Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Karakter utama mana yang anda favoritkan?

  • Nisa

    Votes: 98 58,7%
  • Bening

    Votes: 63 37,7%
  • Amy

    Votes: 13 7,8%
  • Anya

    Votes: 28 16,8%
  • Ratna

    Votes: 12 7,2%

  • Total voters
    167
  • Poll closed .
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
BAGIAN 02
TIADA PETAKA MERENGGUT KASIHMU




Wahai Galih, duhai Ratna.
Tiada petaka merenggut kasihmu.




.:: BEBERAPA JAM YANG LALU



Lelah sekali hari ini rasanya, pekerjaan demi pekerjaan datang bertubi-tubi dan semua harus dikerjakan oleh Randy Akbar dalam jangka waktu yang menurutnya tidak manusiawi. Memang sih, semua pekerjaan itu membuatnya jadi lebih tenang dalam beberapa bulan ke depan karena semua proyek sudah dilunasi pembayaran down payment-nya. Tapi tidak bisa dipungkiri beban beratnya justru akan dimulai sekarang, karena semua rundown harus segera dijalankan hampir bersamaan. Bekerja dengan deadline sih tidak apa-apa, asal pembayarannya juga sesuai dan tidak ada perubahan apa-apa lagi pada desain semula.

Ah sudahlah, ini kan sudah sampai di depan rumah. Tinggalkan pekerjaan kantor di kantor, embrace keluarga yang sudah menunggu di rumah.

Parkir mobil sudah, meletakkan sepatu di tempatnya sudah, meletakkan tas sudah, kini tinggal minum segelas kopi sambil duduk santai. Ah, rumah memang tempat terbaik untuk melepas lelah, bisa bertemu anak istri dan...

Eh?

Akhirnya Randy baru menyadari kalau lampu ruang tengah tidak dinyalakan. Kenapa ya? Apa bohlamnya mati? Kok istrinya tidak menggantinya? Kalau mati kan tinggal bilang Mang Engkus biar dibelikan dan dipasang yang baru.

Randy mencari saklar dan menyalakan lampu.

Lho? Nyala kok. Kenapa gelap-gelapan begini?

Jantung Randy hampir copot saat ia menyadari ada kehadiran seseorang di tengah kegelapan. Ia bahkan hampir melompat karena kaget.

Tanpa diduga-duga sama sekali, ternyata Bening sedang duduk di ruang tengah dengan wajah yang tidak karuan dan mata sembab seperti habis menangis, ia masih mengenakan baju yang ia kenakan saat berangkat kerja tadi pagi. Randy tentu terheran-heran dan buru-buru mendatangi istrinya. Ada apa ini?

“Sayang? Kamu kenapa?”

Bening meletakkan ponselnya di meja dan mendorongnya ke arah sang suami yang masih berdiri, dorongannya cukup kencang – bisa dibilang setengah melempar. Tentu saja Randy menghentikan laju ponsel itu sebelum jatuh dari meja.

“Itu foto apa, Mas?”

“Foto apaan sih?”

“Lihat ke hape-ku.”

Randy mengambil smartphone yang tadi dilempar Bening, ia masih kebingungan.

“Coba buatlah aku mengerti apa yang sudah kamu lakukan, karena aku sudah tidak sabar mendengar penjelasan langsung dari mulutmu sejak sore tadi. Ada yang mengirimkan foto itu ke aku. Jelaskan itu kapan, itu siapa, dan itu dimana. Jangan cari alasan yang bukan-bukan. Aku tahu pasti kalau itu bukan photoshop.” Kata Bening ketus.

“Apa-apaan sih kamu, sayang? Suami pulang kerja bukannya disambut malah...” Randy sontak terkejut saat melihat foto yang dimaksud. Sebuah kolase dua foto dalam satu frame. Pada foto pertama Randy tengah berpelukan dengan seorang gadis berpakaian seksi dan sepertinya mereka berdua sedang berada di sebuah kamar hotel. Lebih parah lagi - di foto kedua terlihat Randy sedang mencium bibir gadis seksi itu.

Mau mengelak pun tidak bisa. Bukti sudah terlampau jelas.

“Siapa yang mengirimkan foto ini?!”

“Aku yang pertama kali bertanya, dan bukan itu jawaban yang aku minta.”

“Sayang, dengarkan dulu penjelasanku... ini beneran ngawur... aku bukan... maksudku aku tidak pernah...” wajah Randy mulai berubah panik, keringat deras bercucuran di sekujur tubuhnya.

“Aku ulangi sekali lagi, Mas. Itu kapan, itu siapa, dan itu dimana. Jawab saja dengan jujur apa susahnya. Aku tidak bertanya yang lain-lain lagi.”

“Oke, oke... aku jelasin... aku duduk dulu... kamu tenang dulu...”

Bening mengangkat pundaknya. Terserah, mau duduk boleh, mau berdiri boleh, mau jongkok juga boleh, ngangkang pun silahkan. Ia tidak melarang dan ia tidak mau peduli. Ia hanya peduli dengan jawaban jujur dari sang suami.

“Itu... itu terjadi sebelum aku ketemu kamu...” kata Randy sambil mengelap keringatnya, “aku kan sudah pernah cerita kalau aku dulu nakal banget. Itu salah satunya buktinya. Bukti kalau aku dulu sering mengajak pacar aku menginap di hotel. Tapi sejak bertemu kamu, aku kan sudah berubah, sayang... aku sudah tidak melakukan itu lagi... entah siapa yang sudah menemukan foto itu, tapi itu foto yang sudah lama sekali.”

“Begitu ya? Siapa namanya?”

“Namanya siapa ya... jujur aku malah sudah lupa.”

Bening berdiri dan berjalan perlahan ke arah suaminya untuk mengambil kembali smartphone-nya. “Jadi ini foto lama ya?”

“Iya... sebelum ketemu kamu. Sebelum kita nikah. Itu sih udah lama banget. Ayolah sayang, aku capek banget pulang kerja, jangan kamu hiraukan foto lama semacam itu. Pasti ada orang iseng saja yang hendak mengganggu kita.”

“Salah satu pacarmu?”

“Mantan. Iya.”

“Siapa namanya?”

“Duh, aku lupa. Rima, Rina atau Rida atau siapa aku lupa...”

Bening mengangguk-angguk, kini dia berada tepat di depan sang suami. Mata wanita berparas seindah namanya itu menatap tajam suaminya... dan...

PLAAAKKK!!!

Ia menampar sang suami sekeras-kerasnya.

“Kalau mau bohong jangan asal njeplak, Mas. Kamu lebih baik dari ini. Jangan jadi orang tolol yang mau menutupi kelakuan busuk saja tidak bisa. Kesalahanmu fatal karena kamu terlalu meremehkan aku! Mau tahu kesalahan kamu, Mas?” tanya Bening sambil mendelik galak. “Jam tangan yang kamu pakai di foto itu. Perhatikan baik-baik, Mas. Sudah diperhatikan? PERHATIKAAAAN BAIK-BAAAIKKK!!!”

Dibentak oleh sang istri yang sudah kalap, mau tidak mau Randy memperhatikan foto itu kembali. Kenapa memang jam tangannya? Bukankah itu jam tangan yang selalu ia pakai? Jam tangan itu... oh tidak... oh sial... jam tangan itu adalah jam tangan pmberian Bening di hari ulang tahun pernikahan pertama mereka.

Sialaaan!

“Sudah paham sekarang? Itu foto lama? Foto sebelum ketemu aku?” Bening menatap suaminya dengan pandangan menghina dan sangat puas. Ia terlihat begitu tegar dan kuat menghadapi cobaan kali ini. Meski begitu ia tetap seorang wanita yang sedang sangat tersakiti, sehingga air matanya meleleh di pipi. Suara Bening bergetar karena ia berusaha menahan agar tidak sesunggukan.

Randy hanya terdiam tak mampu berucap. Mulutnya terkunci rapat dan pandangan matanya kosong. Apakah itu wujud penyesalan atau rasa bersalahnya? Bening sih tidak peduli.

“Aku pergi.” Kata Bening kemudian.

“Sayang...”

Bening mengangkat tangannya dan menolak perbicangan lebih lanjut dengan sang suami. “Aku tidak ingin berada di dekat kamu malam ini. Aku mau pergi. Kesempatan kan? Kamu bisa mengundang lonte itu untuk bermalam di sini. Siapa tahu dia juga mau pakai ranjangku.”

“Ya ampuuuun, sayang! Tidak begituuuu! Sungguh...! Dengerin aku dulu...!”

Bening menggelengkan kepala dan meninggalkan Randy.

Wanita cantik yang sedang terguncang itu masuk ke kamar dan mengemas-ngemas pakaiannya dan Adinda. Malam ini mereka berdua tidak akan tidur seatap dengan laki-laki brengsek itu! Dia tidak ingin bangun pagi dan menatap wajah laki-laki yang telah mengkhianatinya!

Tidak butuh waktu lama bagi Bening untuk mengemas pakaiannya dan Adinda karena dia memasukkannya dengan asal saja. Beberapa jumput baju, celana, dalaman, obat, peralatan yang dibutuhkan, dan semua charger. Semuanya masuk tas. Setelah itu Bening masuk ke kamar Adinda, memasukkan semua yang dibutuhkan putrinya itu ke dalam tas ransel dan menggendong gadis mungil itu pelan-pelan agar tidak terbangun. Setelah semuanya siap, ia bergegas ke pintu depan.

Untuk sampai ke pintu depan, ia harus melewati sang suami.

“Be... dengarin aku dulu, sayang... kasihan Adinda! Malam-malam begini mau kamu ajak kemana dia? Bening...? Bening....? BENING! DENGARKAN AKU! AKU MASIH SUAMIMU!!”

Adinda mengerang sebentar saat mendengar kerasnya suara sang ayah, untung saja ia tidak terbangun. Bening terdiam sejenak dan memastikan Adinda benar-benar masih lelap. Si cantik itu kemudian menatap tajam ke arah sang suami. Penampilannya sungguh membuat hati Randy teriris. Bening sedang berdiri sembari menggendong Adinda yang pulas dan menenteng satu tas koper dan tas sekolah.

“Suami? Jangan buat aku tertawa, Mas. Suami macam apa kamu...? Aku hanya mau mendengarkan ocehanmu dan menganggapmu sebagai suami, saat kamu memberikan aku penjelasan yang lebih jujur dan masuk akal kenapa kamu melakukan ini. Aku juga ingin kamu membuat sebuah pernyataan jujur bahwa kamu memang selingkuh dan mengkhianati aku. Tapi kalau kamu tidak mau mengakuinya... atau kalau aku tidak menyukai penjelasanmu... aku lebih baik pergi tanpa pernah melihatmu lagi!”

“Be...” Randy masih belum menyerah, dia masih terus berusaha menghentikan Bening.

“Dengar baik-baik ya, Mas. Selama ini aku tak pernah menuntut apa-apa dan tak pernah minta apa-apa dari kamu. Apa yang aku bawa saat ini adalah barang-barangku sendiri. Saat ini aku akan pergi kemanapun kakiku melangkah dan jangan sekali-sekali berpikiran untuk mengikutiku!”

“Ayolah, sayang... kita bisa bicarakan ini baik-baik... ayo duduk dulu, kita bicarakan dengan tenang...”

“Aku tidak butuh duduk, Mas!! Aku butuh penjelasan!! Sejak tadi kamu belum berikan! Kamu ini bebal atau bagaimana sih?! Aku pergi!”

Kali ini Randy tak sanggup mengucap banyak kata karena kemudian Bening sudah membanting pintu keluar. Tak berapa lama kemudian terdengar suara mobil dinyalakan dan akhirnya meninggalkan rumah itu.

Randy tadinya ingin mengejar, namun akhirnya ia hanya duduk dan terdiam.

Kepalanya menunduk.

Tiba-tiba smartphone Randy berbunyi. Ia sedang tidak ingin membukanya sama sekali, sehingga ia letakkan begitu saja di meja. Namun ketika melihat nama Rima di layar, emosinya meledak. Kenapa waktunya bisa pas begini, sih? Kenapa?

“SIAAAALLAAAAAN!!!!” Randy melempar ponselnya ke dinding.



.::..::..::..::.



.:: SEKARANG



“Halo? Assalamualaikum.”

Walaikumsalam.”

“Kak Nisa?” Bening menahan diri agar suara sesunggukannya tidak terdengar.

“Iya, Be... gimana?”

“Kak Nisa dimana?”

“Lagi di rumah, habis makan. Kenapa? Suara kamu kok kayak aneh gitu...? Kamu baik-baik aja?”

“Ga apa-apa, Kak. Malam ini aku sama Adinda boleh merepotkan ga? Kita mau nginep di situ kalau Kak Nisa ijinin.”

“He? Kenapa memangnya? Ada masalah apa?”

“Ga ada apa-apa kok, Kak. Boleh ga ya? Maaf merepotkan.”

“Ya jelas boleh dong, Be. Ya udah kamu datang aja. Kebetulan suamiku juga tidak ada di rumah malam beberapa hari ini, dia pergi seminar di luar kota. Jadi kamu bisa nemenin aku.”

“Oh gitu... makasih ya, Kak. Kami OTW.”

“Sama-sama, Be. Aku tunggu ya. Hati-hati di jalan.”

“Iya Kak. Assalamualaikum.”

Walaikumsalam.”



.::..::..::..::.



Ada apa ya dengan Bening? Kok suaranya kedengarannya aneh begitu? Kenapa pula dia mau tidur di sini sama Adinda? Apa dia cekcok dengan suaminya ya? Aneh.

Ding!

WhatsApp
. Apakah dari Bening lagi? Nisa pun membuka layar ponselnya. Satu kalimat muncul.

“Tolong jangan blokir aku. Aku rindu sekali.”

Astagaaaaaaa!! Arghhhh...! Kok malah orang ga waras ini lagi sih?!

Bisa gila rasanya Nisa kalau harus terus menerus melayani orang seperti ini! Apa sih maunya? Sudah ditolak, dihapus, diblokir tapi tetep aja gangguin. Bisa-bisanya dia selalu beli nomer baru demi hanya untuk mengganggunya. Apa sih pekerjaannya? Juragan counter pulsa?

Apa iya Nisa juga harus ganti nomer? Sayang banget kalau harus ganti, Nisa sudah memakai nomer hapenya ini sejak lama, bahkan sejak pertama kali ia membeli ponsel. Nomernya juga sudah terlalu tersebar luas ke orang-orang penting jadi sangat sayang kalau harus ganti hanya demi orang sialan itu. Nisa tahu, orang segila ini kalau tidak diberikan jawaban yang pasti akan terus menerus mengganggu dan menerornya.

Baiklah. Sekali ini untuk selamanya.

Sekali ini saja.

Sesudah ini semua selesai. Tidak ada kelanjutannya, tidak ada to be continued, tidak ada next chapter. Semua selesai di sini.

Sekali ini saja.

Nisa mengetik dengan cepat. “Apa sih mau kamu? Jangan ganggu aku terus!”

Aku hanya ingin bertemu.”

“Astagaaaa! Ketemu itu mau ngapain?! Nggak ah. Aku nggak mau!”

Aku rindu.

“Ya terus kenapa? Kamu bukan siapa-siapa aku, dan aku tidak ingin jadi siapa-siapa kamu. Jadi rindukan yang lain saja. Masih banyak cewek lain.”

Aku hanya rindu sama kamu.”

“Gila kamu.”

Bolehkah kita bertemu?

“Tidak. Jelas tidak.”

Aku bisa gila kalau aku tidak ketemu kamu.”

“Bukan urusanku.”

Rasanya seperti mau mati.”

“Ya sana.”

Tolonglah, sekali saja. Hanya untuk ngobrol berdua saja.”

Apa-apaan sih nih orang? Nisa menggelengkan kepala dan menarik nafas panjang, semua ini harus disudahi, ia sudah tidak mau lagi diganggu. Sampai kapan mau begini terus? Wanita mungil berparas ayu itu lalu mengetik kembali.

“Apakah setelah itu kamu tidak akan menggangguku lagi?”

Cukup lama bagi pihak sana untuk menjawab. Sebelum akhirnya muncul teks singkat.

Ya.”

“Baiklah. Aku akan menemuimu hari senin depan, jam makan siang di tempat yang akan aku tentukan, dan hanya untuk bertemu lima menit saja. Aku yang akan memberikan kabar tempatnya nanti. Kalau dari hari ini sampai besok senin kamu kembali menggangguku, menelponku, atau mengirimkan teks dalam bentuk apapun. Pertemuan dibatalkan.”

Baik.”

Nisa tersenyum puas dan meletakkan smartphone-nya. Senyumnya itu dilihat sang suami yang sedang sibuk mengetik di laptop dengan buru-buru.

“Apa sih Bund, senyum-senyum sendiri? Chatting sama siapa?”

“Ah, nggak. Ini habis ngerjain orang.”

“Dasar Bunda. Dari dulu sukanya iseng aja. Awas lho nanti karma, kalau suka gangguin orang – nanti giliran Bunda yang bakal balik diisengin orang.”

“Emangnya Ayah ga suka iseng apa? Malah lebih parah.”

“Parah dari mana coba. Ayah orangnya serius. Apa ga liat ini wajahnya lagi serius?”

“Huuu... darimana wajah seriusnya, yang ada itu wajah ngantuk kurang tidur. Kerja mulu sih.”

“Iya, hiks. Kerja keras bagai kuda.” Haris Suryatmaja mengemas barang-barangnya dan dimasukkan ke dalam tas ransel, termasuk laptop yang baru saja ia shutdown. Hari ini suami Nisa itu akan berangkat ke seminar yang diadakan oleh kampus di kota lain, acaranya padat selama beberapa hari ke depan. Apalagi setelah ditunjuk sebagai dosen yang akan menjadi pembicara mewakili kampus, mau tidak mau ia harus berangkat. “Anak-anak sudah tidur?”

“Tidur semua. Flight jam berapa Ayah?”

“Ini nanti jam tujuh, bentar lagi dijemput supir kampus. Ayah tinggal dulu ya, pulangnya insyaallah rabu depan.”

“Jangan lama-lama, yah. Istri dianggurin bisa gosong. Sisi yang sebelah udah gosong, tinggal separuh lagi. Nanti kalau dimakan pahit.”

Haris mendekati istrinya dan tertawa ringan, betapa cantik istrinya malam itu. Sungguh beruntung ia memiliki istri seperti Nisa, “wah sayang sekali yang seperti ini kok dianggurin.”

“Tau nih. Dasar.”

Haris menggunakan jari telunjuknya untuk mengangkat dagu Nisa. Bulat mata indah Nisa selalu membuatnya terpesona, membuatnya jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang sama sepanjang masa. “Aku sayang Bunda. Sayang banget.”

“Sayang Ayah juga.”

Kepala Haris turun agar bibirnya bisa menjumpai bibir sang istri, seakan mengucap kata berpisah, untuk kelak berjumpa dalam rindu. Bibir bertemu bibir, saling mengusap, saling mengecup, saling mengelus. Ah... bibir Nisa akan membuatnya rindu selama di sana. Berpagutan dengan Nisa adalah hal paling indah yang pernah Haris rasakan, hal yang selalu ingin ia lakukan sepanjang hidupnya. Begitu lembut, mungil dan nyaman dikulum. Ah bibirmu sayang... sungguh membuat ketagihan... ia ingin mencium Nisa... lagi dan lagi dan lagi dan...

Terdengar bunyi klakson di luar rumah.

Nisa pun menarik kepalanya, tapi sempat mengecup bibir dan pipi sang suami. Haris agak kecewa karena jemputannya datang terlalu cepat.

“Hati-hati di jalan, Ayah.”

“Hati-hati di rumah ya Bund, sampaikan salam sayang buat anak-anak. Besok aku video-call kalian. Aku janji setelah ini kita liburan sekeluarga.”

“Iya...”

Haris pun bergegas, menarik tas, ransel dan kopernya. “Sayang Bunda.”

“Sayang Ayah.”

Assalamualaikum.”

Walaikumsalam.”



.::..::..::..::.



.:: BEBERAPA TAHUN YANG LALU



“Aku ga suka kamu merokok. Apalagi di sini!”

Galih tertegun. Eh buset, siapa ini tahu-tahu main larang aja. Cewek mana sih ini?

Galih dan dua sahabatnya Rano dan Toni saat itu sedang berada di Warung Mbak Ji.

Warung Mbak Ji adalah warung kecil dengan dinding kayu yang menyediakan indomie rebus, indomie goreng, nasi goreng – kalau pas ada nasi, jajanan pasar, jajanan kering, dan gorengan. Selain itu juga ada teh, kopi, coklat serta minuman jus sachet. Jajanan di sini bagaimana? Sehat sih mungkin kurang, tapi murahnya menang.

Warung legend ini sudah lama ada, jauh sebelum Galih masuk ke SMA xxx. Entah sejak kapan mulai berdiri, mungkin di era kakak kelas, kakak kelasnya dan kakak kelasnya lagi. Bagi anak-anak SMA xxx, Warung Mbak Ji adalah oase yang jauh lebih asyik dibandingkan kantin sekolah. Meski yang dijual sederhana dan apa adanya, tapi harganya jauh lebih murah... dan yang lebih penting lagi... menjual rokok.

Tahu sendirilah gimana gaya anak SMA, ketemu rokok ibarat sudah memberontak terhadap penguasa yang lalim yang datang dari negeri api. Mungkin bahkan bukan demi kenikmatan, tapi demi kelihatan keren. Kalau sudah merokok itu ibarat menghisap nikmatnya dunia. Seperti Galih dan kedua temannya yang saat ini sedang asyik ngebul di belakang Warung Mbak Ji. Beberapa kali mereka terbatuk karena memang belum terbiasa merokok.

Lalu baru saja - ada yang dengan nekat melarang mereka merokok.

Demi apa coba! Siapa berani?

Di depan Galih, Toni dan Rano kini berdiri serombongan gadis berkacak pinggang, yang paling depan adalah teman satu angkatan mereka, Ratna – anak IPA yang jadi Wakil Ketua OSIS. Gadis cantik imut dan manis meskipun wajahnya jutek. Kalau tidak salah teman-teman serombongan di belakang Ratna ini juga tergabung dengan OSIS.

“Ini masih di lingkungan sekolah! Jangan ngajarin yang ga bener ke adik-adik kelas dong!”

Galih merengut dan berdiri tepat di depan Ratna. “Eh! Cewek! Mau ngerokok di sini, mau di sana, mau di mana-mana hatiku senang! Lagian terserah aku dong! Yang merokok aku, kenapa kamu yang sewot? Lingkungan sekolah apaan!? Warung ini jaraknya jauh dari sekolah coy!”

“Tapi kamu kan jadi ngajarin ke adik-adik kita hal-hal yang ga bener begini! Mereka jadi niruin kamu! Mereka nantinya juga menjadikan tempat ini lokasi ngerokok!” Ratna tetap berkacak pinggang dan tak bergeming, ia tidak takut kok sama Galih.

“Lah, kan tempat ini memang legend. Kakak kelas kita dulu juga banyak yang nongkrong di sini sambil ngerokok! Apa salahnya sekarang aku ngerokok di sini?”

“Makanya diputus rantainya! Jangan ngajarin ngerokok!”

Galih malas berdebat, apalagi sama cewek. Ia bukan tipe yang suka berdebat panjang lebar, tidak ada untungnya. Satu hal yang pernah dipelajari Galih yang selalu diingat adalah kata-kata dari mendiang kakeknya. Kalau sedang panas dan marah, tahan diri untuk tidak berucap kasar. Karena apapun yang keluar dari mulut kita saat emosi, nantinya akan kita sesali.

Galih menarik napas panjang, mendesah dan berusaha menahan emosi. “Dengar ya...”

“Aku... ga suka lihat kamu merokok.”

Eh?

Kok intonasi suara cewek itu berubah? Galih menatap Ratna dan dari sudut matanya ia melihat cewek-cewek di belakang Ratna cekikikan sambil berbisik-bisik. Maksudnya apa sih ini? Wajah Ratna memerah seperti tomat dan kepalanya menunduk, seperti tidak mau beradu pandang dengan Galih. Gerak tubuh gadis itu juga jadi kaku dan aneh.

Rano yang akhirnya sadar apa yang terjadi pun berdiri. Ia melangkah ringan ke samping Galih dan berbisik, “ciee ciee... udah matiin dulu aja rokoknya. Kapan lagi disamperin kembangnya sekolah?”

Galih meneguk ludah, dia menatap Rano dengan pandangan kebingungan. Apa maksudnya? Toni juga jadi senyum-senyum aneh. Bagaikan terhipnotis, Galih membuang puntung rokoknya.

Rano bergerak cepat sambil menyeret Toni, keduanya ikut membuang rokok dan mengalihkan perhatian cewek-cewek di belakang Ratna agar membiarkan Galih dan Ratna sendirian. “Ayooo... ayooo... kalian mau makan apa? Hari ini semua ditraktir Toni.” Kata Rano sambil mendorong cewek-cewek itu.

“Lah, kok jadi aku yang bayar, No?” Toni bengong.

“Udah diem aja. Dukung temen dikit napa? Mana hape kamu?”

“Ini ada di kantong.”

“Ntar ditinggal aja buat jaminan.”

“Laaaaaah!!”

Cewek-cewek itu tertawa dan mereka akhirnya mereka sepakat untuk duduk di warung sembari memesan indomie rebus dan gorengan. Membiarkan Galih dan Ratna berdiri berdua saja dengan canggungnya.

“Ja... jadi...” Galih menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Duh gimana ya ngomongnya? “Ja... jadi kamu ga suka ya lihat cowok ngerokok.”

“I... iya... takut dilihat dan ditiruin. Ini demi adik-adik kelas...”

Wajah Galih memerah, dia tidak berani menatap langsung ke mata Ratna yang imutnya kebangetan. “Hmm... o... oke deh. Maaf ya...”

“Ga... ga papa... ja-jangan diulangin ya. Demi adik-adik kelas...”

“Iya...” Duh, suasananya kenapa jadi garing banget kek tempe goreng dipotong tipis setengah mili. Galih mengalihkan pandangan ke arah Rano dan Toni yang sedang bersenda gurau dengan teman-teman Ratna. Dasar sialan mereka, menjerumuskannya ke kondisi yang tidak nyaman seperti ini. Eh, tapi... kalau melihat mereka seperti itu... kok dia jadi ada ide ya?

“Ka... kamu mau makan atau minum?”

“Mmm...” Ratna melirik ke arah warung dengan ragu-ragu.

“Ayo lah, aku yang traktir.”

Ratna masih ragu-ragu.

“Aku traktir demi adik-adik kelas?”

Kali ini Ratna tertawa.

Saat itu juga hati Galih bagaikan terpaku. Anak ini kalau tertawa manisnya sungguh bikin...



.::..::..::..::.



.:: SEKARANG


“Aku kan sudah bilang, aku ga suka kamu merokok.”

Galih yang tadinya sibuk dengan pesan-pesan singkat menutup layar smartphone-nya dan meletakkannya di meja, tepat di samping asbak dengan taburan abu. Oh ini toh yang bikin ketauan ngerokok. Pantas saja barusan Ratna bilang begitu. Sudah lama sebenarnya sejak terakhir kali dia merokok. Kalaupun beli sebungkus biasanya langsung dihabisin sama Mas Agus, dia hanya menjumput satu-dua batang saja.

“Kita kan sudah put...”

Ia menatap ke arah mantan pacarnya yang baru saja masuk ke bilik. Duh, Gusti. Kenapa ada ciptaan-Mu yang seperti ini indahnya? Apa yang harus dilakukan Galih kalau sudah begini? Dia bahkan tidak tega melengkapi kalimat yang baru saja ia ucapkan.

Ratna saat ini hanya mengenakan kaus milik Galih, tanpa apa-apa lagi. Kerudung sudah dilepas, baju dan celana sedang berusaha dikeringkan di jemuran, dalaman juga. Gadis itu baru saja kembali dari kamar mandi untuk bersih-bersih dan keramas setelah tadi hujan-hujanan. Pakaian-pakaian itu tentu saja tidak akan kering dalam beberapa jam, bahkan besok juga belum tentu kering. Itu yang membuat Galih kebingungan.

“Malah bengong... lanjutin ngomongnya! Kita sudah apa!?” Ratna menatap Galih dengan pandangan sendu, matanya berkaca-kaca. Pandangan kesedihan yang Galih tahu juga ia miliki. Bagaimana mungkin ia menyakiti seseorang yang seindah ini?

“Nggak. Nggak jadi... sini, kamu duduk di sini saja.”

Galih berdiri dan menyingkir dari kasurnya. Ia memilih duduk di dekat sekat antar bilik. “Nanti kalau Mas Agus datang, kamu pakai selimut itu.” Lanjut Galih sambil menunjuk selimut bergaris yang ada di sisi kaki kasur.

Ratna menurut saja. Gadis itu duduk, dan memilih di pojokan. Ia terdiam dan menundukkan kepala.

Ini bukan kali pertama Galih melihat Ratna tanpa kerudungnya, tapi dia masih tetap saja terpesona melihat mantan kekasihnya itu. Apalagi sekarang dia terlihat amat menggairahkan. Paha mulus, kaki jenjang, dan wajah imut menawan. Duh Ratna, kenapa harus seksi banget sih kamu? Bahaya juga kalau begini terus. Galih kan juga laki-laki biasa yang kalau disuguhi pemandangan indah pasti bereaksi.

Wayahe wayahe...

Eh, bukan! Wayahe apaan! Tahan diri! Jaga hasrat!

“Apa?” tanya Ratna merasa risih Galih menatapnya tak berkedip.

“Eh... ehm... rambut kamu... bagus kalau panjang begitu.” Kata Galih yang memang tidak bohong, Ratna terlihat lebih manis dengan rambut panjang selengan. Saat terakhir kali berpacaran dengan Galih, rambut Ratna masih sebahu. “Cantik.”

Ratna tersipu.

“Makasih.” Ratna menyampingkan rambut panjangnya ke bahu. “Kamu suka, Mas?”

Galih duduk agak jauh dari Ratna. Dia tidak ingin tergoda. Tidak ingin tergoda. Tidak ingin tergoda. Galih mengangguk. Jujur ia memang suka.

Fokus. Fokus, Lih.

“Kenapa kamu datang kemari?”

“Kamu tidak suka aku datang?”

“Bukan begitu, Dek. Ini bukan masalah suka atau tidak suka.”

“Aku datang sendiri kok, ga ada yang nganterin dan ga ada yang maksain. Aku bebas datang dan pergi kemana aku mau.”

Duh anak ini. “Ya ga bisa begitu juga, kan. Kamu kabur?”

Ratna menunduk, tidak menjawab.

“Dek... ini ga baik...”

“Jadi kamu ga kangen sama sekali sama aku? Padahal aku kangen setengah mati sama kamu.”

Hati Galih berdegup amat kencang, bagaimana mungkin ia tidak rindu pada makhluk seindah ini? Bagaimana mungkin ia tidak merasa kehilangan Ratna - Kekasihnya tercinta yang sudah melalui manis pahitnya kehidupan sejak SMA dan masa kuliah?

“Kamu tahu betapa hancurnya perasaanku saat tidak bisa bertemu dengan wanita yang paling aku...” kata Galih lirih, hampir seperti berbisik. Kalimatnya tidak selesai, terpotong di tengah jalan. Ia berhenti saat menatap wajah Ratna.

Wajah gadis itu berubah, tubuhnya menggigil seperti menahan diri agar tangisnya tidak tumpah.

“Dek... kamu kan tahu sendiri bagaimana tempo hari Papa kamu mengusir aku saat aku datang menunjukkan keseriusan dan niat melamar. Beliau bilang kamu sudah dijodohkan, dan aku tidak boleh datang lagi menemui kamu. Karena...” Galih menunduk. “...karena sebentar lagi kamu akan dilamar orang lain.”

Ratna merengut, “udah? Jadi udah kita gitu aja?”

“Maksudnya?”

“Kamu sama sekali ga mau berjuang demi aku?”

“Berjuang?”

“Kamu ga mau berjuang dengan cara apapun untuk mendapatkan aku? Berjuang dan berusaha di hadapan Papa? Kamu tidak ingin mengatakan bahwa kita saling cinta sejak lama dan...”

“Aku sudah mengatakannya!”

“...dan bahwa kita tidak bisa dipisahkan begitu saja.”

Hadeh. Galih menelan ludah yang terasa begitu pahit. “Beberapa hari ini aku sibuk berpikir, dan mungkin Papamu ada benarnya. Intinya adalah...” berat Galih mengatakan ini, “aku hanya ingin melihat kamu bahagia. Itu saja.”

Ratna menatap Galih dengan pandangan ketus.

“Dek... coba lihat keadaanku sekarang. Kita realistis saja. Kapan aku bisa bikin kamu bahagia kalau kondisiku saja hanya seperti ini! Aku juga tida ktahu sampai entah kapan aku akan seperti ini. Aku sudah berusaha keras mencari pekerjaan tapi batas kemampuanku baru sampai segini. Kalau kita lanjut, aku bakal kasih kamu makan apa? Kamu tidak akan bahagia.”

“Jadi... kalau kamu melepaskan aku demi laki-laki yang tidak aku kenal, aku akan bahagia? Begitu? Karena... karena aku tidak akan merasakan hidup serba terbatas seperti ini?”

“Iya.”

Ratna menggelengkan kepala, air matanya meleleh, “egois kamu!!”

Galih menunduk lebih dalam, sampai-sampai ia membenamkan kepala di antara lutut.

“Kamu sudah kenal aku, Mas. Sudah berapa tahun kita pacaran? Kamu sudah tahu bagaimana aku tidak pernah sekalipun mempermasalahkan kondisi kamu. Kalau kamu berpikir uang adalah segalanya... picik banget kamu, Mas. Aku tahu bagaimana bahagia yang aku harapkan. Aku tahu bagaimana bahagia yang aku inginkan. Aku tahu bagaimana aku bisa bahagia, dan itu semua kalau kamu ada di sisi aku! Bukan sama orang lain! Aku tuh sayang banget sama kamu, Mas!”

“Kamu juga tahu aku sayang banget sama kamu...”

“Tapi apa ini? Kenapa kamu lantas mencampakkan aku seperti ini?”

Galih menengadah dan menatap langit-langit, “Dek... aku tidak mencampakkan kamu, aku hanya berharap kamu bisa bahagia kalau menikah dengan orang yang lebih pantas. Yang lebih bisa menjamin masa depan kamu. Yang tidak akan membawa kamu hidup susah. Ini semua demi masa depan kamu.”

“Perjuangkan aku, Mas. Aku ingin nikah sama kamu... hanya sama kamu...”

“Tidak ada artinya sebuah pernikahan tanpa restu orang tua. Itu adalah hal yang paling penting yang harus kita lakukan untuk membalas budi orang yang telah membesarkan kita. Kita tidak bisa kabur begitu saja dan membuat mereka bersedih. Orang tua selalu tahu yang terbaik untuk anaknya. Kita mungkin tidak bisa bersama... tapi aku benar-benar berharap kelak kamu akan bahagia...”

“Aku hanya bahagia sama kamu...”

Duh. Gimana ini. “Aku juga bahagia sama kamu... tapi aku tidak ingin melawan orang tua kamu. Aku tidak ingin kamu jadi anak yang durhaka. Cobalah berusaha membahagiakan mereka, maka aku juga akan bahagia untukmu.”

Ratna menggeleng, “Hamilin aku, Mas. Itu satu-satunya jalan supaya kita dapat bersama.”

Ya Tuhan.

“Sekarang kamu yang tidak masuk akal, Dek. Apakah kamu pikir dengan hamil masalah kita selesai? Bayangkan jika kamu nanti malah diusir, kamu akan dapat biaya persalinan dari mana? Biaya perawatan bulanan dari mana? Bayangkan jika anak itu lahir, akan dikasih makan apa dia? Aku bisa apa? Bagaimana kita beli susunya? Biaya sekolahnya?”

Ratna menggelengkan kepala, dia tidak mau dengar dan tidak mau tahu. Hanya satu yang harus ia lakukan. Sekarang atau tidak sama sekali!

Tiba-tiba saja Ratna melepas kaus yang ia kenakan dan berbaring di kasur pemuda itu!

Telanjang bulat!

“Mas, aku sudah siap.”

Galih tentu kaget sekaget-kagetnya! Bola matanya hampir melompat keluar. Ia pun berjalan terduduk dan mundur ke belakang dengan cepat. “Dek!!! Apa-apaan sih kamu!! Cepat pakai kembali sebelum...”

Tiba-tiba terdengar pintu depan dibuka. “Lih?”

Itu suara Mas Agus!!

Gawat...! Ini gawat...! Ini gawat...!

Galih berdiri sambil menunjuk ke arah selimut yang langsung diiyakan oleh Ratna dengan anggukan kepala. Gadis itupun menarik selimut sampai ke leher untuk menutupi ketelanjangannya.

Galih pun buru-buru lari ke pintu depan sebelum Mas Agus...

Eh?

Agus ternyata duduk di luar. Bukan hendak masuk ke dalam. Jangan-jangan dia sudah dari tadi di situ?

“Mas?”

“Ini ada gorengan, tawarin ke cewek kamu kalau mau makan.” Kata Agus sambil menyerahkan sebungkus ubi yang ternyata sudah digoreng. Entah kapan dan dimana ia memasaknya.

“Te... terima kasih, Mas.”

“Santai wae.” Agus tidak bergeming dari kursinya, masih menatap hujan yang enggan reda. Adem sekali rasanya hari ini. “Tadi sepatu cewekmu sudah aku masukin ke rak yang di samping pintu, ya. Kalau-kalau dia nyariin. Kalau di luar takutnya ada yang lihat sepatu cewek dan bertanya-tanya.”

Ya ampun, sampe segitunya Mas Agus. “Mas... aku... ada dia... di dalam... kami...”

“Udah ga usah dijelasin, aku wes paham. Aku yo wes tau enom kok. Pernah muda. Jadi aku percaya sama kamu. Sudah, sana selesaikan dulu masalahmu. Temenin dia dulu. Aku nongkrong di pos aja, yo. Nanti aku paling tidur di tempatnya Kang Ibing sekalian nonton bola.” Kata Agus sambil menepuk pundak Galih. “Lakukan apa yang harus kamu lakukan, dan pastikan itu memang yang terbaik.”

Laki-laki unik yang menjadi kawan kontrakan Galih itupun berlalu sembari bersiul senang, berjalan menuju pos ronda sambil membawa payung. Langit belum kembali terang, dan petir masih terus menyambar.

Alamat lama nih hujan. Hujan yang membuat jemuran susah kering. Kapan ya baju Ratna kering?

Ratna... yang sekarang tidak mengenakan apapun di dalam sana.

Galih meneguk ludah.

Apa yang harus dilakukannya?

Dia juga laki-laki biasa.



.::..::..::..::.



.:: BERTAHUN-TAHUN YANG LALU



“Ba... bagaimana, Mas?”

“Udah, udah aku beresin semua, kamu tenang aja. Mereka sudah pergi.” Arman Kamal tersenyum dan menepuk pundak Sasongko Salim yang masih gemetar karena ketakutan. “Sampai kayak gini kamu, Sas. Dibikin santai saja. Tidak apa-apa, semua berjalan dengan lancar, semua sudah aku bereskan, dan proyek kamu bakal jalan terus. Pokoknya yakin aja, semua pasti berjalan dengan baik.”

“Yakin, Mas?”

“Yakin lah. Siapa dulu? Arman! Heheh...”

Sasongko duduk dengan lega di kursi rotan yang ada di halaman belakang rumah kawan baiknya itu. Nafasnya yang tadinya tersengal-sengal kini mulai normal kembali. Betapa leganya dia. Hanya dalam waktu singkat, teman karibnya ternyata bisa menyelesaikan semua permasalahan yang setengah mati ia hadapi sepanjang tahun. Bayangkan saja, jika Mas Arman tidak turun tangan, maka dia malam ini sudah harus mendekam di bui karena tersangkut masalah hutang yang tak kunjung usai.

“Orang-orang itu sudah pergi, aku sudah meyakinkan mereka dengan menunjukkan buku tabunganku dan menyerahkan sertifikat tanah untuk jadi jaminan. Debt collector dan polisi yang datang, galak-galak semua lima orang. Mesti dikasih duit pelicin juga tadi baru mereka mau pergi.” Kata Arman kemudian.

“Haahh? Ada polisi juga, Mas?”

“Ada. Mungkin karena pinjamanmu sangat besar dan uang yang masuk ke rekening bank mereka sama sekali nol. Tenggat waktunya sudah telat banget.”

Sasongko luruh ke bawah, bersimpuh di kaki Arman. “Terima kasih banyak, Mas. Terima kasih, banyak... aku ga bisa ngomong apa-apa lagi, Mas. Sungguh... aku akan kembalikan semuanya. Semua pengorbanan Mas Arman... sertifikat apapun yang mereka bawa akan aku ambil, Mas. Akan aku kembalikan. Itu janjiku.”

“Eeeeehh! Apa-apaan ini? Sas! Geli aku! Udah berdiri! Berdiri! BERDIRI!”

Meski berdiri, air mata Sasongko tetap leleh di depan pria yang telah mengorbankan banyak hal demi dirinya itu. “Aku ga tau lagi harus gimana membalas semua kebaikan Mas Arman ini, tapi pasti akan kubalas.”

“Bolas balas bolas balas apaan. Udah, ah. Itu minum dulu tehnya. Kita ini temenan udah kayak apa. Susah senang sudah kita lalui bersama. Kamu itu udah aku anggap adik sendiri, Sas. Jangan pernah menganggap apa yang aku lakuin ini pengorbanan. Kamu juga pasti akan melakukan hal yang sama kalau aku yang terkena masalah.” Arman menepuk-nepuk pundak Sasongko yang masih melelehkan air matanya. “Sekarang kamu minum dulu ya, biar tenang.”

“Iya Mas...” Sasongko menunduk lemas dan kembali duduk di kursi rotan. Ia menyesal sekali. Gara-gara kesalahan yang ia buat, Mas Arman harus merelakan sertifikat tanahnya menjadi jaminan. Betapa berat beban yang harus ia tanggung ini. Sasongko berjanji pada diri sendiri, ia harus jadi orang sukses untuk mengembalikan semua kebaikan Mas Arman ini. Pasti! Semua akan ia kembalikan! Berlipat ganda! Ia tidak akan melupakan budi baik Mas Arman!

“Aku masuk dulu, Sas. Mau mandi. Kamu di sini dulu saja. Telepon istrimu biar datang menjemput, suruh pakai taksi biar anakmu juga bisa ikut. Nanti aku yang bayar. Oh iya, kalau menelepon istrimu, minta tolong bawain baju sekalian, kamu mandi di sini saja.” kata Arman sambil tersenyum. “Itu si Anya pengen jalan-jalan ke taman bermain, gimana kalau kita relaksasi saja hari ini, Sas? Kita ajak anak istri jalan-jalan ke pantai dan menginap di hotel malam ini.”

“Ya Allah, Mas. Sungguh... aku ga sanggup...”

Haish. Sudah ah. Aku masuk dulu.”

“Iya Mas...”

Arman pun masuk ke dalam rumah, meninggalkan Sasongko di teras halaman belakang, menatap luasnya taman milik sang sahabat. Taman hijau dengan pohon rindang, rumput subur terawat dan burung berkicau di sangkar.

Pemandangan yang menyejukkan dan mendinginkan perasaannya yang tengah gundah gulana. Saat sudah merasa sedikit tenang barulah Sasongko menyadari betapa hijau dan asrinya halaman belakang rumah Mas Arman ini. Rumput hijau membentang, pohon di kanan kiri, tanaman yang ditata rapi, area permainan anak yang bersih, sungguh rumah ideal.

Sasongko melihat sosok putri Arman sedang bermain-main di perosotan.

Terbersit sebuah ide di benak Sasongko.

“Anyaaa! Sini, Nak! Om mau ngobrol bentar.”

Anya yang tadinya bermain-main di taman berlari kecil mendekat ke arah Sasongko dan duduk di pangkuannya. Bocah berusia tujuh tahun itu sudah sangat sering bertemu dengan Sasongko dan menganggap laki-laki itu sebagai keluarga sendiri, begitupun sebaliknya.

“Anya... Om mau pesan sesuatu ke Anya. Anya ingat baik-baik ya pesan Om ini, kalau perlu ditulis di kertas. Tapi ingat! Pesan Om ini cuma buat Anya, yang lain jangan sampai tahu. Jangan Ayah, jangan Bunda, jangan Adik juga. Pokoknya ini rahasia kita berdua.”

“Wah, pesan rahasia ya, Om?”

“Anak pinter. Anya, besok kalau kamu sudah gede, kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja ke Om Sasongko. Om akan bantu kamu sekuat tenaga... sebagai balas budi Om karena Ayah Anya sudah berjasa besar buat Om. Tanpa Ayah, Om tidak akan dapat duduk di sini sama Anya. Om tidak akan bisa berkumpul kembali dengan keluarga Om. Sungguh Om tidak tahu bagaimana membalas budi ayahmu. Jadi janji ya, kalau sudah besar nanti, kalau Anya butuh bantuan. Apapun itu, kapanpun itu, Om akan bantu.”

“Oke, Om. Kalau sudah besar ya, Om?” Anya sebenarnya tidak paham apa yang sedang disampaikan Om Sasongko. Yang penting iya aja.

“Iya. Anya. Ingat baik-baik janji ini, ya. Jangan lupa datang ke Om kalau kamu butuh apa-apa. Pasti akan Om bantu. Janji sama Om, ya.”

“Janji, Om.”

Anya dan Sasongko mengaitkan jari kelingking mereka tanda perjanjian telah diikat.

Arman yang datang beberapa saat kemudian meringis melihat tindakan Sasongko dan anaknya ini. “Hayo, kalian melakukan perjanjian apa nih. Jadi curiga Ayah.”

Anya dan Sasongko tertawa. Keduanya sama-sama meletakkan jari telunjuk di mulut.

“Pokoknya rahasia, Ayah tidak boleh tahu.”

“Duh, pakai rahasia-rahasia segala. Oke... oke...”



.::..::..::..::.



.:: SEKARANG



Hotel Marisol adalah hotel bintang empat yang cukup populer di kawasan kota. Pelayanan ramah, kamar nyaman, makanan enak, dan suasana aman. Hotel ini adalah salah satu hotel yang cukup digemari oleh banyak turis dan pelancong karena lokasinya benar-benar tepat di tengah kota, tak jauh dari stasiun dan hanya beberapa menit dari pusat keramaian. Namun karena lokasinya pula, Hotel Marisol juga populer untuk tujuan lain – misalnya bagi PNS-PNS yang datang bukan dengan pasangan sahnya.

Pak Sasongko berbaring di tempat tidur Hotel Marisol ditemani lampu yang temaram. Kamar ini berada di lantai empat, dengan pemandangan kota yang mulai larut dalam kehidupan malam di luar sana. Laki-laki tua itu sudah memesan kamar ini untuk semalam, dengan opsi sarapan besok pagi. Ia memang sedang ingin bersantai tanpa diganggu siapapun.

Namun fokus Pak Sasongko bukan ke suasana hotel yang menyenangkan.

Karena saat itu di hadapan sang laki-laki tua, berdiri seorang wanita yang sangat cantik berkerudung yang menatap Pak Sas dengan pandangan mata binal. Usia gadis itu sekitar 20-an, tubuhnya semampai, dadanya montok, dan pantatnya membulat indah. ia berpakaian seperti seorang pegawai kantor dengan baju blazer seragamnya. Di balik blazer itu dikenakan baju kemeja yang teramat ketat yang gagal menyembunyikan lekuk tubuhnya lebih berkelok dibandingkan sirkuit Sepang.

“Sudah siap, Om?” tanya Anya sembari melepas blazer, meletakkannya di kursi dan dilanjutkan dengan membuka kancing bajunya satu demi satu. “Waktuku tidak banyak.”

“Tentu saja. Kalo Om kapan aja pasti siap. Sini duduk dekat Om.”

Anya menurut, setelah membuka bajunya Ia mendekat ke arah Pak Sas dan duduk disebelahnya, bersandar di bantal. Si cantik itu kini hanya tinggal mengenakan bawahan, kerudung dan beha saja. Sungguh pemandangan yang amat seksi sekali. Pak Sasongko meneguk ludah karena nafsu birahinya langsung menyala-nyala melihat kemolekan dan keindahan Anya.

Bagi pria tua yang sudah sangat bernafsu itu, keindahan gadis ini benar-benar salah satu dari keajaiban dunia. Tidak ada makhluk seindah ini yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Wajahnya, tubuhnya, wanginya, seksinya, pandangan matanya, semuanya menyaratkan keelokan erotis yang membuat jakunnya naik turun tak terkendali.

Pak Sasongko pun mendekatkan kepalanya ke arah gadis itu. “Aku selalu terpesona melihat kecantikanmu, sayang. Selamanya kamu akan menjadi gadis paling cantik di hati aku.”

Anya tidak menjawab, namun bibir moleknya yang merekah sudah terbuka, lalu dengan perlahan-lahan ia mendekatkan bibirnya untuk mencium bibir laki-laki tua yang lebih pantas menjadi ayahnya itu tanpa merasa jijik sedikitpun.

Bibir keduanya bertemu, saling menuntut, saling memuja, saling berpadu. Lidah Anya keluar untuk kemudian dioleskannya ke bibir Pak Sas, begitu juga sebaliknya. Lidah lihai Pak Sasongko bergerak liar untuk menjilat seluruh bibir penuh Anya, bibir indah yang membuat seorang laki-laki tak bosan-bosannya mencium dan menikmatinya. Oh Anya, kenapa bibir kamu begini menggairahkan?

Sambil berciuman, tangan Pak Sas bergerak lincah ke bagian belakang tubuh Anya dan dengan cekatan melepas tali pengikat beha.

Buah dada sekal milik Anya pun terbebas, dan tangan gemuk nakal milik Pak Sas beraksi, ia meremas-remas buah dada Anya. Kadang dicengkeramnya karena gemas, namun itupun tak sanggup dilakukan karena ukuran dada Anya memang cukup besar sehingga jemari gemuknya tak mampu menangkupnya utuh.

Pak Sas sudah tidak tahan. Kepalanya turun ke bawah, ke dada Anya. Bibir laki-laki tua itu sesekali menjilat puting susu sang dewi pujaan, dipilin, diputar-putar, dijilat. Satu, dua, kanan, kiri. Pilin lagi, putar lagi, jilat lagi.

Anya melenguh berulang karena keenakan.

“Enak kan, sayang?”

“Aaahhh....” erang Anya manja. Ia sendiri tak kuat menahan gejolak nafsu yang mulai mendera tubuh indahnya. Sedangkan Pak Sas tentu tak peduli apa yang saat ini dirasakan oleh si cantik itu, ia hanya terpaku pada buah dada Anya yang sentosa yang kini terpampang jelas di depan matanya. Remasan Pak Sas makin lama makin kencang, membuat Anya merasa sakit. “Oomm... pelan-pelan sedikit. Sakit...”

Pak Sas masih tidak peduli, ia terus saja meremas dan meremas dan meremas dan meremas.

“Om... sakit...” kali ini Anya memegang lengan Pak Sas yang lantas tersadar.

“Ough, iya... aku kelepasan... salah susu kamu juga nih. Montok... empuk...”

“Iya. Boleh... tapi jangan terlalu kencang...”

Pak Sasongko tersenyum, ia mengecup bibir Anya dan mengangguk, “Baiklah, sayang.”

Meski laki-laki tua itu kembali meremas buah dada Anya, namun ia sekarang melakukannya dengan lebih lembut dan perlahan. Remasan yang membuat Anya kini mengerang keenakan. Birahinya mulai meningkat, dengan berani Anya melepas celana luar dan celana dalam yang dikenakan oleh Pak Sasongko sehingga pria tua itu kini telanjang di bagian bawah.

Pak Sas menggemari susu, apalagi susu yang menempel di dada wanita secantik Anya ini, jelas gadis itu bukan yang wanita cantik pertama yang ia nikmati dada indahnya, sudah puluhan gadis pernah ia rasakan. Tapi tidak ada yang seperti Anya. Dadanya teramat montok, empuk dan nyaman diremas. Ukurannya pas tanpa terlalu besar hingga berkesan menjijikkan. Pak Sas meremasnya terus menerus selama beberapa saat, kadang kencang, kadang lembut, kadang tak beraturan. Tapi semuanya membuat Anya merem melek keenakan, mungkin ada beberapa kali si cantik itu mengeluarkan suara erangan kenikmatan.

Tiba-tiba terdengar bunyi lonceng dari smartphone milik Anya. Suara itu agak mengagetkan namun tak sampai membuat Pak Sas hilang feeling, ia masih konsen dengan buah dada sang bidadari. Berbanding terbalik dengan Anya yang sesekali melirik ke arah jam.

Pak Sas bukannya tidak sadar, ia pun bertanya, “Kenapa? Ada yang mencarimu?”

Anya diam, ia masih beberapa kali kali melihat jam dan terlihat gelisah.

Namun lama kelamaan ia berusaha untuk tidak menunjukkannya pada pria berperut buncit yang sedang ia layani. Pandangan si cantik itu kembali ke penis Pak Sas. Batang kemaluan laki-laki itu tidak besar, tapi juga tidak teramat kecil. Keriput dan baunya kadang membuat Anya muak. Namun ia harus melakukan apa yang harus ia lakukan, sungguh beruntung ia tak perlu repot membuat penis itu berdiri, karena dipegang lembut saja sudah menegang. Perlahan, Anya memegang batang kemaluan Pak Sas dan menggerakkan jemarinya dengan lembut.

Naik, turun. Naik, turun. Naik, turun.

“Ahhhh... enak banget Anyaaa....” Pak Sasongko memejamkan mata dan berusaha menahan diri agar tidak terburu-buru mengeluarkan cairan cintanya. Tapi ini benar-benar luar biasa dan ia tak tahan lagi!

“Enak, Om?”

“Enak bangeet... Om kamu apain ini?” kembali pria tua itu melenguh berulang, ia juga tidak tinggal diam dan lanjut meremas-remas buah dada Anya yang kenyal dan montok itu.

Dengan gerakan yang sedikit demi sedikit makin cepat, Anya mengocok batang penis Pak Sasongko yang kini makin basah.

“Anyaaaa!!” Pak Sasongko melenguh keenakan dengan mata merem melek.

Melihat lawan mainnya pasrah, Anya makin laju. Dengan cekatan ia menggerakkan jemarinya naik turun di batang kejantanan sang laki-laki tua yang lebih pantas menjadi ayahnya itu. Gerakan simultan yang dilakukan oleh Anya makin lama makin cepat – antara ingin cepat mengakhiri tapi juga penasaran. Sudah cukup lama ia mengocok penis Pak Sas, namun belum ada tanda-tanda orang tua itu masuk ke masa-masa klimaksnya.

“Terus sayang... terussss.... enaaaakghhh!!”

Anya tahu ia tidak bisa melakukan ini terus sampai malam tiba. Ia mendekatkan kepalanya ke batang penis keriput yang mengencang tegak itu. Pak Sas menyadari apa yang hendak dilakukan oleh sang bidadari berkerudung yang cantiknya membuat penisnya menegang itu.

“Yaaaaa... diemut kontolku, sayaaaang... ayo sayaaaang!!

Kepala Anya menunduk, ia menutup mata dan membuka mulut. Lidahnya dikeluarkan dan ia pun mulai bermain di batang kemaluan sang laki-laki tua yang langsung merem melek keenakan.

Jarak usia mereka yang sangat jauh membuat pemandangan Anya menyepong Pak Sasongko ini amat erotis. Erotis setidaknya bagi sang laki-laki tua yang bahagia penisnya dapat menerima kenikmatan luar biasa dari seorang wanita yang cantik dan seksinya juga luar biasa.

Anya mencium ujung gundul kepala kemaluan Pak Sasongko, ia menjilat belahan di atas dan perlahan-lahan turun ke bawah sambil tak lupa menggerakkan tangannya untuk terus mengocok batang kemaluan itu. Lalu dengan berani Anya menangkup ujung gundul kemaluan Pak Sas dengan mulutnya. Hnggh... bukan batang kemaluan yang sedap, tapi selama Pak Sas merasa nyaman, Anya tidak menghentikan sepongannya.

Sssrrrppp... srrrp... srrpp...

Suara jilatan lidah Anya pada batang kemaluan Pak Sas making keras dan makin basah. Kepala indah gadis berkerudung itu maju mundur sembari menarik dan mendorong batang kejantanan Pak Sasongko ke dalam mulutnya.

“Aaahhh, duuuuuuh, bangsaaat, enak bangeeeet. Kamu pinteeeer, sayaaaang.” Pak Sas menekan kepala Anya agar semakin dalam menghisap batang kejantanannya.

Sssrrrppp... srrrp... srrpp...

Suara hisapan mulut Anya yang dijajah oleh penis Pak Sasongko terdengar bagaikan lorong vakum yang menarik sebuah tiang raksasa. Laki-laki tua itu berulang kali menyebarkan senyumnya, sungguh beruntung ia dapat menikmati nyamannya disepong oleh seorang bidadari seperti Anya. Sungguh rasanya tiada banding.

“Aaahhh... aku mau keluaaar... sayaaaaaang...”

Sssrrrppp... srrrp... srrpp...

“Ahmmm... tidak aph.... apha...” kata Anya.

Srrrpp... srrppp..

“Aaahhh... beneraaan ini... aku mau keluaaar... sayaaaaaang...” Pak Sas makin tak kuat, ia mengerang dengan kuat. Dengan terburu-buru Anya pun berusaha melepas batang kejantanan pria tua itu dari mulutnya, namun...

Srrrrrttt... srrtt... srrtt... srrrrtt...

Pak Sasongko mencapai puncaknya dan menembakkan cairan kental beberapa kali di wajah Anya. Cairan cintanya tersebar kemana-mana, entah itu di hijab yang dikenakan oleh Anya, pakaian kerjanya, seprei hotel, karpet, dan entah kemana lagi. Tentu sebagian cairan kental itu juga masuk ke mulut Anya dan gadis cantik itu dengan terpaksa menelannya.

“Ahhh... enak banget, Anya. Wah, maaf wajahnya kena ya, jadi muncrat kemana-mana...” suara laki-laki tua itu tersengal-sengal karena kehabisan napas. Ia baru sadar kalau spermanya meluncur tanpa arah, bertebaran tanpa bisa dicegah.

“Tidak apa-apa.” Kata Anya tanpa ekspresi.

“Luar biasa, bisa banget kamu nyepong, sayang. Puas banget Om.” Pak Sasongko mengambil tissue untuk membersihkan batang kemaluannya sendiri. “Anya... Anya... kamu itu udah cantik, seksi pula. Om sayang banget sama kamu.” Lanjut pria tua itu dengan tulus. Ya iya tulus, karena baru saja dapat blowjob. Dasar kampret.

Kali ini Anya tidak menjawab. Ia hanya diam.

Laki-laki tua pemilik perusahaan property yang sangat besar dan populer itu puas melihat wajah Anya masih belepotan spermanya. Cewek ini luar biasa, bisa memuaskannya hanya dengan BJ saja, sebenarnya Pak Sasongko jarang bisa puas hanya dengan blowjob, tapi karena didukung wajah cantik yang bikin sange membuat semuanya jadi berbeda.

“Sayang juga kalo yang barusan ga diterusin. Perlu berapa buat diterusin sekarang? Kamu selalu mengelak kalau aku meminta lebih.”

Anya tetap terdiam seribu bahasa. Dengan tenang si cantik itu mengambil tissue dan membersihkan semua air mani yang membasahi wajah, kerudung, pakaian dan tempat-tempat lain. Orang ini benar-benar menghamburkan semuanya dengan asal.

Wajah puas Pak Sas bercampur dengan perasaan lega karena telah mencapai klimaks, namun rasa penasarannya justru memuncak karena Anya menolak melayani lebih jauh lagi.

“Anya. Bagaimana penawaranku, sayang? Perlu berapa lagi buat nambah lebih?”

Anya masih terdiam. Tapi ia sudah mulai berdiri dan masuk ke kamar mandi untuk berbenah, berapapun penawaran dari orang tua yang baru saja ia kulum penisnya itu, Anya sepertinya tidak tertarik. Ia lebih memilih untuk bersih-bersih, mengenakan kembali pakaiannya, dan siap-siap meninggalkan ruangan ini.

“Kok diem aja, sayang?”

Pak Sas akhirnya membersihkan batang kejantanannya dan kembali berbaring dengan santai, penisnya yang keriput kini lunglai tergeletak di pahanya. Tak berkutik, lemas. Tak lagi menuntut banyak hal. Pria tua itu menatap layar televisi dengan pandangan mata kosong. Ia masih penasaran dengan tubuh dan keseksian Anya. Tapi sepertinya tidak ada harapan.

Tak sampai lima menit, Anya akhirnya keluar dari kamar mandi, sudah lengkap dan siap untuk pergi.

“Saya pulang dulu, Om. Maaf hari ini saya buru-buru, karena ada yang harus saya kerjakan. Lain kali kalau butuh saya lebih lama, pastikan bayarnya juga lebih. Kalau mau tambahan bisa, tapi kena extra charge dan pembayaran harus dilakukan di awal. Bisa menghubungi saya lagi kapan-kapan tapi syarat dan ketentuan berlaku. Seperti biasa, kalau saya memang sedang tidak ada jadwal, akan saya hubungi balik – kalau saya tidak membalas, itu artinya saya tidak ada waktu. Terima kasih untuk hari ini, Om.”

“Mau kemana sih kamu? Ayolah, tetaplah di sini, bermalamlah di sini bersamaku. Aku sudah menyewa tempat ini supaya kita bisa berbulan madu.”

Anya tidak menjawab.

“Anya, kalau kamu menemui pelanggan lain, Om bersedia bayar dua kali lipat untuk tetap di sini. Tapi jangan tinggalin Om penasaran seperti ini, sayang.”

Anya masih tidak menjawab. Tapi ia kemudian berhenti sebelum melangkah ke pintu, dan berbalik untuk menatap Pak Sasongko dengan pandangan yang tidak bisa ditangkap oleh sang laki-laki tua.

Suara gadis itu terdengar tegas.

“Saya sebenarnya tidak ada kewajiban untuk menjawab pertanyaan Om. Tapi supaya Om tidak salah sangka, saya jelaskan saja. Saya tidak menemui pelanggan atau klien atau siapapun seperti yang Om kira, saya begini hanya sama Om saja, tidak dengan yang lain. Saya bukan wanita panggilan. Saya buru-buru pergi karena memang saya ada urusan penting yang harus saya kerjakan. Sekali lagi, kalau memang Om butuh pelayanan lebih atau jam tambahan, silahkan bayar di muka, karena waktu saya terbatas. Begitu ya, Om. Saya pergi dulu.”

Pak Sas terbatuk kecil saat mendengar jawaban Anya, ia hendak turun dari tempat tidur untuk mengejar bidadari berkerudung itu tapi Anya sudah terlanjur membuka pintu dan melangkah keluar kamar hotel. Pak Sasongko yang telanjang, tentunya tidak berani mengejar keluar. Ia hanya dapat pasrah sampai pintu kembali ditutup.

Pak Sas berbaring kembali di ruangan itu sambil terdiam seribu bahasa, termenung dalam kekecewaan karena meragukan pelayanan si cantik tadi. Tapi mungkin lain kali ceritanya berbeda.

Ia berbisik pada dirinya sendiri.

“Lain kali pasti minta lebih, sayang. Pasti lebih.”

Tiba-tiba terdengar alunan suara musik klasik berbunyi, Canon in D.

Itu suara ponsel Pak Sasongko sedang menyala nyaring. Pak Sasongko mengambil smartphone-nya yang berada tidak jauh di atas meja di samping ranjang. Rupanya panggilan dari anaknya. Dibukanya layar dan ditekannya tombol dengan icon telepon berwarna hijau.

“Yaaa? Gimana... gimana?”

“Pah. Papa ada di mana?” terdengar suara dari ujung yang lain menanyakan posisi Pak Sasongko. Sebelum Pak Sas sempat menjawab, suara itu melanjutkan kembali. “Hari ini pulang tidak?”

“Aku sedang ada meeting dengan klien. Mudah-mudahan bisa pulang malam ini, kalau tidak selesai ya terpaksa pulang besok siang. Kenapa, Dil? Tidak ada masalah kan di rumah? Bagaimana kondisi Mama?”

“Mama sudah lebih membaik, Abdil barusan beliin obatnya. Cuma masuk angin sih kata dokter, tadi juga sudah masak lagi sama Mbok Yem. Ya sudah, kalau Papa nanti pulang. Mama nanyain terus. Janji ya, Pa.”

“Iya janji, pasti pulang kok. Baguslah kalau sudah membaik. Kalau butuh apa-apa bilang sama Papa, ya. Biar Papa transfer nanti.” Pak Sasongko menguap dan kembali berbaring. Wangi bantal di samping masih wangi parfum Anya. “Dil, kamu sendiri di mana? Ga jemput pacarmu sore ini?”

“Abdil baru mampir bentar di counter Apple, Pa, nyari hape buat ganti hape Abdil yang satu lagi, rusak ga ketolong. Anya sih tadi bilang ga usah dijemput, ada lembur sampai malam katanya. Kenapa emangnya, Pa?”

“Ga kok, Papa cuma nanya aja.”

“Oh ya udah. Gitu dulu ya, Pa.”

“Oke, Dil. Jaga diri. Jaga kesehatan, ati-ati kalo jalan.”

“Oke Pa.”

Klik.

Pak Sasongko meletakkan kembali smartphone-nya di meja samping. Lalu memeluk bantal yang masih meninggalkan wangi parfum Anya. Diciumnya bantal itu dan dibawanya tidur.

Meskipun kenyataan meniduri Anya tertunda, tapi setidaknya wanginya masih tertinggal.

Malam ini dia akan mimpi indah.



.::..::..::.



.:: KEMUDIAN



“Bagaimana kondisi ayah saya, suster?”

“Masih belum ada perkembangan, Mbak. Masih seperti kemarin. Mbak mau masuk?”

“Iya.”

“Oke, sebentar ya, saya tanyakan ke dokternya dulu apakah pasien bisa dikunjungi hari ini.”

“Baik, suster. Terima kasih.”

Anya berbalik dan duduk di kursi yang ada di seberang meja informasi ruang ICU Rumah Sakit xxx sembari menunggu suster melakukan panggilan telepon dengan dokter yang menangani ayahnya. Sambil duduk, Anya memainkan kertas bon pembayaran yang merupakan cicilan biaya perawatan, biaya dokter, biaya obat dan biaya lain-lain. Ia melirik sekali lagi ke arah bon itu, dan menarik nafas panjang saat melihat angka nol yang sangat banyak di bon pembayaran. Ia memasukkan bon itu ke dalam tasnya, diletakkan berdampingan dengan bon-bon lain yang sama-sama menunjukkan pembayaran rumah sakit.

Anya sepertinya tak perlu terlalu lama menunggu karena kemudian sang suster memanggil dan mempersilahkannya masuk.

Anya mengangguk dan tersenyum manis, ia pun berjalan menuju pintu ke arah bangsal ICU yang langsung dibukakan oleh seorang satpam. Setelah mengucapkan terima kasih, Anya pun masuk ke dalam.

Oh, betapa ia membenci ruang ICU. Anya berjalan lebih cepat karena tak ingin melihat suasana di ruang perawatan khusus itu.

Ada anak kecil di bawah tiga tahun yang membutuhkan bantuan alat pernafasan, ada orang tua yang terus menerus batuk, ada beberapa orang yang sepertinya sudah sekarat. Semua ini adalah pemandangan sama sekali tidak ia sukai – bukan hanya dia sih, rasanya memang tidak ada orang yang akan menyukai pemandangan seperti ini. Betapa hati kita akan hancur melihat orang yang kita sayangi dirawat begitu intensif di ruang ICU.

Intensive Care Unit di rumah sakit ini terdiri dari bilik terbuka untuk pasien biasa dan bilik berbentuk kamar tertutup untuk pasien VIP ataupun pasien karantina. Bilik-bilik itu didesain memutar dengan dokter dan suster jaga duduk di tengah pada sebuah meja melingkar. Ketika Anya masuk, ada seorang dokter di tengah yang langsung menengadah dan menatap Anya dengan pandangan asing. Anya pun langsung menunjuk ke ruangan ayahnya sambil tersenyum. Dokter itu akhirnya paham dan membalas senyumannya dengan anggukan.

Anya membuka pintu geser yang ada di bilik Pak Arman - ayahnya, dan masuk ke dalam. Gadis jelita itu berjalan perlahan dan akhirnya terhenti di samping pembaringan sang ayah.

“Sore, ayah. Ini Anya datang.”

Dalam heningnya, mata indah gadis cantik itu berkaca-kaca. Ia tidak pernah tega melihat banyaknya selang, kabel, dan peralatan yang menempel di tubuh sang ayah. Ia tidak pernah tega melihat ayahnya sudah sangat kesusahan bernafas, dadanya naik turun begitu berat.

Anya ingat betul kalau ini adalah orang yang sama yang dulu selalu menggendongnya kemana-mana, orang yang sama yang dulu selalu melindunginya, orang yang sama yang dulu selalu mengajaknya kemanapun ia mau, orang yang sama yang selalu membelikan barang apapun yang ia minta, orang yang sama yang berusaha kuat untuk keluarga saat Ibu Anya meninggal karena sakit keras. Ini adalah orang yang sama, yang telah membesarkannya dengan susah payah.

Suara elektrokardiograf atau ECG berbunyi patah-patah, mesin pendeteksi aktivitas detak jantung itu bagaikan musik mencekam sekaligus menenangkan. Mencekam karena suara itu mengingatkan bahwa mereka sedang berada di ruang ICU, menenangkan karena mesin yang dipasang itu menjadi indikator sang ayah masih memiliki harapan hidup. Harapan yang membuat Anya tidak pernah putus semangat.

Mata pria tua itu tertutup dan sepertinya tidak ada reaksi saat Anya mengelus-elus lengannya. Si cantik itu pun duduk di kursi yang tersedia di samping pembaringan sang ayah.

Jemari tangan Anya memegang lembut jemari ayahnya yang terkulai lemah, menggenggamnya pelan dan menciumnya. Sambil lanjut mengelus-elus jemari sang ayah, Anya kemudian bercerita. “Ayah... hari ini seru sekali, Anya banyak kegiatan di kantor dan dapat banyak rejeki...”

Belum sampai Anya menceritakan kisahnya, tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengejutkannya.

Jemari tua sang ayah yang lemah itu ternyata sanggup membalas elusan pelan jemari Anya yang menggenggamnya. Sangat pelan memang, namun sungguh amat berarti untuk Anya.

Air mata si cantik itu menetes di sela-sela senyumnya.

“Ayah... cepat sembuh ya. Anya kangen sama ayah... nanti Anya buatin sop yang lebih enak dari yang dulu. Anya tahu ayah dulu sakit perut tapi ditahan-tahan waktu makan sop bikinan Anya. Anya janji bakal lebih pintar masak demi ayah. Ayah sembuh ya...”

Anya menempelkan pipinya di punggung tangan sang ayah sementara air matanya terus meleleh.

“Ayah...”


.::..::..::.



.:: SEKARANG



Pak Jon meneguk ludahnya. Pemandangan di depannya tak biasa.

Ada Amy di sana, dara cantik idaman semua orang.

Anak buahnya yang sangat ia percaya.

Tapi ada yang berbeda.

Amy terbaring di atas sofa dengan blazer terlepas dan baju yang sudah terbuka. Buah dadanya yang ranum dan putih mulus memang masih terlindung beha berwarna biru pastel, namun itu tak mampu menahan kesempurnaan gundukan kenyal nan menggairahkan di sebalik penangkup payudara.

Pak Marjono sejenak mengagumi keindahan yang ada di depan mata. Amy – sang dara sempurna. Parasnya cantik, sikapnya baik, senyumnya selau terkembang, auranya selalu cerah, kulitnya putih mulus, dan tubuhnya indah. Tidak salah bukan kalau ia menyebut Amy sebagai sang idaman?

Wahai Amy, berapa banyaknya laki-laki yang sudah kau buat jatuh cinta padamu?

Berapa banyak pria yang sudah bertekuk lutut karena terpesona oleh indahmu?

Bahkan Pak Jon pun sebenarnya sudah sejak lama mengagumimu.

Betapa laki-laki tua itu sudah mendambakan dapat memeluk dan mengelus-elus mulusnya Amy sejak mereka pertama kali bersua di tempat kerja. Wangi tubuh sang dara selalu membuatnya tak sabar ingin memiliki tubuh moleknya.

Pak Jon menggerakkan jemarinya dengan nakal, menyusuri perut rata milik sang dara, dan menyelinap masuk ke bawah beha Amy. Ah... ini dia puting buah dada sang bidadari. Mungil, ranum, dan menggiurkan. Bodoh kalau pacarnya tidak pernah merasakan puting yang sedemikian menariknya ini. Menjorok keluar bak tutup odol. Jari jemarinya bergerak nakal, telunjuknya memainkan pentil itu, didorong ke kanan, ke kiri, ke kanan lagi, lalu ke kiri.

Duh imut banget sih ini pentil, meskipun belum kelihatan sudah bikin otong Pak Jon menegang.

Pak Jon beringsut mendekatkan wajahnya ke wajah Amy.

Cup.

Sekali kecup.

Ah. Lezat banget pipi si molek.

Pak Jon menyeringai dan menurunkan wajahnya sekali lagi.

Ia lalu mencium pipi dan mengecup seluruh bagian wajah sang dara. Hidung, dahi, kelopak mata, bibir, pipi, semua. Laki-laki tua itu lalu memeluk sang gadis jelita dan berbisik di telinganya yang masih bertutupkan kerudung.

“Neng cantik... sebentar lagi Bapak mau ngentotin kamu, boleh kan? Bapak janji Amy bakal ketagihan ngentot setelah memek Amy bapak puasin. Bapak bakal bikin kamu bahagia... sudah lama banget Bapak pengen ngentotin kamu, cantik.”

Amy tentu saja tidak dapat menjawab, karena dara jelita itu masih tidak sadar, satu-satunya pertanda masih ada kehidupan pada dirinya adalah dadanya yang masih naik turun saat gadis itu menarik dan mengeluarkan nafas.

Pak Jon sendiri saat ini kembali menjajah jengkal demi jengkal tubuh mulus Amy menggunakan jari-jari dan bibirnya yang tak lagi malu-malu. Kali ini Pak Jon mencium bibir merekah Amy, menciumnya dengan sekuat tenaga, mendorong bibir Amy agar terbuka. Lidah lentur laki-laki tua itu bergerak tanpa bisa ditahan, membuka celah di mulut sang dara. Memasukkan lidah yang mengular untuk dioleskan di bibir wanita cantik itu.

Amy mengerang tiba-tiba.

Ternyata di saat yang bersamaan kala bibirnya dijajah Pak Jon, buah dadanya yang sepenangkupan tangan juga ikut diremas-remas oleh laki-laki tua itu. Duh, payudara indah ini benar-benar bikin terangsang, siapa yang tidak tergoda melihat buah dada putih bersih tanpa cela seperti ini? Dengan kasar Pak Jon mencium buah dada Amy dan menahan diri agar tidak meninggalkan cupang di manapun, meski sebenarnya ia sangat tergoda untuk meninggalkan kenang-kenangan. Rangsangan beruntun membuat Amy mengerang tanpa sadar - mungkin ia merasakan kenikmatan dalam pingsannya.

Melihat Amy mengerang, bibir manyur Pak Jon maju untuk mengecup bibir si cantik itu. Ia mendekatkan kepalanya ke telinga Amy sekali lagi. “Ingat ya, habis ini kontol aku masuk ke memek kamu, Neng. Jangan bangun dulu... ini pasti enak banget....”

Pak Jon tidak melepas seluruh pakaian yang dikenakan oleh Amy. Ia hanya membuka baju, melepaskan kait beha agar lebih mudah beroperasi di bagian dada sang dewi dan menarik bawahan yang dipakai oleh gadis itu. Untung Amy saat ini hanya mengenakan kulot kantor berwarna biru tua yang mudah sekali dilucuti untuk menampakkan celana dalam yang juga berwarna biru pastel, senada dengan behanya.

Pak Jon tersenyum dan membatin dalam hati.

Duh lucu banget sih kamu, Neng. Pakai dalaman atas dan bawah yang matching warnanya. Imut banget. Jadi tambah pengen ngentotin kalau begini.

Pak Jon menarik turun celana dalam mungil yang dikenakan sang gadis jelita dan pada saat yang bersamaan terpukau dengan bibir menuju liang rahasia Amy yang masih begitu rapat dan berbentuk garis rapat. Ia juga kagum karena Amy merawat rambut kemaluannya dengan cukuran yang rapi. Memang wanita idaman semua pria.

Apalagi gundukan mungil berbelah tengah yang belum pernah disentuh oleh lelaki manapun di dunia yang ada di pangkal selangkangan sang dara.

Aduh aduh menggiurkan sekali. Coba bagaimana rasanya.

Pak Jon menggunakan jemarinya untuk memeriksa liang cinta Amy, membuka bibir kemaluan sang dara jelita dengan hati-hati, mengelus-elus pinggirannya, lalu menowel lengkung kecil di atas bibir liang cinta Amy.

“Mmmh…” desah lembut keluar dari bibir Amy yang kemudian menggelinjang.

Pak Jon makin senang, jari-jemari nakalnya kembali membuka paksa bibir surgawi milik sang dara jelita dan jari tengahnya kini bagaikan seorang raja yang sedang menerobos masuk ke kastil milik musuh yang baru saja ditaklukkan. Tak ada yang berani melawan. Jari tengah Pak Jon masuk ke dalam liang cinta hangat itu, masuk dan keluar, masuk dan keluar, berulang ulang.

Amy kembali melenguh kecil. Wajahnya mengernyit kesakitan meski matanya terpejam.

Kering.

Masih belum, sebentar lagi.

Sabar ya Neng, yang ini pasti lebih enak. Pak Jon mencari benjolan kecil di ujung atas bibir kemaluan sang dara jelita yang tadi sempat ia sentuh lembut dan saat menemukannya ia pun segera memainkannya dengan jari jemarinya.

Soal beginian Pak Jon tentu saja sudah sangat lihai.

Amy mengerang lagi, dan kali ini tubuhnya bergerak secara reflek. Bibirnya merekah membuka dengan seksi.

Harus dicium yang seperti ini.

Pak Jon turun agar kepalanya bisa sejajar dengan wajah Amy dan kembali mencium bibirnya. Aahhh, bibir merekah Amy memang juara, enak sekali dikulum. Bibir yang ranum yang membuat banyak pria memimpikannya. Pak Jon tahu, anak-anak di kantor sering membicarakan kemolekan Amy. Mereka menyesalkan keputusan gadis jelita itu yang akan segera menikah dengan Beno, karena dengan begitu mereka tidak lagi punya harapan untuk memiliki gadis itu.

Tapi harapan itu tidak diperlukan oleh Pak Jon, karena dia bebas mempermainkan tubuh indah Amy bagaimanapun dia mau, seperti apapun dia inginkan.

Seperti sekarang misalnya, dengan bebas, laki-laki tua itu dapat merasakan nikmatnya bibir Amy yang kalau sudah merekah sedikit, seluruh dunia tenggelam dalam pesona.

Pak Jon terus mengganggu Amy. Sementara bibir atas dicium, bibir di bawah mendapatkan rangsangan ampuh dari jemari lihai sang laki-laki tua cabul itu. Apakah masih kering? Pak Jon mencoba sekali lagi, ia memasukkan dua jemarinya ke dalam rongga cinta Amy. Tidak perlu terlalu dalam...

Ahh... ya sudah mulai basah ya? Ternyata kamu tetaplah seorang wanita biasa, bukanlah bidadari yang turun dari langit.

“Rapet banget, Neng. Bapak icip ya.” Bisik iblis tua itu sambil tersenyum dan mengecup kening Amy yang masih terpejam.

Pak Jon menarik jari tengahnya keluar dari liang cinta Amy, lalu menjilat jarinya itu sendiri. Sedap sekali rasanya cairan yang dihasilkan dari lubang surgawi wanita jelita itu. Ia melakukannya beberapa kali, sesekali dimasukkannya jarinya ke dalam, menjajah ruang di dalam tapi tak terlampau jauh, jari tengah itu bergerak pelan, lembut tapi menuntut. Gara-gara jari Pak Jon, beberapa kali pula Amy menggelinjang dan mengerang, namun tidak bangun. Di saat jari tengahnya masuk ke dalam, jempol dan jari yang lain bermain-main di kelentit sang dara jelita.

“Mmmmhhh…” bibir Amy kembali terbuka sedikit, merekah, “aaahhmmm…”

Pak Jon tersenyum melihat si cantik itu menggelinjang erotis. Pantas saja Amy mulai gelisah meski masih tak sadar karena di liang cintanya kini cairan pelumas sudah mulai mengalir. Bibir kewanitaannya mulai mengendur dan merenggang meski tentu masih sangat sempit.

Pak Jon menarik jarinya dari liang cinta Amy. Kepalanya turun ke bawah, bibir dara jelita itu kembali dilumat dan dinikmati oleh sang laki-laki tua. Bibir bagian atas, dikecup, dijilat, digigit. Bibir bagian bawah, dilumat, dicium, dinikmati. Lidah Pak Jon bergerak liar di mulut Amy.

Sementara ia mencium sang bidadari, tangan Pak Jon beraksi. Ia mengeluarkan batang kejantanannya yang sebelumnya terkungkung dalam sarang. Barang yang sudah siap beraksi itu langsung dihunjukkan ke bibir liang cinta sang dara jelita, siap menyerang sang lawan yang sudah tak berdaya. Sekali lagi laki-laki tua itu melihat posisi kemaluannya yang sudah menegak dan jaraknya dengan bibir surgawi Amy.

“Sudah siap, sayang?”

Tak lagi sabar, Pak Jon mendorong masuk penisnya yang sudah menegang kencang ke dalam memek Amy.

“Aaaaaahhhhh,” lenguh laki-laki tua itu saat ujung kepala gundulnya bisa masuk ke dalam liang cinta Amy dengan mudah. Cairan pelumas di dalam liang sudah mulai keluar dan memudahkan jalan bagi batang jahat milik Pak Jon. Tubuh Amy menggeliat secara reflek karena masuknya benda asing itu. Namun ia tetap tidak bangun.

Amy yang malang tidak sadar ia sudah mulai diperkosa.

Pak Jon menekan dan menekan dan menekan, aaaahhh... nikmatnya sungguh ibarat surga di dunia. Penisnya ditekan oleh dinding-dinding dalam liang cinta Amy yang tidak menghendaki kehadiran batang jahat itu di dalam lubang yang belum pernah dimasuki siapapun. Tapi Pak Jon terus menekan, dan Amy pun mengerang.

Erangan lirih yang keluar dari mulut Amy justru membuat darah Pak Jon bergejolak, napsu birahinya bagaikan ketel air yang mendidih. Ia mendorong masuk batang kejantanannya hingga melesak lebih jauh lagi ke vagina terdalam milik Amy.

Tapi... seperti ada sesuatu yang menahannya. Ada yang terasa kencang dan rapat.

Inikah...?

Inikah dinding mahkota milik Amy yang menjadi harta paling berharganya? Harta yang tak akan bisa tergantikan selama-lamanya?

Senyum menyeringai jahat muncul di bibir Pak Jon.

Amy... oh... Amy... oh Amy... kamu gadis yang sungguh malang. Sepertinya harta berhargamu ini bukan calon suamimu yang akan mendapatkannya, melainkan Pak Jon. Laki-laki tua berotak cabul yang selama ini menyimpan nafsu birahi berlebih pada dirimu. Laki-laki yang sekarang batang kemaluannya sudah mulai melesak masuk dalam liang cintamu.

Pak Jon puas sekali saat mengetahui kondisi Amy yang ternyata masih menjaga kehormatannya hingga saat ini, hari gini susah sekali menemui gadis seperti Amy. Ya sudah kalau begitu, Ia tak akan main-main lagi, sekarang dan selamanya, Amy akan menjadi milik Pak Jon seorang. Mau nikah sama siapa aja silahkan! Tapi yang ini... yang sekarang ini... dengan senang hati dia yang akan mengambilnya!

Pak Jon mengambil ancang-ancang, dimundurkannya pantatnya ke belakang sedikit... dan...

Jlbbb. Jlbbb....!!

Dengan sekuat tenaga pria tua itu menghentak-hentakkan batang kemaluannya di dalam vagina Amy sekuat tenaga dan berusaha untuk menjebol dinding kewanitaaan paling berharga miliknya.

Amy mengernyit dalam pingsannya, lalu mengerang kembali, ia merasa sangat kesakitan tanpa sadar. Obat yang membuatnya pingsan memang sungguh sangat ampuh. Begitu ampuh, sampai-sampai tidak merasakan kalau barang berharganya akan segera direnggut seseorang yang tidak pantas.

Tak butuh waktu lama bagi Pak Jon untuk melaksanakan niat busuknya. Setelah batang kejantanannya melesak separuh ke dalam liang cinta milik sang bidadari, terasa ada sesuatu yang mengalir melalui sela-sela bibir kewanitaannya. Pak Jon melirik ke bawah dan tersenyum bahagia melihat darah mengalir ke bawah, membasahi sofa.

Nah, begini baru seru. Terima kasih, sayang.

Sekali lagi laki-laki tua itu menarik kemaluannya mundur hingga sampai ke ujung gundul, lalu didesakkan masuk dengan penuh tenaga, dan...

Ahhh...!

Akhirnya seluruh batang kejantanannya bisa melesak masuk ke dalam liang cinta milik Amy. Surga! Ini surga! Ini sungguh nikmat yang luar biasa! Nikmat tiada tara merasakan jepitan hangat di dalam tubuh si cantik Amy! Jepitan alami yang menekan dan meremas batang kejantanannya yang hanya bisa dilakukan oleh memek rapat seorang perawan. Setiap kali Pak Jon melesakkan penisnya, dinding rapat liang cinta Amy bagaikan memijat jengkal demi jengkal batang kemaluan sang laki-laki tua itu.

“Hnggghhh... ooohhhh... enaaaakgghhh bangeeet punya kamuuu, Neng... rapeeeet!!” pria tua itu mengucapkan kata-kata yang tak biasa diucapkannya pada Amy. Apalagi ia melakukannya sambil terus menerus menggoyang liang cinta si cantik. Ini sungguh luar biasa, mimpi yang benar-benar menjadi kenyataan. Kapan lagi bisa begini? Apa yang dimiliki Amy membuatnya menjadi seorang bocah yang kegirangan.

“Mmhhhhh...” terdengar erangan Amy, mungkin karena merasakan sakit di selangkangan.

Pak Jon meletakkan kedua tangannya di kanan dan kiri pinggang Amy saat dia mulai menghentakkan badan untuk menghajar vagina sang bidadari. Ia mundur sedikit untuk melakukan ancang-ancang, dan mendorong lebih dalam pada tiap-tiap sodokan.

Pak Jon benar-benar menikmati persetubuhan ini, lagipula siapa yang tidak akan menikmati meniduri perempuan seindah Amy?

Ia melancarkan serangan demi serangan dan memastikan seluruh ereksinya dijejalkan ke dalam liang cinta Amy yang sempit bukan kepalang. Laki-laki tua itu selalu melihat ke bawah untuk memastikan bahwa Amy masih tak sadarkan diri dan di saat bersamaan mengagumi si cantik itu, menelan seluruh keindahan ini dengan matanya, dan menyaksikan gerakan buah dada Amy yang berguncang seiring sodokan-sodokannya.

Saat Amy melenguh, bibirnya terbuka sedikit, merekah erotis. Gila cewek ini memang.

Pak Jon bukan orang yang suka terburu-buru menyelesaikan sesuatu, ia lebih memilih menikmati dengan pelan tapi pasti. Meski meningkatkan intensitas goyangannya, Pak Jon tetap maju mundur dengan sodokan yang tajam dan penuh. Selangkangan keduanya bertemu melalui tamparan-tamparan ringan saat paha berjumpa paha, penis bertemu vagina.

Pak Jon mundur sebentar hanya untuk menikmati penisnya melesak masuk ke liang cinta Amy dengan perlahan-lahan. Indahnya pemandangan itu, pemandangan yang sudah ia idam-idamkan sejak pertama kali melihat wanita jelita ini masuk pertama kali ke kantor. Pemandangan penisnya yang meskipun kencang melesak masuk ke dalam vagina sempit milik seorang wanita muda jelita.

Pria tua itu berlutut di atas sofa demi memudahkan gerakannya menyetubuhi Amy. Ia tidak berhenti sedikitpun dan terus memaju-mundurkan pinggul supaya lesakannya lebih dalam.

Sampai suatu saat ia berhenti, dan secara tiba-tiba saja ia mendorong kemaluannya dengan sangat kencang sembari mengeluarkan satu lenguhan panjang yang cukup keras. Ini jauh lebih enak daripada menyetubuhi istrinya yang sudah tua, atau lonte di gang samping sungai yang tidak lagi rapet memeknya. Ini vagina berkelas – wanginya beda, harumnya beda, rapetnya beda, pijatannya beda, rasanya sudah pasti beda.

“Haaaaangghh…” Amy mengerang. Suara seperti menahan rasa sakit keluar dari bibirnya yang indah.

Meski ingin bekerja keras bagai kuda, tapi Pak Jon tetaplah seorang pria tua yang memiliki energi terbatas. Ia tidak bisa terus-terusan menggenjot tubuh Amy. Pria tua itu berhenti sesekali, menahan diri untuk tidak menyodokkan penisnya ke dalam vagina Amy meskipun kenikmatannya luar biasa. Sesaat setelah beristirahat, Pak Jon berhenti dan mengatur nafas, mengambil ancang-ancang, menyodok dengan kecepatan tinggi seakan tiada hari esok, kencang, makin lama makin cepat, dan terburu-buru. Dia ingin segera mencapai puncak kenikmatan.

Tapi Pak Jon kehilangan ritme setelah napasnya memburu, ia berhenti kembali untuk mengatur nafas. Begitu berulang-ulang.

Slllpppp. Sllppp. Slppp. Sllppp.

Suara penis Pak Jon yang menggesek bibir kemaluan Amy membuat suasana kamar menjadi semakin panas.

Kepala Amy bergerak naik turun seirama dengan tiap sodokan yang menjajah tubuhnya dan dalam ketidaksadarannya kembali ia melenguh lirih, hal itu jelas tidak memperlambat gerakan maju mundur Pak Jon yang terus menerus melanjutkan sodokannya. Ia sudah sangat asyik dan terlena menyetubuhi wanita muda yang jelita ini. Bahkan jika Amy tiba-tiba terbangun, Pak Jon tetap akan melanjutkannya tanpa peduli. Ia hanya ingin memasukkan penisnya dalam-dalam ke vagina Amy. Ia ingin memiliki si cantik itu, memiliki dan menikmati tubuh indahnya dengan mata, jamahan dan batang kejantanannya. Ia ingin menggunakan tubuh Amy untuk memuaskan nafsu birahinya sampai tuntas, sampai ia puas. Ia ingin memiliki Amy – setidaknya kini ia sudah merasakan tubuhnya dan menjadi orang yang telah merenggut miliknya yang paling berharga.

Kini, Pak Marjono sudah menjadi pemilik sah keperawanan Amy.

Pria tua cabul itu mengangkat kedua kaki jenjang Amy dan menaikkannya ke atas pundak, ia mengunci kedua kaki Amy tersebut dengan lengannya dan kembali melanjutkan aksinya menusuk liang cinta sang dara dengan batang kemaluannya. Kali ini Pak Jon tidak lagi lembut dan penuh irama, ia mulai menggoyang Amy dengan kecepatan tinggi. Makin lama makin tinggi kecepatannya dan makin bertenaga, seakan-akan ia ingin menghajar kemaluan Amy dengan semua tusukannya, ia ingin menyakiti Amy yang sangat indah itu dengan penisnya, ingin menguasainya, ingin menjadi laki-lakinya, ingin menjadikan sang dara jelita sebagai wanitanya. Laki-laki tua itu sudah tidak peduli apa-apa lagi, laju dan laju dan laju. Keringat deras membanjiri tubuhnya.

“Haarrrghhhh!! Amy!!!! Memeeeek kamuuuu enaaakghhh bangeeeet!!!!”

Pak Marjono sudah tidak ingat anak istri lagi, ia hanya mau menanamkan seluruh nafsunya dalam-dalam di rahim sang calon pengantin wanita ini. Ia harus cepat-cepat memberikan kadonya sebelum keduluan yang lain – ia bahkan tidak boleh keduluan sang calon suami! Pak Jon kini bergerak dengan kecepatan yang tidak beraturan, kadang kencang, kadang pelan namun ia makin merem melek karena sudah hampir mencapai klimaksnya.

Slllpppp. sllppp. Slppp. Sllppp.

Akhirnya terdengar erangan panjang dan laki-laki tua itu mengejang bagaikan terkena setrum selama beberapa kali. Tidak perlu jadi seorang jenius untuk tahu kenapanya. Cairan cintanya membanjiri liang cinta Amy. Semua keluar dan semua dimasukkan di dalam.

Tubuh Pak Jon akhirnya ambruk di atas Amy. Ia memeluk erat kaki Amy dengan lengannya sementara kakinya bersandar dengan posisi berlutut dan kepalanya jatuh ke dada sang bidadari. Posisinya tidak nyaman memang, tapi sungguh enak sekali rasanya berhasil mengisi rahim sang dara jelita dengan cairan cintanya .

Berada di atas tubuh Amy, Pak Jon menggerakkan pinggulnya perlahan-lahan sesekali, mencoba mengeluarkan sisa-sisa cairan cinta yang mungkin masih ada. Laki-laki tua cabul itu benar-benar ingin memenuhi liang cinta sang dara dengan banjir cairan cintanya.

Setelah dirasakan cukup, dengan telaten Pak Jon menurunkan kaki Amy ke lantai, sehingga pahanya bisa terbuka lebar. Pak Jon kembali beringsut ke atas tubuh Amy, mencium seluruh bagian wajahnya, mencium bibir merekah Amy yang terlalu menawan untuk dilewatkan. Ia lalu turun untuk mengulum puting payudaranya, setelah itu ia pun memandang ke bawah dengan puas melihat kemaluannya sendiri masih tertancap dalam di vagina sang bidadari.

Pak Jon berlutut, ia mendorong tubuh Amy dan menahan pinggul ramping gadis itu untuk bisa mengeluarkan batang kemaluannya dari liang cinta sang dewi jelita.

Plp!

Ah. Itu dia. Bunyi yang mewakili perasaan yang sangat puas.

Keluarnya batang kejantanan Pak Jon membuat cairan cinta kental yang tadinya memenuhi liang cinta sang gadis malang yang masih tak sadarkan diri jadi meleleh keluar. Ia benar-benar mengisi liang cinta Amy sepenuh-penuhnya karena cairan kental yang keluar juga cukup banyak.

Pak Jon tersenyum puas. Edan, anak ini benar-benar masih rapet. Kalau diulang lagi Pak Jon tidak akan menolak, dan ia meyakinkan dirinya sendiri pasti akan mengulanginya lagi suatu saat nanti jika kesempatannya datang.

Tapi... mungkin dengan pendekatan yang berbeda. Tidak seperti ini… mungkin ada cara yang lebih baik, gerigi pemikiran busuk mulai bekerja di otak Pak Jon. Sayang sekali rasanya kalau wanita seindah Amy harus menderita, tapi demi kenikmatan Pak Jon – Amy harus menderita terlebih dahulu, lebih menderita dari apa yang saat ini. Karena ia akan mengalami naik turun kehidupan yang kejam.

Meskipun ia membenci dirinya sendiri untuk mengakhiri persetubuhan dengan sang dara jelita, tapi Pak Jon tahu, untuk malam ini rasa-rasanya sudah cukup.

Pak Jon yang kelelahan duduk dengan tenang sambil minum air kemasan. Tentu air kemasan biasa, bukan air kemasan milik Amy yang tadi ia taburi obat tidur super. Ia menyeka bulir-bulir keringat yang turun di dahi dengan punggung tangan. Wow, bagaikan olahraga yang menyegarkan sekaligus memberikan rasa nikmat.

Benak laki-laki tua itu kembali berputar dan dipenuhi dengan rencana jahat saat melihat Amy yang tubuhnya tak tertutup apapun di bagian dada dan selangkangan. Ia pun meraih ponselnya. Dengan penuh pikiran busuk, laki-laki tua itu mengambil gambar tubuh indah Amy yang terbuka dengan menggunakan smartphone-nya. Semua sisi, semua pose, semua lubang, semua lelehan cairan cinta di tubuh sang dara, semua ia ambil. Amy tak akan mampu berkelit jika nanti ia menunjukkan bukti-bukti ini.

Pak Jon punya bukti yang sangat kuat bahwa ia benar-benar pernah menyetubuhinya. Klise memang dia memerlukan foto-foto tak senonoh Amy seperti ini, tapi dengan menggunakan foto ini Amy tak akan bisa menyangkal keberadaan Pak Jon sebagai pemilik sah keperawanan sang dara jelita.

Dengan santai Pak Marjono kemudian memakaikan kembali seluruh busana dan blazer Amy seperti semula, tidak pas seperti seharusnya memang, tapi paling tidak bisa mendekati apa yang sebelumnya dikenakan oleh gadis itu. Untung saja Pak Jon dengan sengaja tidak membuka kerudung Amy, karena bagian itulah yang paling susah dikembalikan jika ia tadi membukanya. Pak Jon juga membersihkan tetesan-tetesan darah dan air cinta yang keluar dari dirinya ataupun Amy. Namun dengan sengaja ia tidak membersihkan cairan kental yang ada di dalam liang cinta sang gadis pujaan.

Biar mengendap di dalam saja.

Batin laki-laki tua itu sembari terkekeh bagaikan iblis yang merencanakan sesuatu yang busuk. Biar menjadi kenang-kenangan yang tak terlupakan. Sekali lagi Pak Jon mencium bibir Amy yang menggodanya.

Setelah semua rapi, Pak Jon mengambil selimut dari kamar dan menyelimuti gadis itu. Ketika esok ia bangun, Amy pasti akan mengira kalau ia hanya tertidur saja. Oh, dan mungkin selangkangannya juga akan terasa sedikit sakit karena sudah digenjot habis-habisan oleh Pak Jon. Tapi ia tidak akan mencurigai apa-apa.

Pak Jon terkekeh sembari mengkhayalkan beberapa kemungkinan rencana busuk yang akan ia jalankan saat melangkah ke kamarnya sendiri. Sebelum masuk, ia sempat melirik ke arah gadis yang sedang pulas tanpa daya di atas sofa.

Selamat beristirahat, Neng cantik.

Terima kasih telah memberikan sesuatu yang sangat berharga.

Pak Jon tersenyum, dan menutup pintu kamar.





BAGIAN 2 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 3


no quote
 
Terakhir diubah:
Dang....
Dramanya....
fast paced... and intense....
I love it....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd