Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Cerita Agung yang sederhana atau engga

Paling suka dengan karakter perempuan yang mana? (Boleh pilih 2)

  • Putri

    Votes: 56 60,2%
  • Kak Rani

    Votes: 23 24,7%
  • Sarah

    Votes: 13 14,0%
  • Dinda

    Votes: 31 33,3%

  • Total voters
    93
0d79381071917064.jpg
[/URL] [/IMG]
 
Chapter V

Lucu sebenarnya melihat bagaimana nasib memutarbalikkan keadaan. Sama seperti ucapan guru-guru waktu SD dulu, “hidup itu seperti ban, kadang diatas, kadang dibawah”. Tapi mereka tidak pernah memberi tahu jika perubahan posisi itu bisa sangat cepat terjadi. Waktu yang dibutuhkan mungkin hanya satu helaan nafas untuk mengubah nasib seseorang. Atau dalam kasus gue, satu panggilan telfon.

Satu panggilan telfon mengubah hidup gue sejauh yang gue rasakan. Hingga sekarang, dampaknya masih gue rasakan. Cap anak koruptor tidak semudah menghapus noda di piring dengan Shinelight. Setelah kejatuhan ayah gue yang notabene hanya pejabat daerah biasa, Cuma karena tersangkut kasus yang melibatkan gubernur hingga petinggi partai politik, dia harus dihukum belasan tahun penjara. Namannya ada di media berita manapun.

Masuknya ayahku di penjara juga langsung menguras habis harta keluarga gue, ibu terpaksa tinggal di rumah nenek dan depresi karena tidak tahan dengan ejekan tetangga. Sedangkan gue tertahan di Jawa. Semester satu dilalui dengan nilai-nilai hancur. Tidak mengherankan sih. Ewe dengan Putri adalah yang pertama dan terakhir. Mendengar berita ayah gue seorang koruptor, lingkup pertemanan gue semakin mengecil. Hanya menyisakan Bagas yang masih saja setia menawarkan bantuannya. Yang masih gue tolak, untuk sementara ini.

Untuk semester dua gue udah hampir tidak ada harapan untuk melanjutkan, gue merenung, melamun, berpikir, jalan apa yang harus gue ambil. Pendek cerita, gue memutuskan untuk kuliah sambil kerja. Berat memang, tapi itu satu-satunya cara gue pikir. Gue bertekad untuk menghapuskan cap anak koruptor di dahi gue. Gue ingin mengubah semua tatapan mereka yang melihat sepatu, baju, tas gue sebagai hasil korupsi. Belum lagi utang dari Bagas yang terus menumpuk karena gue selalu kehabisan uang kiriman tiap bulannya.


Pemirsa, di sesi ini akan sedikit gue maju cepatkan ya.

Tada! Semester 5! Cepat juga ya. Masa-masa galau gue Cuma diceritakan 4 paragraf, tentu saja karena cerita gue panjang banget dan gak mau berkutat di masa suram. Yuk lanjut!

Semester dua, tiga dan empat adalah semester tersibuk yang pernah gue alami. Gue tertatih-tatih kuliah sambil bekerja. waktu malam gue habiskan menjadi pelayan di salah satu restoran, paginya gue menjadi pengantar koran. Pagi sampai sore gue fokus kuliah dan mengerjakan tugas. Uangnya cukup untuk membiayai kosan baru gue (yang harganya jauh lebih murah dari kosan sebelumnya), biaya hidup dan untungnya uang kuliah juga bisa diatasi. Sedikit demi sedikit penghasilan gue sisihkan untuk merintis usaha online. Zaman sudah maju, buka toko di lapak online menjadi lebih gampang. Gue jualan baju bekas. Semester tiga gue ngeliat jadwal kuliah gue banyak waktu lowong saat siang, gue putuskan untuk masuk kelas fotografi. Belajar dari dasar dan memakai kamera yang dimiliki oleh kelas tersebut. Setelah tiga bulan gue mulai percaya diri dengan hasil jepretan gue dan menguploadnya ke situs foto berbayar. Motto gue, gue harus buka saluran pemasukan sebanyak mungkin, sedini mungkin agar gue tidak kehilangan opsi ketika salah satu usaha gue anjlok. Berkat kerja keras gue, kini gue udah punya uang pegangan untuk pulang kampung setahun sekali, biaya semester dua tahun kedepan dan sewa kosan setahun kedepan. Terdengar mudah bukan?

Kejadian diatas adalah ketika gue menyaring hal-hal yang baik dan maju saja. Tidak memasukkan cerita-cerita sedih gue. Kerja seperti orang gila 18 jam x 7 hari selama tiga bulan berturut-turut, sampai sakit, berkali-kali gagal dalam bisnis, dimarahin pelanggan koran, mendapat nilai E walaupun sudah berusaha dalam ujian karena jarang masuk kelas, ditipu orang. Hal-hal seperti itu yang engga akan terasa lagi ketika gue udah berhasil melewati satu tahun neraka. Dan yang paling membuat gue masih bisa bertahan hingga saat ini adalah Bagas. Berkali-kali gue jatuh, Bagas selalu ada untuk menopang gue. Dia mendukung gue, meminjamkan uangnya, ada saat gue hampir mati karena demam tiga hari berturut-turut di kosan. Semua masa-masa itu bisa gue lewati karena ada sahabat seperti Bagas.

Bagas sudah seperti saudara bagi gue, ketika semua lingkungan pertemanan gue mengecil, disana ada Bagas. Ketika kehidupan mengimpit gue, ada Bagas yang menopang kesulitan itu. Kini, di semester 4 gue akhirnya bisa membayar utang Bagas, yang Bagas tolak. Karena Bagas masih tidak mau, gue mengusulkan untuk memakai uangnya sebagai modal bisnis kecil-kecilan. Kami membuat usaha gerobak makanan jalanan Korea. Dengan ini sumber penghasilan gue bertambah. Sebelumnya gue mengundurkan diri dari loper koran dan pelayan restoran setelah masuk pertengahan semester 3. Kini gue punya bisnis online, jualan foto online dan gerobak makanan Korea. Ternyata keputusan gue untuk kuliah sambil kerja sejak semester 2 membuat gue selalu ingin mengeksplorasi bisnis.

Selain mulai membaiknya finansial, lingkungan pertemanan juga mulai membaik. Berkat Bagas yang selalu menjadi perisai tiap kali ada ejekan gue secara perlahan mulai masuk ke lingkungan pertemanan kuliah. Ajaibnya mereka juga menerima gue di lingkungan mereka. Termasuk hubungan gue dan Putri, walaupun tidak memiliki ikatan spesial, setidaknya pandangannya tidak seperti saat ia tahu kalau gue anak koruptor dulu. Bagas juga ternyata masih dengan Sarah, padahal gue kira Bagas adalah seorang player yang akan bergonta ganti cewek.


Pagi itu.

Gue sedang mempersiapkan gerobak makanan korea gue. Sudah jam 9 sekarang, jam 10 nanti gue akan mulai berjualan. Tempatnya berada di pujasera yang merupakan tempat banyak mahasiswa nongkrong. Sekarang hari sabtu, makanya gue yang buka, biasanya ada mas-mas warga lokal yang jaga. Sebuah mobil parkir di depan pujasera.

“Hoi, Donald Trump!”, sapanya ketika melihat gue, ternyata Bagas yang keluar dari mobil tadi.

“Gimana, bisnis kita lancar?”, tanyanya.

“Lancar, pak bos”, walaupun Bagas tidak pernah menjaga gerobak seperti gue, dia kadang mampir dan membantu sedikit, karena dia pun bisa dibilang memiliki saham di usaha ini.

“Tumben lo pagi banget, ini weekend lho”, kata gue.

“Ha haha”, dia ketawa, khas Bagas, suka ketawa gak jelas.

“Lo mau gue bikinin mie engga? Gampang nih bikinnya”, tawar gue.

“Boleh-boleh, mi apaan?”, tanyanya sambil duduk di meja depan gerobak.

“Mie samyang”, jawab gue cuek.

“Tae, bisa meletus perut gue, jangan dong”, katanya.

“Haha, mie ramyun gue bikinin, cepet kok”, kata gue.

“Boleh-boleh hehe”.

Gue lalu mulai menyalakan kompor untuk memasak mie ramyun untuk Bagas.

“Ha haha”, tawa Bagas lagi.

“Njrit, kenapa lo gas?”, tanya gue karena Bagas tahu-tahu tertawa lagi.

“Jadi gini, Gung”, kata Bagas akhirnya memulai omongannya.

“Gue... melihat lo ini udah sukses lah sekarang... udah bisa berdiri di kedua kaki lo sendiri”

Gue mengernyitkan dahi, memang kata-kata Bagas ini agak aneh didengar.

“Gue melihat... kalau hal ini patut kita rayakan hehe”.

Gue cuma bisa mendengarkan sambil mencemplungkan ramyun ke rebusan air.

“Ha haha”, tawanya lagi. Jadi tawanya itu selalu nada tinggi di ‘Ha’ pertama membuat gue jengkel.

“Anjir lo kenapa dah?”, tanya gue.

Dia lalu bangkit mendekati gue yang sedang mempersiapkan bumbu Ramyun. Dia mendekati gue dengan pandangan serius seakan mau menerkam gue. Anjir, ni orang maho, gue melihat tatapannya. Kondisi memang sepi di pagi hari weekend ini. Gue mulai takut diapa-apain sama Bagas. Mungkin selama ini utangnya hanya bisa dibayar dengan gue menyerahkan tubuh gue ya?

Bagas lalu berdiri di belakang gue, ia mendekatkan bibirnya di kuping gue, gue udah gak tahan karena geli.

“Oke, oke stop Gas, cukup, gue bukan ma...”, kata gue sebelum dipotong Bagas.

“Gue tahu lo pernah tidur sama Putri”, katanya tersenyum.

Gue langsung mematikan kompor.



Gue menyalakan kembali kompornya setelah Bagas protes kenapa kompornya dimatiin.

“Kok, lo matiin sih”

Gue lalu duduk, masih kaget dengan pernyataan Bagas tadi.

“Dari mana lo ta Gas?”, tanya gue.

“Nah, ngaku lo haha”, katanya

Gue mebuka tangan gue seperti sedang berdoa dengan dahi mengernyit mata gue lirik kiri dan kanan.

“Gue gak ngaku kok”

“Ha haha... yasudahlah, gue kasi tahu nih... gue tahu itu langsung dari Putri”, katanya.

Tiba-tiba dia duduk di samping gue, tangannya melingkar di bagu gue. Belum sempat gue merespon, dia monolog,

“Gung, gung. Butuh 5 semester buat gue nidurin itu anak dan gue baru tahu kalau lo ini udah nidurin dia semenjak ospek”

“Bangsat lu emang, lo memang suhu ngecrot”

Anjrit, pikir gue mendengar julukan tadi.

Eh, tunggu dulu,

“eh, bukannya lo pacaran sama Sarah ya? Lo selingkuh nih?”

“Ha haha, jadi gini Gung, gue sama Sarah... kita itu... bisa dibilang open relationship lah”, kata Bagas menjelaskan.

“Jadi gue sama dia tetap pacaran, tapi kita open aja main sana sini, ajak gabung siapa, biar lebih asik aja hehe”.

Gue jadi teringat waktu Sarah nawarin vaginanya di Chapter 3.

“Ooooh”, mulut gue berbentuk O.

“Ngomong-ngomong, selain Putri, siapa lagi yang udah lo ekse?”, tanya Bagas.

Kompor yang mendidih menyelamatkan gue dari pertanyaan Bagas. Untuk sementara.

Gue masih mengaduk ramyun buat Bagas.

“Jadi, siapa aja Gung?”

Akhirnya gue jawab,” baru Putri doang, Gas”,

“Anjrit!”

“ya... kalau dihitung yang di Jawa doang ya, waktu pulang kampung dulu gue ekse mantan gue sih”, kata gue masih mengaduk Ramyun-nya.

“Oooh...”, giliran Bagas yang mulutnya O.

“Kering banget berarti lo ya, 4 semester cuy, lahar gak dibuang”, kata Bagas.

Gue Cuma diam.

“Atau LO ENGKOL SENDIRI YA SELAMA INI HA HAHA”, tawa Bagas yang kali ini sangat puas.

Rasanya pengen gue jejalin Ramyun ke mukanya.

“nih makan”, kata gue menaruh piringnya.

“Lo gak bilang sih”, kata Bagas.

“emang kalau gue bilang, lo mau ngapain?”, tanya gue.

“Ya... kita bisa bagi kehangatanlah”, katanya.

“Emang maho lo, Gas”, kata gue.

“Maksud gue, lo bisa pakai Sarah kalau mau... hehe”.

“Eh, tunggu-tunggu, gue ada ide lain”, lanjut Bagas.

Mukanya selalu serius jika memikirkan ide mesum, kalau mikir ide lain mukanya datar.

“Hm... lo masih ingin ngentot gak?”

“Ya mau lah, kampret”, kata gue.

“Ha haha, soalnya dulu lo tiba-tiba ngambek sih waktu digodain Sarah hehe”, kata Bagas.

Gue teringat waktu itu, dimana gue masih merasa depresi. Alasan yang sama yang membuat gue enggan membuka hati buat cewek lain. Tetapi dengan kehidupan yang sedikit lega sekarang, gue mulai berkeinginan untuk ekse lagi.

“Oke, kalau lo udah gak ngambek lagi”, katanya sambil mulai makan.

“Gue.... punya Villa hehe”, mulainya.

“Karena UAS kelar minggu depan, gue mau ngajak lo liburan kesana... sekalian,yah.. merayakan kesuksesan lo lah yang udah bisa mandiri sekarang”, katanya.

Gue mulai mengerti arah pembicaraan ini.

“Tenang aja, ada ceweknya kok, hehe. Gue akan ngajak Sarah dan Putri... Gimana, tertarik gak lo? kuy gak nih?”, tawarnya.

Gue mendengar penawaran dengan seksama dan nafsuan. Bukan nafsu sama Bagas, tapi di otak gue udah terbayang kemolekan tubuh Sarah dan cantiknya Putri.

“Oke, Gas. Setuju gue”, jawab gue mantap.

“NAH, gitu dong dari tadi”, katanya.

Gue mengernyitkan dahi.

“Oke, kalau gitu, gue makan dulu, kelanjutannya gue kabarin terus sama lo hehe”, kata Bagas.

Gue mengangguk takzim lalu mulai melanjutkan persiapan buka gerobaknya. Kini adonan tepung di tangan gue udah sekenyal payudara Putri yang udah lama gak gue pegang.

“Oh iya, lo mau dengar kemarin gimana gue sama Putri ga? legit bang...”

“OGAH”, kata gue menolak tawaran Bagas

“Ha haha, oh iya, Putri kan jadi sekretaris acara besar angkatan kita tuh, konser Spinoza itu”, kata Bagas.

“Terus?”, tanya gue cuek sambil masih menguyel adonan tepung di tangan gue.

“Lo katanya kandidat paling kuat buat koordinator Dokumentasi”, kata Bagas.

“Lho?”

“Kan lo anak fotografi, tau sendiri lah, kualitas fotografi anak angkatan kita, Cuma lo doang yang ikut kelas fotografi universitas”, katanya lagi.

“Terus, lo ikutan juga gak Gas?”

“Ikutan dong, gue jadi koordinator keamanan hehe”, lanjut Bagas.

“Ooh, cocok kok sama muka dan badan lo”, jawab gue.

“Maksud lo?”

Gue tidak menjawab pertanyaan Bagas, pikiran gue sedang memikirkan hal yang lain, bukan masalah koordinator dokumentasi juga, tapi sedang membayangkan adegan-adegan bersama Putri dulu.
 
Chapter V

Lucu sebenarnya melihat bagaimana nasib memutarbalikkan keadaan. Sama seperti ucapan guru-guru waktu SD dulu, “hidup itu seperti ban, kadang diatas, kadang dibawah”. Tapi mereka tidak pernah memberi tahu jika perubahan posisi itu bisa sangat cepat terjadi. Waktu yang dibutuhkan mungkin hanya satu helaan nafas untuk mengubah nasib seseorang. Atau dalam kasus gue, satu panggilan telfon.

Satu panggilan telfon mengubah hidup gue sejauh yang gue rasakan. Hingga sekarang, dampaknya masih gue rasakan. Cap anak koruptor tidak semudah menghapus noda di piring dengan Shinelight. Setelah kejatuhan ayah gue yang notabene hanya pejabat daerah biasa, Cuma karena tersangkut kasus yang melibatkan gubernur hingga petinggi partai politik, dia harus dihukum belasan tahun penjara. Namannya ada di media berita manapun.

Masuknya ayahku di penjara juga langsung menguras habis harta keluarga gue, ibu terpaksa tinggal di rumah nenek dan depresi karena tidak tahan dengan ejekan tetangga. Sedangkan gue tertahan di Jawa. Semester satu dilalui dengan nilai-nilai hancur. Tidak mengherankan sih. Ewe dengan Putri adalah yang pertama dan terakhir. Mendengar berita ayah gue seorang koruptor, lingkup pertemanan gue semakin mengecil. Hanya menyisakan Bagas yang masih saja setia menawarkan bantuannya. Yang masih gue tolak, untuk sementara ini.

Untuk semester dua gue udah hampir tidak ada harapan untuk melanjutkan, gue merenung, melamun, berpikir, jalan apa yang harus gue ambil. Pendek cerita, gue memutuskan untuk kuliah sambil kerja. Berat memang, tapi itu satu-satunya cara gue pikir. Gue bertekad untuk menghapuskan cap anak koruptor di dahi gue. Gue ingin mengubah semua tatapan mereka yang melihat sepatu, baju, tas gue sebagai hasil korupsi. Belum lagi utang dari Bagas yang terus menumpuk karena gue selalu kehabisan uang kiriman tiap bulannya.


Pemirsa, di sesi ini akan sedikit gue maju cepatkan ya.

Tada! Semester 5! Cepat juga ya. Masa-masa galau gue Cuma diceritakan 4 paragraf, tentu saja karena cerita gue panjang banget dan gak mau berkutat di masa suram. Yuk lanjut!

Semester dua, tiga dan empat adalah semester tersibuk yang pernah gue alami. Gue tertatih-tatih kuliah sambil bekerja. waktu malam gue habiskan menjadi pelayan di salah satu restoran, paginya gue menjadi pengantar koran. Pagi sampai sore gue fokus kuliah dan mengerjakan tugas. Uangnya cukup untuk membiayai kosan baru gue (yang harganya jauh lebih murah dari kosan sebelumnya), biaya hidup dan untungnya uang kuliah juga bisa diatasi. Sedikit demi sedikit penghasilan gue sisihkan untuk merintis usaha online. Zaman sudah maju, buka toko di lapak online menjadi lebih gampang. Gue jualan baju bekas. Semester tiga gue ngeliat jadwal kuliah gue banyak waktu lowong saat siang, gue putuskan untuk masuk kelas fotografi. Belajar dari dasar dan memakai kamera yang dimiliki oleh kelas tersebut. Setelah tiga bulan gue mulai percaya diri dengan hasil jepretan gue dan menguploadnya ke situs foto berbayar. Motto gue, gue harus buka saluran pemasukan sebanyak mungkin, sedini mungkin agar gue tidak kehilangan opsi ketika salah satu usaha gue anjlok. Berkat kerja keras gue, kini gue udah punya uang pegangan untuk pulang kampung setahun sekali, biaya semester dua tahun kedepan dan sewa kosan setahun kedepan. Terdengar mudah bukan?

Kejadian diatas adalah ketika gue menyaring hal-hal yang baik dan maju saja. Tidak memasukkan cerita-cerita sedih gue. Kerja seperti orang gila 18 jam x 7 hari selama tiga bulan berturut-turut, sampai sakit, berkali-kali gagal dalam bisnis, dimarahin pelanggan koran, mendapat nilai E walaupun sudah berusaha dalam ujian karena jarang masuk kelas, ditipu orang. Hal-hal seperti itu yang engga akan terasa lagi ketika gue udah berhasil melewati satu tahun neraka. Dan yang paling membuat gue masih bisa bertahan hingga saat ini adalah Bagas. Berkali-kali gue jatuh, Bagas selalu ada untuk menopang gue. Dia mendukung gue, meminjamkan uangnya, ada saat gue hampir mati karena demam tiga hari berturut-turut di kosan. Semua masa-masa itu bisa gue lewati karena ada sahabat seperti Bagas.

Bagas sudah seperti saudara bagi gue, ketika semua lingkungan pertemanan gue mengecil, disana ada Bagas. Ketika kehidupan mengimpit gue, ada Bagas yang menopang kesulitan itu. Kini, di semester 4 gue akhirnya bisa membayar utang Bagas, yang Bagas tolak. Karena Bagas masih tidak mau, gue mengusulkan untuk memakai uangnya sebagai modal bisnis kecil-kecilan. Kami membuat usaha gerobak makanan jalanan Korea. Dengan ini sumber penghasilan gue bertambah. Sebelumnya gue mengundurkan diri dari loper koran dan pelayan restoran setelah masuk pertengahan semester 3. Kini gue punya bisnis online, jualan foto online dan gerobak makanan Korea. Ternyata keputusan gue untuk kuliah sambil kerja sejak semester 2 membuat gue selalu ingin mengeksplorasi bisnis.

Selain mulai membaiknya finansial, lingkungan pertemanan juga mulai membaik. Berkat Bagas yang selalu menjadi perisai tiap kali ada ejekan gue secara perlahan mulai masuk ke lingkungan pertemanan kuliah. Ajaibnya mereka juga menerima gue di lingkungan mereka. Termasuk hubungan gue dan Putri, walaupun tidak memiliki ikatan spesial, setidaknya pandangannya tidak seperti saat ia tahu kalau gue anak koruptor dulu. Bagas juga ternyata masih dengan Sarah, padahal gue kira Bagas adalah seorang player yang akan bergonta ganti cewek.


Pagi itu.

Gue sedang mempersiapkan gerobak makanan korea gue. Sudah jam 9 sekarang, jam 10 nanti gue akan mulai berjualan. Tempatnya berada di pujasera yang merupakan tempat banyak mahasiswa nongkrong. Sekarang hari sabtu, makanya gue yang buka, biasanya ada mas-mas warga lokal yang jaga. Sebuah mobil parkir di depan pujasera.

“Hoi, Donald Trump!”, sapanya ketika melihat gue, ternyata Bagas yang keluar dari mobil tadi.

“Gimana, bisnis kita lancar?”, tanyanya.

“Lancar, pak bos”, walaupun Bagas tidak pernah menjaga gerobak seperti gue, dia kadang mampir dan membantu sedikit, karena dia pun bisa dibilang memiliki saham di usaha ini.

“Tumben lo pagi banget, ini weekend lho”, kata gue.

“Ha haha”, dia ketawa, khas Bagas, suka ketawa gak jelas.

“Lo mau gue bikinin mie engga? Gampang nih bikinnya”, tawar gue.

“Boleh-boleh, mi apaan?”, tanyanya sambil duduk di meja depan gerobak.

“Mie samyang”, jawab gue cuek.

“Tae, bisa meletus perut gue, jangan dong”, katanya.

“Haha, mie ramyun gue bikinin, cepet kok”, kata gue.

“Boleh-boleh hehe”.

Gue lalu mulai menyalakan kompor untuk memasak mie ramyun untuk Bagas.

“Ha haha”, tawa Bagas lagi.

“Njrit, kenapa lo gas?”, tanya gue karena Bagas tahu-tahu tertawa lagi.

“Jadi gini, Gung”, kata Bagas akhirnya memulai omongannya.

“Gue... melihat lo ini udah sukses lah sekarang... udah bisa berdiri di kedua kaki lo sendiri”

Gue mengernyitkan dahi, memang kata-kata Bagas ini agak aneh didengar.

“Gue melihat... kalau hal ini patut kita rayakan hehe”.

Gue cuma bisa mendengarkan sambil mencemplungkan ramyun ke rebusan air.

“Ha haha”, tawanya lagi. Jadi tawanya itu selalu nada tinggi di ‘Ha’ pertama membuat gue jengkel.

“Anjir lo kenapa dah?”, tanya gue.

Dia lalu bangkit mendekati gue yang sedang mempersiapkan bumbu Ramyun. Dia mendekati gue dengan pandangan serius seakan mau menerkam gue. Anjir, ni orang maho, gue melihat tatapannya. Kondisi memang sepi di pagi hari weekend ini. Gue mulai takut diapa-apain sama Bagas. Mungkin selama ini utangnya hanya bisa dibayar dengan gue menyerahkan tubuh gue ya?

Bagas lalu berdiri di belakang gue, ia mendekatkan bibirnya di kuping gue, gue udah gak tahan karena geli.

“Oke, oke stop Gas, cukup, gue bukan ma...”, kata gue sebelum dipotong Bagas.

“Gue tahu lo pernah tidur sama Putri”, katanya tersenyum.

Gue langsung mematikan kompor.



Gue menyalakan kembali kompornya setelah Bagas protes kenapa kompornya dimatiin.

“Kok, lo matiin sih”

Gue lalu duduk, masih kaget dengan pernyataan Bagas tadi.

“Dari mana lo ta Gas?”, tanya gue.

“Nah, ngaku lo haha”, katanya

Gue mebuka tangan gue seperti sedang berdoa dengan dahi mengernyit mata gue lirik kiri dan kanan.

“Gue gak ngaku kok”

“Ha haha... yasudahlah, gue kasi tahu nih... gue tahu itu langsung dari Putri”, katanya.

Tiba-tiba dia duduk di samping gue, tangannya melingkar di bagu gue. Belum sempat gue merespon, dia monolog,

“Gung, gung. Butuh 5 semester buat gue nidurin itu anak dan gue baru tahu kalau lo ini udah nidurin dia semenjak ospek”

“Bangsat lu emang, lo memang suhu ngecrot”

Anjrit, pikir gue mendengar julukan tadi.

Eh, tunggu dulu,

“eh, bukannya lo pacaran sama Sarah ya? Lo selingkuh nih?”

“Ha haha, jadi gini Gung, gue sama Sarah... kita itu... bisa dibilang open relationship lah”, kata Bagas menjelaskan.

“Jadi gue sama dia tetap pacaran, tapi kita open aja main sana sini, ajak gabung siapa, biar lebih asik aja hehe”.

Gue jadi teringat waktu Sarah nawarin vaginanya di Chapter 3.

“Ooooh”, mulut gue berbentuk O.

“Ngomong-ngomong, selain Putri, siapa lagi yang udah lo ekse?”, tanya Bagas.

Kompor yang mendidih menyelamatkan gue dari pertanyaan Bagas. Untuk sementara.

Gue masih mengaduk ramyun buat Bagas.

“Jadi, siapa aja Gung?”

Akhirnya gue jawab,” baru Putri doang, Gas”,

“Anjrit!”

“ya... kalau dihitung yang di Jawa doang ya, waktu pulang kampung dulu gue ekse mantan gue sih”, kata gue masih mengaduk Ramyun-nya.

“Oooh...”, giliran Bagas yang mulutnya O.

“Kering banget berarti lo ya, 4 semester cuy, lahar gak dibuang”, kata Bagas.

Gue Cuma diam.

“Atau LO ENGKOL SENDIRI YA SELAMA INI HA HAHA”, tawa Bagas yang kali ini sangat puas.

Rasanya pengen gue jejalin Ramyun ke mukanya.

“nih makan”, kata gue menaruh piringnya.

“Lo gak bilang sih”, kata Bagas.

“emang kalau gue bilang, lo mau ngapain?”, tanya gue.

“Ya... kita bisa bagi kehangatanlah”, katanya.

“Emang maho lo, Gas”, kata gue.

“Maksud gue, lo bisa pakai Sarah kalau mau... hehe”.

“Eh, tunggu-tunggu, gue ada ide lain”, lanjut Bagas.

Mukanya selalu serius jika memikirkan ide mesum, kalau mikir ide lain mukanya datar.

“Hm... lo masih ingin ngentot gak?”

“Ya mau lah, kampret”, kata gue.

“Ha haha, soalnya dulu lo tiba-tiba ngambek sih waktu digodain Sarah hehe”, kata Bagas.

Gue teringat waktu itu, dimana gue masih merasa depresi. Alasan yang sama yang membuat gue enggan membuka hati buat cewek lain. Tetapi dengan kehidupan yang sedikit lega sekarang, gue mulai berkeinginan untuk ekse lagi.

“Oke, kalau lo udah gak ngambek lagi”, katanya sambil mulai makan.

“Gue.... punya Villa hehe”, mulainya.

“Karena UAS kelar minggu depan, gue mau ngajak lo liburan kesana... sekalian,yah.. merayakan kesuksesan lo lah yang udah bisa mandiri sekarang”, katanya.

Gue mulai mengerti arah pembicaraan ini.

“Tenang aja, ada ceweknya kok, hehe. Gue akan ngajak Sarah dan Putri... Gimana, tertarik gak lo? kuy gak nih?”, tawarnya.

Gue mendengar penawaran dengan seksama dan nafsuan. Bukan nafsu sama Bagas, tapi di otak gue udah terbayang kemolekan tubuh Sarah dan cantiknya Putri.

“Oke, Gas. Setuju gue”, jawab gue mantap.

“NAH, gitu dong dari tadi”, katanya.

Gue mengernyitkan dahi.

“Oke, kalau gitu, gue makan dulu, kelanjutannya gue kabarin terus sama lo hehe”, kata Bagas.

Gue mengangguk takzim lalu mulai melanjutkan persiapan buka gerobaknya. Kini adonan tepung di tangan gue udah sekenyal payudara Putri yang udah lama gak gue pegang.

“Oh iya, lo mau dengar kemarin gimana gue sama Putri ga? legit bang...”

“OGAH”, kata gue menolak tawaran Bagas

“Ha haha, oh iya, Putri kan jadi sekretaris acara besar angkatan kita tuh, konser Spinoza itu”, kata Bagas.

“Terus?”, tanya gue cuek sambil masih menguyel adonan tepung di tangan gue.

“Lo katanya kandidat paling kuat buat koordinator Dokumentasi”, kata Bagas.

“Lho?”

“Kan lo anak fotografi, tau sendiri lah, kualitas fotografi anak angkatan kita, Cuma lo doang yang ikut kelas fotografi universitas”, katanya lagi.

“Terus, lo ikutan juga gak Gas?”

“Ikutan dong, gue jadi koordinator keamanan hehe”, lanjut Bagas.

“Ooh, cocok kok sama muka dan badan lo”, jawab gue.

“Maksud lo?”

Gue tidak menjawab pertanyaan Bagas, pikiran gue sedang memikirkan hal yang lain, bukan masalah koordinator dokumentasi juga, tapi sedang membayangkan adegan-adegan bersama Putri dulu.

Mantap... lanjut Putri dan sarah
 
Masih menunggu exe si putri dan Sarah thanks hu atas up-nya mantab sehat selalu dan lancar RLnya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd