Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Vampire Untold Story

atoen

Semprot Holic
UG-FR+
Daftar
5 Aug 2011
Post
397
Like diterima
304
Lokasi
Wakanda Gunung Kelud
Bimabet
"Kisah ini sekilas ane liat kok belum ada di sini, bukan karya TS, tapi karya orang lain (Petra_GbrL), pernah di publish di Dun**.*o*, semoga jika TS juga member semprot dapat terpancing untuk berkarya lagi" (jika repost mohon dimaafkan dan delete aja om momod)"

Vampire The Untold Story I

67542e522799322

“Anyone can become a vampire’s victim/slave simply by being in the wrong place at the wrong time, befriending the wrong person, choosing the wrong lover, offering hospitality on a cold night to the wrong houseguest (or being offered hospitality by the wrong host). Because anyone can become a vampire’s victim/slave, the threat is that much more terrifying. No one … Yes No One is safe.”

Itulah kata-kata penutup yang mampu dituliskan oleh Padre Gabriel di dalam kereta api yang akan membawanya kembali ke Kota Palembang.

Dibangku di hadapannya duduk sepasang kekasih yang baru saja mengalami kejadian teraneh dalam hidup mereka, kejadian yang akan menjadi cerita paling menegangkan bagi anak cucu mereka nanti.

Mungkin sebaiknya aku yang menjadi orang pertama yang akan menceritakan cerita itu, karena aku adalah orang ketiga yang paling mengetahui cerita itu.

Cerita ini mengambil tempat di belahan selatan pulau Sumatera, tempat yang paling kukenal dalam hidupku.

Ah … sudah cukuplah itu … bukan saatnya bercerita tentang aku.

Simpanlah pertanyaan tentang siapa aku ….

Inilah cerita yang akan kuceritakan itu ….
67542e522799322.jpg


SEORANG PEMUDA DAN KESEMPATAN EMASNYA

Sancaka belum satu bulan kembali dari perantauan. Selama merantau untuk melanjutkan pendidikan ke Pulau Jawa, Sancaka memang belum pernah pulang kampung. Lingkungan dimana ia tumbuh besar tidak ada yang berubah menurutnya.

Perubahan kecil hanya pada papan nama di Stasiun tempat bapaknya bekerja, baru kemudian dia mendapat penjelasan dari bapaknya bahwa memang sejak tanggal 15 September 1971, bentuk perusahaan PNKA mengalami perubahan menjadi “Perusahaan Jawatan Kereta Api” (PJKA).
Hanya sedikit yang diketahui Sancaka tentang perusahaan tempat bapaknya bekerja. seingatnya perusahaan swasta milik belanda yaitu “Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indishe Spoorweg Maatschappij” (NV. NISM) yang menbangun jalan kereta api di Sumatera Selatan mulai tahun 1914.

Perubahan yang besar malah terjadi di rumahnya yang terlihak semakin “semarak” dengan perabot-perabot yang bagus, Sancaka tidak tahu apakah perubahan itu disebabkan karena perubahan PNKA ke PJKA itu atau karena meroketnya karir bapaknya yang menyebabkan perubahan penghasilan bapaknya atau karena hal-hal lain yang tidak diketahuinya. Pak Dewono orang tua Sancaka saat ini telah menjadi Kepala Stasiun Kereta Api yang ada di Kertapati, di tepian Sungai Musi di kota Palembang.

Sancaka adalah seorang Insinyur Perkebunan yang baru pulang setelah menyelesaikan pendidikannya di tanah jawa. Bahkan ia adalah lulusan terbaik di jurusan perkebunan.

Sebenarnya cukup berat bagi Sancaka untuk cepat-cepat kembali ke Palembang, karena kekasih belahan hatinya masih berada di tanah jawa, masih satu tahun lagi bagi Gayatri sang kekasih untuk menyelesaikan pendidikannya sebagai calon dokter. Hanya saja dia tidak kuat untuk terus-terusan mendiamkan surat panggilan pulang dari kedua orang tuanya.

Gayatri telah dikenalnya sejak masih kanak-kanak, rumah orang tuanya dan rumah orang tua sang kekasih cukup dekat. Dan kedua orang tua masing-masing sudah sejak lama mengetahui hubungan khusus keduanya, merekapun tampaknya tidak berkeberatan mengenai hal itu.



Suatu siang, hujan turun dengan derasnya, saat itu Sancaka sedang duduk di ruang tengah menikmati kopi buatannya sendiri. Kopi di Palembang memang jauh lebih nikmat daripada kopi yang ada di Jawa. Apalagi kalau kopi itu dari daerah Muara enim-Lahat-Pagar Alam.

Kedua orangtuanya sedang pergi keluar kota, sebenarnya ayahnya yang keluar kota untuk keperluan dinas karena ditugaskan untuk melakukan investigasi anjloknya beberapa bagian rel di daerah Saung Naga, ibunya hanya ikut untuk mendampingi bapaknya. Itupun tidak sering dilakukan ibunya. Katanya sih mungkin tiga hari lagi baru pulang.

Baru saja Sancaka akan menyulut rokoknya, ian melihat Ratih masuk keberanda rumah dalam kondisi basah kuyup, baju seragamnya sekolahnya yang basah menyebabkab lekak-lekuk tubuhnya tercetak jelas dimata Sancaka.

Ratih tampak telah tumbuh menjadi wanita dewasa padahal saat ini usia baru mencapai 17 Tahun, sebenarnya dia adalah pembantu di rumah Sancaka, sementara Sancaka adalah anak tunggal dari Bapak Dewono dan ibu Sri. Akan tetapi Ratih sudah dianggap anak sendiri oleh kedua orang tua Sancaka.

Ratih dibawa oleh kedua orang tua Sancaka ke Palembang semasih berusia 7 Tahun. Sancaka dan ratih berbeda usia sekitar 6 tahunan. Karena langsung dianggap sebagai anak sendiri itulah yang menyebabkan Ratih bisa bersekolah sambil membantu-bantu pekerjaan rumah ibunya Sancaka tentunya.
Hal itu sebagai tanda balas budi orang tua Sancaka kepada orang tua Ratih, apalagi saat itu usaha orang tua Ratih jatuh bangkrut dan seluruh kekayaanya hampir ludes terjual guna menutupi banyaknya hutang. Seperti Sancaka, Ratih juga merupakan anak tunggal di keluarganya.

Cukup lama Sancaka dapat menikmati pemandangan indah itu karena Ratih harus menggoyang-goyang badannya sampai air dari baju dan rok sekolahnya tidak menetes lagi. Baru gadis itu melangkah masuk setengah berlari menuju kamarnya.
Gadis itu tak lupa melempar senyum manisnya kearah Sancaka yang terlihat bengong terpesona.

Dikamarnya Ratih langsung berlari kedepan cermin dan senyam-senyum sendiri mengingat tingkah laku Sancaka tadi. Dia tahu bahwa baru tadilah perhatian Sancaka Sancaka benar-benar terpaut pada dirinya, walapun dia juga tahu bahwa Sancaka sering juga mencuri pandang padanya setelah kepulangan pemuda itu ke rumah ini.

Sementara diluar kamar itu Sancaka baru menyadari keadaan dirinya. Tidak bisa disalahkan memang karena Ratih telah tumbuh menjadi gadis yang cantik dengan bentuk tubuh yang memang indah dipandang. Apalagi dengan kulit Ratih yang Kuning Langsat itu.

Kalau dibuat ukuran, versi Sancaka tentunya, jika Gayatri mendapat point sembilan maka Ratih pantasnya mendapat point delapan. Sedikit yang aneh adalah orang akan dengan gampang percaya kalau Ratih mengaku sebagai adiknya Gayatri karena ada kemiripan wajah diantara keduanya.

Sejak dia pulang, memang Sancaka sering mencuri pandang kepada Ratih, dia sering tidak habis pikir kenapa anak itu sekarang begitu sangat menggoda dimatanya. Hal itu pula yang membuatnya sedikit dapat melupakan kerinduannya kepada Gayatri.

Tak lama kemudian Ratih keluar dari kamarnya dengan mengenakan kaos yang cukup ketat tanpa mengganti rok sekolahnya, dan matanya langsung bertemu dengan mata Sancaka yang memang sedari tadi belum mengalihkan pandangannya dari pintu kamar gadis itu, dan langsung menatap tajam kearah dada gadis itu.

“Mas Sanca! Kok melotot gitu … emang ada yang salah dengan pakaianku?”, tegur gadis itu sambil sibuk memeriksa apa ada yang aneh dengan baju kaosnya. Mungkin terbalik pikirnya.

“Ada apa sih … awas lho ntar ketenggoran antu banyu musi”, teriak gadis itu sambil menuding kearah timur dimana sungai musi berada, dia tidak merasa ada keanehan pada dirinya yang dapat membuat Sancaka terbengong-bengong seperti itu.
(“ketenggoran antu banyu musi” adalah kerasukan Hantu Air yang katanya suka menyeret orang tenggelam di suangi Musi, yang menurut legenda di daerah itu bentuknya seperti monyet besar dengan bulu-bulu yang sangat panjang).

“Kamu tadi terlihat cantik sekali”, gumam Sancaka lirih tanpa sadar. Sesaat kemudian mukanya langsung merah padam.

Ratih langsung menutup mulutnya mencegah keluarnya suara tawanya yang langsung pecah, dia tidak ingin pemuda itu semakin merasa malu. Pemuda yang diam-diam sangat dikasihinya sejak lama.
Walaupun dia tahu bahwa dia tak akan mungkin menang melawan Gayatri dalam hal memperebutkan hati pemuda itu.

“Mas Sanca sudah makan?”, tanya gadis itu untuk mencairkan suasana.

“Belum kok … kayaknya lagi nggak nafsu makan”, sahut Sancaka sekenanya.

“Kok gitu … emangnya lagi nggak enak badan ya? apa perlu Ratih suapin?”, tanya gadis itu kembali tanpa pikir lagi. Dan hatinya langsung berdebar kencang karena dia terlihat begitu mengkhawatirkan kesehatan pemuda itu.

“Iya … emang lagi panas-dingin nih … boleh juga kalo Ratih mau”, jawab Sancaka tanpa sadar. Walaupun dia tidaklah berbohong, memang badannya jadi panas-dingin disuguhi pemandangan tadi.

“Ya udah … Mas Sanca berenti ngerokoknya … baring dikamar aja dulu …Ratih mau nyiapin makannya”, kata gadis itu mencabut rokok yang memang sejak tadi menempel di bibir pemuda itu tanpa sempat disulutnya. Untuk kemudian setengah berlari ke ruang makan. Untungnya ibu sudah menyiapkan makanan yang cukup untuk mereka berdua hari itu.

Sancaka terdiam beberapa saat, dia meangkap perhatian lebih dari gadis itu kepadanya, tentu akan mudah sekali baginya untuk jatuh cinta kepada gadis cantik anak angkat orang tuanya itu seandainya tidak ada Gayatri. Toh gadis itu tidak ada hubungan darah dengan dirinya, tidak ada halangan baginya untuk menikahinya kalau dia mau.

Dia kemudian bangkit dan melangkah menuju kamarnya, sebaiknya dia jangan mengecewakan gadis itu. Disusunnya bantal dan diapun duduk santai bersandar ke dinding tempat tidur menunggu Ratih.

Tak lama kemudian Ratih masuk ke kamar Sancaka dengan senyum manisnya. Tangan kanan memegang oiring beris nasi dan lauk-pauknya, sementara tangan kiri memegang gelas yang cukup besar terisi air putih hangat.

Setelah menaruh gelas air itu keatas meja kecil disisi tempat tidur, Ratih langsung duduk disisi tempat tidur berhadapan dengan Sancaka. Akan tetapi karena Sancaka duduknya tidak terlalu ketengah maka pinggul Ratih dan sebahagian pahanya bersentuhan langsung dengan cukup rapat ke paha Sancaka.

Sancakapun kembali panas dingin dibuatnya. Rasanya berbeda sekali bersentuhan dengan gadis itu dibandingkan saat mereka kecil dulu, dulu mereka sering bersenda gurau bahkan sering sancaka memeluk gadis itu, tapi tidak ada perasaan apa-apa.

Melihat Sancaka yang menatapnya lekat-lekat, dada Ratihpun jadi berdebar-debar dibuatnya, menyebakan ia sedikit tertunduk dan mukanya agak bersemu merah. Untuk mengurangi kegugupannya Ratih mulai menyuapi Sancaka sambil berkata, “Makan yang banyak ya mas … biar cepat sembuh .. biar muka mas Sanca nggak terlihat agak pucat seperti ini”.

Sancaka tak berniat membantah dan langsung membuka mulunya. Keduanya saling berdiam diri sampai dengan Sanca selesai makan. Selama itu pula Ratih berusaha menghindari bertemu pandang dengan tatapan Sancaka yang seakan terasa menelanjanginya itu.

“Ternyata mas Sanca banyak juga makannya kalau disuapin”, canda gadis itu sambil menyodorkan gelas air minum kepada Sancaka. Sesaat tangan mereka bersentuhan ketika Sancaka menyambut gelas itu. Sesaat pula terasa jantung Ratih berhenti berdenyut.

Tangan mereka kembali bersentuhan ketika Sancaka menyerahkan gelas itu kembali selesai minum. Sesaat pula terasa jantung Ratih kembali berhenti berdenyut, “Makasih ya … mas nggak nyangka kalau Ratih bisa menjadi begini cantik manis”, kata Sancaka berusaha membuka pembicaraan.

“Udah punya pacar belum?”, lanjutnya lagi.

“Belum mas”, jawab Ratih semakin tertunduk.

“Masak belum punya … apa mata cowok se palembang ini sudah buta semua … kok nggak ada yang mau jadi pacar gadis secantik Ratih”, Sancaka langsung menyambar dengan nada suara tak percaya.

“Itulah mas … orang suka Ratih nggak mau … Ratih suka orang nggak tahu”, sahut gadis itu lirih.

“Orang yang ratih suka itu dekat-dekat sini tinggalnya?”, tanya Sancaka. Ratih hanya menjawab dengan anggukan saja sambil menunduk.

“Satu sekolah?”

Ratih menggeleng.

“Ganteng?”

Ratih mengangguk.

“Dia nggak tahu Ratih suka padanya?”

Ratih mengangguk.

“Mas kenal nggak dengan orang itu?”

Ratih mengangguk.

“Tinggalnya diarah timur dari rumah kita?”, Sancaka mencoba memancing karena dia ingin dapat menebak siapa orang itu. Dia mengenal semua pemuda dilingkungan rumahnya.

Ratih menggeleng.

“Tinggalnya diarah barat dari rumah kita?”

Ratih menggeleng.

“Tinggalnya diarah utara dari rumah kita?”

Ratih menggeleng.

“Tinggalnya diarah selatan dari rumah kita?”

Ratih menggeleng.

“Apa tinggalnya dibawah tanah dari rumah kita? … Atau malah tinggalnya tinggi dilangit diatas rumah kita?”, tanya Sancaka bingung.

Ratih menggeleng kuat-kuat sambil melirik kearah muka Sancaka.

Tiba-tiba jantung Sancaka berhenti berdenyut, mukanya pucat tak berdarah ketika terlintas satu pikiran dikepalanya. Pikiran yang membuatnya sesak nafas.

“Apa orangnya ada disini?”, tanya Sancaka, suaranya bergetar dengan nafas yang hampir putus.

Ratih terdiam semakin menunduk mukanya merah menahan malu. Hati Sancaka terasa nyeri seperti tertusuk sembilu.

“Apa orangnya ada dihadapan Ratih?”, tanya Sancaka lirih.

Ratih semakin menundukkan mukanya, bahunya tergetar menahan isak, dan Sancaka bukanlah pemuda tanpa hati dan perasaan, dia dapat merasakan beban perasaan yang dirasakan Ratih.

Dengan tangan bergetar Sancaka mengangkat dagu gadis itu. Tak tertahan lagi air mata gadis itupun luruh dari matanya yang terpejam, rahasia hatinya selama ini tersimpan rapi telah terbuka.

Dengan penuh haru dan tanpa tertahan lagi Sancaka langsung menarik gadis itu kedalam pelukannya, tangis Ratihpun pecah seketika.
Cukup lama Sancaka membiarkan gadis itu menangis melepaskan beban perasaannya, dia hanya membelai rambut Ratih dengan sepenuh sayang, sampai bahu gadis itu terlihat hanya naik turun perlahan pertanda tinggal sisa isak tangis saja.

Sancaka kemudian memindahkan belaiannya ke punggung gadis itu. Sebenarnya saat itu Ratih telah pulih kesadarannya, ia menyadari bahwa saat ini ia berada dalam pelukan orang yang sangat dikasihinya, tanpa dapat mengambil keputusan apakah akan terus membiarkan dirinya atau segera merenggutkan diri lepas dari pelukan dan belaian pemuda itu.

Karena kepalanya tersandar didada Sancaka, Ratih setelah kesadarannya pulih kini dapat dengan jelas mendengar betapa cepat degup jantung pemuda itu. Dia mencoba mendongakkan kepalanya sedikit untuk melihat wajah pemuda itu.

Matanya langsung bertemu dengan mata Sancaka. Betapa ia ingin dia dapat berlama-lama menikmati keadaan ini. Tiba-tiba jantungnya berhenti berdenyut dan seluruh otot ditubuhnya menjadi tegang, bukan karena Ratih melihat hantu di siang bolong, melainkan karena Sancaka perlahan-lahan semakin mendekatkan mukanya kearah mukanya dan bibir pemuda itu mengarah ke bibirnya.

Kedua bibirpun bertaut, nyawa gadis itu serasa terlepas dari raganya, ia hanya dapat memejamkan matanya. Dia dapat merasakan Sancaka mulai melumat bibirnya dengan penuh kelembutan. Setelah sesaat terdiam, hanya dengan memperturutkan nalurinya saja dia mulai membalas lumatan bibir pemuda itu.

Seluruh bulu ditubuhnya meremang merasakan betapa tangan pemuda itu mulai membelai hampir diseluruh bagian atas tubuhnya. Lepas sudah rasio dari hati dan pikirannya, dia akan membiarkan apapun perbuatan pemuda itu, dia hanya ingin menikmati semuanya.

Tangan Sancaka mulai meremas lembut payudara kiri gadis itu. Ratih hanya dapat menggumam tak jelas, hanya dapat meremas lengan pemuda itu dengan gemas.
Sancaka menyingkapkan kaos yang dipakai gadis itu keatas, berusaha melepaskan penghalang pertama sambil menghentikan pagutannya.
Ratih tetap memejamkan matanya, tetapi dengan perlahan menaikkan kedua tangganya menyetujui tindakan pemuda itu, mengijinkan Sancaka membuka kaosnya, penghalang pertama melayang ke samping ranjang.
Sejenak mata Sancaka terpaku pada kedua bukit didada gadis itu, pahudara yang tertutup BH hitam yang sangat kontras dengan kulit kuning langsatnya.
Dengan jari bergetar Sancaka menurunkan kedua tali BH itu kesamping, tersibaknya sang penutup membuat Sancaka terpaksa meneguk liurnya. Terpampang dua bukit yang bulat tegak menantang dengan puncaknya yang bersemu merah jambu.

Kembali disambarnya bibir gadis itu dengan pagutan, dengan lembut dia membaringkan Ratih yang kali ini langsung memeluk leher Sancaka seakan tak ingin terpisah lagi. Sebagian tubuh Sancaka telah berada diatas tubuh telanjang gadis itu, paha kananya diselipkan diantara kedua paha gadis itu, dilepasnya pagutan dibibir Ratih yang terlentang pasrah, ciumannya segera merambat ke pipi, ke leher dan belakang telinga gadis itu, untuk kemudian terus merambat turun kearah kedua bukit indah itu.

Ratih tergetar dan mendesah panjang ketika mulut Sancaka mulai menghisap-hisap puncak buah dadanya dengan disertai jilatan-jilatan lidah yang lincah memainkan putingnya.
Ratih membuka matanya, meraih bantal untuk menyangga kepalanya, dengan demikian dia dapat dengan jelas mengamati semua perbuatan pemuda itu.
Dibelainya kepala Sancaka yang seperti bayi kehausan yang menetek pada ibunya itu, sebentar di dada kanan sebentar di dada kiri, senyum manis tersungging di bibir Ratih, hatinya terasa penuh dengan luapan rasa bahagia. Sesekali kepalanya kembali terdongak disertai desahan panjang jika Sancaka mempermainkan buah dadanya dengan sedikit ganas.

Ratih kembali mengejang dan menggigit bibirnya sendiri, ia dapat merasakan bahwa tangan kanan pemuda itu mulai turun kearah perutnya, dan terus bergerak perlahan ke bawah, ia tahu inilah saat baginya untuk mengambil keputusan, sanggupkah ia menghentikan gerakan tangan pemuda itu, atau relakah ia membiarkan semuanya berlanjut.
Ratih tidak dapat memutuskan.

Akhirnya tangan Sancaka berhasil hinggap diatas lembah kenikmatan gadis itu, masih ada penghalang kedua bathin Sancaka. Dengan jari tengahnya pemuda itu memberikan sentuhan sentuhan lembut di belahan lembah itu. Sancaka dapat merasakan bahwa celana Ratih telah basah dibagian itu. Gadis itu rupanya telah mulai terbakar nafsu.

“Mas Sanca …”, desah Ratih lirih sekali.

Sancaka tidak sedikitpun menghentikan kegiatannya, mulut dan lidahnya terus bermain di kedua puncak buah dada gadis itu, sementara jemarinya terus menjelajahi lembah basah itu dengan lembut.

Kali ini Ratih benar-benar menggigit bibirnya, ketika ia merasakan jemari Sancaka mulai mengait pinggiran celana dalamnya dan berusaha menarik penghalang kedua itu ke bawah.
Dia tidak lagi memiliki kemauan untuk menghentikan ulah pemuda itu, dia bahkan mengangkat sedikit pinggulnya untuk memberikan keleluasaan bagi pemuda itu, menekuk kakinya keatas mengikuti tarikan Sancaka, penghalang kedua pun juga terbang ke samping ranjang Sancaka.

Telapak tangan Sancaka mulai merambat dari ujung kaki gadis itu, terus bergerak keatas kebetis, merambat ke paha bagian dalam untuk kemudian kembali hinggap diatas lembah itu, terasa bulu-bulu halus mulai menghiasi bagian atas lembah itu.
Jarinya kini dengan bebas dapat menjelajahi belahan lembah itu, lembah yang telah basah dengan dinding tebingnya yang lembut.
Sancaka tetap melakukan semuanya dengan penuh kelembutan, membuat gadis itu kadang terkejang-kejang dengan kedua paha gadis itu merapat menjepit paha Sancaka.

Sancaka mulai bergerak turun, jilatannya ikut merambat turun, lidah itu mengincar belahan lembah basah, bau harum menyeruak kedalam hidung Sancaka, agaknya sebagai seorang yang berdarah biru gadis itu sudah pandai merawat tubuhnya, pada saat lidah itu mulai menari di dalam lembah Ratih pun langsung terdongak ketas, mulutnya terkatup rapat berusaha menahan lenguhannya, kedua tanganya tanpa sadar telah meremas-remas rambut pemuda itu.
Ratih sudah sampai pada tahap pasrah, ia akan membiarkan apapun perbuatan Sancaka. Seluruh badannya makin mengejang, ia hanya dapat merintih menyebut nama Sancaka terkadang hanya terdengar lenguhan bercampur gumaman yang tak jelas, nafasnya semakin cepat memburu.

Suatu saat tak tertahankan lagi tubuh gadis itu tersentak keras, kedua tangannya berusaha menutupi jeritan dari mulutnya, kedua pahanya menjepit erat kepala Sancaka. Ratih telah mendapatkan puncak kenikmatannya.

Nafasnya masih tersengal-sengal, ketika Ratih merasakan pergerakan tubuh Sancaka yang mulai merayap diatas tubuhnya. Pemuda itu dengan mudahnya memposisikan diri diantara kedua paha gadis itu.
Wajah keduanya kembali berhadapan dengan begitu dekatnya, tetapi bukan itu yang membuat Ratih mendadak mengeluarkan keringat dingin.
Jauh dibawah sana, dilembah basah miliknya, sesuatu yang hangat terasa menyentuh dan sedikit menekan belahan bibir lembahnya, itu yang membuat gadis itu seperti terserang demam.
Dan Ratih sudah cukup besar untuk mengetahui apa dan mau apa benda itu berada dilembahnya.
Ratih tidak tahu kapan Sancaka melepas penghalang ketiga yang melekat ditubuh pemuda itu, begitu terlenakah dirinya sehingga tidak menyadari gerakan Sancaka.

Sancaka menatap Ratih lekat-lekat, “Ratih … Boleh mas minta yang satu itu?”, bisik Sancaka dengan nafas yang agak memburu.

Mata gadis itu hanya membalas tatapan Sancaka dengan sendu,sedikit berkilau, ada genangan air mata disana.

“Apapun jawaban Ratih … percayalah mas nggak akan marah”, bisik Sancaka dan mulai mendekatkan bibirnya ke bibir gadis itu.

Kedua tangan gadis itu menahan gerakan Sancaka, kedua bibir itu hanya bersentuhan sesaat. Ratih balas menatap lekat-lekat kepada Sancaka, “Ratih akan persembahkan semuanya … Ratih rela mas … tetapi Ratih punya satu permintaan”, bisik gadis itu lirih.

Ratih menarik kepala Sancaka dan mendekatkan bibirnya ke telinga pemuda itu, “Ratih Cuma minta sedikit masa saja … cintai dan kasihilah Ratih sepenuh hati mas Sanca sampai dengan mbak Gayatri kembali”, bisik gadis itu dengan suara bergetar, “setelah mbak Gayatri kembali nati … Ratih akan mundur menjauh dan tak akan menggangu hubungan mas Sanca dan mbak Gayatri”.

Sancaka memejamkan kedua matanya, setulus itukah gadis ini mencintainya.

“Kalau mas mau memenuhi permintaan Ratih ini … ciumlah Ratih dengan sepenuh rasa … mas boleh memiliki Ratih seutuhnya … Ratih akan menyerahkan semuanya dengan rela” bisik parau gadis itu terdengar sangat lirih.

Sancaka menciun leher Ratih, hatinya bertekat membalas ketulusan gadis itu, “Mas akan memenuhi permintaan Ratih … Ratih akan menjadi orang kedua yang mas cintai sepenuh hati”, bisik Sancaka menjawab pertanyaan gadis itu.

“Terima kasih mas Sanca … ambil dan milikilah Ratih seutuhnya”, bisik gadis itu dan tanganya beralih memeluk leher Sancaka dan menyembunyikan mukanya ke leher pemuda itu.

Bisikan itu merupakan perintah bagi Sancaka, dan pemuda itupun segera mulai melancarkan serangan-serangannya.

Sancaka mulai menciumi leher Ratih, terus bergerak ke arah bibir gadis itu, kali ini Ratih membalas pagutan Sancaka dengan gairah penuh, dibawah sana pinggul Sancaka mulai bergerak memainkan penisnya, berusaha mencari celah diantara bibir vagina gadis itu.

Gesekan kepala dan batang penis Sancaka makin membuat celah itu semakin basah, kenikmatan yang ditimbulkannya membuat Ratih ikut menggerak-menggerakkan pingulnya membantu percepatan kepala penis itu menemukan dan masuk gerbang nirwana miliknya. Tetapi kurangnya pengalaman membuat upaya keduanya masih belum membuahkan hasil.

“Mas … biar Ratih bantu ngarahin itunya ke anunya Ratih … Ratih udah nggak tahan pengen ngerasain itunya mas masuk anunya Ratih”, bisik gadis itu terengah-engah.

Sancaka mengangkat tubuhnya dan bertumpu pada kedua tangannya, sementara Ratih langsung menngulurkan tangan kanannya kebawah, digenggamnya batang penis pemuda itu. Sancaka kembali terpesona akan keindahan tubuh bagian atas gadis itu.
Sejenak Ratih terkejut dan berpikir apakah benda sebesar itu dapat masuk ke dalam lubang vaginanya. Memang dia pernah meraba-raba kemaluannya sendiri dan rasanya celah diantara bibir vaginanya pun tidak sebesar batang penis pemuda itu.
Tapi Ratih tak mau banyak pikir lagi, dibimbing dan diarahkannya kepala penis Sancaka kearah belahan vaginanya. Sancaka ikut memperhatikan perbuatan gadis itu. Ratih menarik sedikit batang penis Sancaka dan Sancaka mengikuti tarikan itu, mulai terasa kepala penisnya membelah bibir vagina Ratih.

“Sekarang mas … tekan sekarang”, desis gadis itu.

Sancaka mulai mendorong pinggulnya perlahan-lahan, kepala penisnya menekan dan menguak bibir vagina Ratih, terasa kepala penisnya mulai masuk sedikit demi sedikit, terasa kepala penisnya diremas-remas oleh vagina gadis itu, sensasi yang ditimbulkannya membuat Sancaka mendongakkan kepalanya melenguh pelan.
Ketika seperempat penisnya masuk kedalam vagina gadis itu, Sancaka terpaksa menghentikan gerakan mendorongnya, penisnya terasa ngilu akibat kuatnya cengkeraman liang vagina gadis itu, Sancaka menundukkan kepalanya dan membuka matanya.

Barulah pemuda itu melihat betapa dahi gadis itu berkerut-kerut dengan mata dan mulut terkatup rapat menahan perih. Air mata gadis itu pun mengalir tak tertahankan.

Sancaka bergerak hendak mencabut penisnya, “Jangan mas … jangan dicabut dulu … maafkan Ratih tadi tak kuat nahan sakitnya … biarkan itunya mas dalam anunya Ratih … jangan dicabut … Ratih mohon jangan dicabut”, ceracau gadis itu sambil tangannya menahan gerakan pinggul Sancaka.

“Maafkan mas ya … mas nggak tahu kalau Ratih kesakitan … mas egois sekali” kata Sancaka, ditahannya kedudukan penisnya dalam vagina gadis itu. Diturunkannya tubuhnya keatas tubuh Ratih, dipeluknya dan kembali dilumatnya bibir gadis itu, ratih membalas dengan ganas, Sancaka menurunkan sasarannya ke bawah, dilumatnya habis kedua buah dada gadis itu, kenikmatan itu mulai menghilangkan perih yang dirasakan Ratih sedikit-demi sedikit.

“Masukkan semuanya mas … masukkan semuanya sekarang”, kata gadis itu setelah dirasakannya rasa perih divaginanya telah jauh berkurang.

Sancaka menatap gadis itu sejenak, disambarnya bibir gadis itu, pada saat itu juga dia mendorong maju pinggulnya, gerakan penisnya terhenti, ada sesuatu yang menahan gerakan penisnya, mata Ratih tampak mendelik sebentar, kepalanya ikut terdongak, Sancaka pun tidak mau berpikir panjang lagi dia harus segera menghentikan penderitaan gadis itu.

Sambil mengambil ancang-ancang, disumbatnya mulut gadis itu dengan mulutnya, dia pun mendorong sekuatnya, mendorong habis seluruh batang penis kedalam liang vagina Ratih.
Jeritan Ratih pun pecah, merasakan ada sesuatu dalam liang vaginannya yang terobek perih. Tubuhnya mengejang hebat.
Sancaka sendiri menggeram dengan kening berkerut, ia merasakan nikmat saat kepala dan batang penisnya bergesekan dengan ketatnya liang vagina gadis itu, tetapi disaat itu juga ia merasakan ngilu karena kuatnya cengkeraman vagina gadis itu kali ini.

Ratih langsung menangis, dipeluknya Sancaka erat-erat, Sancaka balas memeluk gadis itu, “Maafkan mas … maafkan mas”, bisik pemuda itu berulang kali. Cukup lama keduanya dalam keadaan berpelukan seperti itu. Penis Sancaka masih terbenam dengan gagahnya didalam liang vagina Ratih, keduanya merasakan bahwa diantara kedutan vagina Ratih ada cairan hangat yang mengalir keluar, dan keduanya tahu bahwa cairan itu adalah darah keperawanan Ratih yang telah dipetik oleh Sancaka.

Ratih menggeleng-gelengkan kepalanya, “Jangan bicara begitu … Ratih tidak menyesal sedikitpun … Ratih bahagia bahwa kesucian Ratih telah Ratih persembahkan buat mas Sancaka”, bisik gadis itu sambil menciumi muka Sancaka.

“Sakitnya dah mulai hilang kok mas … maafin Ratih yah … Ratih kok jadi nangis kayak gini … ternyata Ratih ini masih belum gede yah”, kata gadis itu mulai tersenyum.

“Tapi hari ini Ratih akan menjadi wanita yang sempurna … mas .. buat Ratih menjadi wanita yang sempurna”, bisik gadis itu, “ratih mohon”.

“Ratih”, Cuma itu bisikan Sancaka, dia tidak boleh mengecewakan gadis itu. Dia pun mulai menciumi gadis itu dengan ganas. Pingulnya mulai bergerak perlahan, menarik dan mendorong penisnya. Sesekali masih terasa liang vagina gadis itu mencengkeram kuat ke batang penisnya, hanya saja kali ini semuanya semakin menambah kenikmatan bagi Sancaka.

Semakin lama terasa bahwa liang vagina gadis itu semakin basah, tanda bahwa rasa perih perih yang dirasakan Ratih telah mulai hilang, ini terlihat dari mulai terdengarnya mulut gadis itu menggumam tak jelas.

Sancaka mulai sedikit lebih cepat menarik-sorongkan penisnya, reaksinya sugguh dahsyat Sancaka kembali menggeram nikmat dibuatnya, pinggul Ratih pun terasa mulai bergerak mengimbangi, “Mas Sanca”, bisik gadis itu, “Enak mas”.

Semangat Sancaka mulai terbakar, dipeluknya kuat-kuat gadis itu dan dia mulai lebih mempercepat gerkan pinggulnya. Tubuh Ratih menggeliat-geliat dibawahnya, erangan demi erangan gadis itu semakin memacu gerakan Sancaka.

Gesekan kelamin itu membuat keduanya benar-benar melupakan segalanya, kenikmatan yang dirasakan sudah membuat keduanya seakan tuli tak mendengar betapa suara erangan kuat mereka dapat saja terdengar oleh orang lain, belum lagi suara derat-derit ranjang kayu yang menjadi arena pertarungan nafsu mereka itu.
Ratih merasa seluruh liang vaginanya penuh disesaki oleh batang penis pemuda itu, ditarik ataupun didorong kenikmatan pergesekan batang penis dan dinding vaginaya tidak dapat lagi dilukiskan.
Sementara kepala Sancaka sudah beberapa saat yang lalu terhenti diatas buah dada kiri gadis itu, ia dengan buas menetek disana sambil memeluk erat gadis itu, hampir seluruh indranya terpusat pada kenikmatan yang dirasakan ketika kepala dan batang penisnya keluar masuk di lubang surga itu.

Nafas kedua insan itu terdengar semakin memburu.

Ratih menjerit lirih merasakan kepala penis Sancaka semakin lama semakin membesar saja ukurannya dan ditambah gerakan keluarmasuknya yang semakin cepat tak beraturan membuat kenikmatan yang dirasakannya bertambah berkali lipat.
Sancaka semakin tak terkendali, dia terus menggerakkan pinggulnya dengan cepat, dia merasakan bahwa liang vagina gadi itu berdenyut-denyut kuat tak beraturan, nikmatnya bukan kepalang, ada sesuatu yang juga berdenyut dipangkal batang penisnya.

Tubuh gadis itu bergetar, “Ratih nggak kuat …Ratih nggak kuat”, ceracau gadis itu sambil mencengkeram kuat bantal dibawah kepalanya.

“Ratih”, geram Sancaka.

Hampir bersamaan keduanya saling peluk dengan kuatnya.

Sancaka menekankan pinggulnya kebawah dengan sekuat tenaganya, terasa ada sesuatu yang menyembur dari batang penisnya, dihisapnya puting susu gadis itu dengan kuat, iapun menggeram keras. Nikmatnya tak terlukiskan.
Disaat bersamaan Ratih menjepit pinggul pemuda itu dengan kedua pahanya kuat-kuat, puncak kenikmatannya yang dibarengi siraman hangat dari penis Sancaka benar-benar tak dapat dilukiskan.

Keduanya saling bertatapan mesra, Ratih membelai-belai rambut Sancaka, nafas keduanya masih saling memburu, sisa denyutan-denyutan penis dan vagina yang masih bersatu itu masih tetap menimbulkan kenikmatan tersendiri bagi keduanya.

“Ratih sayang mas Sanca”, bisik gadis itu sambil mencium kening pemuda itu, dan kembali airmatanya mengalir jatuh.

Sanca segera memeluk gadis itu, diciumnya kedua mata yang basah itu. Ratih pun kembali tersenyum bahagia.

Tubuh keduanya mendadak kembali tegang, untuk kemudian keduanya tertawa lepas, hal itu dikarenakan sensasi terlepasnya penis Sancaka yang mulai mengecil sehingga terdesak keluar dari vagina Ratih dengan sendirinya, sensasi geli-geli-nikmat.

Kembali keduanya berciuman dengan mesra, “Mas … malam ini Ratih tidurnya minta dikeloni … boleh nggak?”, tanya gadis itu.

Direngkuhnya kepala gadis itu, “Boleh aja … itupun kalau Ratih bisa tidur … mas akan buat Ratih kayak tadi sampe pagi”, bisik Sancaka mesra.

“Ihh …”, jerit gadis itu menarik kepalanya, “Enaknya selangit gitu kenapa musti takut … Kalo gitu sepakat yah … kita lihat siapa yang nggak kuat kayak tadi sampe pagi … yang kalah harus membalas setelah makan siang … hehehe”, Ratih mengacungkan jari kelingkingnya.

Sancaka mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking gadis itu, ditariknya gadis itu kedalam pelukannya. Tak lama kemudian terlihat keduanya telah tertidur berpelukan masih dalam keadaan telanjang.

Diluar hujan masih turun dengan derasnya, hal yang menguntungkan bagi mereka berdua, suara hujan menyembunyikan suara gaduh pertempuran nafsu mereka tadi.

****

Demikianlah tiga hari kepergian kedua orang tua Sancaka itu benar-benar dimanfaatkan oleh kedua insan itu untuk mereguk segala kenikmatan yang ada, tanpa pandang tempat dan waktu keduanya tampak selalu berpacu ke puncak kenikmatan, hanya diselingi oleh waktu makan dan mandi serta sedikit istiharat.

Tiga hari itu menjadi Tiga Hari Bulan Madu bagi Ratih dan Sancaka.

Setelah orang tua Sancaka kembali, keduanya harus ekstra hati-hati dalam mencari kesempatan untuk berduaan, setiap hari bila ada celah kesempatan segera mereka manfaatkan untuk mereguk kembali kenikmatan itu.

****

Hari itu entah kenapa, Sancaka tiba-tiba sangat merindukan kehadiran Gayatri, diambilnya foto gadis itu dan dipandangnya lekat-lekat.

“Tok … Tok … Tok”, bunyi ketukan pintu mengejutkan Sancaka.

“Sanca … buka pintunya nak … “, terdengar suara ibunya menyusuli ketukan di pintu.

Sancaka segera melompat dari tempat tidurnya dan menggantung kembali foto Gayatri yang tadi terus menerus dipeluk-peluk dan diciuminya ke dinding kamar.

“Ada apa to Bu?”, tanya Sancaka setelah membuka pintu dan melihat sang ibu berdiri disana.

“Itu Pak Broto mau ketemu … katanya ada yang perlu dibicarakan dengan kamu”, sahut ibunya sambil berjalan ke belakang. “Ibu mau bikin kopi dulu … kebetulan Ibu sedang bikin goreng pisang kesukaanmu”.

“Ayo cepat ditemui … jangan lupa pake bajumu dulu”, kata ibunya sambil menoleh kearah Sancaka.

Sancaka secepat kilat berganti baju dan keluar ke ruang tamu untuk menemui sang tamu, yang tak lain adalah bapaknya Gayatri sang kekaksih. Hatinya berdebar kencang, entah masalah apa yang akan dibicarakan oleh calon mertuanya itu.

****

“Selamat sore Pak … katanya Bapak ada perlu dengan saya”, sapa Sancaka sambil mengulurkan tangan untuk menyalami sang calon mertua.

Pak Broto pun berdiri dan mengulurkan tangannya, “Iya nak Sanca … Bapak mau membicarakan sesuatu dengan nak Sanca”, jawab orang tua itu saat Sancaka menyalami dan mencium tangannya.

“Nak Sanca kan lulusan terbaik di bidang perkebunan … kemarin Bapak bertemu dengan Tuan Frantzheof de Van Pierre”, lanjutnya setelah mereka duduk. “Sayang kan kalau tidak dipergunakan ilmunya”.

“Tuan Frantzheof de Van Pierre memiliki kebun Teh dan Kebun Kopi yang sangat luas di Pagar Alam … dan setelah mendengar tentang nak Sanca serta melihat foto nak Sanca … Beliau menanyakan tanggal lahir naka Sanca … mendengar nak Sanca lahir pada tanggal 6 Juni … Beliau juga menanyakan apakah nak Sanca memiliki ciri-ciri fisik yang khusus .. Beliau sangat tertarik serta langsung menawarkan nak Sanca untuk bekerja mengelola perkebunannya”, kata orang tua itu panjang lebar.



Sancaka memang seorang pria ganteng (sedikit terkesan kemayu malah), rambut panjang sebahu, memiliki postur tubuh yang atletis dengan tinggi 175 cm, maklum menilik silsilah ketrunannya dia masih termasuk berdarah biru.
Ciri-ciri fisik yang khusus yang dimaksudkan Pak Broto tentunya adalah tanda lahir yang ada dibawah pelipis didepan telinga kirinya.
Hal yang membuat Sancaka memanjangkan rambutnya adalah untuk menyembunyikan tanda lahirnya itu.

Sancaka masih berdiam diri menunggu kelanjutan penjelasan orang tua itu.

“Tuan Frantzheof de Van Pierre juga menjanjikan akan memberikan salah satu rumah besarnya untuk tempat tinggal nak Sanca nantinya berikut penghasilan yang sangat memadai tentunya … selama ini pengelolaan kebunya hanya diserahkan pada beberapa mandor lokal yang masih harus terus-menerus diawasi oleh Tuan Frantzheof de Van Pierre”, lanjut orang tua itu.

“Bahkan setiap enam minggu … Tuan Frantzheof de Van Pierre memberikan ijin kepada nak Sanca untuk libur selama seminggu penuh … Bagaimana nak Sanca … apakah nak Sanca bersedia? bukankah ini merupakan kesempatan emas bagi nak Sanca … kebetulan minggu depan Bapak akan ke Pagar Alam dan kebetulan pula Bapak akan mengantarkan bahan-bahan kebutuhan pokok pesanan Tuan Frantzheof de Van Pierre … biar saya sampaikan kepada Beliau”, demikian orang tua itu menutup penjelasannya.

“Menurut Ibu … sebaiknya kau terima tawaran Tuan Londo itu Sanca … betul itu kata Pak Broto … kapan lagi ada tawaran sebaik itu”, kata ibunya sambil meletakkan kopi dan pisang goreng di meja tamu, rupanya dari tadi ibunya ikut mendengarkan penjelasan Pak Broto dari balik pembatas ruang tamu dan ruang tengah.

“Silahkan dinikmati Mas Broto … Cuma ini yang kebetulan dapat kami hidangkan”, lanjut ibunya lagi.

“Terima kasih dik Sri … ini saya malah ngerepoti”, balas Pak Broto dengan sopan.

“Iyalah Bu … kalau menurut Ibu itu adalah hal yang baik … tentu saya akan bersedia menerima tawaran Tuan Londo itu”, akhirnya Sancaka berkata tanpa banyak berpikir lagi.

Lagipula memang tawaran itu cukup menggiurkan, dan merupakan kesempatan emas bagi Sancaka untuk menerapkan ilmu-ilmu perkebunan yang didapatnya.
Hanya saja dia masih berat memikirkan masalah hubungannya dengan Gayatri, bukankah beberapa bulan lagi kekasihnya itu akan segera kembali ke Palembang, sementara dia akan terikat pekerjaan di Pagar Alam yang cukup jauh dari Palembang.

“Mengenai Gayatri … nak Sanca tidak usah khawatir … dia tidak akan saya jodohkan dengan orang lain … bahkan kalau perlu nanti dia akan Bapak ajak kesana untuk menjenguk nak Sanca … pokonya Bapak jamin … hehehe”, kata Pak Broto seakan dapat membaca pikiran Sancaka.

“ Iya Sanca … takkan lari gunung di kejar”, sahut ibunya sambil tertawa geli melihat Sancaka yang sedang menyulut rokok itu menjadi merah padam mukanya karena malu rahasia hatinya dapat ditebak kedua orang tua itu.

“Ingat llho … nak Sanca harus segera mempersiapkan segala sesuatunya dalam minggu ini … saya yakin begitu mendengar nak Sanca bersedia tentu Tuan Frantzheof de Van Pierre akan segera memerintahkan salah satu mandornya untuk segera menjemput nak Sanca”, kata Pak Broto sebelum orang tua itu berpamitan untuk pulang.

Setelah itu merekapun terlibat obrolan ringan sambil menikmati kopi dan pisang goreng yang dibuat ibunya.

Seminggu itu Sancakapun sibuk sendiri mempersiapkan segala sesuatu yang dirasa perlu untuk dibawa ke Pagar Alam nantinya.

sambung... besok ya teman
 
Terakhir diubah:
Wah mantap ini, ane udah baca ampe tamat, semoga disini juga tamat,..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Kirain dikentangin suhu.untung dilanjut sampe puas....
 
Tolong cantumin copas boss pada judul utama story nya, biar si boss kaga kena semprot para master2 dsni.

Ane paling ngefans sama vampire cantik seksi namanya Tantri dlm story ini.

Lanjutin copas nya boss..
 
Tolong cantumin copas boss pada judul utama story nya, biar si boss kaga kena semprot para master2 dsni.

Ane paling ngefans sama vampire cantik seksi namanya Tantri dlm story ini.

Lanjutin copas nya boss..
gak bisa edit judul...
 
Chapter 2
SEORANG PEMUDA DAN KERESAHANNYA

Sancaka tertegun didepan villa yang diberikan oleh Tuan Frantzheof de Van Pierre untuk tempat kediamannya, Villa yang putih megah dengan pemandangan kebun teh yang indah, mandor tua kepercayaan Tuan Frantzheof de Van Pierre yang ada disebelah pemuda itu hanya tersenyum.

“Tuan muda Sancaka tinggal di villa ini, sementara Tuan Frantzheof de Van Pierre tinggal di villa yang disana itu”, kata si mandor tua menunjuk kearah Villa yang jauh lebih besar dengan letak yang sedikit lebih tinggi.

“Tolong panggil saja nak Sanca … saya nggak enak mendengar panggilan tuan muda itu pak”, kata Sancaka.

“Maafkan bapak … bapak nggak berani melanggar perintah Tuan Frantzheof de Van Pierre … kami semua sudah dipesan untuk memanggil dengan sebutan Tuan Muda”, jawab mandor tua itu terbungkuk-bungkuk.

Sekilas Sancaka menangkap ada kesan ketakutan di wajah orang tua itu.

Mandor tua itulah yang menjemput Sancaka ke Palembang sesuai perintah Tuan Frantzheof de Van Pierre, untuk kemudian diantarkan ke Villa Mendung yang sekarang sedang dikagumi oleh Sancaka, namanya bia dipanggil Pak Udin.
Villa Mendung ini letaknya tidak berjauhan dengan Villa Bulan tempat Tuan Frantzheof de Van Pierre tinggal, hanya berjarak sekitar 300 meter.

Setelah masuk Sancaka agak berkerut keningnya, villa ini terkesan suram, dengan langit-langit yang tinggi dan jendela-jendela yang besar, dindingnya dihiasi dengan berbagai lukisan wanita cantik yang sedang bersedih. satu lukisan yang berbeda, lukisan seorang wanita yang sedang memeluk seorang pria, hanya saja tetap terkesan suram.

“Ini kamar tidur tuan muda”, kata pak Udin sambil membuka sebuah ruangan.

Sancaka terpana sejenak, sebuah kamar tidur yang besar, dengan sebuah ranjang yang besar ditengah-tengah, ada empat tiang disetiap sudutnya untuk menopang semacam tingkap yang terbalut kelambu tipis, dengan dinding berwarna biru cerah, terdapat tiga buah lemari besar dan satu set meja tamu, terlalu mewah untuk dirinya.

Pak Udin meletakkan tas bawaan Sancaka di samping ranjang itu, “Kalau Tuan Muda memerlukan sesuatu tarik lah bandulan itu … akan ada yang datang untuk melayani tuan” katanya sambil menunjuk sebuah bandulan disisi tempat tidur, bandul dengan sulaman indah berumbai-rumbai yang tergantung pada tali terpilin yang tergantung menembus langit-langit kamar itu.

“Silahkan berisitirahat tuan … saya akan memeriksa apakah makanan siang tuan muda sudah disiapkan”, kata orang tua itu membungkuk mundur keluar sambil menutupkan pintu.

Sancaka naik dan berbaring diranjang itu, terasa betapa empuknya kasur dan bantal yang menopang tubuhnya. Sancaka tidak akan menduga bahwa kasur dan bantal itu bukanlah terisi kapuk melainkan terisi oleh bulu angsa.

****

Sancaka membuka matanya, seorang gadis manis sedang mengguncang-guncang pahanya membangunkan tidurnya, kiranya kenyamanan telah membuat pemuda itu tertidur tadi.

“Bangunlah tuan … makan siang untuk tuan telah kami siapkan”, suara lembut gadis itu terdengar, senyum genit terhias diwajahnya.

“Ya … ya … aku bangun”, jawab Sancaka tergagap.

“Eit … tuan muda nggak boleh turun dari ranjang … duduk aja yang nyaman” kata gadis itu sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya ketika melihat Sancaka akan turun dari ranjang itu.

Sancaka melongo sebentar, diapun naik kembali ke atas tempat tidur itu, duduk bersandar ke kepala tempat tidur itu, matanya tak lepas mengawasi gerak-gerik gadis itu.

Gadis itu mendekati semacam meja kecil yang beroda, semacam meja dorong agaknya, mengenakan gaun hijau ketat tanpa lengan yang bergaya china, kulitnya putih mulus ciri khas gadis-gadis Pagaralam, tentu dia berasal dari daerah sekitar sini pikir Sancaka, gadis itu berdiri menyamping sehingga Sancaka dapat dengan jelas melihat bentuk siluet tubuhnya yang aduhai, buah dada yang tegak menantang, rambut digelung keatas memperlihatkan rambut-rambut halus ditengkuknya.

Gadis itu mulai membuka semua tutup piring dengan berbagai bentuk di meja itu, perkiraan Sancaka sedikitnya ada enam macam piring disana, Sancaka meneruskan penjelajahan matanya ke tubuh gadis itu, nafasnya sedikit tersendat, gaun panjang gadis itu memiliki belahan memanjang disamping, belahan dari bawa sampai mendekati pinggulnya, memperlihatkan kaki jenjang dengan kulit yang putih mulus, tanpa sadar Sancaka meneguk liurnya sendiri. Pikiran kotor mulai hadir dikepalanya.

“Nama saya Yuni … Tuan suka yang tuan lihat?”, terdengar suara gadis itu menggodanya.

“Maaf”, sahut Sancaka dengan muka merah menahan malu.

“Ya … wajar kok kalau tuan minta maaf … karena tebakan tuan tadi salah … saya bukan berasal dari daerah sini … saya orang sunda”, sahut gadis itu sambil melirik dan melempar senyum menggoda kearah Sancaka.

Sancaka tercenung, gadis ini dapat membaca pikirannya.

Gadis itu dengan tenang mendorong meja itu kesamping tempat tidur Sancaka, meletakkan semacam meja yang cukup panjang dengan pendek disekitar atas paha Sancaka, dan mulai menyusun piring dan pelaratan makan yang ada. Setiap piring berisi satu jenis masakan yang penampilannya benar-benar mengundang selera.

Setiap menyusun sesuatu di meja pendek itu, Sancaka dapat melihat belahan dan sebagian besar buah dada gadis itu yang juga putih mulus, agaknya tidak ada pakaian dalam dibalik pakaian ketat hijaunya itu. Bau harum merebak dari tubuh gadis itu.

“Mau ya? Buah yang satu itu belum boleh dimakan sekarang”, bisik gadis itu sambil tersenyum tanpa menghentikan aktifitasnya menyusun hidangan dihadapan Sancaka.


Sancaka kembali tersedak, ia seperti pemuda bego yang terus-terusan ketangkap basah, “E … E … saya tidak melihat ada nasi diantara hidangan ini”, jawab Sancaka sekenanya, asal jawab malah.

“Tuan membutuhkan makanan yang bergizi tinggi … ini sesuai perintah Tuan Frantzheof de Van Pierre”, jelas gadis itu. Tampaknya ia telah menyelesaikan tugasnya.

“Silahkan makan tuan … jika telah selesai silahkan tuan panggil saya dengan menarik bandul itu”, gadis itu membungkuk dan melangkah mundur keluar dari kamar itu.

Masih tertangkap senyum nakal gadis itu sebelum pintu kamar Sancaka ditutupnya kembali.

Sancaka hanya bisa mengutuki dirinya sendiri yang terlihat begitu bodoh dimata gadis itu tadi, dilampiaskannya dengan melahap semua hidangan itu, ternyata hidangan itu benar-benar lezat.

****

Sancaka mematikan rokoknya ke asbak dimeja tamu dalam kamar tidurnya, itu batang rokok ketiga yang dihabiskannya, dia tersenyum sendiri, selera pemilik villa ini agak nakal juga, asbak yang terletak dimeja itu bentuknya menggambarkan wanita telanjang yang duduk mengangkang diatas tempayan sebuah besar.

Ditariknya bandulan disamping tempat tidurnya, lamat-lamat ia mendengar bunyi loceng berdentang jauh diluar kamar tidurnya.

Terdengar suara langkah kaki mendekati pintu kamarnya, pintu itu membuka dan langsung terlihat wajah Yuni yang tersenyum manis, “Sudah selesai tuan?”, tanyanya sambil berjalan masuk, “Ah … masakan yang kami hidangkan memenuhi selera tuan” lanjutnya melihat betapa semua hidangan itu habis dilahap Sancaka, diapun kemudian sibuk membereskan semuanya termasuk merapikan tempat tidur Sancaka.

Sancaka duduk dikursi yang menghadap ke tempat tidurnya, menyulut rokoknya, kembali ia memperhatikan semua gerak-gerik gadis itu.

Kali ini Yuni tidak berkomentar sedikitpun, ia hanya tersenyum-senyum manis dan sesekali melirik kearah Sancaka.

Didorongnya meja sorong itu keluar, “Saya akan menyiapkan air panas untuk tuan mandi sore ini”, kata gadis itu sedikit menganggukkan kepalanya sambil menutup pintu dari luar.

Sancaka hanya bisa menghembuskan rokonya dengan kuat, kemulusan dan keharuman gadis itu mengguncang bathinnya.

****

Selang satu jam, saat Sancaka sedang berdiri memandang keluar ke kebun teh melalui jendela kamar tidurnya, pintu kamarnya terbuka, tampak Yuni melangkah masuk dengan memangku pakaian ungu muda yang terlipat rapi, “Tempat mandinya sudah saya siapkan … tanggalkan semua pakaian tuan dan pakailah kimono ini”, terdengar suara gadis itu sambil meletakkan lipatan pakaian itu keatas tempat tidur Sancaka.

“Terima kasih”, sahut Sancaka.

“Saya tunggu diluar kamar”, kata gadis itu sambil berjalan keluar dan kemudian menutup pintu.

Sancaka menanggalkan semua pakaian ditubuhnya, dikenakannya kimono itu, terasa lembut dan ringan, agaknya terbuat dari sutera pilihan.
Tetapi dia tidak menemukan sebuah pun cermin dikamar itu, jadi dia tidak dapat melihat bagaimana penampilannya dengan kimono itu.

Diapun melangkah ke pintu, dibukanya pintu itu, Yuni yang berada di depan pintu itu membungkuk sopan, “Silahkan ikuti saya” katanya tersenyum.
Sancaka pun melangkah mengiringi gadis itu, kali ini Sancaka dapat mengamati dengan jelas lenggak-lenggok tubuh semampai gadis itu, pinggangnya sungguh ramping. Bau harum tubuh gadis itu semakin menggoda.

Mereka melewati ruang tengah yang luas, dengan hiasan segala macam senjata tajam didindingnya, semuanya tersusun dengan baik, sehingga indah dipandang. Masuk ke ruang makan dengan meja besar panjang berbentuk oval yang dikitari oleh 13 kursi. Ada tiga pintu disana, “Pintu di kiri menuju ke ruang baca sekaligus perpustakaan pribadi Tuan Frantzheof de Van Pierre … tuan diijinkan menggunakannya … pintu dibelakan sana menuju keruang belakang, ke dapur dan ke gudang persdiaan anggur dibawah tanah … pintu di kanan adalah ruang mandi yang kita tuju”, jelas gadis itu.

Gadis itu melangkah mendekati pintu itu, membukakannya untuk Sancaka, “Silahkan tuan”, katanya sambil membungkuk sopan.

Sancaka melangkah masuk kedalam, dia tidak lagi menginjak lantai marmer seperti ruang lainnya, lantai ruang mandi itu dari batu-batu koral hitam, dan gadis itu segera menutup kembali pintu itu dari luar. Dipandangnya sekeliling ruang mandi itu, ruang mandi itu sangat besar dan dirancang dengan sempurna, seluruh dindingnya berwarna biru cerah dengan gambar mata seukuran telapak tangan yang bertebaran tak teratur diseluruh permukaan dinding itu, tampak kolam oval dengan lebar 2 meter dan panjang 3 meter ditengah ruangan itu, terisi air yang jernih walaupun tidak terlalu penuh. Ada enam kuntum mawar merah mengambang ditengah kolam itu. Ada semacam parit kecil disalah satu sisi kolam itu. Agaknya kolam itu tertimbun sekelilingnya oleh batu koral hitam.
Terdengar bunyi air mengalir dan melalu parit kecil itu tampak mengalir air yang menimbulkan uap tipis dipermukaan kolam, agaknya itu air panas, Sancaka memperhatikan dengan kagum.

Ia pun mendekati tepi kolam, perkiraannya kedalaman kolam itu hampir setengah meter, dicelupkannya tangannya, terasa bahwa air kolam itu cukup hangatnya, agaknya jumlah komposisi air panas dan air dingin di kolam itu telah diperhitungkan dengan tepat. Bagian dalam dan bagian atas kolam itu dilapisi oleh marmer yang telah dibentuk sedemikian rupa, semuanya terasa halus tidak ada bagian yang bersudut/menonjol tajam.

Dia ingin cepat-cepat mandi takut airnya keburu dingin lagi, toleh sana – toleh sini, Sancaka tidak menemukan tempat untuk menggantungkan kimononya, karena sayang dengan kimono yang terbuat dari sutera itu, setelah ditanggalkannya kimono itupun langsung dilipatnya baik-baik, dan kemudian di letakkannya agak jauh dari kolam biar tidak basah.

Diapun segera masuk ke kolam itu dengan perlahan, hangatnya air kolam menimbulkan rasa nyaman. Sancaka menyandarkan tubuhnya, matanya terpejam, sungguh nyaman menjadi orang yang kaya raya seperti ini pikirnya.

Terdengar bunyi batu bergesekan karena langkah kaki yang mendekati kolam itu, Sancaka membuka matanya, ditepi kolam tampak Yuni yang mengenakan kimono seperti dia tadi, hanya saja warnanya putih bersih. Gadis itu berdiri sambil tangan kanannya menutup mulutnya membungkam suara tawanya, tangan kirinya menunjuk ke arah kimono Sancaka yang terlipat rapi.
Sancaka ikut menoleh memperhatikan kimononya yang terlipat rapi, lama diamatinya tapi tidak ada yang aneh dengan kimono itu. Ia pun menoleh kembali kearah gadis itu hendak bertanya, tapi suaranya tertahan.

Yuni kini berdiri bertolak pinggang dan tersenyum manis sekali, “Tuan muda yang ganteng … urusan kimono ataupun pakaian kotor di villa ini sudah ada yang mengurusinya”, kata gadis itu, “Oleh karena itu … setiap kali mandi dan seterusnya nanti … begitu kolam air hangatnya siap … tuan tinggal menanggalkan kimono ini” lanjutnya sambil tangannya menarik lepas ikatan kimono putihnya, membuka bagian depan kimononya kesamping dan kimono itu lansung jatuh lepas ke bawah.

Nafas Sancaka terhenti seketika, dibalik kimono putih itu Yuni tidak mengenakan selembar benangpun.
Tubuhnya yang putih mulus terpampang jelas dimata Sancaka. Semua bagian tubuh gadis itu sangat sempurna.

Sancaka masih terbeliak dengan mulut menganga, Yuni sudah melangkah masuk kedalam kolam itu dan terus melangkah kearah Sancaka yang duduk tersandar tegang, gadis itu berhenti persis didepan pemuda itu.

Vagina gadis itu sekarang benar-benar terpampang jelas didepan muka Sancaka, hanya dilindungi sejumput bulu-bulu halus dibagian atasnya, beberapa kali pemuda itu hanya dapat meneguk air liurnya sendiri.

Yuni mengamati dengan puas betapa kikuknya pemuda dibawahnya, bibirnya tetap tersenyum manis, diturunkannya tubuhnya perlahan-lahan, kembali Sancaka diberi pemandangan baru, pemandangan dua buah dada gadis itu yang turun secara perlahan, buah dada putih mulus yang berdiri tegak menantang dengan indahnya, puting susunya terlihat masih kecil menggemaskan membuat Sancaka sekuatnya menahan diri untuk tidak segera menyambarnya.

Yuni telah duduk dipangkuan Sancaka sambil tersenyum manis, tanganya segera dikalungkan keleher pemuda itu, kedua mata mereka saling bertatapan, Yuni mendekatkan mukanya dan menempelkan bibirnya ketelinga pemuda itu, “Yuni akan berusaha menyenangkan tuan”, bisiknya lirih.

Dua buah dadanya menempel ketat ke dada Sancaka, lidahnya langsung menyapu telinga pemuda itu, ciumannya langsung merambat ke leher dan terus turun ke dada Sancaka, lidahnya lincah menari diatas puting susu pemuda itu, Tubuh Sancaka bagai tersengat listrik, belum pernah dia merasakan sensasi seperti ini.

Setelah puas bermain disana, ciuman Yuni pun segera merambat kembali keatas, dipagutnya bibir pemuda itu dengan buas. Kali ini Sancaka segera membalas dengan tak kalah ganas.
Yuni mengulurkan tangannya kebawah, digenggamnya batang penis pemuda itu, terasa betapa batang penis itu telah berdiri tegang, ukuran batang penis itu tidak mengecewakannya, tampaknya dia akan dapat meraih kepuasan penuh malam ini, terlebih lagi dia telah mencampurkan ramuan khusus kedalam hidangan yang dimakan pemuda itu tadi. Ramuan yang akan membuat pemuda itu bertahan cukup lama untuk memuaskan dahaganya.

Tangan Yuni mulai bergerak memberikan kocokan-kocokan lembut ke penis Sancaka, membuat pemuda itu semakin ganas membalas pagutan gadis itu.

Diarahkannya kepala penis itu ke bibir vaginanya, kemudian Yuni segera memajukan pantatnya, kepala penis itupun mulai menyeruak masuk kedalam lubang kenikmatan gadis itu. Keduanya sama-sama melenguh sambil terus berpagutan.
Gerakan masuk penis itu selalu diiringi gelembung-gelembung udara kecil yang keluar dari celah bibir vagina gadis itu, udara yang terdesak keluar dari dalam liang vagina Yuni yang dipenuhi batang penis Sancaka.

Batang penis itu telah masuk seluruhnya, Yuni pun segera menggoyang pantatnya, maju mundur dengan gerakan teratur, semakin lama semakin cepat tanpa sedikitpun melepaskan pagutannya dibibir pemuda itu. Hanya suara “mmh” saja yang terdengar bersahutan dari keduanya.
Sancaka mulai merasa kehabisan nafas, akan tetapi ada sensasi lain yang dirasakannya yang membuat ia enggan melepas pagutan gadis itu. Entah kenapa semuanya terasa lebih nikmat, lebih nikmat daripada saat ia dan Ratih mereguk kenikmatan dulu.

Gerakan Yuni semakin cepat dan tak beraturan, Sancaka merasakan betapa cengkeraman liang vagina gadis itu semakin ketat dan terus berdenyut-denyut tak beraturan. Tiba-tiba gadis itu menggeram hebat sambil menghempaskan pantatnya dengan kuat, penisnya tertanam kuat sampai kepangkalnya.
Tubuh gadis itu agak melenting ke belakang.

Sancaka segera menangkap dan memeluk gadis itu, mulutnya langsung melumat habis kedua puting susu gadis itu, masih terasa sentakan-sentakan tubuh gadis itu menghabiskan sisa-sia puncak kenikmatannya.

“Tuan benar-benar dahsyat”, bisik gadis itu, “Tuan berhasil melemparkan saya ke puncak kenikmatan hanya dalam satu kali serangan”, lanjutnya sambil membelai rambut pemuda itu yang masih asyik menetek didadanya.

Tangan Yuni meraih sebuah bandul ditengah kolam itu, bandul yang mirip dengan bandul yang ada disisi tempat tidur Sancaka, bandul yang tadi luput dari perhatian Sancaka.

Air permukaan kolam turun dengan cepatnya, keluar melalui lubang-lubang kecil diseputar dasar kolam itu, sebentar saja air kolam itupun habis terkuras. Hal itu tak luput dari perhatian Sancaka, dia akan membalas gadis itu pikirnya, akan dibaringkannya gadis itu didasar kolam dan giliran dirinya sekarang untuk memburu kenikmatannya.

“Lakukanlah tuan … Marilah kita reguk kepuasan itu bersama”, bisik gadis itu, Sancaka tidak mau berlama-lama memikirkan mengapa gadis itu selalu dapat membaca pikirannya.

Tanpa melepaskan penisnya dari vagina gadis itu, dibaringkan dan ditindihnya tubuh putih mulus itu, kembali mulutnya menetek dengan buasnya dikedua putting susu Yuni, sambil terus menggerakkan pantatnya memompakan penisnya keluar-masuk liang vagina gadis itu.

“Terus tuan … terus”, ceracau gadis itu sambil kedua tangannya meremas-remas dan menarik-narik pantat Sancaka seakan membantu tenaga dorongan penis pemuda itu.

Ceracauan yang membuat Sancaka semakin terbakar nafsu, digerakkannya pantatnya dengan kuat dan cepat, menimbulkan bunyi plak-plok disetiap hempasannya. Sancaka mulai mendesis, ia merasakan kenikmatan yang lebih daripada ketika Yuni berada diatas tadi, ia tidak tahu bahwa hal itu diakibatkan oleh pengaruh ramuan yang tadi makannya telah mulai hilang.

Terlebih Yuni mulai mengimbangi gerakan pemuda itu dan ikut mengayun-ayunkan pantatnya keatas menyambut hempasan Sancaka, Sancaka makin cepat mendekati puncaknya, denyutan dipangkal batang penisnya mulai terasa semakin kuat. Vagina gadis itupun mulai ikut mencengkeram meremas-remas dengan denyut tak beraturan.

Yuni segera mengangkat muka pemuda itu, menariknya dan melumat bibir pemuda itu dengan buas, kini Sancaka yang menggeram hebat, dia menghunjam-hunjamkan penisnya dengan sekuat-kuatnya, dan akhirnya dengan mata terpejam rapat dia menghempaskan pantatnya sekuat tenaga, dihisapnya habis-habisan bibir gadis itu, penisnya bernyut disertai semburan-semburan kedasar liang vagina gadis itu.
Yuni pun kembali menggapai puncaknya disaat yang sama, kedua tangan gadis itu dengan kuat meremas pantat Sancaka. Denyutan lubang vaginanya yang mencengkeram dengan kuat seakan membantu menyedot dan memerah habis cairan dari batang penis pemuda itu.

Keduanya sama-sama terengah-engah dengan nafas memburu dan terkulai lemas saling bertindihan.

Hampir saja Sancaka jatuh tertidur diatas tubuh gadis itu, kalau saja Yuni tidak menepuk-nepuk pantatnya dengan lembut, “Tuan apakah pantas tidur disini … Yuni bukan kasur lho” kata gadis itu geli.

Sancaka mengulingkan dirinya kesamping, ditolehnya gadis itu, akan tetapi Yuni segera meletakkan jari telunjuknya kebibir pemuda itu, “Nanti” bisiknya tersenyum.

Kembali Sancaka heran bagaimana gadis itu selalu tahu pikirannya, ia tadi ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada gadis itu.

Yuni segera bangkit berdiri, berjalan kearah pintu dan mengambil salah satu dai dua kimono baru yang terlipat rapi didepan pintu, agaknya tadi dia datang dengan membawa dua kimono itu.

Sancaka pun ikut bangkit berdiri, Yuni mendekat kearah pemuda itu dan memakaikan kimono itu, ternyata kimono itu terbuat dari bahan handuk yang cukup tebal sehingga dapat menyerap keringat yang membasahi tubuhnya.

Setelah mengenakan kimono satunya, Yuni segera membuka pintu dan membungkuk hormat kepada Sancaka sambil berkata, “Silahkan kembali ke kamar tuan … semoga pelayanan saya memuaskan tuan”.

“Terima kasih”, balas Sancaka dan iapun berlalu melewati gadis itu.

“Tuan Frantzheof de Van Pierre mengundang anda untuk makan malam di Villanya … jam tujuh malam nanti … Pakaian yang akan tuan pakai telah saya letakkan diatas tempat tidur tuan dikamar”, kata gadis itu masih tetap membungkuk.

“Ya … Terima kasih”, balas Sancaka lagi dan meneruskan langkahnya menuju kamarnya. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan.

Yang tidak diketahui Sancaka adalah ada beberapa pasang mata yang sejak awal telah mengawasi segala perbuatan mereka berdua tadi, beberapa pasang mata yang mengintip dari lobang-lobang kecil yang terdapat diantara gambar-gambar mata di dinding ruang mandi itu.

****

Sancaka duduk dengan tenang dimeja makan itu, sebuah meja oval memanjang, dia hadir lebih cepat dari undangan Tuan Frantzheof de Van Pierre, dia tampak gagah mengenakan pakaian ala eropa yang disediakan untuknya, untung semasa dijawa dulu dia pernah belajar dari temannya yang memang keturunan belanda mengenai tata berpakaian ala eropa itu sewaktu akan mengikuti acara pesta yang diadakan temannya itu.
Ukuran pakaian sampai ke ukuran sepatunya begitu pas seakan memang dibuat untuk dirinya.

Tak lama kemudian seorang londo yang gagah dan tampan masuk juga keruang makan itu, agaknya itulah Tuan Frantzheof de Van Pierre, pemilik perkebunan tempat ia akan bekerja pikir Sancaka, tangan Tuan Frantzheof de Van Pierre menggandeng seorang gadis yang mengenakan gaun putih, sewarna dengan kulitnya yang putih mulus.

Sancaka berdiri dari kursinya, Tuan Frantzheof de Van Pierre langsung tersenyum sumringah, dia semakin menyukai pemuda yang tahu tata krama itu.

“Selamat datang Sanca … duduklah … jangan malu-malu”, katanya mempersilahkan dengan tangannya, “Perkenalkan ini Tantri … pendampingku malam ini yang cantik jelita”, lanjutnya lagi sambil tertawa-tawa.

Sancaka pun terbawa keakraban yang ditunjukkan oleh tuan londo itu, diapun dapat menjawab beberapa pertanyaan perkenalan dari si londo dengan rileks, hanya pertanyaan-pertanyaan ringan seputaran siapa Sancaka.

“Ah .. sebaiknya kita segera makan malam”, akhirnya Tuan Frantzheof de Van Pierre mengakhiri pertanyaan-pertanyaannya kepada Sancaka, tangannya mengambil dan menggoyang-goyangkan lonceng kecil yang terletak diatas meja didepannya.

Tak lama kemudian masuk lima orang gadis dengan gaun yang berbeda-beda warna, masing-masing mendorong meja sorong yang berisi macam-macam hidangan. Semuanya cantik jelita, Sancaka menahan nafasnya sejenak, ia melihat Yuni diantara gadis itu, gadis itu melirik ke arah Sancaka dan tersenyum manis.
Kelima gadis itu pun dengan sigap langsung menata hidangan di meja.

“Sanca … tentu telah mengenal Yuyun Yuniarti … bunga dari Paris Van Java yang butuh perjuangan keras untuk dapat memboyongnya kemari … bagaimana pelayanannya? Aku yakin gadisku yang satu ini tidak mengecewakan”, kata tuan londo itu tertawa.

Sancaka hanya tersenyum kecut, apalagi ketika dilihatnya semua gadis itu tersenyum-senyum geli, hanya Tantri seorang yang tidak tersenyum malah memandang tajam kearahnya.
Sancaka balas memandang, ia tercenung sejenak, ia merasa pernah melihat gadis itu, entah kapan entah dimana, akan tetapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya, ia tidak ingin dianggap tidak sopan karena memandang dan mengamat-amati nyonya rumah.

Setelah selesai, kelima gadis itu mengundurkan diri, dengan didahului oleh Tuan Frantzheof de Van Pierre merekapun selanjutnya makan-minum dengan diselingi obrolan-obrolan ringan, sesekali mata Sancaka bertemu dengan lirikan tajam Tantri, tapi pemuda itu berusaha untuk tetap bersikap biasa.

Selesai makan, dan setelah kelima gadis tadi selesai membereskan meja makan, Tantri segera bangkit dan melangkah kearah meja kecil disudut ruang makan itu, diatas meja itu terdapat berbagi botol berisi cairan dengan warna menyolok, diantaranya merah, kuning agak kecoklatan, putih bening.

Diambilnya dua gelas yang bertiang dan bentuknya seperti kerucut terbalik, dengan tangan kanan, tangan kirinya meraih botol tinggi yang berisi cairan berwarna merah, gelas dan botol itu terbuat dari kristal mewah dan cairan merah itu pasti sejenis anggur merah pikir pemuda itu.

Tantri melangkah kembali ke meja makan mendekati Tuan Frantzheof de Van Pierre, diletakkannya salah satu gelas itu didepan si londo, dituangkannya cairan merah itu sampai setengah gelas.
Kemudian ia melangkah karah Sancaka, kembali diletakkannya gelas kedua didepan pemuda itu, dituangkannya cairan merah itu sampai setengah gelas.
Sambil menuang matanya tak berkedip menatap Sancaka, Sancaka dapat meraskan hal itu, akan tetapi dia menundukkan mukanya pura-pura memperhatikan gelas itu.

“Silahkan dicicipi Sanca … ini anggur merah pilihan dari Perancis … usianya mungkin seumur denganmu” kata Tuan Frantzheof de Van Pierre sambil mengangkat gelasnya dengan bangga.

Kembali mereka terlibat obrolan ringan sambil menikmati anggur merah itu.

“Ah cukup rasanya … sudah saatnya kau istirahat Sanca … besok kita melihat-lihat perkebunan yang akan kau kelola”, kata Tuan Frantzheof de Van Pierre sambil berdiri, “Silahkan beristirahat anak muda”, lanjutnya, dia melihat bahwa muka Sancaka sudah mulai merah, dia tidak ingin membuat mabuk pemuda itu.
Tantri pun ikut berdiri dan menggandeng ke tuan londo itu. Ia menganggukan sedikit kepalanya dengan mata yang masih juga memandang tajam kearah Sancaka.

Sancaka pun bangkit berdiri, “Baiklan tuan …. kalau begitu saya permisi dulu”, kata pemuda itu membungkuk hormat, selanjutnya iapun melangkah keluar dari ruang makan itu, kembali ke villa yang kini ditinggalinya.

****

Sancaka berdiri tercenung didepan pintu kamarnya, ada keresahan yang terpancar diwajahnya, sepanjang perjalan pulang banyak sekali pertanyaan yang berkembang dikepalanya.
Mengapa Yuni selalu dapat membaca pikirannya?
Mengapa ia merasa dirinya mengenal Tantri?
Mengapa Tantri selalu memandang tajam kearahnya?
Dan banyak lagi pertanyaan mengapa lainnya.

Ah masa bodoh pikirnya … pengaruh alkohol dalam anggur yang diminumnya tadi mulai terasa.

Didorongnya pintu kamarnya, dan dia langsung tercekat.

Diatas tempat tidurnya Yuni sudah tergolek telanjang dan tampaknya sudah tertidur pulas.
Didekatinya gadis itu. Diamatinya seluruh tubuh telanjang gadis itu. Yuni membuka matanya, diulurkannya tangannya membelai pipi pemuda itu, “Kenapa lama pulangnya … Yuni sudah capek dari tadi menunggu kepulangan tuan”, katanya sambil tersenyum manis.

Sancaka pun segera menjatuhkan dirinya kedalam pelukan gadis itu, pertempuran nafsu babak kedua malam itu segera dimulai. Sampai akhirnya keduanya tertidur berpelukan dalam keadaan telanjang.
 
Terakhir diubah:
Tolong cantumin copas boss pada judul utama story nya, biar si boss kaga kena semprot para master2 dsni.

Ane paling ngefans sama vampire cantik seksi namanya Tantri dlm story ini.

Lanjutin copas nya boss..
yup saya juga penggemar om petra... ke mana ya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd