Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Part 7



“Mmpgh...”

“Mmhh...”

“AaAhHH... M-mas... U-udah... Udah!”

“Mmghh! A-Aya...!”

Mataku terbuka tiba-tiba. Badanku langsung dalam posisi terduduk di kasur. Aku terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhku.

Barusan itu... aku bermimpi... Aya...

Tapi kenapa Aya?!

Jantungku berdebar cepat, aku menoleh kekiri, Cindy sudah tidak ada disana.

“Eh, udah bangun?” Suara Cindy tiba-tiba menyambutku dari arah dapur, ternyata dia sedang menyiapkan sarapan. Aku bisa melihat Cindy dengan rambut yang dikuncir itu dari dalam sini karena pintu kamar yang terbuka lebar.

“Ehehe... masak ya?” Balasku dengan suara yang masih berat. Aroma masakan Cindy itu sampai kedalam kamar, sepertinya nasi goreng seperti biasa.

“Bentar lagi jadi.”

Aku mengerjapkan mata sebelum menyibak selimut ini, dan menemukan penisku mengacung tegang didalam celana pendekku, tonjolan itu terlihat jelas.

Eerrghh...

Aku melirik Cindy yang masih sibuk di dapur. Hmm... sepertinya Cindy pernah bilang, sering-sering olahraga pagi biar sehat...

Kedua kaki ini aku langkahkan menuju dapur, Cindy masih sibuk dengan teh yang diseduhnya, aku berusaha mengendap agar dia tidak menyadari pergerakanku. Setelah sampai didekatnya, aku berjongkok, dan...

Grep

“Eh?!” Cindy terperanjat ketika kedua tanganku ini meremas pantatnya, terdengar juga suara denting gelas tadi.

“Hehe, pagi, gembul...”

Sret

Dengan sekali gerakan, celana pendek Cindy itu berhasil aku turunkan, pantat Cindy itu langsung terlihat karena ia tidak memakai celana dalam.

“Kak!” Cindy langsung memutar badan. “J-jangan analhh... mmpgh...” vagina itu langsung aku jilati sebelum Cindy menutupinya. Kedua tanganku pun tidak tinggal diam, pahanya itu aku gerayangi hingga Cindy sekarang bergerak-gerak. Kedua tangannya berusaha menyingkirkan kepalaku yang masih nakal menjilati lubang kewanitaannya itu.

“Aduh, kakhh... Mmpghh... m-masih pagiihh...”

Bibirku beralih melumat bibir tipisnya. Cindy yang semula tidak membalasnya kini mulai melumat balik bibirku. Lidah kami saling mengait, kedua tangannya menahan kepalaku. Bunyi decakan tercipta dari ciuman liar kami. Deru nafas kami saling memburu. Dua gundukan yang masih terbungkus di dalam kaus itu aku remas pelan, lenguhan itu berlanjut.

Celanaku ini jadi semakin sempit, penis ini sudah memberontak ingin segera bebas. Dengan masih melumat bibirnya, aku menelanjangi tubuh bagian bawahku. Kami melepas cumbuan itu, Cindy dengan tangan kirinya mengocok pelan penisku sebentar sebelum mengangkat kaki kirinya. Tak mau membuatnya menunggu lama, atau, karena aku yang sudah tidak sabar, aku mendorong pinggul menusukkan penis itu di liang vaginanya.

“Mmghh...” Lenguh kami hampir berbarengan.

Lubang sempit itu serasa memijit dan menelan penisku, membuatku selalu menikmati tiap detiknya berada didalam sana. Cindy mengaitkan kedua tangannya dibelakang leherku, kedua kakinya pun kini menyilang di punggungku, aku menyangga berat badannya pada kedua pahanya.

“Kakak tingkat kampret...”

“Hm...?” Aku tersenyum geli.

“Rasain.”

Plok

Plok

Plok

Cindy mulai memaju mundurkan pantatnya sendiri.

Errgghh... Sial.

Enak...

***​

Aku lahap lagi sesuap nasi goreng buatan Cindy. Masakannya memang tidak pernah mengecewakan, selalu saja bisa memanjakann lidahku. Istri idaman memang, hehe. Aku melirik ke kiri tempat ia duduk, Cindy sedang mengunyah nasi goreng yang baru saja dilahapnya, masih terngiang di kepalaku akan ekspresinya dengan mata sayu selepas tiga kali orgasme tadi.

“Kenapa, kak?”

Sepertinya dia menyadari lirikanku.

“Enak banget sih nasi gorengnya.”

“Hehe, makaseh.” Senyumnya merekah mendengar pujianku itu, Aku bersungguh-sungguh, nasi gorengnya adalah yang terlezat dari semua nasi goreng yang pernah aku makan seumur hidup.

Aku menggeser badanku hingga tepat disampingnya, Cindy bersandar manja di bahu kiriku seperti seorang anak kecil. Aku mengambil sesendok nasi goreng lagi, lalu menyuapkannya untuk Cindy.

“Ak...”

Cindy melahap suapanku itu. Ekspresi bahagia terlukis di wajahnya. Aku mengusap-usap pelan dahinya.

“Oh iya, kak.”

“Kenapa?”

Cindy masih mengunyah nasi goreng itu.

“Udah bilang kak Jinan?”

“Eh, belum.”

“Ye, kirain.”

Aku meraih smartphone yang tergeletak di meja. Jari-jariku menekan-nekan dan menggeser layar itu untuk melakukan voice call ke Jinan. Tak butuh waktu lama hingga Jinan mengangkat panggilan itu.

“Halo?”

“Halo, Jin.”

“Heh!”

“Apaan?”

“Bagusan dikit kek! Nan apa Jinan gitu kayak biasanya.”

“Ye, ye, canda. Ahahaha. Galak amat sih”

“Hih... Kenapa nelpon?”

Aku mengaktifkan loudspeaker, sementara Cindy meraih remote dan mengecilkan volume TV.

“Haloo kak Jinaaann.”

“Walah, ada Cindy toh. Sarapan berdua ya? so sweet.”

“Hehe.”

“Hehe.”

“Gimana gimana?”

“Gue ntar juga nonton ya, sama Cindy juga.”

“Ohh.. okelah.”

“Tapi kita nonton Moana, kak.”

“Oh yaudah sih, santai. Jam?”

“Nah ini gue ngikut lo aja, Nan. Lu udah beli tiket?”

“Belum, sih. Gue niatnya malah enggak jadi nonton tadi.”

“Lah kenapa?”

“Tyas ada acara keluarga. Gue males berangkat sendiri.”

“Oohh...”

“Yaudah sih, agak siangan aja gimana? Nonton yang jam satu.”

“Okedeh.”

“Sip, gue tunggu ya kalian.”

“Oke kaakk.”

“Okee.”

Voice call itu aku akhiri. Cindy dan aku melanjutkan sarapan dengan menonton serial kartun Tom & Jerry yang tayang di Televisi.

“Kak.”

“Iya?”

“Kapan-kapan dong olahraga pagi.”

“Lah, tadi itu-“

“Bukan olahraga yang itu!”

***​

Singkat cerita, aku, Cindy dan Jinan telah sampai di mall tempat kami akan menonton film. Berada satu lift dengan dua gadis ini benar-benar membuatku berusaha agar tidak bertindak kurang ajar.

Aroma parfum vanilla semerbak menyelimuti Jinan yang mengenakan hoodie putih, celana jeans dan sepatu casual itu. Sama seperti Cindy, hanya saja ia mengenakan kemeja kotak-kotak sebagai atasannya, dan Cindy memakai parfum wangi stroberi.

o9ny4RxE_t.jpg
BWFo21jQ_t.jpg


Tidak. Tidak boleh. Lift bukan tempat yang tepat untuk threesome. Tunggu dulu, threesome? Aku menggeleng cepat.

Ding!

Pintu lift itu terbuka begitu kami sampai di lantai tujuan, dan kami bertiga pun memasuki bioskop itu, beruntung kami masih mendapat tiket masing-masing di jam yang sama. Aku dan Cindy menonton Moana sedangkan Jinan memutuskan tetap menonton Fantastic Beasts.

Masih ada sekitar 20 menit sebelum jam sesuai dengan yang tercetak di tiket kami. Dua gadis itu duduk di bangku yang disediakan bioskop ini, sementara aku berinisiatif membelikan popcorn.

“Nih.” Aku menyerahkan satu bungkus popcorn berukuran sedang pada Jinan.

“Lah, kok punya gue kecil? Cindy gede?” Protesnya begitu melihat satu bungkus lainnya yang berukuran lebih besar di tanganku yang lain.

Emang punya lo kecil, Nan...

“Kan lo sendiri, Nan. Gue berdua sama Cindy.”

“Ahaha, canda doang, Dim. Thanks.”

“Makasih kak Dimas.” Cindy menerima popcorn itu.

“Bentar ya minumnya.”

“Sini gue bantu.”

“Gak, enggak usah. Lu disini aja sama Cindy.”

“Bisa emang, kak?”

“Bisa.” Kataku yakin.

Aku melangkah kembali ke kios makanan, mengambil tiga gelas sedang minuman bersoda yang sudah aku pesan tadi. Dua gelas aku bawa dengan tangan kanan, sementara tangan kiriku membawa sisanya.

Cindy dan Jinan yang melihatku mulai agak kerepotan berjalan menghampiriku dan mengambil gelas mereka masing-masing.

“Dih dibantuin gak mau, dasar. Dim Dim...”

“Kak kak...”

Mereka berdua kompak menggelengkan kepala, aku hanya tersenyum malu sambil menggaruk-garuk kepala.

Ting Tong...

Pemberitahuan bahwa pintu teater 1 dan 4 telah dibuka terdengar. Aku dan Cindy memasuki pintu teater 1 sedangkan Jinan teater 4.

***​

“Mau makan dimana nih?” Tanyaku saat kami bertiga kembali berkumpul setelah selesai menonton film.

“Ayam geprek.” Usul Cindy.

“Heh kemarin udah ayam geprek!” Larangku.

“Huft... Yaudah yang kuah kuah gitu.” Usulnya lagi.

”Bakso? Soto?” tanyaku pada si gembul.

“Terserah sih.”

“Gue tau sih warung bakso enak deket sini. Mau nyoba?”

“Boleh.” Aku dan Cindy menyahut hampir berbarengan.

“Okedeh, gue yang nyetir aja.”

Setelah diputuskan, kami kembali menuju lantai dasar, tempat parkir kami. Saat perjalanan kami menuju lift melewati toko pakaian ini, tiba-tiba Cindy melangkah lebih cepat, menghampiri seorang gadis yang berjalan didepan kami.

Puk

Dia menepuk bahu gadis itu, ia agak tersentak sebelum akhirnya berbalik.

65V7t7m2_t.jpg

“Nah, kan bener.”

“Eh, Cindy!”

Gadis itu adalah Nurhayati, sahabat Cindy yang kami jemput kemarin. Sebuah kebetulan. Dia terlihat membawa tas belanjaan, sepertinya dia baru saja membeli sesuatu disini. Aku menahan nafas, entah kenapa kacamata bulat itu membuatnya lebih menawan, apalagi saat ia tersenyum.

“Wah, mas Dimas juga.”

“Halo.” Balasku.

“Darimana?” Tanya Cindy padanya.

“Ini, beli rok. Tadi baru dikasih tau kalau hari Senin sampai Kamis pakai rok item. Punyaku enggak ada, hehe.” Jelasnya. “Kalian? Nge-date ya? ciyeee.” Sebelum jawaban didapatkannya, Aya terlebih dulu membuat kesimpulan. Ekspresinya berubah menjadi menyebalkan, sambil menunjuk kami berdua.

“Eh eh?! Enggak.” Cindy mengayunkan dua telapak tangannya didepan dada, ia lalu menoleh kearahku. Wajahnya agak memerah.

“Ahaha. Enggak juga. Nih, ada temenku juga kok.” Aku mendorong pelan bahu Jinan yang sejak tadi diam dibelakangku.

“Jinan.” Ia mengulurkan tangan.

“Oh, iya mbak, hehe. Aya, salam kenal.” Dua gadis itu berjabat singkat sambil tersenyum. “Jadi obat nyamuk, ya?”

“Aya!” Cindy menepuk bahunya pelan.

“Ahahaha! Ya, gitu lah. Ahahaha!” Jinan tertawa kecil.

“Apasih, Nan...” aku menyenggol bahunya, membuat Jinan sedikit terdorong kedepan.

“Makan yuk, Ay.” Ajak Cindy.

Kami kompak melangkah kecil.

“Eh?”

“Iya kita mau makan bareng, sekalian aja.” Aku ikut mengajaknya.

“Enggak apa-apa nih?”

“Santai kali. Lo belum makan kan?” Jinan menambahi.

“Belum, mbak.”

“Nah ini. Cocok lah, kuy.”

“Boleh deh.”

Ding!

Pintu lift itu terbuka, kami berempat pun memasuki lift kosong itu.

Beberapa saat setelah kami keluar lift, aku merasa terasingkan. Mereka bertiga asyik ngobrol sementara aku dibelakang mengekor mereka. Dan, mataku ini malah tidak bisa lepas dari lekuk tubuh Aya sejak tadi. Jika aku perhatikan, tingginya memang lebih pendek sedikit dari Jinan dan Cindy, namun kurasa tubuhnya itu cukup ideal.

“Mmpgh...”

“Mmhh...”

“AaAhHH... M-mas... U-udah... Udah!”

“Mmghh! A-Aya...!”

Aku menggeleng cepat. Gambaran mimpi itu tiba-tiba datang memenuhi kepalaku lagi. Yang aku ingat hanya aku sedang bersetubuh dengannya dalam posisi misionaris, ekspresinya sangat menggairahkan, apalagi desahannya itu...

Eerrgghh... Sial.

Tidak, tidak boleh.

Aku tidak mungkin meniduri perempuan lain lagi. Cindy, aku tidak mau membuat Cindy kecewa dan menangis lagi.

“Kak Dimas!”

Suara seorang gadis memanggilku dari belakang.

Aku tersadar, mereka bertiga sudah tidak ada didepanku, dan kini hanya dinding kaca yang ada dihadapanku. Ternyata sejak tadi aku melamun. Ya ampun... untung tidak sampai menabrak...

Gadis itu Cindy, dia berdiri tak jauh dariku.

“Kan jalannya kesitu. Kakak ngelamun ya?” Dia menunjuk kearah kanan.

“Eh, ehehe... maaf. Laper.” Aku menggaruk kepala dan menghampirinya cepat.

***​

Kurang dari 30 menit, kami sampai di warung bakso yang Jinan maksud. Jujur, ternyata Jinan yang aku pikir sangat suka makanan dan tempat-tempat mahal bisa tau dan memilih tempat yang sesederhana ini di kota ini.

“Ini langganan gue dari kecil.” Jelasnya saat kami turun dari mobil Honda Jazz ini. “Bokap nyokap dulu sering banget kesini.”

Empat piring bakso yang kami pesan pun sudah habis, benar katanya, enak sekali. Kuahnya pas, tidak begitu asin dan tidak tawar juga. Ukuran baksonya pun tidak tanggung-tanggung. Perutku sudah terisi penuh sekarang. Jinan dan Aya sedang berbincang, aku merogoh dompet dan menggeluarkan selembar uang 100 ribu dibawah meja.

“Mbul, ntar bayarin ya. Aku ke toilet dulu.” Kataku agak berbisik sambil memberikan selembar uang itu.

“Okedeh.”

Aku berdiri meninggalkan ketiga gadis itu ke kamar mandi.

Toilet ini terletak agak jauh dari dapur, melewati suatu lorong berdinding semen yang tidak terlalu panjang lalu belok ke kanan. Ada dua bilik kamar mandi disini, aku cukup terkejut dengan kondisi kamar mandinya yang sangat bersih. Kloset jongkok dan embernya pun bersih, airnya pun jernih disini.

Pintu plastik itu aku kunci, penis ini aku keluarkan dari celana.

Serr...

Ahh... lega rasanya bisa mengeluarkan semua air kencing yang sempat kau tahan.

Sial. Sejak tadi Aya yang duduk didepanku sukses membuatku tidak nyaman. Wajahnya ternyata terlihat lebih cantik jika kau perhatikan lebih dekat. Apalagi baju yang dikenakannya itu terasa agak sempit, beberapa kali payudaranya yang terlihat pas digenggam itu tercetak jelas.

Eerrghh...

Penisku tiba-tiba menegang.

Akh!

Aku buru-buru memasukkan penisku dan merapikan celana jeans yang ku kenakan. Setelah menyiram kloset, aku membuka pintu itu.

“Eh, mas Dimas. Udah?”

Gawat. Aya juga ke toilet.

Waktunya tidak tepat.

Jangan.

Jangan macem-macem...

“Aya...”

“Kenap-“

Sial. Apa yang aku lakukan?!

Aku menarik tangan Aya cepat, ia terperanjat. Tangan kananku menahan belakang kepalanya lalu bibirku mulai melumat bibir tipisnya itu. Lembut, terasa sedikit manis. Aya tidak membalas lumatanku, ia hanya pasrah dan tidak melawan. Tangan kiriku kini mulai merambat turun menuju payudaranya.

Tanpa ragu, aku meremas gundukan yang memang pas digenggam itu. Aya terdengar melenguh setelah payudara itu aku remas pelan. Tak disangka, selang beberapa saat, Aya membalas lumatanku.

Buruk, memang sepertinya ini pengalaman pertamanya berciuman, namun tak mengapa, aku masih bisa menikmatinya. Aku menempelkan punggungnya di dinding kamar mandi, kini tangan kananku menemani tangan kiriku meremas-remas kedua payudara yang menggairahkan itu sambil terus mencumbunya.

“Dimas.”

Sebuah suara dari arah pintu itu sukses membuatku terperanjat. Semua aktivitasku di tubuh Aya terhenti. Aku menoleh ke kiri. Mataku membulat, jantungku berdebar semakin cepat, entah kenapa aku merasakan dingin di sekujur tubuhku. Kedua kakiku mulai lemas, aku tidak menyangka dia juga ke toilet.

“Eh er-Jinan.” Aku mengelap bekas liur dengan kaosku. Sial, aku panik sendiri. “t-tunggu, gue-“

”Bener-bener lu ye.” Katanya ketus. Dia melipat kedua tangannya di dada. Wajahnya tampak jelas menunjukkan ekspresi kesal. Ia menatapku tajam. Aya juga terlihat panik.

“Nan, gu-“

“Brengsek. Tega bener lu, Dim. Nih ya, kalau gue jadi Cindy dan liat langsung... gue pasti putusin lo disini.”

Aku terdiam.

“Udah udah, cuci muka sana. Cepet balik. Cindy udah nunggu di mobil.”




To be Continued...
 
Terakhir diubah:
Wah, akhirnya mulai ada pergerakan dari Dimas ke Aya
Abis ini, pasti Dimas mampir ke kosan Aya, hehehe
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd