Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KIDUNG SANDHYAKALA

Status
Please reply by conversation.

killertomato

Guru Semprot
Daftar
5 Dec 2017
Post
638
Like diterima
40.020
Bimabet
KATA BERMULA


Salam sejahtera dan sehat selalu! Saya bukan Cak Lontong, salam lemper!

Kisah fiksi ini adalah kisah panjang di dunia persilatan, tentang petualangan dan percintaan; tentang pengkhianatan dan perjuangan; tentang hitam, putih dan abu-abu.

Kisah ini terinspirasi dan beberapa kali akan mengambil sample dari berbagai serial silat legendaris karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo; serial silat karya Bastian Tito, Djair, dan penulis serial silat lain; terinspirasi pula oleh komik silat karya Tony Wong seperti Tiger Wong (Long Hu Men), Tapak Sakti dan Drunken Fist; dan tentunya cerita silat Tiongkok karya Chin Yung seperti trilogi Pendekar Pemanah Rajawali.

Cerita ini tidak seratus persen karya saya, karena untuk menyusunnya saya membutuhkan masukan dan asupan dari para master dan dari cerita lain. Ada beberapa bagian dari cerita ini yang merupakan hasil olahan dari beberapa karya milik pengarang lain, baik penulis yang sudah populer maupun yang belum, yang saya rebus dan untai menjadi satu cerita baru. Mohon maaf jika tidak berkenan.

Kisah ini akan diceritakan secara santai dan diketik di waktu senyaman saya, update tidak akan berbatas waktu dengan mempertimbangkan peraturan forum, paling lambat sebulan sekali lah update sesuai peraturan forum. Bagian 1 ini saja sebenarnya sudah saya tulis tahun 2018, bagian 2 tahun 2019, bagian 3 awal tahun 2020, dan bagian 4 pertengahan 2020. Bagian 5 dst. menyusul. Hahahaha Jika nanti memang terlalu lama off, seperti biasa biar ditutup dulu sampai kemudian saya buka saat update sudah siap.

Update bisa cepat dan bisa lambat tergantung dari banyak faktor. Rawan macet? Pasti. Tapi diusahakan akan terus (dan mudah-mudahan) dilanjutkan sampai berujung tamat. Dengan syarat sampeyan tidak junkpost ya, Hu. Komen sangat ditunggu untuk menambah semangat. Bagaimana dengan cerita saya yang lain? Yang masih lanjut sudah pasti dilanjutkan, yang mandeg juga akan dilanjutkan. Yang penting sabar karena saya orangnya amat tergantung mood dan suasana RL saat menulis.

Sebelumnya mohon maaf jika cerita ini tidak akan selalu memuat adegan SS atau sex scene, karena akan lebih banyak menitikberatkan pada kisah kependekaran disertai rangkaian konflik dan intriknya. Jika anda mencari rentetan adegan SS serta proses binal-binalan dari awal sampai akhir, maka ini bukan cerita yang tepat.

Semoga berkenan.
Selamat menikmati.



KATA BERMULA

EPISODE "BARA DAN KIDUNG SANDHYAKALA"

BAGIAN 1 KEMELUT DI KARANG WETAN
BAGIAN 2 MENGURAI MENDUNG MENGGANTUNG
BAGIAN 3 KETIKA MALAM BELUM BERAKHIR
BAGIAN 4 DALAM KEPUNGAN KELABANG SEWU

BAGIAN 5 REDUPNYA ASA SANG PENDEKAR
BAGIAN 6 KISAH PERGURUAN SERIBU ANGIN

EPISODE "BARA DAN PETUALANGAN PERDANA"
BAGIAN 7 SEPULUH TAHUN KEMUDIAN - SEGERA HADIR



 
Terakhir diubah:
BAGIAN 1
KEMELUT DI KARANG WETAN



Semilir angin malam ditemani selimut kabut mengembuskan udara dingin yang rapat menusuk tulang, malam sedingin itu membuat sebagian besar penduduk wilayah Karang Wetan telah tertidur lelap. Namun dinginnya angin malam tak menghentikan seorang wanita cantik membuka pakaian berwarna putih yang ia kenakan. Rambut yang awal mulanya digelung dengan tusuk konde, kini dilepas hingga terurai. Rambut hitam panjang yang kontras dengan warna kulit putih yang ia miliki membuat kecantikan Arum Kinanti kian menjadi-jadi. Ia sedang mengganti pakaian yang ia kenakan dengan pakaian yang lebih santai dan nyaman karena sebentar lagi sudah masuk ke waktu istirahat malam.

Tanpa sepengetahuan wanita berparas bidadari itu, seseorang dengan mata jalang tak berkedip mengintip kemolekan tubuhnya yang dipaparkan begitu menggairahkan, membuat sang pria pengintip berulang kali menelan ludah dan menahan napas dengan mata nanar.

“Wah... wah... wah... pantas saja Suro Wanggono sampai mabuk kepayang kepada wanita ini. Tidak kusangka kalau Arum Kinanti benar-benar mempesona,” gumamnya dengan gairah meletup-letup. Berulang kali ia menyentuh kemaluannya sendiri di balik celana, karena tidak tahan menyaksikan kemolekan perempuan berparas indah di depannya. “Andai saja Suro Wanggono mau berbagi yang seperti ini, kami semua pasti akan bahagia dan lebih tulus membantu.”

Cukup lama rasanya pria itu mengintip kemolekan Arum, sampai akhirnya iapun tidak tahan dan mengeluarkan batang kejantanannya untuk digoyangkan dalam genggaman. Merem-melek pria itu membayangkan dirinya memeluk tubuh indah yang ada di hadapannya.

Saat asyik mengintip dan menikmati tubuh mulus dan mempesona milik Arum Kinanti dengan kedua matanya dan memainkan batang kejantanannya, kaki pria kurang ajar itu rupanya tak mampu menahan getaran birahi dan tanpa sengaja menginjak kayu kering yang justru membuatnya terjatuh.

Krak! Gedubrak!

Suara gaduh di luar membuat Arum Kinanti yang tengah berganti pakaian tersentak kaget dan segera waspada. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. Mata indah wanita jelita itu memandang lekat ke dinding bilik rumah sembari memasang pendengaran setajam mungkin. Ia bukan wanita yang biasa-biasa saja, sehingga ia pun menyadari ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.

“Hm, kurang ajar!” rutuk hari Arum setelah menyadari kalau sejak tadi ada seseorang yang mengintipnya. Mata wanita itu kini memandang tajam dan tanpa banyak bicara tangannya segera dikibaskan ke arah dinding rumah tempat sosok itu berada. “Rasakan ini! Heaaaa....!”

Wuut!

Desiran angin tajam menyertai puluhan jarum kecil yang menerobos dinding anyaman bambu. Lelaki hidung belang yang sedari tadi mengintip tentu saja tak mampu mengelak dari terjangan senjata rahasia yang dilepas oleh Arum Kinanti.

Jlep! Jlep! Jlep...!

“Arrghh....!”

Jeritan lelaki naas itu tidak hanya mengejutkan Bima Soka Watulanang yang tengah menunggu istrinya di luar kamar, melainkan juga membuat terkejut beberapa pengintai lain yang tengah bersembunyi mengitari rumah tersebut.

Menyadari ada yang tidak beres, Bima Soka segera bangkit dari duduknya dan bersikap siaga, “Ada apa ini?” batinnya dalam hati. Sang pendekar muda dari Perguruan Seribu Angin itu melangkah ke arah pintu kamar di mana istrinya tengah mengganti pakaian.

“Diajeng Arum Kinanti? Ada apa gerangan? Aku mendengar ada jeritan di luar?” tanya Bima Soka saat ia sampai di ambang pintu kamar.

“Mereka telah datang, Kakang.” Sahut Arum Kinanti dengan suara geram.

“Maksudmu, Diajeng?”

“Antek-antek dari si pengkhianat Suro Wanggono sudah datang.” Desis Arum Kinanti penuh kebencian terhadap orang yang disebut namanya. Arum Kinanti keluar dari ruangan dan menemui suaminya secara langsung dengan wajah diselimuti kemarahan.

“Luar biasa, apakah Suro Wanggono masih juga belum kapok,” gerutu Bima Soka sembari menggelengkan kepala. Setelah menghela napas panjang, pria berjuluk Pendekar Golok Angin itu kembali berkata, “Kalau tahu dia tidak akan jera seperti sekarang ini, dulu dia tidak akan aku ampuni!”

Kedua suami istri itu terdiam, saling pandang dengan dengusan napas yang memburu, terlebih Arum Kinanti yang merasa telah diperlakukan tidak senonoh oleh anak buah Suro Wanggono yang lancang telah mengintipnya tadi. Pria yang disebut dengan nama Suro Wanggono memang amat mereka kenal dan sebenarnya pernah menjadi kakak seperguruan Bima Soka dan Arum Kinanti sebelum beralih ke golongan hitam.

“Kali ini tidak akan aku biarkan bedebah pengkhianat itu hidup, Kakang!” dengus Arum Kinanti dengan sengit. Ia menyambar pedangnya yang dinamakan Pedang Angin.

Pedang sakti milik Arum Kinanti memiliki warna rupa yang sama dengan golok yang disarungkan di punggung Bima Soka. Keduanya bagaikan senjata kembar. Sepasang pendekar ini memang telah dikenal sebagai pasangan pendekar yang sakti di rimba persilatan, mereka berdua berjuluk Pendekar Golok Angin dan Pendekar Pedang Angin, atau sering disebut juga Sepasang Pendekar Angin Sakti. Keduanya telah sejak lama bertualang dan selalu menggunakan senjatanya untuk membela kebenaran dan keadilan. Jangankan berhadapan dengan kedua orang ini bersama-sama, untuk menghadapi salah satu dari mereka saja, orang akan berpikir ratusan kali.

Arum Kinanti menyelipkan pedangnya ke sarung yang ada di pinggang, kemudian dengan wajah penuh kemarahan melangkah meninggalkan rumah tempat mereka beristirahat. Hal ini tentu membuat Bima Soka terkejut, ia tidak menduga Arum akan sedemikian berangnya. Mau tidak mau, pendekar berparas tampan itu menyusul istrinya melangkah ke luar.

Bima Soka menjajari sang istri dan berusaha menenangkannya, “Sabar Diajeng. Biar aku saja yang menghadapi mereka, ingat ada anak kita di dalam rumah. Sebaiknya kau bawa dia pergi dulu, aku akan menyusulmu.” Bisik Bima Soka, ia tahu pasti watak sang istri, terlebih pada Suro Wanggono yang teramat dibenci.

“Tidak, Kakang! Dia harus kuhajar! Berulang kali kita coba menyadarkannya, berulang kali pula kita ampuni, tetapi tetap saja dia berulah kurang ajar. Itu sama saja mencari penyakit!” dengus Arum Kinanti dengan sengit.

Bima Soka menghela napas pelan. Ia sadar betul kebencian sang istri. Suro Wanggono selalu mengincar mereka berdua karena pria brutal itu sangat mencintai istrinya. Tidak jera-jeranya Suro Wanggono berusaa untuk mendapatkan Arum Kinanti. Dulu saat mereka bertiga masih berada di Perguruan Seribu Angin, Suro Wanggono malah nekat hendak menculik Arum Kinanti. Beruntung sekali kakak seperguruan mereka kemudian menolongnya. Bahkan setelah Bima dan Arum menikah, Suro Wanggono tidak juga mau memahami posisi Bima Soka sebagai suami Arum Kinanti.

Berulang kali Suro Wanggono diberi pelajaran oleh Bima dan Arum, tapi tetap saja hingga saat ini orang itu tidak mau mengalah begitu saja. Pada pertemuan terakhir mereka, Bima bisa saja menghabisi nyawa Suro Wanggono. Namun mengingat ia masih adik seperguruan dari Suro Wanggono, maka Bima berusaha menghargai dan memaafkan Suro Wanggono. Sekarang, masih bisakah ia memaafkan tindakan pria itu sekali lagi?

Sepasang Pendekar Angin Sakti melangkah keluar dengan mantap, sorot mata mereka tajam, mengamati suasana di luar yang masih gelap. Mereka memasang seluruh indera, supaya gerak sekecil apapun tidak lolos dari pengamatan mereka. Memang sukar sekali menelaah sekeliling dalam kondisi gelap.

“Hei! Kalau kalian sungguh laki-laki, keluar dan hadapi kami!” teriak Arum Kinanti yang sudah tidak sabar lagi untuk secepatnya menghajar orang yang ia benci. Matanya beredar tajam, setajam tatapan elang yang berburu mangsa. Tangan kanannya memegang gagang pedang dengan erat, siap mencabut senjata sakti itu untuk menghabisi setiap lawan yang ada.

“Suro Wanggono, keluarlah!” seru Bima Soka, “Jangan berlaku pengecut! Kita dari Perguruan Seribu Angin tidak pernah diajarkan menjadi pengecut!”

Sama dengan sang istri, Bima Soka pun telah siap menyambut kedatangan tamu-tamu tak diundang. Tangan kanannya juga meraba gagang golok yang bersandar di punggung. Sedangkan matanya nyalang menyapu kegelapan malam yang lengang.

Saat keduanya tengah mengamati suasana sekitar halaman rumah, tiba-tiba terdengar dengungan pelan yang lambat laun berubah menjadi alunan sitar, suaranya makin nyaring membelah kesunyian malam. Denting suara sitar itu awalnya pelan, namun makin lama makin keras dan semakin tak beraturan, bahkan kemudian terdengar melengking aneh dan memekakkan telinga.

Ting! Ting!

Bima Soka dan istrinya tersentak kaget, sehingga kedua mata mereka terbelalak lebar, keduanya akhirnya sadar bahwa alunan sitar itu bukanlah dentingan sembarangan, melainkan dimainkan dengan tenaga dalam sempurna yang menimbulkan hentakan amat keras di telinga.

“Ahh... sungguh bahaya! Diajeng, cepat tutup telingamu! Ini bukan denting sitar sembarangan, pemetiknya menginginkan kematian kita!” teriak Bima Soka memperingatkan sang istri. Dengan sigap pria itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk menutup gendang telinga agar tidak pecah.

“Ohhh...” Arum Kinanti mengerang kesakitan, telinga wanita cantik itu terasa sangat pedih. Arum Kinanti memang sedikit terlambat menutup gendang telinganya dengan tenaga dalam. Untung saja masih sempat sehingga telinganya tidak sempat pecah oleh lengkingan sitar yang semakin memekakkan. “Bedebah! Siapa yang memetik sitar ini? Kalau memang laki-laki jangan bersembunyi! Keluarlah!”

Tantangan Arum Kinanti tentu saja sia-sia karena tidak ada satu orangpun yang menyahut. Yang membalas masih saja denting sitar yang kian menggila, bahkan mampu membuat tubuh Sepasang Pendekar Angin Sakti menggigil.

“Celaka, Diajeng! Kalau kita hanya bertahan seperti ini, kita tidak akan mampu berbuat apa-apa. Cabut pedangmu! Kita harus melawannya!” perintah Bima Soka yang merasa sia-sia mengeluarkan tenaga dalam untuk melawan suara sitar itu.

Arum Kinanti mengangguk dan dalam sekali sentak, kedua senjata pusaka keduanya sudah bertemu. Sepasang pendekar itu kemudian menyilangkan mata senjata masing-masing dan mengerahkan tenaga dalam. Dari penyilangan Golok dan Pedang Angin terpancar seberkas cahaya sangat terang berwarna putih. Cahaya itu terus memancar untuk menghadang alunan suara sitar yang datang.

Glaaarr!

Ledakan menggelegar terjadi dan amat memekakkan telinga saat cahaya dari pedang dan golok bertemu dengan energi dari suara sitar.

“Harrrghh!” Bima Soka terhuyung ke belakang dua tindak, demikian juga sang istri. Keduanya langsung terbelalak dan memasang mata sigap. Baik Bima maupun istrinya tidak pernah menduga jika ilmu Inti Angin Sakti yang keluar dari sepasang senjata mereka akan berbenturan keras dengan suara yang keluar dari petikan sitar. Keduanya kemudian saling berpandangan, dan karena Arum Kinanti adalah seorang pendekar yang berwatak keras, ia kemudian kembali sengit membentak.

“Kurang ajar! Kau terus saja bersembunyi seperti pengecut!! Laki-laki macam apa, hah?!”

“Ha... ha... ha...!”

Akhirnya terdengar suara tawa menggelegar sebagai jawaban dari tantangan tadi. Sepasang Pendekar Angin Sakti kembali terkejut. Untuk kesekian kalinya mereka saling pandang dan mempersiapkan senjata sambil mengamati arah datangnya suara tawa.

Krsk!

Dari semak-semak yang rumpun di dekat mereka, berkelebat muncul beberapa orang dengan suara tawa yang memekakkan telinga. Berdiri sekitar dua puluh tombak di sekeliling Sepasang Pendekar Angin Sakti adalah segerombolan kawanan penjahat yang memandang keduanya dengan tatapan bengis. Salah satunya adalah seorang pria dengan sitar bertengger di punggung.

“Suro Wanggono.” Desis Arum Kinanti saat mengetahui siapa pembawa sitar tersebut.





.::..::..::..::.





Sang pemanggul sitar tertawa, pria brewok berambut keriting sebahu dengan perut buncit dan tubuh gempal di hadapan Sepasang Pendekar Angin Sakti itu tertawa. Suro Wanggono dengan sengit memandang ke arah Arum dan Bima yang sesungguhnya merupakan adik seperguruannya. Dengan pandangan mata nakal ia melirik ke arah Arum yang langsung dibalas dengan tatapan benci. Napas Arum naik turun saking jengkelnya, ia pun melotot penuh dendam.

“Suro, masih belum jerakah engkau ini mengusik kehidupan kami?!” tanya Arum dengan bentakan marah.

Bukannya takut, Suro Wanggono yang berpakaian serba hitam justru semakin tergelak-gelak, sampai berlinang air mata. “Ah, mana mungkin aku jera sebelum mendapatkan kitab Inti Angin Sakti.” Usai mengucapkan kalimatnya, Suro Wanggono memandang teman-teman di kiri kanannya yang disambut gelak tawa semua kawanannya, seakan-akan yang dikatakannya adalah dagelan paling lucu sejagad.

“Sungguh tidak tahu terima kasih! Keras kepala sekali engkau, Suro! Sudah kukatakan, bahwa kitab itu tidak ada pada kami! Lagi pula mimpi apa kamu sampai berharap mendapatkan kitab itu?!” bentak Arum gusar. Kemarahannya sudah tidak dapat dibendung, ingin sekali ia memenggal kepala Suro Wanggono untuk mengakhiri semua ini, harus berapa kali lagi mereka bertemu dan beradu ilmu?

Dibentak sedemikian rupa oleh bidadari yang selama ini mengisi mimpinya membuat Suro Wanggono marah, ia justru tertawa keras sekali lagi. Tawa yang kembali diikuti oleh gerombolannya. Pria brewok bertubuh tambun itu membalas ucapan Arum, “Semakin kau galak, Arum. Hatiku semakin bertambah penasaran. Percuma aku datang dan menunggu kesempatan seperti ini kalau tidak mendapatkan kitab itu dan juga dirimu.” Suro Wanggono tertawa menghina.

Ejekan dari pria yang sangat dibenci membuat Arum Kinanti kian murka, wajahnya memerah menahan amarah. Demikian juga dengan Bima Soka yang bagaikan diinjak-injak, karena dianggap sampah tak berarti oleh mantan kakak seperguruannya itu.

“Jaga mulutmu, Kakang Suro Wanggono!” bentak Bima Soka yang sudah hilang kesabaran. “Sudah kami katakan berulang kali, kitab yang kakang maksud itu tidak ada pada kami, namun kakang tetap tidak percaya! Sungguh mencari gara-gara dengan kami rupanya!”

Meski mengancam, Bima Soka yang berkepala dingin mencoba menerka kekuatan Suro Wanggono dan komplotannya, dulu kakak seperguruannya ini tidak pandai bermain sitar, apalagi dengan dukungan tenaga dalam, namun sekarang ia sudah mampu melakukannya dengan cekatan. Ilmu setinggi apa yang dikuasainya sekarang? Siapa yang sudi menitiskan ilmu kanuragan pada orang seperti Suro Wanggono?

Suro Wanggono rupanya sudah tidak peduli lagi dengan semua ucapan dan bentakan dari Sepasang Pendekar Angin Sakti. Ia juga sudah tidak peduli jika kedua sosok dihadapannya dulu adalah adik seperguruannya.

“Ha... ha... ha... sudah lama dendamku menumpuk padamu, Bima Soka! Kamu memang jauh lebih beruntung dari aku! Dengan kepandaianmu berbicara, sikap sok alim dan kepiawaianmu menjilat guru, semua ilmu yang seharusnya diturunkan kepadaku beralih ke tanganmu! Guru sialan itu selalu pilih kasih! Apalagi kamu kemudian berhasil merayu wanita yang seharusnya kuperisteri ini!” kata Suro Wanggono sambil menunjuk ke arah Arum Kinanti, “Aku makin direndahkan serendah-rendahnya oleh kalian semua! Kamu memang perayu ulung bangsat, dan sekarang saatnya aku membalas semua sakit hatiku!”

“Sungguh bedebah tidak tahu diuntung, Suro Wanggono! Semestinya dulu suamiku tidak mengampunimu! Kau memang orang yang tidak berbudi!” bentak Arum Kinanti dengan geram. “Dikasih hati minta ampela!”

“Wajahmu makin ayu kalau sedang marah, Arum.” Suro Wanggono menjilat-jilat bibirnya dengan tatapan memuakkan pada Pendekar Pedang Angin. “Makin aku ingin memilikimu. Ingin sekali aku mengulum bibirmu yang mungil itu. Aku tidak minta ampela, aku minta buah dadamu saja.”

“Kurang ajar!” teriak Arum Kinanti geram.

Suro Wanggono mengedipkan mata kepada kelima rekannya supaya mereka bersiap-siap. Dengan suara bergetar, pria gemuk itu berucap, “Baiklah. Kalau memang itu yang kalian inginkan, kami akan layani. Tapi harus kau ingat, aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah, Arum. Sebelumnya kau akan merasakan kenikmatan batang kejantananku di liang kemaluanmu yang harum seharum namamu itu!”

Mendengar ucapan cabul dari Suro Wanggono, kembali kelima kawannya tertawa terbahak-bahak, seakan-akan ucapan sang pemanggul sitar sedemikian lucunya. Sebaliknya Sepasang Pendekar Angin Sakti menggemeretakkan gigi mereka menahan amarah, dengan waspada mata mereka memandangi satu persatu gerombolan Suro Wanggono. Sepertinya kawanan Suro Wanggono kali ini bukanlah orang-orang biasa, mereka adalah tokoh-tokoh bengis dunia hitam.

Yang paling kiri adalah seorang laki-laki berwajah bengis bermuka pucat dengan rambut digelung dan memiliki alis panjang yang hampir menyentuh dagu, jenggotnya yang panjang diikat kuncir menambah ketidaknyamanan saat sepasang Pendekar Angin Sakti memperhatikan wajahnya. Orang ini memegang dua bilah pedang bengkok yang terlihat amat ringan namun sesungguhnya sangat tajam. Julukan dari pendekar hitam berwatak aneh ini adalah Si Alis Kincir.

Di kanannya, terdapat dua pria bertubuh bongsor dengan dagu berbentuk kotak dan bertulang keras, rambut mereka dipotong tidak tentu arah dan berantakan, yang satu memiliki kumis berbentuk kotak di bawah hidung dan yang satu lagi memiliki jambang panjang. Di tangan mereka tergenggam rantai yang diujungnya terdapat bola baja berduri sebesar buah kelapa. Di dunia persilatan, keduanya dikenal sebagai Magiwa dan Wilawa, Kembar Pencabut Nyawa.

Di samping kanan Suro Wanggono terdapat sesosok pria bertubuh tegap berdiri kokoh dengan wajah hitam kelam seperti arang, jauh lebih hitam dari bagian lain tubuhnya. Pria berusia kira-kira setengah abad ini bertelanjang dada dengan perut membuncit dan memiliki alis dan kumis tebal berwarna putih. Pria bengis dengan kelakuan yang sangat kejam ini adalah Datuk Sesat Wajah Hitam, seorang tokoh dunia hitam yang sudah cukup terkenal. Di tangan Datuk Sesat, terdapat toya berukuran dua depa.

Satu orang lagi melengkapi gerombolan penjahat ini adalah seorang laki-laki muda berambut panjang yang mengenakan rompi bersisik buaya dengan kumis tipis menghias di atas bibirnya yang tersenyum culas, ditangannya tergenggam kipas besi dengan ujung-ujung tajam. Inilah sosok baru dunia hitam, seorang durjana pemetik bunga berjuluk Si Buaya Berkipas.

“Diam!!” bentak Bima Soka dengan suara menggelegar diiringi tenaga dalam. Keenam lelaki dihadapannya mendadak sontak berhenti tertawa. Keenam pria dari aliran hitam dunia persilatan itu langsung melotot buas ke arah Bima Soka. Inilah sosok sasaran mereka, pendekar aliran putih yang selama ini sering menggagalkan rencana-rencana aliran hitam.

“Alis Kincir, Kembar Pencabut Nyawa, Datuk Sesat Wajah Hitam, dan Buaya Berkipas. Selama ini aku tidak pernah berurusan dengan kalian berlima. Tapi karena rupa-rupanya kalian ingin berurusan denganku, baiklah... sebagai pewaris ilmu Inti Angin Sakti. Aku tidak akan membiarkan kehormatanku, kehormatan istriku, kehormatan guruku dan kehormatan perguruanku dilecehkan!”

“Mantap! Bagus seperti itu, Pendekar Golok Angin.” Ejek Buaya Berkipas yang masih tersenyum sinis, pemuda beraliran sesat ini sangat merendahkan lawan yang kini dihadapinya. Tanpa dapat dicegah, tubuhnya melesat disertai bentakan menggelegar. “Sudah bacotnya! Sekarang hadapi kipas mautku! Hiaaa...!”

Dengan cepat kipas baja milik Buaya Berkipas bergerak menyerang ke arah Bima Soka yang masih berdiri di samping sang istri. Pemuda ini sepertinya sangat bernafsu menjatuhkan Pendekar Golok Angin yang selama ini namanya harum di dunia persilatan, karenanya gerakan ilmu yang dikeluarkan Buaya Berkipas nampak membabi-buta tanpa perhitungan yang matang.

Bima Soka yang sudah banyak makan asam garam tidak mau memandang remeh lawannya, ia dengan cepat mendorong tubuh istrinya ke samping sedangkan ia sendiri dengan cepat berkelit ke kiri untuk menarik kaki kanannya mendekati lawan. Cukup sekilas saja, Bima dengan cepat mampu mengirimkan tendangan ke kemaluan Buaya Berkipas.

“Seranganmu terlalu lemah, kawan. Terimalah ini... Hiaaat!”

Melihat serangan cepat yang dilancarkan Bima Soka, Buaya Berkipas terbelalak kaget dan tidak sempat lagi mundur. Dengan nekat, ia mengayunkan kipas bajanya ke bawah, ke arah kaki Pendekar Golok Angin, namun ternyata serangan berupa tendangan itu hanya pancingan, karena sejurus kemudian, tangan kiri Bima Soka meluncurkan pukulan ke arah dada lawan.

“Bangsaaaat!” pekik Buaya Berkipas. Lagi-lagi pemuda itu kaget dengan serangan cepat Bima Soka. Serangan lawan berusaha dielakkan dengan menggeser kaki ke samping, namun...

Dess!

“Hughhhkk!”

Sebuah pukulan mendarat telak di dada sebelah kanan Buaya Berkipas. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sembari memegang bagian dada yang terasa nyeri. Bima Soka kembali berdiri dengan tenang dan mengatur napas, matanya menyorot tajam sembari menyapu wajah lawan demi lawan yang berdiri dengan mata terbelalak menyaksikan Buaya Berkipas dipecundangi dengan mudah oleh Pendekar Golok Angin.

“Serang!!” teriak Suro Wanggono tiba-tiba.

Dengan cepat keenam orang itu bergerak bersamaan seperti sudah terencana sebelumnya, Suro Wanggono berlari cepat dan melompat untuk menghadapi Arum Kinanti sementara kawanannya mengeroyok Bima Soka yang terpisah dari istrinya.

“Jangan sampai mereka menyatukan senjata!” desis Datuk Sesat Wajah Hitam, ia tadi sudah menyaksikan efek ilmu Inti Angin Sakti saat Bima Soka dan istrinya menyatukan kedua senjata sakti mereka. Hal terakhir yang mereka butuhkan adalah kesempatan bagi Bima dan Arum melakukannya sekali lagi, harus dicegah!

“Kalian bunuh Bima Soka, Arum Kinanti bagianku!” teriak Suro Wanggono yang sudah gelap mata.

“Kubunuh kau, bedebah...!” bentak Arum sengit. Ia tidak seperti Bima Soka yang masih mempertimbangkan posisi Suro sebagai kakak seperguruan sehingga memanggil penjahat itu dengan sebutan kakang, begitu bencinya Arum dengan laki-laki ini, sehingga ia tidak mau lagi memanggilnya dengan sebutan hormat.

Tanpa banyak bicara, Arum Kinanti menyerang dengan menebas-nebaskan pedang di tangan, serangan yang gencar dan tidak memberi celah sedikitpun bagi Suro Wanggono untuk bebas. Begitu cepatnya gerakan pedang Arum, sehingga serangannya seakan menghilang. Kemanapun Suro Wanggono menghindar, pedang di tangan Pendekar Pedang Angin akan mengejarnya. Hal ini membuat Suro Wanggono kerepotan.

“Hebat...! Rupanya ilmu pedangmu semakin lama semakin bertambah matang, Arum... seperti halnya buah dadamu yang juga makin matang.” puji Suro sambil tertawa terkekeh, membuat wanita cantik itu semakin bertambah panas. Karena ia tahu ucapan Suro Wanggono hanyalah sebuah ejekan kepadanya.

“Jangan banyak bacot! Terima seranganku ini...!” Arum Kinanti makin mempercepat serangannya yang sudah sangat cepat. Pedang di tangannya bergerak berkelebat cepat, menimbulkan sinar putih keperakan yang bergulung dan mengejar Suro Wanggono.

Serangan dari Arum Kinanti jelas merupakan serangan berbahaya, itu sebabnya Suro Wanggono yang tidak memegang senjata mau tak mau harus mengeluarkan ilmu peringan tubuh untuk berkelit kesana kemari.

Satu sodokan gagang pedang Arum yang merangsek ke arah dada Suro Wanggono datang dengan cepat, disusul oleh tendangan kaki kanan ke arah lambungnya. Perpaduan gerak yang amat cepat dan tentunya mematikan, jika Suro lengah, bukan tidak mungkin nyawanya segera terbang! Suro Wanggono berkelit ke samping dengan tangan bergerak kencang ke arah kaki lawan yang hendak menendang ke lambungnya.

Gerakan Suro ini tak kalah cepat, sehingga membuat Arum kaget menghadapinya. Pendekar wanita cantik itu tidak menyangka jika serangan balasan lawan begitu cepat dan tidak terduga. Buru-buru Arum menarik kembali kakinya, sedangkan tangannya kini menyodok dengan menggunakan gagang pedang, diputarnya dengan cepat untuk menyerang Suro Wanggono.

“Heits! Hebat!” puji Suro dengan senyum sinis menyaksikan bagaimana lawan menggerakkan pedangnya sedemikian rupa, seandainya ia lengah sedikit saja, mata pedang yang tajam akan membelah tubuhnya menjadi dua. Suro menarik tubuhnya ke belakang dua tindak sementara tangannya bergelung dan bergerak cepat meremas buah dada Arum Kinanti.

Gerakan tangan Suro Wanggono yang cabul dan kurang ajar itu tentunya membuat Arum Kinanti terbelalak kaget. Segera tangan kanannya diputar untuk membabat tangan kiri Suro Wanggono yang sudah bertindak kurang ajar dengan meremas-remas buahdadanya, namun nyatanya serangan itu hanyalah pancingan belaka! Begitu pedang Arum menyerang, dengan cepatnya tangan Suro ditarik ke belakang dan dengan jurus Pukulan Gada Angin, Suro Wanggono menghantam tangan Arum yang tengah memegang pedang.

Takk!

“Aduuhh!” teriak Arum Kinanti kesakitan, nyeri sekali rasanya seperti tersengat ribuan lebah akibat pukulan yang tidak main-main dari sang lawan. Wanita cantik itu terlempar ke belakang sementara pedangnya terjatuh ke tanah.

Suro Wanggono tertawa terbahak-bahak menyaksikan bagaimana Arum Kinanti terlihat tegang setelah pedang di tangan terjatuh. Apa jadinya Pendekar Pedang Angin tanpa pedangnya? Dengan langkah kaki perlahan, Suro berjalan ke arah Arum yang makin ketakutan. Si cantik itu tahu, tentunya Suro Wanggono akan berbuat kurang ajar padanya. Entah sudah keberapakalinya perbuatan kurang ajar itu hendak dilakukan oleh Suro Wanggono, namun selalu berhasil digagalkan oleh Bima Soka.

Namun kini Suro tidaklah sendiri, bersamanya ada lima jawara aliran hitam yang tengah mengeroyok Bima Soka. Bagaimana mungkin suaminya itu dapat menolongnya jika ia sendiri tengah sibuk menghadapi keroyokan teman-teman Suro Wanggono, terlebih tanpa jurus Inti Angin Sakti, belum tentu ia akan menang. Tak ada lagi yang bisa menolong Arum Kinanti dari rasa takut terhadap tindakan yang bakal dilakukan oleh Suro Wanggono terhadapnya.

“Tidak ada lagi orang yang bisa menolongmu, cah ayu. Saat ini juga kamu harus mau melayaniku.” Kata Suro Wanggono sambil terkekeh senang. Ia mengelus-elus kemaluannya di depan Arum dengan wajah cabul. Sudah terbayang dalam benaknya, bagaimana mulus dan indahnya tubuh wanita yang tengah ketakutan dihadapannya ini. Keindahan tubuh dan kecantikan wanita inilah yang senantiasa menggoda, sehingga ia selalu berharap dapat memilikinya.

“Mundur! Bedebah cabul sialan! Jangan harap kau akan dapat menikmati tubuhku! Kalaupun bisa, aku sudah menjadi mayat sebelum hal itu dapat kau lakukan!” ancam Arum Kinanti melangkah mundur meninggalkan Suro Wanggono yang sudah ditelan nafsu birahi. Wanita cantik yang ketakutan itu mencoba mengingat-ingat ada senjata apa lagi di dalam rumah yang bisa dijadikan senjata untuk melindungi dirinya.

“Hmm... mungkinkah itu kau lakukan seorang diri sementara suamimu menghadapi kawananku? Jangan khawatir, tidak akan kubiarkan kau sengsara. Kau hanya akan mendesah penuh nikmat.” suara serak Suro Wanggono membuat Arum bergidik ketakutan. “Tak akan kubiarkan kau melakukan apapun yang akan merugikan kita berdua, sebelum kudapatkan tubuh indahmu itu.”

Suro Wanggono tertawa keras, lalu kakinya melangkah lebih cepat ke arah Arum Kinanti yang makin takut dan tegang. Seumur hidup, baru kali inilah pendekar wanita itu merasa ketakutan. Ia tahu Suro Wanggono kini bukan Suro yang dulu, entah siapa yang mengajarinya, jurus yang dikeluarkannya sudah tidak murni lagi jurus dari Perguruan Angin Sakti. Suro telah mendapatkan guru baru yang jelas sakti mandraguna, itu sebabnya kali ini ia kalah langkah dalam gerakan dan tenaga dalam, gara-gara gelap mata meremehkan lawan. Mata Arum Kinanti menyorot tajam penuh kebencian ke arah Suro Wanggono yang cengengesan dengan sesekali menjulurkan tangan untuk meraih tangan sang bidadari idaman.

“Jangan macam-macam, Suro Wanggono! Aku adalah istri Bima Soka, adik seperguruanmu!” gertak Arum mencoba menyadarkan Suro dari keinginan kotor yang sudah amat membuncah dalam benak sang penjahat.

Namun mata lelaki itu sudah merah dibakar api nafsu birahi yang membara. Sekian tahun niatan nista itu ia pendam, kini berkobar dan menyala hebat, karena untuk pertama kalinya ia yakin dengan kemampuannya untuk mendapatkan tubuh Arum Kinanti. “Aku tidak macam-macam, cah ayu. Kalau saja kalian mau menyerahkan kitab itu... dan juga dirimu... semua akan baik-baik saja.”

“Tidak tahu malu! Orang seperti dirimu tidak pantas memiliki kitab itu! Lagipula kitab itu tidak ada pada kami, sampai kapan kami harus menjelaskan?! Dasar bebal!” bentak Arum Kinanti sebelum ucapan kakak seperguruannya itu selesai.

Suro Wanggono menyeringai dibentak begitu kerasnya, matanya yang merah terbakar memandang tajam ke arah Arum Kinanti, napasnya berdengus, bagai diburu nafsu dan dendam mendalam. “He... he... he... kalian memang pintar. Sebenarnya kitab dan juga dirimu adalah milikku. Satu persatu akan kudapatkan kembali.” Ujar Suro Wanggono seenaknya. “Batang kejantananku sudah tak sabar lagi ingin menguasai liang cintamu, sayang, bukankah lebih baik kau bersiap membuka selangkanganmu lebar-lebar?”

“Cihh! Tak tahu malu...!” bentak Arum Kinanti. “Kata-katamu semakin menjijikkan, Suro Wanggono! Kau kira aku ini perempuan apa?”

Keduanya terus melangkah masuk ke sisi dalam rumah, hingga mereka berdua saja yang ada di ruangan. Justru inilah yang diharapkan oleh Suro Wanggono, karena dengan begitu, apa pun yang akan ia lakukan terhadap Arum Kinanti, tidak akan ada yang mengganggu.

Bukannya menemukan senjata baru, Arum justru makin terpojok. Keadaannya makin tidak menguntungkan. Arum segera mengerahkan tenaga dalam dan bersiap untuk melawan Suro Wanggono yang sudah kerasukan setan, jika harus dengan tangan kosong maka dia akan melawan dengan tangan kosong!

“Hiaaaat!”

Arum Kinanti secepat kilat menyerang Suro Wanggono dengan pukulan jarak jauh secara beruntun disusul dengan lompatan ke arah pria hidung belang dihadapannya. Ketika jarak sudah cepat dengan berputar, Arum menendang dada laki-laki itu tanpa ampun!

Dess!

Suro Wanggono terhuyung lima depa ke belakang. Matanya terbelalak gusar pada Arum Kinanti, ia tidak mengira wanita cantik itu masih sanggup menghimpun tenaga. Sejenak laki-laki brewok bertubuh gempal itu merasakan sakit di dada, namun dapat disembuhkannya dengan cepat. Lagi-lagi bibirnya tersenyum menghina. “He... he... he, ternyata ilmumu masih sama saja seperti dulu, cah ayu. Ketahuilah! Suro Wanggono yang sekarang sudah bukan Suro Wanggono yang dulu!”

Setelah berkata demikian, dengan sekali lompat Suro sudah berada tepat di hadapan Arum!

Tentu saja Arum terkejut dengan gerakan lincah Suro, ia segera mundur dengan kuda-kuda, dan secepat kilat menyerang Suro Wanggono. Tak pelak keduanya segera bertukar pukulan dan tendangan tangan kosong. Teknik pukulan Arum Kinanti tentu saja adalah jurus pukulan yang sudah dikenal luar dalam oleh Suro, Pukulan Gada Angin. Jurus yang sama digunakan oleh pria itu untuk menyerang Arum. Karena telah mengenal jurus masing-masing, keduanya bertarung sengit hingga sesekali melompat tinggi ke langit-langit.

Namun tak bisa dipungkiri Suro Wanggono jauh lebih unggul dalam hal teknik tangan kosong dibandingkan Arum Kinanti yang jarang beradu pukulan dan sudah terbiasa menggunakan pedang. Pada sebuah kesempatan, Suro berhasil melesakkan satu pukulan ke dada Arum Kinanti.

“Aaaahkkgg!” pekik Arum Kinanti kesakitan, tubuhnya terhuyung beberapa tombak ke belakang sembari memegang dadanya.

Suro Wanggono menyeringai, ini dia kesempatan muncul! Dengan sangat sigap ia melompat maju dan memeluk tubuh Arum Kinanti!

“Hup...!”

“Auuuhh, tidaaak....!” Arum Kinanti kembali memekik sambil mencoba menghindari sergapan Suro Wanggono. Kaki kanannya memang mampu digeser agak melebar, tapi tetap saja Suro Wanggono masih sanggup meraih pakaiannya.

Breeeet!

Pakaian yang dikenakan pendekar wanita itu robek di bagian dada, sehingga buah dadanya yang putih, kenyal, montok dan ranum tampak jelas terlihat. Kemolekan sang bidadari membuat Suro Wanggono menelan ludah berulang kali, sedangkan Arum Kinanti kerepotan berusaha menutupi ketelanjangan dadanya dengan kedua tangan. Si cantik itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata masih memandang tegang ke arah Suro Wanggono yang kian kerasukan setan.

Sekali lagi tubuh pria gempal itu melompat untuk menerkam Arum, dan karena ia tidak lagi dapat memusatkan perhatian, Arum tak lagi dapat menghindar! Dengan buas Suro Wanggono menyergap bidadari idamannya.

“Lepaskan! Lepaskan aku, pengecut!” jerit Arum Kinanti sambil terus berontak untuk dapat melepaskan dekapan kokoh tangan Suro Wanggono yang kian beringas dan terus menciumi wajahnya.





.::..::..::..::.





Kegaduhan di dalam rumah, rupanya membangunkan seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun yang tengah tertidur di pembaringan di kamarnya. Bocah kecil itu melangkah keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Betapa terkejutnya bocah itu ketika menyaksikan ibundanya berada dalam dekapan seorang lelaki brewok gemuk dengan pakaian serba hitam dan sitar bertengger di punggung.

Darah bocah yang bernama Bara Sembrani Watulanang itu mendidih menyaksikan ibunya meronta-ronta dalam pelukan lelaki asing yang hendak me-rudapeksa. Naluri untuk menolong ibunya muncul seketika. Dengan memekik seperti seekor anak kucing, bocah itu melompat dan menerkam Suro Wanggono.

Suro Wanggono yang sedang asyik menggumuli Arum Kinanti tidak menyadari serangan itu. Tubuh Bara melompat ke atas Suro dan menggigit tengkuknya dengan geram.

“Aduuuuh! Kurang ajar!! Bocah setan! Kubunuh kauuu...!!”

Sembari berteriak kesakitan, tangan kanan Suro Wanggono memukul bocah itu. Apalah arti kekuatan seorang anak kecil dibandingkan tenaga kuat Suro? Tak ayal lagi, mulut Bara langsung berteriak kesakitan setelah terkena pukulan, tubuhnya terpelanting keras hingga membentur bilik rumahnya yang langsung jebol.

Begitu kuatnya pukulan Suro Wanggono, sampai-sampai tubuh Bara terus berguling-guling ke luar dan baru berhenti ketika membentur sebongkah batu yang cukup besar.

“Ugkkkhhh!” erang Bara saat sekujur tubuhnya terasa sakit akibat pukulan Suro Wanggono. Meski kepalanya pusing, anak berusia 10 tahun itu terus berusaha bangkit. Bayangan sang ibu dalam dekapan laki-laki jahat membuatnya semangatnya tak padam. Dengan langkah pincang, bocah kecil itu berusaha bangun, namun ketika ia hendak bangkit, Bara mendengar kegaduhan lain di depan rumahnya.

“A... ada yang sedang bertarung?” naluri Bara kemudian membimbingnya untuk melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi di halaman depan rumahnya. Betapa terkejutnya bocah kecil itu saat menyaksikan kejadian sebenarnya. Sang ayah tengah dikeroyok oleh lima orang aneh bersenjata maut. Bara tentunya kebingungan akan peristiwa yang tengah terjadi, namun sekali lagi nalurinya memerintahkannya untuk membantu sang ayah yang tengah dikerokoyok lima orang jahat itu. Tanpa pikir panjang, Bara segera melompat menyerang salah satu dari lima orang pengeroyok dan dengan geram menggigit tangan orang itu kuat-kuat!

“Aduuuuh!” teriak Datuk Sesat Wajah Hitam kesakitan, “Bocah kurang ajar! Kubunuh kau...!” maki datuk aliran hitam itu sambil memegangi tangannya yang tergigit oleh Bara. Matanya memandang bengis ke arah bocah kecil yang tadi menggigitnya.

Melihat buah hatinya ada di medan pertarungan, seluruh otot Bima Soka kian tegang, dia sendiri sedang dalam keadaan terjepit! Bagaimana harus melindungi buah hatinya? Celaka! Kalau sampai terjadi apa-apa pada Bara, ia tak akan sanggup memaafkan dirinya sendiri. Belum tentu ia akan sanggup menyelamatkannya, karena ia sendiri kini tengah repot menghadapi lima orang perkasa dari aliran hitam.

“Baraaaa! Cepat tinggalkan tempat ini!” seru Bima Soka sambil menangis serangan yang dilancarkan keempat lawannya.

“Tapi... tapi... Ayah.... Ibu harus ditolong!” sahut Bara hendak lari ke dalam rumah ketika telinganya mendengar jeritan sang Ibu yang berusaha melepaskan diri dari kebuasan Suro Wanggono.

“Bara! Jangan nekat! Selamatkan dirimu dulu, Nak! Cepaaat...!” seru Bima semakin panik. Ia takut putranya akan mendapatkan celaka jika tidak segera pergi dari tempat itu. Dia sadar, Suro Wanggono dan kelima karibnya yang kejam tidak akan membiarkan anaknya hidup. Mereka adalah sebenar-benarnya perwujudan iblis.

Bara semakin kebingungan, jeritan ibunya seakan mengharap pertolongannya, sementara sang ayah menyuruhnya segera pergi meninggalkan tempat itu. Saat bocah kecil itu kebingungan dan menahan isak tangis, tiba-tiba terdengar seruan sang ayah!

“Baraaa! Awasss!!”

Bara Sembrani Watulanang tersentak kaget ketika melihat Datuk Sesat Wajah Hitam melontarkan sebuah tendangan ke arahnya. Bara yang pernah diberikan pelatihan ilmu pertarungan dari kedua orangtuanya berusaha mengelak dari tendangan itu, sayang terlambat. Tendangan yang dilancarkan oleh Datuk Sesat Wajah Hitam sangat cepat, sehingga dia tidak mampu mengelak. Tanpa ampun, tubuh bocah kecil itu menerima tendangan dari sang datuk sesat.

Bdaggkkhhh!

“Aaaaaahhhhhh!” Bara menjerit bersamaan dengan tubuhnya melayang bagaikan kayu kering terkena tendangan Datuk Sesat Wajah Hitam. Terjatuh kemudian, tubuh Bara terguling-guling dan berhenti saat membentur pohon.

Tenaga dalam yang sering disalurkan oleh ayah, ibu, paman dan kakeknya dari Perguruan Seribu Angin sedikit banyak membantu melindungi tubuh Bara. Daya tahan tubuh bocah kecil itu sungguh luar biasa, karena kalau ia orang lain, tentu tulangnya akan langsung remuk terkena tendangan Datuk Sesat Wajah Hitam. Tidak dengan Bara! Dia hanya merasakan sekujur tubuhnya panas bagai terpanggang. Bocah kecil itu mengeluh lirih, kemudian dengan tertatih-tatih, tubuh kecilnya berusaha bangkit.

Memang badannya terasa sangat sakit, namun ia kembali teringat akan ibunya yang tengah dalam bahaya, dalam dekapan seorang lelaki dengan sitar di punggung. Tentu saja pria itu akan melakukan hal-hal yang tidak baik terhadap orang tuanya tercinta. Untuk itu Bara harus segera menolong sang Ibunda. Pada saat bersamaan, dia juga teringat ayahnya yang menyuruh agar segera pergi meninggalkan tempat itu. Sempat ragu-ragu, tatapan terakhir sang ayahanda dari kejauhan membuat Bara tahu apa yang harus ia lakukan.

“Ayah... Ibu... semoga kalian selamat... maafkan aku... aku sama sekali tidak ada gunanya sama sekali... aku tidak mampu menolong kalian...” Bara kecil meninggalkan lokasi pertarungan dengan tertatih-tatih, ia menuruti apa yang dikatakan oleh ayahandanya.

Bara memang ingin sekali menolong kedua orangtuanya, namun ia sadar ia justru akan merepotkan mereka karena tidak bisa berbuat apa-apa, ilmu silatnya jelas belum semahir orang-orang itu. Dengan berada di dekat mereka, ia justru akan membuat ayah dan ibunya kehilangan kesempatan menjaga diri dan sibuk melindungi dirinya. Bara tahu melarikan diri adalah tindakan yang pengecut bagi seorang pendekar, namun saat ini dia bukanlah seorang pendekar, dia bukanlah siapa-siapa, dia hanya bisa berharap orangtuanya baik-baik saja.

Dengan merasakan sakit serta panas di sekujur tubuh akibat tendangan Datuk Sesat Wajah Hitam, kaki bocah kecil itu terus melangkah semakin jauh dari tempat ayah dan ibunya tengah bertarung dengan orang-orang jahat. Tujuannya satu: Perguruan Seribu Angin! Entah di mana tempat itu berada! Hanya merekalah yang bisa menolong kedua orangtuanya!

Kaki kecil itu terus melangkah, menelusuri jalanan gelap dan lengang di hutan angker Alas Purwo, menjauh dari Karang Wetan. Mungkin karena badannya sakit, badan bocah kecil itu terasa lemah dan gontai. Kepalanya berat, bumi yang dipijak bagaikan berputar, hingga bocah kecil itu tidak lagi sanggup tetap tegak. Ia tidak sadar, saat kakinya telah berada di lereng sebuah gunung.

Hegkh!

Desakan sengatan dalam dadanya membuat Bara memuntahkan darah. Sekali lagi tubuh bocah itu terpelanting, berguling ke bawah, terus meluncur tanpa dapat tertahan. Kesadarannya menjadi semu, samar-samar dan buram. Bara akhirnya pasrah menerima apapun yang terjadi. Tubuhnya terus saja berguling ke bawah lereng, tempat sebuah gua berada. Gua yang sepertinya belum pernah diinjak oleh kaki manusia karena posisinya yang tersembunyi.

Tubuh kecil Bara terus berguling semakin dekat dengan mulut gua yang seakan siap menelan tubuhnya yang mungil. Tanpa bisa ditahan, tubuh Bara masuk ke dalam gua dan berhenti ketika tubuhnya menghantam pelan sebuah batu raksasa di tengah gua.

“Uuuh....” lirih pelan suara Bara yang kesakitan. Semua terlihat gelap gulita, ia berusaha mengetahui di mana sebenarnya ia sekarang berada, namun kepalanya masih terasa sakit. Begitu juga dengan sekujur tubuhnya. Bocah kecil itu akhirnya terkulai pingsan.

Tanpa diketahui oleh Bara, tiba-tiba saja sebuah batu besar menutup pintu gua. Batu itu bagaikan tebing kokoh yang menggantikan mulut gua dengan dinding batu cadas yang kokoh. Saat ini, tidak akan ada orang yang tahu kalau di balik batu cadas yang kokoh itu terdapat sebuah gua.





.::..::..::..::.





Pertarungan Bima Soka Watulanang melawan kelima penjahat dari aliran hitam yang merupakan kawanan Suro Wanggono masih berlangsung seru. Hingga saat ini, Bima Soka seakan terdesak hebat oleh serangan kelima lawan yang makin bernafsu untuk menjatuhkan pendekar aliran putih yang namanya harum di dunia persilatan itu. Namun jangan salah menyangka Bima Soka akan mengalah begitu saja! Selama hayat masih dikandung badan, ia akan tetap melawan sampai titik darah penghabisan. Inilah jiwa ksatria yang dimiliki oleh Bima Soka, sang pendekar sejati.

Senjata sakti Golok Angin di tangan Bima Soka bergerak cepat, menahan serangan lawan yang datang silih berganti. Sesekali tangannya mencoba menyodokkan golok ke arah lawan yang menyerang, namun lawan sudah mendahului dari arah berlainan, mau tak mau Bima Soka hanya sanggup bertahan total dan mengurungkan serangan.

Kali ini serangan datang dari arah belakang! Bima Soka membalikkan tubuh dan menangkis serangan lawan.

“Haaap!”

Senjata rantai berujung bola berduri yang dilontarkan oleh si Kembar Pencabut Nyawa berdesing di atas kepala Bima Soka, cepat-cepat pendekar itu merunduk ke bawah untuk menghindar dari sabetan ganas bola duri. Kesempatan tak disia-siakan, Bima Soka menebaskan goloknya ke arah rantai yang satu lagi.

Rantai milik Magiwa berhasil dielakkan dan kini rantai milik Wilawa berbenturan dengan Golok Angin, menimbulkan suara keras yang memekakkan telinga.

Trang!

Wilawa jelas terkejut! Tangannya langsung bergetar karena benturan. Ia tidak menyangka orang yang terlihat ringkih seperti Bima Soka mampu mengeluarkan tenaga yang sangat besar. Bisa dibilang tenaga Bima Soka mungkin tiga tingkat diatasnya. Kalau saja ia hanya seorang diri, sudah pasti dengan cepat Pendekar Golok Angin akan dapat mempecundanginya dengan cepat. Wilawa dibuat kagum oleh kemahiran Bima Soka.

Tanpa ampun dan tak memberi ruang napas, Bima Soka diserbu oleh serangan lain dari samping, pedang Alis Kincir dan kipas besi Buaya Berkipas yang tidak kalah cepat dan ganas dibandingkan dengan serangan dua lawan sebelumnya menyerangnya. Senjata pedang bengkok dan kipas maut ini jauh lebih berbahaya dari senjata rantai bola berduri milik Kembar Pencabut Nyawa. Begitu cepatnya serangan kedua pendekar aliran hitam ini, jalur senjatanya menimbulkan suara laksana dengung ribuan tawon.

Gebrakan Alis Kincir dan Buaya Berkipas menebas, mengincar lambung dan pinggang lawan. Bima Soka bergerak cepat untuk berkelit dari serangan keduanya, sembari membabatkan Golok Angin ke Alis Kincir setelah mengelak dari kedua serangan.

Trang!

Benturan golok dan pedang ganda menimbulkan percikan api sekaligus erangan dari si Alis Kincir. Tangannya yang memegang pedang terasa nyeri, hingga pedangnya bergetar hebat.

“Hebat...! Kau benar-benar hebat, Bima Soka! Tapi kami berlima tidak akan kalah olehmu!” dengus Si Alis Kincir sambil menyeringai kesakitan karena benturan itu. Kemudian dengan menggerakkan tangan ke atas, Alis Kincir kembali menyerang bersamaan dengan keempat kawan lainnya.

“Hiaaaat!”

Senjata di tangan kawanan penjahat bergerak cepat, berusaha membatasi gerak Bima Soka. Meskipun begitu, Pendekar Golok Angin nampaknya tidak gentar sedikit pun menghadapi kurungan kelima lawannya. Matanya tajam menatap setiap gerakan kelima lawan yang terus mengitari sambil memutar senjata masing-masing. Bima Soka bergerak cepat dengan memutar, menyapu kepungan lawan sembari menebaskan golok di tangannya sedemikian rupa sehingga menciptakan sebuah benteng yang akan melindungi tubuhnya dari setiap serangan lawan. Golok sakti di tangannya pun menghilang berubah menjadi cahaya putih keperakan yang menutup tubuhnya. Inilah jurus pertahanan yang terkenal itu, tenaga Inti Angin Sakti.

“Seraaang!”

Kembali terdengar seruan Alis Kincir mengomando keempat rekannya yang langsung melompat bersamaan untuk menyerang Bima Soka dari lima arah sekaligus. Serangan cepat kali ini disertai pula oleh tenaga dalam yang mereka kerahkan.

“Hiiaatt!” tongkat di tangan Datuk Sesat Wajah Hitam bergerak memukul ke arah kepala Bima Soka, hingga menimbulkan suara menderu keras. Pendekar tua dari aliran hitam itu pun berteriak kencang, “Pecah batok kepalamu!!”

Bima Soka tersentak namun sigap bergerak, segera kakinya dihentakkan ke tanah untuk melompat ke belakang sambil membabatkan goloknya ke arah ayunan tongkat lawan, sedangkan tangan kirinya bergerak menghempaskan pukulan untuk menangkis serangan pedang dan senjata lain yang datang bergelombang.

Trak!

“Hah...!?”

Mata Datuk Sesat Wajah Hitam melotot tak percaya pada apa yang dilihatnya. Toya di tangannya yang terbuat dari kayu langka pilihan dari seberang lautan bisa dibabat putus oleh Golok Angin. Datuk tua yang kejam itupun mundur, untuk sesaat wajah tuanya tertegun menyaksikan kejadian yang baru saja dialaminya. “Celaka! Kalau dibiarkan terus menerus, bisa-bisa justru kami yang mampus meskipun sudah berlima.” bisik Datuk Sesat pada dirinya sendiri. Ia mencari tahu apa yang bisa membuat pertahanan Bima Soka mengendur. “Harus ada cara untuk memupus pemusatan perhatiannya.”

Ternyata bukan hanya Datuk Sesat Wajah Hitam saja yang kaget, Alis Kincir pun melompat dua tindak ke belakang. Dia tidak menduga kalau serangan pedangnya dapat dipatahkan oleh Bima Soka dengan pukulan. Malah kembali tangannya terasa linu akibat benturan pukulan lawan dengan pedangnya.

“Babo-babo keparat! Harus bagaimana lagi membongkar pertahanannya?”





.::..::..::..::.





Sementara itu, Suro Wanggono berusaha melampiaskan nafsunya pada Arum Kinanti yang tetap berontak untuk melepaskan diri. Namun usaha Arum untuk memberontak itulah yang justru membuat Suro kian bernafsu.

“Lepaskan!” jerit Arum Kinanti dengan suara bergetar. Pakaian telah sebagian lepas dari tubuhnya, sehingga tubuh bagian atas benar-benar terbuka.

“Semakin kau berontak, semakin membuat gairahku kian menggebu, manis...” Suro Wanggono terkekeh. Tangannya kembali bergerak merenggut pakaian yang dikenakan Arum Kinanti sementara bibirnya terus saja menciumi tiap jengkal buah dada istri Bima Soka itu.

Sungguh ranum, wangi dan mempesona buah dada sang pendekar wanita ini. Berulang kali Suro Wanggono menjilati puting payudara Arum tanpa bisa dicegah dan membuat wanita cantik itu merasakan desir sentakan dari buah dadanya, tangis dan air matanya meleleh tanpa bisa dicegah. Inikah nasib yang harus ia alami? Seorang pendekar wanita harus diperkosa oleh laki-laki menjijikkan yang seumur hidup telah ia benci? Dia lebih baik mati daripada harus menahan malu begini!

Ketika kainnya tak mampu lagi bertahan, akhirnya tubuh Arum Kinanti benar-benar polos tak tertutup oleh sehelai benang pun! Tahu dirinya sudah berada di atas angin, dengan gerak cepat Suro Wanggono menotok jalan darah Arum Kinanti, membuat sang Pendekar Pedang Angin tak mampu lagi bergerak. Hanya suaranya saja yang masih terdengar mencaci-maki.

“Pengecut! Laknat! Bedebah busuk....! Lepaskan totokanmu! Tak sudi aku melayanimu, Iblis durjana!” teriak Arum Kinanti yang sudah tak berdaya.

Suro Wanggono tertawa terbahak-bahak.

Saat-saat yang menegangkan bagi Arum berjalan sesuai rencana Suro Wanggono, dengan kasar ia menarik tangan Arum dan memeluk tubuh wangi ibu muda itu. Arum tentu saja tidak mampu melawan karena totokan jalan darahnya. Dalam pelukan sang musuh bebuyutan, Arum mulai meneteskan air mata karena benci dengan keadaan pasrah yang harus ia alami. Tidak seperti ini, tidak boleh... Pendekar Pedang Angin tidak boleh takluk seperti ini...

Suro meraih dagu wanita jelita itu dan mengulum bibirnya yang mungil, sekuat tenaga Arum mencoba mengatupkan bibirnya agar bibir Suro yang menyosor tidak dapat dengan mudah menciumnya, namun tentu saja segala upayanya sia-sia.

Suro mendekap tubuh Arum begitu eratnya dan meski ia tidak mampu menggerakkan sekujur tubuh, Arum masih dapat meronta kecil. Sayangnya gerakan meronta dari Arum memberikan gesekan yang nikmat pada sang lawan. Birahi pria brewok itu makin membahana. Dengan cekatan, Suro berhasil mengulum dan membelit lidah Arum, ia pun dengan kasar berusaha menghisap air ludah sang pendekar wanita sekaligus melepaskan ludahnya ke dalam rongga mulut Arum Kinanti.

Jijik sekali! Arum berusaha melepaskan diri dari totokan dengan mengerahkan tenaga dalamnya, namun Suro pun juga melakukan hal yang sama untuk mencegah Arum bisa dengan bebas melepaskan tenaga dalam. Arum benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa! Dengan benci Arum menahan aroma tubuh Suro Wanggono yang sangat bau, lebih parah lagi tangan durjana itu kini terus saja memilin dan meremas-remas payudaranya dengan bebas.

Ia sudah pernah dipukul, dihajar, dilempar dan ditendang. Namun bagi Arum Kinanti, baru kali ini ia benar-benar dilecehkan sebagai seorang pendekar, tak terasa air matanya mengalir makin deras. Ia masih tetap seorang wanita normal yang tidak ingin merasakan pedihnya perkosaan, ia tidak rela hal yang paling ia jaga bagi suaminya tercinta akan tercemar, rahimnya akan dinodai oleh laki-laki laknat ini. Seandainya mungkin, ingin ia segera mengambil Pedang Angin dan menusuk dirinya sendiri dengan pedang itu. Tapi jika ia mati... bagaimana dengan Bara...?

Karena Arum tak lagi dapat melawan, Suro Wanggono puas sekali berhasil menundukkan sang bidadari pujaan hati. Lihat saja kedua buah dada yang putih mulus dan sempurna tergantung indah di dada sang dewi. Tangan-tangan kasar Suro yang hitam penuh bulu berulang kali menjamah dan mempermainkannya tanpa perlawanan, dengan mulutnya pula, Suro menjilat dan menggigiti puting payudara Arum.

“Heeghhkk!!”

Arum terlonjak antara sakit dan geli, meskipun seorang pendekar - ia masihlah seorang wanita yang akan mulai terbawa oleh rangsangan pada bagian-bagian paling peka pada tubuhnya. Alam bawah sadar Pendekar Pedang Angin mulai menapaki rangsangan yang diantarkan oleh Suro Wanggono.

Arum dibaringkan oleh Suro di atas lantai, jantung wanita jelita itu pun makin berdenyut tidak karuan.

Kali ini Suro Wanggono mengamati bagian kewanitaan Arum dengan bebas dan tanpa halangan, betapa ia takjub dan terpana melihat paha jenjang istri Bima Soka yang mulus tanpa cacat dihidangkan di depan mata. Semua kemolekan Arum ini membuat Suro makin tambah nafsu.

Suro Wanggono menyeringai, apalagi ketika ia melihat belahan kemaluan Arum Kinanti sudah mulai basah karena dibasahi cairan cinta yang muncul karena rangsangan yang sedari tadi ia mulai. Suro makin percaya diri bahwa kali ini dia benar-benar akan sanggup memiliki tubuh mulus sang adik seperguruan. Sepandai-pandainya Arum dan setinggi-tingginya ilmu yang ia miliki, Arum tetaplah seorang wanita dengan tubuh yang dapat diberikan rangsangan, hanya tinggal masalah menghancurkan pikiran wanita itu sepenuhnya.

“Ja... jangan...” bisik Arum lirih tanpa daya. Ucapan yang sama sekali tidak diiindahkan oleh Suro Wanggono yang sudah gelap mata.

Liang kemaluan Arum Kinanti sangat rapi dan tertata indah, meski sudah lembab. Lubang cinta sang Pendekar Pedang Angin masih nampak rapat dan belum ada celah longgar, tidak seperti kemaluan pelacur-pelacur di pelabuhan yang selama ini sering Suro nikmati. Yang satu ini memang sungguh berkelas, beruntungnya dia akhirnya dapat menikmati tubuh sang dewi pujaan hati.

Suro mendekatkan wajah ke arah pembuka liang senggama milik Arum Kinanti dan menyapu liang itu dengan lidahnya yang panjang lagi kasar, tujuan utama Suro jelas titik kelemahan utama yang akan menyentakkan kenikmatan ke wajah sang kekasih hati. Dengan brutal Suro menjilat dan menciumi seluruh bagian kemaluan Arum Kinanti, tidak ada rasa jijik sedikitpun, ia justru merasa nikmat luar biasa.

Arum Kinanti masih terus bertahan, baik itu bertahan dari air mata, lenguhan gairah dan ancaman kenikmatan yang kini menghujani tubuhnya. Namun apalah daya seorang wanita yang sudah ditotok dan terus menerus dihujani rangsangan? Sebisa-bisanya Arum menyembunyikan nafsu, ia tidak bisa menghalanginya apalagi bagian paling lemahnya terus menerus dihajar oleh ciuman dan jilatan yang tak tertahankan! Bahkan Bima Soka pun tidak pernah berlaku seperti ini!

“Hghhhhkkk”

Arum akhirnya mengeluarkan cairan cinta yang melumasi dinding-dinding liang senggamanya. Ia tak tahan lagi dan akhirnya mencapai titik pemuncak, yang tak mungkin ditahan karena tubuhnya tak mampu menolak rangsangan demi rangsangan yang dilancarkan padanya. Kemaluan Arum mengeluarkan cairan yang cukup kental, namun semua cairan itu ditelan Suro!!

Capek, letih, sedih, bingung dan putus asa, semua menjadi pendukung utama kenapa tubuh Arum kian lemah tak bertenaga. Ia sudah tidak mungkin lagi mengelak dari Suro Wanggono, hanya bisa pasrah dan menerima saja keadaan. Arum Kinanti yang terkulai bugil di atas lantai tak lagi mampu melawan.

Nah ini yang ditunggu-tunggu oleh Suro Wanggono! Kepasrahan Arum! Dengan demikian Suro Wanggono dapat dengan bebas memperlakukan apapun pada tubuh wanita jelita ini. Tanpa ragu-ragu Suro Wanggono membebaskan batang kejantanannya di hadapan Arum Kinanti yang terpekik kaget karena melihat batang jantan Suro yang bagaikan kayu bakar yang besar dan keras, Arum Kinanti pun melepaskan pikiran berjuta.

I... itu tidak akan muat... ter-terlalu besar... Kakang Bima Soka tidak seperti itu... tidak... jangannnnn... jangan!!!

Suro membuka kedua kaki jenjang Arum hingga terbuka lebar, penjahat pengusung sitar itu menempatkan diri di posisi yang paling asyik, di antara selangkangan sang dewi. Dua insan manusia berbeda jenis ini akan segera melakukan persetubuhan. Yang wanita adalah seorang pendekar wanita yang cantik jelita dengan rambut hitam panjang dan kulit putih mulus bagaikan awan langit, yang harus siap diperkosa karena tidak sanggup berbuat apa-apa setelah ia ditotok. Sedangkan pria yang sudah siap membuat si cantik jelita berteriak-teriak adalah Suro Wanggono, pria menjijikkan yang dalam keadaan normal tidak akan bisa mendapatkan cinta sang pendekar wanita itu.

Kaki Arum yang melebar dinaikkan hingga bertengger melingkar di pinggang legam Suro Wanggono. Bedebah itu kemudian menggosok-gosokan batang jantannya ke bibir cinta Arum. Makin lama batang jantan Suro mengeras dan menegak. Setelah benar-benar keras dan kencang, Suro mengarahkan batangnya ke mulut kemaluan Arum Kinanti. Batang kejantanan yang besar, hitam dan panjang milik Suro Wanggono sudah siap di bibir kemaluan sang bidadari, siap dilesakkan masuk ke dalam tanpa ampun!

Bibir liang senggama Arum masih rapat terkatup dan belum siap menerima kehadiran batang kejantanan Suro Wanggono yang sudah tidak sabar memasukinya. Dengan jari jemari yang gemuk, Suro Wanggono membuka bibir kemaluan Arum Kinanti dan menyelipkan ujung kejantanannya tepat di tengah-tengah liang senggama wanita cantik itu. Tak tahan lagi dengan kemolekan Arum, Suro mendorong batang kemaluannya masuk hingga ke dalam lubang kelamin sang bidadari.

Saat batang jantan Suro Wanggono menerobos masuk ke dalam liang cinta Arum Kinanti dengan tenaga yang besar dan kencang, tak pelak lagi wanita cantik itupun terbelalak dengan mulut terbuka lebar. Seutas jeritan tertahan di mulut Arum, sejurus kemudian ia hanya bisa memejamkan mata sambil menahan nyeri dan sakit pada liang senggamanya.

Namun akhirnya ia benar-benar tidak dapat menahan lagi rasa pedih itu.

“Aduuuuuuuh!! Hentikaaaaaaan!!!”

Suro tidak mempedulikan teriakan putus asa dari Arum Kinanti, ia masih terus mendorong kejantanannya untuk melesak tambah dalam hingga ke dasar liang senggama Arum. Air mata deras turun tanpa bisa ditahan membasahi pipi putih Arum Kinanti, sementara tubuhnya terguncang-guncang di bawah tubuh kekar Suro Wanggono yang menyetubuhinya tanpa ampun.

“Hentikaaan... Suroo!! Hentikaaaaaan!!” jerit Arum meminta belas kasihan pada pria yang sudah gelap mata karena bisa melesakkan kejantanannya ke dalam liang senggama Pendekar Pedang Angin. Tak terasa air mata Arum Kinanti leleh tanpa bisa ia tahan. Tidak ia tidak boleh menangis, ia tidak boleh memberikan begundal ini kenikmatan karena telah berhasil memperkosanya!

Namun Suro Wanggono mengetahui air mata Arum telah leleh, sambil memeluk erat tubuh sang bidadari, Suro Wanggono yang masih dalam posisi melesakkan kejantanannya, mencium bibir Arum seakan tidak ingin terpisahkan apapun. Pria brewok dan gempal itu ingin bibir mereka juga menyatu seperti halnya kejantanannya yang telah menjajah liang senggama Arum Kinanti. Inilah kali pertawa mereka berkawin, dan akan berlanjut selamanya, karena Arum adalah miliknya!

Lama kelamaan, rasa sakit dan perih yang menghunjam tubuh Arum tak bisa ia tahankan. Ia tetaplah seorang wanita biasa yang bisa merasakan mana yang nikmat dan mana yang tidak. Yang sekarang ini... lama kelamaan... berbeda. Arum mencoba mengerahkan tenaga dalam untuk membebaskan diri dari totokan si durjana perenggut kehormatannya sebagai seorang Ibu dan Istri ini, namun tidak ada hasil. Ia tidak bisa melepaskan totokan Suro Wanggono.

Suro Wanggono merem melek merasakan kenikmatan luar biasa yang diberikan oleh tubuh indah Arum Kinanti, ia tidak menyangka bahwa meskipun wanita jelita ini adalah istri orang dan ibu seorang anak, namun menyetubuhinya bagaikan memerawani seorang gadis yang masih peret. Nikmatnya luar biasa!

Suro Wanggono membiarkan batang jantannya yang panjang dan besar tetap berada di dalam liang senggama Arum Kinanti, ia ingin merasakan kehangatan yang diberikan oleh Arum secara sempurna. Kehangatan dari seorang wanita pendekar yang sesungguhnya. Dinding kemaluan Arum terus saja berdenyut, memijat batang jantan Suro yang keras bagai batang kayu... pria itu menikmati semua ini sambil mengulum bibir Arum dan menjilati bagian belakang telinganya dibasahi keringat mengucur deras.

Rambut Arum yang tadinya digelung sudah diurai menampilkan kecantikannya untuk dinikmati oleh pria yang sejak lama menjadi musuh bebuyutannya. Suro tidak menghentikan ciuman dan jilatannya di sekujur tubuh sang dewi yang ayu. Mulai dari tengkuk, jilatan Suro berpindah ke arah bahu putih yang licin meski sudah bermandikan keringat. Dari bahu, Suro melanjutkan ciumannya ke bawah, ke arah payudara Arum Kinanti.

Di buah dada Arum yang ranum itulah mulut pria yang brewok itu kemudian bertahan lama, memainkan puting susunya dengan gigi dan lidah, lalu meremas-remas buah dadanya dengan buas. Cupang demi cupang ditinggalkan Suro di seluruh bukit indah dada Arum Kinanti. Jejaknya mulai banyak menghiasi kedua payudara yang tadinya putih dan amat mulus.

Suro ingin membuat Arum Kinanti bisa menikmati ini semua, membuat bidadarinya sadar bahwa apa yang ia berikan jauh lebih baik dan lebih nikmat daripada yang diberikan oleh Bima Soka. Tentu saja karena tidak bisa melawan, tubuh Arum secara reflek menerima rangsangan demi rangsangan dengan terbuka, ini artinya Arum perlahan-lahan dikhianati oleh tubuhnya sendiri, karena ia mulai merasakan nikmat.

Nikmat? Tidak... tidak boleh! Ia lebih baik mati daripada... aaahhhhh! Dewataaa Aguuuung! Arum memohon berulang-ulang namun... iniiii... maafkan akuuuu Kakang Bima Sokaaaa! Maafkan akuuuu!

Untuk kedua kalinya, Arum Kinanti mencapai batas pemuncak. Air matanya kembali meleleh karena gagal mempertahankan diri dari rangsangan Suro Wanggono.

Sang penjahat keji bergerak maju mundur dan terus menghujamkan kemaluannya ke dalam liang cinta Arum Kinanti. Kedua tangannya memegangi pinggang sang bidadari agar tidak berubah posisi, harus diakui bahwa sebagai manusia normal, Arum pun nampaknya mulai terbiasa dengan sodokan kelamin Suro Wanggono di dalam tubuhnya. Tapi tentu saja ia lebih baik mati daripada mengakuinya. Arum memejamkan kedua matanya, bagian tubuh selain mulut yang bisa ia gerakkan.

Sudah cukup... hentikan... cukup... hentikan... hentikan... demi dewata... hentikan...

Di luar rumah memang sedang terjadi pertarungan sengit antara Pendekar Golok Angin dan kelima kawanan aliran hitam, namun di dalam rumah, hanya terdengar dengus napas dan erangan kedua makhluk yang sedang bersenggama, berkawin meski dalam paksaan.

Suro Wanggono tidak ingin mengakhirinya kawinnya dengan Arum Kinanti berakhir cepat, namun ia masih manusia normal yang dengan cepat mendaki puncak. Setelah beberapa saat akhirnya penjahat brewok itu melepaskan cairan jantannya disertai gerakan cepat dan sodokan kencang ke dalam kemaluan Arum. Sambil melenguh dengan suara parau, Suro menekan terus dan terus, seakan ingin menuntaskan dendam birahi bertahun-tahun ke dalam tubuh Arum Kinanti dengan kasar. Cairan kejantanan pria itu keluar begitu banyak, hingga tak mampu ditampung oleh liang cinta Arum Kinanti. Rembesannya keluar membludak keluar, membasahi paha-paha mereka.

Di saat yang bersamaan, ternyata Arum Kinanti pun kembali mengalami masa pemuncak... tubuhnya yang terdiam menggelinjang hebat tak terkendali secara reflek, erangan panjang terlontar dari mulut wanita cantik itu. Dalam hati tentu saja Arum terkejut dan malu... ia tidak mengira akan mampu meraih masa pemuncak seperti ini dengan pria yang sangat ia benci... ia sama sekali tak bisa menutupi dan menyembunyikan kenikmatan ini...

Sementara itu Suro yang mengetahui Arum telah mencapai pemuncak, segera mendekap tubuh pendekar wanita itu dengan erat. Pinggulnya bergerak makin cepat, mendorong-dorong kemaluannya seakan ingin dilepaskan dan dibiarkan selamanya di dalam rahim wanita jelita yang masih jadi istri orang lain ini. Cairan kenikmatan dikeluarkan berulang kali oleh Suro Wanggono untuk memenuhi liang senggama sang dewi, dengan ini... dengan ini ia menandai bahwa Arum Kinanti telah menjadi miliknya seorang.

Suro menciumi seluruh wajah Arum, kening, pipi, dan terutama bibirnya. Dikulumnya dalam-dalam mulut sang pendekar wanita yang kini sudah sepenuhnya ia kuasai, bibir mungil milik Arum tak lagi menjadi impian semata, namun benar-benar bisa ia nikmati seutuhnya. Arum yang sudah terlalu letih dan lagi berada dalam kondisi tertotok jelas tak kuasa menolak. Baru kali ini ia mengalami perasaan dikuasai oleh laki-laki selain suaminya tanpa daya untuk menolak.

Sampai akhirnya gerakan Suro Wanggono mulai mengendor, ia masih terus menindih tubuh sang bidadari idaman yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Selama beberapa menit keduanya terpaku seperti itu, sampai batang kejantanan Suro melemah dan keluar dengan sendirinya dari lubang senggama Arum Kinanti.

Suro Wanggono akhirnya bergulir ke samping ke sebelah Arum Kinanti. Wajahnya yang garang dan kejam menyiratkan gurat kepuasan. Ia telah berhasil menunaikan hasrat yang selama ini ia pendam dan dambakan pada tubuh Arum Kinanti yang molek. Istri Bima Soka itu telah berhasil ia perkosa, ia kuasai tubuh dan liang cintanya. Lubang tersembunyi yang selama ini hanya menjadi milik sang suami.

Sementara itu Arum Kinanti yang lemah hanya bisa menangis... betapa ia berdosa telah mengkhianati suaminya, sungguh amat kotor dan menjijikkan karena telah bersetubuh dengan pria laknat seperti Suro Wanggono. Selepas totokan ini, dia akan membunuh Suro Wanggono dan menusukkan pedangnya ke jantungnya sendiri untuk memupus rasa dosa yang sedemikian dalam!

Terdengar lengkingan seorang laki-laki dari arah halaman rumah.





.::..::..::..::.





Suro melihat keluar dan menyaksikan rekan-rekannya kerepotan dalam menghadapi Bima Soka. Mereka harus dibantu! Sambil tertawa keji, Suro Wanggono membopong keluar tubuh telanjang Arum Kinanti yang kelelahan setelah diperkosa oleh pria keji ini. Suro kemudian meletakkan tubuh wanita itu di rerumputan, tak jauh dari arena pertarungan Bima Soka melawan para begundal aliran hitam yang menjadi kawanan Suro Wanggono. Lalu dengan nafsu masih memuncak, Suro kembali melesakkan penisnya ke dalam liang cinta Arum Kinanti!

“Haggghkkk!!” lenguh Arum Kinanti untuk kesekian kalinya. Dedemit ini! Mau berapa kali lagi ia memperkosanya? Ia sudah tak mampu lagi... oh tidak! Ini di luar rumah...! Itu... itu Kakang Bima Soka!! Mendadak sontak Arum sadar akan posisi keduanya berada sekarang, ia tidak lagi ada di dalam rumah! Ia sedang di luar, perkosaannya dipertontonkan pada suami dan kelima penyerangnya!

Sudah menjadi tujuan Suro Wanggono untuk memancing emosi dan kesabaran Bima Soka, hanya dengan cara itulah ia bisa membuyarkan konsentrasi sang pendekar yang memiliki pertahahanan papan atas! Dengan penuh nafsu, ia menggoyangkan pantatnya agar tiap lesakan bisa menembus liang cinta Arum Kinanti makin dalam. Semakin Arum menjerit dan menangis, semakin puas rasanya ia bisa menaklukannya, dan semakin bingung Bima Soka jadinya!

Bima Soka yang sedang bertarung melawan kelima lawan bengis seketika terpecah perhatiannya.

Di-diajeng Arum Kinanti... istrinya... tengah diperkosa!!

Kemarahan Bima Soka pun meledak, bagaimana mungkin seorang suami diam saja, menyaksikan istrinya yang tak berdaya diperkosa dengan buas oleh Suro Wanggono? Bajingan terkutuk itu harus mati di tangannya hari ini!

“Bangsaaaaat! Kubunuh kau, binataaaaang!!” dengan dada penuh amarah, Bima Soka membabatkan goloknya ke arah lawan-lawannya dan saat kelimanya menyingkir, ia mencelat meninggalkan mereka untuk memburu Suro Wanggono yang masih asyik menyetubuhi istrinya yang tak mampu bergerak.

“Kubunuh kauuu! Hiaaaat!” Bima Soka dengan penuh amarah menebaskan goloknya ke arah tubuh Suro Wanggono, namun dengan cepat pria gemuk itu membuang tubuhnya ke samping dan melemparkan tubuh Arum Kinanti yang telanjang.

“Kakaaaaang!!” teriak Arum meminta pertolongan.

Bima Soka segera memeluk sang istri dan melepaskan totokan yang membuat istrinya tak dapat bergerak. Pendekar Golok Angin melepas baju yang ia kenakan agar bisa dipakai oleh Arum Kinanti, namun keduanya hanya dapat bersama selama sesaat karena Arum Kinanti yang lemas tak bisa berbuat banyak.

Suro Wanggono tiba-tiba saja datang dan melesakkan tendangan ke arah Arum yang langsung terpelanting jauh.

“Aruuuum!!” mulai panik karena mengkhawatirkan istrinya, Bima Soka tak lagi dapat memusatkan pikiran. ia tak menyadari kelima lawan lain bergerak cepat untuk mengeroyoknya, ditambah Suro Wanggono juga sudah hadir. Panik dan bingung, untuk kali pertama, Bima Soka tak dapat mengelak dari semua serangan. Ia dihujani oleh pukulan dan terjangan senjata tajam.

Arum Kinanti yang masih telanjang dan memakai pakaian seadanya dari Bima Soka tidak mempedulikan ketelanjangannya. Ia mencoba bangkit dengan niat hendak membantu, namun...

Tuk!

“Ahh!” Arum Kinanti melenguh saat sekali lagi terkena totokan Suro Wanggono yang secara tiba-tiba sudah ada di sebelahnya. Seketika tubuhnya terasa tanpa daya dan ia tak bisa menggerakkan sekujur tubuh. Pria gemuk tua itu lantas menempatkan kain untuk menutup tubuh Arum dan menyandarkan wanita jelita bertubuh ramping itu di salah satu pohon. Setelah itu ia ikut melejit untuk mengeroyok Bima Soka.

Bima Soka yang kewalahan dan mulai kalah angin tidak sanggup lagi bertahan.

Bdagg!

“Arrrghhhhh!!” teriak Bima Soka kesakitan karena beberapa tulang dadanya remuk terkena hantaman bola berduri dari Kembar Pencabut Nyawa.

Bima Soka sudah sempoyongan, maka inilah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan untuk membalaskan semua dendam di dada yang tersimpan bertahun-tahun! Suro Wanggono bergerak cepat untuk melancarkan serangan andalannya.

“Bima Soka! Terimalah kematianmu!! Hiaaaat!!”

Degg! Degg!! Deggg!!! Degggg!!! Degggg!!! Degggg!!!

“Herrggghh!”

Bima Soka tak bisa lagi menahan rasa sakit dan hanya sanggup berteriak, ketika pukulan demi pukulan dari Suro Wanggono menghantam tubuhnya, pukulan itu bukan pukulan biasa, melainkan Pukulan Gada Angin yang dibenamkan bertubi-tubi disertai dengan tenaga dalam beracun yang entah sejak kapan dikuasai oleh Suro Wanggono. Mata Pendekar Golok Angin mendelik, memandang ke arah Suro Wanggono dan teman-temannya yang tergelak dan tertawa.

Bima Soka jatuh setelah terpelanting cukup jauh, goloknya terlempar. “Bajingan! Pengecut...! Kubunuh kaliaaan!” Bima Soka berusaha bangkit untuk menyerang. namun baru beberapa langkah, tubuhnya ambruk.

“Ha... ha... ha...! Sudah kubilang sejak tadi. Serahkan saja Arum Kinanti padaku, habis perkara. Jangan khawatirkan dia, akan kurawat buah dada dan memeknya menjadi milikku yang akan aku nikmati setiap hari. Begitu saja kan beres, kau tak perlu susah-susah merasakan sakit seperti sekarang. Kau bisa saja selamat dan mencari perempuan lain. Tapi sekarang... kau akan mati sekarat dengan tubuh membiru karena tidak mau berbagi... ha... ha... ha... inilah rupanya akhir tragis dari Pendekar Golok Angin.”

Dengan geram Bima Soka mengerahkan seluruh tenaga dan merangkak mencoba meraih goloknya, namun...

Bug! Bug!

Tendangan telak yang dilancarkan oleh Datuk Sesat Wajah Hitam membuat Bima Soka terjengkang mencium tanah, semakin jauh dari lokasi goloknya. Datuk Sesat memang bengis, melihat lawannya sudah tidak berdaya, tetap saja dia memberikan tendangan maut. Darah Pendekar Golok Angin berceceran dimana-mana.

Satu bayangan berkelebat dan ikut menyerang Bima Soka.

Srtt! Srtt!!

“Arrrrghhhhhhh...!!!” Bima Soka berteriak kesakitan karena pergelangan tangan dan kakinya kini hampir putus dibabat lawan. Serangan sekeji ini siapa lagi kalau bukan Alis Kincir yang melakukannya dengan kedua pedang bengkoknya. Berdarah-darah dan berusaha mengerahkan tenaga dalam terakhirnya untuk tetap merangkak ke arah Arum Kinanti, Bima Soka mengeluarkan segenap upaya yang tersisa dari tubuhnya. Seluruh harapannya menghilang karena ia tak bisa melindungi sang istri dari iblis kejam Suro Wanggono. Meski tangan dan kakinya sudah hampir buntung, Bima Soka tetap berusaha, mengerahkan tenaga terakhirnya.

“Diajeng... m-maafkan aku... aku tidak mampu...”

Bleessssh!

Hgkh!

Mata Bima Soka terbelalak lebar saat kipas baja milik Buaya Berkipas menembus tubuhnya dari belakang hingga menembus jantung. Pekikan tertahan keluar dari mulutnya yang kemudian berbanjir darah. Arum terkejut bukan kepalang dengan serangan tiba-tiba yang jelas amat mematikan bagi suaminya itu. Namun dengan keadaan tanpa daya seperti ini, dia tidak mampu berbuat apa-apa.

“Kakang!” panggil Arum Kinanti sia-sia. Ia ingin berteriak namun suaranya tak kunjung keluar. Totokan terakhir dari Suro Wanggono juga telah membungkam suaranya.

Dengan linangan air mata, Arum Kinanti menyaksikan suaminya terbujur kaku dengan kipas baja tertanam di jantungnya dan akhirnya berhenti bergerak untuk selamanya. Bima Soka telah gugur. Arum yang tidak dapat bergerak dan berucap hanya sanggup menahan amarah dan kesedihannya, ia memejamkan matanya yang penuh dengan air mata berlinang. Pendekar wanita cantik itu juga tidak bisa berbuat apa-apa kala Suro Wanggono kemudian memeluk dan memanggul tubuhnya.

Buaya Berkipas menarik kipas bajanya dari tubuh Bima Soka dan menahan tubuh pendekar yang sudah jadi mayat itu dengan kakinya. Butuh tenaga untuk menarik kipas yang menancap cukup dalam. Buaya Berkipas tersenyum puas setelah akhirnya bisa menghabisi Bima Soka yang di awal pertarungan tadi sempat mempermalukannya. “Mampus kau, cuh!” pemuda berkumis tipis itupun meludah di mayat sang pendekar.

Bima Soka sudah mati dan istrinya ada di pelukan Suro Wanggono, siap untuk dijadikan budak nafsu setiap hari. Inilah kemenangan yang dinanti-nantikan oleh Suro Wanggono, bahagianya dia bisa menikmati tubuh indah dan kecantikan Arum Kinanti yang sudah diidam-idamkannya sejak lama.

“Bagus! Bagus sekali!” Ia mengangguk-angguk dengan puas, “masih kurang satu lagi pekerjaan kita! Cari kitab sialan itu!”

Kelima rekan Suro Wanggono segera menerobos masuk ke dalam rumah dan mengobrak-abrik isinya, namun mereka tidak kunjung menemukan apa yang dicari. Atas bawah kiri kanan, nihil hasil mereka dapatkan. Kedua suami istri itu tidak bohong, kitab yang mereka cari tidak ada pada mereka. Kelima pendekar aliran hitam mendatangi Suro Wanggono dan menggelengkan kepala.

“Bangsat! Ada pada siapa kitab itu sekarang?” gerutu Suro Wanggono, selain Bima Soka dan Arum Kinanti siapa lagi yang pantas memperoleh kitab itu? Kepada siapa lagi gurunya menghibahkannya? Sudahlah! Nanti saja dia cari lagi. Saat ini dia sudah mendapatkan satu dari dua hal yang ia incar: Arum Kinanti.

“Sialan! Ayo kita tinggalkan tempat ini! Kitab itu tidak ada di sini!” ujar Suro Wanggono kemudian. Ia masih menggendong tubuh Arum Kinanti.

“Bagaimana dengan anak mereka?” tanya Datuk Sesat Wajah Hitam.

“Tidak ada di dalam, sudah kosong.” Kata Buaya Berkipas yang memang sedari tadi mencari kitab di dalam rumah. Kalau ada bocah di dalam rumah, ia pasti tahu.

“Di luar juga sudah tidak ada.” kata Alis Kincir yang baru saja menyisir halaman rumah untuk mencari kalau saja ada kitab atau apapun yang tercecer. Ia menggunakan peringan tubuh untuk mempercepat pencarian dan baru saja datang ke hadapan Suro Wanggono dan Datuk Sesat.

“Mungkin sudah mampus kutendang tadi. Ia menggigit tanganku sampai sobek.” Kata Datuk Sesat Wajah Hitam bersungut sembari memamerkan luka gigitan Bara. “Kalaupun masih hidup, dia akan mati sendirian di alas dengan luka tendanganku. Tidak ada bocah normal yang bisa bertahan dengan luka seperti itu sendirian.”

“Huh! Ya sudah! Bocah kecil itu bisa apa seorang diri! Buaya Berkipas, kau yang cari bocah itu nanti, habisi kalau ketemu!” Suro Wanggono menghela napas karena gagal mendapatkan kitab Inti Angin Sakti. Ia melirik ke arah rumah yang baru saja mereka obrak-abrik. “Bakar saja rumah ini!”

Sekali lagi, dengan peringan tubuh tingkat wahid, Buaya Berkipas masuk ke dalam rumah dan melempar lampu yang menempel di dinding yang langsung menjalarkan api, tubuhnya melesat cepat meninggalkan rumah Bima Soka dan Arum Kinanti yang mulai dilalap si jago merah untuk pergi meninggalkan Karang Wetan. Alis Kincir, Si Kembar Pencabut Nyawa dan Datuk Sesat Wajah Hitam juga melesat tak kalah cepat menyusul Buaya Berkipas.

Suro Wanggono tertawa terkekeh-kekeh melihat rumah Bima Soka dan Arum Kinanti habis dilalap api. Ia mempertontonkan pemandangan memilukan itu ke hadapan Arum.

“Lihat semua ini, sayang. Semua yang aku idam-idamkan menjadi kenyataan hari ini.”

Arum Kinanti tentu tak dapat berucap, namun lelehan air matanya membanjir.

“Inilah bukti cintaku padamu. Kita akan hidup bahagia selamanya. Suamimu di sana, mati kaku membiru. Anakmu sebentar lagi mati, dipenggal Buaya Berkipas... dan kamu... kamu akan menikmati kejantananku menyeruak di setiap liang tubuhmu setiap hari di sisa hidupmu.”

Dengan latar belakang rumah terbakar dan tubuh Bima Soka yang terbujur kaku, Suro Wanggono mencium bibir Arum Kinanti yang menjerit-jerit tanpa suara. Ah, bibir indah Arum Kinanti memang tiada duanya, manis sekali dikulum dan dinikmati. Inilah bibir yang selalu ia idam-idamkan. Sementara Arum hanya bisa menjerit ngeri dalam batin, ia lebih baik mati daripada harus hidup menderita. Suami dan anaknya sudah mati, hidupnya sudah hancur.

Pria kejam brewok bertubuh gemuk yang memeluk Arum melepas ciumannya dan sejurus kemudian membopong tubuh indah pendekar wanita itu. Tak sabar ingin menggumuli Arum di ranjang sendiri, Suro Wanggono pun melejit mengikuti rekan-rekannya sambil tertawa terbahak-bahak.



BAGIAN 1 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2
 
Bimabet
Patok dlu hahaha
Part 1 udh pernah baca di web ts dlu sih.
Agak kaget juga dengan progress cerita ini cukup lama. Tpi setidaknya pembuatan cerita ini tidak berhenti bgtu saja
:beer: ditunggu updatean selanjutnya
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd