Part 9: Affair
Satu bulan lebih berlalu semenjak pensi sekolah, hubunganku dan Clara masih baik-baik saja bahkan cenderung semakin lengket. Ya walaupun ngambek dan cemburunya Clara masih sering mendominasi hubungan kami tapi kuanggap itu sebagai pemanis.
Selama itu pula Clara masih harus dibuat jengkel atas kelakuan adik kelas kami yg bernama Siska, mengingat semenjak perkenalannya denganku di pensi lalu Siska benar-benar menjadi fans garis kerasku.
Tak jarang hampir setiap hari selalu ada hadiah diatas mejaku yg merupakan pemberian darinya, entah itu coklat, bekal makan siang, pick gitar, komik dan lain semacamnya yg tentunya semua benda itu sukses berakhir di tempat sampah karena dibuang oleh Clara. Tapi yg menarik adalah, keesokan harinya Clara membawakan barang yg sama seperti Siska berikan dihari sebelumnya hanya untuk diberikan kepadaku serta memaksaku untuk memakannya atau menggunakannya seolah menunjukan bahwa apa yg Siska beri kepadaku dapat juga diberi oleh Clara yg tak mau kalah.
Ilustrasi Clara
Sampai hari ini, diatas mejaku terdapat satu tiket konser band terkenal. Clara yg seperti sudah kehilangan kesabaran dan mungkin merasa kalah karena tidak mungkin membelikan tiket yg sudah sold out itu ingin menghampiri Siska, yg tentu dicegah oleh Helen Regas dan Angga. Ya aku cukup beruntung punya mereka bertiga dalam hubungan kami.
“Ra, udah sih ngapain lo tanggepin bocah kaya gitu.” ujar Helen mencoba menenangkan Clara.
“Kebiasaan len, lama kelamaan didiemin ngelunjak tau ga tuh anak!” sungutnya penuh emosi.
Aku yg saat itu hafal sifat Clara memilih diam dan menyerahkan pendinginan suasana ini kepada Helen.
“Selama ini cowo lo juga kan ga pernah ngeladenin.” lanjut Helen.
“Iya karena ketahuan, coba kalo ga ketahuan!” sahutnya sambil melotot kepadaku.
“Kan selama ini ketahuan semua ra.” ujarku.
“Oh jadi ngarepnya ga ketahuan?” jawab Clara yg kalo sudah diposisi seperti ini aku pasrah menerima serangan cubitan dari Clara dan ditertawai oleh Regas Angga dan Helen.
Minimal Clara tak jadi melabrak anak kelas dua yg merupakan musuh bebuyutannya sekarang.
Siangnya ketidakberuntungan sepertinya harus menghantui Clara, tepat saat jam istirahat pertama dimana aku sedang mengajarinya Matematika di perpustakaan terdengar keributan di depan meja Bu Ida salah satu guru Fisika kami yg saat itu sedang dikerumuni oleh anak-anak kelas dua dan bisa tebak ada Siska didalamnya.
“Bu ayo dong kasih kami jam tambahan, ibu kan wali kelas kami, emang ga malu anak didiknya di nilai IPA jelek semua.” rengek salah satu dari mereka.
“Kita juga kan g mau kalah bu dari anak IPA 1.” ucap Siska saat itu yg berada paling depan memohon kepada Ibu Ida.
Melihat aku dan Clara yg sedang menengok kearah Ibu Ida, beliau memanggilku dan Clara. Aku dan Clara saling bertatapan heran dan bangkit mendekati Ibu Ida.
“Panji, Ibu perhatikan kamu setiap hari mengajari Clara di perpustakaan?” ujar Ibu Ida membuka obrolan.
“Iya bu.” jawabku singkat karena penasaran dengan maksud Ibu Ida.
“Kebetulan, Ibu perhatikan tiga bulan belakangan ini semenjak kamu ajari nilai Clara juga meningkat cukup signifikan, iya kan Clara?” tanya Ibu Ida kepada Clara yg dijawabnya dengan anggukan kepala namun ragu.
Aku yakin Clara mengangguk ragu bukan atas menolak jawaban nilai ia naik namun karena ia sepertinya bisa menebak kemana arah pembicaraan Ibu Ida.
“Nah kalo gitu, Panji bisa kan bantu Ibu ngajar adik kelas kalian.” tembak Ibu Ida yg sudah selesai dengan basa basinya yg tentu aku tidak punya pilihan lain selain menyanggupinya. Aku menoleh kearah Clara yg sepertinya pasrah karena ia pun tidak mungkin menolak permintaan Ibu Ida setelah dulu membantunya masuk kelas 3 IPA 1.
“Kapan ya bu?” tanyaku mencoba mengulur jawaban kesanggupan ku.
“Pulang sekolah aja kak!” pinta Siska semangat.
Aku yakin Clara tidak akan terima dengan jadwal pulang sekolah mengingat ia harus bimbel sehingga akan menjadi kesempatan Siska untuk bebas bersamaku.
“Kelas tiga kan ada pelajaran tambahan sampe jam 4, kalian jam 3 udah pulang. Ga mungkin kan kalian nunggu satu jam.” jawabku kepada mereka namun maksudnya mencoba untuk meyakinkan Clara bahwa akupun menolak usulan Siska.
“Ya sudah seperti sekarang saja yg sudah pasti Panji ada waktu, hanya saja karena banyak pesertanya tidak mungkin di perpustakaan. Kamu bisa gunakan Ruang Auditorium nji, nanti Ibu yg urus ijinnya.” usul Ibu Ida yg tentu saja membuat Clara tidak puas karena mengganggu waktu privat belajarnya bersama ku.
“Tapi bu, saya boleh minta sesuatu?” ujarku kepada Ibu Ida.
“Apa itu nji?”
“Saya melakukan ini hanya sampai Ujian Semester 1 ini ya bu, karena Semester depan kan saya sendiri dan Clara harus fokus dengan Ujian Nasional dan SPMB.” jelasku sebagai upaya menolak secara halus kepada Ibu Ida untuk menjadikan kegiatan ini rutin. Mengingat Ujian Semester hanya tinggal dua minggu lagi jadi kupikir anggap saja membantu Clara balas budi kepada Ibu Ida. Aku menoleh kearah Clara, dan ia sepertinya tersenyum puas akan alasanku kepada Ibu Ida. Ya ini cukup win-win solution bagi aku dan Clara yang sudah terlanjur terjebak dalam permintaan Ibu Ida dan anak-anak kelas dua kampret yg bawel ini.
Setelah mendapat persetujuan dari Ibu Ida yg juga mendukung alasanku kami pamit kembali ke kelas dan Clara tentu saja langsung menggandengku seolah mendeklarasikan kepada anak-anak kelas dua itu khususnya Siska bahwa aku miliknya seutuhnya.
“Kamu tumben mikirin aku bo, makasih ya.” ucapnya saat kami berjalan kembali ke kelas.
“Tumben? Ya udah aku bilang Ibu Ida ngajarnya lanjut aja sampe semester dua.” protesku sambil berjalan balik kearah perpustakaan.
“Iya iya becanda sayang.” sahutnya manja sambil menarik tanganku untuk kembali berputar.
“Cium dong.” jawabku sambil melirik penuh harap yg hanya dijawab dengan sosoran jarinya yg membentuk bebek dan menempelkannya ke pipiku.
“Nih cium nih puas kan.” ujarnya saraya tertawa.
“Nanti aja di mobil.” lanjutnya berbisik centil.
“Cium basah yah.” lanjutku.
“Mesum!” bisiknya lagi sambil mencubit perutku.
Kamipun kembali ke kelas.
Hari itu Clara memintaku untuk menemaninya sampai tempat Bimbel, alasannya tadi jam istirahat pertama telah diganggu oleh monster-monster centil kelas dua, aku hanya bisa tertawa mendengar protesnya.
“Oh iya ra, kamu tumben ga uring-uringan masalah aku ngajarin anak kelas dua?” tanyaku membuka obrolan kami didalam mobil.
“Anggap aja ini perang terbuka antara aku ama monster centil itu, mau tau sampe mana dia.” jawab Clara dengan muka serius yg membuatku mengumpat mampus punya rencana apa anak ini.
Sesampainya di parkiran tempat bimbel, aku memarkiran mobil ini agak pojok dibawah pohon besar yg membuat tempat ini agak jauh dari keramaian.
Aku dan Clara asik bercumbu di bangku belakang mobilnya menunggu jam mulai bimbelnya yg masih sekitar 15 menit lagi.
Kami saling memagut bibir dan melumat bibir lawan masing-masing. Setelah tiga bulan lamanya berpacaran hubungan kami baru sejauh ini, french kiss basah yg dianggap Clara sudah mesum.
Sesekali aku merengkuh tubuhnya menempelkannya ketubuhku dan mendekapnya. Mengelus perlahan lengan lembutnya yg masih tertutup seragam namun cukup membuat Clara menggelinjang kegelian.
Tangannya dilingkarkan dileherku dan menahan kepalaku untuk tidak melepaskan ciuman kami.
Tingkah Clara yg seperti itu cukup membuatku pusing karena menahan tanggung gejolak dopamin dalam kepalaku.
Clara melepaskan ciumanya dari bibirku dan tersenyum sambil menatapku tajam.
“Bo.” ujarnya manja.
“Apa?” jawabku sambil mendekatkan kembali bibirku untuk memagut bibirnya namun dicegah jari telunjuknya.
“Sabtu ini pacarannya dirumah aku yah.” ucapnya yg membuatku cukup heran.
“Kamu mau ngenalin aku ke Papa Mama kamu?” tanyaku yg dijawab Clara hanya dengan menggelengkan kepala.
“Papa Mama aku minggu ini ke Manado jenguk opa ku.” jawabnya sambil mengedipkan matanya.
“Kamu tumben ga disuruh ikut?” tanyaku.
“Kan sebentar lagi ujian, lagian jenguk rutin aja bukan karena sakit.” jelas Clara.
“Centil kamu! Emang g ada pembantu kamu?” selidiku yg ia jawab dengan menjentikan jari kelingkingnya mengisyaratkan seolah semunya aman. Kami kembali berciuman sekali lagi sebelum Clara mulai bimbel ditutup dengan ritual cium jari ke bibir seperti biasa dan kamipun berpisah.
Aku saat itu langsung menuju Rumah Angga dengan menggunakan ojek.
Sudah sebulan ini aku sengaja semakin memundurkan jadwal pulangku kerumah menjadi malam karena menghindari bertemu Vina dan hal ini tidak ketahui oleh Clara karena ia pasti akan cerewet mempertanyakan mengapa aku harus pulang malam setiap hari dan takan berhenti sampai mendapatkan jawaban yg memuaskan dariku.
“Lo mau sampe kapan nyet maen petak umpet kaya gini ama Vina? Udah sih lo punya hak buat minta Vina menjauh dari lo.” ucap Angga memulai obrolan saat aku dan dia bermain ps di rumahnya.
“Tapi gue ga punya hak buat minta dia ngejauhin nyokap gue nyet.” sahutku kepada Angga.
“Gigih juga tuh anak ya. Udah lo apain sih emang?” selidik Angga yg cukup membuatku salah tingkah.
“Udah gue hamilin! Puas lo!” jawabku asal untuk menutupi salah tingkahku.
“Tapi gue ingetin aja nih ya, ini bisa jadi bom waktu buat lo. Lo kan tau Clara orangnya ga bisa ditebak. Gimana kalo dia dateng kerumah lo pas Vina ada disana? Perang Dunia ketiga dah tuh!” jelas Angga yg membuat rasa khawatirku meningkat, ucapan Angga ada benarnya tapi mengatakannya tanpa memberi solusi adalah kekampretan seorang Angga, untuk urusan kaya gini aku lebih berharap sama Regas.
Akhirnya aku pamit pulang dari rumah Angga seperti biasa sekitar jam 7 malam, begitu sampai rumah aku yg turun dari ojek datang bersamaan dengan mobil ayahku dan segera ku bukakan pagar untuknya.
Aku cukup terkejut ternyata yg turun ayah dan ibuku.
“Pada abis darimana?” selidiku kepada mereka karena setahu ku hari ini ibu tidak ada rencana keluar rumah.
“Kamu tuh makin hari pulang makin malem aja sih nji. Masuk dulu nanti aja cerita didalem.” jawab Ibuku yg malah berceramah.
“Darimana sih pah?” lanjutku bertanya kepada ayahku mengabaikan jawaban ibuku.
“Abis jenguk kawan kau itu sakit.”
“Siapa?”
“Vina.” jawab ayahku santai yg langsung kujawab dengan nada ketus.
“Ko bisa?”
“Makannya masuk dulu Panji Darmawan, lanjut didalem aja.” ujar ibuku yg sepertinya sedikit marah karena ia memanggilku dengan nama lengkap yg tentu kalo sudah seperti ini aku tidak bisa lagi protes.
Aku duduk di meja makan seolah sebagai terdakwa yg menanti disidang oleh ibuku.
“Sudah dua hari ini Vina sakit.” jelas ibuku yg langsung kupotong.
“Sakit apa?”
“Badannya pucat, tensi darahnya turun, dan ga mau makan.”
“Itu mah penyakit dibuat sendiri, ya iyalah pucat tensi turun kalo ga makan.” jawabku ketus seraya bangkit bermaksud meninggalkan meja makan karena sudah tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini.
“Coba kamu jenguk nji, udah tiga minggu ini kamu bener-bener menjauh dari Vina. Mama kasian sama dia sampai sakit gitu. Bicarakan baik-baik kalo ada masalah.” ucap ibuku lirih dengan nada yg sangat lembut.
“Mama cuma ngebayangin gimana kalo itu terjadi sama anak mama.” lanjut ibuku yg membuatku menghentikan langkah ku.
Ya aku punya kakak perempuan namun kuliah di Semarang, itulah kenapa ia belum pernah sempat aku ceritakan disini.
“Belum di rawat di Rumah Sakit kan? Kalo udah di rawat di Rumah Sakit pasti Panji jenguk.” jawabku seraya berlalu ke kamar meninggalkan ibuku di meja makan.
Dikamar aku membantingkan diriku keatas kasur dan merenungi ucapan ibuku. Aku paham perasaannya tapi bagiku apa yang dilakukan Vina sangatlah drama, dan aku tidak mau lagi terjebak dalam permainannya.
Keesokan harinya di jam istirahat pertama sesuai perjanjianku dengan Ibu Ida, aku Clara dan para monster kelas dua yg kurang lebih berjumlah 12 orang berkumpul di ruang auditorium untuk memulai bimbingan belajar denganku.
“Ko cewe semua sih!” sungut Clara emosi sambil berbisik kearah kupingku.
“Cuma dua minggu sabar, aku ngelakuin ini demi kamu loh. Biar nama kamu g jelek di mata Ibu Ida.” balasku berbisik.
“Kak! Nanya dong.” tiba-tiba Siska memotong obrolan ku dengan Clara.
“Kak Clara bukannya peserta juga? Ngapain berdiri didepan disamping Kak Panji?” lanjutnya seakan memulai genderang perang dengan Clara.
“Ini anak sumpah nyebelin banget.” sahut Clara dengan nada berbisik kepadaku yg langsung ku gandeng dirinya ke arah bangku yg bersebrangan dengan Siska untuk membuat jarak aman.
“Udah kamu duduk disini, kamu yg dewasa jangan kepancing ama anak kecil.” ujarku menasihati Clara yg hanya dijawab dengan cemberut dan melirik tajam kearah Siska. Aku hanya bisa menghela nafas melihat tingkah dua anak ini.
Selama bimbingan, Siska menjadi anak yg paling aktif bertanya memintaku menjelaskan secara langsung di kursinya yang tentu terlihat sekali mencari perhatianku untuk memanasi-manasi Clara.
Jika sudah seperti itu Clara selalu memotong dengan menyelesaikan latihan soalnya dan memintaku mengkoreksinya, aku yg paham maksudnya langsung menghampiri Clara dan meminta teman Siska yg duduk disampingnya untuk menjelaskan kepada Siska.
“Satu hari aja kaya di neraka tau ga bo!” keluh Clara saat aku sedang memeriksa hasil kerjaannya.
“Sejak kapan di neraka ada bidadari secantik kamu.” sahutku menggombalinya untuk membuat Clara menurunkan tensi emosinya yg tentunya saja langsung membuatnya salah tingkah dan memukulku dengan pulpennya.
“Kak Panji! Mentornya kan Kak Panji, kenapa aku malah diajarin ama temenku sih! Kalo udah ajarin aku lagi dong jangan malah ngurusin mba satu ini mulu.” ujar Siska yang tiba-tiba datang menghampiri aku dan Clara yg tentu tingkah kampretnya mengagalkan upayaku menurunkan tensi emosi Clara.
“Heh! Anak centil, masih untung cowo gue mau nurutin permintaan manja kelas lo! Ga usah nyolot!” sungut Clara sambil bangkit dari kursinya tersulut emosi yg langsung kutarik badannya kebelakangku agar tak langsung berhadapan dengan Siska.
“Sis cukup, kamu mending duduk lagi nanti kakak kesana.” ujarku untuk menghindari adu mulut kedua cewe ini.
“Siap kakaku yg ganteng.” sahut Siska centil sambil menyetuh daguku yg tentu membuat Clara berontak namun sempat aku tarik.
“Centil! Gatel! Ga tau malu!” lanjut Clara meneriaki Siska penuh emosi yg hanya dijawab Siska dengan menjulurkan lidahnya.
Clara yg sudah tidak tahan segera merapihkan bukunya dan pergi meninggalkan ruang auditorium tanpa sempat aku cegah. Sekali lagi aku hanya bisa menghela nafas, mungkin sementara Clara lebih baik tidak ikut bimbingan bersama anak kelas dua. Aku akan mencari waktu pengganti yg pas nanti.
Aku pun kembali melanjutkan sisa waktu bimbingan ini yang hanya tinggal beberapa menit lagi dan saat selesai aku memanggil Siska untuk membicarakan hal yang tadi.
“Sis gini yah, Kakak tidak punya kewajiban untuk mengajarkan kalian kecuali hanya untuk menghargai Ibu Ida. Jadi kalo kamu berulah macem-macem lagi kaya tadi, kakak ga janji kegiatan ini lanjut lagi.” ancamku kepada Siska yg hanya dijawab dengan hormat.
“Siap bos!” Siska pun berlalu dari hadapanku, jika diperhatikan anak itu sebenernya cantik tapi kelakuan centilnya bikin aku hanya menggelengkan kepala.
Ilustrasi Siska
Begitu sekembalinya ke kelas aku berjalan ke meja Clara dimana ia sedang menempelkan kepalanya diatas meja sambil mencoret-coret kertas dihadapannya terlihat seperti anak kecil yang sedang uring-uringan. Aku meminta Helen bertukar posisi duduk dengannya untuk saat itu saja.
“Kalo masih ngambek aku sekarang juga nemuin Ibu Ida nih minta kegiatan ini dibatalin.” ujarku memulai obrolan dengan Clara.
“Iya batalin! Itu yg aku mau bo!! Tapi ga bisa. Aku ga enak ama Ibu Ida, kamu ngerti kan.” jawabnya lemas.
“Kalo gitu jadwal kamu ga usah bareng deh.” usulku kepadanya.
“Keenakan dia!” sungut Clara ketus.
“Ya kamu tetep ikut, aku bakal bilang ke Ibu Ida kamu bantuin aku tapi jadwal belajar sama kamunya kita pindah.” lanjutku menjelaskan kepada Clara.
“Beneran? Boleh? Setuju!!” jawabnya mendadak semangat yg ku respon dengan mengusap rambutnya.
Hari kedua membimbing meski kami menjalankan rencana untuk menjadikan Clara sebagai mentor membantuku namun berakhir hampir sama seperti kemarin, Clara harus menyerah atas sikap menyebalkan Siska apalagi ketika beberapa kali Siska mengetes Clara dengan soal-soal yg memang cukup sulit dan mungkin ia juga sudah lupa mengingat banyak perbedaan sub pelajaran serta nilainya waktu kelas dua dulu tidak begitu memuaskan.
Aku menutup kelas bimbingan ini sendiri lagi karena Clara sudah kabur sejak 10 menit lalu akibat sudah tidak tahan dengan kelakuan Siska.
Dihari ketiga bahkan Clara sudah tidak lagi mau menemaniku, ia sudah pasrah dan akan membalas kelakuan Siska dikesempatan lain ujarnya.
Aku sempat meyakinkan Clara untuk tetap menemaniku dengan menakut-nakuti kalo Siska akan lebih bebas jika tanpa kehadirannya tapi Clara sudah benar-benar tidak tahan dan menolak.
“Aku percaya kamu bo.” jawabnya dengan muka pasrah.
Saat di kelas mengetahui Clara tidak menemaniku, Siska benar-benar memanfaatkan situasi kemenangan ini. Bahkan ia memaksaku memberikan nomor telponku dengan alasan apabila sedang mengerjakan PR atau tugas di rumah yg sulit bisa langsung meminta tolong diriku. Mengingat semakin lama kutolak kelakuan memohonnya semakin membuatku risih akhirnya aku memberikan nomor handphone ku kepada Siska.
Ini salah kamu ra, jangan protes ama aku kalo Siska akan semakin sering menghubungiku gumamku dalam hati.
Hari itu ketika aku selesai membimbing anak-anak kelas dua didepan ruang auditorium aku berpapasan dengan Indra dan pikiranku langsung teringat dengan Vina.
“Ndra, apa kabar lo? udah lama ga ketemu.” sapaku basa basi kepadanya yg ia jawab dengan senyuman dan mengatakan baik-baik saja.
“Vina gimana kabaranya? Udah sembuh kan?” tanyaku langsung untuk memastikan bahwa kemarin sakitnya hanya drama.
“Udah seminggu ini ga masuk nji.” jawab Indra.
“Di rawat?” lanjutku penasaran.
“Ga sampe dirawat sih tapi belum sehat.” jelas Indra kepadaku.
Mendapat jawaban seperti itu aku mendadak khawatir bagaimana mungkin Vina bisa bolos sampe seminggu dan pura-pura sakit kalo memang hanya drama.
Tak lama akupun pamit dengan Indra untuk kembali ke kelas dan mengucapkan terimakasih atas informasinya. Aku berencana pulang sekolah akan menemui Vina ke rumahnya.
Sepulang sekolah setelah berpisah dengan Clara, aku pun langsung pulang ke rumah menggunakan ojek untuk mengambil motorku dan segera meluncur ke rumah Vina. Awalnya Ibuku sempat menawarkan diri untuk ikut begitu tau kalo Vina masih sakit dan belum masuk sekolah namun aku tolak mengingat aku perlu membicarakan beberapa hal yg aku rasa lebih nyaman jika tanpa ibuku disana.
Sesampainya disana cukup lama aku berdiri didepan rumah Vina menunggunya membukakan pagar untuk ku, bahkan aku sempat meneleponnya yg ia angkat dan memintaku untuk membuka sendiri karena pagarnya tak dikunci.
Aku pun masuk dan memarkirkan motorku di teras garasi rumahnya lalu mengetuk pintunya yg dibuka oleh Vina dan mempersilahkanku masuk dengan isyarat tanpa berbicara sepatah katapun.
Aku duduk di sofa yg bersebrangan dengan posisinya, Vina sama sekali tidak menatap wajahku melainkan sibuk memainkan handphonenya yg kuperhatikan hanya keluar masuk menu.
“Vin, kata Indra kamu udah seminggu ga masuk?” ucapku membuka obrolan dengannya yang hanya dijawab dengan anggukan kepala tanpa menoleh sedikitpun ke wajahku.
“Sakit apa?” lanjutku yg hanya dijawab dengan mengangkat kedua bahunya.
Ilustrasi Vina
Aku berdiri menghampirinya dan menempelkan telapak tanganku ke dahinya serta pipinya. Ia tidak demam, suhu badannya normal namun memang ku akui wajahnya tampak sangat pucat.
Tanganku beralih meraih tangannya dan menempel dipergelangan tangannya untuk mengecek detak nadinya yg kuanggap normal.
Aku memberanikan diri duduk disamping Vina dan memperhatikan wajahnya yg tertunduk.
“Ngomongnya irit banget sih.” ujarku.
“Kamu ngapain kesini?” ujarnya yg akhirnya membuka mulut.
“Jenguk kamu.” jawabku singkat.
“Bukannya kamu yg mau kondisi kaya gini? Aku menjauh dari kamu. Tapi kenapa malah kamu sendiri yg dateng lagi sih dung?” lanjutnya masih tanpa sedikitpun menoleh ke wajahku.
“Ya aku khawatir. Lagian bisa ga sih kamu kalo ngejauh itu normal-normal aja ga pake sakit segala.” sahutku yg sebenernya aku malah merasa jawabanku aneh saat itu. Entahlah aku bingung.
“Untuk apa khawatirmu dung? Sakit atau engganya aku itu bukan urusan kamu.” jawab Vina yg entah mengapa aku tidak punya kata-kata lagi untuk menjawabnya.
Aku bangkit dan berjalan ke arah dapur rumah Vina lalu membuka lemari pendinginnya, tak kutemukan makanan yg ku cari. Saat ku tutup lemari pendingin tersebut, aku menemukan beberapa nomor delivery restoran di sekitar rumah Vina yg tertempel di lemari pendinginnya.
Aku pun menelepon salah satunya dan meminta untuk dikirimkan satu porsi bubur ayam, setelah itu aku mengambil air panas dari dispenser untuk membuat teh manis panas dan kembali ke ruang tamu untuk duduk disamping Vina.
Cukup lama kami hanya terdiam dalam posisi tersebut hingga akhirnya bel rumah ini ini berbunyi dan aku segera keluar untuk menghampirinya karena memang itu adalah kurir restoran tempat aku memesan bubur ayam tadi. Setelah membayar aku segera kembali ke dapur untuk memindahkan bubur dari bungkusnya ke mangkuk dan kembali ke ruang tamu. Vina yg heran sedari tadi melihat tingkahku akhirnya membuka kembali mulutnya.
“Kamu laper?”
Aku tak menjawab pertanyannya melainkan hanya mengaduk bubur ditanganku dan mengarahkan ke mulutnya yg awalnya ia merespon dengan menggelengkan kepala.
“Kamu belum makan kan? Tadi perut kamu bunyi.” jawabku sambil tetap mengarahkan sendok kemulutnya yg akhirnya Vina mau juga kusuapi.
“Kamu udah berapa hari puasa?” tanyaku.
“Seminggu ini kayanya ga makan nasi cuma ngemil doang.” jawab Vina.
“Kalah Nabi Daud.” sahutku yg dibalas Vina dengan memukul bahuku.
Aku pun menyuapi Vina hingga satu porsi bubur itu habis lalu ku minta ia juga untuk menghabiskan teh manis panas yg ku buat.
“Kalo abis ini mau puasa lagi seminggu boleh.” ujarku ketika ia selesai menghabiskan segelas teh manisnya yg dijawab dengan mencubit bahuku.
“Rese kamu dung!” jawabnya sambil kembali tertawa.
“Udah bisa ketawa, udah sehat kan?” sahutku meledeknya yg ia jawab dengan tersenyum dan mengangguk.
“Aku pamit yah.” lanjutku sambil membelai rambut Vina yg panjang.
“Makasih dung.” jawabnya lirih sambil mendekatkan wajahnya kearahku, aku yg sudah paham kearah mana maksud gerakan tubuh Vina segera memalingkan wajahku dan bangkit berdiri namun tanganku ditarik oleh Vina.
“Please dung, aku yg minta.” ucapnya sambil bangkit dan mendekatkan tubuhnya dengan badanku seraya menjijit sedikit dan akhirnya bibir kami bertemu.
Vina mulai melumat lembut bibir ku memainkan lidah dan bibirnya dengan mengulum serta menghisap bibir atas bawahku secara bergantian namun masih belum ku respon. Seakan tak puas, tangan Vina menuntun tanganku kearah toketnya yg masih terbungkus kaos ketat. Aku yg mulai dikuasai oleh hormon dopamin yg selama ini tertahan karena selalu dibuat tanggung oleh Clara akhirnya tak bisa menolak pancingan Vina dan segera merengkuh toket Vina meremasnya lembut sambil mulai memainkan bibirku mengimbangi gerakan pagutan bibir Vina. Bibir kami saling menggigit lembut dan saling membasahi dengan lidah diiringi desahan lembut Vina.
“Hmmmhhh shhh”
Vina mendorong tubuhku kembali ke sofa dan naik keatas pangkuanku tanpa melepas ciuman bibir ini yg bahkan semakin liar akibat gerakan erotisnya tadi. Lidah kami terus saling beradu dan saling menghisap dalam setiap lumatannya.
Tanganku yg berpindah ke pinggul Vina mulai menarik dan menggerakannya agar selangkangan kami saling menggesek yg cukup membuat kontolku semakin mengeras.
Vina melepaskan ciuman kami dan melakukan hal yg membuatku menelan ludah. Ia melepas kaos ketatnya dengan gerakan erotis dan membuangnya ke sembarangan arah. Sekarang didepanku terpampang tubuh seksi Vina yg sangat mulus putih bersih dengan dua bongkah toket gedenya yg tak tertampung seluruhnya karena selalu menggunakan ukuran bh lebih kecil yg membuat darahku berdesir ingin menjamahnya.
Tanpa komando aku mulai mendekatkan wajahku kearah toket gede Vina yg disambutnya dengan merengkuh kepalaku.
Aku mulai menciumi bagian toketnya yg menyembul dari bh sambil tangan kiriku mulai meremas toket sebelahnya perlahan dan lembut yg membuat Vina mulai mendesah manja.
“Ssshhh uhhh teruusss dung.”
Desahan Vina memancing birahiku untuk semakin menikmati setial centi toket gedenya dengan mengecup dan mulai menjilatinya. Sesekali aku menghisap lembut namun lama seperti menyupang yg membuat tubuh Vina menggelinjang.
“Aahh hmmm uhhh iya gitu dung.”
Aku yg mulai tak puas dengan hanya melumati toket kanan dan kiri dibagian atasnya mulai menggigit cup bh Vina lalu menariknya sehingga lompat lah toket gedenya.
Lidahku menjelahai setiap centi toket Vina dengan gerakan memutar dan semakin mendekat kerah putingnya dan akhirnya melumat putingnya penuh nafsu. Aku menyedot puting Vina tanpa ampun sambil tangan kiriku menarik tali bh kirinya dan membuat toket satunya lagi melompat keluar disertai desahan Vina.
“Aw uhhh enak kamu dung.”
Aku pun mulai menghisap kedua putingnya secara bergantian sambil meremas toket gedenya dengan gerakan memutar yg cukup membuat Vina terus mendesah dan kelojotan menerima perlakuan ku. Seluruh toketnya mengkilap basah akibat jilatan dan lumatanku yg membuat pemandangan tubuh Vina semakin seksi.
Vina mulai bergerak menuruni tubuhku, hingga berlutut. Aku yg paham dan sudah menanti bagian ini segera melepaskan sabuk dan menurunkan celana ku yg disambut Vina dengan menariknya hingga tersisa celana dalamku yg juga ia tarik dengan menggigitnya yg cukup membuatku belingsatan melihatan adegan tersebut.
Kontolku yg memang sedari tadi sudah mengeras langsung berdiri tegak begitu terlepas dari celana dalamku.
Vina langsung mengelusnya dengan mengurut dari pangkal hingga kepala kontolku dan semakin lama menaikan temponya dan mulai mengocok kontolku.
“Hmmm uhhh enak Vin.” desahku menerima perlakuan Vina yg sangat lembut.
Vina mulai membuka mulut kecilnya dan melahap kontolku yg hanya mampu ditampung 2/3 nya dan memaju mundurkan mulutnya sambil menghisapnya lembut.
Bibir tipisnya yg basah beradu dengan kulit kontolku terasa geli dan linu yg membuatku terus mendesah keenakan.
Sambil terus mengulum kontolku tatapan Vina terus mengarah kewajahku yg membuat pemandangan ini sangat meningkatkan birahiku. Vina terlihat sangat nakal dan membuatku ingin semakin menjamah tubuhnya.
Sesekali lidahnya membuat gerakan memutar tepat di kepala kontolku yg masih didalam hisapannya yg membuat service blow job Vina sangat geli linu dan nikmat.
Aku terus mendesah dalam kenikmatan perlakuan Vina yg terus mengulum kontolku bahkan ia melakukan hisapan sedalam mungkin yg membuat kontolku hampir masuk sepenuhnya kedalam mulutnya dan saat dilepasnya kontolku penuh dilumuri air liurnya.
Tidak berhenti disitu, kontolku yg masih basah tersebut dijepit oleh dua bongkah toket gedenya dan mulai melakukan gerakan maju mundur yg tentu membuat kontol ini terasa dipijat dan diurut oleh dua daging lembut yg terasa sangat nikmat.
Vina menatap wajahku seraya tersenyum sambil terus mengocok kontolku dalam jepitan toketnya.
“Enak sayang?” tanyanya yg hanya kujawab dengan anggukan kepala dan mulai maju membungkuk menghampiri wajahnya dan melumat kembali bibirnya yg membuat kontolku lepas dari jepitan toketnya.
Aku dan Vina terus menikmati pagutan bibir ini yg semakin liar, sesekali bibirnya menghindar mundur yg membuatku gemas dan menarik kepalanya untuk melumat bibirnya agar tak lepas. Dalam cumbuan bibir ini aku masih terus sambil meremas lembut kedua toket Vina dan Vina pun sambil mengocok kontolku.
Vina dalam posisi berlutut menarik tubuhku dari posisi duduk di sofa untuk mendekat dan menindih tubuhnya dengan bibir kami yg masih terus saling melumat. Sekarang posisi kami tiduran diatas lantai ruang tamu beralaskan karpet berbulu lembut dengan aku berada diatas tubuh Vina yg terlentang.
“Hmm masukin dung.” ucapnya lirih sambil menggigit bibir bawahnya yg menbuatku sangat gemas dan mulai melumat bibirnya lagi dan lagi.
Otaku yg saat itu seperti tidak dalam kontrol ku mulai memposisikan tubuhku untuk menyetubuhi Vina sesuai permintaannya dan tanpa perlu mengkonfirmasi lagi aku langsung menarik hotpants dan celana dalamnya lalu mulai meggerakan tubuhku untuk mengarahkan kontolku ke memek Vina walaupun sebelumnya beberapa kali memeknya sempat ku kecup dan jilat.
Saat itu dimana aku yg baru pertama kali melakukan hubungan seks, beberapa kali gagal memasukan kontolku ke memek Vina yg hanya diresponnya dengan senyum dan tangannya bergerak kearah kontolku untuk dibimbing masuk kearah lubang kenikmatan miliknya.
“Dorong sayang.” ucap Vina lirih yg langsung ku sambut dengan dorongan dan direspon Vina dengan teriakan sambil menggigit bibir bawahnya.
“Auw ochhh”
“Sakit Vin?” tanyaku yg dia jawab dengan menggelengkan kepala dan memintaku untuk mendorongnya lagi perlahan.
“Pelan pelan sayang.” ucapnya dengan tatapan sayu yg membuat Vina sangat seksi.
Sleeebbb kudorong maju kontolku memenuhi lubang memeknya yg cukup membuat ku linu akibat dari gesekan lembut dan basah antara dinding memek dan kontolku yg timbulkan.
“Aaakhhh gede banget kontol kamu dung uhh” ucapnya yg membuatku semangat untuk menggenjotnya.
Aku mulai menggerakan perlahan kontolku dalam memeknya yg sangat becek. Basah licin ngilu dan linu bercampur menjadi sebuah kenimatan yg luar biasa ditambah dengan desahan Vina yg semakin merintih saat aku mulai menggenjot kontolku didalam memeknya.
“Hmmphh uhh terus dung enakk uhhh”
“Iya sayang uhh memek kamu enakhh” ucapku ikut mendesah bersama Vina karena rasa nikmat yg luar biasa. Cukup lama kami berada diposisi tersebut dalam ritme genjotan yg santai.
Aku yg merasa Vina sudah rileks dan mampu mengimbangi gerakan tubuhku mulai menambah tempo genjotan ku yg membuat Vina berteriak seksi.
“Akh akh uhh iya uhh”
Kontolku yg semakin memenuhi lubang memek Vina saling bergesekan dengan dinding memeknya yg lembut licin dan basah mulai terasa panas serta linu diujung kepala kontolku yg rasanya ingin segera menumpahkan seluruh isi sperma ini didalam memeknya namun otakku saat itu melawan. Aku masih ingin menikmati persetubuhan ini dan tak ingin kalah lebih dulu dari Vina sehingga meminta Vina untuk merubah posisnya. Aku pun menarik tubuh Vina untuk bangkit dan kini Vina duduk diatas kontolku dengan kondisi masih menancap di memeknya sedangkan aku gantian merebahkan tubuhku dilantai untuk mengurangi rasa orgasme.
Vina mulai kembali menggerakan tubuhnya naik turun diatas kontolku
“Aargghh mentok kontol kamu dung enakkhh.” desah Vina.
Toket gedenya yg menggantung diatas wajahku segera ku lahap, kulumat dan kuhisap dibagian putingnya sambil terus meremasnya.
“Akhh pinter kamu dung terus gitu sayangghhh uhhh” desah Vina yg semakin membuatku terus melakukan hal tersebut bergantian di toket kanan dan kirinya.
Vina semakin mempercepat gerakan naik turun pantatnya memasukan dan memutar kontolku didalam memeknya. Semakin cepat dan semakin terus ditekan dalam tubuh Vina melengkung kebelakang dan mengegelinjang sambil bereteriak.
“Aku keluar duungg hhmmmm” ujarnya sambil ngos-ngosan.
Cairan orgasmenya terasa mulai memenuhi lubang memeknya dan semakin membuat kontolku terasa penuh didalamnya. Vina menjatuhkan tubuhnya keatas tubuhku seperti orang yg kehabisan tenaga. Aku pun memeluk tubuhnya dan mencium rambutnya. Tak lama ia mengangkat kepala dan tersenyum kearahku.
“Genjot aku lagi sayang, kamu kan belum keluar.” ucapnya.
Mendengar kata itu keluar dari mulut Vina yg seksi entah kenapa membuatku belingsatan dan segera bangkit untuk memutar posisi kami sehingga Vina kembali dibawah dan aku diatas.
Aku mulai kembali memasukan kontolku kedalam memeknya yg cukup mudah karena sangat licin.
Sleeeebbb
“Uuugghhh kontolin terusss dung uhh” desah Vina.
Aku mulai kembali memompa dan menggenjot memek Vina yg membuatnya terus merintih nikmat.
Sambil sesekali tanganku meremas toket gedenya yg bergoyang seksi seiring gerakan genjotanku kepada Vina.
Aku terus memacu kontolku menikmati seluruh jepitan yg memek Vina berikan hingga rasa gatal nikmat geli dan panas ini mulai memuncak diujung kontolku.
“Aku kayanya mau keluar vin.” ujarku.
“Bareng sayang hhmmm” jawab Vina.
Kami terus memacu kenikmatan masing-masing dalam memburu orgasme dan akhirnya Vina kembali berteriak ketika mendapatkan orgasme keduanya.
“Aku keluar dunggg hhmmm ahhhh” teriaknya disertai getaran getaran seksi tubuhnya.
Aku yg sudah diujung orgasme pun terus menggenjot memek Vina tanpa memberinya nafas untuk menikmati sisa orgasme.
“Keluarin dimana sayangg hmmm” ujarku saat kontol ini mulai terasa kedutan ingin menumpahkan isi spermanya.
“Diluar dunggg uhhhhh aku lagi subur hmm” jawab Vina yg tak lama segera kuberi hentakan terakhir dan mengeluarkan kontolku dari memeknya yg sudah berada diujung orgasme.
Croooot croott croooootttt beberapa kali kontolku menumpahkan sperma diatas perut Vina hingga ke lehernya. Aku terus mengurut kontolku sambil menikmati sisa-sisa orgasme tadi lalu menjatuhkan tubuhku disamping Vina.
“Gila sperma kamu dung, bisa hamil aku kalo kamu keluarin didalem sayang.” ucapnya sambil tersenyum nakal yg segera kulumat bibirnya.
Setelah kami mampu mengatur nafas aku mulai kembali sadar.
“Bersih-bersih sana.” ujarku yg dijawab Vina dengan anggukan dan sekali melumat bibirku.
“I love you dung” tutup Vina yg tak kujawab seraya ia pun berlalu meninggalkan ku.
Bersambung