Saya jawab ya.
Ada beberapa alasan kenapa saya tidak menyediakan translasi untuk penggunaan bahasa asing, yaitu:
1. Bahasa asing yang saya gunakan adalah bahasa Inggris, dengan rasio penggunaan 99:1 dengan bahasa asing lain macam latin, jepang, dan jawa. Saya menggunakan perspektif umum tentang pandangan masyarakat terhadap bahasa Inggris, dimana bahasa ini sudah dianggap sebagai bahasa internasional yang lumrah dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Jadi saya beranggapan bahwa, di zaman sekarang, sudah banyak orang yang mahir (setidaknya mengerti) berbahasa Inggris. Untuk itu, saya menyamaratakan kemampuan pembaca dengan menggunakan standar bahwa pembaca mengerti bahasa asing yang saya tulis.
2. Jika ada bahasa asing selain Inggris yang saya hadirkan di cerita, saya biasanya memakai paragraf dialog untuk menerjemahkan bahasa tersebut; bisa ke dalam bahasa Indonesia, maupun bahasa Inggris. Jadi saya bisa menganggap diri saya tidak abai untuk mentranslasi bahasa asing.
3. Saya tidak ingin mengurangi estetika tulisan saya dengan menghadirkan translasi bahasa Indonesia dalam format parenthesis di akhir kalimat dialog, seperti ini: "This means war." (Ini artinya perang). Menurut saya, penggunaan translasi berupa parenthesis membuat feel yang coba saya bangun jadi rusak, selain juga adanya effort ekstra yang membebani saya. Opini ini memang subyektif, tapi saya sebagai author cerita punya hak absolut terhadap apa saja yang bisa dan tidak bisa saya terapkan ke dalam cerita saya.
4. Saya tidak bermaksud jadi seorang elitist, tapi jika saya boleh berpendapat, saya menyajikan cerita yang, sejujurnya, menguras otak saya untuk memikirkan plot, drafting, mengerjakan chapter demi chapter—and all I could ask is to left my story as it is.
Semoga empat poin jawaban saya bisa dimengerti, ya.
Regards,
Nympherotica