Cuplikan di chapter 38 yang akan tayang. (Trailer)
Pov Adit
Entah kenapa? Aku merasa gelisah, pikiranku tidak tenang dan perasaanku berubah jadi tidak enak.
Seorang Polwan dan seorang petugas lainnya, memasuki ruang tahanan, lalu keduanya berjalan ke arah tempatku berada.
"Bapak Adit," seru Briptu Gadis memanggil. Polwan berpangkat Briptu yang sempat dikenalkan oleh petugas di sini, ketika pertama kali aku mendekam di jeruji besi.
"Ya Briptu Gadis," sahutku menjawab panggilannya.
Seorang polisi membuka gembok dan memintaku keluar dari balik sel tahanan tersebut.
"Ada kunjungan dari istri Bapak," ucapnya memberitahu. "Ayo ikut saya, sekarang!"
Aku lantas mengikuti Briptu Gadis, berjalan menuju ruang khusus tamu tahanan.
Ceklek...
Pintu ruangan terbuka, aku masuk ke dalam, sementara Briptu Gadis menunggu di depan pintu dan menutup kembali pintu tersebut.
Cinta tertegun beberapa saat dengan wajah yang gembira setelah melihatku, begitu pun denganku. Kami berdua saling memandang, dengan penuh kerinduan.
Namun, beberapa saat kemudian....
Tampak jelas, perubahan ekspresi wajahnya, dari awalnya senang dan bahagia, berubah menjadi muram dan sedih.
Tampak ada kesedihan yang menaunginya. Itu terlihat dari ekspresi wajahnya yang sedih karena air matanya telah bercucuran dari kedua sudut matanya.
Aku merasakan keganjilan dari sikap istriku sekarang, dan memunculkan pertanyaan dalam hatiku. "Ada apa dengan kamu, Dek? Apa yang telah terjadi, hingga kamu jadi sedih?"
Akhirnya, aku tak kuasa menahan keresahanku, dan segera bicara dengannya.
"Dek, ada apa?" Tanyanya kebingungan. "Wajahmu terlihat sedih?"
Cinta hanya terdiam, hanya terdengar suara gumaman dari bibirnya disertai suara isak tangisnya. Kulihat tangannya gemetaran, ketika Cinta menyerahkan amplop surat berwarna putih tersebut kepadaku. Setelah itu, Cinta memelukku dengan pelukan yang sangat erat, seakan pelukan ini adalah pelukan terakhir kami.
Beberapa detik lamanya, kami berdua terhanyut dalam pelukan yang sangat erat. Aku dan Cinta seperti tak ingin melepaskan pelukan kami, terus berpelukan mesra.
Namun, tiba-tiba...
Cinta melepaskan pelukannya dan dengan sedikit mendorong tubuhku, ia segera keluar ruangan tersebut, sambil bercucuran air mata.
Sejenak Cinta menoleh kembali ke arahku, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia berlalu meninggalkanku, yang masih tertegun dengan keanehan sikapnya barusan.
"Surat apa ini?" tanyaku dalam hati.
Aku lantas membuka amplop surat yang tadi diberikan oleh Cinta, lalu membacanya.
Degh!!!
Tanpa bisa kutahan lagi, air mataku tumpah, setelah membaca surat tersebut.
Rasa sedih, dan kehilangan mulai menghinggapiku relung hatiku. Perasaan bersalahku semakin meningkat dan membuatku tertunduk lesu dengan kenyataan yang ada sekarang. Menduakan cintanya dengan menikahi Tasya pasti telah menggoreskan luka yang dalam padanya. Tetapi semua sudah terjadi dan tidak mungkin aku bisa menyalahkan terus diriku dan menahan Cinta. Aku hanya bisa menyesali keputusan yang telah kuambil dan yang membuatku makin merasa bersalah, kenapa Cinta mesti tahu dari orang lain, bukan dari mulutku sendiri?
Memang penyesalan selalu datangnya belakangan.
Tidak ada penyesalan yang datang duluan. Kecuali, menyesal ketika berjalan duluan di depan sobat-sobat lainnya, menginjak tai sapi. Pastinya kita akan mengomel atau menggerutu kesal. "Nyesel gue duluan di depan, kenapa bukan si Deqwo atau Kuciah saja yang duluan di depan? Mungkin mereka yang nginjekin tai sapi itu."
Sambil berurai air mata, aku menjerit dalam hati meneriakkan nama istriku. "Cintaaaaaa."
"Aku janji akan selalu mencintaimu, menjagamu, membimbingmu walau tanpa kamu tahu dan sadari. Akan kulakukan semua itu sebagai bentuk tanggung jawabku sebagai seorang suami." ucapku membatin dalam hati.
Ceklek...
"Pak Adit," seru suara merdu dari arah belakangku memanggil namaku. "Maaf, waktunya kunjungan sudah habis. Mari saya antar kembali ke sel tahanan!"
Aku menyeka air mataku dengan kedua tanganku, berusaha tetap sabar dan kuat menghadapi permasalahan hidupku.
"Sebentar, Briptu Gadis!" Sahutku memberitahu. "Ijinkan aku meminjam telepon untuk menghubungi istriku."
Sambil tersenyum, Briptu Gadis menjawab. "Saya tanyakan terlebih dahulu, ke Bapak Kapolsekta, Pak. Pak Adit, tunggu di sini saja!"
Aku menganggukkan kepala.
Beberapa menit kemudian....
Briptu Gadis memberitahu bahwa aku diperbolehkan untuk menelepon keluargaku. Lalu, Briptu Gadis mengajakku ke ruangan Kapolsekta Depok.
Tok... Tok... Tok...
"Masuk....!" Perintah suara dari dalam ruangan Kapolsek.
Aku mengikuti Briptu Gadis masuk ke ruangan Kapolsekta Depok.
"Saya membawa Pak Adit, menghadap Bapak," lapor Briptu Gadis pada atasannya.
"Terima kasih, Briptu!" jawab atasannya dengan penuh wibawa. "Oiya, Briptu Gadis. Tolong bikinin kopi, ya! Enak, kopi yang kemaren yang kamu bikin, kopi apa itu, Briptu?"
"Siap, Ndan." sahut Briptu Gadis lantang. "Itu kopi Sawaka, 'Ndan. Segera akan saya buatkan, untuk Bapak dan Pak Adit."
"Terima kasih." sahut Pak Kapolsek singkat.
Briptu Gadis berlalu pergi dari ruangan ini, meninggalkanku bersama Kapolsekta Depok yang bernama Kompol RSP27, sebuah sign name yang terpajang di atas meja kerjanya.
"Silahkan duduk, Pak Adit!" ucap Kompol RSP27 ramah dan berwibawa. "Kita ngobrol santai saja, jangan tegang gitu, Pak Adit!"
"Eh, iya. Pak." sahutku sedikit grogi dan kaget setelah tadi sempat bengong dengan kewibawaan Kompol RAP27.
Selama hampir 1 jam aku dan Kompol RSP27 berbicara. Aku menjelaskan semua yang kutahu, kualami dan kulakukan sebelum dan sesudah peristiwa kecelakaan tersebut. Juga membicarakan keterangan Cinta yang memberitahukan bahwa mas Prima saat itu sedang memenangi tender mega proyek pembangunan MRT dan LRT oleh perusahaan yang dipimpin oleh alm. Prima. Beliau memberitahukan bahwa kasus ini akan diambil alih penanganannya oleh Iptu BL4CKDEV1L. Juga memberi saran untuk melakukan penundaan penahanan dengan membayar uang jaminan sebagai tahanan rumah selama kasus ini dalam proses penyelidikan kembali.
Setelah berbicara dengan Kompol RSP27, aku meminta ijin memakai telepon kantornya untuk menghubungi Tasya, istriku. Di telepon aku memberitahukan bahwa Cinta kabur, dan meminta secepatnya aku dibebaskan dari sini. Entah itu dengan membayar uang jaminan, sebagai tahanan rumah.
.
.
.
Penjara Polsekta Depok...
Ruangan berukuran 4x4 meter persegi, kini menjadi hotel predeoku, tempat tinggalku sementara, selama aku menjalani proses hukum.
Di ruangan ini, aku di tempatkan bersama seorang NAPI lainnya, bernama Cinthunks. Entah apa yang terjadi pada pemuda hitam manis ini, hingga ia mendekam di penjara? Namun, yang membuatku kagum pada pemuda ini adalah kesabaran dan keikhlasannya untuk menghadapi cobaan yang dialaminya, dia tetap selalu tersenyum. Terlihat gigi ginsulnya yang menonjol membuat kesan lucu padanya.
"Pede benar nih, orang," batinku berkata.
"Mas, tak ceritain kenapa saya sampai masuk ke sini! Padahal saya tidak bersalah sama sekali."
Ia sedikit menarik nafasnya dalam-dalam sebelum memulai ceritanya.
Lalu ia mulai bercerita.
"Aku pergi ke Depok ini, untuk mengunjungi saudaraku. Namun, saat aku turun baru dari mobil. Tak lama kemudian, ada orang memakai baju yang sama persis denganku berlari seperti sedang dikejar-kejar orang. Lalu orang itu, menyerahkan sebuah dompet padaku. Saat itu, aku bingung dan bengong saja diberi dompet. Orang yang memberi dompet lari dari tempat itu. Namun, sesaat kemudian, dari kejauhan datang massa beramai-ramai menuju ke arahnya, sebagian dari massa itu membawa kayu. Aku tetap saja diam di tempat, karena memang merasa tidak bersalah. Dengan wajah bingung melihat mereka beramai-ramai.
"Nah, itu dompetku! ujar seorang ibu-ibu menunjuk ke arahku.
"Jadi kau copetnya!" Seru seseorang sambil melayangkan pukulannya kepadaku.
Aku dipukuli, dihajar oleh massa tanpa sempat aku membela diri.
Tak lama kemudian, sirene mobil kepolisan menghentikan aksi massa tersebut, aku sudah tidak ingat lagi waktu itu dan tahu-tahu sudah berada di tempat ini."
Dia terlihat meneteskan air mata setelah menyelesaikan ceritanya.
Aku merangkulnya bahunya supaya ia tenang dan bisa kuat menghadapi permasalahannya.
"Mas, boleh minta tolong ngga!" ucapnya padaku setelah ia sudah bisa tenang.
"Ngomong aja, Mas." sahutku memberitahu. "Mudah-mudahan saya bisa bantu."
"Saya minta bantuan mas, teleponin ke nomor ini." ucapnya sambil menyerahkan nomor telepon padaku. "Itu nomor pacar saya mas. Namanya Deni Puspitasari."
Aku mengangguk dan melihat nomor telepon tersebut 0812-XXXX-XXXX.
"Insya Allah, Mas." ucapku memberitahu. "Mas akan bebas, nanti saya bantu Mas untuk bebas dari sini."
Sembari nunggu beres full update ch.38, sobat-sobat bisa berkunjung ke thread sobat-sobat TS lainnya.