Chapter 3 – Ciuman Pertama
Kurang dari 5 menit kami sampai. Memang rumahnya tidak begitu jauh jika menggunakan motor. Begitu sampai di depan pagar rumahnya aku mendongak melihat rumahnya yang tampak begitu besar dan mewah bagi ku, rumah yang memadukan gaya klasik dan modern dengan 2 lantai. Bagaimana tidak, Riri adalah anak tunggal dari konglomerat di kota ini. Ayahnya adalah seorang pengusaha mebel, dan Ibunya adalah dosen di salah satu Universitas terkemuka di kota ini. Walau begitu Riri bukanlah orang yang sombong, dia tidak suka memamerkan kekayaan orang tuanya, dan dia pun mau berteman dengan siapa saja.
“Yuk, masuk Ray. Anggap aja rumah sendiri.”
“Wah, kalau gue anggap rumah sendiri bisa-bisa gue gak mau pulang ke rumah gue lagi nih Ri.” Candaku kepadanya.
“Ah, lu bisa aja Ray.” Sesungging senyum tergambar dibibirnya, sembari membimbingku masuk ke dalam rumahnya.
Di dalam ruang tamu aku melihat perabotan yang cukup mewah, di dinding terpasang TV 42” dilengkapi dengan home theatre, di sudut ruangan juga terdapat sebuah kolam ikan kecil yang menambah keindahan rumah ini. Tampak juga ornamen-ornamen unik yang menghiasi dibeberapa sudut ruangan.
“Bii…!” Riri berteriak memanggil pembantunya. Saat itu di rumahnya hanya ada aku, Riri, pembantunya, dan seorang satpam yang berjaga di luar rumahnya, kedua orang tua Riri sedang bekerja, dan biasanya baru pulang setelah sore atau kadang hingga malam hari.
Tak lama datang seorang wanita paruh baya menghampiri kami, aku menerka umurnya sekitar 30 tahunan.
“Bi, tolong bikinin minum ya 2 gelas, apa aja, yang penting dingin.” Perintah Riri kepadanya.
“Baik non, sebentar ya.” Wanita itupun berjalan menjauhi kami.
“Yuk, ke kamar gue aja Ray, gitarnya ada di kamar gue di atas.” Riri menarik tangan ku dan membimbing ku menaiki tangga menuju kamarnya.
Bau wangi menyeruak keluar ketika Riri membuka pintu kamarnya. Kamarnya terlihat rapi dengan hiasan-hiasan yang menempel di dinding kamarnya, foto-foto Riri dari masa ke masa juga terpajang rapi di dinding yang berwarna biru muda itu. Deretan boneka yang berada di atas tempat tidurnya pun sangat cocok dengan kesan imut yang berada pada diri Riri.
Aku memasuki kamarnya dan Riri pun terlihat menutup pintu kamarnya. Riri duduk pinggir kasurnya lalu mengeluarkan sebuah cermin dari dalam tasnya. Riri sedikit merapikan rambutnya yang panjangnya sebahu.
“Ray, lu sini bentar deh.” Riri memanggilku yang dari tadi tengah memperhatikan sekeliling kamarnya.
“Iya ada apa ri? Gitarnya mana?” Aku berjalan menghampirinya.
“Udah, itu ntar aja. Lu duduk di sini bentar deh, gue mau nanya sesuatu.” Ucapnya sambil menepuk-nepuk kasur menandakan menyuruhku untuk duduk di sebelahnya.
Aku duduk tepat disebelahnya, baru kali ini aku berduaan dengan seorang wanita di kamar yang tertutup pula. Dari dekat aku bisa melihat pipinya yang lembut, ingin rasanya aku mencubit pipi itu, tapi aku tak berani melakukannya.
“Ray, lu udah pernah
Kissing belum?” Pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan Riri membuatku kaget.
“Ma, maksud lu?” Aku justru kembali bertanya dengan terbata.
“Duh, masa lu gak ngerti sih. Ciuman Ray, C-I-U-M-A-N.”
“Ya nggak pernah lah, boro-boro ciuman, punya pacar aja gue gak pernah.”
“Oohh.. kalo gitu lu mau gak nyium gue Ray?”
“Hah!?” Aku lebih kaget lagi dari pada tadi.
“Haha kaget lu lebay banget Ray.” Riri justru tertawa melihat ekspresiku.
“Ah, lu becandanya kebangetan Ri.” Aku berlagak ngambek kepada Riri.
“Eh, kata siapa gue becanda. Gue serius pengen ciuman ama elu sekarang Ray.” Riri berhenti tertawa dan menatapku dengan pandangan yang lembut.
“Lu, lu yakin Ri?” Aku masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Riri.
“Gue juga malu nih sebenernya, udah tutup aja mata lu buruan.” Riri menutup mataku dengan telapak tangan kanannya. Tak lama kemudian aku merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Apa ini bibirnya Riri? Pikirku. Aku menarik tangan Riri dari mataku, dan benar saja wajah Riri tepat di depan mataku. Bibir kami saling bersentuhan dan aku merasakan sensasi nikmat tidak hanya pada bibirku, tapi seakan-akan rasa nikmat itu menjalar hingga seluruh tubuhku. Ciuman kami berlangsung cukup lama hingga akhirnya Riri melepaskan ciuman yang hangat itu.
Kami saling memalingkan wajah menahan malu. Entah kenapa setelah itu aku reflek menjilat bibirku, ada sensasi manis yang terasa oleh lidahku. Aku memberanikan diri melihat wajah Riri, wajahnya tampak memerah. Aku sendiri tak tau ekspresi seperti apa yang ada di wajahku saat ini. Antara bingung, kaget, malu, dan juga ada perasaan senang di hatiku. Aku tak mengerti mengapa Riri melakukan hal ini.
“Ri…” Aku memanggil namanya dengan suara lirih.
“Maaf ya, Ray. Lu pasti nganggep gue cewek aneh ya?”
“Eh enggak kok Ri… Gue Cuma kaget aja lu tiba-tiba kayak gini.”
Riri terdiam sejenak, dia menarik nafas dalam kemudian mulai bercerita.
“Tadi temen-temen geng gue cerita-cerita soal cowok mereka Ray. Lalu mereka mulai cerita pengalaman
First Kiss mereka, gue jadi kikuk karena cuma gue yang belum pernah
kissing Ray. Gue juga penasaran gimana rasanya
kissing makanya gue ngelakuin ini.” Riri bercerita tanpa melihatku.
“Jadi, yang barusan juga ciuman pertama lu donk Ri?”
“Hah, juga? Lu belum pernah ciuman Ray? Pantesan lu kaget banget tadi… sorry ya Ray, ciuman pertama lu harus lu lakuin sama orang yang bukan lu sayang Ray. Gue milih elu karena gue ngeliat lu orang yang bisa dipercaya Ray.”
“Gpp kok Ri. Sejujurnya gue juga menikmati ciuman kita tadi.” Aku mencoba jujur kepada Riri.
“Gue juga Ray. Mau lagi gak?” Riri bertanya penuh antusias.
Malu tapi mau, aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Riri. Melihatku mengangguk Riri mulai mendekatkan wajahnya padaku, aku juga mengarahkan bibirku menuju bibir tipisnya. Namun belum sempat bibir kami bertemu kembali terdengar suara ketokan dari pintu kamarnya.
“Non, ini non minumnya.”
Kami kaget, ternyata pembantunya datang membawa minuman yang tadi diminta Riri. Riri langsung berdiri dari duduknya dan pergi membuka pintu kamarnya. Pada akhirnya kami tak bisa mengulang ciuman untuk yang kedua kalinya, karena kamipun harus segera kembali ke sekolah atau tidak kami akan terlambat untuk masuk kelas.
Kami kembali ke sekolah, setelah menaruh gitar yang kami bawa di ruangan sekre Pramuka, kami segera kembali ke kelas masing-masing.
“Makasi ya Ray, gue balik ke kelas dulu ya.”
“Oke Ri.. gue juga mau masuk kelas.”
Belum sempat aku melangkah menuju kelasku, suara Riri kembali menahanku.
“Ray, bentar.”
“Yaa, ada apa? Ada yang kelupaan?”
“Ehmm gak deh, gak jadi, hehe.” Riri berbalik, dan berlari kecil masuk ke dalam kelasnya.
Deg… Perasaan hangat muncul dalam dadaku. Tingkahnya saat itu benar-benar menggemaskan. Aku rasa aku telah mulai jatuh hati pada dara berusia 16 tahun itu.