Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

When The Sun Goes Down (NO SARA)

Bimabet
EPISODE 8: HERE AFTER…

=====


=====

Hari ini, Unwanted kembali tampil di kota Bandung untuk kesekian kalinya. Setelah penampilan kami di kampus Tiara, hanya langit yang menjadi pembatas dari perkembangan kami sebagai band. Dengan penampilan kami yang begitu gemilang, dapat dikatakan bahwa Unwanted kini telah merajai ranah musik hardcore di Bandung Raya dan sekitarnya.

Pernyataanku mungkin terlalu berlebihan, tapi aku dapat membuktikannya dengan banyaknya tawaran dan padatnya jadwal Unwanted di bulan ini. Hari ini kami tampil di Bandung, dan setelahnya kami akan mengisi tiga acara di Bandung, Purwakarta dan Garut. Dua kota tersebut merupakan kota yang belum pernah kami singgahi, dan jelas bila kami mendapatkan respons positif di kota itu, kedua kota itu akan menjadi opsi untuk bersinggah di tur Jawa Barat yang sedang kami rencanakan.

Tentu saja Tiara selalu menemaniku kemanapun Unwanted akan tampil. Bahkan di luar relasi kami sebagai musisi dan fotografer, tak ada satupun hal yang dapat merenggangkan hubungan kami. Kedekatan kami berdua terus melaju ke arah yang lebih jelas dan tidak ada yang bisa membuat arah dari hubunganku dengannya berbalik arah.

Apa yang kami lakukan malam itu juga menjadi fondasi dari intimasi kami. Ciuman dan pelukan sudah menjadi hal yang diwajarkan dan kini Tiara bisa lebih terbuka denganku. Sayangnya, semenjak kisah menginap di kosku, tidak pernah ada lagi momen yang membawa kami kearah tersebut.

=====

Untuk pertama kalinya, Unwanted ditempatkan sebagai band headline di dalam line-up sebuah acara.. Acara ini juga memiliki segmentasinya sendiri karena acara ini merupakan wadah aspirasi bagi para pecinta musik dalam genre Punk dan Hardcore.

“Kelas, euy Unwanted mah. Loncatnya jauh semenjak main di kampus lu.” Ledek Sam ke Tiara yang sedang menenggak bir.

“Ah, itu juga paling gara-gara Fadil ama aku sekarang, Sam.” Balas gurau Tiara.

“Dih, si pede tuh. Emang kita udah jadian?” Balasku.

“Lah, kalian belom jadian, emang?” Tanya Sam heran.

“Ah, cape aku jelasin ke orang-orang lagi, Dil!”

Malam ini, Sam dan beberapa anggota Last Friday Night menyempatkan diri untuk menyaksikan penampilan kami. Selagi kami menyiapkan diri, aku juga mulai menginduksi ajakan-ajakan kecil kepada Sam untuk ikut serta dalam rangkaian tur kami.

Aku begitu menyukai konsep dari hubungan band kami. Meski tak semuanya menetap disini, Unwanted dan Last Friday Night merupakan band yang berisikan anak-anak Jakarta yang menempa karir dan pendidikan di kota Bandung. Semenjak acara di fakultas Tiara, kedekatan kami baik sebagai musisi ke musisi atau sebagai kawan seperantauan semakin erat seolah kami membuat pergerakan sendiri.

Tentu saja, Raynel juga ikut meski aku tak tahu apakah kedatangannya dimotivasi oleh keberadaan Tiara malam ini atau tidak. Namun keberadaannya pun juga membuatku bingung. Dia datang, tak banyak mengobrol dengan orang-orang yang berada disini, tak menengguk setetes alkohol pun, dan secara keseluruhan tidak menikmati acara ini sama sekali. Namun ketika aku berjarak dari Tiara juga tak sekalipun aku melihat Raynel berupaya untuk mendekatinya.

Ketika aku meninggalkan Sam dengan Tiara pun aku tak melihatnya pergi untuk ikut berbincang. Aku tidak melarang keberadaannya di dekatku atau Tiara, tapi bila terus seperti ini juga dia membuatku bingung dan tak nyaman. Apa yang sebenarnya dia mau?

“Gimana, Dil? Sam mau ikut?” Tanya Seno yang sedang mengecek FOH.

“Kalo dari omongannya, si keknya ada ketertarikan, yak.” Jawabku setelah menenggak bir yang kubawa.

Kini aku dan Seno bertempat di sisi panggung menyaksikan penampilan band-band sebelum kami. Pandangan Seno tak lepas dari pengurus sound system dan tim dokumentasi serta media partner yang bertempat mengelilingi panggung. Melihat dari pandangannya, aku tahu dia memiliki suatu rencana.

“Jujur gua udah mulai mikirin kehidupan setelah nge-band, dah Dil.” Ucapnya tiba-tiba.

“Kenapa gitu?” Tanyaku bingung.

“Gak tau, sih.” Jawabnya menghela nafas panjang. “Ngeliat Morris yang hidupnya lancar-lancar aja, lu kerja di media, Umair nge-band sana-sini, gua gak yakin bisa nafkahin bini ama anak gua nanti cuma dari Unwanted.”

“Lah, bisa aja kali dari buka jasa mixing-an.” Balasku memberinya saran. “Atau bikin production house sekalian.”

“Susah. Sekarang semua orang udah bisa belajar produksian otodidak, dan apa iya nama gua di dunia produksi musik bisa ngangkat dari nama gua di Unwanted doang.”

Padahal, dengan pamor kami yang sedang menyongsong bintang-bintang harusnya bisa membuat kami tenang. Akupun juga merasa seperti itu. Bila kami mampu menjaga momentum yang kian menaik, di akhir tahun depan nanti mungkin Unwanted dapat menduduki posisi sebagai raja musik Hardcore di tanah air.

Selain itu juga, tak mungkin aku bisa mengandalkan pemasukanku dari pekerjaan yang kulakukan saja. Mungkin nanti ketika kembali bekerja di Jakarta aku mampu, tapi tidak untuk sekarang. Bila aku melanjutkan pekerjaanku di media mungkin perlu waktu bertahun-tahun untuk bisa memiliki kehidupan yang layak, dan dengan tingginya biaya hidup di Jakarta nanti mungkin aku tak akan bisa bersenang-senang.

Aku memang paham bahwa untuk menyambung hidup lewat musik bukanlah pilihan yang ideal, apalagi di ranah musik yang kami tempa. Tapi, apa salahnya bila kita dapat hidup berkat melakukan hal-hal yang kita suka?

“Eh, Dil,” panggil Seno. “Menurut lu, oke nggak kalo kita bikin sesuatu kayak Hate5six?”

Hate5six merupakan salah satu arsip digital yang menampung peliputan konser musik yang umumnya beraliran hardcore/punk dibawah pengelolaan Sunny Singh. Bagi para pecinta musik hardcore punk, nama ini sudah tidak asing dan dapat menjadi salah satu band yang diabadikan olehnya pasti akan menjadi momen yang sangat prestisius.

Aku juga begitu mengidolakan Hate5six. Bagiku, bagaimana Sunny Singh mengelolanya merupakan bentuk kolektivitas terbaik dari sebuah gerakan yang bertujuan mengabadikan acara-acara musik hardcore. Bahkan, Sunny Singh menyatakan bahwa pendanaan dari projek ini berasal dari uangnya sendiri.

Hal inilah yang menjadi alasan tambahan bagiku untuk mengidolakannya dan bahkan berusaha melakukan hal yang sama meski saat ini aku masih bekerja dibawah kendali media. Dedikasi yang ia berikan kepada komunitasnya dan dampak yang ia berikan kepada pergerakan musik keras bawah tanah telah mengabadikan sosoknya sebagai seseorang yang melegenda di ranah musik keras.

“Hate5six ‘kan kagak dibayar, anjing.” Balasku asal. “Lu mau ngasih makan anak ama bini lu video orang moshing?”

“Gak gitu juga, ngentot!” Jawabnya kesal. “Ya intinya kita bikin sesuatu yang mirip, tapi kita juga minta biaya honor dulu aja untuk sementara waktu.”

“Terus, lu mau ngajak gua?” Tanyaku.

“Masa iya gua bakal nyia-nyiain skill lu sama Tiara yang udah deket sama gua?” Jelasnya.

“Kenapa lu kayak semangat banget buat bikin ini?” Tanyaku lagi.

“Kalo gua berpaku dengan bikin studio house, mungkin iya gua bakal dapet cuan.” Jelasnya.

“Tapi lu bayangin gini: untuk jadi orang yang ternama di komunitas, bakal kecil kemungkinannya untuk bisa dikenal dari produksian doang. Mungkin nama gua bisa dikenal dari kalangan musisinya dan penikmat, tapi untuk penikmat perlu digarisbawahin karena pada akhirnya nggak semua orang bakal peka kalo itu masterpiece berkat produksian gua. Tapi kalo kita bikin kayak Hate5six, lu bisa bayangin seberapa besar jejaring yang kita punya dan banyaknya orang yang jadiin projek kita sebagai kiblat buat nyari tau musisi baru.”

Sama sepertiku, Seno juga begitu menyukai apa yang dilakukan oleh Sunny Singh di Hate5six. Akan tetapi, aku melihat ambisinya yang mungkin tak kupikirkan.

Seno telah memikirkan ini lebih jauh dariku. Ketika aku hanya berpaku dalam spektrum hobi atau passion, Seno berhasil menciptakan gagasan dengan kaliber yang berada jauh dari level pemikiranku.

Bagi Seno, memiliki sebuah projek harus memiliki dampak yang besar. Aku yakin, bila Seno memutuskan untuk membangun studio rekaman dengan kualitas yang bahkan bisa semakin meningkat, keuntungan yang akan mengisi dompetnya dapat membeli seluruh kebutuhannya di jenjang kehidupan berikutnya. Akan tetapi, ia melihat dampak yang jauh lebih besar dari sekedar hasil berbentuk uang dan karya yang bukan mengatasnamakan dia sebagai penulis.

Bagaimanapun juga, baginya semua ini bukanlah hanya sekedar menciptakan uang dan mencari pencaharian lain di luar Unwanted. Untuk bisa memberikan dedikasi tinggi kepada sebuah komunitas meski mungkin tak begitu menguntungkan secara finansial yang besar memerlukan dedikasi dan motivasi yang tinggi, tapi juga memberikan dampak besar kepada komunitas itu sendiri.

“Bayangin, Dil,” mulainya lagi. “Dengan lu sama Tiara di produksi visual dan gua yang ngurusin audio, seberapa bagus hasil yang bisa kita bikin nanti?”

“Gas.” Terimaku. “Tapi kita mau mulai kapan?”

“Bisa dari pas tur kita nanti, sih.” Tawarnya. “Cuma kalo kita lagi main, kita perlu ada orang buat gantiin lu karena gak mungkin Tiara ngurusin visual sendirian.”

“Gampang ‘lah itu mah.” Jawabku. “Yang penting Tiaranya mau dulu aja, sih. Kan dia juga udah punya pasarnya sendiri.”

Malam ini akan menjadi momen yang menanamkan harapan kami untuk bisa memberi dampak yang besar kepada komunitas ini. Setelah ini, akan ada ikatan yang jauh lebih kuat dari hanya sekedar sahabat dan rekan satu band. Dua insan yang bertemu di dalam komunitas ini akan membangun sebuah peninggalan yang akan menjadi saksi sejarah dedikasi sepasang sahabat.

Tak lama setelah itu, panitia memanggil kami untuk segera bersiap. Kami langsung bergegas mengambil gear kami dan berkumpul di sisi panggung menunggu giliran kami.

=====

Seperti biasanya sebelum kami memulai penampilan, Umair memberikan introduksi ketukan yang menggelegar dan Morris langsung mengomando seluruh penonton untuk menggila. Hanya bermodalkan ketukan drum keras dan nada-nada berat yang aku dan Seno mainkan, kegilaan telah menguasai seisi mosh-pit.

Belum lagu pertama dimainkan, tubuh-tubuh berlemparan, ayunan tangan dan kaki beterbangan mengenai siapapun yang berada di arah ayunan, orang-orang berjatuhan tak memikirkan rasa sakit yang melanda di sekujur tubuhnya. Inilah hidup yang kukejar dan kudambakan sejak pertama kali jatuh cinta dengan musik keras yang kini mengisi sebagian besar hidupku.

Lagu pertama dimainkan, dan penonton semakin menggila. Begitu banyak orang yang berlarian menaiki panggung untuk melakukan stage-dive, dan beberapa orang bahkan sudah ada yang ditarik oleh tim medis setelah terlena dengan tensi tinggi yang kami berikan.

Pandanganku tak pernah jauh dari penonton, bahkan Tiara yang sedang mengabadikan momen tepat di depan kami tak kugubris. Wajar saja, bukan hanya mereka yang terlena dengan momen magis ini. Tak jarang aku ingin menaruh gitarku dan melompat kearah mereka yang sedang menyiksa diri dan satu sama lain.

Akan tetapi, selalu saja ada satu benalu yang mencemarkan keindahan dari momen ini.

Ketika kami memainkan lagu yang relatif pelan, aku melihat seorang hidung belang yang berniat mengganggu malam indah seorang perempuan yang sedang menikmati euforia ini. Aku tak melihatnya begitu jelas, tapi ketika perempuan ini sedang melakukan crowdsurf, tangannya berlari kearah payudaranya dan meski aku tak melihat dengan jelas apakah ia menggenggamnya atau hanya sekedar tak sengaja menyentuh, perempuan itu berteriak kencang dan tangan itu tak berpindah dalam waktu cepat.

Melihat itu, pikiranku mengilas balik seluruh pembicaraanku dengan Tiara. Tiara sebagai korban dari kekerasan seksual tidak mungkin membiarkan hal ini terjadi ke orang lain, dan sebagai seorang lelaki, tak mungkin aku membiarkan hal itu berlalu di acara yang diisi oleh Unwanted dan bahkan di seluruh lingkup dimana aku sebagai seorang pria berada.

Andrenalinku yang berada di puncak himalaya pun tak membuatku bisa berpikir jernih. Gitar baruku langsung kulempar ke lantai dan aku melompat kearah mosh-pit untuk memburu penjahat kelamin yang masih berada di tengah kerumunan. Jelas Morris, Seno, serta Umair begitu kaget melihatku menuruni panggung dan aku mendengar Morris meneriaki namaku selagi aku berlari kearahnya sebelum Unwanted menghentikan performance-nya sejenak.

Ketika aku melihat orang itu di pandangan mataku, aku tak berpikir panjang dan langsung melayangkan tendangan kearahnya. Selagi ia terjatuh, ayunan pukulanku tak berhenti mengarah kepadanya. Morris dan Seno bahkan ikut berlari mengejarku untuk memisahkanku dari bajingan ini.

Seluruh orang yang berada di ruangan jelas kebingungan. Mengapa seorang performer rela menghentikan penampilannya dan berkelahi dengan orang asing yang bahkan tak kukenal?

“Dil, lu ngapain, anjing?!” Teriak Morris selagi menjauhkanku darinya.

Setelah Morris dan Seno menarikku dari perkelahian tersebut, aku sama sekali tidak memberikan penjelasan kepadanya sebelum aku kembali berlari ke panggung dan mengambil mikrofon yang dilempar Morris juga.

“WOY, ANJING! DENGERIN APA YANG BAKAL GUA BILANG!” Teriakku kepada seluruh orang yang berada di dalam ruangan.

“SATU-SATUNYA KEKERASAN YANG DITERIMA DALAM MOSH PIT ADALAH KEKERASAN FISIK YANG KONSENSUAL! NGAPAIN LU BUANG-BUANG WAKTU SAMA DUIT LU KESINI CUMA BUAT NGE-GREPE CEWEK, BANGSAT?!”

Seluruh perhatian kini menuju kearahku. Bahkan selagi aku berkelahi, seluruh kamera mengarah kepadaku dan setelah mendengar penjelasanku, audiens bereaksi begitu gila karena mengetahui ada kejadian kekerasan seksual di acara ini.

Bahkan, hal ini begitu mengejutkan juga karena kekerasan ini ditemukan di akhir acara. Dengan begitu, bagaimana bila pada penampilan sebelumnya terdapat kejadian yang sama namun tak ada keluhan dari korban?

“OOOOH! ADA BOCIL SANGEAN ‘TOH MALEM INI?!” Teriak Seno yang kini ikut mengambil mikrofon.

“NGGAK DIKASIH JATAH AMA PACAR AMPE HARUS NGEGANGGU MALEM ORANG GITU, LU!” Sahut Morris yang ikut meramaikan kasus ini.

“WE ARE FUCKING UNWANTED! AND WE WON’T CONDONE ANY SEXUAL VIOLENCE EVER!” Lanjut Seno.

Selagi kami membangun keributan ini, audiens pun menunjukkan berbagai reaksi yang berbeda. Ada yang terlihat masih kebingungan dengan apa yang terjadi, ada yang mulai mencari siapa yang melakukannya, dan para wanita yang mengisi acara ini langsung menyingkirkan diri dari area karena ketakutan akan apa yang mungkin terjadi juga kepadanya.

Bagaimana dengan orang itu? Tentu saja tidak mungkin pergi begitu saja. Selagi pihak keamanan berusaha untuk membawa dia pergi, pukulan dan tendangan dari orang disekitarnya melayang membabi buta. Bagi orang yang berjuang melawan kekerasan seksual, bajingan seperti itu tak akan dibiarkan menghilang dengan keadaan sehat dan aman.

Pandanganku sempat kutuju kearah Tiara. Ia tidak mengabadikan momen ini, namun pandangannya menuju kearah kami dengan senyumannya. Melihat dari pandangannya, terlihat bahwa ia merasa bangga akan aksi yang kami lakukan tadi.

“ITU ORANG KALO MAU LU ABISIN, ABISIN AJA, GUYS!” Teriakku lagi. “KICK SEXUAL ASSAULT OUT OF EVERY CONCERT!”

Tidak ada yang menyangka bahwa keributan akan semenggelegar ini. Aku juga menyadari bahwa dengan menghentikan penampilan, aku juga mengganggu kenikmatan penonton yang menantikan penampilan kami. Akan tetapi, ada hal yang jauh lebih besar dari sekedar acara hardcore moshing-moshing.

Perlu waktu lama bagi pihak penyelenggara untuk menghentikan kekacauan ini. Namun acara dapat kembali dimulai. Sayangnya, euforia yang tadi kurasakan kini memudar. Sebagian besar penonton —terutama wanita— mengambil jarak karena ketakutan akan kejadian yang mungkin kembali terulang.

Meskipun begitu, mereka tetap memuja kami yang berhasil memukul kekerasan tersebut jauh-jauh. Bahkan ketika kami menyelesaikan penampilan kami, kami mendapat standing ovation dari seluruh orang yang berada di ruangan.

“WE’RE THE FUCKING UNWANTED! HARDCORE FOR EVERYONE!” Teriak Seno yang mengundang standing ovation dari penonton.

Aku langsung mengambil seluruh gear-ku dan beranjak pergi dari panggung. Jujur saja, pikiranku berkecamuk karena emosi yang masih membara dan rasa sakit di tubuhku setelah perkelahian tadi. Selagi kami bergegas pergi dari sini, aku langsung menaruh alat-alatku dan kembali mengejar orang itu selagi Morris dan Seno mencari korban dari kekerasan tadi untuk menenangkannya.

Sayangnya, Tiara langsung menahanku ketika aku baru mau mengambil langkah untuk berlari. Ia langsung menarikku untuk duduk bersamanya dan memberikanku bir yang belum kuhabiskan tadi.

“Udah, Dil.” Ingatnya. “Kamu udah berhasil ngeluarin dia, kok.”

Kenikmatan di malam itu pun akhirnya terganggu. Aku tak bisa terlena dengan kepuasan yang kucari di malam ini meski aku merasa begitu puas karena aksi kami tadi. Rencana kami untuk menghabiskan malam bersama-sama pun terganggu dan kami memutuskan untuk mengakhiri kebersamaan kami untuk menghabiskan malam ini.

=====

Mengingat ini sudah memasuki tengah malam, tak mungkin Tiara kembali ke rumahnya. Tiara pun ikut denganku untuk bersinggah di kediamanku.

Aku tak banyak berbincang dengannya setelah memasuki kamar. Aku langsung menaruh barang-barangku dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ketika aku bercermin, aku melihat terdapat beberapa luka yang mencoreng wajahku meski lukanya tak begitu parah. Namun ketika wajahku telah bersih, luka itu semakin terlihat.

Tak banyak menghabiskan waktu di kamar mandi, aku beranjak keluar dan merebahkan diriku di karpet. Tiara juga sudah mempersiapkan diri, terlihat dari pakaian bersih, handuk, serta alat mandi yang ia tata sembari menungguku mandi.

“Anjir, cape juga, ya?” Ucapku menghela nafas panjang.

Tiara tak menjawab ucapanku, namun ia tersenyum kecil mendengar apa yang baru saja kukatakan.

Berhubung aku sudah selesai, kini giliran Tiara untuk membasuh diri. Ia membuka jilbab dan jaket yang dikenakan dan membawa barang-barang yang ia siapkan sebelumnya ke kamar mandi.

Tak memakan waktu lama baginya untuk membersihkan diri, dan kini ia tampil berbeda dengan kaus lengan panjang yang menutupi celana pendeknya hingga bahkan membuatnya terlihat seperti tidak mengenakan celana lagi dibawahnya. Melihatnya seperti ini, jelas pusakaku terbangun dari tidurnya dibalik celanaku. Namun aku juga kebingungan harus apa karena takut aksiku nanti tak selaras dengan apa yang baru saja kulakukan di acara tadi.

Akan tetapi, aku yang belum bisa mengupas seluruh lapisan hati Tiara kembali dikejutkan oleh aksinya.

Setelah bersih, Tiara tak mengucapkan satupun kata kepadaku. Namun, ia menarikku ke kasur dan setelah kami berbaring, ia langsung menyosor bibirku yang membuatku begitu terkejut.

Kami mulai berciuman liar. Aku tak tahu apa yang membuatnya seperti ini, tetapi aku juga tak mungkin menyia-nyiakan momen ini. Tanganku kuarahkan ke pinggangnya dan selagi kami berciuman, Tiara menarik tubuhku lagi dan membuatku menindih tubuhnya yang membuat kelamin kami bertemu.

Kakinya juga menjepit tubuhku sehingga badanku semakin menekannya yang berada di bawahku. Jemarinya berdansa di wajahku selagi kedua tanganku bertempat di kepala dan pinggangnya. Kelamin kami bergesekan dibalik celana tipis yang menghalangi, dan terkadang aku menyelipkan sedikit tempaan disana.

Sebagai orang yang pertama kali merasakan ini, aku mabuk kepayang. Gairah yang kurasakan telah membakar seluruh organ di dalam tubuhku. Akupun semakin menggebu-gebu menghujam lubang Tiara yang masih terlindungi, dan Tiara juga tidak malu untuk menunjukkan bahwa ia merasakan kenikmatan tersebut juga.

“Aaah…” desahnya pelan.

Namun pergumulan ini tak berjalan begitu lama karena Tiara langsung menahan tubuhku dan melepas ciumannya.

“Hhhh… Hhhh… Jangan keterusan, sayang… Aku gak kuat…” ucapnya terengah-engah.

“Hhhh… Lagian kamu…” jawabku ikut terengah-engah dan kini aku ikut berbaring disampingnya.

“Hhhh… Tiba-tiba banget… Hhhh… Hhhh… Kenapa, coba?…”

“Gak papa… Seneng aja…” jawabnya lirih.

“Seneng kenapa, coba?”

“Seneng soalnya aku pacaran sama orang bener.”

“Aneh.” Ledekku.

“Ih, kok malah dibilang aneh?!” Balasnya meninggikan suaranya.

“Ya masa kamu sampe sange gitu ngeliat aku mukulin penjahat kelamin?!” Jawabku kebingungan.

“HAHAHAHAHA! NGGAK GITU DONG, SAYANG!” Tawanya sembari menggenggam pipiku manja.

“Maksud aku, aku ngerasa lega kalo kamu juga mau ngejaga aku sama ngebela cewek-cewek lain yang kena kekerasan ini. Aku juga makin bisa percaya sama kamu.” Jelasnya. “Terus, jujur juga hari ini kamu keliatan hot banget pas di panggung tadi.”

“Hahahahahaha.” Tawa kecilku.

“Kenapa gitu, ketawa?” Tanyanya.

“Kamu tipikal cewek-cewek ‘rahim aku anget mas’ kalo ngeliat cowok di panggung, ya?” Ledekku.

“Ih, amit-amit.” Jawabnya ketus. “Mau coba, emang?”

“Ya pengen, lah! Masa nolak, hahahaha.”

“Yaudah, kok diem aja?” Jawabnya yang membuka isi pikiranku ke angkasa.

Belum aku menjawab, Tiara mengambil tanganku di pinggangnya membuatku terdiam kaku tak tahu harus merespons apa. Bagaimana mungkin aku bisa merespons omongannya? Tadi ketika aku menghujamnya dibalik celana saja aku sudah mabuk kepayang, dan sekarang dia memintaku untuk merasakan kehangatannya tak mungkin bisa kutolak. Tapi kenapa aku malah merasa hal ini terlalu indah untuk bisa terjadi?

Tanganku diarahkan ke perutnya yang halus. Perlahan pun tanganku diarahkan ke atas celana pendeknya yang ketat. Namun sebelum tanganku hinggap di kotak harta karun, Tiara menatapku dan menghentikan pergerakan tanganku sejenak.

“Dari luar celana, ya?” Bisiknya lembut tepat disamping telingaku.

Tak menjawab, aku kembali melumat bibirnya perlahan. Kami kembali berciuman selagi tangannya mengarahkanku menuju ke kotak pandoranya. Jemariku kini hinggap di selangkangannya, dan lagi-lagi aku dibuat mabuk kepayang.

Meski dari luar celana, aku bisa merasakan kehangatannya. Aku tak melakukan apa-apa selagi bibir kami saling mengadu. Kali ini, aku benar-benar pasif dan apapun yang kulakukan aku harus menunggu pergerakan darinya.

Tiara mulai mengarahkan jariku untuk bermain dari luar celana. Ia juga memintaku untuk menekankan jariku hingga kini jari tengahku tepat berada diatas bibir kemaluannya. Perlahan, ia menggerakkan jariku dengan lembut keatas dan kebawah. Dari ujung jariku, aku bisa merasakan hangatnya kemaluan Tiara yang dibalut dengan tekstur yang sedikit basah.

“Ahhhh….” Lenguh manjanya.

Perlahan aku mulai paham dengan alur yang dia inginkan. Jemariku terus bermain dan terkadang aku mengerakkannya seperti apa yang kulihat di film-film porno. Pergerakanku membuatnya menggeliat tak kuat menahan nikmat, dan Tiara melepas lumatannya menyandarkan kepalanya di bahuku.

“Ahhh… Sayang…”

Tanganku yang melingkari lehernya sama sekali tidak ditahan olehnya. Melihat kini akses sudah terbuka lebar, tanganku yang satunya kuarahkan ke payudaranya yang menonjol dibalik kaus longgar. Kedua tanganku melakukan segala aksi yang membuatnya semakin tidak karuan.

Tiara terus mendesah pelan. Matanya selalu terpejam ketika dirinya dihempaskan ke dalam lautan penuh nikmat. Aku terus memainkan alat vitalnya, namun tiba-tiba Tiara menghentikan membuatku panik.

“Kenapa sayang?” Tanyaku panik. “Aku kejauhan, ya?”

“Nggak… Malah aku keenakan…” jawabnya terengah-engah.

“Terus kenapa?” Tanyaku lagi memastikan.

“Mau naik level, nggak?”

Apa lagi maksud darinya? Hingga saat ini begitu banyak kaliber senjata dibawah lengannya yang tidak kuketahui dan tak tahu kapan senjata itu akan keluar.

Tiara langsung mengambil ponselnya, dan ia langsung membuka folder tersembunyi yang ditaruh berlapis-lapis hingga tak ada lagi kamuflase yang terjabar di dalam foldernya. Di folder terakhir bahkan terdapat kata sandi sehingga tak ada siapapun —kecuali yang memiliki akses— untuk bisa membuka foldernya.

“Kamu mau buka apa?”

“Aku boleh confess dulu, nggak tapi?” Tanyanya.

“Kamu nyimpen video bekasan kamu sama Raynel, ya?” Balasku asal.

“Ih, nggak! Amit-amit.” Jawabnya.

“Sebenernya ‘tuh kadang aku suka bikin photoshoot aku sendiri, tapi yang agak seksi-seksi gitu.”

“Tujuannya buat apa?” Tanyaku lagi heran.

“Nggak papa, buat kepuasan diri aku aja.”

“Terus maksud kamu mau naik level gimana?”

“Kamu pilih aku pake outfit yang kaya gimana, terus nanti kita lanjutin.” Jawabnya dengan senyuman yang menggoda di wajahnya.

Aku tak tahu harus mengatakan apa, tetapi Tiara langsung memberikanku hapenya untukku melihat foto-foto yang ia simpan. Tentu saja, kedua kepalaku semakin pusing kalang-kadut melihat suguhan yang ia berikan.

Meski tidak ada yang benar-benar terbuka, permainan pose dan sudut kameranya membuat Tiara semakin menggoda. Seperti contohnya di foto ia mengenakan daster berenda ini. Kedua kakinya terlipat dan tangannya yang berada di tali daster yang sedikit ia turunkan membuatku panas dingin. Namun, aku tak tahu apakah dia membawa daster di dalam tasnya sehingga tak begitu diuntungkan untuk bisa memilih setelan ini.

“Kamu nggak takut foto-foto kayak gini kesebar?” Tanyaku selagi melihat-lihat isi katalognya.

“Takut, sih. Tapi selagi hape aku masih ada di tangan aku, foto-foto ini gak akan kesebar. Kalo hape aku ilang juga kan dari laptop bisa aku apus-apusin semua.” Jelasnya.

“Terus kamu nggak takut kalo aku minta-minta kayak begini lagi?” Tanyaku lagi.

“Aku percaya sama kamu, dan tiap hari kamu selalu bisa bikin aku makin percaya kalo kamu orang yang tepat. Ini bagian dari aku juga, jadi aku juga mau kalo kamu bisa nikmatin ini sama aku, Dil.” Jawabnya membuatku luluh.

Aku kembali memilih pakaian yang akan ia kenakan. Semakin aku mencari, semakin keras senjataku dibalik celana. Aku juga mulai merasa sesak di bawah ketika celanaku tak mampu menampung isinya yang sudah berdiri tegak hingga Tiara pun juga mulai menyadari gelagatku.

“Ada yang udah keras banget, ya dibawah?” Ledeknya.

“Tanggung jawab, dong.” Balas candaku.

“Udah, pilih dulu aja. Entar makin lama loh.” Jawabnya lagi membuat nafsuku semakin menggebu-gebu.

Aku terus mencari setelan yang sekiranya dapat ia gunakan, dan akhirnya aku berhasil mendapatkan jackpot.

Di foto ini, Tiara hanya mengenakan kemeja longgar terkancing setengah. Belahan dadanya terlihat dan pose yang ia lakukan semakin menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah. Rambutnya dikuncir setengah dan wajahnya dirias dengan kacamata yang membuatnya terlihat semakin sensual.

“Kalo yang ini boleh?” Tanyaku memastikan.

“Kok kamu nanya dulu? Bebas, kok.” Jawabnya.

“Kalo bebas ‘mah aku minta bugil.” Candaku meskipun aku juga ingin mengetes ombak.

“Buru-buru banget.” Tolaknya. “Nanti juga bakal ada waktunya, kok.”

Setelah itu, Tiara kembali mengambil hapenya dan ia mendorongku untuk diam terlentang.

“Tutup mata kamu.” Pintanya lirih di samping telingaku.

Aku langsung memejamkan mata, dan aku membiarkan Tiara untuk melancarkan operasinya. Selagi aku memejamkan mata, aku bisa merasakan terik dari lampu menghilang dari atas kepalaku. Lantunan laju juga kudengar mulai diputar.

Tiara tak hanya mengganti pakaiannya. Ia mengatur suasana yang dapat lebih membangun ketika kami bersenggama.

“Surprise…” ucapnya pelan menandakan bahwa suguhannya telah tiba.

Tanpa ba-bi-bu, aku langsung membuka mata. Jelas saja, aku terdiam kaku melihat apa yang Tiara persembahkan kepadaku.

Aku begitu takjub melihatnya yang nyaris telanjang sedang berdiri dengan pose menggoda di depanku. Ia terdiam menatapku dengan senyuman manisnya selagi mataku mengobservasi setiap inci dari tubuhnya yang dikemas dengan setelan yang begitu menggoda.

Ia mengambil kemeja hitamku dari dalam lemari, dan kancingnya hanya terpasang beberapa dan aku dapat melihat dadanya yang mulus meski belahan payudaranya masih ia lindungi dengan tangannya. Ikatan rambutnya semakin membuatku mabuk tak kepayang, dan kerah yang ia sampingkan membuatku bisa melihat tali bra-nya yang tertancap di bahunya.

Tentu saja Tiara mengenakan kemeja yang jauh lebih besar dari ukurannya. Akan tetapi, perbedaan ukuran baju tak mampu menghalanginya untuk menunjukkan keseksiannya di depanku. Celana dalamnya juga terlihat mengintip dibalik kemeja panjang yang ia kenakan. Ini merupakan paket lengkap bagiku yang sudah tidak tahan ingin segera menjamah tubuhnya.

“Kamu suka, nggak?” Tanyanya menggodaku.

“Suka banget.”

Tiara berjalan kearahku pelan, dan ia langsung menduduki selangkanganku. kelamin kami bertemu, dan kini kelaminku bisa merasakan betapa hangat dan basahnya selangkangan Tiara. Tiara menaruh kedua tangannya di ujung kausku. Perlahan, Tiara mengangkat kausku hingga terlepas dan kini kami berdua sudah setengah bugil.

Tiara juga memainkan jemarinya tepat di ulu hatiku. Ia mengelus-elus dadaku lembut membuatku terbang ke awan-awan di angkasa.

“Kamu ganteng banget.” Ucapnya perlahan.

Aku benar-benar pasif ketika Tiara selalu menggodaku di atas pangkuan ini. Perlahan, Tiara mulai menundukkan kepalanya. Aku mengira bahwa ia ingin kembali menciumku. Namun ketika aku menaikkan kepalaku, arah tujuannya berbelok dan kini arahnya tertuju ke leherku yang terbuka lebar.

Ia mulai memainkan mulutnya disana. Lidahnya terus menjulur di batang leherku. Seluruh titik yang ada ia sapu membuat leherku basah dengan liurnya. Jemarinya berjalan menyusuri dada ke perutku, dan ketika tepat berada di ujung celana, Tiara menghentikan seluruh aksinya dan mendekatkan wajahnya ke telingaku.

“Boleh, nggak?” Tanyanya yang kini sudah memegang ujung celanaku.

“Kan emang punya kamu…” jawabku lirih.

Tiara kembali tersenyum manis, dan dari luar celana ia mulai menggenggam batang kelaminku. Ketika genggamannya hinggap disana, aku melihat Tiara begitu terkejut sebelum mulai memainkan kelaminku.

“Kenapa?” Tanyaku selagi Tiara memegang kontolku.

“Gede…” jawabnya pelan.

“Gedean punya aku atau yang sebelumnya?” Tanyaku lagi.

“Jujur… Punya ‘dia’ lebih gendut, tapi kalo punya kamu panjang banget…” balasnya.

“Kurus banget, kah?”

“Nggak, sih. Tapi berisi juga meski nggak segendut punya ‘dia’.”

Setelah itu, Tiara mulai memainkan alat vitalku dari luar celana. Perlahan, wajahnya mulai mendekati wajahku. Bibir kami kembali bertemu dan Tiara mengatur tempo dengan lumatan pelannya selagi ibu jarinya sibuk mengusap-usap ujung kepala kontolku.

Tanganku juga ikut bermain. Aku kembali meremas-remas payudara sekalnya yang membuat Tiara merintih pelan selagi kami berciuman. Ingin sekali aku menarik kemeja ini hingga terlepas semua kancingnya, namun dengan Tiara yang masih terlena dengan tempo yang ia atur, aku takut malah merusak kenikmatan ini, atau bahkan merusak hubungan kami.

Akan tetapi, bahan bajuku yang agak jelek membuat kancing-kancingnya dapat terbuka dengan mudah. Remasan yang membuatku menarik kemejanya pun juga membuat beberapa kancing terlepas. Ketika melihat pintu gerbang terbuka, pelan-pelan aku memasukkan jemariku ke balik kemeja itu.

Sayangnya, Tiara menyadari aksiku dan menghentikan pergerakanku.

“Hei… Mau ngapain?…” ucapnya melepas ciumannya.

“Maaf…”

“Izin dulu dong…” balasnya yang disusul dengan menarik tanganku ke dalam kemejanya.

Tanganku telah mendarat di pegunungan dibalik awan gelap. Aku bisa merasakan gumpalan yang empuk ini. Remasan-remasan terus kuberikan di kedua payudaranya dan direspon begitu baik olehnya yang terlihat dari bagaimana ia memainkan batangku di bawah.

Lidah kami terus beradu. Bibir kami tak pernah lepas selagi kami berusaha saling memuaskan satu sama lain. Keringat mulai membasahi tubuh kami dan sama sekali tak ada pertanda bila malam ini akan berakhir dengan cepat.

Perlahan, aku mulai merasa sakit karena batangku yang tertekan di balik celana. Entah apa yang membuatku melakukannya, aku menarik tangan Tiara yang sedang memainkan mainan barunya menuju ke dalam celanaku. Awalnya Tiara bingung, namun perlahan tapi pasti jemarinya memasuki celana dalamku.

“Kok kamu masukin?…” tanyanya lirih.

“Mau coba… Sakit soalnya kalo dari luar…”

Tiara tak menjawab atau menunjukkan penolakan. Kini ibu jarinya mengusap-usap kepala bawahku sebelum menggenggam dan mengocok batangnya. Ia mengocok kontolku lembut dan perlahan. Perasaan ini benar-benar membakar hawa nafsuku yang sudah berada di puncak dunia.

“Dil…” ucapnya selagi mengocok kontolku. “Aku boleh liat punya kamu, nggak?…”

“Kalo aku boleh liat punya kamu juga…” jawabku memohon.

Tiara yang sudah dibuai dengan nafsu pun tak menolak permintaanku. Akan tetapi, supaya aku bisa merasakan ini secara bertahap ketimbang menghabiskan semuanya malam ini, aku menahan tangannya yang sedang membuka kancing kemeja yang ia kenakan.

“Kenapa, Dil?…” tanyanya heran.

“Request lagi, dong…” pintaku.

“Ihh, banyak tuntutan nih.” Jawabnya meledek. “Mau request apa, sayang?”

“Tetep pake kemeja kamu. Jadi aku gak langsung ngeliat kamu bugil.”

Tiara tersenyum manis yang disusul dengan mengecup keningku. Ia kembali memintaku untuk menutup mata, dan selagi aku memejamkan mata, ia mengarahkan kedua tanganku untuk membuka kaitan bra-nya dari balik kemeja. Kemejaku yang longgar juga membuat Tiara lebih mudah menurunkan talinya dan setelah kedua talinya terlepas, Tiara mengarahkan tanganku lagi untuk menarik bra yang sudah terlepas tadi.

Tiara tak memintaku untuk membuka mata. Namun, perlahan ia kembali mengarahkan tanganku untuk bermain dengan payudaranya yang sudah tak bertameng. Gundukan daging itu terasa begitu lembut di genggamanku. Kulitnya yang halus terjaga membuatku semakin bernafsu, dan putingnya yang mengeras membuatku begitu gemas seolah memintaku untuk terus bermain dengannya.

Tak hanya aku yang menikmati ini. Tiara terus-terusan mendesah di samping telingaku. Tubuhnya menggeliat tak kuat menerima kenikmatan ini. Bahkan sepertinya ia lupa bahwa ia yang awalnya meminta untuk melihat batang kemaluanku.

“Ahhh… Dill…” desahnya manja.

Perlahan, aku membuka mataku dan aku langsung disuguhkan dengan raut wajahnya yang penuh dengan nafsu. Kancing kemeja yang ia kenakan sudah terlepas seluruhnya, dan kini bahkan kemejanya hanya sekenanya menutup auratnya.

Pandanganku pun langsung kutujukan ke payudaranya yang kini terbuka sepenuhnya. Kedua gundukan yang kini milikku benar-benar indah. Tidak begitu besar, namun tidak begitu kecil, sesuai dengan seleraku. Kulitnya begitu halus tanpa bercak. Tetapi, putingnya akan selalu menjadi bagian favoritku. Putingnya berdiri kencang dengan warna agak kecoklatan. Areolanya juga tidak begitu besar dan kekenyalannya membuatku tak ingin berhenti bermain disana.

“Gila…” ucapku kagum.

“Hhhh… Kenapa, sayang?…” jawabnya terengah-engah.

“Aku suka banget sama tetek kamu…” balasku terkesima dengan pemandangan ini.

Tiara pun mulai mengikuti tempo yang kini berada di aturanku. Ia mulai memasukkan tangannya ke celanaku, dan perlahan ia menarik celanaku hingga batang perkasaku kini bebas dari belenggu.

“Bener kan kata aku… Panjang banget…” pujinya.

Tiara tak membiarkan kesempatan ini pergi. Ia langsung mengocok pelan kontolku. Selagi ia memainkan kontolku, aku memindahkan posisi tanganku dan tak ada lagi tanganku yang menganggur. Kedua tanganku memainkan kedua alat vitalnya meski belum ada kesepakatan verbal untukku bisa bermain dengan lubang senggamanya setelah Tiara mengganti bajunya.

Tiara pun begitu terkejut merasakan jemariku kini menggesek bibir kemaluannya. Akan tetapi, Tiara tidak menunjukkan adanya penolakan. Malah, Tiara terlihat begitu menikmatinya. Raut wajahnya yang begitu mengundang nafsu membuatku makin semangat untuk memuaskannya.

Tiara mulai kehilangan fokusnya dalam mengocok kontolku. Tubuhnya terus menggeliat selagi kedua tanganku memainkan puting dan bibir kemaluannya. Melihat Tiara yang sedang menggelinjang hebat, aku yang begitu nafsu ingin memuaskannya mulai terkena masukan jahat untuk memasukkan jariku ke celana dalamnya.

Akan tetapi, Tiara langsung menyadari aksiku dan tangannya yang sebelumnya mengocok kontolku langsung menarik tanganku.

“Sayang…” ucapnya lirih. “Yang itu nggak buat malem ini, yaa…”

Meski sedikit kecewa, aku kembali melanjutkan aksiku. Akan tetapi, tempo kunaikkan drastis dan aku menekan celana dalamnya mengikuti lekuk-lekuk kemaluannya yang tercetak. Tiara pun kembali menggeliat tak karuan. Tangannya yang tadinya mengocok kontolku kini memeluk kepalaku selagi kepalanya terbenam di bahuku.

Aku terus memainkan kedua alat vitalnya, dan Tiara yang terbuai dengan kenikmatan berlebihan ini semakin kencang membenamkan kepalanya di bahuku. Tangannya kini menarik rambutku dan rintihan nikmatnya terdengar semakin kencang.

“Sayang… Kalo begini aku bisa keluar duluan…” ucapnya tak karuan.

Terus aku membuat Tiara puas, tiba-tiba tubuhnya terdiam begitu lemas. Jariku bisa merasakan bibir kemaluannya yang kian membasah. Tiara pun juga kudengar melenguh panjang sebelum menarik nafas yang dalam.

“Kamu keluar?…” tanyaku memastikan.

“Hhhh… Hhhh… Iya, sayang…” jawabnya terengah-engah. “Udah lama banget aku nggak ngerasain beginian…”

“Kok nggak sampe muncrat gitu?…” tanyaku bingung.

“Nggak semua orgasme cewek itu kayak squirting, sayang…” jawabnya.

Tiara yang sudah kelelahan kini memeluk tubuhku. Kemaluanku yang berdiri tegak pun dia anggurkan dan kini kontolku terhimpit dengan perut kami.

Meski terasa sakit karena dibuat tanggung, aku mengikuti apa yang Tiara inginkan. Kini kami berpelukan dengan hanya kemeja yang sudah nyaris terbuka menutupi tubuhnya yang indah. Kedua payudaranya bersandar di dadaku. Rasanya begitu nikmat, akan tetapi tak begitu membuatku ingin melanjutkan pergumulan dan rasa ini membuatku ingin semakin erat memeluknya.

“Bener-bener pengalaman pertama yang indah.” Ucapku begitu puas.

“Oh iya?…” tanyanya. “Emang… Sebelumnya kamu nggak pernah kayak gini?…”

“Nggak, lah.” Balasku. “Pacaran aja nggak pernah, apalagi begini.”

“Oh…” jawabnya lagi. “Makasih, ya Dil udah mau ngerasain ini pertama kali sama aku…”

“Justru aku yang makasih, dong Ti.”

Kami kembali terdiam. Tubuh kami terikat begitu kuat dengan pelukan yang kami berikan. Hanya lampu LED, musik, dan kipas angin yang menyelimuti kami saat ini.

Aku begitu menikmati ini. Selama aku berhubungan dengannya, tak kusangka bahwa aku akan merasakan indahnya pergumulan dengannya secepat ini. Aku bahkan sempat berpikir bahwa mungkin berciuman dan saling menyentuh alat vital dari luar pakaian akan menjadi titik terjauh kami.

Tentu saja, aku juga tak sepenuhnya merasakan kebahagiaan. Di sisi lain, aku merasa bahwa sosokku berdiri sebagai kontradiksi berjalan dengan apa yang kubela dan bagaimana aku berusaha untuk menjaga Tiara agar tidak kembali terjatuh ke dalam lubang trauma yang begitu membekas di hatinya. Kembali ke ceritanya, aku tidak tahu apakah aku lebih baik dari Raynel, atau mungkin bisa saja bahwa aku sama saja sepertinya.

Namun, aku juga tidak munafik. Perasaan ini selalu membuatku tersenyum puas. Kulihat Tiara, dan aku rasa dia juga merasakan hal yang sama. Senyuman manisnya tak pernah memudar. Jemarinya terus memainkan rambutku.

“Dil,” ucap Tiara memecahkan keheningan. “Kita udah sejauh ini.”

“Iya.” Jawabku singkat. “Aku juga nggak nyangka kalo bakal secepet ini.”

“Tapi, kamu kecewa nggak kalo sekarang kita udah begini?” Tanyanya lagi.

“Bingung juga ‘sih harus jawab apa.” Balasku.

“Aku ngerasa dilema gitu. Aku selalu mikir kalo harusnya aku ngejaga kamu setelah apa yang kamu laluin sama mantan kamu. Tapi sekarang kita udah nyaris bugil lagi cuddle gini.

Tapi, aku juga ngerasa seneng. Kamu udah jadi cewek impian aku sejak pertama kali kita ketemu. Bahkan kamu jadi orang pertama yang bisa sepenuhnya masuk ke hati aku. Buat bisa ngerasain ini pertama kali sama kamu, jujur aku seneng banget.”

Tiara hanya membalas dengan senyuman. Tak lama kemudian, ia mengangkat kepalanya dan kami berciuman lembut meski tak begitu lama. Akan tetapi, selagi kami berciuman, Tiara perlahan melepas kemejanya dan Tiara langsung menarik selimut untuk menutupi tubuh kami yang kini sudah di garis terakhir.

Aku melepas ciumanku, dan lagi-lagi aku dibuat takjub dan pemandangan yang kusaksikan saat ini. Tiara terlihat seperti bidadari yang dilumuri oleh keringat penuh nikmat. Sebagian besar tubuhnya terlindungi oleh selimut yang menjaga tubuh kami dari dinginnya semburan udara kipas.

“Kamu liat ‘kan? Kita udah kayak begini sekarang.” Ucapnya manis.

“Ini bukan tentang aku ngelakuin apa, tapi tentang ngelakuin ini ama siapa. Aku gak mungkin berani begini kalo bukan karena aku masih nggak percaya.”

“Aku percaya sama kamu, Dil.” Akhirnya menutup curahan hatinya.

“Kamu udah ngambil resiko segede ini, kekecewaan kamu bakal semakin gede kalo ternyata kita malah akhirnya buruk.” Curhatku lagi.

“Kalo gitu, jangan ngecewain aku, ya? Kita seriusin hubungan kita, ya?” Pintanya kepadaku.

Setelah ucapan terakhirnya, kami kembali berciuman. Sensasi yang kurasakan tak akan bisa disandangkan dengan apapun yang pernah kurasakan sebelumnya. Tubuh kami yang dilumuri keringat bergesekan dan payudaranya yang kini terbuka lebar selalu menempel dan menggesek dadaku tiap kami berganti posisi.

Sebagai pengakhir malam, kami mengakhiri kegiatan nikmat kami. Aku selalu memeluknya selagi kami berbincang tentang segala hal yang terlintas di dalam pikiran kami. Tanganku tak pernah lepas dari rambutnya yang selalu kuusap selagi kami tertawa dalam obrolan.

Perlahan, Tiara mulai tertidur. Tatapan manisnya sebelum memejamkan mata akan selalu terbingkai di dalam benak otakku. Aku benar-benar mendapatkan jackpot ketika aku berhasil memiliki Tiara, dan aku akan selalu mengerahkan seluruh jiwaku untuk bisa memiliki Tiara sepenuhnya.

(To be Continued)
 
Update yang sungguh keren...
Mohon maaf lahir bathin buat suhu @Kocidkedua dan juga buat para suhu lainnya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd