Part 8
“Situasinya sulit, Dim...”
“Pokoknya... maaf... gue enggak bisa...”
“Tapi, Dim... kalo lo pengen... bilang aja... hehe...”
Bukankah ini lebih dari yang aku harapkan? Jinan sudah membiarkanku untuk menjamah tubuhnya sesukaku.
Tapi...
Tidak.
Tidak!
Aku tidak mau jadi laki-laki seperti itu. Lagipula, aku khawatir jikalau Jinan menjadi seorang maniak seks suatu hari nanti gara-gara aku.
Atau yang lebih buruk...
Jika aku sampai tidak atau bahkan dengan sengaja menghamili Jinan. Aku tidak akan siap jika hal itu sampai terjadi. Kuliahku bisa berantakan... Aku juga tidak bisa membayangkan reaksi orang tuaku ketika tau aku telah beritindak bejat seperti itu...
Bagaimana dengan ******?
Itu juga bukan pilihan yang tepat.
Argh!
Aku teguk lagi anggur yang tersisa di gelas. Tak terasa sekarang satu botol anggur merah itu nyaris kosong lagi. Kepalaku mulai pusing. Ini pertama kalinya aku menghabiskan hampir dua botol sendirian, biasanya aku hanya akan minum setengah sampai satu botol lalu pergi tidur.
Gelas kecil dengan beberapa es batu yang sudah mencair itu kini mulai terisi sedikit anggur yang kutuang.
“Kak Dimas.”
Aku membulatkan mata.
“Kak Dimas suka musik ya?”
Kenapa kepalaku memutar memori ini?!
“Iih! Kakak harus banyak makan sayur biar sehat!”
“Kak, temenin aku dong, takut...”
“Lho, bunyi. Kalo kakak laper bilang dong. Yuk cari makan.”
Cindy...
“Kak, nih diminum, biar tenggorokannya baikan.”
“Aduuhh! Sakit tau kak! Ngapain sih cubit pipi aku?!”
“Eh kak! Kak! Jangan ngebut!!!”
“Kak Dimas, aku masakin nasi goreng ya, hehe.”
“Wih, lagunya bagus, kakak yang buat nih? Judulnya apa?”
Aku terdiam. Aku tidak menyangka semua itu pernah aku lalui dengannya.
“Kak... kenapa berhenti?”
“Huft... yaudah, cepet aja ya kak.”
“Mmhh..! e-enakk! Mmhh... kaakkk...!”
“Ahh... sshh... t-terus kak... mmhh...”
“Ahh..! Cindyy..!! Mmmph..!!!”
Eh, ya ampun. Yang begituan ikut muncul juga.
“Selama ini kamu cuma anggep aku jadi tempat pelampiasan nafsu kamu kan?”
“Atau aku cuma jadi pelarian sesaat gara-gara bosen sama pacar kamu?”
“A-aku enggak punya pac-“
“Bacot. Siapa itu Andhika Dewa? Hah?!”
“K-kak, d-dia b-“
“Dasar, cewek rendahan.”
“Cukup kak!”
“Aku... kecewa sama kakak...”
Cih.
Sepertinya aku terlalu banyak minum...
Glek
Tegukan itu adalah yang terakhir untuk malam ini.
Aku merebahkan tubuhku di kasur, menarik selimut dan terlelap beberapa saat setelah kedua mataku ini tertutup. Masalah dengan perempuan-perempuan ini lama-lama membuat perasaanku jadi tidak karuan.
***
“Dim.”
Seseorang terdengar memanggilku dari pintu luar sambil mengetoknya. Aku terbangun dan bangkit dari kasur sambil memandang jam dinding. Nyawaku masih belum terkumpul sepenuhnya.
“Jam 9... siapa sih...“
Prang
Ah! Aku lupa dengan gelas dan botol botol anggur semalam! Satu botol yang masih berisi setengah anggur itu tersenggol kakiku. Sekarang sisa anggur yang ada di botol itu tumpah ke lantai.
Sialan, sayang banget. Aku segera meraih botol itu dan ‘menyelamatkan’ sisa anggur yang ada didalamnya. Sementara tumpahan itu segera aku lap dengan tisu.
“Dim! Lu coli ya?!”
Nadanya meninggi. Pintu itu semakin keras diketuk. Ah, sudah kuduga. Itu Hary.
“Kagak! Bentar!”
Akhirnya setelah mengambil hampir 5 lembar tisu, anggur itu berhasil aku bersihkan. Segera aku melangkahkan kaki ke pintu depan.
Krek
Krek
“Ngapain lu kesini?”
“Dih, lu enggak inget apa hari ini ada acara apaan?”
“Ha?” kini pintu itu terbuka sepenuhnya.
“Ha he ha he. Sakura Fest, bego! lu lupa ya? Kan udah gue beliin tiket. Gimana sih.”
Ya ampun, oh iya, hari ini ada Sakura Fest. Festival budaya Jepang yang digelar oleh organisasi jurusan Jepang di fakultasku. Katanya, acara tahunan ini adalah yang paling ditunggu di fakultasku, soalnya ini adalah acara terbesar yang bisa dibilang jadi kebanggaan fakultasku. Tiap tahunnya, pasti beribu-ribu orang datang ke acara ini. Kau bisa menemukan berbagai macam
stand yang menjual jajanan khas Jepang,
merchandise, ada juga penampilan dari band-band yang membawakan lagu-lagu Jepang, oh iya, tak ketinggalan juga para
cosplayer.
Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan jejepangan, namun kemarin, Hary mengajakku untuk datang ke acara ini. Sebenarnya tiket yang dibelinya beberapa minggu lalu itu untuk temannya, namun ternyata temannya itu tidak bisa datang. Emm... jujur aku belum pernah datang langsung ke acara ini. Aku hanya tahu betapa besarnya acara ini lewat akun-akun
LINE di fakultasku atau dari mulut ke mulut. Tapi tak apa lah, itung-itung
refreshing...
“Oh, iya, hehe. Yaudah lu masuk dulu, gue mandi bentar.”
“Buru, udah mau
open gate nih.”
“Iye.”
Hary duduk di sofa sementara aku bergegas ke kamar mandi setelah mengambil handuk di kamar. Ugh, kepalaku masih agak pusing.
***
Setelah mengantre untuk penukaran tiket yang memakan waktu hampir 20 menit, aku dan Hary akhirnya memasuki area Sakura Fest. Hiruk pikuk orang-orang yang rata-rata memang seumuran dengan kami pun langsung menyambut. Aku bisa melihat baju-baju dengan atribut huruf Jepang yang mereka kenakan, pin-pin bergambar tokoh
anime di tas mereka, atau topi yang juga bernuansa Jepang.
Padahal baru sekitar satu jam acara ini dimulai, namun pengunjungnya sudah sebanyak ini. Aku tidak menyangka, area fakultasku bisa disulap jadi kental dengan atmosfer Jepang seperti ini.
“Hmm... bau bawang...”
Kataku dalam hati.
“Dim, cobain itu yuk.”
Hary menunjuk sebuah
stand makanan
Takoyaki. Yah, aku hanya mengikutinya.
Kami berdua duduk menunggu pesanan
Takoyaki kami. Sesaat, aku mengedarkan pandanganku karena Hary sedang sibuk dengan
smartphonenya. Mataku menangkap wajah samping seorang perempuan yang ku kenal. Sejenak, aku berpikir, itu bukan dia. Namun setelah aku memperhatikan lagi, tidak salah lagi... hidung mancung, mata bulat besar dan gaya rambut itu...
Aku langsung mengalihkan pandanganku begitu kepalanya menoleh kearahku. Semoga dia tidak menyadari keberadaanku disini.
Sial, kenapa Cindy datang kesini juga?! Setauku dia tidak suka dengan hal-hal berbau Jepang seperti ini.
“Emm... Har, balik yuk.”
“Hah? Gila lu ya, baru aja kita masuk.”
“Perut gue mules tiba-tiba nih,” Aku memegangi perutku dan memasang ekspresi perih.
“Dim, gue tau kalo lo itu paling enggak jago akting...”
“T-tapi ini serius sakit, uuuhh...”
“Woe, jijik gue. Lu kenapa sih?”
“Sakit p-perut...”
“Heh, Dim. Lu pura-pura ya. Aneh lu.”
Bodoh, kenapa aku melakukan hal bodoh seperti ini.
“Takut dibilang wibu lu ya?”
“Dih enggak!”
“Terus lu kenapa?”
“Eng-gak... maaf...” aku memalingkan wajah.
“Aneh lu.”
Sial, jika saja aku tidak nebeng motor Hary tadi, aku bisa saja meninggalkannya sekarang. Oh, iya, kenapa aku enggak pesan ojek online aja?
Sialan, baterai
smartphoneku habis...
Hary juga tidak punya aplikasi ojek online di
smartphonenya, dan memang perangkatnya itu sudah tidak bisa diisi aplikasi lagi.
Aku menghela nafas.
“Ini kak pesanannyaa!” penjual itu menyerahkan dua bungkus
Takoyaki pada Hary.
Kami pun lanjut berkeliling. Kami sudah berputar-putar selama dua jam lebih. Kami sudah berfoto dengan beberapa
cosplayer, bermain beberapa
game yang ada di
booth, dan mencoba beberapa makanan Jepang. Hary membeli beberapa
keychain berbentuk tokoh
anime yang tidak aku tahu. Hanya satu
keychain berbentuk
Monkey D. Luffy dari
anime One Piece yang aku tahu.
Ada juga beberapa penampil yang sempat aku tonton dengan Hary. Lagu-lagu Jepang yang tidak aku tau apa judulnya dan siapa yang mempopulerkannya. Yang jelas, Hary bisa menyanyikan semua lagu yang ditampilkan tadi.
“Aduh, Dim. Gue lupa.”
“Apaan?”
“Gue jam 5 harus jemput adik gue di bandara.”
“Ya udah sih, gue nurut aja. Mau balik dulu?” Aku melihat jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 3 sore.
“Emm... gimana ya, balik dulu aja kali ya? takut macet gue kesananya. Kasihan dia juga kalo nunggu lama.”
“Yaudah sih, gue mah ngikut lo aja Har.”
“Yaudah, ayo.”
Kami melangkahkan kaki keluar area, aku masih bisa melihat beberapa orang masuk melalui
gate.
Hary menaikkan standar motornya dan mulai menyalakan mesinnya. Aku masih melihat-lihat hasil foto kami bersama para
cosplayer cantik yang kami temui tadi di
smartphone milik Hary. Aku terhenti pada satu
cosplayer yang mengenakan kostum karakter Hinata dari
anime Naruto. Entah kenapa, wajahnya terlihat familiar...
“Har, lu tau dia siapa?”
Aku menunjukkan foto itu.
“Oh, namanya Pucchi. Dia anak fakultas sini kok. Jurusan Sastra Jepang semester tiga. Kenapa lu?”
“Pucchi? Oh... berarti bukan. Aku kira dia yang menabrakku waktu itu...”
“Enggak apa-apa sih, nanya doang.”
“Bacol ya?”
“Woee. Gue enggak selemah itu anjir.”
“Yaudah, padahal gue tahu akun
Instagramnya lho...”
“Bodo amat.”
“Dih, yaudah. Sampe gue tau lu
follow dia. Gue ketawain.”
“Terserah.”
“Buru naik!”
***
Akor yang seharusnya bernada mayor tiba-tiba menjadi minor. Nuansa lagu ini tiba-tiba menjadi sendu. Padahal lagu ini kubuat dengan nuansa ceria.
Aarrgh!
Gitar merah itu aku kembalikan lagi ke tempatnya semula. Tubuhku yang kelelahan aku rebahkan ke kasur. Suara guntur kembali terdengar diluar sana, sepertinya hujan lebat akan turun lagi. Semoga para panitia Sakura Fest tadi sudah menyiapkan pawang hujan yang sakti untuk menangkal hujan itu. Semoga berita esok hari tidak berisi kegagalan acara puncaknya.
Aku menghela nafas panjang. Mengusap-usap wajahku. Biasanya jika aku sudah dilanda kebosanan seperti ini,
chatting dengan Cindy adalah hal yang akan aku lakukan.
Tidak...
Aku tidak perlu mengingatnya lagi.
Jinan...
Aku rasa tidak juga...
Aku kembali menghela nafas.
Smartphone yang tergeletak di meja itu aku raih. Walau belum sepenuhnya terisi, aku sudah mencabutnya dari
charger. Hary masih belum mengirim foto-foto tadi. Hmm... sepertinya dia sudah di perjalanan ke bandara. Ya, lebih baik dia tidak membiarkan adik cantiknya itu menunggu lama.
Aplikasi
Instagram tak lama terbuka setelah jariku mengetuk ikonnya. Tanpa memperdulikan beberapa
Instastory dan
post yang muncul, aku mengetuk ikon
search dan mencari sebuah
username.
Akun yang kucari itu langsung ketemu begitu aku hanya mengetik kata ‘Puc’ disana.
Followed by : Hary_d, Dio234, AntoniusB
“Puti Nadhira Azalia...”
Ternyata benar,
cosplayer ini adalah orang yang sama yang menabrakku waktu itu. Aku memainkan jariku di layar, menampilkan satu per satu
post dari akun
Pucchii_ ini. Ah, untung tidak
private.
Oh shit...
Aku terhenti pada sebuah foto.
Bibirnya...
Tangan kiriku perlahan masuk kedalam celana pendekku, mengelus-elus penisku yang tertidur sambil terus memandang foto itu.
Hujan mulai turun deras. Aku bisa mendengar suara angin juga. Udara dingin perlahan masuk. Suasana yang pas, hehe.
Tak lama, penisku mulai tegang. Fantasi liarku pun mulai berjalan. Aku bisa membayangkan bibir tebal seksi itu mengulum penisku. Kepala perempuan itu maju-mundur menikmati batang penisku yang mengacung tegang, semakin cepat... semakin cepat...
Aku menurunkan semua celanaku, membiarkan penis itu keluar bebas. Aku memejamkan mata. Sudah lama aku tidak memanjakan diriku sendiri seperti ini.
Ahh...
Kreeekkk...
Gerbang depan kontrakanku dibuka. Aneh, tidak ada suara mesin motor atau mobil...
Aku kembali mengenakan celanaku saat penisku masih tegang.
Dengan langkah kecil, aku keluar kamar. Ketukan pintu yang aku nantikan itu akhirnya terdengar. Suara perempuan yang terdengar setelahnya membuatku terdiam sesaat. Aku menelan ludah.
“Kak Dimas...”
To be Continued...