Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANTARA CINTA DAN NAFSU

Bagian 10

Ana berdiri di samping tempat tidur Alex, memperhatikan dokter Hari yang tengah memeriksa kondisi Alex. Pagi ini saat Ana memeriksa keadaannya, Alex mengeluhkan sakit pada perutnya sejak semalam. Tidak ada kelainan apapun pada bekas luka operasinya, sehingga Ana memutuskan untuk memanggil dokter Penyakit Dalam Alex untuk memeriksa lebih lanjut kondisinya.
"Bagaimana Dok?" tanya Ana setelah Dokter Hari selesai memeriksa keadaan Alex.
"Tanda khas Leukemia salah satunya adalah rasa tidak nyaman di perut menyerupai maag," ujar dokter Hari. Ana memejamkan matanya sekilas. Ia tidak ingin Alex melihat kecemasan dalam dirinya. Setelah demam, kini nyeri abdomen. Kondisi Alex lebih buruk dari yang ia perkirakan.
"Saya akan memastikan dulu dengan cek darah kembali. Setelah ada hasilnya nanti, akan kita analisa ulang kembali kondisi pasien."
Dokter Hari menulis sesuatu di Rekam Medis Alex, menyerahkannya kepada perawat dan tersenyum pada Ana.
"Terimakasih dokter Hari" ujar Ana sebelum sejawatnya itu meninggalkan ruangan.
"Buruk ya ...?" tanya Alex, melihat Ana yang duduk di sampingnya sambil menekan nekan keningnya. "Kamu pucat An .. apa kamu baik baik saja?"
"Harusnya aku yang bertanya begitu padamu" ujar Ana seraya bangkit, meraih piring makan Alex yang masih penuh terisi. "Waktunya makan siang. Dengan obat obatan yang harus kamu minum, kamu tidak boleh telat makan agar tidak terjadi sesuatu yang buruk pula pada lambungmu, Lex."
Ana menyendok sedikit demi sedikit nasi dan menyuapkannya pada Alex.
"Aku hanya kuatir padamu" ujar Alex sambil mengunyah nasi dari sendok yang disodorkan Ana. "Kalau sampai ada apa apa denganmu, siapa yang mau menggantikanmu merawatku, pasien yang susah diatur ini"
Ana tersenyum kecil. Alex sama sekali tidak membahas perkataanya kemarin. Ana juga tidak ingin membahasnya. Saat ini ia lebih mengkuatirkan hasil pemeriksaan lab Alex yang akan disampaikan oleh dokter Hari.

"Kenapa kamu baru datang sesiang ini An?" tanya Alex.
"Masih mencoba mengorek informasi tentang kondisiku?" tanya Ana dengan nada menyindir. Alex tertawa. Dengan isyarat tangannya ia menyudahi suapan makan siangnya dari Ana. "Pasienku tidak hanya kamu Lex .. aku punya pasien lain yang juga harus aku visit dan monitor keadaannya. Sama sepertimu."
Ana meletakkan piring makan Alex kembali keatas meja dan menyodorkan segelas air putih pada Alex. Alex meneguknya lewat sebuah sedotan yang ada di dalam gelas perlahan.
"Tapi tentunya aku yang paling istimewa" Alex melemparkan senyumnya pada Ana.
"Ya, tentu ..." jawab Ana. "Karena kamu keras kepala ... Tidak seperti pasien lainnya yang menuruti instruksiku dengan baik."
Alex tertawa tertahan, seraya memegangi perutnya yang masih terasa tidak nyaman. Ana berbalik akan meninggalkan Alex saat Alex memanggilnya kembali.
"An ..." seru Alex. Ana menoleh "Beri aku waktu ..."
Ana mengernyitkan keningnya dan kembali menghampiri Alex.
"Waktu untuk apa?" tanya Ana pelan. "Waktu untuk memikirkan apakah kamu akan menjalani perawatan atau tidak? Alex, kamu tidak punya banyak waktu. Kondisimu semakin hari akan semakin memburuk tanpa terapi yang tepat dan gaya hidup tidak disiplin seperti ini."
Alex memandang langit langit, seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Melihatmu menahan sakit, melihat penderitaanmu, adalah hal yang paling menyiksaku" sambung Ana. "Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan ..."
Ana tidak melanjutkan kata katanya. Tenggorokannya terasa tercekat. Sebagai seorang dokter berpengalaman, ia sangat mengetahui apa yang akan dihadapi Alex selanjutnya. Ana menundukkan kepalanya menahan tangis.
"Kalau kamu tidak bisa bertahan ... bagaimana mungkin kamu akan mendampingi aku sebagai seorang isteri?" tanya Alex lirih. Ana mendongak, menatap Alex dengan mata berkaca kaca.
"Aku tahu .. Ayahku memintamu untuk mendampingiku .. An, duduklah ..." pinta Alex kepada Ana dengan suara beratnya. Ana menenangkan debar jantungnya, duduk di tepi tempat tidur Alex.
"Papa .. tadi pagi pagi sekali ia datang menjengukku, dan menceritakan semuanya padaku." ujar Alex "Aku mengerti kekuatirannya. Tapi ini tidak adil untukmu An .."
Alex menarik selimutnya, terlihat sedikit gelisah.
"Mungkin kamu sudah memiliki rencana untuk masa depanmu dengan seseorang yang lain .. aku tidak tahu" lanjut Alex. "Dan aku juga tidak mau kamu mengabulkan permintaan Ayah hanya karena iba padaku .. kamu tidak memiliki tanggung jawab apapun atas diriku An .."
"Aku mungkin tidak punya waktu banyak untuk hidup bersamamu dan aku tahu semua akan tidak mudah untuk dijalani" lanjut Alex. "Aku hanya ingin kamu bahagia .. aku tidak pernah bermimpi seorang wanita sepertimu mau melewati hidup yang sulit bersamaku .. "
"Aku memang tidak secantik dan sepopuler Eveline, calon isterimu .. aku tahu itu .." ujar Ana. Sebutir air mata mengalir di pipinya. "Dan tentu saja aku .. punya rencana dan harapan untuk masa depanku .. tapi terkadang, hati bisa merubah segalanya. Bukan hanya aku yang harus mempersiapkan diri untuk hidup bersamamu, Lex .. tapi kamu juga .. hidup, cita cita dan masa depanmu mungkin akan sangat berbeda setelah ini."
Alex mengangguk kecil.
"Aku melamarmu ..." ujar Ana, ditengah air matanya yang semakin deras. "Jawablah sesuai dengan kata hatimu ..."
"Aku perlu waktu .. bukan untuk memikirkan lamaranmu karena itu sudah kulakukan sepanjang malam ..." ujar Alex. "Tapi aku perlu waktu untuk .. menyampaikan pada Eveline bahwa aku .. memilih untuk hidup bersamamu."
Ana menatap Alex dengan hati yang berkecamuk. Tidak ada kata apapun yang mampu ia ucapkan selain derai air mata yang tak kunjung henti. Ia melihat Alex tersenyum padanya, dan meraih tangannya dengan lembut, suatu hal yang belum pernah Ana rasakan sebelumnya.
"Maukah kamu mendampingiku dalam suka dan duka, An ..." tanya Alex pelan. Ana hanya mengangguk dan tersenyum saat Alex mengecup lembut punggung tangannya.

Ana mendorong kursi roda Alex memasuki ruang Radiologi.
Dibelakangnya dua orang perawat membawa berkas Rekam Medis mengikuti mereka. Pagi ini dokter Hari menginginkan Alex melakukan pemeriksaan USG untuk melihat keadaan Heparnya yang menurut hasil lab sedikit mengalami pembengkakan.
Saat melewati selasar, mereka berpapasan dengan Dewo yang tengah berjalan cepat berlawanan Arah.
"Selamat pagi dokter Ana .." sapa Dewo seraya tersenyum. Ana menghentikan langkahnya dan menyambut uluran tangan Dewo. "Mengantar pasien? Kemana? Mengapa kamu sendiri yang mendorong kursi roda pasien?"
Dewo menatap Ana dan Alex bergantian, merasa heran karena seorang dokter tidak biasanya mengantar sendiri pasiennya untuk melakukan konsul ataupun pemeriksaan. Dokter hanya memberikan instruksi dan perawat yang akan melakukannya.
Ana tersenyum canggung. "Ya .. ke Radiologi .. Alex .. ehm .. maksudku pasienku harus dilakukan USG atas rujukan dokter Hari."
Ana melirik Alex yang menatap Dewo dengan pandangan tajam.
"Ooh .. ini .. bukankah pasien yang saat aku berada di rumahmu ... kita ..." ujar Dewo memastikan, yang segera di potong oleh perkataan Ana.
"Ya." ujar Ana cepat "Tuan Alex."
Diluar dugaan, Alex mengulurkan tangannya kepada Dewo mengajaknya bersalaman. Dewo meraih tangan Alex, dan Alex menyebutkan namanya.
"Alex .. calon suami dokter Ana."
Dewo terperanjat. Begitupun Ana, terlebih ia sangat tidak menduga atas reaksi yang diberikan Alex kepada Dewo. Ana tidak memperhatikan reaksi perawat yang ada dibelakangnya, namun ia dapat memastikan perawat tersebut menunjukkan reaksi yang sama dengan Dewo dan dirinya sendiri.
"Oh .." gumam Dewo setelah beberapa saat. "Jadi ini sebabnya penolakanmu .."
"Maaf dokter ..." Ana kembali memotong perkataa Dewo. "Kami sudah ditunggu dokter Hari di ruang Radiologi .. permisi .."
Tanpa menunggu lama, Ana kembali mendorong kursi roda Alex, meninggalkan Dewo yang masih berdiri memandang kepergian mereka.
"Siapa dia An?" tanya Alex penuh selidik. "Apa maksudnya dengan penolakan?"
"Dan kenapa kamu memperkenalkan dirimu seperti itu?" bisik Ana, berusaha agar perawat di belakang mereka tidak mendengar apapun. Ana berusaha untuk menjaga profesionalitas nya sebagai seorang dokter di Rumah Sakit tersebut.
"Kenapa ..?" tanya Alex tenang. "Aku kan memang calon suamimu. Kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa dia?"

Ana menarik nafas lega karena mereka telah tiba diruang USG sehingga ia tidak perlu menjelaskan tentang Dewo kepada Alex. Perawat membuka pintu lebar lebar dan Ana memasuki ruang USG dimana dokter Hari dan dokter Erwin seorang spesialis Radiologi telah menunggu mereka.
"Selamat pagi .." sapa Ana sambil tersenyum. "Pasien sudah siap Dok .."
"Silahkan langsung berbaring disana" ujar dokter Erwin ramah, menunjuk sebuah tempat tidur disamping layar monitor USG yang akan dipergunakan untuk memeriksa kondisi Alex.
Ana membimbing Alex menaiki tempat tidur.
"Maaf ..." bisik Ana sambil membuka baju dan menurunkan sedikit celana Alex ke bagian bawah.
"Tidak apa .. nanti kamu akan terbiasa membuka semua pakaianku kalau kita sudah menikah" Alex menjawab, berbisik di telinga Ana, membuat wajah Ana merona memerah. Alex menyeringai. Ia sangat suka menggoda Ana, melihat reaksinya yang begitu polos.
"Jangan macam macam .." Bisik Ana melirik dokter Hari dan dokter Erwin yang masih berbincang didepan pintu.
Saat menarik turun Celana Alex, Ana melihat lebam dan memar yang cukup luas di permukaan kulit bagian paha Alex. Ana terkesiap, lebam ini tidak ia lihat saat melakukan operasi beberapa hari yang lalu.
"Sakit?" tanya Ana sambil sedikit menekan daerah lebam tersebut. Alex menggeleng.
"Tidak .. kenapa?" tanyanya. Ana tidak menjawab. Ia segera membuka seluruh pakaian Alex, menurunkan lagi celana Alex semakin ke bawah untuk memeriksa apakah ada lebam lain di tubuh Alex.
"Hei .. An .." seru Alex saat Ana dengan lembut membolak balikkan tubuhnya. "Sabar .. kita bisa melakukannya di ruang rawat nanti saat tidak ada orang yang .."
"Alex!" bisik Ana tajam. Ia mendelikkan matanya menatap Alex. "Tenanglah .. aku sedang memeriksamu!"
Alex tertawa senang. Sekali lagi ia bisa menggoda Ana.
"Pikiranmu itu ..." gumam Ana melihat Alex menyeringai didepannya. "Kamu tau ada lebam seperti ini pada tubuhmu?"
Alex bangkit melihat memar yang ditunjukkan Ana pada pahanya.
"Aku menemukan satu lagi di lengan dalammu" ujar Ana cemas. Alex menggeleng.
"Kenapa ini?" tanya Alex menatap Ana. "Biasanya begini bila aku terbentur sesuatu .. tapi seingatku tidak ..."
Ana menggigit bibirnya. Alex sudah mengerti bahwa itu pertanda Ana menemukan satu lagi perburukan dalam kondisi kesehatan nya. Alex menghela nafas menatap Ana dalam dalam.
"Tidak apa ..." ujar Ana menenangkan. Ia meraih tangan Alex dan menggenggamnya kuat kuat "Kamu pasti sembuh .."
Ada sedikit rasa lega di hati alex saat melihat senyum di bibir Ana. Ia membalas memegang tangan Ana kuat kuat, dan tidak melepaskannya selama pemeriksaan berlangsung.

"Istirahatlah .." ujar Ana setelah merapikan selimut Alex di ruang rawat inap. Karena kondisi Alex yang mulai stabil, Ana memindahkannya keluar dari ruang ICU.
"Aku ingin mendengar hasil pemeriksaanku, An" ujar Alex. Ana mengangguk angguk, berpikir memilih kata yang dapat dimengerti dengan mudah oleh Alex.
"Hati mu .. maksudku organ hati dalam tubuhmu sedikit membengkak. Tapi dokter Erwin tadi berkata bahwa pembengkakannya bukan patologis .. artinya .. umum terjadi karena konsumsi obat berkaitan dengan penyakitmu" ujar Ana. "Jadi masih bisa kita abaikan .. tidak perlu tambahan obat lain karena akan hilang seiring dengan membaiknya kondisimu."
"Lalu lebam ini?" tanya Alex melirik bagian pahanya yang tertutup selimut. "Apa artinya?"
"Mmh .. jadi .. itu karena ada pendarahan spontan dibawah kulitmu .. artinya ya .. sesuatu bertambah buruk dalam darahmu .." Ana menjelaskan panjang lebar. Ia harus seterbuka mungkin menjelaskan kondisi kesehatan Alex, agar Alex bisa lebih memperhatikan dirinya sendiri.
Alex menunduk, hening sejenak, sejurus kemudian ia menatap Ana.
"Apa kamu yakin memutuskan untuk hidup bersamaku, An?" tanya Alex meyakinkan Ana. "Kamu tidak bisa menutupi kalau keadaanku semakin memburuk .."
Ana menarik nafas dalam dan tersenyum. "Aku tidak akan merubah keputusanku ..." ujarnya.
Alex meraih tangan Ana dan mereka saling berpandangan dalam diam.

"Apa ini????" sebuah suara keras dan tinggi terdengar dari arah belakang tubuh Ana. Ana berbalik, melepas genggaman tangannya dan melihat Eveline berdiri didepan pintu kamar dengan wajah merah padam. Eveline bergegas menghampiri Alex, memandang Ana tajam dari ujung rambut dan ujung kaki.
"Ooh .. jadi ini sebabnya .. aku tau motif yang sedang anda mainkan, dokter Ana!!" desis Eveline.
"Maksud anda? Motif apa?" tanya Ana berusaha tenang, memasukkan kedua tangannya ke saku jas putihnya dan berdiri santai.
"Anda memanipulasi data, membuat seolah olah kondisi tunanganku ini memburuk dan parah, hanya agar Anda bisa lebih dekat berdua dengannya dan mendapatkan uang dari perawatannya. Betul?" tuding Eveline keras. "Ingat Dok .. saya bisa mengumpulkan bukti untuk membawa anda ke pengadilan!"
"Silahkan saja ..." jawab Ana tenang. "Tuduhan anda sangat tidak beralasan"
"Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri apa yang kamu lakukan pada Alex" desis Eveline. "Pantaskah seorang dokter memegang tangan dan menatap pasiennya begitu lama seperti yang kamu lakukan tadi? Aku berdiri cukup lama untuk melihat semuanya!"
"Sudah Ev ..." ujar Alex menenangkan. "Tenanglah .. ini tidak seperti apa yang kamu lihat .. biar aku jelaskan semuanya padamu sayang .."
Eveline melunak, menghampiri Alex dan melumat bibirnya dengan mesra. Ana memalingkan muka, tidak ingin melihat apa yang terjadi dihadapannya.
"Apa kabar sayang? Maafkan aku baru membesukmu sekarang .. pekerjaanku menumpuk hingga aku tidak bisa menunggumu disini" Eveline merajuk bermanja manja dengan nada suaranya yang memelas. Ana menahan nafasnya, menatap keluar jendela untuk membantu mengusir rasa resah dari dalam hatinya. Ia melirik Alex yang saat itu juga tengah menatapnya. Ana menunduk, saat melihat tangan Eveline mulai terarah ke bagian alat vital Alex. Wajah Ana memerah.
"Bisa kami minta waktu sebentar berdua saja Dok?" tanya Eveline tajam, menyindir Ana yang masih berdiri mematung. Ana hendak menjawab, saat ia melihat tatapan mata Alex yang seolah meyakinkannya bahwa semua akan baik baik saja. Tanpa berkata apa apa, Ana berbalik, meninggalkan Alex bersama eveline dengan perasaan berkecamuk.
Ngeri juga Eveline nih Hu

Manteb lah...
Drama dan konflik mulai seru setelah cinta Ana dan Alex bersatu
Bakal banyak godaan dan halangan nih...
 
Bagian 11

Ana berjalan hilir mudik didalam ruangan poli kliniknya. Pikirannya terus melayang pada Alex dan Eveline yang ia tinggalkan berdua saja di ruangan rawat inap Alex. Hampir seminggu Alex dirawat, dan baru kali ini ia harus berhadapan dengan Eveline langsung di situasi yang sangat tidak nyaman. Ana berulang ulang menghela nafasnya, membuang rasa sesak yang memenuhi dadanya. Cemburu? Tidak, batin Ana . Ini lebih kepada rasa cemas dan emosi yang berkumpul menjadi satu. Cemas bila Alex dan Eveline kembali melakukan hal bodoh yang bisa membahayakan kesehatan Alex dan emosi mengingat apa yang dituduhkan kepadanya oleh Eveline.
Ana mencoba untuk duduk di kursi kerjanya dan memikirkan hal lain yang mungkin bisa menenangkan hatinya. Beberapa hari lalu Pak Wi meneleponnya, menyatakan bahwa ia sangat gembira mendengar keputusan Ana yang disampaikan langsung kepadanya melalui Alex. Pak Wi berkata bahwa ia akan menunggu Alex menyatakan kesiapannya dan beliau akan segera meresmikan pernikahan mereka, tentunya setelah urusan dengan Eveline selesai.
Ana sangat mengerti bahwa tidak akan mudah bagi Alex untuk memutuskan hubungannya dengan Eveline. Walau bagaimanapun, hubungan mereka sangat dekat dan sudah berjalan cukup lama. Tentu akan sulit bagi keduanya untuk melepas dan melupakan semua yang telah terjadi. Belum lagi dengan pihak keluarga yang sudah mempersiapkan acara pernikahan mereka yang hanya tinggal hitungan bulan.

Ana termenung, lalu bagaimana dengan ibunya sendiri? Ana belum bercerita apapun kepada ibunya, bahkan tentang penolakannya pada lamaran Dewo. Entah apa yang akan terjadi saat Ana menyampaikan bahwa ia menolak Dewo, sosok sempurna di mata ibunya, untuk menerima Alex yang justru sangat dibencinya. Bagaimana pula reaksi ibunya saat kelak Pak Wi dan Alex datang menemui ibunya untuk melamarnya secara resmi? Dan bagaimana pula dengan Ratih. Apakah Alex tau bahwa Ratih sebenarnya adalah adik kandungnya? Akankah Alex merubah keputusannya bila tahu bahwa Ayah Ana lah yang mengalihkan cinta ibunya kepada Ayahnya?
Ana memijat keningnya. Kepalanya sedikit berputar. Ini tidak akan mudah baginya maupun Alex. Badai sebesar ini hanya bisa dihadapi dengan ikatan Cinta yang sangat kuat. Ana bahkan tidak yakin dengan kekuatan Cinta nya dan Alex saat ini. Mereka memang pernah saling menyayangi, tapi masihkah ada perasaan itu di hati Alex? Ana masih menyimpan Cinta di hatinya untuk Alex, namun telah terkoyak karena perpisahan mereka beberapa tahun yang lalu. Bisakah Cinta yang sudah tidak utuh lagi bertahan menghadapi semua cobaan yang akan mereka lalui?
Ana menghela nafas. Jika bukan karena Cinta, ia hanya berharap setidaknya rasa saling membutuhkanlah yang akan hadir mengisi hari hari mereka. Alex membutuhkannya untuk bertahan hidup, sementara Ana akan mengisi kekurangannya dengan cinta yang masih ia miliki.

Pintu ruangan Ana dibuka dengan keras sehingga ia terlonjak dari tempat duduknya. Eveline berdiri diambang pintu. Nafasnya memburu, wajahnya merah padam dan rahangnya mengeras. Ana melihat Eveline mengepalkan tangan dengan bajunya yang terlihat sedikit berantakan.
"Perempuan iblis!!!!" jeritnya. Ana berdiri, berusaha meredakan emosinya yang juga ikut meningkat karena sebutan yang dilontarkan Eveline kepadanya.
"Maaf dokter .. saya sudah menahan tapi dia terus memaksa masuk" ujar seorang perawat dengan muka pucat dari depan pintu. Ana mengangguk memberi isyarat dan perawat tersebut segera berlari untuk memanggil keamanan rumah sakit. Beberapa pasien berkerumun didepan ruangan Ana, memuaskan rasa penasaran mereka terhadap keributan yang terjadi.
"Licik!!" jerit Eveline. "Dengan cara setanmu, kamu merebut tunanganku! Calon suamiku!!"
Ana menatap Eveline dengan tatapan tajam, mengontrol suara dan emosinya sekuat tenaga.
"Alex membutuhkanku..." ujar Ana singkat.
"Persetan!!" teriak Eveline lagi. "Dimana harga dirimu perempuan jahanam! Kamu mengemis Cinta laki laki lain yang tidak menaruh hati padamu! Kamu mengacaukan semua rencana pernikahan orang yang tidak bersalah padamu! Pantaskah seorang dokter berperilaku seperti itu??"
Ana hanya terdiam.
"Dari awal aku sudah mencium niat busukmu!! Merebut Alex dariku!! Tidak adakah laki laki yang mau menikahimu sampai kamu harus merebut calon suamiku??"
"Jaga ucapanmu!!" sebuah suara keras menghardik, membuat Eveline memutar badannya. Ana terkesiap. Dewo berdiri di belakang Eveline dengan ekspresi amarah yang luar biasa.
"Dia dokter yang telah menyelamatkan nyawa calon suamimu, Nona!!" ujar Dewo dengan suara lantang. "Setidaknya tunjukkan rasa hormat dan terimakasih anda karena anda masih punya kesempatan untuk bertemu dengan kekasih anda!!"
Nafas Ana memburu. Dadanya sesak oleh emosi. Dewo begitu lantang membelanya. Ana sadar bahwa Alex telah menyampaikan keputusannya pada Eveline sehingga ia tersulut emosi membabi buta seperti ini.
"Silahkan tinggalkan ruangan ini atau Anda akan berurusan dengan petugas keamanan kami" ujar Dewo menoleh kepada dua orang Satpam yang berdiri bersiaga di luar ruangan.
Eveliene melirik pada Ana. Ia sudah lebih tenang dan mendesis, mengarahkan telunjuknya kepada Ana,
"Aku akan membuat perhitungan denganmu karena telah menghancurkan hidupku!! Ingat itu!!" Eveline kemudian berpaling dan berlari meninggalkan ruangan Ana.
Tubuh Ana lunglai. Ia merasa begitu lemah, pandangannya berputar. Ia segera meraih tepi meja untuk berpegangan, disaat yang sama Dewo menyangga tubuhnya dan mendudukkannya di kursi.
"An .. kamu tidak apa apa?" tanya Dewo cemas. Tangis Ana pecah, ia terisak tanpa sanggup berkata apapun.
"Aku antar kamu pulang ya ..." ujar Dewo. Ana menggeleng, dan disaat bersamaan suara yang sangat ia kenal terdengar dari ambang pintu.
"Ana .. kamu tidak apa apa?"
Ana mendongak. Tangan Dewo masih memeluk bahunya saat ia melihat Alex, sambil memegang botol infusnya berdiri menatap kearah mereka.
"Alex ...." Ana menggumam terkejut. "Apa yang kamu lakukan disini?"
"Lepaskan tanganmu dari tubuh calon isteriku ..." hardik Alex dingin, menatap Dewo dengan tajam.
Ana bangkit, bergegas berjalan ke arah Alex dan di waktu yang bersamaan tubuh Alex lunglai di pelukan Ana.
"Alex!!" jerit Ana panik. "Brankar! Cepat!" serunya kepada dua orang perawat yang segera berlari memenuhi perintah Ana.
"Alex!! Ya Tuhan .. Alex.. jawab aku!!" panggil Ana, memeluk tubuh Alex yang terasa dingin dan pucat. Tanpa banyak bicara Ana dengan bantuan Dewo dan perawat mengangkat tubuh Alex keatas brankar dan membawanya kembali ke kamar.
"Siapa yang bertanggungjawab atas kejadian ini?" tanya Ana melirik tajam dua perawat ruang VIP tempat kamar Alex berada. "Pasien ini tidak boleh berada di luar ruangan. Bagaimana bisa dia sampai ke poli rawat jalan seorang diri?" Ujar Ana sambil terus mendorong brankar Alex
"Maaf dokter .. tadi sudah kami larang tapi .. pasien memaksa .." ujar seorang perawat. Ana mengumpat dalam hati. Dipandanginya wajah Alex yang terpejam tak sadarkan diri dan berdoa agar keadaan Alex baik baik saja.

Tekanan Darah Alex sangat rendah, namun secara umum kondisinya stabil. Ana memberikan beberapa suntikan obat obatan suportif dan menunggu hingga Alex siuman. Dalam keraguannya Ana duduk menatap Alex yang terbaring tak sadarkan diri. Ana menyadari, ia kini menempatkan Alex dalam situasi sulit yang tidak jauh berbeda, bisa memperburuk kondisi kesehatannya juga. Ana mulai menimbang ulang keputusan yang telah mereka ambil. Ini baru awal, dan peristiwa ini sudah memberikan dampak nyata bagi kondisi kesehatan Alex. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, mengingat semakin berat peristiwa lain yang harus mereka hadapi.
"An ..." Alex menggumam lirih. Ana terhenyak dan menghapus air matanya. Ia tersenyum menghampiri Alex.
"Alex .. " bisiknya lembut, memeriksa kondisi nadi di pergelangan tangan Alex. "Syukurlah kamu baik baik saja .. Apa yang kamu rasakan sekarang? Sakit?"
Alex menggeleng "Cemburu ..." bisiknya, menyeringai kecil. Ana menghela nafasnya dalam dalam. Saat kondisi seperti inipun Alex tidak pernah serius.
"Tolonglah Lex .. aku bertanya serius padamu. Kamu pingsan tadi. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padamu .." keluh Ana.
"Tidak ada hal yang lebih buruk dari pada saat seorang laki laki melihat calon isterinya dipeluk pria lain" ujar Alex datar. Ana membelalakkan matanya terkejut dengan perkataan yang dilontarkan Alex.
"Itu .. Oh Tuhan, kamu cemburu?" tanya Ana hampir tertawa. Alex mengedikkan bahunya.
"Maafkan Eveline .." ujar Alex. "Sifatnya memang meledak ledak seperti itu, tapi aku rasa ia akan mengerti keputusanku. Apakah ia menyakitimu?"
Ana menghela nafas. Alex masih memperhatikan Eveline bahkan memintakan maaf kepada Ana untuknya. Ana bisa melihat jelas perasaan Alex pada Eveline.
"Tidak ..." jawab Ana lesu. "Alex .. ini tidak akan mudah .. aku sudah memikirkannya ..."
"Jangan katakan apa apa ..." tepis Alex. "Kita akan hadapi semua bersama."
Alex mengangkat jubah Rumah Sakitnya di bagian lengan dan menunjukkan luka yang tidak dilihat Ana sebelumnya. "Ia melukaiku .." ujar Alex.
Ana melihat luka cakaran yang cukup dalam dan panjang di lengan Alex. Sedikit titik titik perdarahan terlihat di sepanjang luka. Ana terkejut, tidak menyangka Alex terluka
"Jahat sekali dia!!" desis Ana, memeriksa luka Alex.
"Eveline tidak sengaja " ujar Alex. "Ini hanya bekas kukunya yang kebetulan panjang An .."
"Hanya??" desis Ana lagi. "Alex .. kamu tidak boleh terluka .. ingat ini. Leukemia membuat faktor pembekuan darahmu terganggu. Luka pada tubuhmu yang mengeluarkan darah akan sulit sembuh dan sulit terhenti. Untung hanya kuku .. tapi bagaimana kalau lukanya dalam dan mengeluarkan banyak darah?"
" Ya .. baiklah .. kenapa kamu jadi galak begini?" tanya Alex, seperti biasa menyeringai dengan nada santai.
Ana mendelik "Dan kamu harus mulai membiasakan mendengarku seperti ini" ujar Ana, membuka kotak P3K dan mengobati luka Alex dengan hati hati.
Alex tersenyum. Ia menatap Ana diam diam. Melupakan Eveline memang bukan hal mudah. Namun Alex yakin ia bisa mencintai Ana dengan sangat mudah. Ana dengan segala kebaikan dan keanggunan yang ada pada dirinya, membuat Alex semakin yakin akan pilihannya. Tidak lama, setelah Eveline mau menerima keputusannya, ia akan segera melamar Ana secara resmi dan memulai kehidupan yang baru bersamanya.

______________________________________
Mendung menaungi langit Jakarta saat Eveline dengan tubuh telanjangnya berdiri di ambang jendela besar sebuah kamar hotel, menatap hiruk pikuk keramaian ibu kota yang terpampang di bawahnya. Ia meneguk Bir dingin dari botol yang di genggamnya. Entah sudah berapa botol bir ia habiskan seharian ini.
Eveline melirik sesosok tubuh telanjang Pria yang terbaring mendengkur diatas tempat tidur. Eveline tersenyum sinis mengingat pertempuran yang hanya berlangsung satu ronde dengannya. Ia hanya membutuhkan waktu 30 menit saja untuk menyelesaikan semua, dan pria tersebut sudah menyerah, mencapai ejakulasinya sebelum Eveline Orgasme, kemudian tertidur lelap hingga saat ini.
Eveline menghempaskan nafas panjang, meneguk kembali bir dinginnya. Pikirannya melayang pada Alex dan keputusan yang disampaikannya 2 minggu yang lalu. Semenjak itu, entah sudah berapa laki laki ia ajak untuk bermain sex, membayar siapapun yang mampu memuaskannya, namun belum ada satu laki lakipun yang bisa membawanya melayang seperti apa yang dilakukan Alex. Semua pertarungannya berakhir dengan masturbasi yang harus dilakukan Eveline sendiri untuk mencapai Orgasmenya, karena mereka, para pria yang melayaninya, mencapai kepuasan terlebih dahulu sebelum dirinya.
Eveline merebahkan dirinya ke Sofa, mengangkat kedua kakinya dan meletakkannya diatas meja. Ia membawa ingatannya kemasa lalu, saat almarhum Ayahnya menyampaikan bahwa beliau akan menjodohkan Eveline dengan Alex, pengusaha muda putra Pak Wiwaha. Ayahnya begitu ambisius untuk menyandingkan mereka berdua di pelaminan, jauh sebelum beliau menangani kasus Pak Wiwaha.
"Hidupmu akan terjamin, karirmu akan meroket bila kamu berpasangan dengan keluarga kaya raya seperti mereka Ev .." begitu yang disampaikan oleh Ayahnya saat itu. Masih segar di ingatan Eveline saat ia pertama kali bertemu dan terpesona dengan ketampanan Alex. Saat pertama kali Alex tidak menolak permintaannya untuk menghabiskan malam bersama dan Eveline serasa dibuai mimpi ketika Alex membuatnya Orgasme berulang kali. Sejak saat itu Alex bagaikan candu bagi Eveline. Tidak ada satupun perjumpaan mereka tanpa dihiasi sex yang sangat luar biasa bagi Eveline.
Maka rasa sakit ini terasa tidak adil untuknya. Eveline sudah merasa sangat terpukul saat ia menerima kenyataan kondisi Alex tidak lah seprima sebelumnya krn penyakitnya, belum lagi keputusan Alex untuk membatalkan semua persiapan pernikahan mereka.

"Kamu akan lebih bahagia tanpa aku disampingmu, Ev .." ujar Alex saat itu, saat Eveline mengunjunginya di rumah sakit. "Lihatlah keadaanku sekarang. Aku tidak mungkin mendampingimu, kondisi kesehatanku semakin menurun .. Kamu perlu seorang laki laki kuat untuk menopang karir dan hasratmu, Babe .. dan itu bukan lagi aku .."
"Aku bisa menyembuhkanmu, Lex .." bujuk Eveline saat itu "Kita berobat keluar negri .. kemanapun yang kamu mau .. kita akan cari dokter terbaik di dunia untuk menyembuhkanmu ..."
"Dan menghabiskan waktu dan karirmu hanya untuk merawatku? Tidak Ev ...." bisik Alex seraya tersenyum getir. "Kamu membangun image, karir dan semua yang kamu punya sejak awal .. tanpa campur tanganku sedikitpun .. dan aku tidak ingin menghancurkannya, membuat semua terbengkalai karena waktumu dihabiskan untuk merawatku"
Eveline termenung, memikirkan semua pernyataan Alex yang tidak ia pungkiri kebenarannya.
"Tapi aku mencintaimu Lex .. aku akan lakukan apapun untuk merawatmu ya .. kita mungkin bisa menyewa perawat khusus untuk menemanimu selama aku tidak ada disisimu ..." ujar Eveline lagi.
"Tidak perlu Ev .. berkonsentrasilah kepada karirmu .. masa depanmu sangat cerah, aku bisa melihat itu .. jangan kamu sia siakan .. aku sudah mengambil keputusan ..." ujar Alex.
"Lalu siapa yang akan merawatmu?" tanya Eveline. "Katakan apa yang bisa aku lakukan asalkan kamu tetap menikah denganku ..."
"Ev .." Alex menggenggam tangan Eveline lembut. "Hei .. tidak ada yang menginginkan keadaan ini terjadi. Kita mungkin memang tidak ditakdirkan untuk bersama sebagai suami isteri, tapi aku tetap akan menjadi temanmu yang terbaik .. aku yakin kamu akan menemukan orang yang tepat, seperti aku rasa aku menemukan orang yang tepat untuk mendampingiku dalam kondisi seperti ini"
"Siapa?" tanya Eveline. "Jadi kamu memutuskan hubungan ini karena kamu menemukan orang lain?"
"Ini .. diluar kendaliku, Ev .. kondisiku membutuhkan dia .." Alex mencoba menjelaskan.
"Siapa??" nada suara Eveline mulai meninggi. "Katakan, siapa???"
"Ana .." jawab Alex cepat. "Ana akan merawatku Ev .."
"Dokter sialan itu???" jerit Eveline meluapkan emosinya. "Aku sudah tahu!! Dia memang licik!! Berlindung dibalik profesinya sebagai dokter .. berpura pura memperhatikanmu dan merawatmu! Alex!! Dia penipu!! Dia sengaja membuatmu terlihat tidak berdaya seperti ini hanya untuk memilikimu!! Apa kamu tidak lihat??"
"Eve .. tenanglah .. dengarkan kataku dulu .." bujuk Alex.
Namun saat itu Eveline merasa sangat emosi, dan entah apa yang terjadi setelah itu, yang ia ingat adalah ia berlari pulang dan menangis mengurung diri semalaman.

Eveline tersadar dari lamunannya, melirik tubuh yang masih terlelap di atas tempat tidur dan kembali meneguk bir di tangannya. Hatinya terasa sakit dan hampa. Eveline kembali teringat sebelum Ayahnya wafat karena sakit, dihadapan Pak Wi dan Alex, Ayahnya menitipkan Eveline, agar mereka menjaganya dengan baik.
"Ingat Wi .. kamu berhutang padaku atas terbebasnya tuntutan atas kasusmu .. anggaplah menikahkan Eveline dengan Alex sebagai bentuk balas jasamu padaku."
Saat itu Pak Wi dan Alex tidak berkata apa apa, sampai dua hari setelahnya Ayah Eveline pergi meninggalkannya untuk selama lamanya.
Eveline meneteskan sebutir air mata. Hatinya bergejolak. Ia harus membalas semua perlakuan Alex dan Ana pada dirinya. Eveline merenung, apa sebetulnya yang membuat Pak Wi berhutang kepada Ayahnya. Kasus besar apa yang dimiliki pak Wi saat itu.

Sebuah ciuman di pipinya menyadarkan lamunan Eveline. Pria teman kencannya malam ini rupanya sudah terbangun dan kini duduk disampingnya mulai meraba raba tubuh indah Eveline yang masih telanjang.
"Want more, pretty?" bisik laki laki itu mencoba membangkitkan kembali gairah Eveline, namun pikiran Eveline saat ini tertuju pada kasus Pak Wiwaha yang harus ia selidiki.
"No ..!" Eveline mendorong kuat tubuh laki laki itu. Ia bangkit, berjalan ke arah meja mengambil segepok uang dari dalam tasnya, dan melemparkannya pada laki laki itu. "Itu upahmu hari ini. Berpakaianlah dan pergi."
Laki laki tersebut memandang tubuh molek Eveline yang tanpa busana. Eveline melirik penis pria itu yang rupanya mulai menegang. "Aku .. akan memberikan tambahan waktu gratis jika kamu masih menginginkanku memuaskanmu....." ujar laki laki itu.
Eveline tertawa terpingkal pingkal. Setelah reda, ia berbisik sinis.
"Memuaskanku? Kenyataannya kamu yang terpuaskan oleh permainan sexku. Jadi untuk apa aku mengeluarkan uang lebih hanya untuk kenikmatanmu? Pergi!!"Eveline melangkah kekamar mandi dan mengunci pintu. Beberapa saat kemudian ia mendengar suara pintu kamar dibanting keras keras. Eveline keluar dan menemukan kamar telah kosong.
Eveline mengambil HP nya, menelepon sebuah nomor yang bisa memberikan informasi lebih jauh mengenai apa yang terjadi antara almarhum Ayahnya dengan Pak Wiwaha.


"Jadi ... Pak Wiwaha penyebab kematian isterinya sendiri...? gumam Eveline pelan. Dihadapannya duduk Gunawan Abadi, partner di Firma hukum milik Ayahnya dulu, seorang sahabat karib yang bersama sama menangani kasus pak Wiwaha saat itu.
"Ya ..." ujar Pak Gunawan. "Dan saat itu ia berani membayar berapapun untuk membersihkan namanya dari kasus ini, menghindari tuntutan penjara seumur hidup yang ditujukan kepadanya."
Eveline mengangguk angguk. Sekarang benang merah antara Alex dengan Ana terbentang jelas. Pak Gunawan telah menceritakan dengan detail duduk permasalahannya.
"Tapi kenapa setelah bertahun tahun lamanya kamu tertarik dengan kasus ini Ev?" tanya Pak Gunawan.
"Tidak Oom ..." Eveline tersenyum canggung. "Ada sesuatu yang .. aku harus mencari tau kebenarannya"
Pak Gunawan memang tidak tahu kesepakatan yang telah dibuat oleh Ayah Eveline dengan Pak Wi. Dan Eveline memang tidak berniat untuk membukanya.
"Bolehkah aku meminta salinan berkas ini Oom?" tanya Eveline beralasan. "Aku kagum pada kepiawaian Oom dan Ayah sehingga bisa memenangkan kasus serumit ini. Ini pasti akan membantuku bila kelak aku menemukan hal serupa."
Pak Gunawan mengangguk angguk sambil tersenyum.
"Tentu saja boleh Ev .." ujarnya, menyerahkan berkas pada sekretarisnya untuk digandakan. "Oom senang kamu mengikuti jejak Ayahmu menjadi seorang Pengacara terkenal. Dan Oom yakin kelak kamu akan se sukses Ayahmu, Ev .."
Eveline tersenyum. Senyum keyakinan dan kepuasan akan terbalaskannya dendamnya pada Alex dan Ana.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd