Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANTARA CINTA DAN NAFSU

Bagian 3

"Keadaannya sudah stabil sekarang," Ana memberikan penjelasan kepada Ayah Alex, Wiwaha Sanyoto, seorang pengusaha papan atas kaya raya yang sangat terkenal . Pak Wiwaha berusia 60 tahun lebih, etnis tionghoa yang menikah dengan ibunda Alex yang bersuku Jawa, namun memiliki sedikit darah Belanda dari kakek neneknya terdahulu.
"Terimakasih sudah merawat Alex, Dokter Ana.." ujar Pak Wi. "Oom sangat kuatir menerima kabar darimu.
Ana tersenyum seraya mengangguk kecil. Kedekatannya yang cukup lama dengan Alex membuat Ana terbiasa memanggil Pak Wi dengan sebutan Oom.
"Seharusnya dulu tidak Oom biarkan dia menyumbangkan ginjalnya untuk Oom .. Oom sudah tua .. untuk apalagi hidup di dunia ini .. sementara Alex masih kuat dan muda" keluh Pak Wi seolah menyesali apa yang telah terjadi.
"Jangan katakan itu Oom .." bujuk Ana "Alex sendiri yang dengan rela menyerahkan ginjalnya. Bakti anak kepada orang tuanya. Saya hanya meminta Oom mengingatkan Alex untuk tidak gegabah menyepelekan kesehatannya. Ginjal organ yang sangat penting. Alex tidak boleh terlalu lelah. Walau bagaimana, kondisinya sudah jauh berbeda dengan saat ia masih memiliki ginjal lengkap."
Pak Wi mengangguk angguk menyetujui perkataan Ana. Untuk usianya saat ini, Pak Wi masih terlihat gagah dan sehat di mata Ana.
"Kamu anak yang baik Ana ..." puji Pak Wi membuat Ana sedikit tersipu "Kalau saja ...."
"Sudahlah Oom .." sergah Ana, tidak ingin mengingat lagi apa yang telah terjadi. "Alex dan saya mungkin tidak berjodoh ..."
Pak Wi menyeka sudut matanya yang mulai berair.
"Alex cukup lama ditinggal ibunya sejak kecelakaan itu .." ujar Pak Wi membuat Ana tertunduk. "Ia perlu orang sepertimu sebetulnya, yang bisa membawanya lebih baik lagi .."
Ana tersenyum. Pak Wi melanjutkan, "Alex akan segera menikahi Eveline. Kami sedang mempersiapkan segalanya. Aku sungguh berharap ia bisa segera sembuh, An .."
"Akan saya usahakan sebaik mungkin, Oom ..." ujar Ana menyembunyikan perasaan getirnya dalam dalam.



Suasana rapat komite medik pagi itu berlangsung sangat serius. Ana bersama 3 dokter Ahli lainnya berkumpul di sebuah meja lebar, membahas beberapa kasus pasien yang memerlukan penanganan serius termasuk kasus yang dialami Alex. Dokumen pemeriksaan medis pasien tampak berserakan diatas meja. Ana dengan serius memperhatikan hasil laboratorium Alex dan mendiskusikannya bersama dokter spesialis penyakit dalam, dokter urologi dan dokter Patologi Klinik.
"Operasi pertama dilaksanakan dua tahun yang lalu dan saat itu pasien memiliki riwayat kesehatan yang sangat baik" ujar Ana menjelaskan kepada rekan sejawatnya. "Hasil operasi selama dua tahun setelahnya pun tidak terlihat kelainan. Saya sendiri yang memantau kesehatan pasien rutin setiap bulannya."
"Ya .. saat itu saya ikut terlibat juga pada operasi Bapak Alex ini" ujar dokter Marwah, dokter Urologi yang ikut dalam pembahasan pagi itu. Ia berulang ulang memperhatikan hasil USG milik Alex. "Tapi kenapa perdarahan ini bisa timbul 2 tahun kemudian?"
"Bagaimana hasil pemeriksaan terakhir darah pasien, Dokter Dika?" tanya Ana kepada sejawat spesialis lainnya. "Pengamatan saya sementara, tidak ada yang aneh dalam hasil pemeriksaan laboratorium pasien. Tapi anda lebih ahli mengenai hal ini."

"Terdapat penurunan jumlah eritrosit dan kenaikan leukosit walau tidak signifikan" dokter Dika yang sangat ahli dalam membaca hasil pemeriksaan laboratorium membeberkan analisanya. "Walau keduanya masih berada di batas normal, coba anda bandingkan hasil pemeriksaan setiap bulannya dokter Ana .."
Ana membeberkan hasil 3 bulan pemeriksaan darah Alex diatas meja. Dokter Dika dan dokter Marwah mendekat kepadanya.
"Ini .." ujar dokter Dika sambil menunjuk hasil darah Alex. "Eritrosit semakin turun dan Leukosit meningkat."
Ana melihat angka angka yang tertera pada kertas dan menyadari apa yang dikatakan oleh dokter Dika memang benar adanya.
"Bagaimana mungkin saya tidak memperhatikan hal ini ...?" gumam Ana. Pikiran buruk melintas di kepalanya namun Ana mencoba menepisnya "Apakah yang saya pikirkan sama dengan anda, Dok?" Ana memandang dokter Dika dengan cemas.
Dokter Dika kembali ke tempat duduknya, mengambil satu lembar kertas hasil pemeriksaan dan menyodorkannya pada dokter Hari, spesialis penyakit dalam.
"Bagaimana menurut dokter?" tanya dokter Dika. Dokter Hari masih membuka-buka catatan hasil pemeriksaan fisik dalam Rekam Medis Alex.
"Tanpa Trombositopenia dan Hemoglobin normal, saya belum dapat menyimpulkan apa apa," lanjut dokter Dika.
"Tidak pernah ada riwayat demam dan sakit sendi seperti umumnya dialami pasien dengan kelainan darah" ujar dokter Hari, meneliti seluruh lembar catatan medis Alex. "Apakah pasien bekerja dengan potensi kelelahan yang sangat tinggi?"
Ana menunduk, mencoba menyembunyikan perubahan raut mukanya saat mengingat aktivitas sex yang dilakukan oleh Alex dan Eveline "Ehm .. mmh ..rasanya tidak" gumam Ana ragu.
"Jawaban tidak pasti menunjukkan kurangnya anamnesa anda terhadap pasien ini dokter Ana," tegur dokter Hari, yang usianya sudah cukup senior untuk mengalami berbagai kasus penyakit pasien. Ia sudah lebih dari 40 tahun berprofesi sebagai dokter penyakit dalam dan kini berada pada masa pensiunnya. Ana banyak belajar dari dokter Hari, termasuk mempercayakan kasus Alex untuk mendapatkan analisanya.
"Anamnesa bukan sesuatu yang boleh dianggap ringan" lanjut dokter Hari. "Apakah ada tanda kelelahan pada hitung nadi dan nafasnya? Saya melihat semua normal, tapi pernahkah anda perhatikan detail keluhan pasien?"
Ana mengangguk angguk mendengarkan analisa dokter Hari.
"Lebih dari 40% pasien dengan gangguan kelainan darah awal adalah pasien yang tanpa gejala" dokter Dika menambahkan. "Saya sarankan pemeriksaan lebih mendalam pada pasien ini, dokter Ana."
Ana menghela nafas. Benaknya dipenuhi rasa cemas, bagaimana ia bisa membujuk Alex untuk melakukan pemeriksaan lanjutan melihat sikap Alex yang sangat abai pada kesehatannya.
"Baiklah ... Saya akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap pasien ini" ujar Ana. "Saya akan menempatkan diagnosis terburuk sebagai dasar melakukan pemeriksaan. Saya mohon bantuan sejawat semua untuk menangani pasien ini lebih lanjut bila nanti kekuatiran kita terbukti."
Ana menutup pembahasan pagi itu dengan mengucapkan terimakasih. Ia segera menuju ruang ICU untuk memeriksa keadaan Alex.


Ruang ICU menerapkan jam dan prosedur besuk yang sangat ketat. Pengunjung dan keluarga pasien tidak diperkenankan untuk melihat kondisi pasien di luar jam berkunjung, karena kondisi pasien merupakan suatu hal yang harus dijaga dengan ketat.
Ana memasuki ruang ICU, memakai jas khusus ruangan dan melangkah menuju tempat tidur Alex. Ana melihat seluruh tirai tertutup, menandakan Alex tengah memerlukan privasi. Ana melangkah menuju ruang jaga perawat, membuka lembar Rekam Medis Alex yang sedari tadi dibawanya. Seorang perawat mendekati Ana, menunggu instruksi.
"Bagaimana keadaan pasien pagi ini?" tanya Ana.
"Stabil dok" jawab perawat menunjukkan buku pemantauan pasien. "Tekanan Darah dan Nadi normal, nafas normal, bekas luka operasi belum kering sempurna. Pagi tadi sudah kami lakukan ganti perban pasien."
Ana memandang perawat dengan heran. "Lalu apa yang sedang kalian lakukan sekarang pada pasienku?" tanyanya sambil menunjuk tempat tidur Alex yang tertutup tirai, "Atau ada dokter lain yang sedang memeriksanya? Tadi dokter Hari dan dokter Marwah bersama saya di ruang rapat. Atau mereka merujuk pasien kepada dokter lain yang saya tidak tahu?"
"Maaf Dok?" perawat menjawab dengan gugup. "Tadi isteri Pak Alex yang pengacara terkenal itu memaksa ingin menjenguk Pak Alex."
"Isteri?" tanya Ana tajam "Kalian baca status pernikahan pasien di Rekam Medis ini apa?"
Perawat dihadapan Ana menunduk. Ana sudah menduga siapa yang ada di balik tirai.
"Itu gunanya semua informasi pasien dicantumkan dalam Rekam medis ini" ujar Ana berusaha untuk tetap tenang. "Pasien perlu istirahat. Kalian harus benar benar menyeleksi setiap pengunjung yang hendak menjenguk. Pak Alex dengan status belum menikah, apakah kalian yakin itu isterinya?"
Ana bangkit, memandang tajam pada tirai yang tertutup rapat. "Sudah berapa lama perempuan itu berkunjung?" tanya Ana lagi. Perawat melirik jam di dinding.
"Sekitar 1 jam Dok .." jawabnya pelan, menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.
"Ini belum jam besuk dan peraturan menyatakan setiap pengunjung hanya boleh menjenguk maksimal 10 menit bergantian" ujar Ana lagi dengan nada tidak sabar. "Kamu perawat senior yang seharusnya memahami peraturan itu. Apa alasanmu membiarkan dia berlama lama disini dan mengganggu jam istirahat pasien?"
"Maaf dok .." sang Perawat semakin terpojok. "Saya .. isteri pak alex .. maksud saya yang menjenguk itu pengacara terkenal yang sering saya lihat di TV Dok .. jadi saya fikir ..."
"Kamu fikir ada kelonggaran untuk selebriti?" potong Ana. "Peraturan Rumah Sakit tidak menyebutkan siapa saja yang boleh menerima pengecualian!"

Ana menghela nafas menahan emosi, dan melangkah cepat menuju tempat tidur Alex. Ia membuka sepertiga tirainya dan berdiri memandang Alex dan Eveline di hadapannya, seperti yang telah ia duga sebelumnya.
Alex dan Eveline tampak terkejut dengan tirai yang tiba tiba terbuka. Ana memalingkan wajahnya melihat pemandangan di hadapannya. Jubah pasien Alex entah dimana, meninggalkan tubuhnya hanya tertutup selimut Rumah Sakit sebatas paha sampai kakinya. Tangan Eveline menggenggam penis Alex yang tegak berdiri, sementara tangan Alex yang masih menempel infus berada pada payudara Eveline yang separuh terbuka. Lipstik Eveline terlihat berantakan, sementara sedikit jejaknya terlihat di bibir Alex.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Ana setengah berteriak tertahan, berusaha agar suaranya tidak didengar beberapa pasien dan perawat dalam ruangan itu. Eveline berdiri dan merapikan pakaiannya sementara Alex menyeringai menarik selimutnya menutupi dadanya yang terbuka.
"Keterlaluan!" desis Ana memandang tajam Eveline. "Keluar!" hardiknya pelan.
"Kamu tidak punya hak mengusirku!" ujar Eveline tajam. "Dia calon suamiku dan aku berhak tahu keadaannya."
"Ooh .." ujar Ana mengangguk angguk. "Dan kamu memeriksa keadaannya dengan berbuat seperti tadi? Bagaimana menurutmu? Pasien ini sehat? Dan kuat melayani nafsu sex mu yang tidak normal itu?"
"Jaga mulutmu!!" pekik eveline penuh emosi. Alex menggenggam tangan Eveline untuk menenangkannya. "Kamu bisa aku tuntut untuk apa yang kamu katakan tadi! Ingat, aku adalah pengacara terkenal yang bisa menuntut bukan hanya kamu tapi seluruh rumah sakit ini!"
"Coba saja!!" tantang Ana masih dengan penguasaan suaranya agar tetap tenang. Seorang perawat menyadari keributan yang terjadi dan segera berlari keluar memanggil petugas keamanan. "Aku rasa mereka akan mentertawakanmu bila tahu apa yang kamu lakukan! Melanggar peraturan Rumah Sakit, membuat keributan, tidak mengikuti instruksi dokter dan membahayakan keselamatan pasien!!"
Wajah Eveline memerah, tidak sanggup berkata apapun karena menyadari posisinya yang lemah.
"Bawa keluar Pak" ujar Ana memberi perintah dua orang satpam yang sudah berjaga di belakangnya.
Dengan wajah memerah dan rahang mengeras, Eveline melangkah cepat keluar dari ruangan tanpa berkata apapun. Ana memandang tajam kepergiannya, sebelum mengatur nafasnya dan memandang Alex dalam dalam. Ia melirik monitor dan tanpa bersuara memeriksa keadaan fisik Alex termasuk bekas lukanya.
"Wow .. baru kali ini aku lihat kamu begitu emosi, An ..." ujar Alex. Ana tidak menjawab. Ia memperbaiki selang infus Alex, menilai tanda tanda vital Alex dalam monitor dan berbalik hendak meninggalkan Alex.
"An ..." Alex menarik lengan Ana mencegahnya pergi. "Kamu cemburu ...?" tanya Alex sambil tersenyum kecil.
Ana berbalik, menatap Alex dengan air mata tergenang.
"Apa hanya itu yang ada dalam pikiranmu?" tanya Ana dengan suara bergetar. Alex mengangkat bahunya santai. Tanpa suara dan tidak memperdulikan panggilan Alex, Ana melangkah cepat keluar dari ruangan ICU, menyembunyikan air mata yang mulai terjatuh.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd