Chapter V
Rumah Viana terdiri dari 2 tingkat, cukup besar karena juga berfungsi sebagai toko sembako. Tatik, istri muda papa Viana bertugas sebagai kasir dibantu oleh Dewi yang bertugas melayani pembeli. Diah adalah wanita yang ramah dalam melayani pembeli, juga teman curhat Viana yang baik, tapi sayang tugasnya hanya didepan toko, mungkin hanya sesekali Dewi kedalam rumah untuk buang air. Hanya Tarjo dan Udin yang bisa lalu lalang keluar-masuk rumah karena mereka adalah kuli yang bertugas mengangkut barang dari dalam gudang dibelakang rumah ketoko dan juga sekaligus bertugas membersihkan rumah dan gudang. Tinggallah Viana dan Airin didalam rumah bersama Mbok Saroh yang sudah tua dan agak tuli. Sejak kepindahannya dari Jakarta Viana dan Airin dilarang bergaul dengan orang-orang kampung disekitar rumahnya, jadi satu-satunya yang menjadi teman dirumah selain kedua orangtuanya adalah seorang pembantu, Tatik ibu tirinya, Dewi dan dua orang kuli. Tiap pagi Udin bertugas mengantar Viana kesekolah, sementara Airin diantar Tarjo, masing-masing menggunakan motor milik ayah Viana, karena semua mobil kepunyaannya telah habis dijual untuk menutup semua hutang-hutangnya. Awalnya Viana dan Airin merasa malu dan tidak biasa kesekolah menggunakan sepeda motor, tapi lama-kelamaan mereka akhirnya terbiasa juga dan dapat menerima keadaan itu, apalagi mereka sedikit terhibur karena disekolah merekapun malah rata-rata muridnya berjalan kaki kesekolah, tidak seperti disekolahnya yang dulu hampir semuanya menggunakan mobil pribadi. Saat-saat mengantar Viana sekolah adalah saat yang paling ditunggu Tarjo dan Udin, karena hanya pada saat itu tubuh mereka bisa saling menempel dan mereka bisa mempraktekkan ilmu gendam pada kedua gadis itu. Tentu saja kedua nona majikannya tidak menyadari niat busuknya itu. Hari demi hari ambisi Tarjo dan Udin semakin besar untuk memiliki gadis bermata sipit itu, nafsu mereka berkobar saat memandang belahan payudara Airin dibalik bra dan baju seragamnya. Ilmu Gendam yang tiap hari dilepaskan pada kedua gadis itu rupanya semakin bertumpuk, hingga tanpa disadari, Tarjo dan Udin leluasa memasukkan pengaruh cabul kedalam pikiran Viana dan Airin. Viana yang pernah merasa trauma dengan pacarnya memang ingin merubah cara pandangnya yang mata duitan, Viana memang ingin membuka kesempatan buat pria serius yang menginginkannya tanpa memandang harta bahkan ras, sehingga akibatnya banyak teman pria disekolah yang berusaha mendapatkan hati Viana. Namun pengaruh cabul dari Udin dan Tarjo justru malah mengingatkannya saat keperawanannya diambil dulu, bukan dari sisi sakitnya namun pikiran Viana justru membayangkan sisi kenikmatan yang seharusnya dia dapat dulu.
Kata-kata cabul yang sering diucapkan Udin semakin menambah gairah Viana, bukannya menjadi jijik seperti umumnya anak gadis lain, Viana malah menjadi tambah dekat dengan Udin dan Tarjo akibat kata-katanya itu. Bagai gayung bersambut, Viana yang memang bertekad merubah pandangannya tentang pria, ditambah gendam yang semakin hari semakin kuat ditanamkan akhirnya tanpa disadari berhasil membuat hati Viana takluk pada Udin dan Tarjo. Pernyataan cinta dari teman-teman sekolahnyapun ditolaknya. Viana sudah tidak peduli pada fisik Udin atau Tarjo yang sangar, hitam, dengan kulit penuh tattoo bahkan Udin yang agak tonggos, malah Viana justru merasa bergairah sekali dalam hatinya hanya ada gairah, bukan cinta. Keadaan yang samapun terjadi pada Airin, tapi tidak separah Viana karena Airin masih perawan dan belum pernah dijamah pria manapun sehingga Airin meskipun dibawah pengaruh gendam, namun masih dapat menguasai dirinya. Udin yang merasa diatas angin, semakin yakin gendamnya berhasil telak pada Viana. Dia sering membisikkan kata jorok secara langsung pada Viana. Viana pun seakan tidak punya malu malah menanggapi dengan polos semua komentar Udin yang kurang ajar. Seperti hari itu sepulang sekolah disepeda motor tampak Viana dan Udin asyik berbincang tentang persetubuhan yang seharusnya tabu bagi mereka yang notabene adalah majikan dan kacung.
“Non Via pernah pacaran ga?”
“Pernah mang, dulu waktu masih dijakarta”
“Pernah dientot gak sama pacarnya non? Jangan-jangan pernah ya”
“Pernah mang, Cuma sekali koq” jawab Viana sangat polos sambil tersenyum.
“Ah, masa Cuma sekali? hehehe enak gak non?”
“Iya koq mang, Cuma sekali, itu juga udah lupa rasanya, sakit sih mang”
“Lho, nantinya kan enak non, masa cuma sekali? Selebihnya ngapain non?” dengan semangat Udin berusaha.
“Yah, seringnya malah cuma via kocokin aja koq mang, abis keluar yasudah, Via juga gak habis pikir bisa sampe kebobolan gitu”
“Ya gapapa non, itumah wajar, cewek zaman sekarang apalagi dikota besar memang udah pada jebol. Pernah nyedot ga non?”
“Nyedot? Nyedot apa mang?” Viana mulai ceria
“ya nyedot kontolnya pacar non dulu itu”
“yehhh, ga dong mang, jijik ah, ngeri kalo tumpah dimulut” wajah Viana mulai merona malu.
“koq ngeri non? Memangnya kontolnya kegedean yah?”
“Bukan gitu, cuma jijik aja kalo dimulut, ihhhh” Viana merinding membayangkan penis Johan kalo ada dimulutnya, justru sebenarnya bukan jijik, tapi nyesel juga kenapa belum pernah nyoba, kayaknya sensasinya lumayan juga pikirnya.
“Non via, mamang malah jadi pengen nih” celoteh Udin cengar-cengir
Pengen apa mang?”
“Pengen juga kalo dikocokin sama non Via..hehehe apalagi kalau sambil disedot, asyik!”
“ihhh mang Udin porno tuh!”teriak Viana sambil mencubit Udin.
“Aduh, sakit non.. Tapi non Via juga mau kan?”
“Idih, amit-amit mang, udah ah via jijik nih ngomongin gitu terus” tanpa terasa sampailah via didepan rumah sekaligus tokonya sementara Airin menyusul dibelakangnya bersama Tarjo.
“Non, nanti sore mampir kegudang ya, jangan dikamar terus, nanti cepet tua”
“Di gudang tuh kotor banget, via males ke situ, memangnya mau apa mang? Lagian mana boleh sama papa”
“Ya jangan bilang dong non, kita butuh temen ngobrol nih, kan lumayan kalau ada cewek ikut nimbrung”
“ga ah mang, via takut, masa Cuma via ceweknya, disitukan ada mang Tarjo juga, ga enak kalau diliat orang”
“Justru Cuma ada si Tarjo non, jadi sepi, datang kesana sore-sore aja non atau malem juga ga apa-apa, sepi koq, papa non juga kan kadang suka pergi, gimana non?
“ Iya deh mang, liat nanti yah, via ngantuk nih, mau bobo dulu.” Ujar Viana sambil berjalan masuk kerumahnya diikuti Airin dan langsung naik kelantai dua dimana kamarnya berada. Aneh sungguh ajaib, permintaan Udin itu bagi Viana tak ubahnya sebagai kewajiban yang harus dijalani. Hanya gengsinya saja yang membuat lidahnya berkata lain. Sedemikian ampuhnya ilmu gendam yang dimiliki Udin hingga membuat Viana merasa bangga sekali bisa bergaul dengan Udin. Padahal status sosial Viana jauh diatas Udin.
Bersambung