Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Batu Kerikil Pasutri

Status
Please reply by conversation.
Waduh....

Baca ceritanya bikin titit cepet berdiri... Realistis banget, baik kondisi di dalam cerita, maupun pas adegan exe-nya, ga berlebihan.

Pasang patok aja deh, ga sabar nunggu update selanjutnya hehe...

:tegang:
Ohya? Wah saya suka sekali membacanya kalimatnya, suatu pujian wkwk.
Silahkan suhu, makasih udah melipir :hore:

Menunggu Nana dientot dihamili pria lain...
Wadoh bahaya...

Perlahan tapi pasti nih
Drama nana udh mulai menanjak
:pandajahat::pandajahat::pandajahat:

Keep the goodwork
:semangat:

Salam kenal dari nubie
:pandapeace::pandapeace::panlok4:
Heukeke semoga betah ya nungguin di tanjakannya. Makasih hu, salam kenal juga ya :khappy:

updatenya jangan lama2 suhu, ane suka kelupaan jalan cerita wkwk
Diusahakan secepatnya kok om, masih ngumpulin imajinasi perintilannya nih hahaha :Peace:

luar biasa. lanjutkan!
Siapppphhhhh *alay*

Lebih gede kontol iqbal atau zaldy na? :D
Siapa yahhh :dansa:
 
Waaaah ketinggalan kereta saya
....
Susul om, susuuuuulllll :banzai:

Kayak akan jadi cinta segi empat nih giselle ganggu igbal
Gangguin gak ya? *ngeselin, kabur*

nana bimbang kasian
Harusnya diapain om?

ayo jujur nana... siapa tau iqbal aliran cuckold he he he
tapi jujur... konflik bathin nya natural banget suhu... lanjuuuut
Garis keras nih hahaha. Makasih suhu, tungguin aja yaaa :D

Ada giselle ya hu???
Ada pengenalan tokoh sekilas di ep 3 hu :)
 
Salam kenal sis @Lathimeh
First of all sista juga dokter ya? Ntar kalau ane ada keluhan penyakit boleh nanya2 ya sis. :Peace:
Maraton baca sampe update ke-3. Hasilnya ruarrr biasaa... Cuit..cuit... :genit::genit:
Memang di semprot ini banyak penulis berbakat. Bukan hanya copas tak jelas dari forum-forum sejenis.
Dari komeng2 suhu di atas newbie memang harus diakui cerita sis @Lathimeh termasuk salah satu yang sangat bagus. Bahkan newbie hampir g percaya kalau ini hanya imajinasi sista.
Satu yang menjadi perhatian newbie pada update ke-3 mereka bermain cinta di ruang tamu saat semua penghuni ada dirumah.. Kalau ada efeknya dari kegiatan ini pasti jadi semakin menegangkan bagi newbie.. :konak:

Semoga cerita ini bisa sampai tamat dan salam semprot sista :tegang:
 
Bagus, alurnya alus, pelan
SSnya jg asyik, natural
Konflik batinnya kayaknya besar di dalam diri NANA
Lanjuuuuttt
 
Kerikilnya belum ke injek ya hu....

Tungguin ah... Biar cepet ke injek
 
EPISODE 4 - PELARIAN SEMENTARA

“Zaldy! Hahaha, aduuuh, hahaha,” tawa Nana menggelegar di seluruh pojok ruang tamu Zaldy. Sore itu ia sedang bertandang ke rumah pacarnya sepulang kuliah.

“Ampun gak? Hah? Ampun gak?” tantang Zaldy sambil terus saja mengelitik perut dan kedua pinggang Nana hingga wanita cantik itu bergerak tak karuan karena geli.

“Iyaaa, ampun sayang, hahaha,” jawabnya lagi sambil tertawa, berusaha menahan tangan Zaldy namun percuma, tenaganya sudah habis karena terlalu banyak tertawa.

Zaldy memelankan intensitas kelitikan dan akhirnya agak menjauh dari Nana. Gurat senyum puas tidak bisa ia sembunyikan.

“Gitu dong, daritadi kek,” katanya, lalu duduk di sofa seberang Nana. Pacarnya hanya tersenyum sambil membetulkan bajunya dan kemudian duduk dengan benar lagi.

“Kamu ih makin garang ngelitikinnya,” protes Nana kemudian ia menguncir rambut hitam panjangnya dengan asal. Waktu itu ia memang belum berhijab.

“Kamu lagian ngotot, dikasih tau yang bener malah gak terima,” timpal balik Zaldy. Ia hanya memperhatikan gestur Nana yang lemah lembut dan tetap enak dipandang walaupun penampilannya sedikit berantakan.

“Lho ya wajar dong, kan aku nyampein pendapat. Dan medis kan dunia aku, you ain’t one of us (kamu bukan dari golongan medis),” jawab Nana lagi dengan kesal karena merasa tersudutkan.

Sebenarnya yang sedang mereka obrolkan tadinya tidak terlalu serius. Memang mengenai medis, namun Zaldy tidak bermaksud untuk berbicara dengan sok tahu. Tetapi, poin yang Nana tangkap dari obrolan Zaldy ternyata salah.

“Tuh kan nyureng. Minta dikelitikin lagi?” tanya Zaldy sambil mendelik. Ia terkadang kesal dengan pacarnya, begitu sensitif dan keras kepala. Namun sangat sayang jika harus dilepaskan makanya ia selalu berusaha sabar.

Mimik wajah Nana berubah menjadi lebih lembut, mencoba menghilangkan ekspresi kesalnya. Lalu ia bergerak pindah dan duduk di pangkuan Zaldy sambil melingkarkan kedua lengannya di leher laki2 tampan itu.

“Iya, gak lagi2 deh,” kata Nana hampir berbisik. “Maaf ya, sayang.”

Zaldy tersenyum, memeluk pinggang Nana dengan kedua tangannya. “Iya, aku juga minta maaf ya,” jawabnya, menempelkan dahinya ke dahi Nana lalu memejamkan kedua matanya. Ia sangat menyukai momen seperti ini, dimana ia dan Nana berada pada jarak yang sangat dekat. Dan terlebih Nana tidak pernah sungkan untuk minta maaf terlebih dahulu, jika memang ia merasa salah.

Dengan posisi duduk yang seperti itu, Nana menjadi sedikit lebih tinggi dari Zaldy. Kemudian Nana menggeser kepalanya sedemikian rupa hingga dapat mencium pelan ujung hidung pacar kesayangannya itu.

Zaldy yang tahu kebiasaan Nana langsung saja memiringkan kepala ke arah yang berlawanan dari wanita yang ia pangku dan kemudian mencium bibirnya.

Dan gayung pun bersambut, Nana membalas ciuman Zaldy dengan lembut. Sekali. Dua kali. Tetap dengan kelembutan dan penekanan yang sama.

Zaldy melepaskan bibirnya dari ciuman dan lagi2 tersenyum sambil menatap mata coklat hazel Nana. “Kamu cantik,” katanya memuji.

Tangan kanan Nana mengusap2 pipi kiri Zaldy sambil tertawa pelan. “Gombalan kamu udah basi tau.”

“Iyain aja kek, kamu mah ngerusak suasana terus,” sungut Zaldy yang hanya membuat Nana tertawa lagi.

“Ngambek…” godanya.

“Gak,” sahut Zaldy singkat. Nana turun dari pangkuan Zaldy sambil tertawa.

“Basi,” balas Nana. Ia juga sudah hafal kalau ambekan dari Zaldy hanya bohongan. Dan biasanya akan berhenti sendiri jika tidak ia ladeni. Ia duduk lagi di sofa sebelumnya dan membaca seluruh pesan di BBM yang belum ia baca dari siang.

Zaldy tidak berkomentar banyak. Tadinya ia ingin lebih lama untuk berpura2 ngambek, tetapi Nana sudah tahu tabiatnya jadi ia hanya diam menunggu.

“Eh iya, yang, aku titip kado buat Arbi ya,” kata Nana tiba2, menengok ke arah Zaldy. Arbi adalah adik sepupu kesayangan Zaldy. Usianya waktu itu sekitar 2 tahun, sedang gemas2nya.

Zaldy mengangguk. “Boleh, tapi belom tau kapan dia ke sini lagi,” jawabnya.

“Gak apa2. Aku takut terlalu lama ngasihnya kalo nunggu ketemu langsung,” kata Nana beralasan. Sebenarnya ia sudah sangat rindu dengan Arbi. Anak kecil itu dapat mengusir penat setiap kali Nana bertemu. Dan terlebih Nana senang bermain dengan anak kecil.

“Mana sini kadonya, ntar malah kelupaan. Kamu kan kebiasaan gitu,” kata Zaldy, menyodorkan tangan kanannya untuk meminta.

“Ada di rumah hehehe,” kata Nana. “Nanti maksudnya pas kamu anter aku pulang,” tambahnya masih sambil cengengesan. Cepat2 ia katakan sebelum Zaldy mengomelinya.

Zaldy menarik kembali tangannya dan menghela nafas. “Yee kirain udah dibawa sekarang,” tukasnya.

“Masa iya aku ke kampus bawa2 kado segede gaban,” dalih Nana. Kado yang ia belikan berupa mainan remote control dan juga beberapa buku edukatif yang hardcover dan ada puzzlenya. Mungkin memang belum waktunya, tapi karena ia sudah bingung mau membelikan apa lagi selain itu.

Lagipula yang ia tahu, Arbi saat ini sedang diajarkan untuk sedikit mengenali warna. Puzzle yang ia belikan pun berupa permainan seperti tebak warna, jadi ia merasa pas.

“Ya udah kalo gitu,” jawab Zaldy. “Kamu mau pulang jam berapa?”

“Ih ngusir?”

“Sensi…” Zaldy balik menggoda. “Bukan gitu, kan mobilku ada di paling depan. Harus minta tolong supir dulu buat nuker mobil, takut dia keburu pulang,” jelas Zaldy.

“Ya gak apa2 kamu semua sendiri aja.”

“Enak aja,” kata Zaldy keberatan. “Sama kamu deh, yang.”

“Gak usah ya, aku kan Inces, masa kamu suruh2,” tolak Nana dengan nada bercanda.

“Inces kok ngambekan,” kata Zaldy dengan pelan.

“Bilang apa tadi?” tanya Nana sambil mendelik. Kemudian ia beranjak ke arah Zaldy lagi. “Sayang bilang apa tadi?” tanyanya lagi, sambil menggenggam rambut belakang pacarnya, siap untuk ditarik. Tentu saja dengan pelan.

Zaldy yang takut pacarnya ngamuk langsung gantian cengengesan. “Hehehe gak kok, Inces cantik,” katanya.

Dengan gemas namun pelan, Nana tarik rambut belakang Zaldy hingga kepalanya mendongak ke atas. Kemudian dengan cepat ia hujam bibir Zaldy yang terbuka dengan bibirnya sendiri.

“Itu hukuman karena ngatain aku," bisik Nana setelah menarik bibirnya.

“Kayak gitu hukuman? Mau lagi dong,” kata Zaldy dengan manja. Ia sudah siap untuk menarik tubuh Nana namun keburu Nana pergi menjauh.

“Sst, ada Tina tuh daritadi ngintip2,” katanya dengan senyum sambil melambaikan tangan ke adik kecil Zaldy yang baru berusia 6 tahun.

Zaldy menengok ke arah Tina dan tersenyum. “Sini, dek, kak Inana punya sesuatu buat kamu,” katanya.

Tina dengan semangat dan senyum lebar berlari menghampiri Nana, berharap banyak akan diberi sesuatu. Nana melihat ke arah Zaldy dengan sebal. Wong dia tidak membawa apa2 hari ini. Zaldy hanya mengangkat kedua bahunya.

“Yah kakak lagi gak bawa apa2, sayang. Nanti ya kakak beliin,” kata Nana dengan sabar sambil mengusap2 kepala Tina. Senyuman pada wajah Tina memudar dan bibirnya berubah manyun, gaya andalannya saat ia ngambek.

“Tapi boong! Hihi nih kakak bawain buku gambar sama krayon baru,” katanya sambil merogoh2 tas ranselnya. Tina berteriak kegirangan dan langsung mengambil barang2 tersebut dari tangan Nana.

“Kamu terlalu manjain dia, Na,” komentar Zaldy sambil memperhatikan adiknya yang duduk di depan kaki Nana dan mulai menggambar.

Pacarnya hanya tersenyum lalu duduk di lantai di samping kanan Tina. “Gak kok, kan kamu tau aku suka anak kecil,” jawabnya. Kemudian ia fokus melihat apa yang sedang digambar Tina. “Ini apa sayang?” tanyanya, sambil menunjuk sesuatu di buku gambar.

“Lumahku, nanti aku mau bikin lel keleta di sini,” katanya sambil berimajinasi. Lidahnya yang masih cadel membuat Nana semakin gemas.

“Kok ada rel? Kan nanti berisik rumahnya kalo kereta lewat,” tanya Nana.

“Gak apa2, kan keleta sendili. Sualanya bisa gak kedengelan,” jawab Tina lagi dengan polos. Nana tertawa pelan sambil mengusap2 kepala adik lucunya itu. Dan ia pun asyik menonton pekerjaan Tina.

Zaldy tersenyum melihat adegan di depannya. Mempunyai pacar yang pengertian dan mudah dekat dengan keluarganya adalah poin plus tersendiri. Ditambah memang Nana menyukai anak kecil. “Semoga kamu bisa terus sama aku ya, Inana,” katanya dalam hati.

Lalu ia bergabung dengan kedua perempuan kesayangannya duduk di lantai dan bercanda dengan mereka. Sesekali Zaldy ikut memberikan coretan di buku gambar namun tangannya langsung ditepis oleh Tina, tidak setuju dengan idenya. Ia dan Nana hanya tertawa dan kembali sibuk memperhatikan adiknya menggambar.

Ya, sore itu pun dilewati dengan senyum dan tawa dari Nana dan Tina. Dan bagi Zaldy, for being like this (untuk seperti ini), itu sudah lebih dari cukup.

XXX

“Gak apa2 kan, Sya? Kamu beneran lagi gak sibuk kan?”

“Iya, gak apa2 kok, Mbak Nana. Aku kebetulan emang lagi off di klinik Sehat 1 untuk bulan ini,” jawab Marsya dengan lugas namun sopan.

Marsya adalah junior 1 tingkat di bawah Nana. Mereka kenal sejak zaman kuliah, saat mereka sama2 bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa/BEM di kampusnya. Nana saat itu menjabat sebagai ketua biro Pendidikan dan Marsya sebagai salah satu anggotanya.

“Duh jadi ganggu waktu libur kamu deh,” kata Nana dengan tidak enak.

“Ya ampun, Mbak, apaan sih haha. Tenang aja, santai lah. Lagian kalo di sini kan pasien lebih rame, komisi aku lebih gede kan jadinya,” katanya dengan nada bercanda.

Nana ikut tertawa. “Iya, tenang aja. Kayak biasalah, semua pasien yang kamu tanganin, langsung dibayar cash nanti sama Mas Dian,” jawab Nana.

“Siplah hehe,” balas Marsya.

“Dok, pasiennya udah boleh dipanggil?” tanya Mbak Indah dari depan pintu ruang pemeriksaan yang terbuka. Mbak Indah memang sudah kenal dengan Marsya karena sudah beberapa kali menggantikan Nana praktek.

Marsya mengangguk. “Boleh dong, udah ready nih,” katanya dengan semangat.

“Ya udah kalo gitu aku pergi ya, Sya,” kata Nana sambil tersenyum.

“Iya, hati2 jalan ya, Mbak. Salam buat Mas Iqbal,” jawabnya sambil cipika-cipiki dengan Nana.

“Mbak Indah, aku titip Marsya ya. Kalo nakal jitakin aja,” kata Nana lagi sebelum keluar ruangan.

Mbak Indah hanya tertawa sambil mengangguk. “Beres, dok.”

Nana berjalan ke arah pintu keluar klinik sambil membalas senyuman para pasien yang sedang mengantri untuk diperiksa. Kemudian ia pun langsung masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya di parkiran.

“Siap?” tanya Iqbal. Nana mengangguk, tangannya sibuk membenarkan posisi barang2nya. “Klinik aman kan?” tanyanya lagi.

“Aman dong kan ada Marsya. 4 hari ini kita bebas ngapain aja,” jawab Nana dengan tersenyum. “Eh iya, Mas, dia nitip salam.”

“Wa’alaikumsalam,” jawabnya. Lalu ia menoleh ke arah supirnya. “Pak Iyan, yuk, jalan,” kata Iqbal.

“Siap, Mas.” Mobil pun mulai berjalan ke arah Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Iqbal dan Nana akan melakukan quick trip ke Jogjakarta selama 4 hari 3 malam. Mungkin akan ke Semarang juga jika memungkinkan.

Hal ini dicetuskan Iqbal karena selama kurang lebih 2 minggu terakhir, ia melihat Nana mudah sekali terdistraksi dari kegiatannya dan sering melamun. Ia ingin membuat istrinya sedikit melupakan apapun yang ada dipikirannya dan membuatnya ceria kembali.

Nana hanya memperhatikan jalanan yang mereka lewati dari kaca mobil bagian belakang. Ia duduk sendiri di situ, sementara suaminya duduk di bagian depan, menemani Pak Iyan mengobrol. Walaupun mereka menggunakan supir, mereka membiasakan diri untuk tidak duduk di belakang, Nana sekalipun. Terlalu risih dan membeda2kan, itulah alasan Iqbal dan disetujui oleh istrinya.

45 menit kemudian mereka sampai di bandara. Setelah menurunkan semua barang yang akan dibawa, Pak Iyan pamit pulang. Tak lupa Iqbal berpesan untuk menjaga rumahnya dengan baik.

Tidak lama kemudian, Iqbal dan Nana masuk ke longue khusus business class setelah melakukan proses check-in untuk menunggu jadwal keberangkatan. Masih sekitar 35 menit lagi dari jadwal jadi mereka masih bisa bersantai.

“Mas aku mau beli kopi dulu ya,” kata Nana meminta izin. Ia merasa sedikit bosan, HPnya juga sedang tidak menarik untuk dilirik. Iqbal mengangguk. “Mas mau apa? Biar sekalian,” tanyanya.

Iced Americano aja, yang,” jawabnya.

With almond milk (dengan susu almond)?”

Yes, please (iya, tolong). Tapi, sedikit aja,” jawab Iqbal. Nana mengangguk kemudian menggunakan tas selempangnya. Ia kemudian berjalan meninggalkan longue untuk membeli kopi.

Sambil menunggu pesanannya jadi, Nana memperhatikan keadaan sekitar. Terminal 3 yang masih tergolong baru dan jauh lebih besar dibanding kedua terminal terdahulunya, terlihat agak ramai. Mungkin karena ini menjelang long weekend juga jadi banyak yang memanfaatkan kesempatan untuk berlibur, seperti dirinya dan Iqbal.

Iced Americano Kak Iqbal!” teriak salah satu barista, mengembalikan fokus Nana. Segera ia berjalan ke tempat khusus mengambil pesanan.

Iced cappucinno Kak Nana!” teriak barista yang sama. Nana yang sudah berdiri di dekatnya langsung mengambil kedua pesanan dan berjalan kembali ke lounge.

Setelah beberapa saat, akhirnya waktu untuk boarding telah tiba. Mereka diarahkan untuk masuk ke pesawat dan duduk di kursi sesuai nomornya. Dengan sabar mereka menunggu sampai pesawat take off. Untung saja tidak ada delay. Dan mereka memang sengaja memilih maskapai terbesar di Indonesia yang jarang ada masalahnya, terutama masalah delay.

Sekitar 45 menit di udara membuat Nana semakin bosan. Iqbal pun tidak melakukan apa2 namun hanya membaca majalah terbaru tentang fashion laki2 yang ia bawa dari rumah. Nana sempat menyesal tidak membawa bahan bacaan satupun.

“Kok gelisah banget keliatannya,” kata Iqbal menilai, mengamati istrinya yang duduk dengan tidak tenang.

“Bosen, Mas,” jawab Nana dengan jujur.

“Sana guling2, siapa tau pada seneng liat atraksi dadakan,” katanya sambil bercanda.

Nana memukul pelan lengan suaminya. “Ngeledek kan, terus aja,” katanya dengan sebal.

“Hahaha maaf2. Ya udah kamu tidur aja, yang,” katanya sambil menutup majalahnya lalu ditaruh di pangkuannya.

“Gak bisa, emangnya ini flight 24 jam,” jawab Nana masih dengan nada sebal. Iqbal hanya tertawa.

“Ya udah sini gelendot ke aku, siapa tau bisa bobo,” katanya lagi.

Nana menurut, merubah posisi duduknya senyaman mungkin lalu memeluk lengan suaminya dengan erat. Mungkin memang ini yang ia butuhkan sampai pesawat landing.

Iqbal menempelkan pipinya ke kepala Nana yang ditutupi hijab hitam, menghirup wangi dari parfum yang istrinya kenakan. Wanginya lembut namun terasa segar.

“Sabar ya, gak lama kok,” kata Iqbal lagi dengan pelan. Nana hanya menghela nafas panjang dan menutup kedua matanya. Berusaha untuk menikmati suasana yang sekarang mereka hadapi.

XXX

Pukul 14.03 WIB. Pasutri muda itu akhirnya tiba di hotel bintang 4 yang sudah mereka sewa melalui sebuah aplikasi sejak 2 hari yang lalu. Iqbal mengurus administrasi di front office dan kembali ke Nana setelah mendapatkan kunci kamarnya.

“Yuk,” ajaknya sambil menggandeng tangan Nana. Mereka bersama seorang bellboy yang membawa troli barang, berjalan masuk ke dalam lift yang sudah terbuka dan memencet tombol lantai 22, tempat mereka akan menginap.

Kamar 2212. Iqbal membuka pintu kamarnya dengan menggesekkan key card dan menaruhnya di power slot sehingga listrik di kamarnya pun menyala. Ia dan Nana sibuk melihat2 seisi kamar yang mewah, tidak ngeh kalau sang bellboy sudah menaruh semua barang mereka di dalam kamar.

Setelah memberikan uang tip kepada bellboy, Iqbal menutup pintu kamar dan bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mengambil air wudhu. Nana menyiapkan 2 sajadah dan mukenanya sendiri untuk melakukan shalat Dzuhur berjamaah. Setelah Iqbal keluar dari kamar mandi, kemudian Nana yang masuk untuk bebersih seadanya dan wudhu.

Setelah shalat, Nana membereskan perlengkapan ibadah dengan melipat dan menaruhnya di meja kecil di samping meja rias. Ia melihat Iqbal sudah mengganti celananya dengan celana pendek dan sedang merebahkan dirinya di atas kasur yang berukuran queen.

Nana sendiri pun mengganti bajunya dengan longdress berwarna biru pastel, agar siap pergi jika suaminya mengajak keluar. Hanya tinggal menggunakan hijab saja.

“Sini, sayang,” ajak Iqbal sambil menepuk2 kasur di sebelahnya. Nana mengangguk, naik ke atas kasur kemudian merebahkan diri di samping Iqbal. Fokus mereka kembali ke TV yang sedang menayangkan sebuah film action di channel HBO.

“Rencananya malem ini kemana, Mas?” tanya Nana.

“Hmm paling Malioboro sama alun2 Selatan,” jawab Iqbal sambil menengok ke arah Nana. “Kenapa sayang?”

“Hehe gak apa2, cuma nanya,” katanya dengan nada manja. Kemudian ia menarik lengan kiri Iqbal dan menjadikannya bantal. Tiba2 saja Nana merasa mengantuk padahal tadinya ia tidak merasa demikian. Apa gara2 kekenyangan ya abis makan siang tadi sebelum ke hotel? tanya Nana pada dirinya sendiri.

“Bobo aja, yang, kalo ngantuk. Nanti aku bangunin,” kata Iqbal. Ia memang sudah curiga melihat Nana yang diam saja dan tidak banyak omong.

Tanpa menjawab, Nana melingkarkan lengannya ke perut Iqbal dan memeluknya dengan erat. Iqbal menoleh dan mencium kening istrinya, membiarkan dirinya dipeluk seperti guling. Ia tetap menonton TV sampai dirinya tanpa sadar ikut terlelap.

XXX

Waktu sudah menunjukkan pukul 18.18 WIB. Nana dan Iqbal baru saja selesai shalat Maghrib. Mereka berdua ketiduran hingga pukul setengah 6 kurang. Niat Iqbal untuk mengajak Nana JJS alias jalan2 sore pun batal dengan sempurna.

“Maaf ya, sayang, aku juga ketiduran,” kata Iqbal dengan memelas. Nana tertawa melihatnya.

Lebay deh kamu, Mas. Gak apa2, lagian aku bisa mandi dulu kan tadi,” jawab Nana sambil bersiap2 untuk berdandan.

Iqbal berjalan ke arah Nana dan memeluknya dari belakang. “Kan tadinya aku mau sok2an romantis buat liat sunset,” katanya lagi dengan sedih.

Nana melihat ke arah suaminya dari cermin yang ada di depannya, masih sambil tersenyum. Kemudian ia menepuk2 pipi Iqbal dengan tangan kanannya. “Pake ngaku lagi mau sok2an,” tukasnya. “Udah ah sana, mau dandan nih, ntar ga jadi2 mau makan malem,” usir Nana sambil mendorong Iqbal menjauh.

“Jangan dandan, nanti kamu direbut orang.”

“Tandanya aku laku kan?”

“Enak aja. You are mine,” kata Iqbal dengan sungguh2. “Sampe ada yang berani ngambil kamu, pasti nyesel!”

“Nyeselnya?” tanya Nana sambil melihat ke arah Iqbal dari cermin lagi. Lipstik yang siap ia gunakan, ia tahan dulu di tangannya.

“Iya, kamu kan badannya kecil tapi ngemilnya sebakul,” jawab Iqbal sambil tertawa. Nana mengembalikan lipstiknya seperti sedia kala lalu menaruhnya di atas meja rias.

Dengan cepat Nana balik badan lalu mengejar suaminya yang sudah siap “bermain”. Iqbal terus menghindar dari Nana, secepat dan selicin mungkin. Bak belut yang menghindar dari tangkapan manusia.

Eit, eit,” kata Iqbal sambil terus berusaha menghindar. Nana dengan gemas menarik baju bagian belakang suaminya dan menjatuhkan dirinya di atas Iqbal. Untung saja di depan mereka adalah kasur jadi mereka berdua jatuh di atas barang empuk.

“Aw, aw, ampun sayang,” kata Iqbal sambil menahan tawa.

“Gak mau,” kata Nana, makin menindih badan Iqbal dengan posisi tengkurap. Lengan kanannya ia lingkarkan di leher Iqbal, menahannya agar tidak banyak bergerak.

“Banyak ngemil juga lincah kan,” kata Nana dengan nafas ngos2an.

“Iya, kayak curut,” balas Iqbal, masih menantang.

Dengan sigap Nana langsung menjewer telinga Iqbal. “Bilang apa barusan? Hah?”
Iqbal hanya meringis namun berusaha menahan tawa yang hampir meledak. Istrinya dapat menjadi pusat hiburan bagi dirinya sendiri. “Bilang kamu cantik,” jawabnya.

“Gak, bukan itu,” balas Nana.

“Nana wanita pujaan hatiku?” tanya Iqbal lagi. Kali ini ia menggerakan badannya dengan sekali hentak dan membuat Nana terjatuh ke sampingnya dengan posisi miring.

“Bukan.”

“Nana wanita tercantik untukku? Selain mamaku?”

Nana tersenyum. “Bukan, dasar pujangga gombal.”

“Nana yang lincah seperti curut namun tetap istri tercintaku?” tanya Iqbal lagi dengan nada menggoda. Nana mencubit pinggang Iqbal lalu memukul pelan punggung suaminya itu. “Duh, ternyata istriku pelaku KDRT.”

Keduanya tertawa dengan lepas. Kata2 Iqbal membuat perut Nana seolah2 terkocok dan membuatnya lemas karena terlalu banyak tertawa.

Namun tiba2... cup.

Iqbal berusaha menghentikan tawa Nana dengan mengecup bibirnya dengan cepat. Lalu ia cium lagi dengan gerakan lebih pelan. Tawa Nana tertahan namun ia membalas ciuman suaminya. Gerakan bibir mereka serasi, saling menyahut satu sama lain. Yang satunya membuka, satunya lagi menangkap untuk mengulumnya.

Smooch. Hmm. Smooch.

Nana mendorong bahu suaminya untuk menjauhkan. “Mas, udah ah, aku belom…” kata2 Nana terpotong karena lagi2 Iqbal mencium bibirnya.

Nana hampir saja terhanyut dengan usaha Iqbal. Namun keinginannya untuk berjalan2 lebih besar. Ia berusaha lagi melepaskan dirinya dari jeratan bibir Iqbal. “Mas, mau jalan2,” kata Nana. Kali ini Iqbal melepaskan ciumannya.

“Iya deh, iya,” balas Iqbal, akhirnya mengalah. Ia merubah posisinya menjadi duduk dan menarik tangan Nana untuk segera bangun. “Let’s go,” ajaknya.

“Ih tuh kan sembarangan. Mau pake gincu dulu kali,” kata Nana, cepat2 ia kembali ke meja rias dan menggunakan lipstiknya.

“Kalo aku kulum bibir kamu juga keliatan pake gincu kok yang, merah tapi bengkak,” kata Iqbal dengan enteng sambil menyeringai.

Nana bergidik kemudian membalikkan badannya. “Mas Iqbaaal!”

XXX

Malam itu mereka melewati waktu bersama dengan penuh rasa suka dan cinta. Mereka berjalan menelusuri alun2 Selatan dengan menggandeng tangan satu sama lain. Suasana di sekitar mereka terasa hangat, mungkin dikarenakan banyak orang juga yang sedang berkumpul dan bercanda satu sama lain.

Banyak anak kecil berlarian sambil menenteng kembang api yang menyala. Banyak juga semacam entah becak atau sepeda yang dimodifikasi sedemikian rupa dengan lampu neon warna-warni, disewakan kepada pengunjung dan memutari jalanan alun2 hingga ke komplek2 perumahan di sekitarnya.

Iqbal memperhatikan Nana yang dengan senyum sumringah melihat ke arah anak2 kecil yang tadi berlarian sedang berkumpul. “Mereka gemesin ya, Mas,” kata Nana dengan tatapan lembut.

Iqbal ikut mengamati kumpulan anak2 tersebut. “Semoga kita dikasih satu ya secepetnya,” balas Iqbal, sambil mengusap2 perut Nana.

“Cuma satu nih?” tanya istrinya dengan penasaran.

“Satu dulu, yang lain bisa nyusul,” jawab Iqbal lagi. Nana hanya mengangguk lalu tersenyum.

“Yuk ke Malioboro, mumpung masih sore. Biar gak kemaleman balik ke hotel,” ajak Iqbal. Ia melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul 20.21 WIB.

“Boleh, yuk,” Nana mengangguk dengan antusias. Ia memang senang jika diajak berbelanja. Apalagi membeli barang2 dengan harga yang murah. Mereka melanjutkan berjalan ke arah tempat mereka memarkir mobil dan segera meluncur ke arah Malioboro.

It’s shopping time!

=BERSAMBUNG=
 
Terakhir diubah:
Sepertinya Nana akan jatuh dalam tindihan zaldy dengan ML yang panas... Trus RT nya diambang kehancuran... Pengen tau gimana Nana selingkuh dan ML dgn zaldy
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd