Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
:panlok3: EVE NOMOR 13

:konak:LAILA PRAMESWARI​


8kTy9fF.jpg
 
Cerita kayak gini kemungkinan besar bakal jadi legend. Asal jangan macet aja :D Semangat suhu nulisnya...
 
S6ceymCt_o.png

Jantung ini dipacu rasa takut yang teramat sangat, secara insting kami langsung bersembunyi di balik semak rimbun terdekat. Terdengar suara cipratan air dan erangan menggema yang bahkan bisa menciutkan nyali orang dewasa.

Rasa takut adalah emosi paling dasar manusia, aku paham betul itu karena pekerjaanku adalah menulis novel fiksi horor. Aku penikmat film seram dan menyukai sensasi ditakut-takuti, tapi jika mengalaminya secara langsung jelas beda rasanya! Aku tak menginginkan adrenalin yang dipacu terekskalasi hingga ke ubun-ubun.

Hidungku terasa geli. Aku menahannya dengan tangan berharap segera hilang. Oh sial!! Kenapa di saat-saat seperti ini malah mau bersin sih!!

“TSINH!!!”

Celaka!!! Beneran keluar juga! Ku lap sedikit ingus dari ujung hidung.

Esa menoleh ke arahku ketakutan. Wajah kami pucat pasi ketika mendengar suara langkah basah mendekat. Chip di tengkuk kami berkedip, semakin makhluk itu mendekat, kedipannya semakin kencang.

Sial! Sial! Sial! Benda ini ternyata semacam detektor musuh!

Kuraih tangan Esa lalu berlari! Bodoh sekali memang ketahuan karena bersin, lebih bodoh lagi aku yang entah kapan terakhir berolahraga ini menaruh nasib pada hal yang paling tidak kukuasai, lari sprint! Kuharap Esa jauh lebih atletis dari penampilannya. Semoga dia bisa menarikku atau lebih baik, menggendongku! Esa mulai menyalipku! Bagus, kami ada kesemp-

HAH?!

Nasibnya sama ngenesnya denganku! Kepalanya mengadah ke atas, keringatnya bercucuran, mulutnya terbuka seperti paus yang mau menghisap plankton. Dia juga payah dalam olahraga! Harusnya aku tahu!

Jemari kasar dan keras terasa dipunggungku, menarik kain ujung kain kafan yang menjuntai di belakang kaki sehingga aku jatuh tersungkur.

“Mbak… Laila!”

Dia gemetaran, Esa hanya menatapku dengan wajah dicekam ketakutan.

“To… long…. To… long!” rintihku ngeri.

Tanganku merayap dan menjambak rumput, menyeret payudara dan perutku, namun makhluk itu menghujamkan tangan kasarnya ke bahu dan membalik tubuhku.

“Hiiiy!”

Monster!!! Aku tak tahu makhluk apa itu! Aku tak bisa melihatnya dengan jelas karena backlight dari lampu di kubah taman ini. Gerakannya patah-patah seperti wayang golek, tangannya kasar seperti batang pohon, posturnya kurus seperti penderita anorexia, ada sebuah benda berkilau menempel di dadanya. Tapi apa yang paling membuatku takut adalah matanya. Mata merah sebesar bola pingpong yang menyala.

Makhluk itu menggerayangi tubuhku, Kubekap kemben yang kukenakan. Payudaraku tertutup, tapi bagian bawahnya terbuka begitu saja..

Napasku tertahan, berusaha berpikir jernih ditengah dentuman jantung yang meletup-letup di dada. Ketika tangannya memegang pinggulku dan wajahnya sejajar dengan kemaluanku. Dengan cepat aku berbalik dan merangkak ke arah Esa.

Rencanaku satu-satunya untuk kabur dipatahkan ketika tangan monster itu menekan bokongku. Membuat lututku tergeser dari posisinya di tanah dan selangkanganku terbuka lebar. Diremasnya bongkahan pantat bulat berlemak yang menghiasi bagian belakang tubuhku, lalu dibukanya lebar-lebar.

“Hiiiy! Pergi! Pergi!!”

Teriakanku hanya dibalas erangan oleh makhluk itu. Sementara Esa… Huh?

Kau bercanda?!

Di saat seperti ini anak ini malah ereksi?!

Tolong aku dasar bodoh!! Aku ini EVE-mu! Kalau EVE kenapa-kenapa ADAM juga pasti kena masalah! Aku mendongak ke arah Esa. Anak itu menangis, suaranya tak keluar, badannya gemetaran. Aku seperti melihat cerminan diriku di masa SMA…

“Hyaaaahhh!!! Ngapain?! Hentikan!”

Sesuatu menusuk anusku, seperti sebuah ranting yang cukup tebal. Perlahan benda itu masuk semakin dalam. Sakit… Sakit sekali!! Aku disodomi!

Dinding duburku seolah diamplas pelan hingga sedalam kurang lebih 20cm. Aku tak bisa melepaskannya, tercengkeram kuat di liang pembuanganku karena bentuknya yang tidak seperti penis pada umumnya.Kami gantet layaknya anjing yang sedang kawin!!!

Aku berbalik menghadap ke makhluk itu. Kini bisa kutoleh apa yang memperkosaku dengan jelas. Itu bukan manusia, itu….

Sebuah patung malaikat wanita yang terbuat dari kayu!

QZmym0aX_o.jpg

Tubuhnya bagai sebuah pohon yang bergerak dengan sayap ranting. Sebagian besar permukaannya tertutup lumut, di kepalanya bahkan tumbuh semacam tumbuhan air dan membuatnya wajahnya yang mirip patung-patung renaissance malah terlihat mengerikan. Selain itu, matanya memancarkan sinar merah. Sinar yang sama dengan bola kristal yang menempel di dadanya.

Kulihat ke bawah vaginaku, sebuah batang dicolokan ke dalam anusku. Wujudnya memang seperti malaikat wanita, namun sepertinya dia dapat menumbuhkan organ yang menyerupai penis.

Walau badannya tidak bergerak maju, tapi batang itu terus tumbuh di dalam duburku. Jika begini terus, itu akan tembus hingga ke mulutku! Aku akan mati sebagai sate!

Kutarik kakiku hingga ke depan dada lalu menendang monster kayu itu.

“Auhhh!!!”

Hentakan dari tendanganku berhasil mendorongnya, tapi di saat bersamaan kayu yang dipacak ke anusku juga tertarik. Saking sakitnya seikit air seniku keluar. Kutendang tanah berulang-ulang, berusaha menyeret tubuhku dan melepaskan batang kayu itu.

Berhasil, walau makhluk itu ikut terseret, tapi sedikit-demi sedikit kayu yang menusuk duburku keluar. Ugghh!! Rasanya seperti sedang berak! Sepertinya aku merangkak sejauh dua meter, hingga menabrak Esa dan mengembalikannya ke dunia nyata.

Kepalaku mendongak, mataku berkaca-kaca memohon pertolongan. Sudah tak ada suara yang bisa keluar dari pita suaraku karena stress dan tekanan yg kualami saat ini teramat besar.

“Please…”

Hanya bisikan kecil yang keluar dari bibirku.

Masih gemetaran, tangan pemuda itu memegang bahuku, perutnya menopang punggungku. Bisa kurasakan penisnya saling bergesek dengan kulit bagian belakangku.

Kaki Esa diangkat, sama seperti saat aku berusaha menendang monster itu…. Tu-tunggu! Jangan-jangan?!

Belum sempat aku melarangnya, kaki Esa melesat cepat dan tepat mengenai bola kristal merah di tengah dadanya. Penis monster itupun tercabut dari pantatku.

“AAAHIIIIIIYY!!!” jeritku.

Hentakannya begitu keras membuat sang monster terpental beberapa kaki. Sayangnya bukan hanya dia yang terkena dampak, tubuhku juga. Batang yang tertarik begitu cepat dengan kekuatan besar bagai gelombang kejut di sekujur tubuhku.

Badanku langsung melengkung ke atas, bertumpu pada lutut. Air kencing menyembur deras karena kini otot-otot bagian bawah tubuhku sudah tak berada dalam kendali otakku sendiri. Mulut Esa bergerak dan menutup, mengatakan sesuatu namun tak bisa kudengar suaranya karena tertutup bunyi microchip yang makin lambat. Penglihatanku mulai buram, semua warna seperti memudar hingga hanya putih yang tersisa.

****​

“Hmmh…”

Aku mengucek mataku. Susunan akar teranyam menjadi pemandangan pertama yang tampak di mataku.

“Huh? Dimana ini?”

Aku menopang tubuhku dengan siku supaya bisa duduk. Pantatku masih sakit karena disodomi tadi..

“Mbak Laila istirahat aja dulu…,” ujarnya, “ini aku dapet buah, dimakan dulu!”

Kujulurkan tanganku ke arah Esa namun dia menjauh sambil memejamkan matanya. Aku sedikit terkejut, tapi paham perasaannya.

“Makasih udah nolongin Mbak ya…,” kugenggam tangannya.

Bocah itu terkejut dan menatapku, lalu kembali menunduk. Tetesan air mata jatuh di pahanya.

“Kenapa Mbak Laila nggak marah sama aku? Tadi aku nggak bisa apa-apa, malah ketakutan...,” ujarnya lirih.

Kupegang bahunya dengan kedua tangaku, wajahnya mendongak memperlihatkan matan yang sembab.

“Kamu mau mbak marah?”

Esa hanya diam.

“Kamu mau mbak nyimpen dendam?”

Kali ini dia menggelengkan kepalanya pelan.

“Semua orang pasti takut, kok! Tapi pada akhirnya kamu bisa melampaui rasa takut itu dan nolongin mbak, kan?” hiburku.

“Tapi, saat itu…. Aku nggak cuma takut…! Aku liat Mbak Laila diserang, aku malah… aku malah…”

Tangannya menekan kemaluannya yang kembali berdiri, wajahnya memerah malu bercampur rasa bersalah.

Eh? Ada apa ini? Jantungku berdegup kencang! Badanku perlahan semakin panas. Apa aku terangsang melihat Esa? Ini lelucon, kan? Aku baru saja habis diperkosa malaikat cabul, tapi sekarang malah berharap dilanjutkan oleh orang yang menyelamatkanku?!

Ada apa dengan tubuh ini?! Semenjak berada di tempat ini aku jadi terangsang terhadap hal-hal aneh!

“M-mbak Laila… Sebenarnya aku-“

Belum sempat Esa menyelesaikan kalimatnya langsung kulumat bibirnya. Mata anak itu melotot karena kaget. Tak berselang lama, aku juga terbelalak.

Astaga! Apa yang merasukiku?!

Langsung kutarik wajahku. Kami berdua gemetaran, aku melihatnya dengan perasaan takut. Bukan takut padanya, tapi takut pada diriku sendiri.

“Ma-maafin mbak… Mbak ndak tahu setan apa yang ngerasukin mbak!”

Ingin menangis rasanya. Kepribadian yang telah kubangun sejak kecil, apa yang diajarkan orang tuaku untuk jadi gadis yang santun dan pandai menjaga diri benar-benar sirna karena kegilaan tempat ini.

Rasanya canggung sekali, waktu berlalu tanpa ada sepatah kata yang keluar diantara kami. Aku tiduran memunggungi Esa, memikirkan apa sebenarnya tujuan kami dibawa kemari. Banyak pertanyaan yang tak terjawab, seperti kenapa kami dipasang-pasangkan sebagai ADAM dan EVE, di mana kami sebenarnya, apa tujuan permainan ini, tanpa tahu jawabannya, mustahil rasanya bisa keluar.

Aku berbalik dan melihat Esa sepertinya sedang menganyam sesuatu dari rumput-rumput panjang yang tumbih di sisi kubah akar ini.

“Esa, kamu punya pacar?” tanyaku berusaha mendobrak tembok keheningan berpadu canggung.

Pemuda bertubuh mungil itu menggeleng, “kalau, Mbak?”

“Punya… Tapi kurasa dia ndak beneran tulus sama, mbak..,” jawabku.

“Uhm… Maaf, soal tadi, ciumannya..,” gumam Esa pelan.

“Ndak apa-apa, itu salahnya mbak kok… Lagian pacarku ndak peduli, berkatmu, mbak jadi sadar kalau selama ini dia bukan cowok baik!”

“Eh? Bukan cowok baik?”

“Kamu tahu siapa yang menurut mbak cowok yang bener-bener baik?”

“E-enggak…”

“Kamu..,” godaku, tentu saja itu membuatnya tersipu malu.

“Tapi aku ini pengecut!”

“Berarti kita punya kesamaan, kita sama-sama seorang pengecut..,” jawabku sambil melihat ke langit-langit.

Cowok itu sepertinya kaget mendengar pengakuanku.

Munafik, begitulah yang dikatakan Raka saat di lorong. Karena keinginan untuk bermain aman inilah topeng Laila yang santun ada. Topeng yang kugunakan untuk menipu semua orang, alasan agar dapat menasehati Adik-Adikku, alasan kenapa aku tak pernah berani memutuskan hubungan dengan pacarku, juga alasanku untuk tetap mengikuti norma sosial. Padahal aku yang asli sebenarnya sangatlah nista.

Esa menunduk, lalu berbaring di sampingku.

“Mbak, aku ini cuma figuran…”

Kalimat tak masuk akal dari mulut Esa membuatku mengernyitkan kening, menoleh ke arahnya.

“Semua data ADAM dan EVE yang ditampilin di layar, mereka semua punya kualitas untuk jadi tokoh utama.”

“Huh? Maksudmu?” tanyaku.

“Mbak penulis novel kan? Mbak pasti tahu gimana tokoh cerita yang menarik! Mereka aktif, punya dominasi tertentu, baik ke arah yang positif atau negatif! Kalau dibandingkan mereka, aku ini cuma figuran yang pasif.”

Aku tak menyangka Esa menggunakan analogi kepenulisan, terlebih dia adalah seorang pengamat! Sama sepertiku, menganalisa data, menarik garis perkembangan dan potensinya.

“Termasuk Mbak Laila juga! Dengan fetish sebanyak itu, mbak jadi terlihat menonjol banget!”

“Aduhhhh! Jangan ngomongin itu!”

Kututup mukaku dengan tangan, kembali teringat bahwa semua aibku terbongkar.

“Lagian, kenapa bilang kamu ini figuran?” tanyaku.

“Pas Mbak lihat aku, apa kesan yang mbak dapat?”

“Eh? Ndak ada…”

“Iya… Nggak ada… Karena eksistensiku cuma jadi pelengkap, aku nggak ada status menonjol.”

“Tapi itu karena mbak ndak ngelihat datamu di layar sih…”

“Karena memang nggak tertera apa-apa di sana, Mbak… Cuma foto, data diri, abisitu udah!”

“Eh? Fetish sama pencapaian dan skandal itu juga ndak ada?”

Esa menggeleng pelan.

Ini aneh, bahkan hal yang tak pernah kuceritakan juga muncul sebagai informasi di layar saat fotoku muncul. Apakah Esa sedemikian remehnya? Lalu kenapa pelaku penculikan kami menculiknya? Dia tahu nama, alamat dan pekerjaan Esa, jadi tak mungkin dia korban salah tangkap karena masih berpartisipasi dalam game sinting ini.

Atau Esa berbohong? Mungkin dia tahu aku tak memperhatikan saat nama kami muncul. Tapi keberadaannya yang dianalogikan seperti figuran tak terkesan dilebih-lebihkan! Bahkan untukku, seseorang yang telah bertahun-tahun hidup untuk mengamati sehingga mencapai kemampuan yang hampir seperti eidetic memory. Aku bisa dengan mudah mengingat peristiwa, orang, nama, dan bagaimana kesan mereka. Tapi untuk Esa, tidak semudah itu, seolah auranya untuk menempel pada ingatan semua orang sangat tipis.

“Omong-omong, Esa… Tadi kamu bikin apa?

“Huh? Ini? Ikat pinggang, tadi kain kafannya melorot-melorot jadi kubuatin anyaman.”

Seketika ide brilian terlintas di kepalaku.

****​

Kami memutuskan untuk melakukan sedikit upgrade terhadap pakaian kami karena kemben polosan sangat beresiko jika ada penyerangan, terlebih kami tak bisa berlari lebih leluasa.

Kami memunggungi satu sama lain saat mempersiapkan pakaian ini. Esa berkali-kali mencuri pandang ke sini, tapi aku pura-pura tak menyadarinya. Bahkan sesekali ketika dia berusaha mengintip, sengaja kuangkat lenganku agar dia bisa melihat pepaya yang menggantung di bawah leher ini lebih jelas.

Setelah beberapa jam, merobek dan mengikat, akhirnya pakaian baru kami selesai juga! Untunglah kain yang tersedia cukup banyak, kami juga tak terlalu membutuhkannya sebagai penghangat, hanya penutup bagian-bagian vital. Walau sepertinya aku melakukan sedikit kesalahan, pakaianku malah jadi terkesan makin nantangin. Sudahlah, yang penting sekarang tidak kepanjangan, mudah bergerak dan gak beresiko ditarik-tarik lagi.

“Ka-kayak dewa sama dewi Olympus ya!” celetuk Esa sembari memalingkan wajahnya.

“I-iya juga ya..,” gumamku terbata.

tweqyBbw_o.jpg

Kami siap untuk melanjutkan mencari buah terlarang yang disebut-sebut itu. Untunglah Esa cukup terampil dalam kerajinan tangan seperti ini, tali yang dibuatnya dari untaian ilalang terasa sangat kuat. Terlebih, dia juga bisa memenuhi permintaanku untuk membuat tas dan beberapa gantungan kecil untuk membawa sesuatu yang dirasa penting.

“Nggak ada petunjuk sama sekali soal Buah Terlarang ini ya…”

Esa menendang kerikil ke sungai dangkal di samping kami. Memang suara dari speaker tak memberi petunjuk apa-apa selain objektif untuk menemukan Buah Terlarang. Kami bahkan tak tahu buah seperti apa itu.

“Hei, Esa… Kamu tahu cerita tentang Adam dan Hawa, ndak?” tanyaku.

“Hmm… Asal muasal manusia itu kan? Kita dipasang-pasangkan sebagai Adam dan Hawa, terus Hawa makan apel kerena dihasut ular, jadinya mereka diusir dari taman Eden.”

“Apel, ya… Menurutmu apa Buah Terlarang ini juga apel?”

Esa dan aku terdiam, kami saling menoleh tak percaya. Senyum puas mengembang di bibir kami.

“Berarti… Kita tinggal cari pohon apel aja!!”

“Iyaaah!”

Kami berpelukan dan melompat-lompat girang karena tanpa sengaja bisa memecahkan teka-teki yang kalau dipikir-pikir sebenarnya sangat sederhana ini.

“Tapi Mbak Laila tau bentuknya pohon apel kaya gimana?”

“Eh?” senyumku membeku, menatap Esa yang tergencet dadaku dengan tatapan bodoh, “Ka-kamu tau bentuknya, ndak”

Esa menggeleng.

“AAAARRRRHHH!!!” jeritku sebal.

Seandainya ada Google di saat-saat seperti ini! Sungguh konyol rasanya, ternyata kami berdua belum pernah lihat pohon apel sungguhan. Mencari pohon yang tidak kau ketahui rupanya di taman yang dipenuhi pohon seperti ini sama saja kaya bermain Where Is Waldo, tapi tidak tahu siapa itu Waldo!

Kami akhirnya sampai ke ujung taman, tempat di mana pangkal kubah di langit-langit terpasang. Taman ini benar-benar bak penjara berbentuk parabola seperti dugaanku. Aku bersandar di sebuah pohon rimbun, sementara Esa duduk bersila di memunggungiku.

“Mama….”

Kutoleh Esa, tentu saja dia pasti kangen rumahnya. Semua pasti demikian.

Mama…”

“Kita pasti keluar dari sini, Mbak!” ujarnya ketika berbalik ke arahku.

Mama…”

Jantungku serasa berhenti berdetak. Begitu juga dengan pemuda di hadapanku, wajahnya langsung pucat mendengar kata itu. Bibir Esa tak bergerak, lalu darimana asal suaranya?

“Aduh!!”

Sesuatu menarik kepang rambutku hingga badanku terjerembab ke rumput. Sosok kecil menyerupai boneka bayi bersayap bermain-main dengan ujung rambutku.

Itu boneka Cherubim!!

“Ah!! Tolong!!”

Kudengar jeritan Esa dan langsung kupegang tangannya. Satu persatu malaikat-malaikat kayu kecil itu turun dari atas pohon tempat kami bersandar. Mengerubungi kami bak semut.

“Pergi! Menyingkir dariku!!”

Aku meronta, menendang beberapa boneka hingga hancur, namun mereka terus berdatangan. Tangan-tangan kasarnya menggerayangi seluruh tubuhku! Apa aku akan diperkosa lagi?! Mereka bahkan tak punya penis!

Rambutku dijambak, seluruh badanku ditarik menjauh dari Esa. Tunggu…

Menjauh dari Esa?

Aku mengerti!

Mereka ingin membunuh kami dengan mengaktifkan gelombang kejut dari microchip! Jika kami terpisah lebih dari 10 meter, chip ini akan memanggang tubuhku dari dalam! Sial! Sial! Aku belum mau mati!

“Aduh! Sakit! Hentikan!” Esa berteriak, ada beberapa Cherubim bertumpuk di atas penisnya. Apa yang mereka lakukan? Blowjob?!

Huh? Tampaknya mereka melakukan hal yang sama terhadapku, menumpuk di antara paha montok itu! Mereka menyibak kancut yang menutupi area kewanitaanku lalu cubitan-cubitan kecil terasa di sekitar labia minora, hampir seluruh area vaginaku entah kenapa terasa jadi spot yang sensitif, mereka pasti melakukan sesuatu pada tubuhku saat menculikku!

Bola mataku seperti mau terbalik rasanya, mereka mengobok-obok kemaluanku seperti mencari harta karun di dalam sana. Kutahan napasku agar bisa berpikir jernih, tapi kembali buyar saat mereka mengeluarkan kelentitku dari kulupnya.

Dulu, kupikir ukuran klitorisku termasuk normal, sampai akhirnya aku melihat milik adikku yang tengah dan duduk di bangku SMA. Jika dibandingkan miliknya yang seperti sebutir kacang tanah, milikku tergolong sangat-sangat besar!

Besarnya seukuran satu ruas jempol dan itu adalah organ paling sensitif di antara lainnya, untung saja dalam keadaan normal itu tersembunyi di balik tudungnya, tapi jika sedang terangsang, kelentitku akan mengacung dan mengekspos dirinya.

Semua energi yang tersiksa kukerahkan untuk memegang tangan Esa. Jika terlepas maka tamat sudah!

“Ghiiiiyyy!!!”

Vaginaku bagai disetrum rasanya, menjalar hingga menembus ke otak. Para Cherubim ini mengigiti kelentitku! Rasanya seperti dijepit dengan jepit jemuran! Sakit dan perih yang diterima daging itu diterjemahkan sebagai sensai nikmat seksual oleh otakku.

“Auuhhh!!!”

Aku menggelinjang, Esa pun sama. Liurku menetes, kami bertatap muka. Ini memalukan, hina, sungguh nista! Esa melihatku dengan ekspresi keenakan yang ditahan-tahan, akupun sama. Itu membuat kami lupa segalanya, bahkan nyawa…

Kedua tanganku kini menghimpit payudaraku. Saat aku menyadarinya sudah sangat terlambat! Aku tak bisa menggapai Esa lagi. Inikah akhirnya? Aku mati dengan kelentit yang digerogoti bayi monster? Kelopak mataku menutup, aku telah memasrahkan ajalku.

Suara gemeretak keras terdengar, belum sempat kulihat asal suaranya, sesuatu yang besar menghujamku, memubuatku meluncur di atas sekelompok bayi malaikat. Akhirnya bebas!

“Hmff Mbfff!”

Getaran dan tiupan kecil terasa di dekat pusarku. Itu Esa! Dia melompat dan langsung memelukku hingga wajahnya terbenam ke perut berlemak ini! Dia membantuku berdiri dan melepas Cherubim yang masih mengerogoti daging di antara pahaku.

“Hnnnggghh!!!”

Aku rebah ke dadanya, berpegangan pada bahu penyelamatku itu. Cairan bening menetes dari liang peranakanku. Sial, aku malah orgasme di saat-saat butuh stamina ekstra seperti ini!

Esa lalu menarik Cherubim yang masih mengigiti penisnya, wajahnya meringis kesakitan, jadi kubantu dia melepaskannya.

CROTT!

Dia menyemburkan pejuh ke perutku tepat ketika bayi sialan itu terlepas.

“Ma-maaf Mbak! Aku nggak bermaksud-“

“Sudahlah! Kita kabur dulu!”

Tiba-tiba suara kedipan microchip terdengar, makin lama makin memburu. Kulihat di kejauhan patung malaikat berukuran dewasa tadi berdiri mengawasi kami.

Ini aneh… Kenapa chip tidak mendeteksi bahaya dari para Cherubim? Kenapa hanya dari malaikat wanita yang sebelumnya memperkosaku saja? Kecuali…

Mungkin saja!

“Esa! Itu pohon apelnya!” teriakku sambil menunjuk ke arah malaikat dengan kristal merah seberang kami itu.

Kuambil kayu terdekat untuk dijadikan senjata, lalu mengayunkannya ke bawah, membanting semua Cherubim dan membuka jalan. Esa yang walau masih kebingungan mengikuti langkahku, mengambil kayu dan berlari ke arah malaikat cabul itu.

Malaikat itu berusaha menjauh dengan jalan patah-patah khasnya. Kukonversi segala rasa marahku dan kujadikan dorongan di kaki untuk melaju lebih cepat.

“SIALANNN!!”

Kuayunkan tongkatku, namun meleset beberapa sentimeter darinya. Tubuhku mulai kehilangan kesimbangan karena posisi yang terlalu condong ke depan, juga payudaraku yang terlalu berat. Boneka itu berbalik melihatku.

Celaka! Apa aku akan disodomi lagi?!

Tiba-tiba Esa melompat dari belakangku, menghantam kepala boneka itu dengan pentungan kayu hingga jatuh. Pemuda itu terguling beberapa kali di rumput, mengerang kesakitan.

Ini kesempatan!

Aku merangkak ke arah boneka tersebut sebelum dia bangun dan sepasukan Cherubim menggigiti kelentitku. Kuangkat tanganku tinggi-tinggi, memegang tongkat kayu itu dengan posisi ke bawah, lalu menghujamkan berkali-kali ke benda bercahaya merah di tengah payudaranya.

Para Cherubim mulai menggerayangi kakiku. Aku sudah putus asa dan berusaha mencabut kristal merah yang tak kunjung lepas itu. Ingin menangis rasanya membayangkan semua usahaku akan berakhir sia-sia.

“Jangan menyerah!”

Teriakan Esa menggema di gendang telingaku. Tangannya berada di atas tanganku, mencengkeram kristal itu dan menjadi tenaga tambahan.

“Kita cabut bersama!” teriaknya.

Untuk beberapa saat aku jadi tahu rasanya menjadi Goku dan Bejita yang sering ditonton adik laki-lakiku dulu. Berteriak untuk mendapatkan kekuatan itu omong kosong, aku berteriak karena frustasi!

“STAGE PERTAMA SELESAI! SELAMAT ATAS KEBERHASILAN ANDA! SIMPAN BAIK-BAIK BUAH TERLARANG UNTUK MASUK KE PERMAINAN BERIKUTNYA!”

Aku dan Esa ngos-ngosan. Keringat mengalir dan membasahi pakaian kami, membuatnya jadi sedikit transparan. Kami berdiri dan melihat ke sekeliling, para Cherubim sudah tak bergerak, malaikat cabul pemerkosaku juga sudah mati. Esa menggenggam tanganku yang masih memegangi kristal merah tersebut, Bentuk dan ukurannya benar-benar seperti sebuah apel.

“ADAM DAN EVE DIPERILAHKAN KELUAR MELALUI PINTU YANG DISEDIAKAN!”

Salah satu blok di tembok kubah terbuka dengan cara yang sama saat kami di ruangan putih. Ini sudah selesai?

“Ha… Haha….” tawa lega keluar dari mulutku, diikuti Esa.

Kupeluk anak itu, kami menari-nari girang setelah melewati hari yang berat ini.

“Kita berhasil, Mbak… Kita pasti bisa keluar dari sini!”

Aku tersenyum, “Makasih udah nolongin mbak ya…”

Dengan cepat dia mengalihkan pandangannya ke tanah, ekspresinya saat tersipu malu entah kenapa membuat hatiku berdebar-debar. Kamipun berjalan keluar dari arena sambil bergandengan tangan.

Esa, bocah figuran yang entah kenapa menarik perhatianku. Segala dari dirinya yang terlalu biasa di antara kumpulan orang tak biasa justru membuatnya jadi spesial. Mungkin dia tak memberikan kesan apa-apa ketika kami datang ke tempat ini, tapi aku yakin Esa akan membawa dampak besar nanti.

iY3XjbI5_o.png
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd