Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

BULE: DUE DEATH

Bimabet
Kalau bokep, biasanya kan cuma ah oh aja. Kalau semi, kadang masih ada jalan ceritanya meskipun kadang asal asalan. Thread ini kaya bokep full yang ada ceritanya, dan ceritanya juga bukan ngasal. Keep it up hu...
 
Kalau bokep, biasanya kan cuma ah oh aja. Kalau semi, kadang masih ada jalan ceritanya meskipun kadang asal asalan. Thread ini kaya bokep full yang ada ceritanya, dan ceritanya juga bukan ngasal. Keep it up hu...
Terima kasih atas atensinya, Hu. Kebetulan saya berlatar belakang penulis novel dan cerpen konvensional. Jadinya ada standar tersendiri dalam membuat cerita fiksi apa pun genrenya. Semoga bisa menghibur 🙏
 
Selamat malam, para Suhu. Setelah otak kebakar karena nulis cerita baru di KK (nama akunnya KhaNazTri) langsung empat bab, saya take a break dulu dengan lanjutin kisah si Bule. Kalau suka cerita dewasa tema jilbab plus cuckold dengan bumbu persekongkolan bolehlah buka gemboknya. Langsung aja deh, selamat baca.

*

BAGIAN 5

Mbak Iis terbujur kaku di bawahku. Napasnya tersengal-sengal, membuat sepasang tetek 34E miliknya begitu indah kembang kempis. Kontolku masih terkubur di dalam memeknya.

“Baru sepuluh menit ... udahan?” ledekku membuat wajahnya memerah. Sebuah cubitan melanda pipiku.

“Gak mau! Tapi istirahat sebentar ya, Mas? Memek Mbak masih geli,” kata Mbak Iis. Ditariknya wajahku lalu dia menciumi bibirku. Sepertinya Mbak Iis amat menyukai french kiss.

“Mas Buleeegh ... mmmh ... nakaaal ...,” desah Mbak Iis ketika kugerakkan lagi kontolku keluar masuk perlahan.

“Mbak Is ... ngomong jorok dong,” pintaku sambil menaikkan tempo genjotanku. Mbak Iis meliar sambil menggelengkan kepala kasar seiring semakin intens memeknya kugenjot.

“Jorok,” katanya.

Sialan banget! Mbak Iis tertawa meskipun harus bersusah payah. Segera saja kuhukum bini orang itu. Yup! Kunaikkan lagi tempo genjotan kontolku di memeknya. Sekitar sepuluh kali penetrasi, lalu kutahan hingga hanya tersisa kepala kontolku yang tersisa di dalam memeknya.

“Mmmh ... kok berenti ...?” kata Mbak Iis lirih. Dia goyangkan tubuh bawahnya berusaha agar memeknya menelan kontolku.

“Maaas ... jangan gitu ...,” rajuk Mbak Iis. Tangannya meremas bongkahan pantatku sambil dia tarik. Tentu saja kutahan.

“Ngomong jorok!” perintahku sambil sedikit mendorong kontolku.

Mbak Iis tidak langsung memenuhi perintahku. Dia dekatkan bibirnya kepada telingaku lalu berbisik, “Kontol Mas Bule juara. Memek Mbak penuuuh rasanya. Punya suami Mbak gak ada apa-apanya. Muach!”

Sebetulnya tidak terpikirkan untuk mendapatkan sebuah pengakuan gila seperti itu. Namun, meskipun terselip rasa kasihan kepada suaminya, tetap saja rasanya senang dipuji oleh wanita secantik Mbak Iis. Baiklah! Saatnya memberi reward kepada Mbak Iis. *

“Mas Gooon!”

Ah! Suara itu membuat ingatan tentang persetubuhanku dengan Mbak Iis buyar. Tiga tahun sudah tidak pernah kudengar lagi suara itu. Masih sama persis. Cempreng dan melengking. Tidak cocok dengan kecantikan pemiliknya.

“Iyaaa ...!” jawabku sambil membuka gerbang besi besar yang menjadi pembatasku dengan rumah Bapak. Kubentangkan kedua tanganku hendak menyambut gadis yang berlari ke arahku.

“Bugh!”

Bukannya pelukan, sebuah pukulan mendarat telak di pipiku. Sisanya beberapa kali tendangan yang mampir di kaki dan badan disertai makian.

“Ampooon!” jeritku sambil melindungi diri dengan tangan. Gadis itu berhenti menyerangku. Kulihat dia memelototiku. Napasnya menderu, membuat teteknya naik turun. Wow! Perasaan dulu tidak sebesar itu.

“Masih inget rumah? Tiga tahun gak ada kabar, terus minta peluk? Anak setan banget kamu, Mas!”

Seharusnya dengan panggilan Mas itu aku layak mendapat sambutan yang meriah, kan? Setidaknya basa basi busuklah. Bukan dengan hajaran seperti ini.

“Iya! Iya! Maafkan masmu ini, adikku Winda yang cantik dan baik hati serta tidak sombong,” kataku sambil mengendurkan double cover setelah memastikan adik tiriku itu tidak lagi berkeinginan untuk membunuhku.

“Bugh!”

Setaaan! Kali ini sebuah tendangan menerjang telak kepala kananku. Meski berkunang-kunang, aku masih dapat melihat—bukan! Bukan melihat si penendang—celana dalam si penendang. Dia memakai rok lipitan hitam setengah paha dan celana dalamnya berwarna hitam.

“Dia Windi, Mas! Aku Winda! Bangke memang punya Mas satu gak bisa bedain adeknya,” kata si penendang yang bahkan tidak tahu muncul dari mana.

Perkenalkan, adik tiriku, kembar identik. Winda dan Windi. Bapakku itu punya gen bagus untuk menghasilkan anak kembar. Contohnya aku dan saudara kembarku yang telah meninggal dan kedua Wind itu. Sebagai informasi, kami berbeda ibu. Ingat kan, waktu kubilang bapakku doyan kawin?

“Iya! Maafin Mas ya,” kataku sambil mengusap-usap pipiku. Kedua bedebah itu jelas belum mau memaafkanku. Sebetulnya mudah saja sih kalau mau menjitak kedua begundal itu, tetapi kalau kulakukan, hal itu akan membuatku semakin salah.

“Cepet masuk! Minta maaf ke Bunda!” seru Windi sambil menarik tanganku. Saudara kembarnya berlaku sama, mearik tanganku yang lain. Meskipun menyebalkan, jujur saja aku amat merindukan suasana ini terlepas bahwa aku pun nyatanya kabur.

Rumah bapakku ini terdiri dari beberapa bangunan. Pertama adalah sebuah bangunan utama, yaitu rumah yang ditempati Bapak dan istri-istrinya. Hanya anak di bawah usia sepuluh tahun yang tinggal di sana. Bila sudah lewat, mereka tinggal di bangunan kedua yang terletak di belakang bangunan utama. Bentuknya juga rumah dengan ukuran yang lebih besar. Ada sepuluh kamar di sana. Kemudian terakhir adalah sebuah bangunan tempat Bapak menyepi atau melakukan tirakat. Bentuknya seperti rumah kecil tanpa kamar apa pun, hanya dinding dan atap.

“Masuk!”

Kedua begundal itu mendorongku melewati pintu jati yang telah terbuka lalu berdiri seperti penjaga pintu. Sepertinya bisa kuhitung dengan jari kesempatanku masuk ke rumah ini setelah Ibu meninggal saat usiaku enam tahun. Nol! Ya, beum pernah lagi kumasuki rumah utama ini semenjak Ibu meninggal.

“Masih inget pulang, Mas?”

Sebuah sapaan meluncur dari sesosok wanita yang duduk di kursi besar berbahan kayu jati. Nadanya dingin. Wanita itu berusia empat puluh dua. Aku mengetahuinya karena dia itu ibu tiriku, istri ketiga Bapak alias yang paling muda. Dia dinikahi Bapak tiga tahun setelah kelahiranku. Anaknya ya si kembar Wind itu tadi, mereka lahir ketika usiaku lima tahun. Eh, sudah dua puluh lima saja usia mereka, tidak terasa.

Aku tidak menjawab, berfokus kepada wanita di sebelahnya. Wanita itu adalah mimpi burukku, salah satu alasanku minggat. Wanita itu menatapku dengan raut wajah yang tidak dapat kudeskripsikan. Tidak lama, bibirnya mengembangkan senyum.

“Makin ganteng saja kamu, Dek. Jadi manly ... mmm ...,” kata wanita itu.

Andai saja wanita lain di luar keluarga ini yang mengucapkan pujian itu, aku tentu akan sangat senang menerimanya. Namun, terlebih wanita itu yang mengucapkannya, membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Rasanya hampir tidak ada beda dengan mendengar ucapan dari Nyi Roro Bunga Senja.

“Mbakyu Diah bisa saja ...,” jawabku berbasa basi.

Dia kakak tiriku, Diah Asta Prameswari. Anak dari istri pertama Bapak yang meninggal setelah melahirkannya. Usianya tiga puluh dua alias dua tahun di atasku. Ibuku yang merawatnya, karena memang aslinya ibuku adalah baby sitter Kanjeng Mbok Wek, sebutan istri pertama Bapak. Ruwet? Begitulah kalau punya Bapak tukang kawin.

“Berhenti memanggil kami Kanjeng lagi untuk seterusnya, Mas Gon! Mas Gon sekarang adalah penghulu Trah Ugraha Wisesa, pemimpin kami,” tukas ibu si kembar.

“Udah punya pacar, Dek?” tanya Mbak Diah. Sepertinya dia masih tidak menganggap ibu si kembar. Sejak dulu, keduanya selalu bertengkar, membuat Bapak mumet. Anak pertama yang kebetulan wanita melawan istri kesayangan.

“Mbak Diah! Bukan waktunya menanyakan itu!” sentak bunda si kembar. O iya, namanya Widuri. Hanya itu saja. Dia sinden yang dikenal Bapak pada saat menanggap wayang buat syukuran.

Tahu rasanya berada di dalam ruangan yang penuh dengan aura-aura tidak bersahabat? Menjadi pengguna Baskara membuat perasaanku terhadap perasaan negatif menjadi sangat peka. Dan bisa kupastikan keempat wanita di ruangan ini memiliki perasaan negatif terhadapku. Bagaimana pun mereka adalah pengguna Setra yang berlawanan dengan Baskara.

“Saya tidak tertarik menjadi penerus Kanjeng Romo, Kanjeng Ibuk. Mohon maaf, bukan itu keperluan saya pulang,” kataku. Tidak kutangkap perubahan raut wajah dari kedua wanita di hadapanku. Namun, jelas kurasakan tekanan aura dari belakangku, tepatnya bersumber dari si kembar. “Kanjeng Ibuk atau Mbakyu Diah saya persilakan untuk mengambil alih seluruh hak saya.”

“Oh! Jadi Mas Gon pingin liat Winda dan Windi ... mati?” tanya ibu si kembar datar.

“Bukan begitu, Kan ....”

“Brak!”

Meja jati di hadapan kedua wanita itu rompal selebar telapak tangan. Padahal tebalnya ada sekitar sepuluh centi.

“Sejak kapan kamu jadi pembangkang, Dek?” tanya Mbak Diah. Telapak tangannya diselimuti cahaya ungu kehitaman. Ya, tangan berjari lentik yang membuat meja jati itu rompal.

“Mbak Diah!” seru ibu si kembar.

“Kamu harus jadi pengganti Kanjeng Romo sukarela atau terpaksa. Bukan masalah yang mana pun buatku,” kata Mbak Diah mengabaikan ibu tirinya itu. Di ujung ancaman itu, aura tekanan si kembar makin kuat. Level ancamannya meningkat kurasakan. Hampir menyentuh tingkat ‘bunuh’.

“Make me then, Mbak,” kataku sambil mengalirkan aura Baskara ke kedua tangan. Seketika ruangan itu berubah. Kini di sekelilingku penuh dengan percikan api hitam dan kilat putih. Baskara-ku beradu dengan Setra Mbak Diah. Ruangan ini terkadang terang dengan cahaya putih, terkadang berganti dengan kegelapan. Pada saat terang, kobaran api hitam terlihat sedangkan pada saat kegelapan berkuasa, kilat putihku menerangi.

“Hentikan kalian berdua!”

Sebuah raungan harimau menutup perintah itu. Kutangkap seringai kesakitan di wajah Mbak Diah. Mungkin dia juga menangkap seringai yang sama di wajahku. Bapak sialan! Pasti si tukang kawin itu yang mengajarkan sinden itu Setra tipe Swara. Cocok dengan kelebihannya.

“Becandaaa! Gitu saja serius bener, deh,” kata Mbak Diah sambil bangkit. Aura negatifnya lenyap. Dia mendekatiku lalu memelukku erat. Dia berbisik, “Manly! Yummy!”

Tanpa aba-aba atau apa pun, kakak tiriku itu memberangus bibirku dengan bibirnya. Sebuah pemerkosaan bibir kalau boleh kubilang. Sebuah aksi yang menetralkan Baskara-ku.

“Mbak kangen, tau!” katanya setelah melepaskan bibirku. Kulihat ibu si kembar mengalihkan pandangannya ketika kupergoki dia menatap perbuatan Mbak Diah kepadaku. Wajahnya bersemu merah. Damn! Kecantikannya sama sekali tidak tergilas usia. Kebaya biru mudanya memamerkan sedikit belahan tetek berukuran 34C.

“Kamu pasti capek. Yuk, istirahat di kamar Mbak,” kata Mbak Diah sambil menarik tanganku.

“Mbak Diah! Mas Gon sekarang penghulu kita. Kamarnya di sini!” sergah ibu si kembar melihat aksi Mbak Diah.

“Dia belum bilang mau lo, Buk,” kata Mbak Diah. “Lagian itu akal-akalan Ibuk saja biar bisa tidur sama Gon. Ya, kan?”

“Jaga bicaramu, Mbak Diah!”

Meskipun bentakan itu terasa nyata, tetapi semu merah di wajah ibu si kembar junga nyata adanya. Belum lagi lirikan colongannya kepadaku. Jujur saja semua penghuni rumah ini memang memusingkan. Dulu semua takut dengan Bapak, jadilah tidak pernah ada konflik yang serius. Namun, sekarang jelas akulah yang akan mewarisi semua hal yang memusingkan itu.

“Kita semua sama, Buk. Kita sama-sama mencari selamat sendiri, mau Gon menjadi penghulu trah kita atau tidak. Kalau aku tidak bisa memaksa Gon lewat cara kekerasan, setidaknya aku bisa memaksa Gon lewat jalan lain dan mendapat jasa dari Nyi Roro,” kata Mbak Diah.

Ibu si kembar terdiam mendengar ucapan Mbak Diah. Wanita itu menatapku dengan pandangan memelas. Kegelisahan jelas terpancar di wajah ayunya.

“Mbak Diah ... saya mohon waktu bicara empat mata dengan Kanjeng Ibuk, boleh?”

Mbak Diah menatapku lalu cemberut. Kakak tiriku itu cantiknya bukan kaleng-kaleng. Ibunya Arab asli. Campuran gen Jawa dari pihak Bapak malah membuat Mbak Diah memiiki kecantikan eksotis. Mungkin bisa dibilang jauh lebih cantik dari ibunya.

“Kalau sudah, langsung ke kamarku!”

Mbak Diah sempat mencubit perutku sebelum berlalu diiringi si kembar yang menuruti perintah ibu mereka untuk meninggakan kami. Kemudian tersisa aku dan ibu tiriku. Kudekati dia dan meraih tangannya untuk kucium.

“Yang mana pun, Ngger, kamu tidak akan bisa melarikan diri dari takdir,” kata ibu si kembar. Dia menarikku duduk di sofa jati panjang tiga dudukan. Diusap-usapnya kepalaku seperti yang dulu selalu dia lakukan kepadaku saat masih kecil.

“Entah kamu menyelamatkan trah kita dengan mengabdi kepada, atau kita semua akan dibunuh Nyi Roro sebagai pengkhianat,” lanjut ibu si kembar. “Sudah takdir kita untuk selalu tunduk kepadanya.”

Ibu si kembar selalu baik kepadaku. Dia selalu merasa berhutang budi kepada ibuku, karena berkat ibuku pula dia dipersunting Bapak dan meningkatkan status keluarganya. Kala itu ibuku mulai sakit-sakitan setelah melahirkanku. Jangankan memenuhi hasrat Bapak, mengurusku saja dia kesusahan. Jadilah ibu si kembar yang awalnya bertugas merawat ibuku menjadi madu.

“Tidak kalau saya membunuhnya duluan,” tukasku. Ibu si kembar menggigil mendengar ucapanku. Tangannya membekap mulutku.

“Nggeeer! Kamu gak kasian sama Ibuk? Sama adik-adikmu?” katanya lirih.

“Ibuk ... mau sampai kapan kita begini terus?”

Ibu si kembar tidak menjawab. Semua sama-sama tahu menjadi bagian dari trah Ugraha Wisesa adalah sebuah jaminan untuk mendapatkan hidup enak dan mudah. Namun, untuk itu ada harga yang harus dibayar, dan itu amatlah mahal.

“Ibuk harus memberikan apa kepada Mas Gon, biar Mas Gon mau nurut?” tanya ibu si kembar mengiba. Jelas dia tahu harta benda bukanah sebuah pilihan karena andai aku mau menerima perjanjian dengan Nyi Roro, maka Nyi Roro dapat dengan mudah memberikan harta benda sebanyak yang kumau tanpa batas. Wanita itu berdiri, menatapku nanar sebelum tangannya bergerak perlahan meraih kancing-kancing kebayanya, bermaksud melucuti pakaiannya sendiri.

“Kanjeng Ibuk! Hentikan!” tukasku mencegah. “Aku serius!”

“Ngger Sayang! Sampai kapan pun tidak akan pernah bisa kamu mengalahkan Nyi Roro,” kata ibu si kembar.

“Mungkin benar saya tidak dapat mengalahkannya sendirian. Tapi, bagaimana kalau dibantu Kanjeng Ibuk? Mbak Diah? Si Kembar?”

“Apa tubuh Ibuk tidak menarik lagi, Ngger? Ibuk sudah tidak cantik lagi?” tanya ibu si kembar yang kini berdiri hanya mengenakan beha dan celana dalam. “Dulu kamu sering ngintipin Ibuk mandi, kan?”

Ibu si kembar ini orang Bandung. Dia seorang mahasiswi akademi keperawatan di Bandung. Sayangnya, nasib buruk membuatnya tidak lagi mampu menyelesaikan pendidikannya. Biasalah, masalah ekonomi. Adiknya yang doyan mabuk menjual rumah dan tanah orang tua mereka. Sampailah dia merantau ke Tegal karena ada keluarga mereka di kota ini dan bekerja sebagai perawat orang-orang tua sebelum mendapatkan info tentang ibuku yang membutuhkan perawat.

“Jangan diingetiiin, Ibuk!” Ibu si kembar tertawa mendengar protesku.

“Apakah Kanjeng Gondhang Panggulu berkenan membantu Widuri melepas, atau Kanjeng Gondhang Panggulu lebih suka Widuri melepas sendiri?”

“Kanjeng Ibuk! Jangan gitu, ah! Ini haram dalam agama,” tukasku. Yah, meskipun menukas, tetap saja mataku melotot melihat kemulusan tubuh ibu tiriku itu. Bahkan kontolku dengan jujur langsung bereaksi seperti menuntut dipuaskan oleh tubuh di hadapanku itu.

“Memangnya selama ini kita menyembah Nyi Roro tidak haram?” tanya ibu si kembar seperti menyindirku.

“Saya bukan Kanjeng Romo, Buk!” Sekali lagi aku menukas, berusaha mempertahankan kewarasanku di tengah gempuran syahwat yang diluncurkan oleh ibu tiriku itu.

“Kanjeng Gondhang Panggulu jauh lebih ganteng dari pada Kanjeng Haryo,” tukas ibu si kembar membuatku tidak tahu lagi harus berkata apa.

“Buk ...,” ucapku lemah. Rasa kasihan atas nasib mereka tumbuh berpupukkan napsu di hatiku. Seolah aku mencari pembenaran untuk dapat meraih tubuh sintal ibu tiriku.

“Ssst! Widuri akan melakukan apa pun untuk Kanjeng Gondhang Panggulu. Apa pun ...,” desah ibu si kembar sambil melepaskan kaitan behanya. Beha itu masih ditahannya untuk menggodaku. Kemudian dia berbalik lalu melangkah gemulai berlenggak lenggok menuju kamar Bapak. Behanya dia jatuhkan. Sesampainya di kamar yang pintunya dia biarkan terbuka, dia duduk di ranjang memamerkan tubuh telanjangnya.

Sisanya tentu mudah ditebak. Sosok yang dulu hanya bisa kubayangkan dan kujadikan bahan coli, kini tersaji polos di hadapanku. Penyerahan dirinya begitu total, mengusik sisi patriarki yang dulu amat kubenci ketika Bapak masih hidup. Ini bukan masalah cinta atau romantisme, melainkan sebuah insting bertahan hidup. Betina adalah betina, mereka tahu siapa pejantannya secara alami.

“Kanjeng ....”

“Ibuk! Panggil Gon saja, ya?” tukasku sambil menaiki ranjang. Tentu saja setelah kulolosi setiap lembar kain yang menutupi tubuhku. Mata ibu tiriku yang seksi itu tidak lepas memangsa kontolku yang telah tegak.

“Kalau ini, namanya siapa? Gon Junior?” tanya ibu si kembar gemas ketika kukangkangi tubuhnya yang bersandar di sandaran ranjang. Kontolku tepat berhadapan dengan wajahnya, berjarak hanya sekian centi. Matanya terpejam ketika perlahan kumajukan pinggulku, mewujudkan yang dulu hanya bisa kuimpikan.

“Besar mana kontolku sama punya Kanjeng Romo, Buk?” tanyaku sambil menikmati sentuhan bibirnya di lubang kencingku. Mata ibu si kembar kembali terbuka lalu menatapku sayu. Direngkuhnya pinggangku.

“Panggil Ibuk Widuri, Mas Gon,” kata ibuk si kembar lirih. “Kontol Mas Gon jauh lebih besar sampai saya ragu bisakah?”

Aku tidak tahu apakah ini karena impian masa lalu yang terwujud atau apa, tetapi yang jelas Widuri begitu memabukkan lewat begitu banyak cara: tutur kata, bahasa tubuh, hingga aura. Kesemuanya itu menyerang kelaki-lakianku tanpa ampun.

“Mau coba langsung?” tanyaku menawarkan sesuatu yang sebetulnya memang inginku. Entah bagaimana, rasanya bahkan belum dimulai pun aku sudah amat ingin muncrat. Entah apa yang diajarkan Bapak kepadanya, yang jelas wanita ini benar-benar mesin seks baik fisik mau pun mental.

“Widuri manut,” desah ibu si kembar pasrah. Dia melepas rengkuhan tangannya di pinggangku, membiarkanku mencari posisi yang pas di himpitan kedua pahanya yang melebar.

“Bilang yang jelas, mau atau tidak,” tukasku. Bahkan dia bisa membangkitkan sebuah rasa mendominasi yang amat kubenci.

“Mas Gon mau?” tanyanya menantang. Bukan hanya lewat suara, tetapi juga lewat tatapan. Benar-benar didikan Bapak wanita ini.

“Kamu yang kutanya, Widuri,” tukasku. Entah mengapa rasanya aku ingin sekali mendominasi ibu tiriku ini. Namun, dominasi itu seperti skenario diarahkan olehnya. Layaknya sebuah perangkap!

“Mas Gon mau Widuri menjawab apa?” tanyanya lagi masih dengan intonasi menantang. Ujung jari telunjuk dan jempolnya memilin-milin sepasang pentil teteknya sendiri, lembut, seolah menjanjikanku kenikmatan bila aku mau menjawabnya.

Sepertinya urusan perebutan dominasi lewat dialog tanya jawab ini akan panjang. Mungkin sedikit pedekatan yang berbeda bisa memberi warna lain pada negosiasi ini. Seperti sedikit paksaan.

“Mmmh! Mas Gooon! Jahaaat!”

Ibu tiriku itu mendesah pada saat kepala kontolku perlahan membelah bibir memeknya yang terasa begitu sempit dan menggigit. Desahannya itu imut sekali, bertentangan dengan isi desahannya yang mengatakan kalau aku jahat. Sialnya hal itu membuatku sedikit kebingungan.

“Jahat!” desahnya lagi kali ini sambil menatapku sayu. Desahan itu dia lontarkan ketika dalam kuputuskan untuk menarik kontolku karena khawatir dia memang tidak menginginkannya.

Disodok aku jahat, dikeluarkan aku jahat juga. Sepertinya aku mulai paham pola permainannya. Harus kuakui bahwa wajah ayu dan sikap pasrah ibu si kembar itu seringkali menipu bagi yang belum mengenalnya, betapa dia bukan sekadar istri muda bagi Bapak, melainkan alat untuk menguasai pria.

“Ah! Sudahlah,” kataku.

Widuri menatapku kebingungan ketika benar-benar kulepaskan kontolku dan mengenakan kembali semua pakaianku. Dia menyambar selimut dan menutupi tubuh telanjangnya, tetapi tidak ada satu patah kata pun yang dia ucapkan. Sepertinya dia bersikeras untuk melanjutkan permainan ini.

“Aku mau ke Mbak Diah dulu, Buk,” kataku sambil keluar dari kamar. Sikap sok cool-ku itu harus kubayar dengan rasa tidak nyaman di celana akibat demo Bule Junior yang tidak rela mengikuti skenarioku bermain tarik ulur. Dasar mesum! Ngentot saja yang ada di kepalanya. *

“Sudah nenen sama Ibuk? Cepet amat?” tanya Mbak Diah meledekku ketika aku masuk ke kamarnya tanpa permisi. Kamarnya sudah berubah. Tidak ada lagi cat merah muda khas remaja wanita yang baru kenal dunia seperti dulu. Kini semua serba putih, bertabrakan dengan auranya yang jelas amat gelap tetapi memiiki aksen menggairahkan.

Mbak Diah bermain ponsel di ranjang, telentang dengan kepala beralaskan bantal. Dia hanya mengenakan kemeja biru yang tidak terkancing sama sekali, memamerkan belahan tetek yang jelas tidak terlindungi beha. Sedangkan kedua kakinya melebar, memamerkan celana dalam putih berbahan tipis yang mencetak utuh lipatan bibir memeknya.

“Kata dokter aku sudah gak boleh minum susu, Mbak,” jawabku sambil duduk di kursi belajarnya.

“Tapi kalau megang doang boleh? Basi!” tukas Mbak Diah masih setia dengan ponselnya. Namun, dia memiringkan tubuhnya ke arahku, membuat kemejanya tersingkap, memamerkan bulatan tetek kanannya yang mungil.

“Boleh?” tanyaku sambil mengulurkan tangan mengapai pentil tetek coklat mudanya. Kakak tiriku itu menggigiti bibir bawahnya. Mungkin menikmati keusilanku.

“Basi!” jawabnya. Ketus, tetapi jelas hanya sebuah kepura-puraan untuk menutupi desahan lirihnya.

Begitulah. Tidak ada dialog diplomatis kalau berurusan dengan Mbak Diah. Semua serba terang benderang. Dia kasar dan tanpa basa-basi, tetapi dia jujur. Bahkan kepura-puraannya menjelaskan betapa buruknya dia dalam berpura-pura.

“Boleh saya balas dendam ke Mbak?” tanyaku sambil berpindah ke sisinya di ranjang.

“Terserah! Aku milikmu. Semua yang dulu milik Kanjeng Romo sekarang adalah milikmu,” jawabnya. Dia letakkan ponselnya dan menatapku. Sebuah tatapan yang berharap lebih dari sekadar pilinan pada pentil tetek.

“Kenapa dulu Mbak jahat sama saya?”

Mbak Diah tidak menjawab. Dia hanya balas memainkan pentil dadaku dari balik kaos. Tidak lama kemudian kedua tangannya merangkul pinggangku dan menarikku sampai merebahkan diri di sampingnya.

“Mbak cantik banget.”

Di ujung pujianku itu kami berpagutan. Sebuah pertemuan sepasang bibir yang panas. Saling berusaha untuk mendominasi, baik lewat kecupan, sedotan, bahkan jilatan. Bukan sebuah atraksi kacangan, karena hasilnya benar-benar membuat angin dari pendingin udara di kamar itu seperti rusak.

“Kaosmu bau! Lepas dulu!” kata Mbak Diah mengakhiri pergumulan bibir dan lidah kami.

“Mandi bareng, yuk?” ajakku yang disambut oleh tumbuhnya rona merah di wajah Mbak Diah.

Kakak tiriku itu bangkit, melolosi kemejanya lalu mengandengku menuju kamar mandi yang ada di kamarnya. Tangannya dengan telaten melepasi seluruh pakaianku dan melemparnya begitu saja. Kemudian dia nyalakan shower air hangat.

“Sini!” panggilnya sambil menuangkan sabun cair ke sebuah sponge mandi.

“Maunya pakai tangan,” kataku menggodanya, “di sini,” sambil menunjuk kontolku yang kembali tegak. Aku bergabung dengannya di bawah kucuran air shower.

“Manja!” jawabnya sambil berlutut. Tangannya mengusap setiap mili kulit kontolku sampai kantong buah zakarku. Lembut dan telaten. Sebuah pelayanan yang tidak pernah kuduga akan mampu ditampilkan oleh kakak tiriku itu.

Kembali pergulatan bibir kami lanjutkan setelah seluruh tubuhku berselimut sabun. Kali ini kami lakukan dengan saling merengkuh peluk di bawah pancuran air shower.

“Masukin!” ucap Mbak Diah lirih di sela-sela pergulatan bibir kami. Tangannya mengurut lembut kontolku, mengarahkannya kepada bibir memeknya. Diusap-usapkannya kepala kontolku kepada itilnya.

“Nungging, Mbak,” kataku.

Tanpa banyak bicara, Mbak Diah mengikuti perintahku. Dia melebarkan kedua kakinya dan merendahkan kepalanya sambil menumpukan kedua tangannya di dinding kamar mandi.

“Ngh! Mmmh! Pelaaan, anj ....” Mbak Diah memotong serapahnya sendiri dengan membekap bibirnya dengan tangan.

“Siapa yang anjing, Mbak?” tanyaku menggodanya sambil perlahan melesakkan kontolku ke dalam memeknya. Mbak Diah menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Entah menolak menjawabku atau begitu caranya menikmati entotanku.

“Enak, Mbak? Kalau mau ngomong jorok, ngomong aj ....”

“Gede banget kontolmu, Dek! Memek Mbak penuuuh! Anjing enak banget!”

Belum selesai ucapanku, Mbak Diah mulai meracau. Sebuah racauan jujur yang membuat gairahku terdongkrak tinggi.

“Oooh! He-eh! Iyah! Gituh! Anjing kamu, Dek! Pinter banget!”

Racauan itu tidak putusnya mengiringi entotanku. Kedua tangannya tidak lagi hanya bertumpu di dinding. Kadang menjambaki rambutnya sendiri, kadang pula ikut meramaikan kegiatan tanganku yang memaikan tetek mungilnya.

“Mbaaak! Aku mau keluar ...,” bisikku sambil menjilati daun telinganya.

“Bareng! Di dalem!” desahnya menimpali.

Beberapa detik kemudian Mbak Diah melenguh hebat ketika kusemburkan peju di dalam memeknya. Kutahan tubuhnya ketika kedua kakinya bergetar hebat dan seperti hendak roboh.

“Gilak kamu, Dek! Gilak!” makinya ketika kontolku lepas dari memeknya. Meskipun memaki, Mbak Diah menyunggingkan senyum kepuasan sebelum memelukku.
 
Terakhir diubah:
Izin teaser cerita berbayar saya di KK. Judulnya Account Sexecutive. Genrenya hijabi cuckold / cheating. Akun saya KhaNazTri.

S01-C01
Husna terlonjak ketika sebuah angkot berhenti di depannya tanpa dia sadari akibat melamun. Begitu pula si supir angkot ketika melihat wajah cantik Husna. Bidadari, celetuk si supir di dalam hatinya. Namun, kekagumannya berubah menjadi napsu ketika melihat tetek Husna yang berguncang akibat kaget. Segera saja celana sepak bola yang ia kenakan menggelembung akibat pemandangan itu. Hanya seragam atasan saja rupanya yang dipakai oleh si supir.

“Iya, Bang!” jawab Husna. Dilihatnya angkot itu kosong.

“Depan, Neng! Biar bajunya gak lecek kalo nanti banyak penumpang,” kata si supir sambil merancang hal mesum kepada Husna. Dibukanya segera pintu penumpang depan agar Husna mengikuti kemauannya.

“Iya, Bang. Terima kasih,” kata Husna setelah berpikir sejenak tentang saran si supir. Dalam kondisi normal, dia tentu akan memilih duduk di belakang, tetapi sekarang dia butuh agar pakaiannya tetap rapi untuk sesi wawancara nanti.

“Mau ke mana rapi banget, Neng?” tanya si supir tidak mau membuang waktu. Pertanyaan itu dia lontarkan tidak sampai sedetik setelah Husna menutup pintu.

Ketika hendak menjawab pertanyaan basa basi itu, dari sudut matanya Husna menangkap pemandangan bertema dilema yang disuguhkan oleh gundukan celana si supir. Pemandangan itu seperti menyumpal mulutnya, membuat dia tercekat untuk sekadar menjawab. Wajah putih bagai pualam Husna seketika merona merah karena sebuah bayangan kontol telah menari-nari di kepalanya akibat pemandangan itu.

“Neng? Neng gak papa?” tanya si supir ketika dilihatnya wajah Husna memerah.

“Abang kok kerjanya pake celana pendek sih?” tanya Husna tanpa berpikir panjang. Setelah menanyakan itu, Husna langsung menutup mulutnya. Untuk apa dia menanyakan hal itu kepada pria yang bukan mahram-nya, pikir Husna.

“Oooh … ini ya, Neng?” Si supir segera sadar apa yang membuat penumpang bidadarinya berlaku seperti itu. Sempat ragu bahkan takut, dia kini berkesimpulan sebaliknya. Tampak ada yang dapat dimafaatkan bila melihat cara Husna berinteraksi.

“Ih, Abang!” Husna berseru tertahan ketika dilihatnya si supir dengan sengaja mengusap-usap gundukan celananya sendiri. Namun, bukannya berpaling, Husna malah semakin terpikat ketika gundukan itu semakin melambung. Apalagi ketika dilihatnya tanga kiri si supir bukan lagi mengusap, melainkan mengocok apa yang ada di balik celana itu.

“Kontol Abang suka gerah, Neng. Tau sendiri kan Jakarta,” kata si supir nekat. Pikirnya paling sial si Neng hanya akan marah dan turun dari angkot. Lagi pula tidak ada siapa-siapa dan si Neng tidak sedang mem-video-kan interaksi mereka, jadi aman dari viral.

“Au ah! Abang jorok banget sih ngomongnya!” kata Husna ketika mendengar penjelasan si supir. Namun, hanya itu saja. Tidak ada tanda-tanda keberatan apalagi kemarahan dari Husna. Tentu saja hal itu membuat si supir semakin menjadi-jadi.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd