[3 –
nostradamus]
“Emhh..” aku mendesah pelan saat mulut Nayeon mulai mengulum penisku. Mulutnya yang mungil itu berhasil melahap penisku yang cukup besar. Kepalanya mulai bergerak naik turun. Lidahnya sesekali menjilati lubang kencingku, membuatku bergidik geli.
“Hnghh..” Tangan Nayeon bermain dengan buah zakarku, sementara tangan kirinya memegang, sedikit meremat batang penisku.
5 menit berlalu, Nayeon melepaskan kulumannya di penisku. Tubuhnya sedikit berkeringat, entah karena nafsu atau apa.
“Masukin ya?” Nayeon berjongkok diatas tubuhku. Lubang vaginanya sudah berjarak beberapa senti dengan penisku yang ia pegang. Tanpa menunggu jawabanku, penisku sudah tenggelam sepenuhnya didalam vagina Nayeon. Kurasakan tubuhnya sedikit bergetar.
“Emh... Tam...” tubuh Nayeon bergerak naik turun. Posisi
women on top seperti ini membuatnya harus mengeluarkan tenaga ekstra. Hentakan selangkangan kami terdengar bergema di ruangan ini.
Astaga. Ini ruang tamu.
Tanganku bergerak memegang pinggulnya, seakan memohon agar lebih cepat. Nayeon yang sepertinya paham, mulai bergerak semakin liar.
“Ah.. iyahh.. Taammhh.. emhh...” Gerakan pinggulnya semakin cepat. Tubuhnya sudah basah oleh keringat, begitupun tubuhku. Kedua payudaranya bergerak mengikuti irama tubuhnya. Tanganku merangkak menggapai kedua buah dada itu, lalu memelintir putingnya.
“ARRGHH.. geliii Tamm.... eehhmmmm...” vaginanya terasa menjepit lebih kencang saat aku sedikit menarik putingnya itu.
Tubuhnya semakin cepat bergerak. Aku yang mulai merasakan linu di penisku membantunya untuk bergerak lebih cepat.
“ERGGHH... TAAMM.. AKU KELUAARRRRHHHH....” tubuh Nayeon ambruk keatas karpet, membuat penisku tercabut dari vaginanya. Aku yang sudah merasa spermaku sudah berada di ujung, mengocoknya cepat lalu mengarahkan penisku kearah wajahnya.
“AAHHH.. NA- EEHH?!!” aku terkejut begitu Nayeon melahap penisku lalu membantunya dengan menggerakan mulutnya cepat. Aku yang tidak dapat menahan orgasme lagi, langsung menyemburkan seluruh spermaku kedalam mulutnya. Nayeon segera menelan seluruh spermaku itu tanpa menyisakan setetes pun didalam mulutnya.
Aku ambruk di sebelahnya. Nafas kami sama-sama tersenggal. Keringat ikut membasahi karpet ini. Tubuh Nayeon berguling ke samping, membuatnya menatapku. Aku meliriknya.
“Motornya?” tanya Nayeon yang dibalas dengan tawa olehku.
====
Beberapa menit yang hampir menyentuh jam lalu..
“Bangke emang.” Aku turun dari motorku, memandang bagian mesinnya yang berasap dan sedikit meneteskan cairan. Keadaan yang sudah malam ini membuatku harus melihat dengan seksama di bantu pantulan lampu kendaraan yang lewat.
“Tau gini, bener gue ganti radiator hose kemaren.” Aku menurunkan standar Z900 kesayanganku ini, lalu melepas helm dan berusaha menghubungi seseorang.
“Yeoboseyo?” *
Lah, Korea?
“Ne, annyeong. Joesonghamnida, jibeseo Arka ya?”
**
“Hahahahah. Abaangg!!”
Sialan. Zee mengerjaiku. Suaranya berbeda sekali ketika ia mengangkat barusan.
“Dasar tante kurang ajar.”
“Hahaha, kenapa bang?”
“Motor abang mogok di Antapani, kayaknya mau ke bengkelnya anak NL dulu ya, titip Arka.”
“Iya siap komandan!”
Aku segera mengakhiri telfon itu, lalu berusaha mendorong motor yang beratnya hampir 210kg itu.
Cukup lama mendorong, aku diberhentikan oleh seorang wanita di depan sebuah rumah yang bisa dibilang cukup mewah ini.
“Ngapain dorong motor malem-malem gini?” wanita itu berdiri didepan pagar, melihatku duduk di depan rumahnya sembari menunggu nasi goreng yang aku pesan matang. Aku segera menoleh.
“Nasgor?” tanyaku, yang langsung dijawab anggukan oleh wanita itu.
“Mang, hiji deui, sedeng weh ulah lada teuing.”^ ucapku kepada penjual itu.
“Neng, karunya si akangna ieu nga dodorong motor titadi nepi ka lapar kieu.”^^ sang penjual menoleh kearah wanita itu, yang hanya dibalas dengan tawa.
“Maaf,
mang. Saya gak ngerti bahasa Sunda.” Ucap wanita itu bersamaan dengan tawaku yang meledak. Sang penjual yang terlihat malu itu segera memasak pesanan kami.
oOOo
“Kenyang?” tanyanya sembari membawakan segelas air putih dan sekaleng bir untukku.
“Wah terimakasih ibu Im Nayeon traktirannya!” aku hanya terkekeh sembari meneguk air putih itu.
Nayeon hanya memandangku. Pipinya sedikit bersemu ketika aku balas menatapnya sembari meneguk air.
“Kenapa?”
“Masih ganteng memang ayah satu anak kita ini.” Nayeon mengucapkannya tanpa ragu. Aku hanya tertawa.
“Woyajelas dong, dari atasnya udah ganteng ya gimana lagi.”
Nayeon masih menatapku sambil tersenyum.
“Ey kenapa sih? Aku aneh ya?”
Nayeong menggeleng sembari tetap tersenyum.
“Banyak yang sebenernya aku mau bilang.” Ia berdiri, menghampiriku, lalu duduk di pangkuanku. Pipinya semakin bersemu merah, sementara aku berusaha untuk tetap tenang
dan tampan meski tidak bisa.
Glek.
“Aku selalu penasaran kenapa rambut kamu lebih panjang yang kanan, sampe nutupin telinga gini.” Tangannya menyibak rambutku, membuat telinga kananku terlihat. Ia terkejut begitu mendapati 6 tindik berbaris rapih di telingaku.
“Oh.. pantesan..” ia kembali tersenyum, lalu menutupi kembali telingaku dengan rambutku. Wajahnya perlahan mendekat kearahku.
“Wait a minute, Im Nayeon.” Ucapanku membuatnya berhenti sejenak.
“Aku gak bisa lama-lama, okay? Ada Arka dan adikku di rumah.” Nayeon kembali tersenyum mengangguk.
Aku menghela nafas, lalu segera menarik wajahnya kearahku. Bibir kami bertemu. Tangan Nayeon segera melingkar di leherku, sementara tanganku mengarah ke pinggangnya, berusaha menarik tubuhnya lebih dekat.
Ciuman Nayeon bertambah liar. Beberapa tetes liur kami membasahi celana kami masing-masing. Nayeon melepaskan ciuman itu, lalu menarik tanganku keatas karpet ruang tamunya. Ia mendorongku berbaring disana.
“Kamu mau ini cepet kan?” Nayeon yang masih berdiri, melepaskan kaos dan bra nya dengan sedikit eksotis, bak seorang penari striptease di sebuah klub malam, lalu melemparnya sembarang.
“
So, I’ll make it quick too, then.” Hotpants yang ia kenakan pun ia lepaskan. Aku terkejut mendapati dia tidak memakai celana dalam sama sekali. Aku hanya bisa terdiam melihat kelakuannya.
=====
“Motornya?” tanya Nayeon yang dibalas dengan tawa olehku. Aku berusaha berdiri.
“Lanjut dorong dong.” Aku berjalan menuju kamar mandi tamu yang tidak terlalu jauh dari ruang tamu ini.
Aku mengguyur badanku, membuat keringat sisa pertempuranku dengan Nayeon tadi menghilang. Nayeon bersandar di depan pintu, menyaksikan aku yang sedang asik ‘mandi’.
“Gak niat nyari istri lagi?” aku yang baru saja selesai lansung menoleh kearah Nayeon yang sedang menatapku di ambang pintu. Aku hanya tersenyum.
“Arka dulu sempet minta, tapi gatau, aku belum kepikiran.” Aku berjalan melewati Nayeon, lalu mengambil baju dan celanaku yang berserakan. Selesai memakai semua pakaianku, aku melangkah keluar.
Tepat sebelum aku duduk untuk memakai sepatu, Nayeon memelukku. Kurasakan tubuhnya sedikit bergetar, bersamaan dengan aku merasakan bahuku basah.
Ia menangis.
Aku memutar tubuhku menghadap dirinya, lalu sedikit memeluknya. Membiarkan ia meluapkan emosinya terlebih dahulu tanpa menghakimi. Nayeon masih terus menangis selama kurang lebih 10 menit, dan selama itu pula aku hanya memeluknya, sesekali mengelus punggungnya.
“Aku gak tahan sama pacarku, Tam..” Ia akhirnya melepaskan pelukannya dan mulai berbicara.
“Dia.. hiks.. dia kelewat posesif...”
Aku hanya terdiam, menatapnya dengan tatapan
‘Cerita aja kalo mau cerita, kalo enggak gausah.’
Dan malam itu aku habiskan dengar mendengarkan Nayeon bercerita tentang pasangannya.
Menurut cerita Nayeon, kekasihnya bernama Mario. 27 Tahun, anak pengusaha kaya. Mereka sudah berpacaran kurang lebih 1 tahun, dan sifat over-posesif kekasihnya itu ditunjukan ketika menginjak bulan ke 11. Entah mengapa, entah bagaimana, tiba-tiba saja.
“Itu karena aku sayang kamu.” Katanya sih begitu.
“Kamu..” aku yang sedang mendorong motor keluar, berhenti ketika Nayeon memanggilku.
“..kenapa gak komentar waktu aku nangis sama cerita tadi?”
Pertanyaan Nayeon membuatku menurunkan standar motorku, lalu menghampirinya. Tanganku mengusap air matanya yang menetes membasahi pipinya.
“Orang dengan kedaan kayak gini, pasti gaperlu di komentarin, kan? Dia cuma butuh di dengerin.”
Perkataanku itu dibalas pelukan oleh Nayeon,
Dan hujan oleh semesta.
===
Aku terbangun agak sedikit terlambat. Efek kehujanan semalam membuat tubuhku sedikit meriang, namun masih sanggup berjalan. Tidak ada siapa-siapa, kelihatannya Zee membawa Arka pulang karena semalam aku baru tiba di rumah sekitar pukul 12 malam setelah berusaha mendorong motorku menuju bengkel milik temanku di daerah Turangga.
Aku melangkah menuju dapur dan memutuskan untuk membuat teh panas. Kepalaku yang pusing menuntunku untuk menyeruput teh itu lalu berbaring di sofa sembari menonton televisi.
Tanganku mengambil handphone yang terletak tidak jauh dari tempatku berbaring. Sepertinya aku hari ini akan izin tidak masuk kantor karena kondisiku yang kurang fit sisa kehujanan semalam. Jemariku mencari kontak bosku.
Setelah selesai urusan izin kantor, kepalaku yang masih pusing ini membuatku kembali terlelap dalam tidurku.
----
“Bagaimana dok keadaannya?” aku mendengar suara yang entah dari mana asalnya. Keadaan disini hanya hitam pekat. Tapi aku cukup mengenali pemilik suara itu.
“Masih stabil, jantungnya masih berdetak juga mbak..”
Seseorang yang dipanggil dokter itu tidak berbicara kepadaku.
“Kita sama-sama berdoa yang terbaik ya, mbak. Mari saya tinggal dulu.” Suara pintu yang dibuka terdengar, berbarengan dengan sebuah hembusan nafas yang kurasakan di tanganku. Aku ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi, namun keadaan disini hanya hitam pekat. Tidak ada cahaya yang membantu.
“Aku masih disini hey..” suara itu.
Chae.
“Ayo bangun..”
--
Aku terbangun. Jantungku berdegup cepat.
Mimpi aneh lagi.
Tubuhku sedikit berkeringat, entah karena efek teh yang aku minum atau karena adrenalin dari mimpi tadi. Yang pasti, aku dapat mengetahui kalau sekarang sudah pukul 12 siang lewat sedikit. Suara tv di ruang tengah sudah menyala, pertanda Arka atau Zee sudah berada di rumah.
Aku bangkit dari sofa ini, membawa gelas teh ku ke ruang tengah. Terlihat Zee sedang menonton acara gosip dari tv.
“Gossip mulu lu.” Suaraku itu membuat Zee sedikit kaget lalu menoleh ke belakang.
“Tadi ada temen kantor lu kesini, Bang.” Aku yang ingin melangkah ke kamar mandi, berhenti sejenak.
“Oh? Siapa?”
“Anak magang sih.” Aku terkejut sesaat.
“Namanya Mina.” Zee menekan remot, mencari channel lain. Ia kembali menoleh ke arahku.
“Ninggalin buah di kamar lu.”
Aku hanya membulatkan mulutku, lalu berjalan ke kamar. Sebuah keranjang berisi buah-buahan yang berada di atas mejaku mencuri sorot mataku. Ada sebuah surat di bagian luarnya.
Semoga lekas sembuh, mas. Hehe.
-myoui
Aku hanya tersenyum sedikit membaca pesan itu, lalu mengambil handphoneku untuk mengirim pesan singkat ke Mina.
Terimakasih buahnya. Besok gak masuk kerja lagi ah biar dikirim buah.
Setelah terkirim, aku masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh.
**
Aku duduk di ruang tengah sembari melanjutkan pekerjaan yang bisa aku remote dari rumah. Sementara Zee masih asik bersandar di pundakku.
“Gimana cowokmu?” aku yang mulai penat bekerja, bertanya kepada Zee. Zee tertawa sedikit.
“Baik-baik aja kok, cuman lagi sibuk aja dia.” Jemari Zee yang sedari tadi melihat barang di Online Shop berhenti.
“Eh siapa namanya? Andri..”
“Adrian.”
“Ohiya, Adrian. Baik anaknya?” aku menekan tombol sleep di laptopku, lalu menutupnya. Zee sedikit menurunkan tubuhnya, lalu segera meletakan kepalanya di pahaku.
“Baik kok, gapernah macem-macem juga.”
“Yaudah, semoga langgeng aja deh ya, kalo ada apa-apa cerita, biar gue hajar nanti.” Sontak, Zee meninju perutku pelan.
“GAUSAH MACEM-MACEM YA TOLONG!”
Aku tertawa. Kami menghabiskan sore itu dengan mengobrol berdua, yaa family time lah istilahnya, meski hanya ada aku dan Zee. Arka sedang asik bersama neneknya sejak kemarin, jadi Zee seorang diri disini.
Zee tumbuh menjadi wanita dewasa yang mampu mengatur segalanya sendiri. Aku sendiri tidak menyangka adikku bisa tumbuh secepat ini. Seingatku, dulu ia orang yang manja terutama kepadaku. Ya, meski hingga saat ini masih terlihat sih sifat manjanya kepadaku.
Adzan maghrib berkumandang. Zee bangkit dari pahaku, lalu berjalan menuju kamarnya untuk menunaikan ibadah. Sementara aku menuju dapur, sedikit memasak untuk makan malam nanti.
Tama’s POV, end.
Meanwhile,
Seorang gadis berambut sedikit diatas bahu terlihat sedang melahap makan malamnya, satu paket ayam goreng dari sebuah restoran ayam goreng ternama. Gadis itu masih setia menemani seseorang di dalam sebua ruang rawat rumah sakit pemerintah di bilangan kota Bandung. Sudah hampir satu minggu sejak sebuah kejadian yang tidak mengenakan bagi mereka berdua terjadi.
Sesekali matanya melirik seseorang itu.
“Kamu gak mau rebutan kulit ayam lagi gitu sama aku?” Ia mengambil sepotong kulit ayam, lalu mengangkatnya sejajar dengan kepala orang itu. Matanya ia tutup sebelah, membuat sudut pandang baru : tubuh orang itu sebesar kulit ayam yang ia genggam. Ia tertawa sedikit, lalu kembali melahap makan malamnya.
Selesai makan dan mencuci tangan, ia duduk di samping ranjang. Keadaan ruang rawat itu cukup hening, sayup terdengar suara tv yang menyala dengan volume rendah, dan suara beberapa alat medis yang selang-selangnya menempel di tubuh orang –pria itu.
“Aku takut..” jemari gadis itu menggenggam tangannya.
“Ketika nanti kamu bangun, semua memory kamu hilang.”
“Aku gak tau akan kayak gimana nanti kalo itu beneran terjadi..”
“Tapi..”
“Aku akan selalu disini..”
Air matanya menetes, membasahi sela jemari mereka.
Sementara, suara tv dengan volume pelan itu menemani mereka, terutama sang gadis, menuju alam mimpinya.
“Jasa Marga siap bekerjasama dengan Polisi untuk mengusut kasus tabrakan yang dilakukan oleh sebuah truk di ruas tol Cipularang arah Jakarta pada hari Sabtu, 9 Februari yang lalu, yang mengakibatkan sepasang kekasih..............”
------
nb.
*Halo, digunakan biasanya waktu telfon.
**Ya, halo. Maaf, Arkanya ada?
^Bang, satu lagi yak, jangan terlalu pedes
^^Neng, kasian nih abangnya, nge dorong motor daritadi sampe lapar gini