itu menyodorkan secarik kertas terlipat kepada si biarawan muda itu.

Sejenak tampak mata biarawan muda itu berkilat penuh amarah, akan tetapi dia tampaknya dapat menahan diri, setelah mendongak dan menghela nafas panjang biarawan muda itu menyambut kertas itu dan membungkuk hormat, “Baiklah Tuan … nanti akan saya sampaikan”, sahutnya lirih.

Sancaka mengangguk hormat dan segera menaiki kudanya, setelah mengangguk hormat kembali pemuda itu segera menarik tali kekang memutar kudanya dan meninggalkan si Biarawan Muda yang masih terus memandang kearah kotak kecil yang dititipkan oleh Sancaka barusan.

Sungguh sangat disayangkan Sancaka tidak menoleh ke belakang lagi sehingga tak dapat menyaksikan betapa biarawan muda itu jatuh terduduk lemas ditanah, tanganya yang memegang kotak itu nampak bergetar, dipeluknya kotak kecil itu dengan erat, isak tangisnya pun pecah, “Rianti … Rianti … dimana kau berada adikku”, ratap biarawan muda itu.

Biarawan muda itu bernama Rianto, dan dia adalah saudara kembar Rianti, baru dua bulan dia berada di biara ini, setelah mendengar khabar bahwa Rianti menghilang tanpa jejak, dan walaupun dia setiap hari tidak pernah lelah mencari tetap saja dia tidak menemukan sedikitpun petunjuk tentang keberadaan Rianti, seakan gadis itu hilang lenyap ditelan bumi.

****

Sancaka tiba di depan Stasiun kereta api di Lubuk Linggau pukul tujuh malam, suasana stasiun sudah sangat sepi, Sancaka mengamati sejenak suasana di sekitar Stasiun itu, selesai makan di rumah makan disebelah stasiun itu Sancaka kemudian melangkahkan kakinya menuju penginapan diseberang jalan.

Sancaka memesan salah satu kamar tebaik yang ada di penginapan itu, pemuda itu melangkah dengan santai dan membuka kunci kamarnya, tidak menyadari ada sepasang mata yang memandang tajam dan mengamati gerak-geriknya dari balik pintu yang terkuak sedikit, yaitu dari kamar yang persis bersebarangan dengan kamarnya.

Pemuda tidak langsung menutup pintu kamarnya, setelah meletakkan tas bawaanya Sancaka berjalan menuju jendela dan membuka tirai, menyalakan rokok untuk kemudian mengamati keadaan di jalanan dan di seputaran stasiun.

Terdengar ketukan di pintu, Sancaka menoleh dan melihat seorang wanita berdarah belanda sedang berdiri dan tersenyum manis kearahnya, “Maaf kalau mengganggu … bisa pinjam pemantik apinya?” tanya wanita itu sambil menempelkan sebatang rokok kebibirnya, suaranya terdengar sedikit genit.

Sancaka hanya mengangguk dan melangkah mendekat, mengeluarkan pemantik apinya dan menyalakan rokok wanita itu, “Terima kasih … nama saya Yosephina”, katanya setelah menghembuskan asap rokoknya sambil mengulurkan tangan kanannya kearah Sancaka.
“Sancaka”, sahut pemuda itu sambil balas menyalami.

“Menunggu kereta besok pagi kan? … aku juga”, wanita itu melangkah masuk tanpa dipersilahkan, Sancaka hanya tersenyum dan membiarkan, “Pemandangan dari kamarku lebih baik daripada disini … nggak enak sendirian di kamar … yuk main ke kamarku … aku punya sebotol scotch yang bagus”, kata wanita itu menarik tangan Sancaka.
“Tapi …”, Sancaka tak sempat protes karena wanita itu menarik tangannya dengan kuat, “cepat kunci kamarmu dan ikut aku”, perintah wanita itu, Sancaka hanya angkat bahu dan mengikuti perintah, toh dia juga belum mengantuk pikirnya.

Sancaka dan wanita belanda itu duduk dan mengobrol sambil menikmati sebotol Scotch yang dibawa wanita itu dikamarnya yang persis bersebelahan dengan kamar Sancaka, Yosephina adalah anak seorang pemilik mesin penggilingan padi dan kopi di Lubuk Linggau dengan beberapa gudang penyimpanan yang cukup besar. Ayahnya membeli dan mengolah hasil perkebunan padi dan kopi didaerah Lubuk Linggau dan dan daerah-daerah lain disekitarnya. Dia dan ayahnya juga mengenal Tuan Tuan Frantzheof de Van Pierre.
Hari semakin larut dan pengaruh alkohol yang diminum keduanya mulai terasa, menambah lancar obrolan mereka.

Keduanya sudah mulai mabuk agaknya. Yosphina bangkit dari duduknya dan merebahkan dirinya dipangkuan Sancaka, “Sanca … jangan memandangku rendah dan murahan ya … malam ini aku minta kau menemaniku tidur disini … tapi hanya menemani tidur … tidak kurang tidak lebih … mau ya”, Sancaka terpaku sejenak, Yosephina mengangkat mukanya dan memandang kerah Sancaka, matanya memandang sayu dan penuh harap.

Sancaka menghela nafas dan mengangguk.

Setelah menghabiskan minuman masing-masing, Yosephina segera naik keatas tempat tidur, sementara Sancaka menuju kearah kamarnya guna memastikan bahwa kamarnya telah benar-benar terkunci.
Ketika pemuda itu masuk kembali ke kamar Yosephina dan menutupkan pintu, dilihatnya Yosephina tersenyum dan menggeser tubuhnya memberi tempat buat Sancaka.
Sancaka membaringkan tubuhnya di samping Yosephina, keduanya terlibat obrolan sambil berbaring terlentang berdampingan.

Akhirnya Yosephina yang entah karena pengaruh alkohol yang tadi diminumnya atau memang tadinya hanya ingin menguji pemuda itu tampaknya kini sudah tak dapat menahan diri lagi, tangannya bergerak ke arah selangkangan pemuda itu, wanita itu menoleh kearah Sancaka hampir bersamaan dengan Sancaka yang juga menoleh kearah Yosephina, keduanya sama-sama tersenyum.

Yosephina bangun dan merangkak keatas tubuh pemuda itu, Sancaka segera menyambut dan merangkul wanita itu. Keduanya langsung terlibat dalam ciuman yang panas. Tangan Yosephina dengan segera bergerak membuka ikat pinggang dan menurunkan celana berikut celana dalam pemuda itu dan langsung digenggamnya batang penis yang sudah tegang itu.

Yosephina melepaskan rangkulan Sancaka, menegakkan tubuhnya dan memposisikan diri diatas pemuda itu, diarahkannya kepala penis pemuda itu kearah belahan vaginanya, kiranya dibalik gaun malamnya itu Yosephina tidak mengenakan apa-apa lagi.
Kepalanya terdongak ketika dengan perlahan dia menurunkan tubuhnya, menikmati masuknya kepala dan batang penis Sancaka kedalam liang vaginannya.

Setelah seluruh batang penis pemuda itu tertancap seluruhnya barulah Yosephina melihat ke arah Sancaka dan tersenyum, dengan tangan bertumpu di dada pemuda itu Yosephina mulai menggerakkan pinggulnya naik-turun dengan gerakan perlahan, matanya terpejam dengan mulut mendesis-desis nikmat.

Sancaka mengarahkan tangannya ke arah buah dada wanita itu, kiranya dibalik gaun malam itupun Yosephina tidak mengenakan apa-apa lagi, diremas-remasnya buah dada dibalik gaun malam yang tipis dan licin itu.

Yosephina mulai mempercepat gerakannya, tangannya mencengkeram baju dibagian dada Sancaka dengan kuat, matanya makin terpejam rapat dengan kening berkerut.
Bercinta dengan keadaan berpakaian lengkap seperti ini memang baru dialami oleh Sancaka, dia pun ikut memejamkan matanya dan tanpa sadar meremas-remas dengan kuat buah dada wanita itu.

Agaknya alkohol yang mereka minum sebelumnya cukup berpengaruh pada peningkatan sensasi kenikmatan yang dirasakan, hentakan dan hempasan pinggul Yosephina makin cepat dan kuat, wanita itu agaknya telah mendekati puncak, dibukanya matanya dan dilihatnya Sancakapun agaknya telah pula mendekati puncak.
Yosephina mempercepat gerakan pinggulnya sambil berusaha bertahan sekuat mungkin, senyum puas menghiasi bibirnya melihat Sancaka yang tersentak-sentak mengejang dibawahnya.
Ketika dirasakannya batang penis pemuda itu semakin tegang dan mulai berdenyut-denyut dengan kuat, diapun melepaskan pertahanannya sambil memberikan hentakan dan hempasan yang lebih kuat.

Tak lama kemudian hampir bersamaan keduanya menggeram hebat dengan tubuh mengejang, keduanya telah mencapai puncak kepuasan masing-masing.

Setelah memakaikan kembali celana Sancaka dan merapikannya Yosephina segera menjatuhkan diri kedalam pelukan pemuda itu. Malam itu keduanya tertidur sambil berpelukan dengan masih tetap berpakaian lengkap.

****

Pagi dini harinya Sancaka tunggang langgang jatuh dari tempat tidur, berusaha menahan jerit ngeri dengan muka pucat tak berdarah, diatas tempat tidur itu tubuh Yosephina yang pucat membiru terlentang dengan mata mendelik dan mulut terbuka lebar, leher gadis itu terkoyak penuh noda darah yang telah mengering.
Tubuh gadis itu nyaris telanjang penuh dengan luka bekas cakaran, pakaian gadis itu habis tercabik-cabik.

Sancaka berusaha bangkit dan keluar dari kamar itu, dan setengah berlari menuju kamarnya sendiri, pakaiannya pun penuh dengan noda darah yang telah mengering, segera dibukanya pakaiannya dan masuk ke kamar mandi.
Saat tengah mandi itulah dia mendengar jeritan dikamar sebelah dan tak lama kemudihan terdengar kegaduhan diluar kamarnya.
Agaknya tamu-tamu dipenginapan ini telah mengetahui kejadian itu.

Setelah mandi dan mencuci pakaiannya semalam, Sancaka segera berganti pakaian. Pakaiannya semalam berusaha diperas sekering mungkin dan dimasukkan kedalam tas bawaannya. Setelah menenangkan diri pemuda itu membuka pintu kamarnya.
Keadaan diluar kamarnya masih ramai, Sancaka pura-pura ikut terkejut, setelah mengobrol sebentar dengan tamu lain di penginapan itu, pemuda itu melangkah menuju tempat pengelola penginapan di meja depan, membayar biaya sewa kamarnya dan melangkah menuju stasiun.
Pengelola penginapan hanya meminta data dirinya, karena mungkin pihak keamanan memerlukan keterangan dari pemuda itu sehubungan dengan terbunuhnya wanita disebelah kamarnya.

Untungnya semalam Yosephina telah mencuci gelas yang mereka pergunakan sebelum tidur, dan Sancaka yakin tidak ada barang miliknya yang tertinggal di kamar Yosephina semalam yang dapat dikaitkan dengan dirinya berkenaan dengan pembunuhan itu.

Sepanjang perjalanan hati pemuda itu tidak pernah bisa tenang.
Pembunuhan itu bukan pembunuhan biasa, dan melihat tubuh Yosephina yang pucat membiru kehabisan darah maka pembunuhan sadis itu hanya dapat dilakukan oleh seorang Vampire.
Yang membuat pemuda itu semakin cemas adalah pembunuhan itu agaknya sengaja dirancang untuk menjebak dan menjadikannya sebagai kambing hitam.

****

“Penjemputan Khusus Bagi Tuan Muda Sancaka”, begitu yang tertulis di kertas lebar yang dipegang seorang lelaki tua di pintu keluar stasiun, Sancaka yang memang baru tiba dan yang sebenarnya sudah ingin cepat sampai dirumahnya karena tinggal berjalan kaki saja kerumahnya itu terdiam berdiri mematung, siapa lelaki tua ini pikirnya, setelah memastikan bahwa lelaki tua berpakaian rapi itu bukan seorang polisi, diapun melangkah mendekati orang itu.

“Saya bernama Sancaka … apakah saya yang bapak maksud?”, tanya pemuda itu setelah sampai dihadapan orang tua itu.
“Apakah Tuan Muda bekerja di perkebunan Tuan Frantzheof de Van Pierre?”, orang itu balik bertanya sambil mengamati pemuda itu dari bawah keatas.

Sancaka tersenyum mengangguk, “Atas perintah siapa bapak menjemput saya? Dijemput untuk kemana kah?”, tanya pemuda itu berusaha untuk lebih ramah.

Melihat anggukan Sancaka orang tua itu langsung membungkuk hormat, “Nama saya Dadang … Saya tidak dapat menjelaskan hanya menjemput saja”, tangannya mengangsurkan sebuah amplop putih kearah Sancaka, “Mungkin akan jelas semuanya setelah Tuan Muda membaca surat ini”, lanjutnya.

“Jangan terlalu banyak bertanya … cukup minta antarkan saja kepada pembawa surat ini … dia orang kepercayaan kita … dan jangan pulang dahulu ke rumah langsung saja kemari … ditunggu secepatnya”, Sancaka hanya tersenyum membaca surat itu, ditilik dari tulisannya pastilah pengirim surat ini seorang wanita, akan tetapi penulis surat ini pelit sekali dengan kata-kata, semuanya ditulis singkat sehingga lebih mirip wikipedia daripada surat.

“Ya sudah … tolong bapak segera mengantarkan saya kesana”, kata pemuda pelan, orang tua itu segera menyambut dan membawa tas bawaan Sancaka itu melangkah kearah luar Stasiun. Sancaka hanya mengikuti dari belakang.

****

Setelah menyeberangi Jembatan Ampera kendaraan yang ditumpangi Sancaka berbelok ke kiri, dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar tidak jauh dari Menara Air, Sancaka melangkah turun, “Tas bawaan Tuan Muda akan saya letakkan di kamar tamu bagian depan … Tuan Muda dipersilahkan masuk karena sudah ditunggu sejak tadi di Kamar Utama … nanti si mbok yang akan menunjukkan jalannya”, kata orang tua yang menjemputnya tadi memberikan penjelasan sambil menunjuk seorang perempuan tua yang telah berdiri diteras depan setengah membungkuk.

Sancaka melangkah masuk ke rumah besar itu, si mbok yang tadi menunggu di teras segera membungkuk hormat, dengan isyarat tangannya dia mempersilahkan Sancaka masuk.
Sancaka melangkah masuk ke rumah besar itu, mengikuti petunjuk si mbok yang mengiringinya akhirnya pemuda itu sampai di sebuah pintu yang cukup besar, “Ini Kamar Utamanya … Tuan Muda diminta segera masuk … saya permisi ke belakang” terdengar perempuan tua itu berkata sambil membungkuk hormat.
Sancaka menoleh dan mengangguk, “Terima kasih mbok”. Si Mbok lalu tergopoh-gopoh ke belakang.

Setelah perempuan tua itu hilang ke belakang Sancaka mendekati pintu besar itu dan mendorongnya, pintu itu terbuka lebar, seketika Sancaka berdiri terlongong dengan mulut terbuka lebar.
Diatas pembaringan besar itu bergelimpangan selir-selir Tuan Frantzheof de Van Pierre dalam keadaan bugil, bukan cuma dua atau tiga orang, melainkan keenam selir Londo itu semuanya ada disana.
Tantri, Yuni, Wulan, Diah, Ratna dan Sari, keenam orang selir itu tertawa cekikikan melihat reaksi Sancaka.

Yuni, Wulan dan Sari segera berebut bangun dan berlari kearah Sancaka, Wulan dan Sari membimbing Sancaka kearah pembaringan, sementara Yuni hanya tersenyum geli dan segera menutupkan pintu Kamar Utama itu.

Sampai didepan tempat tidur, sambil terus cekikikan geli Yuni, Wulan dan Sari segera menanggalkan seluruh pakaian yang dikenakan pemuda itu, membiarkan Sancaka yang terpana melihat pertunjukan yang sudah dimulai diatas pembaringan itu.

Tantri duduk bersandar dikepala pembaringan itu dengan kaki terpentang lebar, gadis itu dengan panas membalas lumatan bibir Ratna disebelah kirinya, sementara Diah yang berada disebelah kanan tampak menggigit bibirnya sendiri sambil meremas-remas buah dada Tantri dengan gemas.
Ketika Diah mulai menetek disana Tantri segera melepaskan pagutan bibir Ratna, dibelainya kepala gadis itu, Ratna seakan tak mau kalah ikut pula menetek seperti Diah.
Sambil mendesah keenakan Tantri menoleh kearah Sancaka, tangannya merambat ke bawah dan dengan jari tengahnya diapun mulai memainkan klitorisnya sendiri.

Sancaka hanya dapat menelan ludah saking pengennya.

Yuni berjongkok dan mengusapkan sejenis cairan bening ke kepala dan batang penis pemuda itu. Setelah dilumasi oleh cairan itu Sancaka merasa ada rasa hangat menjalari kepala dan batang penisnya.

Tanpa menunggu undangan, pemuda itu langsung merayap ke arah Tantri, ditariknya pinggul gadis itu kearahnya, dibalikkannya tubuh gadis itu ke posisi menungging, Diah segera menyambar batang penis Sancaka dan mengarahkannya ke liang vagina Tantri sementara Ratna mengambil kesempatan untuk menarik muka Sancaka kearahnya dan melumat bibir pemuda itu dengan ganas.
Sancaka mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur sambil meremas-remas bongkahan pantat Tantri, dengan tangan kirinya Ratna mulai meremas-remas buah dada Tantri tanpa melepaskan pagutannya dibibir pemuda itu, Diah tersenyum dan beringsut ke arah kepala Tantri, ditariknya muka gadis itu kearahnya dan keduanyapun segera terlibata ciuman bibir yang panas, tangan kanan Diah juga dengan aktif meremas-remas buah dada kanan Tantri.

Yuni, Wulan dan Sari yang belum mendapat giliran membuat acara sendiri, ketiganya duduk menonton disisi tempat tidur sambil memainkan klitoris masing-masing.

Tantri tak mampu bertahan lama, dengan jeritan kuat tubuhnya mengejang dan bergetar hebat, gadis itu telah sampai dipuncak kepuasannya.
Sancaka membiarkan batang penisnya terbenam disana beberapa saat, sampai Tantri mencabutnya dan berbalik serta mulai mengulum dan menjilat kepala dan batang penis pemuda itu, seakan ingin membersihkannya dari sisa-sisa orgasmenya tadi, Sancaka hanya tersenyum membiarkan.

Tantri bangkit dan turun dari pembaringan setelah memberikan kecupan di kening Sancaka, Diah langsung terlentang dihadapan pemuda itu menggantikan posisi Tantri, ditariknya tangan pemuda itu kearah buah dadanya.
Yuni memberi isyarat kepada Sari untuk masuk ke gelanggang pertempuran, Ratna dan Sari segera segera memegangi dan merentangkan kedua kaki Diah selebar mungkin.
Setelah Sancaka mulai menggerakkan penisnya keluar masuk liang vagina Diah sambil mencengkeram buah dada gadis itu, jari tangan Ratna dan Sari dengan lincah dan cepat mulai memainkan bagian klitoris gadis itu bergantian.

Sebagaimana Tantri yang mendapat giliran pertama tadi Diah pun tak mampu bertahan lama, sambil menjerit panjang tubuh gadis itu melenting dan kakinya menjepit pinggul Sancaka dengan kuat.
Gadis itu telah samapai di puncak kepuasannya.

Merasa kali ini adalah gilirannya, tanpa membuang waktu lagi Ratna langsung naik ke atas tubuh Diah yang masih terengah-engah itu, sementara Sari segera bangkit dan memberikan hisapan serta jilatan ke puting Sancaka.
Kali ini giliran Wulan yang masuk ke gelanggang pertempuran, tangannya membimbing kepala penis Sancaka ke arah belahan vagina Ratna, Ratna mendesah menikmati masuknya penis Sancaka ke dalam liang vaginannya, Diah pun mengerti kini gilirannya pula membantu Ratna mencapai puncak.
Bersamaan dengan gerakan pinggul Sancaka yang mulai memompa gadis itu, tangan kirinya merengkuh kepala Ratna dan bibirnya segera menyambar bibir gadis itu, sedangkan tangan kanannya tak ketinggalan langsung meremas-remas buah dada kiri Ratna.
Melihat Sancaka yang sambil menggoyang Ratna sedang asyik berpelukan dan berciuman dengan Sari, Wulan pun mengambil inisiatif membantu dengan menggerakkan pinggul Ratna mengimbangi ayunan pinggul Sancaka.
Sesekali tampak Wulan meludahi batang penis Sancaka yang keluar-masuk vagina Ratna itu untuk memberikan pelumas tambahan.

Kali ini giliran Ratna yang juga tak mampu bertahan lama, gadis inipun menjerit panjang dengan tubuh mengejang, puncak kepuasannya telah sampai.

Ratna dan Diah bergulingan ke pinggir pembaringan itu, keduanya terkapar dengan nafas memburu, kini giliran Sari dan Wulan yang menguasasi medan pertempuran, keduanya sama-sama menungging dihadapan Sancaka.
Kedua gadis itu ingin menguji kemampuan Sancaka agaknya, keduanya menungging berdampingan dengan rapat sambil bertumpu satu tangan sementara tangan yang satu lagi mempermainkan klitoris masing-masing.
Terpaksalah Sancaka melakukan olah raga tambahan akibat posisi kedua kedua gadis itu, pertama diposisikan dan diarahkannya kepala penisnya ke bibir vagina Sari, setelah seluruh penisnya tenggelam kedalam liang vagina gadis itu diapun mulai menggoyangkan pinggulnya sementara jari tengah tangan kanannya bermain diliang vagina Wulan, setelah satu-dua menit penisnya keluar-masuk liang vagina Sari Sancakapun bergerser dan mengarahkan kepala penisnya ke bibir vagina Wulan, sambil menggoyangkan pinggulnya kali ini giliran jari tengah tangan kirinya yang bermain di liang vagina Sari, setelah satu-dua menit pemuda itu kembali bergeser lagi, begitu seterusnya, Sancaka berusaha memuaskan kedua gadis itu.
Ketika Sari mulai menggeram, Sancakapun semakin mempercepat dan memperkuat goyangan pinggulnya sambil memegangi pinggul gadis itu. Tak lama kemudian gadis itu menjerit dan mengejang.
Sancaka segera mencabut keluar penisnya dari vagina gadis itu, dibiarkannya Sari terengah-engah sendiri, dia langsung bergeser untuk menuntaskan tugas berikutnya yaitu mengantarkan Wulan ke puncak kepuasannya seperti Sari barusan.
Sancaka langsung memegang pinggul Wulan dengan erat, penisnya dengan mudah masuk kedalam liang vagina gadis itu, dan Sancaka langsung menggerakkan pinggulnya dengan cepat dan kuat.
Tak lama kemudian Wulan pun menjerit tertahan dengan tubuh mengejang.

Setelah mengatur nafas sebentar Sancaka menarik tangan Yuni yang sedari tadi dilihatnya sangat sabar menunggu giliran.
Keduanya berpelukan dan berciuman sejenak, Sancaka kemudian membaringkan gadis itu.
Diah dan Ratna mendekat dan memegangi kedua tangan gadis itu, sementara Wulan dan Ratna meletakkan beberapa bantal dibawah pantat gadis itu dan kemudian memegangi kedua kaki gadis itu.
Ini adalah babak terakhir pertempuran, tetntunya Sancaka akan habis-habis menggoyang gadis itu kali ini.

Sancaka mengarahkan kepala penisnya ke belahan vagina gadis itu dan mulai mendorong dengan perlahan, setelah penisnya terbenam seluruhnya kedalam liang vagina gadis itu, dia mulai menggerakkan pinggulnya maju-mudur dengan perlahan sambil jempol tangan kanannya dia mulai menggesek-gesek klitoris gadis itu.
Desahan Yuni semakin kuat ketika Sancaka mulai mempercepat dan memperkuat goyangan pinggulnya ditambah lagi Diah dan Ratna mulai meremas dan sesekali memelintir puting buah dada gadis itu.
Tak lama kemudian Yuni menjerit tertahan dan tubuhnya mengejang hebat karena Sancaka tidak sedikitpun menghentikan ayunannya, Sancaka pun telah mendekati puncak agaknya.
Beberapa saat kemudian Sancaka mencabut keluar penisnya dari liang vagina gadis itu, dan dengan tangannya dia mengarahkan semburannya ke perut dan dada gadis itu.
Diah, Ratna, Wulan dan Sari segera berebutan menjilat dan menelan sperma yang disemburkan Sancaka keatas tubuh Yuni.

Sancaka hanya tersenyum mengamati tingkah laku mereka sambil mengatur nafasnya, tubuh pemuda itu tampak berkilat dipenuhi keringat.
Agaknya cairan yang diusapkan oleh Yuni tadi yang membuatnya mampu memenangkan pertempuran ini.

****

Tiga hari tiga malam kemarin Sancaka seakan lupa diri dan terlena menikmati surga yang ditawarkan oleh selir-selir Tuan Frantzheof de Van Pierre itu, kerjanya hanya makan, tidur, bercengkerama dan bercinta siang malam.

Memang Tantri cuma sore hari pertama itu saja ikut pesta umbar nafsu di Kamar Utama itu, sampai malam harinya pun Tantri tak nampak lagi batang hidungnya, entah kapan gadis itu menyelinap pergi, akan tetapi pelayanan kelima orang selir Londo itu membuat Sancaka tidak terlalu mengacuhkan ketidakhadiran gadis itu.

Pagi itu setelah mengucapkan terima kasih dan mengangguk membalas penghormatan Pak Dadang yang mengantarkannya pulang, Sancaka segera melangkah kearah rumahnya untuk kemudian pemuda itu terduduk lesu di teras rumah orang tuanya itu.
Suasana rumahnya tampak sepi, dia telah mengetahui bahwa kedua orang tuanya sedang ke luar kota selama seminggu, dan agaknya kedua orang tuanya mungkin besok baru kembali dari Prabumulih.
Tubuhnya terasa lemas lunglai, seakan seluruh energi ditubuhnya telah terkuras habis selama tiga hari penuh kenikmatan kemarin.

Sancaka baru teringat kalau sudah tiga hari di Palembang tanpa sempat menjenguk Gayatri kakasih hatinya, padahal dia sengaja mengambil cuti sekarang ini karena sang kekasih pun sedang mengambil cuti istirahat dan telah beberapa hari lebih dahulu pulang ke Palembang, apa khabar gadis tunanngannya itu pemuda itu membathin.
Sebaiknya aku tidur dulu dan nanti sore saja main ke rumah Gayatri pikir pemuda itu sambil bangkit berdiri dan melangkah masuk ke rumahnya.

Didepan kamar mandi terdengar suara Ratih sedang mandi sambil bersenandung kecil, Sancaka tersenyum kecut mengingat betapa gadis itu telah memberikan miliknya yang paling berharga kepada Sancaka tanpa tuntutan apapun, “Ratih … Ini Mas Sanca … Mas mau istirahat di kamar … nanti jam dua siang mas tolong dibangunin yach”, teriaknya.
Suara senandung Ratih terhenti.

“Mas Sanca!”, terdengar teriakan kesenangan dari Ratih memanggilnya, Sancaka yang baru saja akan masuk kekamarnya menoleh dan tersenyum, Ratih yang buru-buru menyelesaikan mandinya dan hanya berbalut handuk itu segera menghambur ke pelukan Sancaka.

“Apa khabarnya adik manis”, bisik Sancaka membalas pelukan gadis itu. “Ratih kangen”, bisik gadis itu sambil menyembunyikan wajahnya ke leher Sancaka.

“Mas juga kangen … Mas capek banget nich … Mas mau bobok dulu yach”, katanya tersenyum sambil mengelus kepala gadis itu.
Melihat wajah pemuda yang dikasihinya itu tampak sangat letih, Ratih cepat-cepat mengangguk, “Nanti jam dua Ratih bangunin”, bisik gadis itu sambil mencium pipi Sancaka dengan cepat.

Sancaka mencium kening gadis itu dan melangkah masuk kekamarnya.
Ratih segera berlari ke kamarnya, senyum riang menghias bibir gadis itu.

****

Jam satu siang gedoran di pintu membuat pemuda itu meloncat dari tempat tidurnya, mimpi buruk tentang Yosephina membuat pemuda itu tadi tidur dengan gelisah, sesaat pemuda itu mengira ia masih di kamar hotel di Lubuk Linggau dan kini polisi sedang menggedor-gedor pintu untuk menangkapnya, setelah menyadari bahwa dia berada di kamarnya sendiri di rumah orangtuanya barulah pemuda itu dapat bernafas lega, diluar terdengar suara Ratih yang memanggil-manggil namanya, dibukanya pintu kamarnya sedikit, “Ada apa Ratih?”, tanyanya singkat.
“Sudah jam satu siang … Mas Sanca nggak lapar?”, tanya gadis itu.
“Siapin aja di meja ya … Mas mau mandi dulu”, jawab Sancaka sambil menutup pintu.

Ratih duduk diseberang meja itu dengan mata nyaris tak berkedip memandang Sancaka yang tampaknya makan sambil melamun itu, ada apa dengan kekasih hatinya ini bisik hatinya, sejak keluar kamar tadi dan sampai dengan duduk makan barusan pemuda itu hanya menyapanya seadanya dan senyumnya pun hanya terlihat sekilas saja, tidak seperti kemarin-kemarin kalau pemuda itu pulang, biasanya Sancaka akan berusaha mencuri kesempatan mencium bibirnya dengan ganas dan berusaha menyusup kekamarnya untuk mengajaknya mengarungi lautan kenikmatan, tapi tidak hari ini, walaupun suasana rumah sangat mendukung tapi pemuda itu seakan kehilangan gairahnya seperti saat ini pun sedang kehilangan selera makannya.

“Permisi … Permisi”, suara orang diteras depan membuyarkan lamunan Ratih, gadis itu segera bangkit dan berlari menuju ke ruang depan, “Ya … Ada apa Pak?”, tanya gadis itu dengan mata penuh selidik kearah empat orang tamu yang ada diteras depan.
Wajar saja gadis itu memandang penuh selidik, tidak pernah rumahnya kedatangan tamu seperti empat orang itu.
Orang pertama adalah seorang Londo yang sudah cukup tua, mengenakan semacam pakaian yang tidak dikenalnya, dilehernya tergantung sebuah salib terbuat dari emas, sementara dipinggangnya terlilit rantai kecil juga dengan hiasan Salib emas tergantung dibagian ujungnya.
Orang kedua juga seorang Londo akan tetapi sedikit lebih muda dengan perawakan tinggi besar dan bertopi lebar, wajahnya tampak tegas dan tidak tersenyum sedikitpun, dipinggangnya tampak dua buah ikat pinggang yang saling melintang dengan dua pistol putih mengkilat seperti terbuat dari perak, dipunggungnya tampak tergantung sebuah senapan panjang. Penampilan orang kedua ini cukup membuat Ratih sedikit takut dan gugup.
Orang ketiga adalah orang pribumi dengan pakaian yang mirip dengan orang pertama, hanya saja dia tidak mengenakan kalung, pinggangnya juga terlilit rantai kecil dengan hiasan salib yang berwarna putih, agaknya terbuat dari perak tidak seperti orang pertama yang salibnya terbuat dari emas. Ratih tidak dapat melihat jelas wajahnya karena orang itu menunduk dan tak mengangkat mukanya sedikitpun.
Orang keempat berpakaian setelan jas lengkap berwarna putih, wajahnya cukup tampan dan ramah ketika tersenyum dan mengangguk ke arah Ratih. Tangannya tampak memegang sebuah tas hitam yang terbuat dari kulit.

“Mohon maaf sebelumnya … Apakah disini benar rumahnya Sancaka?”, orang pertama berusaha menyapa dan bertanya dengan ramah dan sopan.

“Benar … Ada perlu apakah bapak dengan Mas Sanca?”, gadis itu membenarkan dan balik bertanya dengan pandang penuh curiga. Gadis itu kaget sendiri ketika ada tangan menepuk bahunya, ia pun menjadi tenang setelah mengetahui bahwa Sancaka lah yang menepuk bahunya barusan.

“Ratih … Sopan sedikit kenapa … Baiknya tamunya dipersilahkan masuk dulu baru bertanya”, terdengar suara pemuda itu sambil tangannya mempersilahkan tamu-tamu itu masuk, mendengar ucapan Sancaka gadis itu tertunduk malu, dengan muka bersemu merah diapun ikut mempersilahkan keempat orang tamu itu masuk.

“Perkenalkan nama saya adalah Padre Gabriel … saya adalah kepala biara di Tanjung Sakti … dan ini adalah Tuan Van Helsing Junior yang kebetulan sedang berada di Palembang menjadi tamu Uskup disini … Biarawan muda ini adalah asisten saya Ignatius Rianto … sedangkan anak muda ini adalah seorang dokter yang juga asisten Tuan Van Helsing Junior”, orang pertama yang ternyata adalah kepala biara yang dicari Sancaka sesuai pesanan Rianti mulai pembicaraan dengan memperkenalkan satu per satu orang-orang yang datang bersamanya.

“Kedatangan kami kesini ingin mendapatkan keterangan dari Tuan Sancaka mengenai kotak ini”, katanya sambil memberi isyarat kepada asistennya, si biarawan muda dengan segera mengeluarkan dan meletakkan sebuah kotak diatas meja, kotak yang dititipkan oleh Rianti dan telah diantarkan oleh Sancaka ke Biara tempo hari.

“Kotak itu memang benar saya yang mengantarkan ke Biara sesuai permintaan Rianti … Keterangan apakah yang ingin anda ketahui Padre”, ucap pemuda itu tersenyum, “Rianti juga memberi pesan bahwa saya hanya boleh memberikan keterangan hanya kepada anda seorang … hanya kepada anda seorang”, lanjutnya.

“Mari Padre … Sebaiknya kita berdua bicara didalam saja sesuai permintaan Rianti”, Sancaka berdiri sambil memberi isyarat mempersilahkan Padre Gabriel ke ruang dalam, si biarawan muda langsung berdiri dengan raut muka jengkel, akan tetapi dia langsung duduk kembali ketika melihat isyarat dari Padre Gabriel.

“Ratih bantu Mas siapin minuman buat tamu-tamu yang lain ya”, katanya sambil membelai rambut Ratih, gadis itu mengangguk dan segera berlalu ke dalam.
“Mohon yang lain sabar menunggu disini”, ujar pemuda itu sambil mengangguk hormat.

Kemudian Sancaka dan Padre Gabriel berlalu kedalam. Sancaka menjawab semua pertanyaan yang diajukan Padre Gabriel selama itu tidak menyangkut dimana keberadaan wanita itu dan siapa yang membawanya pergi ataupun mengenai keadaannya yang telah menjadi seorang Vampire, Sancaka selalu menghindar dari pertanyaan yang menjurus kearah itu dengan memberikan alasan bahwa sesuai pesan Rianti, wanita itu berpesan bahwa ada hal-hal tertentu yang belum saatnya untuk diketahui oleh orang lain.
Cukup lama keduanya baru keluar ke ruang tamu, setelah Padre Gabriel merasa telah cukup mendapat keterangan dari Sancaka.

Sampe sekitar jam tiga sore Sancaka menemani keempat tamunya mengobrol sebelum mereka pamit pulang, “Saya masih beberapa hari lagi di Palembang, jika tuan memerlukan bantuan saya silahkan mencari saya di Keuskupan Palembang”, hanya itu pesan Padre Gabriel sebelum keempat orang itu berlalu dari rumah Sancaka.

Setelah berpakaian rapi Sancaka segera bergegas menuju rumah Gayatri sang tunangan, sudah cukup lama keduanya tak bertemu.

****

Sudah hampir jam empat ketika Sancaka melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah tunangannya, halaman rumah Gayatri memang luas dan terpelihara baik. Semua tanaman hias yang ada dihalaman itu tertata rapi.

“Eh … Nak Sanca … Kapan datangnya”, sapa Bu Puji ramah sambil mengulurkan tangannya, Sancaka segera menyambut dan mencium tangan ibunda tunangannya itu, “Gayatri ada Bu?”, tanya pemuda itu sambil matanya melirik ke dalam.

“Waduh … Gayatri pergi dengan temennya sejak tadi pagi … temen kuliahnya dulu”, sahut calon mertuanya, “Masuklah dulu … biasanya menjelang gelap mereka sudah pulang kok”, lanjut Bu Puji sambil membimbing Sancaka masuk ke dalam.

“Bapak kemana Bu?”, tanya Sancaka sekedar basa-basi.

“Bapak sedang ke Lampung … Sudah dua hari, katanya mau memeriksa cabang usahanya yang ada disana … duduk dula ya … Ibu bikinin kopi dulu”, jawab mertuanya sebelum berlalu ke dalam, “Makasih Bu”, sahut Sancaka sambil duduk.

“Lain lho Sancaka sekarang ini … Tambah rapi dan tambah ganteng saja”, goda calon mertuanya sambil meletakkan secangkir kopi ke meja tamu, “Ibu bisa saja … Perasaan nggak ada yang berubah”, jawab Sancaka tersipu.

Diangkatnya gelas kopinya, diseruputnya dua kali dan diletakkannya kembali cangkir kopi itu ke meja, Sancaka meraba tengkuknya yang meremang, dia merasa walaupun cuma sesaat betapa tadi mata Bu Puji memandang tajam dan berkilat penuh nafsu kearahnya sambil sekilas menjilat bibirnya sendiri sebelum berlalu kedalam.
Tapi tak mungkin rasanya calon ibu mertuanya itu berbuat seperti itu, calon mertuanya itu selama ini selalu bersikap anggun bahkan cenderung terkesan angkuh dan selalu memandang tinggi derajat keningratannya.
Pasti semua itu tadi hanya perasaannya saja pikir pemuda itu.

Memang sebenarnya Bu Puji adalah bibi sekaligus ibu tiri bagi Gayatri, seorang wanita yang ayu menawan, dengan kulit kuning langsat yang menambah keanggunannya. Usianya dengan usia Gayatri paling hanya terpaut sekitar tujuh atau delapan tahun.
Ibunda Gayatri meninggal dunia ketika Gayatri berusia sepuluh tahun, dan kemudian posisi ibunya digantikan oleh adik bungsu ibunya yang ketika itu masih berusia tujuh belasan.
Di Sumatera kejadian demikian disebut dengan istilah “turun ranjang”.

Setelah Bu Puji datang kembali membawa sepiring makanan kecil keduanya pun akhirnya terlibat obrolan ngalor-ngidul sambil menunggu kembalinya Gayatri, dan Sancaka tidak menangkap adanya keanehan pada diri calon ibu mertuanya itu.
Akhirnya pemuda itu menyimpulkan bahwa pandangan penuh nafsu calon mertuanya itu tadi benar-benar hanya perasaannya saja.

Bu Puji ternyata bisa jadi teman ngobrol yang baik bagi Sancaka, membuat pemuda itu betah menunggu sang calon tunangan pulang.
 
Terakhir diubah:
Chapter 9
KEJUTAN MEMATIKAN

Sambil mengobrol dengan Bu Puji, sempat terlintas dipikirannya bahwa perkataan calon mertuanya tadi ada benarnya, dia memang sudah berubah, berubah menjadi pemuda cabul, bahkan tadi dia sempat menganggap bahwa calon mertuanya itu telah memandangnya dengan penuh nafsu birahi.
Sesaat pemuda itu tersenyum kecut merasa betapa mudahnya pikiran kotor hinggap dikepalanya, bahkan terhadap calon mertuanya sendiri.

Hari telah mulai gelap dan matahari nyaris tenggelam, Sancaka masih mengobrol dengan Bu Puji ketika dihalaman terdengar dua orang wanita berjalan ke arah rumah Gayatri sambil bersenda gurau, “Itu mereka pulang”, Bu Puji yang kebetulan duduknya menghadap ke arah luar berkata sambil bangkit berdiri.

Sancaka bangkit berdiri dan meloncat ke bawah jendela, “Jangan bilang kalau saya ada disini ya Bu … Saya ingin buat kejutan buat Gayatri”, bisiknya agak keras, “Saya sembunyi di kamar tamu depan ya Bu”, lanjutnya lagi, pemuda itu tersenyum senang dan segera menyelinap ke dalam kamar tamu di sebelah ruang depan setelah melihat anggukan kepala Bu Puji. Calon mertuanya itu hanya tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dari celah pintu yang dibiarkannya terbuka sedikit Sancaka dapat dengan bebas mengamati keadaan diluar, ditambah lagi keadaan ruang tamu depan yang cukup gelap semakin menyempurnakan persembunyiannya.

Ketika Gayatri dan temannya melangkah masuk keruang depan itu Sancaka nyaris jatuh terjengkang ke belakang saking terkejutnya, mukanya pucat pasi dan nafasnya nyaris putus, teman yang melangkah masuk bersama Gayatri itu tak lain adalan Tantri, selir utama Tuan Frantzheof de Van Pierre, yang tiga hari lalu menenggelamkan dirinya dalam pesta seks bersama kelima selir Tuan Frantzheof de Van Pierre lainnya.

Sancaka menjadi kebingungan sendiri karena situasi yang tak terduga ini, alih-alih memberi kejutan pada tunangannya, dirinya sendiri baru saja nyaris mati terkejut sendiri.
Sambil tersandar lemas masih didengarnya ketiga orang diruang depan itu asyik ngobrol, pemuda itu masih belum dapat memutuskan harus berbuat apa, tak lama kemudian didengarnya Gayatri dan Tantri pamit ke Bu Puji dan cekikikan berlomba cepat masuk ke kamar Gayatri.

Sancaka masih tersandar lemas didinding disebelah pintu kamar tamu depan itu ketika Bu Puji dari celah pintu itu berbisik memanggilnya, “Nak Sanca … Nak Sanca masih didalam?”.
“Iya Bu … saya masih disini”, jawab Sancaka pelan.
“Kenapa tidak keluar tadi … tunggu sebentar ya”, terdengar kembali bisikan calon mertuanya itu, pemuda yang masih kebingungan itu tak memberi jawaban.

Terdengar calon mertuanya melangkah menjauh dari kamar tamu itu dan setelah itu terdengar teriakannya, “Gayatri … Ibu mau ke Toko Asiong sebentar … Ada yang mau dibeli”, lalu terdengar suara tunangannya menyahut dari dalam kamarnya, “Iya Bu”.

Kemudian terdengar suara pintu depan ditutup dan tak lama kemudian Bu Puji sudah menyelinap ke dalam kamar tamu depan dimana Sancaka berada.
“Kamu kenapa Sancaka? … Sakit?” tanya Bu Puji melihat pemuda itu tersandar didinding didekat pintu.
Tangannya langsung meraba kening pemuda itu, “Kamu seperti habis melihat hantu saja … memangnya wajahku segitu menyeramkan sampai kamu keringatan dingin begini … ayo duduk dan istrirahat disana”, lanjutnya lagi sambil menuntun Sancaka ke tempat tidur setelah menutup pintu dan menyalakan lampu.

“Kenapa tidak keluar tadi? … Kamu kaget waktu ibu menyelinap masuk tadi ya? … Masak bisa ketakutan begitu melihat ibu seperti melihat hantu?”, tanya calon mertuanya sambil membelai kepala pemuda itu.

“Bukan kok Bu .. saya bukan kaget melihat ibu masuk tadi … saya masih bersembunyi karena masih berusaha mengingat siapa kawannya Gayatri tadi”, jawab pemuda itu mencoba berbohong.

Posisinya yang duduk di tempat tidur sementara Bu Puji berdiri di hadapannya mau tak mau membuat muka pemuda itu persis berhadapan dengan buah dada wanita itu, sepasang buah dada dibalik kebaya itu tegak menantang karena Bu Puji memang belum pernah melahirkan, jadi payudaranya tentu masih kencang dan bagus bentuknya.

“Masak kamu nggak kenal sama Tantri .. katanya dulu kalian bertiga khan satu kampus bahkan sama tempat mondoknya … dia saja masih ingat kok sama kamu Sanca”, sahut calon mertuanya sambil masih membelai kepala pemuda itu.

“Itulah Bu … saya masih berusaha mengingat hal itu”, jawab pemuda itu pelan. Sancaka mendongak keatas dilihatnya mertuanya menahan tawanya sambil menutup mulut dengan tangan kirinya. “Kok Ibu tertawa begitu?” tanyanya bingung.

“Kamu itu tadi saja waktu sendirian di kamar ini masih juga tidak bisa mengingat siapa Tantri … apalagi sekarang … wong dari tadi matamu itu nggak pernah lepas dari sini”, sahut Bu Puji gemas menunjuk kearah dadanya dan menjiwir hidung pemuda itu.
Sancaka hanya nyengir malu dengan muka merah.

“Sini biar lebih cepet inget … daripada cuma dilihat terus”, kata Bu Puji melangkah maju dan memeluk kepala pemuda itu kedadanya, diciumnya ubun-ubun pemuda itu, Sancaka merasakan betapa empuknya dada calon mertuanya itu, membuat jantungnya berdegap-degup tak keruan.
Wangi tubuh mertuanya itu makin mempercepat nafsunya naik ke ubun-ubun.

“Enak?” tanya mertuanya berbisik, Sancaka mengangguk dan memberanikan diri memeluk pinggang Bu Puji.
Sancaka mendongakkan kepalanya ingin melihat ekspresi muka calon mertuanya itu, Bu Puji langsung menunduk dan menyambar bibir pemuda itu, Sancaka semula agak kaget juga melihat keganasan calon mertuanya itu, akan tetapi dia langsung bereaksi tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, keduanya segera terlibat dalam ciuman yang panas.

Ketika ciuman keduanya terlepas jemari Sancaka langsung bekerja membuka kebaya yang dikenakan Bu Puji, berikutnya melepas stagen dan kemben yang dikenakan wanita itu, terakhir kain batik calon mertuanya yang jatuh kelantai.

Kini Bu Puji berdiri dihadapan Sancaka dalam keadaan nyaris telanjang, hanya tinggal celana yang berwarna putih itu saja yang menutupi bagian terpenting dari tubuh wanita itu.
Sancaka menelan ludah, tubuh calon mertuanya itu memang masih bagus dan menggairahkan, buah dadanya masih indah dan kencang. Pantas untuk diebut sebagai tubuh gadis yang sudah matang, bukankah calon mertuanya ini belum pernah melahirkan apalagi menyusui.

Sambil tersenyum genit perempuan itu mulai membukai seluruh pakaian Sancaka, pemuda itu tetap dalam posisi duduk dan membiarkan semua perbuatan Bu Puji.
Setelah itu Bu Puji kembali berdiri dan melepaskan penutup terakhir tubuhnya.
Bu Puji kembali menarik dan memeluk kepala pemuda itu kedadanya, “Namaku Puji Astuti … kamu boleh memanggilku Tuti kalau kamu mau”, bisiknya lembut.

Tanpa ragu lagi Sancaka segera menarik tubuh telanjang itu, dibalikkan dan disandarkannya di kepala pembaringan itu.
Puji Astuti terkikik geli melihat keganasan pemuda itu.

Sancaka dengan ganas langsung menciumi bibir, leher dan buah dada Puji Astuti bergantian, diselingi remasan dan pelintiran jarinya di kedua buah dada perempuan itu, “Iya … Sanca … Jadikan aku objek kebuasanmu”, desah perempuan itu dengan tubuh meliuk-liuk keenakan.

Sancaka tiba-tiba menghentikan gerakannya, “Sesuai permintaanmu … Hari ini kau akan merasakan kebuasanku”, katanya gemas, ditariknya tubuh Puji Astuti ke tengah pembaringan itu.
Dibukanya kedua paha Puji Astuti, pemuda itu berjongkok diantara kedua paha itu, setelah itu diarahkan dan digesek-gesekannya kepala penisnya ke belahan vagina perempuan itu.
Puji Astuti memejamkan mata, menunggu, sambil meremas-remas buah dadanya sendiri.
Tiba-tiba Sancaka menekan dan mendorong dengan cepat dan kuat, batang penis pemuda itu masuk seluruhnya dalam satu kali hentakan, “Auchh”, jerit Puji Astuti terkejut.
Belum habis rasa kaget kaget perempuan itu, Sancaka dengan cepat menyelipkan kedua tangannya melalui bawah paha Puji Astuti dan menangkap kedua pergelangan tangan perempuan itu yang tadi sedang meremas-remas buah dadanya sendiri, kemudian ditariknya kedua tangan perempuan itu sambil mulai menggerakkan pinggulnya.
Dengan berpegang pada kedua tangan Puji Astuti seperti itu Sancaka dapat menghentakkan pinggul dengan bebas, memberikan hentakan-hentakan cepat dan kuat, “Auchh … Gila kau Sanca …“, Puji Astuti hanya dapat menjerit lirih, kepalanya terdongak dengan tubuh mengejang menerima setiap hunjaman penis Sancaka yang dengan mantap menerobos liang vaginannya.

Tak lama kemudian tubuh Puji Astuti tampat tersentak-sentak kuat, agaknya perempuan itu telah mencapai puncak kepuasannya, akan tetapi Sancaka tidak sedikitpun mengendurkan gerakan pinggulnya, “Aduh … Mati aku…”, Puji Astuti mendesah dan menggeram, tubuhnya meliuk-liuk liar.
Beberapa saat kemudian tubuh Puji Astuti kembali tersentak kuat, begitu kuatnya sentakan itu sampai pengangan Sancaka terlepas, kedua tangan perempuan itu langsung menahan gerakan pinggul Sancaka, “Ampun Sanca … ampun”, desahnya dengan suara dan tubuh bergetar seperti orang menggigil kedinginan.

Sancaka menghentikan serangannya, membiarkan penisnya terbenam dalam liang vagina perempuan itu, menikmati remasan-remasan kuat dinding vagina itu di batang penisnya.
Selama ini Puji Astuti memang jarang sekali mendapat kepuasan dari suaminya yang lebih tua, dan kini dalam tempo singkat dia telah mendapatkan itu dua kali berturut-turut.

Setelah Puji Astuti kembali membuka matanya, Sancaka langsung menindih tubuh perempuan itu, Puji Astuti langsung merangkul kepala Sancaka sambil membuka dan melingkarkan kedua paha di pinggang pemuda itu.
Bibir mereka bertemu dan langsung saling melumat dengan ganas.

Tak membuang waktu lagi Sancaka langsung mencengkeram bahu perempuan itu dan mulai mengayunkan pinggulnya maju-mundur dengan cepat, tak kuat menahan kenikmatan yang kembali mendera membuat Puji Astuti bukan lagi memeluk melainkan mulai mencakar-cakar punggung pemuda itu.
Sancaka tampaknya juga ingin menuntaskan pertempuran kali pertama ini, ketika sudah mendekati puncaknya Puji Astuti melepaskan ciumannya di bibir pemuda itu, “Aduh … Aku nggak kuat lagi Sanca …”, desahnya dengan nafas memburu.
Pemuda itu mempercepat goyangan pinggulnya.
Sancaka sudah mendekati puncak ketika tubuh Puji Astuti kembali tersentak mengejang, desahan puncak kenikmatan perempuan itu langsung tertahan karena Sancaka langsung membekap mulut dan hidung perempuan itu.
Puji Astuti meronta-ronta dibuatnya, liang vagina perempuan itu terasa mencengkeram dengan kuat.
Sancaka semakin mempercepat goyangannya dan dengan hempasan kuat batang penisnya menghunjam sedalam-dalamnya ke liang vagina perempuan itu, menyemburkan cairan kenikmatannya.

Sancaka melepaskan bekapan tangannya dari mulut dan hidung Puji Astuti, perempuan itu terengah-engah mengatur nafasnya, “Gila kamu Sanca … Gila kamu ya … Bisa mati aku tadi”, sungutnya sambil memukuli punggung pemuda itu dengan tangan gemetaran.

Sancaka hanya tertawa-tawa saja sambil sesekali mencium dan melumat puting susu calon mertuanya itu.
“Tadi enak khan? … Mau lagi nggak? … Ngga mau yach? …”, goda Sancaka sambil menjawil dagu perempuan itu setelah dilihatnya nafas Puji Astuti telah mulai teratur.
“Sialan kamu ya …”, jerit perempuan itu malu sambil mencubit pinggang calon mantunya itu.

Sancaka menggulingkan dirinya ke samping perempuan itu. Puji Astuti segera memeluk dan meletakkan kepalanya didada pemuda itu.
Betapa bahagianya kalau dia yang menjadi istri Sancaka batinnya.

****

Puji Astuti dan Sancaka yang masih beristirahat sambil berpelukan itu sempat tegang sejenak ketika mendengar suara Gayatri dan Tantri di ruang depan diluar kamar tempat mereka memadu kasih barusan.

“Ayo kita pergi … nampaknya Ibu sedang keluar juga … aku sudah lapar nich”, terdengar Gayatri berkata, dan tak lama kemudian terdengar pintu depan dibuka dan ditutup kembali.
Puji Astuti dan Sancaka menghela nafas lega, untung gadis itu tidak mencari Ibunya sampai ke kamar tamu depan ini, apa jadinya kalau gadis itu memergoki mereka.

Baru saja Puji Astuti merebahkan kembali kepalanya di dada Sancaka, keduanya langsung terlonjak kaget.
Tiba-tiba saja pintu kamar itu terkuak sedikit, ada seseorang disana yang mengintip mereka.

Sancaka meloncat kearah pintu untuk melihat siapakah orang itu, akan tetapi orang itu langsung berlari kearah pintu keluar, orang itu sempat menoleh dan ternyum genit kearah Sancaka, orang itu tak lain adalah Tantri.
Entah kapan gadis itu masuk kembali kerumah ini, baik Puji Astusti maupun Sancaka tidak mendengar suara apapun, bahkan mereka tadi tidak sempat menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang mereka.

Sancaka menutupkan kembali pintu kamar itu, “Orang yang tadi mengintip adalah Tantri”, bisiknya sambil naik kembali ke atas pembaringan.

Melihat wajah Puji Astuti yang masih juga pucat karena takut dan cemas, Sancaka langsung membelai wajah calon mertuanya itu dan mencium keningnya, “Tenanglah … aku yakin Tantri tidak akan menceritakan masalah ini kepada orang lain”, bisiknya menghibur.
Puji Astuti mengangguk lemah dan berusaha tersenyum.
Keduanya berciuman kembali.

“Malam ini kamu harus tidur disini … Aku akan menyiapkan makan malam untukmu”, bisik Puji Astuti sambil bangkit berdiri dan kemudian mengenakan kembali pakaiannya.
Sancaka hanya tersenyum memperhatikan.

Puji Astuti menyelinap keluar kamar setelah mencium kening Sancaka.

Tak lama kemudian terdengar kembali suara Gayatri dan Tantri yang agaknya baru pulang dan kini masuk kedalam sambil terus memperbincangkan tentang sesuatu yang tak terlalu jelas terdengar oleh Sancaka.

****

Malam itu hampir jam sembilan barulah Puji Astuti masuk kembali ke kamar tamu depan itu, tangannya membawa nampan berisikan beberapa buah piring besar dan kecil yang terisi dan nasi, lauk, sayur dan sambal. Sancaka saat itu sedang duduk di sisi pembaringan menikmati rokoknya.
“Maaf ya … habisnya harus menunggu Gayatri dan Tantri masuk ke kamar dulu baru berani menyelinap kesini”, katanya sambil meletakkan nampan itu keatas tempat tidur disebalah Sancaka, “Sudah lapar ya sayang?”, tanyanya sambil duduk disebelah pemuda itu, dipeluknya dan diciuminya leher pemuda itu, “Cepat habiskan rokoknya terus makan … kalau nggak makan nanti nggak ada tenaga buat pertempuran nanti malam”, bisiknya genit.

Sancaka cepat-cepat menghabiskan rokoknya dan mulai makan dengan lahap, perutnya memang sudah teriak-teriak minta diisi sejak tadi.
Puji Astuti tersenyum senang melihat pemuda itu makan dengan lahapnya.

“Aku bikinkan kopi ya”, bisiknya dan segera beranjak keluar meninggalkan Sancaka yang sedang makan.

Sancaka telah selesai makan dan kembali menyulut rokoknya ketika Puji Astuti kembali masuk kamar itu dengan secangkir kopi ditangannya.
Keduanya terlibat obrolan sambil bisik-bisik karena takut kedengaran oleh Gayatri, agaknya Puji Astuti masih mencemaskan soal Tantri yang tadi sempat memergoki mereka.
Sancaka terus berusaha meyakinkan dan menenangkan Puji Astuti sampai wanita itu tenang dan mulai ceria kembali.

Tangan Puji Astuti mulai nakal dan ketika merasakan bahwa penis pemuda itu mulai bangun kembali, wanita itu langsung mengendurkan gulungan ikatan kain sarung yang dikenakan Sancaka, memang pemuda itu saat ini mengenakan kaim sarung yang tadi diambilnya dari dalam lemari pakaian yang ada di kamar itu.
Melihat wanita itu sudah memulai serangan, Sancaka pun tak mau kalah, tangannya mulai membuka pakaian yang dikenakan wanita itu.

Tak lama kemudian Sancaka telah kembali menindih tubuh bugil Puji Astuti, pemuda itu dengan buas mulai menetek sambil menggesek-gesekkan kepala penisnya ke belahan vagina calon mertuanya itu.
Puji Astuti mendesah dan mendesis keenakan sambil meremas-remas rambut pemuda itu.

“IBUUU…!!!”, terdengar jerit panjang Gayatri yang histeris, entah kapan gadis itu bisa berdiri didepan pintu kamar yang kini terpentang lebar itu.
Puji Astuti dan Sancaka terloncat bangun karenanya, keduanya sibuk menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut.

Gayatri berdiri disana dengan muka pucat dan tubur gemetar, air mata gadis itu mulai mengalir, “Kalian … Apa yang … Kalian memang Keji !!! … “, jeritnya lagi, tangannya yang gemetar menahan emosi itu menuding kearah Puji Astuti dan Sancaka bergantian.
Puji Astuti hanya terdiam, menyembunyikan mukanya dan mulai menagis.
Begitu juga dengan Sancaka, pemuda itu hanya terdiam dengan muka pucat, lidahnya tiba-tiba menjadi kelu tak dapat bersuara.

“Mas Sanca kau …. Kau … Kejam!”, Gayatri menjerit lirih dan ambruk ke lantai, gadis itu akhirnya jatuh pingsan karena tak kuat menahan emosinya lagi, hatinya hancur melihat perbuatan Ibu dan tunangannya barusan.
Disana kini berdiri Tantri yang tersenyum sinis, rupanya gadis itu sejak tadi berdiri di belakang Gayatri.

Puji Astuti menghambur kearah tubuh Gayatri yang tergolek dilantai, wanita itu langsung menangis dan meratap sambil menciumi kening gadis itu, “Maafkan Ibu Gayatri … Maafkan Ibu”, bisiknya berulang-ulang dengan suara parau.

Tantri masih berdiri disana dan terus menatap kearah sancaka dengan pandangan mengejek dan senyum sinis, tak sedikitpun mengacuhkan keadaan Puji Astuti dan Gayatri.

“Setan kau Tantri … “, desisnya marah melihat keadaan tunangannya yang kini tergolek pingsan dilantai, dengan cepat dia mengenakan kembali celananya, setelah itu pemuda itu menerjang kedepan dan pukulannya melayang dan menghantam pelipis kiri gadis itu.
Tantri terjajar kebelakang dan menghantam kursi dan meja di ruang depan, dengan perlahan gadis itu berdiri kembali tanpa terluka sedikitpun.
Gadis itu kembali menatap tajam kearah Sancaka dan senyum sinis masih menghias bibirnya.

Tiba-tiba Tantri mendengus dan tubuhnya Tantri melayang dengan cepat kearah Sancaka dan hanya dengan satu kibasan saja gadis itu telah melemparkan tubuh pemuda itu ke belakang. Tubuh Sancaka terlempar kebelakang menghantam jendela dan terlempar keluar, pemuda itu jatuh terhempas ke halaman samping.

Sancaka mengeluh lirih, berusaha bangun walaupun tulang punggungnya terasa remuk dan nyeri bukan main.

Tantri kembali mendengus dan tubuhnya melayang menerobos jendela dengan cepat kearah Sancaka, tamparan keras menghantam pipi pemuda itu, tubuh Sancaka kembali terhempas ke atas tanah.
Sancaka mengeluh lirih dan sekuat tenaga masih berusaha bangun walaupun pandangannya kini nanar berkunang-kunang dengan kepala serasa berputar-putar.

Tantri tertawa puas, dicengkeram dan ditariknya rambut Sancaka dengan kuat, “Sudah ingatkah kau padaku sekarang Sancaka!”, bentaknya sambil tersenyum sinis.

“Jangan kau sentuh dia Tantri”, terdengar suara wanita menegur dengan halus.

Tidak jauh dari mereka telah berdiri sesosok wanita yang tidak lain adalah Rianti, Tantri mendengus kesal dan berkelebat menyerang Rianti, akan tetapi tubuh Rianti berkelebat lebih cepat dan dengan satu tamparan tubuh Tantri langsung terlempar balik dan terhempas ke atas tanah beberapa meter dari tubuh Sancaka.

Mata Tantri berkilat penuh amarah, gadis itu memandang wajah Rianti dengan penuh kebencian, lingkaran hitam mata gadis itu lalu berubah kuning kemerahan dan mulutnya menyeringai ganas memperlihatkan dua taring yang kini menyembul keluar.

Rianti hanya diam berdiri bertolak pinggang dan memperhatikan perubahan diri Tantri sambil tersenyum mengejek dan berkata, “Belum cukupkah teguranku tadi Tantri? Ingat-ingat akan tugasmu!”.

“Persetan dengan semua itu! … Aku bebas berbuat sesuka hatiku!”, jerit Tantri sambil merunduk, posisi tubuhnya seperti orang yang bersiap-siap dalam sebuah perlombaan lomba lari.
Terdengar gadis itu menggeram diikuti suara tulang-tulang ditubuh gadis itu berkeretekan.
Terjadi perubahan hebat terhadap fisik gadis itu dimulai dari kepalanya, kemudian bahu dan tangannya dan terakhir bagian kakinya, setiap bagian yang berubah membesar itu diikuti oleh tumbuhnya bulu-bulu yang cukup panjang dan terlihat kaku.
Suara robeknya pakaian yang dikenakan Tantri disana-sini menambah seram proses perubahan itu.
Kini tubuh gadis itu menjelma menjadi monster bertubuh lebih mirip serigala raksasa daripada tubuh manusia, dengan ukuran dua kali lipat ukuran tubuh manusia normal.

Sancaka melihat semua perubahan itu dengan muka pucat pasi, tubuhnya terduduk lemas tak bertenaga, hilang semua kecantikan Tantri yang selama ini membuat Sancaka kagum padanya.

Monster jelmaan Tantri menyeringai memperlihatkan deretan giginya yang tajam dengan dua buah taring besar lalu mendongak kelangit mengeluarkan lolongan yang menyeramkan, setelah lolongannya habis monster itu melesat cepat ke arah Rianti.
Kedua tangan terbuka siap dengan serangan cakar-cakarnya yang besar dan berwarna hitam.
Rianti tak bergeming sedikitpun gadis itu malah tersenyum sinis sekali.

Sinisnya senyum Rianti dikarenakan melihat Tantri yang dalam kemarahannya melupakan bahwa darah vampire yang mengalir ditubuh gadis itu tidak semurni seperti yang dimilikinya, yang tentu saja berarti kekuatan gadis itu bukanlah tandingannya pula.

Rianti sudah memutuskan akan memberikan pelajaran keras pada gadis itu kali ini.

“DORRR!!!”, terdengar letusan keras dan monster jelmaan Tantri yang sedang melesat kearah Rianti itu meraung keras, langkahnya terhenti dan tangannya kirinya menekap ke arah dada sebelah kanan.
“DORRRR!!!”, letusan keras kembali terdengar ketika monster jelmaan Tantri itu masih meneruskan langkahnya kearah Rianti itu, kali kedua pula monster itu mengeluarkan raung kesakitan, langkahnya terhenti dan monster itu jatuh terduduk ditanah dengan kedua tangan menekap ke arah dada kirinya.

“Tantri…!!!”, Rianti menjerit pilu dan langsung melesat cepat kearah monster itu, dipeluk dan direbahkannya kepala monster itu kedadanya, sambil terisak-isak menangis Rianti terus membelai dan menciumi kepala monster itu.

Perlahan tubuh monster itu kembali ke bentuk aslinya, kembali menjelma menjadi Tantri yang cantik jelita, darah segar masih terus mengalir dari dua buah lubang yang cukup besar di kedua dada gadis itu.

“Kau memang keras kepala”, bisik Rianti dengan tangis semakin keras melihat begitu banyak darah yang mengalir dari luka di dada kiri gadis itu, Rianti berusaha menutup luka itu dengan telapak tangan kanannya, agaknya tembakan kedua tadi tepat mengenai jantung.

Muka Tantri semakin pucat kehabisan darah, dengan tangan gemetaran gadis itu meremas tangan Rianti, keningnya berkerut-kerut menahan sakit, “Maafkan aku ya Mbakyu … Aku memang keras kepala dan tak pernah mau menuruti nasehatmu”, bisiknya lirih. Air mata gadis itu pun mengalir dengan deras.

“Tantri … Tantri…”, Rianti meratap pilu dan memeluk gadis itu dengan erat, nafas gadis itu tingal satu-satu sampai akhirnya berhenti sama sekali, tangannya yang tadi balas memeluk Rianti telah jatuh terkulai.

Cukup lama Rianti menangis dan meratap sambil memeluk tubuh Tantri yang sudah tak bergerak lagi itu, sampai ia merasakan ada tangan yang memegang dan menepuk-nepuk bahunya dari belakang, Rianti membiarkan saja karena semula ia mengira orang yang berdiri dibelakangnya itu adalah Sancaka.

Ketika tangisnya sudah reda dia pun menoleh kearah orang yang memegang bahunya itu, gadis itu langsung tercekat kaget, “Mas Totok…!!!”, bibirnya refleks menyebut nama orang itu.

Orang itu memanglah Rianto adanya, kakak sekaligus kembaran Rianti.
Dibelakang sang kakak berdiri seorang lelaki londo tinggi besar yang tak lain adalah Van Helsing Junior, orang yang telah melepaskan tembakan ke arah Tantri ketika gadis itu bermaksud menyerang Rianti tadi.

Rianto membantu adiknya bangun dan memapahnya meninggalkan tempat itu, sempat ditolehnya sebentar ke arah Sancaka dan berkata, “Tak ada lagi yang bisa kau lakukan disini Sancaka … masuk dan lihatlah keadaan tunanganmu”.

Dengan lunglai Sancaka mengangguk dan berajak bangun untuk masuk kedalam rumah tunangannya itu.

Sempat dilihatnya Van Helsing Junior berjongkok disamping tubuh Tantri sambil mengeluarkan dua buah pasak logam kekuningan yang berujung tajam dan sebuah palu godam dari tas yang disandangnya.
Pasak yang besar ditancapkan dan dipakukan dibagian jantung sementara pasak yang kecil di tancapkan dan dipakukan tepat diantara kedua alis.
Kemudian londo itu memangul tubuh Tantri dan membawanya pergi menghilang di kegelapan malam.

****

Sancaka membaringkan tubuh Gayatri ke tempat tidur dikamar gadis itu, gadis itu masih dalam keadaan pingsan tadi ketika Sancaka masuk ke dalam rumah.
Puji Astuti sudah reda tangisnya tinggal sesekali terisak-isak kecil saja, wanita itu duduk di ujung pembaringan itu memijat-mijat kaki Gayatri sambil memandang penuh kasihan ke arah putrinya.

Kemudian Sancaka pergi kembali ke kamar tamu depan untuk mandi dan mengenakan kembali pakaiannya, karena sedari tadi pemuda itu hanya mengenakan celana panjang dan bertelanjang dada dengan tubuh penuh debu tanah akibat dilempar keluar oleh Tantri..

“Keluar ! … Keluar ! …”, terdengar teriakan Gayatri diikuti oleh suara-suara barang pecah, Sancaka langsung berlari ke arah kamar gadis itu.
Dilihatnya Puji Astuti berdiri menangis di pintu kamar Gayatri, gadis itu masih berteriak-teriak histeris sambil sesekali melemparkan benda-benda yang ada didekatnya.

Ketika Sancaka melangkah masuk ke kamar itu Gayatri pun langsung meloncat dari tempat tidurnya, tangannya melayang ke pipi Sancaka, pemuda itu yang memang sudah merasa bersalah hanya diam membiarkan.
“PLAK!”, tamparan keras gadis itu tak urung membuat pandangan Sancaka berkunang-kunang karena tamparan itu selain menghantam pipinya dengan kuat juga tepat mengenai telinganya membuat gendang telinganya seperti mau pecah rasanya.
Serangan Gayatri tidak hanya berhenti disitu, gadis itu langsung memukuli dada Sancaka bertubi-tubi, melihat airmata gadis itu yang mengalir deras Sancaka membiarkan gadis itu terus memukuli dadanya untuk melampiaskan semua emosinya.

Setelah pukulan-pukulan gadis itu melemah, Sancaka menangkap kedua tangan gadis itu, kemudian dipeluknya tubuh tunangannya itu, pemuda itu berusaha menenangkan gadis itu seraya berulang kali meminta maaf atas kejadian tadi.
Cukup lama Gayatri menangis di dada pemuda itu, sampai akhirnya kesadarannya pulih kembali dan segera ditolakkannya tubuh pemuda itu ke belakang.

Dengan gontai Gayatri melangkah menuju ke pembaringan, “Keluar lah kalian … aku tak ingin melihat muka kalian berdua”, jeritnya dengan suara parau sambil menyembunyikan diri didalam selimut.

Mendengar itu Puji Astuti langsung berlari sambil menangis ke kamar tidurnya, Sancaka tercenung sejenak sebelum akhirnya menghela nafas panjang dan beranjak keluar dan menutupkan pintu kamar tunangannya itu.

Sancaka terduduk lesu di kursi tamu di ruang depan dengan pikiran dan perasaan kalut, sampai akhirnya diapun tertidur disana.

****

Saat itu sudah mendekati jam empat dini hari ketika Sancaka terlonjak bangun, bayangan seseorang yang baru saja melintas disebelahnya yang membuat pemuda itu refleks bereaksi.
Mata pemuda itu sempat melihat bayangan seseorang masuk ke ruang dalam.

Dengan mengatur nafas dan langkahnya, Sancaka mulai menyelinap ke ruang belakang, pemuda itu ingin tahu siapa sosok bayangan tadi, apalagi mengingat saat itu yang baru mendekati jam empat pagi membuat kecurigaan pemuda itu semakin besar.

Terdengar suara keletak-keletuk diikuti suara curahan air dari halaman belakang, ketika pemuda itu mengintip kesana dilihatnya seorang perempuan yang sedang memompa air dari pompa besi merek Dragon yang dipasang dipinggir sumur belakang, perempuan itu mengenakan baju kaos berwarna hijau muda dengan kaki terbalut kain batik selutut.

Walaupun cuma terlihat dari belakang tapi Sancaka dapat menilai bahwa perempuan itu agaknya masih cukup muda, bentuk tubuhnya juga cukup bagus, dan dari kulit betisnya juga dapat diduga bahwa kulitnya pastilah pula putih mulus.
Tinggal lagi yang belum dapat diduga adalah masalah kecantikannya karena wajahnya tidak terlihat dari belakang.

Sancaka terus mengawasi gerak-gerik perempuan itu yang agaknya tak mengetahui ada seseorang mengawasinya, setelah tempat air yang disinya itu penuh perempuan itu bergeser ke samping lalu berjongkok dan duduk diatas dingklik (sejenis bangku kecil dari kayu) dan mulai mencuci pakaian yang bertumpuk didepannya.
Karena kini perempuan itu duduknya menyamping barulah Sancak dapat melihat wajahnya, wajahnya ternyata memang cantik, Sancaka mengenali perempuan itu sekarang, dia adalah Rodiah seorang janda beranak satu, janda dari seorang pegawai kantor pos yang katanya meninggal akibat kecelakaan dinas beberapa tahun lalu.
Lama-lama melihat wajah cantik dan bentuk tubuh yang bagus dengan dada yang cukup besar, ditambah lagi kaos dan kain yang dikenakan peremuan itu sudah basah dan melekat ketat ke tubuhnya, membuat Sancaka mulai tergugah kelelakiannya.

Sedang asyiknya Sancaka memperhatikan dan membayangkan lekak-lekuk tubuh Rodiah, tiba-tiba perempuan itu menjerit ketakutan, bahkan sampai terjengkang ke belakang, Sancaka melihat didekat tumpukan pakaian yang sedang dicuci Rodiah itu terdapat seekor ular cobra yang sudah berdiri tegak dalam posisi siap menyerang.
Sancaka langsung berlari ke arah sumur itu, disambarnya sebatang sapu ijuk bertangkai rotan disamping pintu belakang, dan pemuda itu langsung mengayunkan sapu ijuk itu kearah ular cobra itu. Ayunan pukulan Sancaka yang tepat mengenai bagian kepala dan badan ular itu membuat ular itu terlempar cukup jauh.
Sancaka hendak maju dan memberi pukulan tambahan kepada ular itu akan tetapi karena sudah merasa sakit ular itu dengan cepat langsung merayap pergi.

Sancaka menoleh ke arah Rodiah yang masih terduduk menggigil ketakutan, tak menyadari bahwa kini kain yang dikenakannya telah tersingkap seluruhnya memperlihatkan pahanya yang putih mulus berikut celana dalamnya yang berwarna merah muda.
Pemandangan yang membuat batang penis pemuda itu langsung bereaksi, yang kalau tidak ditutupi celana pastilah sudah berdiri tegak seperti ular cobra yang baru saja dipukulnya tadi.

Sancaka mendekat dan berjongkok di samping perempuan itu, dipeluknya bahu perempuan itu sambil membisikkan kata-kata yang mungkin dapat meredakan rasa takut perempuan itu, Rodiah yang ketakutan itu refleks menyembunyikan dirinya kedalam pelukan Sancaka.
Sancaka mengangkat dagu Rodiah dan mata keduanya saling bertatapan, Sancaka harus mengakui bahwa perempuan ini memang benar-benar cantik, pantas saja sering menjadi bahan obrolan hampir seluruh laki-laki dewasa dikampungnya.
Mata adalah jendela hati, dan Rodiah bukanlah gadis yang belum mengenal lelaki, dari pandangan mata Sancaka dia tahu bahwa selain rasa kasihan ada sebersit birahi disana, kalau laki-laki lain mungkin sudah dari tadi didorongnya tubuh Sancaka, akan tetapi entah kenapa dia menyukai pemuda ini sehingga dia tidak segera melepaskan diri dai pelukan Sancaka.

Ketika Rodiah kemudian memejamkan matanya, Sancaka langsung membungkuk dikecupnya dengan perlahan bibir perempuan itu.
Rodiah membalas kecupan pemuda itu, sebentar saja keduanya sudah terlibat dalam ciuman yang cukup panas, dan tangan Sancaka dengan segera bergerak meraba dan mengelus paha mulus perempuan itu.

Ketika tangan Sancaka mulai berusaha menyelinap kedalam kaos yang dikenakannya, Rodiah langsung menangkap tangan nakal pemuda itu dan melepaskan ciumannya, “Jangan disini … sebentar lagi hari terang dan orang mulai ramai”, bisiknya.

Sancaka mengerti dan segera bangun sambil membopong tubuh Rodiah, tadinya dia hendak membawa perempuan itu ke kamar tamu depan, akan tetapi Rodiah menunjuk ke kamar tamu lainnya yang terletak di sebelah ruang makan.

Ketika Sancaka membaringkan tubuh rodiah keatas pembaringan itu, tanpa malu-malu lagi Rodiah langsung menarik kepala Sancaka dan menyambar bibir pemuda itu, kali ini perempuan itu tak memprotes lagi ketika tangan kiri Sancaka mulai menyelinap kedalam kaosnya.
Rodiah melentingkan tubuhnya keatas saat tangan kanan pemuda itu yang tertindih dibawah punggungnya berusaha membuka kaitan BH nya.
Kedua tangan Sancaka langsung menyingkapkan kaos dan BH perempuan itu keatas.
Buah dada Rodiah yang besar dan masih kencang itu membuat Sancaka tak tahan lagi dan langsung menetek disana.
Rodiah mendesah-desah keenakan, perempuan itu segera melepas kaos dan BH nya yang basah itu lalu melemparkannya ke samping tempat tidur.

Tangan kiri Sancaka mulai menyingkapkan kain yang dikenakan perempuan itu, setelah puas meraba paha Rodiah yang putih mulus itu, tangan Sancaka mulai bergerak menyelinap ke dalam celana dalam perempuan itu.
Belahan vagina perempuan itu sudah mulai basah, desahan Rodiah bertambah kuat ketika jari tengah Sancaka mulai bermain disana.

Sancaka kembali melumat dan menyedot puting susu Rodiah, “Ahhh.. Diapain itu saya mas … diapain …” desah perempuan itu dengan mata terpejam, ketika jari tengah Sancaka mulai dikocokkan keluar-masuk liang vagina perempuan itu.
Agaknya pengetahuan seks perempuan ini masih kurang pikir Sancaka.

Tak lama kemudian kedua paha Rodiah menutup dan menjepit tangan Sancaka dengan kuat, perempuan yang sudah lama tak menikmati seks itu dengan cepat telah mencapai puncak kepuasan.

Sancaka turun dari pembaringan dan mulai melepaskan seluruh pakaiannya.
Kemudian ditariknya tangan Rodiah hingga perempuan itu terduduk di tepi pembaringan.
Diarahkannya tangan Rodiah untuk menggenggam dan mengocok-ngocokkan batang penisnya.
Setelah itu ditariknya kepala Rodiah diarahkannya mulut perempuan kearah penisnya, Rodiah selalu menghindar.
Sancaka gemas juga dibuatnya.
“Pernah makan gulo palu?”, tanya Sancaka.
Rodiah mengangguk pelan.
(“gulo palu” itu semacam permen tradisonal, kalau di jawa sejenis “gulali”).
“Anggap ini gulo palu … ngerti?”, tanya sancaka lagi sambil menunjuk penisnya.
Rodiah mengangguk ragu.

Sancaka kembali menyodorkan penisnya ke muka perempuan itu, dengan ragu Rodiah membuka mulutnya dan mulai mengulum kepala penis Sancaka.
Setelah beberapa saat tampak Rodiah mulai menyukai permainan baru ini, kepala penis yang hangat dan kenyal itu cukup menggemaskannya.
Perempuan itu mulai asyik mengulum, menjilat dan menyedot-nyedot kepala penis Sancaka, matanya berbinar melihat Sancaka tersenyum senang.

Cukup lama Sancaka membiarkan perempuan itu menikmati permainan barunya, kemudian dengan pelan pemuda itu menarik lepas penisnya dari mulut Rodiah.

Ditariknya perempuan itu bangun, kemudian disuruhnya Rodiah berputar dan membungkuk kearah pembaringan.
Diangkatnya satu kaki perempuan itu keatas pembaringan.
Ketika Sancaka mulai menggesek-gesekkan kepala penisnya ke belahan vagina perempuan itu, Rodiah menoleh kebelakang kearah Sancaka, “Pelan-pelan ya mas … Saya sudah lama nggak beginian”, bisiknya pelan.
Sancaka hanya mengangguk.

Sancaka mendorong sedikit penisnya, kepala penisnya mulai menyelinap diantara bibir vagina Rodiah yang mulai terbuka.
Sancaka mulai mendorong dengan perlahan, Rodiah langsung mendesah lirih, dan Sancaka pun ikut mendesah karena liang vagina itu memang terasa sempit. Memang sudah lama tidak dilalui penis tampaknya.

Sancaka mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan perlahan, setiap dorongan penis Sancaka diiringi desahan Rodiah yang semakin lama semakin keras.
Sancaka merubah menggoyangkan pinggulnya, penisnya ditariknya dengan pelan dan kemudian dengan cepat didorong kembali dengan sedikit hentakan, “auhh … enak banget mas …”, desah Rodiah.
Setelah dirasa Sancaka liang vagina perempuan itu mulai banjir, sambil meremas-remas buah dada perempuan itu dengan tangan kirinya, Sancaka pun semakin mempercepat goyangan pinggulnya, semakin lama semakin cepat
Rodiah tak terdengar lagi suaranya, mulut perempuan itu terkatup rapat, kepalanya tampak menggeleng-geleng dengan kuat.
Tak lama kemudian Rodiah menjerit tertahan, tubuhnya mengejang dan bergetar hebat, Sancaka menahan pinggul perempuan itu mempertahankan penisnya tetap terbenam sedalam mungkin.

Setelah puncak kenikmatan perempuan itu mereda, Sancaka dengan pelan menggulingkan tubuh Rodiah. Kini perempuan itu terlentang lemas dengan nafas masih memburu.

Ditariknya perempuan itu sampai pantatnya persis di bibir pembaringan, Sancaka mengangkat kaki kanan perempuan itu keatas sementara kaki kirinya dibiarkan menginjak lantai.
Sancaka meletakkan kaki kanan Rodiah ke bahunya dan membungkuk kedepan, diarahkannya kembali penisnya ke liang vagina perempuan itu.
Rodiah tersentak kaget karena Sancaka langsung menghunjamkan penisnya dengan kuat, “Auhhh … bisa robek itu ku masss … tapi enak … terusin masss”, ceracau perempuan itu karena keenakan karena Sancaka tidak lagi menahan gerakan pinggulnya, pemuda itu kini memberikan hentakan dan hunjaman yang cepat dan kuat.

Kedua tangan yang tadinya bertumpu di pembaringan kini berpindah ke dada Rodiah, kedua tangan Sancaka mencengkeram buah dada perempuan itu.
Gerakan pinggul Sancaka semakin lama semakin cepat, Rodiah tampak menggigit bibirnya menahankan kenikmatan di liang vaginanya.
Tak lama kemudian tampak Rodiah telah hampir tak kuat lagi menahan diri, tubuhnya mengejang dan tangannya mencengkeram lengan Sancaka dengan kuat.
Sancaka menggeram dan menghunjam-hunjamkan penisnya sekuat-kuatnya, Rodiah menjerit tertahan tubuhnya melenting dan hampir bersamaan Sancaka mencengkeram kuat buah dada perempuan itu sambil menghunjamkan penisnya sedalam mungkin, keduanya sama-sama terhempas dipuncak kepuasan.

Tak lama kemudian Sancaka yang memang kurang tidurnya semalam sebentar saja sudah tertidur lelap di pelukan Rodiah.
Rodiah tampak meneteskan air mata, perempuan itu menyadari bahwa laki-laki yang dipeluknya ini tidak mungkin menjadi milikinya.
Perempuan itu menyadari betapa perbuatannya barusan dengan lelaki ini sangat salah dan melanggar norma kesusilaan, akan tetapi dia pun tidak memungkiri bahwa seandainya esok lusa pemuda ini kembali menghampirinya dia pun pasti tak akan menolaknya, dia akan dengan sukarela memberikan tubuhnya kepada pemuda ini lagi, lagi dan lagi.

Rodiah menyelimuti dan mengecup kening Sancaka sebelum meninggalkan pemuda itu tertidur sendirian.
Untung dia dalam masa tidak subur sehingga dia tak perlu mengkhawatirkan dampak buruk kenikmatan yang baru saja dikecapnya.

****
 
Cerita ini memang keren dan salah satu cerita legendaris. Dulu pernah baca di situs yg sudah almarhum. Good job hu..
 
wajib lanjut cerita nya ya suhu..
harus, kudu, mesti TamaT..makasih
 
Bener bener mantab ceritanya...
Sepertinya blom selesai kan bro TS..?

Setia munggu update
 
Chapter 9b

Sambil mengobrol dengan Bu Puji, sempat terlintas dipikirannya bahwa perkataan calon mertuanya tadi ada benarnya, dia memang sudah berubah, berubah menjadi pemuda cabul, bahkan tadi dia sempat menganggap bahwa calon mertuanya itu telah memandangnya dengan penuh nafsu birahi.
Sesaat pemuda itu tersenyum kecut merasa betapa mudahnya pikiran kotor hinggap dikepalanya, bahkan terhadap calon mertuanya sendiri.

Hari telah mulai gelap dan matahari nyaris tenggelam, Sancaka masih mengobrol dengan Bu Puji ketika dihalaman terdengar dua orang wanita berjalan ke arah rumah Gayatri sambil bersenda gurau, “Itu mereka pulang”, Bu Puji yang kebetulan duduknya menghadap ke arah luar berkata sambil bangkit berdiri.

Sancaka bangkit berdiri dan meloncat ke bawah jendela, “Jangan bilang kalau saya ada disini ya Bu … Saya ingin buat kejutan buat Gayatri”, bisiknya agak keras, “Saya sembunyi di kamar tamu depan ya Bu”, lanjutnya lagi, pemuda itu tersenyum senang dan segera menyelinap ke dalam kamar tamu di sebelah ruang depan setelah melihat anggukan kepala Bu Puji. Calon mertuanya itu hanya tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dari celah pintu yang dibiarkannya terbuka sedikit Sancaka dapat dengan bebas mengamati keadaan diluar, ditambah lagi keadaan ruang tamu depan yang cukup gelap semakin menyempurnakan persembunyiannya.

Ketika Gayatri dan temannya melangkah masuk keruang depan itu Sancaka nyaris jatuh terjengkang ke belakang saking terkejutnya, mukanya pucat pasi dan nafasnya nyaris putus, teman yang melangkah masuk bersama Gayatri itu tak lain adalan Tantri, selir utama Tuan Frantzheof de Van Pierre, yang tiga hari lalu menenggelamkan dirinya dalam pesta seks bersama kelima selir Tuan Frantzheof de Van Pierre lainnya.

Sancaka menjadi kebingungan sendiri karena situasi yang tak terduga ini, alih-alih memberi kejutan pada tunangannya, dirinya sendiri baru saja nyaris mati terkejut sendiri.
Sambil tersandar lemas masih didengarnya ketiga orang diruang depan itu asyik ngobrol, pemuda itu masih belum dapat memutuskan harus berbuat apa, tak lama kemudian didengarnya Gayatri dan Tantri pamit ke Bu Puji dan cekikikan berlomba cepat masuk ke kamar Gayatri.

Sancaka masih tersandar lemas didinding disebelah pintu kamar tamu depan itu ketika Bu Puji dari celah pintu itu berbisik memanggilnya, “Nak Sanca … Nak Sanca masih didalam?”.
“Iya Bu … saya masih disini”, jawab Sancaka pelan.
“Kenapa tidak keluar tadi … tunggu sebentar ya”, terdengar kembali bisikan calon mertuanya itu, pemuda yang masih kebingungan itu tak memberi jawaban.

Terdengar calon mertuanya melangkah menjauh dari kamar tamu itu dan setelah itu terdengar teriakannya, “Gayatri … Ibu mau ke Toko Asiong sebentar … Ada yang mau dibeli”, lalu terdengar suara tunangannya menyahut dari dalam kamarnya, “Iya Bu”.

Kemudian terdengar suara pintu depan ditutup dan tak lama kemudian Bu Puji sudah menyelinap ke dalam kamar tamu depan dimana Sancaka berada.
“Kamu kenapa Sancaka? … Sakit?” tanya Bu Puji melihat pemuda itu tersandar didinding didekat pintu.
Tangannya langsung meraba kening pemuda itu, “Kamu seperti habis melihat hantu saja … memangnya wajahku segitu menyeramkan sampai kamu keringatan dingin begini … ayo duduk dan istrirahat disana”, lanjutnya lagi sambil menuntun Sancaka ke tempat tidur setelah menutup pintu dan menyalakan lampu.

“Kenapa tidak keluar tadi? … Kamu kaget waktu ibu menyelinap masuk tadi ya? … Masak bisa ketakutan begitu melihat ibu seperti melihat hantu?”, tanya calon mertuanya sambil membelai kepala pemuda itu.

“Bukan kok Bu .. saya bukan kaget melihat ibu masuk tadi … saya masih bersembunyi karena masih berusaha mengingat siapa kawannya Gayatri tadi”, jawab pemuda itu mencoba berbohong.

Posisinya yang duduk di tempat tidur sementara Bu Puji berdiri di hadapannya mau tak mau membuat muka pemuda itu persis berhadapan dengan buah dada wanita itu, sepasang buah dada dibalik kebaya itu tegak menantang karena Bu Puji memang belum pernah melahirkan, jadi payudaranya tentu masih kencang dan bagus bentuknya.

“Masak kamu nggak kenal sama Tantri .. katanya dulu kalian bertiga khan satu kampus bahkan sama tempat mondoknya … dia saja masih ingat kok sama kamu Sanca”, sahut calon mertuanya sambil masih membelai kepala pemuda itu.

“Itulah Bu … saya masih berusaha mengingat hal itu”, jawab pemuda itu pelan. Sancaka mendongak keatas dilihatnya mertuanya menahan tawanya sambil menutup mulut dengan tangan kirinya. “Kok Ibu tertawa begitu?” tanyanya bingung.

“Kamu itu tadi saja waktu sendirian di kamar ini masih juga tidak bisa mengingat siapa Tantri … apalagi sekarang … wong dari tadi matamu itu nggak pernah lepas dari sini”, sahut Bu Puji gemas menunjuk kearah dadanya dan menjiwir hidung pemuda itu.
Sancaka hanya nyengir malu dengan muka merah.

“Sini biar lebih cepet inget … daripada cuma dilihat terus”, kata Bu Puji melangkah maju dan memeluk kepala pemuda itu kedadanya, diciumnya ubun-ubun pemuda itu, Sancaka merasakan betapa empuknya dada calon mertuanya itu, membuat jantungnya berdegap-degup tak keruan.
Wangi tubuh mertuanya itu makin mempercepat nafsunya naik ke ubun-ubun.

“Enak?” tanya mertuanya berbisik, Sancaka mengangguk dan memberanikan diri memeluk pinggang Bu Puji.
Sancaka mendongakkan kepalanya ingin melihat ekspresi muka calon mertuanya itu, Bu Puji langsung menunduk dan menyambar bibir pemuda itu, Sancaka semula agak kaget juga melihat keganasan calon mertuanya itu, akan tetapi dia langsung bereaksi tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, keduanya segera terlibat dalam ciuman yang panas.

Ketika ciuman keduanya terlepas jemari Sancaka langsung bekerja membuka kebaya yang dikenakan Bu Puji, berikutnya melepas stagen dan kemben yang dikenakan wanita itu, terakhir kain batik calon mertuanya yang jatuh kelantai.

Kini Bu Puji berdiri dihadapan Sancaka dalam keadaan nyaris telanjang, hanya tinggal celana yang berwarna putih itu saja yang menutupi bagian terpenting dari tubuh wanita itu.
Sancaka menelan ludah, tubuh calon mertuanya itu memang masih bagus dan menggairahkan, buah dadanya masih indah dan kencang. Pantas untuk diebut sebagai tubuh gadis yang sudah matang, bukankah calon mertuanya ini belum pernah melahirkan apalagi menyusui.

Sambil tersenyum genit perempuan itu mulai membukai seluruh pakaian Sancaka, pemuda itu tetap dalam posisi duduk dan membiarkan semua perbuatan Bu Puji.
Setelah itu Bu Puji kembali berdiri dan melepaskan penutup terakhir tubuhnya.
Bu Puji kembali menarik dan memeluk kepala pemuda itu kedadanya, “Namaku Puji Astuti … kamu boleh memanggilku Tuti kalau kamu mau”, bisiknya lembut.

Tanpa ragu lagi Sancaka segera menarik tubuh telanjang itu, dibalikkan dan disandarkannya di kepala pembaringan itu.
Puji Astuti terkikik geli melihat keganasan pemuda itu.

Sancaka dengan ganas langsung menciumi bibir, leher dan buah dada Puji Astuti bergantian, diselingi remasan dan pelintiran jarinya di kedua buah dada perempuan itu, “Iya … Sanca … Jadikan aku objek kebuasanmu”, desah perempuan itu dengan tubuh meliuk-liuk keenakan.

Sancaka tiba-tiba menghentikan gerakannya, “Sesuai permintaanmu … Hari ini kau akan merasakan kebuasanku”, katanya gemas, ditariknya tubuh Puji Astuti ke tengah pembaringan itu.
Dibukanya kedua paha Puji Astuti, pemuda itu berjongkok diantara kedua paha itu, setelah itu diarahkan dan digesek-gesekannya kepala penisnya ke belahan vagina perempuan itu.
Puji Astuti memejamkan mata, menunggu, sambil meremas-remas buah dadanya sendiri.
Tiba-tiba Sancaka menekan dan mendorong dengan cepat dan kuat, batang penis pemuda itu masuk seluruhnya dalam satu kali hentakan, “Auchh”, jerit Puji Astuti terkejut.
Belum habis rasa kaget kaget perempuan itu, Sancaka dengan cepat menyelipkan kedua tangannya melalui bawah paha Puji Astuti dan menangkap kedua pergelangan tangan perempuan itu yang tadi sedang meremas-remas buah dadanya sendiri, kemudian ditariknya kedua tangan perempuan itu sambil mulai menggerakkan pinggulnya.
Dengan berpegang pada kedua tangan Puji Astuti seperti itu Sancaka dapat menghentakkan pinggul dengan bebas, memberikan hentakan-hentakan cepat dan kuat, “Auchh … Gila kau Sanca …“, Puji Astuti hanya dapat menjerit lirih, kepalanya terdongak dengan tubuh mengejang menerima setiap hunjaman penis Sancaka yang dengan mantap menerobos liang vaginannya.

Tak lama kemudian tubuh Puji Astuti tampat tersentak-sentak kuat, agaknya perempuan itu telah mencapai puncak kepuasannya, akan tetapi Sancaka tidak sedikitpun mengendurkan gerakan pinggulnya, “Aduh … Mati aku…”, Puji Astuti mendesah dan menggeram, tubuhnya meliuk-liuk liar.
Beberapa saat kemudian tubuh Puji Astuti kembali tersentak kuat, begitu kuatnya sentakan itu sampai pengangan Sancaka terlepas, kedua tangan perempuan itu langsung menahan gerakan pinggul Sancaka, “Ampun Sanca … ampun”, desahnya dengan suara dan tubuh bergetar seperti orang menggigil kedinginan.

Sancaka menghentikan serangannya, membiarkan penisnya terbenam dalam liang vagina perempuan itu, menikmati remasan-remasan kuat dinding vagina itu di batang penisnya.
Selama ini Puji Astuti memang jarang sekali mendapat kepuasan dari suaminya yang lebih tua, dan kini dalam tempo singkat dia telah mendapatkan itu dua kali berturut-turut.

Setelah Puji Astuti kembali membuka matanya, Sancaka langsung menindih tubuh perempuan itu, Puji Astuti langsung merangkul kepala Sancaka sambil membuka dan melingkarkan kedua paha di pinggang pemuda itu.
Bibir mereka bertemu dan langsung saling melumat dengan ganas.

Tak membuang waktu lagi Sancaka langsung mencengkeram bahu perempuan itu dan mulai mengayunkan pinggulnya maju-mundur dengan cepat, tak kuat menahan kenikmatan yang kembali mendera membuat Puji Astuti bukan lagi memeluk melainkan mulai mencakar-cakar punggung pemuda itu.
Sancaka tampaknya juga ingin menuntaskan pertempuran kali pertama ini, ketika sudah mendekati puncaknya Puji Astuti melepaskan ciumannya di bibir pemuda itu, “Aduh … Aku nggak kuat lagi Sanca …”, desahnya dengan nafas memburu.
Pemuda itu mempercepat goyangan pinggulnya.
Sancaka sudah mendekati puncak ketika tubuh Puji Astuti kembali tersentak mengejang, desahan puncak kenikmatan perempuan itu langsung tertahan karena Sancaka langsung membekap mulut dan hidung perempuan itu.
Puji Astuti meronta-ronta dibuatnya, liang vagina perempuan itu terasa mencengkeram dengan kuat.
Sancaka semakin mempercepat goyangannya dan dengan hempasan kuat batang penisnya menghunjam sedalam-dalamnya ke liang vagina perempuan itu, menyemburkan cairan kenikmatannya.

Sancaka melepaskan bekapan tangannya dari mulut dan hidung Puji Astuti, perempuan itu terengah-engah mengatur nafasnya, “Gila kamu Sanca … Gila kamu ya … Bisa mati aku tadi”, sungutnya sambil memukuli punggung pemuda itu dengan tangan gemetaran.

Sancaka hanya tertawa-tawa saja sambil sesekali mencium dan melumat puting susu calon mertuanya itu.
“Tadi enak khan? … Mau lagi nggak? … Ngga mau yach? …”, goda Sancaka sambil menjawil dagu perempuan itu setelah dilihatnya nafas Puji Astuti telah mulai teratur.
“Sialan kamu ya …”, jerit perempuan itu malu sambil mencubit pinggang calon mantunya itu.

Sancaka menggulingkan dirinya ke samping perempuan itu. Puji Astuti segera memeluk dan meletakkan kepalanya didada pemuda itu.
Betapa bahagianya kalau dia yang menjadi istri Sancaka batinnya.

****

Puji Astuti dan Sancaka yang masih beristirahat sambil berpelukan itu sempat tegang sejenak ketika mendengar suara Gayatri dan Tantri di ruang depan diluar kamar tempat mereka memadu kasih barusan.

“Ayo kita pergi … nampaknya Ibu sedang keluar juga … aku sudah lapar nich”, terdengar Gayatri berkata, dan tak lama kemudian terdengar pintu depan dibuka dan ditutup kembali.
Puji Astuti dan Sancaka menghela nafas lega, untung gadis itu tidak mencari Ibunya sampai ke kamar tamu depan ini, apa jadinya kalau gadis itu memergoki mereka.

Baru saja Puji Astuti merebahkan kembali kepalanya di dada Sancaka, keduanya langsung terlonjak kaget.
Tiba-tiba saja pintu kamar itu terkuak sedikit, ada seseorang disana yang mengintip mereka.

Sancaka meloncat kearah pintu untuk melihat siapakah orang itu, akan tetapi orang itu langsung berlari kearah pintu keluar, orang itu sempat menoleh dan ternyum genit kearah Sancaka, orang itu tak lain adalah Tantri.
Entah kapan gadis itu masuk kembali kerumah ini, baik Puji Astusti maupun Sancaka tidak mendengar suara apapun, bahkan mereka tadi tidak sempat menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang mereka.

Sancaka menutupkan kembali pintu kamar itu, “Orang yang tadi mengintip adalah Tantri”, bisiknya sambil naik kembali ke atas pembaringan.

Melihat wajah Puji Astuti yang masih juga pucat karena takut dan cemas, Sancaka langsung membelai wajah calon mertuanya itu dan mencium keningnya, “Tenanglah … aku yakin Tantri tidak akan menceritakan masalah ini kepada orang lain”, bisiknya menghibur.
Puji Astuti mengangguk lemah dan berusaha tersenyum.
Keduanya berciuman kembali.

“Malam ini kamu harus tidur disini … Aku akan menyiapkan makan malam untukmu”, bisik Puji Astuti sambil bangkit berdiri dan kemudian mengenakan kembali pakaiannya.
Sancaka hanya tersenyum memperhatikan.

Puji Astuti menyelinap keluar kamar setelah mencium kening Sancaka.

Tak lama kemudian terdengar kembali suara Gayatri dan Tantri yang agaknya baru pulang dan kini masuk kedalam sambil terus memperbincangkan tentang sesuatu yang tak terlalu jelas terdengar oleh Sancaka.

****

Malam itu hampir jam sembilan barulah Puji Astuti masuk kembali ke kamar tamu depan itu, tangannya membawa nampan berisikan beberapa buah piring besar dan kecil yang terisi dan nasi, lauk, sayur dan sambal. Sancaka saat itu sedang duduk di sisi pembaringan menikmati rokoknya.
“Maaf ya … habisnya harus menunggu Gayatri dan Tantri masuk ke kamar dulu baru berani menyelinap kesini”, katanya sambil meletakkan nampan itu keatas tempat tidur disebalah Sancaka, “Sudah lapar ya sayang?”, tanyanya sambil duduk disebelah pemuda itu, dipeluknya dan diciuminya leher pemuda itu, “Cepat habiskan rokoknya terus makan … kalau nggak makan nanti nggak ada tenaga buat pertempuran nanti malam”, bisiknya genit.

Sancaka cepat-cepat menghabiskan rokoknya dan mulai makan dengan lahap, perutnya memang sudah teriak-teriak minta diisi sejak tadi.
Puji Astuti tersenyum senang melihat pemuda itu makan dengan lahapnya.

“Aku bikinkan kopi ya”, bisiknya dan segera beranjak keluar meninggalkan Sancaka yang sedang makan.

Sancaka telah selesai makan dan kembali menyulut rokoknya ketika Puji Astuti kembali masuk kamar itu dengan secangkir kopi ditangannya.
Keduanya terlibat obrolan sambil bisik-bisik karena takut kedengaran oleh Gayatri, agaknya Puji Astuti masih mencemaskan soal Tantri yang tadi sempat memergoki mereka.
Sancaka terus berusaha meyakinkan dan menenangkan Puji Astuti sampai wanita itu tenang dan mulai ceria kembali.

Tangan Puji Astuti mulai nakal dan ketika merasakan bahwa penis pemuda itu mulai bangun kembali, wanita itu langsung mengendurkan gulungan ikatan kain sarung yang dikenakan Sancaka, memang pemuda itu saat ini mengenakan kaim sarung yang tadi diambilnya dari dalam lemari pakaian yang ada di kamar itu.
Melihat wanita itu sudah memulai serangan, Sancaka pun tak mau kalah, tangannya mulai membuka pakaian yang dikenakan wanita itu.

Tak lama kemudian Sancaka telah kembali menindih tubuh bugil Puji Astuti, pemuda itu dengan buas mulai menetek sambil menggesek-gesekkan kepala penisnya ke belahan vagina calon mertuanya itu.
Puji Astuti mendesah dan mendesis keenakan sambil meremas-remas rambut pemuda itu.

“IBUUU…!!!”, terdengar jerit panjang Gayatri yang histeris, entah kapan gadis itu bisa berdiri didepan pintu kamar yang kini terpentang lebar itu.
Puji Astuti dan Sancaka terloncat bangun karenanya, keduanya sibuk menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut.

Gayatri berdiri disana dengan muka pucat dan tubur gemetar, air mata gadis itu mulai mengalir, “Kalian … Apa yang … Kalian memang Keji !!! … “, jeritnya lagi, tangannya yang gemetar menahan emosi itu menuding kearah Puji Astuti dan Sancaka bergantian.
Puji Astuti hanya terdiam, menyembunyikan mukanya dan mulai menagis.
Begitu juga dengan Sancaka, pemuda itu hanya terdiam dengan muka pucat, lidahnya tiba-tiba menjadi kelu tak dapat bersuara.

“Mas Sanca kau …. Kau … Kejam!”, Gayatri menjerit lirih dan ambruk ke lantai, gadis itu akhirnya jatuh pingsan karena tak kuat menahan emosinya lagi, hatinya hancur melihat perbuatan Ibu dan tunangannya barusan.
Disana kini berdiri Tantri yang tersenyum sinis, rupanya gadis itu sejak tadi berdiri di belakang Gayatri.

Puji Astuti menghambur kearah tubuh Gayatri yang tergolek dilantai, wanita itu langsung menangis dan meratap sambil menciumi kening gadis itu, “Maafkan Ibu Gayatri … Maafkan Ibu”, bisiknya berulang-ulang dengan suara parau.

Tantri masih berdiri disana dan terus menatap kearah sancaka dengan pandangan mengejek dan senyum sinis, tak sedikitpun mengacuhkan keadaan Puji Astuti dan Gayatri.

“Setan kau Tantri … “, desisnya marah melihat keadaan tunangannya yang kini tergolek pingsan dilantai, dengan cepat dia mengenakan kembali celananya, setelah itu pemuda itu menerjang kedepan dan pukulannya melayang dan menghantam pelipis kiri gadis itu.
Tantri terjajar kebelakang dan menghantam kursi dan meja di ruang depan, dengan perlahan gadis itu berdiri kembali tanpa terluka sedikitpun.
Gadis itu kembali menatap tajam kearah Sancaka dan senyum sinis masih menghias bibirnya.

Tiba-tiba Tantri mendengus dan tubuhnya Tantri melayang dengan cepat kearah Sancaka dan hanya dengan satu kibasan saja gadis itu telah melemparkan tubuh pemuda itu ke belakang. Tubuh Sancaka terlempar kebelakang menghantam jendela dan terlempar keluar, pemuda itu jatuh terhempas ke halaman samping.

Sancaka mengeluh lirih, berusaha bangun walaupun tulang punggungnya terasa remuk dan nyeri bukan main.

Tantri kembali mendengus dan tubuhnya melayang menerobos jendela dengan cepat kearah Sancaka, tamparan keras menghantam pipi pemuda itu, tubuh Sancaka kembali terhempas ke atas tanah.
Sancaka mengeluh lirih dan sekuat tenaga masih berusaha bangun walaupun pandangannya kini nanar berkunang-kunang dengan kepala serasa berputar-putar.

Tantri tertawa puas, dicengkeram dan ditariknya rambut Sancaka dengan kuat, “Sudah ingatkah kau padaku sekarang Sancaka!”, bentaknya sambil tersenyum sinis.

“Jangan kau sentuh dia Tantri”, terdengar suara wanita menegur dengan halus.

Tidak jauh dari mereka telah berdiri sesosok wanita yang tidak lain adalah Rianti, Tantri mendengus kesal dan berkelebat menyerang Rianti, akan tetapi tubuh Rianti berkelebat lebih cepat dan dengan satu tamparan tubuh Tantri langsung terlempar balik dan terhempas ke atas tanah beberapa meter dari tubuh Sancaka.

Mata Tantri berkilat penuh amarah, gadis itu memandang wajah Rianti dengan penuh kebencian, lingkaran hitam mata gadis itu lalu berubah kuning kemerahan dan mulutnya menyeringai ganas memperlihatkan dua taring yang kini menyembul keluar.

Rianti hanya diam berdiri bertolak pinggang dan memperhatikan perubahan diri Tantri sambil tersenyum mengejek dan berkata, “Belum cukupkah teguranku tadi Tantri? Ingat-ingat akan tugasmu!”.

“Persetan dengan semua itu! … Aku bebas berbuat sesuka hatiku!”, jerit Tantri sambil merunduk, posisi tubuhnya seperti orang yang bersiap-siap dalam sebuah perlombaan lomba lari.
Terdengar gadis itu menggeram diikuti suara tulang-tulang ditubuh gadis itu berkeretekan.
Terjadi perubahan hebat terhadap fisik gadis itu dimulai dari kepalanya, kemudian bahu dan tangannya dan terakhir bagian kakinya, setiap bagian yang berubah membesar itu diikuti oleh tumbuhnya bulu-bulu yang cukup panjang dan terlihat kaku.
Suara robeknya pakaian yang dikenakan Tantri disana-sini menambah seram proses perubahan itu.
Kini tubuh gadis itu menjelma menjadi monster bertubuh lebih mirip serigala raksasa daripada tubuh manusia, dengan ukuran dua kali lipat ukuran tubuh manusia normal.

Sancaka melihat semua perubahan itu dengan muka pucat pasi, tubuhnya terduduk lemas tak bertenaga, hilang semua kecantikan Tantri yang selama ini membuat Sancaka kagum padanya.

Monster jelmaan Tantri menyeringai memperlihatkan deretan giginya yang tajam dengan dua buah taring besar lalu mendongak kelangit mengeluarkan lolongan yang menyeramkan, setelah lolongannya habis monster itu melesat cepat ke arah Rianti.
Kedua tangan terbuka siap dengan serangan cakar-cakarnya yang besar dan berwarna hitam.
Rianti tak bergeming sedikitpun gadis itu malah tersenyum sinis sekali.

Sinisnya senyum Rianti dikarenakan melihat Tantri yang dalam kemarahannya melupakan bahwa darah vampire yang mengalir ditubuh gadis itu tidak semurni seperti yang dimilikinya, yang tentu saja berarti kekuatan gadis itu bukanlah tandingannya pula.

Rianti sudah memutuskan akan memberikan pelajaran keras pada gadis itu kali ini.

“DORRR!!!”, terdengar letusan keras dan monster jelmaan Tantri yang sedang melesat kearah Rianti itu meraung keras, langkahnya terhenti dan tangannya kirinya menekap ke arah dada sebelah kanan.
“DORRRR!!!”, letusan keras kembali terdengar ketika monster jelmaan Tantri itu masih meneruskan langkahnya kearah Rianti itu, kali kedua pula monster itu mengeluarkan raung kesakitan, langkahnya terhenti dan monster itu jatuh terduduk ditanah dengan kedua tangan menekap ke arah dada kirinya.

“Tantri…!!!”, Rianti menjerit pilu dan langsung melesat cepat kearah monster itu, dipeluk dan direbahkannya kepala monster itu kedadanya, sambil terisak-isak menangis Rianti terus membelai dan menciumi kepala monster itu.

Perlahan tubuh monster itu kembali ke bentuk aslinya, kembali menjelma menjadi Tantri yang cantik jelita, darah segar masih terus mengalir dari dua buah lubang yang cukup besar di kedua dada gadis itu.

“Kau memang keras kepala”, bisik Rianti dengan tangis semakin keras melihat begitu banyak darah yang mengalir dari luka di dada kiri gadis itu, Rianti berusaha menutup luka itu dengan telapak tangan kanannya, agaknya tembakan kedua tadi tepat mengenai jantung.

Muka Tantri semakin pucat kehabisan darah, dengan tangan gemetaran gadis itu meremas tangan Rianti, keningnya berkerut-kerut menahan sakit, “Maafkan aku ya Mbakyu … Aku memang keras kepala dan tak pernah mau menuruti nasehatmu”, bisiknya lirih. Air mata gadis itu pun mengalir dengan deras.

“Tantri … Tantri…”, Rianti meratap pilu dan memeluk gadis itu dengan erat, nafas gadis itu tingal satu-satu sampai akhirnya berhenti sama sekali, tangannya yang tadi balas memeluk Rianti telah jatuh terkulai.

Cukup lama Rianti menangis dan meratap sambil memeluk tubuh Tantri yang sudah tak bergerak lagi itu, sampai ia merasakan ada tangan yang memegang dan menepuk-nepuk bahunya dari belakang, Rianti membiarkan saja karena semula ia mengira orang yang berdiri dibelakangnya itu adalah Sancaka.

Ketika tangisnya sudah reda dia pun menoleh kearah orang yang memegang bahunya itu, gadis itu langsung tercekat kaget, “Mas Totok…!!!”, bibirnya refleks menyebut nama orang itu.

Orang itu memanglah Rianto adanya, kakak sekaligus kembaran Rianti.
Dibelakang sang kakak berdiri seorang lelaki londo tinggi besar yang tak lain adalah Van Helsing Junior, orang yang telah melepaskan tembakan ke arah Tantri ketika gadis itu bermaksud menyerang Rianti tadi.

Rianto membantu adiknya bangun dan memapahnya meninggalkan tempat itu, sempat ditolehnya sebentar ke arah Sancaka dan berkata, “Tak ada lagi yang bisa kau lakukan disini Sancaka … masuk dan lihatlah keadaan tunanganmu”.

Dengan lunglai Sancaka mengangguk dan berajak bangun untuk masuk kedalam rumah tunangannya itu.

Sempat dilihatnya Van Helsing Junior berjongkok disamping tubuh Tantri sambil mengeluarkan dua buah pasak logam kekuningan yang berujung tajam dan sebuah palu godam dari tas yang disandangnya.
Pasak yang besar ditancapkan dan dipakukan dibagian jantung sementara pasak yang kecil di tancapkan dan dipakukan tepat diantara kedua alis.
Kemudian londo itu memangul tubuh Tantri dan membawanya pergi menghilang di kegelapan malam.

****

Sancaka membaringkan tubuh Gayatri ke tempat tidur dikamar gadis itu, gadis itu masih dalam keadaan pingsan tadi ketika Sancaka masuk ke dalam rumah.
Puji Astuti sudah reda tangisnya tinggal sesekali terisak-isak kecil saja, wanita itu duduk di ujung pembaringan itu memijat-mijat kaki Gayatri sambil memandang penuh kasihan ke arah putrinya.

Kemudian Sancaka pergi kembali ke kamar tamu depan untuk mandi dan mengenakan kembali pakaiannya, karena sedari tadi pemuda itu hanya mengenakan celana panjang dan bertelanjang dada dengan tubuh penuh debu tanah akibat dilempar keluar oleh Tantri..

“Keluar ! … Keluar ! …”, terdengar teriakan Gayatri diikuti oleh suara-suara barang pecah, Sancaka langsung berlari ke arah kamar gadis itu.
Dilihatnya Puji Astuti berdiri menangis di pintu kamar Gayatri, gadis itu masih berteriak-teriak histeris sambil sesekali melemparkan benda-benda yang ada didekatnya.

Ketika Sancaka melangkah masuk ke kamar itu Gayatri pun langsung meloncat dari tempat tidurnya, tangannya melayang ke pipi Sancaka, pemuda itu yang memang sudah merasa bersalah hanya diam membiarkan.
“PLAK!”, tamparan keras gadis itu tak urung membuat pandangan Sancaka berkunang-kunang karena tamparan itu selain menghantam pipinya dengan kuat juga tepat mengenai telinganya membuat gendang telinganya seperti mau pecah rasanya.
Serangan Gayatri tidak hanya berhenti disitu, gadis itu langsung memukuli dada Sancaka bertubi-tubi, melihat airmata gadis itu yang mengalir deras Sancaka membiarkan gadis itu terus memukuli dadanya untuk melampiaskan semua emosinya.

Setelah pukulan-pukulan gadis itu melemah, Sancaka menangkap kedua tangan gadis itu, kemudian dipeluknya tubuh tunangannya itu, pemuda itu berusaha menenangkan gadis itu seraya berulang kali meminta maaf atas kejadian tadi.
Cukup lama Gayatri menangis di dada pemuda itu, sampai akhirnya kesadarannya pulih kembali dan segera ditolakkannya tubuh pemuda itu ke belakang.

Dengan gontai Gayatri melangkah menuju ke pembaringan, “Keluar lah kalian … aku tak ingin melihat muka kalian berdua”, jeritnya dengan suara parau sambil menyembunyikan diri didalam selimut.

Mendengar itu Puji Astuti langsung berlari sambil menangis ke kamar tidurnya, Sancaka tercenung sejenak sebelum akhirnya menghela nafas panjang dan beranjak keluar dan menutupkan pintu kamar tunangannya itu.

Sancaka terduduk lesu di kursi tamu di ruang depan dengan pikiran dan perasaan kalut, sampai akhirnya diapun tertidur disana.

****

Saat itu sudah mendekati jam empat dini hari ketika Sancaka terlonjak bangun, bayangan seseorang yang baru saja melintas disebelahnya yang membuat pemuda itu refleks bereaksi.
Mata pemuda itu sempat melihat bayangan seseorang masuk ke ruang dalam.

Dengan mengatur nafas dan langkahnya, Sancaka mulai menyelinap ke ruang belakang, pemuda itu ingin tahu siapa sosok bayangan tadi, apalagi mengingat saat itu yang baru mendekati jam empat pagi membuat kecurigaan pemuda itu semakin besar.

Terdengar suara keletak-keletuk diikuti suara curahan air dari halaman belakang, ketika pemuda itu mengintip kesana dilihatnya seorang perempuan yang sedang memompa air dari pompa besi merek Dragon yang dipasang dipinggir sumur belakang, perempuan itu mengenakan baju kaos berwarna hijau muda dengan kaki terbalut kain batik selutut.

Walaupun cuma terlihat dari belakang tapi Sancaka dapat menilai bahwa perempuan itu agaknya masih cukup muda, bentuk tubuhnya juga cukup bagus, dan dari kulit betisnya juga dapat diduga bahwa kulitnya pastilah pula putih mulus.
Tinggal lagi yang belum dapat diduga adalah masalah kecantikannya karena wajahnya tidak terlihat dari belakang.

Sancaka terus mengawasi gerak-gerik perempuan itu yang agaknya tak mengetahui ada seseorang mengawasinya, setelah tempat air yang disinya itu penuh perempuan itu bergeser ke samping lalu berjongkok dan duduk diatas dingklik (sejenis bangku kecil dari kayu) dan mulai mencuci pakaian yang bertumpuk didepannya.
Karena kini perempuan itu duduknya menyamping barulah Sancak dapat melihat wajahnya, wajahnya ternyata memang cantik, Sancaka mengenali perempuan itu sekarang, dia adalah Rodiah seorang janda beranak satu, janda dari seorang pegawai kantor pos yang katanya meninggal akibat kecelakaan dinas beberapa tahun lalu.
Lama-lama melihat wajah cantik dan bentuk tubuh yang bagus dengan dada yang cukup besar, ditambah lagi kaos dan kain yang dikenakan peremuan itu sudah basah dan melekat ketat ke tubuhnya, membuat Sancaka mulai tergugah kelelakiannya.

Sedang asyiknya Sancaka memperhatikan dan membayangkan lekak-lekuk tubuh Rodiah, tiba-tiba perempuan itu menjerit ketakutan, bahkan sampai terjengkang ke belakang, Sancaka melihat didekat tumpukan pakaian yang sedang dicuci Rodiah itu terdapat seekor ular cobra yang sudah berdiri tegak dalam posisi siap menyerang.
Sancaka langsung berlari ke arah sumur itu, disambarnya sebatang sapu ijuk bertangkai rotan disamping pintu belakang, dan pemuda itu langsung mengayunkan sapu ijuk itu kearah ular cobra itu. Ayunan pukulan Sancaka yang tepat mengenai bagian kepala dan badan ular itu membuat ular itu terlempar cukup jauh.
Sancaka hendak maju dan memberi pukulan tambahan kepada ular itu akan tetapi karena sudah merasa sakit ular itu dengan cepat langsung merayap pergi.

Sancaka menoleh ke arah Rodiah yang masih terduduk menggigil ketakutan, tak menyadari bahwa kini kain yang dikenakannya telah tersingkap seluruhnya memperlihatkan pahanya yang putih mulus berikut celana dalamnya yang berwarna merah muda.
Pemandangan yang membuat batang penis pemuda itu langsung bereaksi, yang kalau tidak ditutupi celana pastilah sudah berdiri tegak seperti ular cobra yang baru saja dipukulnya tadi.

Sancaka mendekat dan berjongkok di samping perempuan itu, dipeluknya bahu perempuan itu sambil membisikkan kata-kata yang mungkin dapat meredakan rasa takut perempuan itu, Rodiah yang ketakutan itu refleks menyembunyikan dirinya kedalam pelukan Sancaka.
Sancaka mengangkat dagu Rodiah dan mata keduanya saling bertatapan, Sancaka harus mengakui bahwa perempuan ini memang benar-benar cantik, pantas saja sering menjadi bahan obrolan hampir seluruh laki-laki dewasa dikampungnya.
Mata adalah jendela hati, dan Rodiah bukanlah gadis yang belum mengenal lelaki, dari pandangan mata Sancaka dia tahu bahwa selain rasa kasihan ada sebersit birahi disana, kalau laki-laki lain mungkin sudah dari tadi didorongnya tubuh Sancaka, akan tetapi entah kenapa dia menyukai pemuda ini sehingga dia tidak segera melepaskan diri dai pelukan Sancaka.

Ketika Rodiah kemudian memejamkan matanya, Sancaka langsung membungkuk dikecupnya dengan perlahan bibir perempuan itu.
Rodiah membalas kecupan pemuda itu, sebentar saja keduanya sudah terlibat dalam ciuman yang cukup panas, dan tangan Sancaka dengan segera bergerak meraba dan mengelus paha mulus perempuan itu.

Ketika tangan Sancaka mulai berusaha menyelinap kedalam kaos yang dikenakannya, Rodiah langsung menangkap tangan nakal pemuda itu dan melepaskan ciumannya, “Jangan disini … sebentar lagi hari terang dan orang mulai ramai”, bisiknya.

Sancaka mengerti dan segera bangun sambil membopong tubuh Rodiah, tadinya dia hendak membawa perempuan itu ke kamar tamu depan, akan tetapi Rodiah menunjuk ke kamar tamu lainnya yang terletak di sebelah ruang makan.

Ketika Sancaka membaringkan tubuh rodiah keatas pembaringan itu, tanpa malu-malu lagi Rodiah langsung menarik kepala Sancaka dan menyambar bibir pemuda itu, kali ini perempuan itu tak memprotes lagi ketika tangan kiri Sancaka mulai menyelinap kedalam kaosnya.
Rodiah melentingkan tubuhnya keatas saat tangan kanan pemuda itu yang tertindih dibawah punggungnya berusaha membuka kaitan BH nya.
Kedua tangan Sancaka langsung menyingkapkan kaos dan BH perempuan itu keatas.
Buah dada Rodiah yang besar dan masih kencang itu membuat Sancaka tak tahan lagi dan langsung menetek disana.
Rodiah mendesah-desah keenakan, perempuan itu segera melepas kaos dan BH nya yang basah itu lalu melemparkannya ke samping tempat tidur.

Tangan kiri Sancaka mulai menyingkapkan kain yang dikenakan perempuan itu, setelah puas meraba paha Rodiah yang putih mulus itu, tangan Sancaka mulai bergerak menyelinap ke dalam celana dalam perempuan itu.
Belahan vagina perempuan itu sudah mulai basah, desahan Rodiah bertambah kuat ketika jari tengah Sancaka mulai bermain disana.

Sancaka kembali melumat dan menyedot puting susu Rodiah, “Ahhh.. Diapain itu saya mas … diapain …” desah perempuan itu dengan mata terpejam, ketika jari tengah Sancaka mulai dikocokkan keluar-masuk liang vagina perempuan itu.
Agaknya pengetahuan seks perempuan ini masih kurang pikir Sancaka.

Tak lama kemudian kedua paha Rodiah menutup dan menjepit tangan Sancaka dengan kuat, perempuan yang sudah lama tak menikmati seks itu dengan cepat telah mencapai puncak kepuasan.

Sancaka turun dari pembaringan dan mulai melepaskan seluruh pakaiannya.
Kemudian ditariknya tangan Rodiah hingga perempuan itu terduduk di tepi pembaringan.
Diarahkannya tangan Rodiah untuk menggenggam dan mengocok-ngocokkan batang penisnya.
Setelah itu ditariknya kepala Rodiah diarahkannya mulut perempuan kearah penisnya, Rodiah selalu menghindar.
Sancaka gemas juga dibuatnya.
“Pernah makan gulo palu?”, tanya Sancaka.
Rodiah mengangguk pelan.
(“gulo palu” itu semacam permen tradisonal, kalau di jawa sejenis “gulali”).
“Anggap ini gulo palu … ngerti?”, tanya sancaka lagi sambil menunjuk penisnya.
Rodiah mengangguk ragu.

Sancaka kembali menyodorkan penisnya ke muka perempuan itu, dengan ragu Rodiah membuka mulutnya dan mulai mengulum kepala penis Sancaka.
Setelah beberapa saat tampak Rodiah mulai menyukai permainan baru ini, kepala penis yang hangat dan kenyal itu cukup menggemaskannya.
Perempuan itu mulai asyik mengulum, menjilat dan menyedot-nyedot kepala penis Sancaka, matanya berbinar melihat Sancaka tersenyum senang.

Cukup lama Sancaka membiarkan perempuan itu menikmati permainan barunya, kemudian dengan pelan pemuda itu menarik lepas penisnya dari mulut Rodiah.

Ditariknya perempuan itu bangun, kemudian disuruhnya Rodiah berputar dan membungkuk kearah pembaringan.
Diangkatnya satu kaki perempuan itu keatas pembaringan.
Ketika Sancaka mulai menggesek-gesekkan kepala penisnya ke belahan vagina perempuan itu, Rodiah menoleh kebelakang kearah Sancaka, “Pelan-pelan ya mas … Saya sudah lama nggak beginian”, bisiknya pelan.
Sancaka hanya mengangguk.

Sancaka mendorong sedikit penisnya, kepala penisnya mulai menyelinap diantara bibir vagina Rodiah yang mulai terbuka.
Sancaka mulai mendorong dengan perlahan, Rodiah langsung mendesah lirih, dan Sancaka pun ikut mendesah karena liang vagina itu memang terasa sempit. Memang sudah lama tidak dilalui penis tampaknya.

Sancaka mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan perlahan, setiap dorongan penis Sancaka diiringi desahan Rodiah yang semakin lama semakin keras.
Sancaka merubah menggoyangkan pinggulnya, penisnya ditariknya dengan pelan dan kemudian dengan cepat didorong kembali dengan sedikit hentakan, “auhh … enak banget mas …”, desah Rodiah.
Setelah dirasa Sancaka liang vagina perempuan itu mulai banjir, sambil meremas-remas buah dada perempuan itu dengan tangan kirinya, Sancaka pun semakin mempercepat goyangan pinggulnya, semakin lama semakin cepat
Rodiah tak terdengar lagi suaranya, mulut perempuan itu terkatup rapat, kepalanya tampak menggeleng-geleng dengan kuat.
Tak lama kemudian Rodiah menjerit tertahan, tubuhnya mengejang dan bergetar hebat, Sancaka menahan pinggul perempuan itu mempertahankan penisnya tetap terbenam sedalam mungkin.

Setelah puncak kenikmatan perempuan itu mereda, Sancaka dengan pelan menggulingkan tubuh Rodiah. Kini perempuan itu terlentang lemas dengan nafas masih memburu.

Ditariknya perempuan itu sampai pantatnya persis di bibir pembaringan, Sancaka mengangkat kaki kanan perempuan itu keatas sementara kaki kirinya dibiarkan menginjak lantai.
Sancaka meletakkan kaki kanan Rodiah ke bahunya dan membungkuk kedepan, diarahkannya kembali penisnya ke liang vagina perempuan itu.
Rodiah tersentak kaget karena Sancaka langsung menghunjamkan penisnya dengan kuat, “Auhhh … bisa robek itu ku masss … tapi enak … terusin masss”, ceracau perempuan itu karena keenakan karena Sancaka tidak lagi menahan gerakan pinggulnya, pemuda itu kini memberikan hentakan dan hunjaman yang cepat dan kuat.

Kedua tangan yang tadinya bertumpu di pembaringan kini berpindah ke dada Rodiah, kedua tangan Sancaka mencengkeram buah dada perempuan itu.
Gerakan pinggul Sancaka semakin lama semakin cepat, Rodiah tampak menggigit bibirnya menahankan kenikmatan di liang vaginanya.
Tak lama kemudian tampak Rodiah telah hampir tak kuat lagi menahan diri, tubuhnya mengejang dan tangannya mencengkeram lengan Sancaka dengan kuat.
Sancaka menggeram dan menghunjam-hunjamkan penisnya sekuat-kuatnya, Rodiah menjerit tertahan tubuhnya melenting dan hampir bersamaan Sancaka mencengkeram kuat buah dada perempuan itu sambil menghunjamkan penisnya sedalam mungkin, keduanya sama-sama terhempas dipuncak kepuasan.

Tak lama kemudian Sancaka yang memang kurang tidurnya semalam sebentar saja sudah tertidur lelap di pelukan Rodiah.
Rodiah tampak meneteskan air mata, perempuan itu menyadari bahwa laki-laki yang dipeluknya ini tidak mungkin menjadi milikinya.
Perempuan itu menyadari betapa perbuatannya barusan dengan lelaki ini sangat salah dan melanggar norma kesusilaan, akan tetapi dia pun tidak memungkiri bahwa seandainya esok lusa pemuda ini kembali menghampirinya dia pun pasti tak akan menolaknya, dia akan dengan sukarela memberikan tubuhnya kepada pemuda ini lagi, lagi dan lagi.

Rodiah menyelimuti dan mengecup kening Sancaka sebelum meninggalkan pemuda itu tertidur sendirian.
Untung dia dalam masa tidak subur sehingga dia tak perlu mengkhawatirkan dampak buruk kenikmatan yang baru saja dikecapnya.

****

Sancaka yang tertidur kelelahan dalam keadaan telanjang itu terbangun karena terkejut mendengar keributan di luar kamar, segera dipakainya kembali pakaiannya yang berserakan, walaupun pakaiannya itu masih lembab akibat berpelukan dan membopong Rodiah yang pakaiannya basah dini hari tadi.

“Ada apa Bu?”, tanyanya ketika melihat Bu Puji terduduk menangis di meja makan, disampingnya tampak Rodiah yang berusaha menengkan majikannya.

“Gayatri … Gayatri pergi dari rumah Sanca”, jawabnya dengan suara lemah sambil menyodorkan sehelai kertas ke arah Sancaka.

“Ibu … Gayatri pergi dan akan tinggal sementara ini di rumah Tantri di dekat Menara Air … Gayatri harap ibu jangan coba-coba mencari ataupun menyusul apalagi coba membujuk Gayatri pulang … Gayatri akan pulang sendiri nanti setelah hati Gayatri tenang … Satu hal lagi .. Semoga Ibu dapat puas berbuat mesum dengan Sancaka terkutuk itu dengan kepergian Gayatri”, hanya itu pesan yang ditinggalkan oleh Gayatri, seluruh tubuh Sancaka menjadi lemas, pemuda itu merasakan rasa nyeri yang menusuk jantungnya, dia telah menyakiti dan menghancurkan hati tunangannya.

“Bagaimana ini Sanca … Apa yang harus kita lakukan … Apa Sanca?” tanya Bu Puji lirih sambil menutupkan kedua tangannya kemukanya.

Sancaka melirik kearah Rodiah, perempuan itu balas menatap ke arah Sancaka, agaknya Rodiah tadi ikut menangis juga, tapi dari raut muka dan pandang matanya Sancaka yakin bahwa Rodiah tidak tahu akan isi surat Gayatri ini. Pemuda itu menjadi sedikit lebih tenang.

Yang menjadi beban pikiran Sancaka adalah Gayatri pergi ke rumah yang didekat Menara Air, itu artinya rumah yang dianggap oleh Gayatri sebagai rumah Tantri adalah rumah dimana dia melakukan pertempuran mesum dengan selir-selir Tuan Frantzheof de Van Pierre kemarin dulu.

“Tenanglah Bu … Saya tahu dimana Gayatri berada … Biar saya saja yang menyusul Gayatri ke sana … mudah-mudahan saya dapat membujuknya pulang”, jawab Sancaka.
Mendengar jawaban Sancaka itu Bu Puji membuka kedua tangan yang tadi menutupi mukanya, “Terima kasih Sanca … Jemputlah dia pulang Sanca”, sahutnya lirih dan berusaha tersenyum. Sancaka hanya membalas dengan anggukan kepala.

Hanya satu nama yang saat ini memenuhi kepala Sancaka …
Tantri …
Cukup lama pemuda itu terduduk di teras rumah tunangannya dan berusaha keras mengais serpihan-serpihan memori di kepalanya …
ah …
Dia ingat sekarang …
Dia Ingat siapa Tantri

****

Dulu … ketika Sancaka baru akan memasuki masa kuliahnya dulu di Pulau Jawa, ketika sedang mencari tempat mondok disekitar kampus dia bertemu dengan Tantri yang saat itu sedang duduk di teras rumah pemondokannya.
Tantri yang merasa pernah dibantu Sancaka memunguti berkas-berkas pendaftarannya ketika gadis terjatuh akibat ditabrak oleh seseorang di dekat kantor TU kampusnya segera menawarkan kepada Sancaka untuk mondok di tempatnya sekarang tinggal, katanya masih ada tiga lagi kamarnya yang masih kosong.
Waktu itu Sancaka benar-benar tidak ingat bahwa dia pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnnya.

Karena melihat bahwa tempat mondok yang ditawarkan gadis itu cukup dekat dengan kampus, ditambah lagi setelah mengetahui bahwa Tantri juga berasal dari Sumatera, Sancaka langsung memutuskan untuk tinggal di pemondokan itu.
Sancaka merasa kerasan sekali tinggal di pemondokan itu, kedua Ibu dan Bapak pemilik pemondokan itu sangat baik dan memperlakukan Sancaka seperti anaknya sendiri. Selain itu ada Tantri, gadis yang periang itu selalu dapat menyenangkan hati Sancaka.

Sancaka tidak sedikitpun menyadari bahwa kedekatan mereka berdua rupanya membawa arti lain bagi Tantri, gadis itu diam-diam memendam rasa terhadap Sancaka, naifnya Sancaka menganggap bahwa kedekatan dan kemanjaan gadis itu karena gadis itu menganggapnya sebagai seorang kakak, tidak lebih dari itu.

Suatu ketika di awal-awal Semester Kedua masa perkuliahan, gadis itu jatuh sakit, dan malamnya Sancaka menjagai gadis itu dikamarnya, itupun setelah diijinkan oleh Ibu dan Bapak pemilik pemondokan karena mereka melihat bahwa Sancaka adalah pemuda yang wataknya baik dan cukup bisa dipercaya.
Gadis itu mengalami demam tinggi, tubuhnya sangat panas akan tetapi gadis itu malah meringkuk dengan tubuh menggigil kedinginan dibalik selimutnya.
Atas permintaan gadis itu Sancaka yang walaupun ragu-ragu dan berat hati terpaksa memenuhi permintaan Tantri untuk naik ke pembaringan dan memeluk tubuh gadis itu dari belakang, mencoba memberi kehangatan pada tubuh yang menggigil kedinginan itu.
Sebentar kemudian gadis itu berbalik dan balas memeluk pemuda itu, membuat jantung Sancaka berdebar tak menentu.
Entah siapa yang memulai, yang jelas kedua bibir mereka telah saling melumat, bahkan tangan Sancaka dengan perlahan mulai masuk kedalam kaos gadis itu dan mulai meremas-remas buah dada Tantri.
Kemudian keduanya saling membukai seluruh pakaian yang menutupi tubuh bagian atas mereka.
Tantri mendesah lirih ketika pemuda itu mulai melumat dan menghisap buah dada gadis itu.
Saat itulah bayangan Gayatri terlintas dipikiran Sancaka … gadis kolot kekasihnya itu tidak akan pernah mengijinkannya berbuat seperti ini … bayangan Gayatri membuat pemuda itu tersadar.
Dengan perlahan Sancaka melepaskan diri dari pelukan Tantri, membuat gadis itu menjadi malu dan mulai menangis.
Cukup lama Sancaka membujuk dan menjelaskan semuanya kepada gadis itu sampai akhirnya gadis itu mau mengerti dan berhenti menangis.

Walaupun setelah kejadian itu gadis itu masih tetap riang dan manja, akan tetapi Sancaka menyadari bahwa gadis itu telah terluka, terluka hatinya setelah mengetahui bahwa ada seorang Gayatri yang telah lebih dahulu mememiliki hati Sancaka.

Beberapa hari sebelum masa ujian Semester Dua, Sancaka yang baru saja pulang kuliah dan memasuki kamarnya siang itu mendapati Tantri tampak terlelap pulas diatas tempat tidurnya.
Sancaka hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala, dibetulkannya selimut gadis itu dan kemudian membereskan meja belajarnya, disusunnya bahan-bahan yang akan dipelajarinya malam nanti.
Tantri tidaklah tertidur pulas sebagaimana dugaan Sancaka, gadis itu sejak tadi telah beberapa kali membuka matanya dan memperhatikan kesibukan pemuda itu, ketika Sancaka setelah selesai membereskan meja belajarnya keluar dari kamar itu, gadis itu pun bangun dan duduk dipinggir pembaringan. Gadis itu kembali ke kamarnya sendiri setelah meletakkan sepucuk surat diatas meja belajar Sancaka.

Malam itu semangat belajar Sancaka menguap habis, pemuda itu terbaring gelisah diatas tempat tidurnya, pikirannya dipenuhi isi surat yang ditinggalkan Tantri diatas meja belajarnya sore tadi, dalam suratnya yang panjang lebar itu Tantri menjelaskan bahwa dia mungkin tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena diminta segera pulang oleh orangtuanya di Sumatera, gadis itu akan segera dikawinkan dengan pria pilihan orang tuanya, dalam suratnya gadis itu menjelaskan bahwa dia benar-benar sangat mencintai Sancaka dan memohon dengan sangat agar Sancaka dapat memenuhi permintaan terakhirnya, permintaan yang benar-benar tak terbayangkan oleh Sancaka, gadis itu ingin menyerahkan mahkota miliknya hanya kepada Sancaka seorang. Dalam suratnya gadis itu menunggu Sancaka dikamarnya malam ini, gadis itu tak merelakan hati dan tubuhnya dimiliki oleh pria pilihan orang tuanya.

Sampai pagi hari pemuda itu tak dapat tidur, namun pemuda itu pun tak berani menyelinap ke kamar Tantri, rasa kasihannya terhadap gadis itu masih kalah oleh rasa takutnya, pemuda itu takut kalau dia menemui Tantri nantinya dia tak dapat menguasai diri sebagaimana kejadian ketika gadis itu sakit beberapa bulan lalu.
Yang tidak diketahui Sancaka adalah betapa Tantri terpukul hancur hatinya malam itu, gadis itu terduduk memeluk lututnya disudut tempat tidur sambil terus terisak menangis, meratapi cintanya yang bertepuk sebelah tangan, walaupun dalam hatinya gadis itu mengerti bahwa Sancaka adalah pemuda yang baik yang tak mungkin tega merusak diri dan kehormatannya.

Sore esoknya Sancaka terduduk lesu dimeja belajarnya, dari Ibu dan Bapak pemilik pemondokan baru diketahuinya Tantri telah pergi kembali ke Sumatera pagi tadi, memang dia tak bertemu gadis itu ketika sarapan tadi pagi namun dia tak sedikitpun menduga kalau hari ini adalah hari kepergian gadis itu.
Dia merasa sangat kasihan kepada gadis itu.

****

Dengan kehadiran Gayatri yang menyusul ke Pulau Jawa mulai Semester Ketiga membuat Sancaka mulai melupakan Tantri.

Nama Tantri sebenarnya adalah Eka Triantri.

Hal inilah yang membuat Sancaka selama ini tidak teringat sedikitpun dengan gadis itu, dulu hanya Sancaka yang memanggil nama panggilan gadis itu dengan benar yaitu Triantri, sementara orang-orang di kampus dan di sekitar tempat pemondokan mereka biasanya memanggil gadis itu Tantri karena mungkin lebih mudah untuk disebutkan.
 
Bimabet
Chapter 10
Terjebaknya Sang Tunangan
Waktu saat itu sekitaran pukul sembilan pagi, Sancaka telah sampai dirumah dimana dia pernah tiga hari berkubang keringat dan kenikmatan bersama selir-selir Tuan Frantzheof de Van Pierre.
Akan tetapi pemuda itu mendapati rumah itu sangat sepi dan pintu besi besar yang merupakan gerbang rumah itu terkunci rapat, entah sudah berapa kali pemuda itu menggedor-gedor pintu itu dengan keras, akan tetapi belum ada tanda-tanda ada orang yang muncul dari rumah itu.

Setelah beberapa lama pemuda itu tanpa bosan terus menggedor, pintu depan rumah itu terkuak, disana muncul kepala si mbok tua yang dulu menyambut Sancaka, melihat ada seseorang berdiri di gerbang, simbok pun melangkah ke arah pintu gerbang itu.

“Oh kiranya Tuan Muda … Rumah sedang sepi tidak ada orang Tuan”, ujar si mbok sopan, setelah mengetahui bahwa yang dari tadi menggedor pintu gerbang adalah Sancaka.

“Boleh saya masuk mbok?”, tanya Sancaka tak sabar.

“Waduh … Saya Nggak ditinggalin kunci gimana mau mbukain gerbangnya”, kata si Mbok itu bingung, “Tuan Muda datang saja lagi nanti malam …. Mereka pasti sudah pulang semua”, lanjutnya lagi.

Sancaka tercenung sejenak, “Nggak apa-apa mbok … Apa tadi pagi-pagi ada seorang gadis bernama Gayatri yang datang kesini?”, tanya Sancaka, pemuda itu ingin memastikan bahwa benar rumah ini yang dimaksud Gayatri.

“Iya .. Benar Tuan … Tadi pagi-pagi memang ada seorang gadis yang datang kemari … katanya dia mencari Non Tantri …. Tapi karena Non Tantri belum pulang sejak kemarin dan Non Yuni agaknya mengenal gadis itu maka gadis itu diajak ke dalam oleh Non Yuni … Non Yuni, Non Wulan, Non Diah, Non Ratna dan Non Sari termasuk gadis itu semuanya pergi bersama-sama tadi … saya tidak tahu kemana mereka pergi”, jawaban si mbok membenarkan dugaan Sancaka bahwa memang rumah inilah yang dimaksudkan oleh Gayatri.

“Ya sudah mbok … Nanti malam saja saya datang lagi”, sahut Sancaka.

Kemudian Sancaka langsung berjalan meninggalkan rumah itu, pemuda itu tidak mengetahui bahwa dari balik tirai jendela di lantai dua rumah itu ada enam pasang mata yang mengawasinya sejak tadi.

****

Keenam pasang mata tentunya berarti ada enam orang yang mengawasi Sancaka dari kamar dilantai atas rumah itu, dan keenam orang itu adalah Yuni, Wulan, Diah, Ratna dan Sari serta Gayatri, keenam gadis itu tertawa-tawa geli melihat Sancaka terus-menerus menggedor-gedor pintu gerbang depan.

“Kamu tidak kasihan dengan tunanganmu itu Gayatri? … Benar-benar tidak mau turun menemui dia?” goda Yuni kearah Gayatri.
“Aku tidak sudi bicara lagi dengannya!”, balas Gayatri sengit.
Sengitnya balasan gadis itu membuat kelima gadis lainnya semakin gencar menggoda gadis itu.

Akhirnya Yuni memerintahkan si mbok untuk menemui tamu di pagar depan dan diwanti-wanti untuk tidak mengijinkan orang itu masuk, si mbok hanya diperintahkan untuk mengatakan bahwa mereka semua sedang pergi dan malam nanti baru pulang kerumah.

Ada senyum puas tersungging dibibir Gayatri melihat pemuda itu terlihat pergi meninggalkan pintu gerbang itu dengan langkah lesu dan kepala tertunduk.

****

Keenam gadis itu dan seluruh penghuni lain di rumah besar itu tak ada yang mengetahui kalau dini hari tadi diruang bawah tanah dari rumah besar itu tampak Tuan Frantzheof de Van Pierre menuruni tangga kebawah sambil membopong tubuh seorang wanita cantik yang terkulai lemas dan tampak pucat membiru.
Kemudian Tuan Frantzheof de Van Pierre membaringkan tubuh wanita itu ke atas pembaringan besi setinggi pinggang yang berada ditengah ruang bawah tanah itu, pembaringan yang sepintas sangat mirip dengan meja operasi di rumah sakit.
Setelah Tuan Frantzheof de Van Pierre menyalakan penerangan di ruang bawah tanah itu ternyata wanita cantik yang nyaris telanjang itu adalah Tantri.

Tuan Frantzheof de Van Pierre segera mencabut lepas dua buah pasak besi yang tertanam di jantung dan kening wanita itu.
Sambil mendengus marah Tuan Frantzheof de Van Pierre meremas patah kedua pasak itu.
Kemudian Tuan Frantzheof de Van Pierre meraih sebuah belati yang sejak tadi tergeletak dibagian atas pembaringan itu dan mencongkel keluar beberapa pecahan granat yang sempat mampir di tubuh perempuan itu.
Dengan muka sedih Tuan Frantzheof de Van Pierre tampak mulai membelai dan menciumi kening Tantri, tangan kirinya kemudian menggenggam mata belati itu dan dengan sekali sentakan Tuan Frantzheof de Van Pierre melukai dan membelah telapak tangan kirinya sendiri.

Darah yang mulai mengalir keluar dari telapak tangan kirinya itu mulai diteteskannya kedalam lubang luka akibat pasak besi di bagian jantung Tantri.
Setelah beberapa saat jantung Tantri mulai bereaksi menerima asupan darah Tuan Frantzheof de Van Pierre, perlahan tubuh Tantri mulai meregenerasi semua bagian tubuhnya yang tadinya terluka.
Melihat luka-luka di tubuh gadis itu mulai menutup dan berangsur pulih, Tuan Frantzheof de Van Pierre menghentikan asupan darahnya, dengan cepat bekas luka ditelapak tangan kiri londo itu segera pulih tanpa meninggalkan bekas, setelah membelai rambut Tantri diapun beranjak keluar dari ruang bawah tanah itu.

Setengah jam kemudian tampak Tuan Frantzheof de Van Pierre kembali masuk ke ruang bawah tanah itu, hanya saja kini tampak londo itu menggandeng tangan seorang gadis.
Seorang gadis berkulit kuning langsat dan tampaknya masih cukup belia, yang mengikuti langkah-langkah Tuan Frantzheof de Van Pierre dengan perlahan selangkah-selangkah karena kedua matanya tampak tertutup kain hitam.

Gadis itu diculik dari kamarnya setelah dengan kekuatan hipnotisnya Tuan Frantzheof de Van Pierre membuat gadis itu seakan lupa diri dan menjadi begitu penurut, melarikan gadis itu tanpa sepengetahuan keluarganya bukanlah hal yang sulit bagi Tuan Frantzheof de Van Pierre.

Gadis itu adalah Seorang gadis yang baru dua hari lalu melangsungkan pernikahannya, yang ketika berada di kursi pelaminan waktu itu kecantikannya sempat menarik perhatian Tuan Frantzheof de Van Pierre yang kebetulan lewat.
Dan karena tempat tinggal gadis itu cukup dekat maka dengan cepat Tuan Frantzheof de Van Pierre menetapkan gadis itu menjadi sasarannya, dia butuh korban secepatnya untuk pemulihan Tantri.

Tuan Frantzheof de Van Pierre membimbing gadis yang dibawanya hingga tersandar di pembaringan dimana Tantri yang kini telah pulih luka-lukanya itu tampak terbaring lemas.
Tantri yang masih tampak pucat hanya tersenyum sambil mengawasi semua perbuatan Tuan Frantzheof de Van Pierre.
Setelah tersenyum sekilas kearah Tantri, Tuan Frantzheof de Van Pierre mulai menanggalkan satu persatu pakaian yang dikenakan gadis yang agaknya baru berusia delapan belasan itu, kemudian Tuan Frantzheof de Van Pierre pun mulai menanggalkan pakaiannya sambi mengamati tubuh indah gadis yang kini berdiri telanjang dihadapannya.
Tuan Frantzheof de Van Pierre melangkah mendekat menghampiri gadis itu, diangkatnya dan didudukkannya gadis itu di pinggir pembaringan, dengan perlahan dibukanya kedua paha gadis itu, tampak bagian kemaluan gadis itu hanya tertutup bulu tipis, benar-benar daun muda yang masih segar, Tuan Frantzheof de Van Pierre mulai mengelus dan meremas buah dada gadis itu, ketika melihat bahwa gadis itu mulai terangsang dan mendesah lirih diapun langsung membungkuk dan mengecup dan menjiliati puting susu sebelah kiri sementara tangan masih terus meremas buah dada sebelah kanan gadis itu.

Ketika gadis itu mulai merintih, Tuan Frantzheof de Van Pierre mulai meningkatkan serangannya, dibaringkannya tubuh gadis itu, dan kembali londo itu mengecup dan menjilati puting susu gadis itu bergantian sambil tangannya menggenggam batang kemaluannya dan digesek-gesekkan ke belahan vagina gadis itu.

Tantri segera merengkuh kepala gadis yang kini terbaring menindih tubuhnya itu, gadis itu segera membalas lumatan bibir Tantri, tak mengetahui kalau yang melumat bibirnya adalah seorang perempuan.

Setelah merasakan liang vagina gadis itu sudah basah terangsang, Tuan Frantzheof de Van Pierre dengan tiba-tiba menghentakkan pinggulnya, kemaluannya dengan kuat dan cepat menusuk kedalam liang vagina gadis itu.
Gadis itu tersentak mengejang, pahanya menjepit pinggul Tuan Frantzheof de Van Pierre dengan kuat, akan tetapi jeritannya tak keluar karena lumatan bibir Tantri dengan ketat membekap mulut gadis itu.
Air mata gadis itu tampak mengalir ke pipinya, kemaluannya terasa sakit.
Liang vaginanya yang baru dua hari mengenal seks itu kini harus menerima sodokan batang penis Tuan Frantzheof de Van Pierre yang lumayan besar.
Ditambah lagi dua hari ini vaginanya baru tiga kali dimasuki oleh batang penis bandot tua suaminya yang berukuran kecil, itupun hanya sebentar.
Bandot tua itu hanya mengejar kepuasannya sendiri, seorang bandot tua yang doyan kawin yang memuaskan para istri-istrinya hanya dengan gelimang kekayaan bukan dengan kenikmatan dari kejantanannya.

Tuan Frantzheof de Van Pierre mendiamkan dan menahan gerakannya sebentar, dan setelah jepitan paha gadis itu dipinggulnya mulai mengendur, Tuan Frantzheof de Van Pierre mulai menggerakkan pinggulnya dengan perlahan.
Sampai beberapa kali sodokan kemaluan Tuan Frantzheof de Van Pierre masih diikuti oleh sentakan dan jepitan paha gadis itu. Liang vagina masih menjepit ketat sebagai reaksi rasa sakit yang masih dirasakan gadis itu.

Tak lama kemudian gadis itu sudah mulai dapat menikmati sodokan kemaluan Tuan Frantzheof de Van Pierre.
Tuan Frantzheof de Van Pierre meletakkan tangannya diatas kedua dengkul gadis itu untuk kemudian melebarkan kedua paha gadis itu, goyangan pinggulnya semakin dipercepat, jepitan liang vagina gadis yang masih pengantin baru itu membuat mata Tuan Frantzheof de Van Pierre merem-melek keenakan.
Gadis itu kini dengan buas membalas lumatan bibir Tantri, sementara kedua tangan Tantri dengan gemas meremas-remas buah dada gadis itu.

Tuan Frantzheof de Van Pierre semakin lama semakin mempercepat gerakan pinggulnya, batang penisnya masuk keluar liang vagina gadis itu dengan cepat dan kuat, menimbulkan suara plak-plok ketika pinggulnya menghempas di pangkal paha gadis itu.
Tubuh gadis itu meliuk-liuk keenakan, kedua tanggannya menggenggam pergelangan tangan Tuan Frantzheof de Van Pierre dengan kuat.
Tuan Frantzheof de Van Pierre semakin bersemangat memompa liang vagina gadis itu.

Setelah berkelojotan sebentar tubuh gadis itu tampak mengejang, gadis itu telah sampai dipuncak kepuasannya.
Saat itu pula Tantri melepaskan lumatan bibirnya, tangan kirinya segera menangkap dagu gadis itu dan tangan kanannya membekap erat mulut gadis itu, diikuti gigitan yang membenamkan taringnya ke pangkal leher gadis itu.
Hampir bersamaan dengan itu Tuan Frantzheof de Van Pierre segera menangkap dan memegang kedua tangan gadis itu dengan kuat, londo itu mendaratkan gigitan dan membenamkan taringnya di buah dada kiri gadis itu.

Gadis itu tampak berkelojotan dan meronta-ronta dengan kuat, darahnya yang dengan cepat terhisap oleh kedua vampire itu membuatnya menggelepar seperti ikan dikeluarkan dari air, semakin lama gerakan gadis itu semakin lemah sampai akhirnya diam tak bergerak lagi.
Kenikmatan gadis itu berujung kematian, benar-benar gadis yang malang.

Setelah Tuan Frantzheof de Van Pierre dan Tantri selesai menghisap habis darah gadis itu, Tuan Frantzheof de Van Pierre langsung melemparkan tubuh gadis itu dari atas pembaringan itu, kini pembaringan itu menjadi tempat keduanya mengumbar nafsu berahi mereka.
Tantri dengan senang hati melayani Tuan Frantzheof de Van Pierre menuntaskan nafsunya yang tadi tertunda.

“Beristirahatlah sayangku … jangan keluar keatas sampai engkau telah pulih benar”, bisik Tuan Frantzheof de Van Pierre mengecup kening Tantri yang ampak masih terengah-engah setelah sama-sama terhempas dipuncak kepuasan barusan.
Tuan Frantzheof de Van Pierre bangkit dan mengenakan kembali pakaiannya dan meninggalkan ruang bawah tanah itu.

****

Bagaimana ceritanya Tuan Frantzheof de Van Pierre dapat membawa Tantri ke ruang bawah tanah rumah besar itu?

****

Ketika Sancaka tiba kembali di depan rumah Gayatri, terdengar suara beberapa orang yang sedang bercakap-cakap didalam, merasa penasaran dengan cepat Sancaka melangkah masuk, ternyata yang sedang bercakap-cakap diruang tamu itu adalah Puji Astuti, Ignatius Rianto, Rianti dan si londo Van Helsing Jr.

“Eh Sanca … kebetulan kamu sudah pulang … ketiga orang ini sengaja datang kemari untuk menemui kamu”, terdengar suara Bu Puji yang langsung berdiri dan menarik tangan pemuda itu untuk duduk disampingnya, “Bagaimana Sanca? Mana Gayatri? Masih marahkah dia? Apa dia tidak mau pulang? Apa masih di rumah Tantri?”, tanya perempuan itu beruntun setelah Sancaka duduk disampingnya.

Sancaka tidak cepat menjawab pertanyaan Puji Astuti, matanya tertuju penuh pada Tuan Van Helsing Jr, londo itu terlihat memangku tangan kanan yang berbalut perban, padahal semalam londo ini seingatnya sehat-sehat saja ketika memanggul tubuh Tantri dan membawanya pergi semalam, “Apa yang terjadi dengan anda Tuan?”, tanya pemuda itu penasaran.

“Sanca!”, bentak Puji Astuti jengkel pertanyaanya diacuhkan Sancaka, “Bagaimana Gayatri?”, tanyanya lagi sambil mencubit lengan pemuda itu dengan kuat.
“Maaf Bu … saya tidak berhasil menemui Gayatri tadi … dia sedang pergi keluar dengan teman-teman barunya”, jawab pemuda itu meringis, “Tapi nanti malam saya akan ke sana lagi … Ibu tenang saja”, lanjutnya sambil mengelus lengannya yang terasa nyeri.
Mendengar jawaban Sancaka itu Puji Astuti terdiam sejenak, perempuan itu kemudian berdiri, “Ya sudah Ibu mau ke belakang … kamu layani tamu-tamu ini ya”, katanya lirih sambil menepuk bahu Sancaka, setelah mengangguk hormat ke arah tamu-tamu itu diapun melangkah ke dalam.

Setelah Puji Astuti berlalu kedalam, sejenak mata Sancaka dan mata Rianti bertemu, pemuda itu dapat merasakan betapa sinar mata gadis itu menyiratkan kerinduan padanya.
Sancaka mengalihkan pandangannya dan bertanya ke arah Ignatius Rianto, “Apakah Bu Puji ada menceritakan sesuatu tadi?”.

“Bu Puji tidak bercerita banyak kepada kami tadi … Cuma memberitahukan bahwa tuan pergi ke rumah Tantri untuk menyusul Gayatri … gadis itu apa benar pergi ke rumah Tantri?”, tanya Rianto.

“Benar … Gayatri pergi ke rumah Tantri tadi pagi … ada sedikit salah pengertian antara dia dan ibunya … makanya dia melarikan ke rumah Tantri pagi tadi … Tantri adalah temannya semasa kuliah dulu hanya sayangnya dia tidak tahu kalau Tantri sudah tiada”, jelas pemuda itu berusaha menutupi kejadian yang sebenarnya.
“Kembali ke pertanyaan saya tadi Tuan … Tuan terluka agaknya? Apa yang terjadi?”, tanya Sancaka ke arah Van Helsing Jr.

Van Helsing Jr menoleh kearah Ignatius Rianto, “Itulah yang membuat kami khawatir tadi”, terdengar suara Rianto menjawab, “Tantri kemungkinan besar juga berada di rumah itu … karena Tuan Frantzheof de Van Pierre telah merampas gadis itu dari tangan Tuan Van Helsing Jr”.

Melihat wajah Sancaka terlihat bingung dengan kening berkerut, Rianto segera bersuara, “Mungkin sebaiknya saya ceritakan kembali kejadian semalam sebagimana yang diceritakan oleh Tuan Van Helsing Jr kepada saya”.
Sancakapun segera mengalihkan pandangannya ke arah Ignatius Rianto untuk mendengarkan cerita apa yang akan dituturkan oleh biarawan muda itu.

Malam itu setelah menancapkan dan memakukan pasak dibagian jantung dan didahi tepat diantara kedua alis Tantri, serta melihat Sancaka sudah melangkah masuk kerumah Gayatri, Van Helsing Jr segera memangul tubuh Tantri dan membawanya pergi menyusul Rianto dan Rianti yang telah pergi lebih dulu.
Untungnya suasana malam itu cukup sepi akan tetapi untuk menghindari kecurigaan akhirnya tubuh Tantri dibalut dengan jubah panjangnya dan londo itu berusaha menghindari berpapasan dengan orang sambil berusaha secepatnya mencapai tepi sungai di dekat Stasiun Kertapati.

Mendekati Stasiun Kertapati suasana bertambah ramai, membuat Van Helsing Jr mengambil jalan memutar agak jauh di belakang stasiun, kemudian menyusup dalam kegelapan diantara rangkaian gerbong-gerbong kereta yang terparkir di sana.

Tiba-tiba terdengar suara membentak keras, “Berhenti!”, membuat langkah Van Helsing Jr terhenti, dan dari atas salah satu gerbong didepan meleseat seberkas cahaya putih dengan diiringi suara berdesing kearah Van Helsing Jr, dengan sigap londo itu melompat ke belakang, tampak percikan api di batu-batu yang tersebar diantara rel-rel kereta ditempat dimana Van Helsing Jr tadi berdiri, terlihat sebatang anak panah menancap disana.

Van Helsing Jr yang langsung memfokuskan seluruh inderanya untuk menghadapi serangan susulan dari depan dikagetkan dengan lesatan bayangan yang berkelebat cepat dari atas gerbong disampingnya, “PLAK!”, Van Helsing Jr hanya sempat menoleh sedikit kebelakang ketika sebuah hantaman keras hinggap tepat dibelakan kepalanya, membuat londo itu tersungkur ke depan, tubuh Tantri yang tadi dipanggulnya tersentak lepas.
Dengan sigap Van Helsing Jr meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya untuk melihat siapa yang telah menyerangnya, akan tetapi tubuh londo itu langsung terhuyung dua-tiga langkah ke belakang, pandangannya terasa gelap dan berkunang-kunang, rasa pusing yang sangat membuat perutnya terasa mual.

Sosok bayangan yang menyerang dan merampas tubuh Tantri itu tak lain adalah Tuan Frantzheof de Van Pierre, dengan mimik muka sedih Tuan Frantzheof de Van Pierre tampak berjongkok memangku dan memeluk tubuh Tantri.
Dengan lembut Tuan Frantzheof de Van Pierre membelai dan merapikan rambut Tantri selir kesayangannya itu.
Setelah mengecup kening Tantri yang terlihat pucat tak berdarah itu dengan raut muka marah Tuan Frantzheof de Van Pierre mengalihkan pandangannya kearah Van Helsing Jr yang tampak masih menggeleng-gelengkan kepala berusaha menghilangkan rasa pusing yang menderanya.
Seluruh bola mata Tuan Frantzheof de Van Pierre tampak berubah menjadi hitam pekat, dengan pelan dan lembut diapun segera memanggul tubuh Tantri di bahu kirinya.
Tuan Frantzheof de Van Pierre berdiri menghadap kearah Van Helsing Jr, kuku tangan di tangan kanannya yang terjuntai kebawah mulai memanjang dan menghitam.

“Siapakah engkau yang begitu tak tahu diri telah berani melukai kekasihku?”, tanya Tuan Frantzheof de Van Pierre kepada Van Helsing Jr yang kini agaknya telah mulai dapat berdiri teguh di depan sana.

“Van Helsing”, jawab Van Helsing Jr, tangan kanannya langsung meraba pistol dipingganggya setelah kini pandangannya telah mulai jelas kembali itu melihat betapa kedua bola mata Tuan Frantzheof de Van Pierre berubah menjadi hitam pekat, “Dengan siapa saya berhadapan?”.

Mendengar jawaban Van Helsing Jr terlihat kening Tuan Frantzheof de Van Pierre berkerut, matanya mengamati seluruh tubuh Van Helsing Jr dari atas sampai ke bawah, senyum sinis langsung menghias bibirnya ketika melihat cincin yang dikenakan oleh Van Helsing Jr, “Agaknya engkau tidak membual … Kau memang keturunan si Abraham keparat itu … dari garis sulung keturunan si Arthur bukan?”, ujarnya dengan suara mengejek.

Van Helsing Jr tampak cukup terkejut mendengar ejekan Tuan Frantzheof de Van Pierre, agaknya vampire dihadapannya ini bukan vampire sembarangan, tubuhnya menegang, agaknya dia tidak akan dapat mengalahkan vampire satu ini semudah vampire-vampire lain yang pernah dimusnahkannya.

Tuan Frantzheof de Van Pierre mengangkat tangan kanannya dan menunjuk kearah Van Helsing Jr, “Dengar! … hampir seratus tahun yang lalu Abraham Van Helsing tak mampu mengalahkan aku … Apakah kau berpikir bahwa sekarang keturunannya dapat membuat perubahan? … Jangan membuatku tertawa anak muda!”, bentaknya.

Tak ingin membuang waktu dan ingin cepat menuntaskan semuanya, membuat Van Helsing Jr dengan cepat menggerakkan tangan kanannya menarik pistolnya, bermaksud menembus kepala Tuan Frantzheof de Van Pierre dengan peluru yang akan ditembakkannya.
Betapapun cepatnya gerakannya, belum sampai Van Helsing Jr dapat mengarahkan pistolnya ke arah kepala lawannya, Tuan Frantzheof de Van Pierre telah berkelebat cepat ke samping kanan Van Helsing Jr, “Crak!”, tangan kanan Tuan Frantzheof de Van Pierre menyambar dan mencengkeram dengan kuku hitamnya tertancap kuat ke bahu Van Helsing Jr, membuat pistolnya langsung terlepas dari genggaman Van Helsing Jr, “Breeet”, ketika Tuan Frantzheof de Van Pierre menarik cengkeraman tangannya dengan kuat, kuku-kuku hitam itu merobek pakaian berikut kulit dan daging mulai dari bahu sampai ke pergelangan tangan Van Helsing Jr.
Belum sempat terdengar jerit kesakitan dari mulut Van Helsing Jr, tangan kanan Tuan Frantzheof de Van Pierre langsung menangkap dan memutar pergelangan tangan Van Helsing Jr, “Krekk!”, putiran cepat dan kuat itu membuat patah persendian siku tangan Van Helsing Jr.
Tubuh Tuan Frantzheof de Van Pierre kembali bergeser berkelebat cepat kedepan Van Helsing Jr, tangan kanan Tuan Frantzheof de Van Pierre kembali menyambar, “Bukk!”, sebuah pukulan keras menghantam dada Van Helsing Jr membuatnya kehilangan nafas dengan dada serasa mau remuk.
Kuatnya pukulan diikuti dorongan Tuan Frantzheof de Van Pierre membuat tubuh Van Helsing Jr terlempar beberapa meter ke belakang.

Tak ingin menjadi bulan-bulanan serangan Tuan Frantzheof de Van Pierre, masih dalam keadaan terlempar kebelakang, tangan kiri Van Helsing Jr segera menyambar dan melemparkan salah satu dari dua granat yang tergantung di belakang pinggangnya.
Sambil mendengus kesal Tuan Frantzheof de Van Pierre segera menangkis dan menepiskan granat itu keatas, granat itu melesat dan meledak cukup tinggi di udara.
Beberapa pecahan granat itu terdengar berdenting ketika menghantam dan menembus atap gerbong kereta.

Van Helsing Jr segera bangkit berdiri, dadanya masih terasa sesak, tangan kirinya telah menggenggam dan siap melemparkan sebuah granat lagi, rupanya tadi sebelum tubuhnya jatuh terhempas diatas bebatuan disekitar rel tangan kirinya masih sempat menyambar granat terakhir dari belakang pinggangnya.
Akan tetapi sosok tubuh Tuan Frantzheof de Van Pierre maupun Tantri sudah tak terlihat lagi, agaknya vampire itu telah berkelebat pergi dari tempat itu.
Van Helsing Jr jatuh terduduk dan memuntahkan darah segar.

Tak lama kemudian terdengar suara orang ramai menuju tempat itu, agaknya kerasnya ledakan granat tadi telah menarik perhatian orang-orang yang berada di sekitar stasiun.
Tak ingin menarik perhatian orang banyak, Van Helsing Jr memaksakan diri bangkit dan dengan tertatih menyelinap meninggalkan tempat itu.

Ketika telah mendekati kapal motor dimana Rianto dan Rianti tampak berdiri menunggu dengan wajah cemas, langkah kaki Van Helsing Jr sudah gontai, darah segar masih terus menetes dari luka-luka ditangan kanannya, londo itu telah kehilangan cukup banyak darah agaknya.
Rianto yang terlebih dahulu melihat kedatangan Van Helsing Jr sambil terhuyung-huyung itu segera meloncat turun dan berlari menyongsong londo itu.

“Rianti cepat panggil si Karman!”, Rianto berteriak ke arah Rianti sambil memapah Van Helsing Jr ke arah perahu.
Rianti segera berlari ke dalam bilik kecil di atas kapal itu, tak lama kemudian tampak Sukarman, dokter muda asisten Van Helsing Jr meloncat keluar dan segera membantu Rianto memapah Van Helsing Jr naik ke kapal.

Didalam bilik, Sukarman segera memberikan pertolongan pertama kepada Van Helsing Jr, sebelum mendapat perawatan penuh di Rumah Sakit di pusat kota Palembang.

****

“Begitulah ceritanya … itulah sebabnya kami yakin bahwa Tantri saat ini juga berada di rumah itu”, ujar Rianto mengakhiri ceritanya, “Bahkan kami juga yakin bahwa Tantri saat ini sedang atau malah sudah dipulihkan kembali dari luka-lukanya oleh Tuan Frantzheof de Van Pierre”.

“Sudah diipulihkan? … Mengingat hal-hal yang tidak masuk akal yang dulu pernah diceritakan Rianti padaku … Mungkin dugaan tersebut benar adanya”, sahut Sancaka sambil melirik ke arah Rianti, “Hanya saja yang mengherankan adalah bagaimana Tuan Frantzheof de Van Pierre dapat dengan tepat datang untuk menyelamatkan Tantri?”.

“Agaknya suara lolongan panjang dari monster jelmaan Tantri waktu itu yang membuat Tuan Frantzheof de Van Pierre datang”, jawab Rianti, “Tuan Frantzheof de Van Pierre tentunya menduga bahwa ada bahaya besar yang mengancam Tantri sehingga sampai harus berubah wujud seperti itu”.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”, tanya Sancaka, dia tentu saja mengharapkan bantuan ketiga orang tamunya ini.

“Kita semua harus bekerja sama untuk mengalahkan Tuan Frantzheof de Van Pierre dan semua antek-anteknya”, akhirnya Van Helsing Jr yang sejak tadi diam angkat bicara juga.

“Yang terpenting adalah jangan gegabah … Tuan Frantzheof de Van Pierre sudah hidup dan malang melintang di dunia ini lebih dari seratus tahun … Jangan sekali-kali meremehkan kepandaiannnya”, Rianti menambahkan.

Sampai menjelang magrib keempat orang itu sibuk membicarakan dan membahas rencana untuk memusnahkan Tuan Frantzheof de Van Pierre.

Setelah itu ketiga tamu itupun pamit pulang kepada Sancaka, “Ingat Sancaka … Kami akan selalu membayangi langkahmu … Semoga kita belum terlambat untuk menyelamatkan tunanganmu”, Rianto memberi pesan sambil menepuk bahu pemuda itu.

****

Bagaimana dengan Gayatri apakah benar bahwa Sancaka tidak akan terlambat untuk menyelamatkan gadis itu nanti malam?

****

Setelah meninggalkan Tantri yang setelah menghisap habis darah gadis yang dibawa Tuan Frantzheof de Van Pierre tentunya akan segera pulih total di ruang bawah tanah itu, Tuan Frantzheof de Van Pierre segera masuk kekamar tidurnya.
Kamar tidur yang khusus diperuntukkan bagi Tuan Frantzheof de Van Pierre beristirahat, tak seorangpun berani masuk ke kamar itu.

Kamar itu berada disebelah kamar tidur besar lainnya dimana dulu Sancaka pernah menikmati pesta nafsu bersama keenam selir Tuan Frantzheof de Van Pierre, kamar tidur dimana Gayatri saat itu berada.

Tuan Frantzheof de Van Pierre tadinya juga ikut terganggu istirahatnya oleh gedoran-gedoran Sancaka di pintu gerbang depan. Tetapi dia lebih tertarik ketika mendengar suara-suara tawa dikamar sebelah.

Terdapat celah khusus di kamar tidur itu yang membuat Tuan Frantzheof de Van Pierre dapat mengamati semua kejadian di kamar tidur disebelahnya.
Ketika Tuan Frantzheof de Van Pierre mengintai ke dalam kamar itu, dilihatnya Seorang gadis duduk menyandar di kepala pembaringan itu, gadis itu duduk memeluk guling dengan muka merah dan cemberut, agaknya sedang di goda oleh kelima orang selirnya yang tertawa cekikikan didekat jendela memperhatikan ulah Sancaka yang terus-menerus menggedor-gedor gerbang depan.
Gadis yang cantik dan anggun yang agaknya belum terjamah oleh laki-laki, membuat Tuan Frantzheof de Van Pierre meneguk ludahnya sendiri.
Dari percakapan mereka Tuan Frantzheof de Van Pierre akhirnya dapat mengetahui bahwa gadis cantik itu adalah Gayatri, tunangan dari Sancaka.

Sedang asyik Tuan Frantzheof de Van Pierre mengamati kejadian di kamar itu, terdengar ketukan halus di pintu kamarnya, dengan penuh amarah diapun beranjak ke pintu, agaknya ada yang berani mati melakukan pelanggaran dengan mengetuk pintu kamarnya.

Dengan tangan kanannya dibukanya pintu kamarnya dengan perlahan, sementara tangan kirinya bersiap dengan cengkeraman maut, agaknya Tuan Frantzheof de Van Pierre berniat mencengkeram pecah kepala orang yang berani mati menggedor kamarnya itu.
Akan tetapi londo itu terkesima dan mengurungkan niatnya, yang mengetuk pintu itu adalah Tantri yang telah berdandan sangat cantik dan ternyata telah pulih sepenuhnya dari luka-lukanya semalam.
“Jangan marah sayang … Aku tahu harumnya bunga disebelah telah menarik perhatiannmu”, terdengar gadis itu berkata sambil tersenyum genit, didorongnya masuk Tuan Frantzheof de Van Pierre yang kini tersenyum lebar itu, setelah menutup pintu kembali didorongnya ke arah celah dimana tadi londo itu mengamati kamar sebelah, “Bagaimana sayangku? Tidakkah bunga itu sangat elok rupawan? Tidakkah serbuk sarinya menebar aroma semerbak menawan?”, bisiknya sambil mengecup dan menciumi tengkuk Tuan Frantzheof de Van Pierre yang kembali asyik mengamati kecantikan Gayatri dikamar sebelah itu yang tampak sedang mengobrol diatas pembaringan sambil cekikikan bersama kelima orang selirnya.
Tangan Tantri yang meraba ke bawah merasakan bahwa ada sesuatu bangkit dengan cepat disana, “Aku akan membantumu memetik bunga itu … akan tetapi sebaiknya tenangkan dulu yang dibawah ini”, bisiknya dan segera keluar dari kamar itu menuju kamar sebelah.

Tantri masuk ke kamar dimana Gayatri berada sambil tersenyum manis, “Tantri … Kemana saja kau … Aku sudah sejak pagi berada disini”, Gayatri dengan riang menyambut kedatangan gadis itu, “Kau cantik sekali hari ini”, puji Gayatri sambil menggenggam kedua tangan gadis itu.

“Ibumu dan Sancaka mengusir aku pergi dengan kasar ketika kau pingsan semalam … “, sahut Tantri memasang muka sedih.
Gayatri langsung memeluk gadis itu, “Maafkan aku yah Tantri … Mereka berdua memang terkutuk! … Untung kau cepat memberitahukan perbuatan bejad mereka kepadaku … Kau menyelamatkan aku dari jeratan asmara Sancaka yang cabul itu … Terima kasih”, bisiknya sambil terisak.
Tantri balas memeluk dan membelai kepala gadis itu sambil tersenyum kearah kelima selir Frantzheof de Van Pierre yang lain.

Kelima orang selir itu merasakan seluruh bulu kuduk masing-masing meremang, mereka dapat merasakan bahwa Tantri yang berada dihadapan mereka ini bukanlah Tantri yang mereka kenal dulu.
Kalau dulu mereka segan kepada Tantri hanya karena gadis itu adalah selir keasayangan Frantzheof de Van Pierre, maka kini mereka membalas senyum Tantri dan mengangguk hormat dengan perasaan sedikit takut, sosok Tantri kini menyiratkan kekuatan yang jauh berada diatas mereka.

“Kau jangan menyalahkan ibumu Gayatri … Dia hanyalah perempuan lemah sebagaimana kita semua … Tak heran kalau dia jatuh kedalam bujuk rayu lelaki keparat itu”, bisiknya menenenangkan gayatri, “Aku yakin kau sendiripun tak akan kuat menahan diri kalu sudah masuk dalam jebakan godaan kemanjaan dan bujuk rayu laki-laki”.

“Tidak! … Aku tidak akan jatuh hanya karena godaan dan bujuk rayu semata!”, balas Gayatri sengit sambil melepaskan pelukannya pada tantri.
Tantri tertawa lepas, “Kau mau bukti nona manis? … Bagaimana kalau kita adakan semacam permainan kecil untuk mengujinya?”, bisiknya sambil mencubit dagu Gayatri.
“Permainan? …. Permainan apa? …. Ayo kalau memang harus dibuktikan …. Aku tidak takut!”, kembali gayatri membalas sengit.
“Hmm … Baiklah kalau begitu … Aku jelaskan permainan yang akan kita lakukan ini”, bisiknya sambil tersenyum manis dan membimbing gayatri kembali ke pembarigan.

Tantri membisikkan sesuatu kepada Yuni, dan gadis itu tampak mengangguk-angguk sambil tersenyum geli menatap kearah Gayatri dan segera berlari keluar kamar itu.
“Permainan ini cukup sederhana … Kau harus membuktikan ucapanmu tadi”, jelas Tantri, “Kami akan mengikatmu dan menutup matamu … buktikan bahwa kau dapat menahan godaan nafsu yang akan kami simulasikan pada tubuhmu”.
Gayatri sudah akan menyahut, “Tenang kami tidak akan merusak dirimu”, lanjut Tantri sambil menutup mulut gadis itu dengan jari tangannya, “Kecuali kalau kau sendiri yang jatuh dalam godaan permainan ini”.

Yuni kembali masuk kekamar itu sambil tersenyum lebar, ditangannya tampak beberapa bahan yang biasa ditemui di dapur, mentimun dan terong ungu, telah dipilih yang sedang besarnya dan bentuknya bagus saja.
“Jangan takut … Ini hanya alat tambahan simulasi …. kami akan melakukan simulasi terbaik yang dapat kami lakukan … bergantian tentunya”, jelas Tantri sambil tersenyum geli melihat wajah bingung Gayatri, “Karena disini kita adalah perempuan semua … Kau tentu tidak keberatan kalau kami membuka seluruh pakaianmu … Bagaimana masih berani melanjutkan?”.

Gayatri adalah gadis yang keras hati, dia tak mungkin sudi menjilat ludahnya sendiri, dengan mantap diapun menganggukkan kepalanya.
Tantri segera mengambil selendang hitam dari dalam lemari pakaian, dan kemudian menutup mata Gayatri dengan ikatan yang cukup kuat.
Selanjutnya kelima orang selir yang lain segera mengikat gayatri dalam posisi berdiri ke dinding.
Memang didinding itu telah tersedia anting-anting yang biasa dipergunakan oleh keenam selir Tuan Frantzheof de Van Pierre untuk mengikat dan mempermainkan para lelaki korban mereka.
Alat pengikat yang biasa dipergunakan adalah empat buah selendang sutera merah, sehingga tidak menimbulkan rasa sakit terhadap korban yang diikat dibandingkan jika menggunakan tambang atau rantai.
Setelah selesai ditutup matanya dan diikat kedinding, Gayatri mencoba menggerak-gerakkan tubuhnya, kaki dan tangannya masih dapatbergerak walaupun tidak terlalu leluasa, gadis itu mengira-ngira paling hanya setengah meter gerak bebasnya kini.

Ketika kelima orang selir itu sedang mengikat Gayatri, pintu kamar itu dengan perlahan terbuka dan Tuan Frantzheof de Van Pierre melangkah masuk dengan senyum puas, kiranya setelah mengikat mata Gayatri tadi Tantri segera memberi isyarat kepada Tuan Frantzheof de Van Pierre yang mengawasi dari celah khusus di dinding.
Tantri segera menyambut dan membantu menanggalkan seluruh pakaian Tuan Frantzheof de Van Pierre.
Kemudian digandengnya tangan Tuan Frantzheof de Van Pierre dan dibawanya kehadapan Gayatri, didekatinya wajah Gayatri, “Persiapkan dirimu gadis manis … Permainan akan segera dimulai gadis manis”, bisiknya lirih.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd