Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Karena Hasrat Harus Dibayar Tuntas

Status
Please reply by conversation.
Mantaaap wira sdh siap utk action turun gunung, memuaskan para wanita
 
Ditunggu update nya suhu. Hampir the and nih cerita muda2an happy ending ya semoga.
 
Ane penasaran sama jurusnya Wira yang semburan api membakar pelakor:pandaketawa:
 
...sambungan...

Amukan Wira Surapita


Banyak orang beranggapan, manusia memanglah makhluk fana yang tidak tahu diri. Selain gemar mengeksploitasi alam dan membuatnya menjadi hancur, mereka cenderung hanya memikirkan diri sendiri. Maka jangan heran, banyak sekali terjadi pertumpahan darah. Pembunuhan, penyiksaan dan kekejaman yang ditunjukkan oleh makhluk bernama manusia tersebut, nampaknya sudah terpatri dalam jiwanya. Semua hanya untuk satu hal kontol, eh konyol…. Memuaskan dirinya.

Ah manusia… kau memang serigala bagi sesamamu.

Sejarah membuktikan, sering pertumpahan darah hanya bermula dari hal-hal sepele: memperebutkan harta, tahta atau memuaskan nafsu birahi. Lantas masih pantaskah kita disebut manusia?

Setiap ada kejahatan, pasti ada korban. Dan setiap bentuk angkara, akan melahirkan dendam. Dendam kesumat yang pada akhirnya membutuhkan pembalasan baru. Pembalasan yang pada akhirnya menciptakan kejahatan lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi.

“Sampai kapan ini berakhir, ki?”

“Entahlah, kadang aku juga sudah bosan untuk menyaksikan anak-anak manusia itu saling membunuh satu sama lain.”

“Tidak adakah sesuatu yang bisa menyadarkan mereka…. Ajaran mengenai kebaikan misalnya…”

“Omong kosong. Mereka, para manusia itu, sangat pandai jika berbicara mengenai kebaikan dan nilai-nilai terpuji lainnya. Tapi itu semua omong kosong. Bahkan banyak dari mereka hanya menggunakan hal itu sebagai topeng, untuk memuaskan nafsunya sendiri!”

“Seperti Jalal Ahmad dan teman-temannya?”

“Ya, mereka dan masih banyak lagi. Bahkan tak jarang banyak orang dibodohi oleh mereka-mereka yang mampu menggunakan topeng itu sedemikian baik, terlihat suci bak salju di puncak gunung namun nyatanya hatinya sebusuk ular derik!”

Aku menghela nafas…

“Yang terpenting adalah menjalani takdir kita, anakku. Jalani takdir ini sesuai dengan peranmu masing-masing. Kau tak akan bisa menjadi sempurna. Tidak ada orang yang jujur sekaligus penyayang. Atau pemurah sekaligus berani membela kebenaran. Jalani takdirmu dan berjalanlah sesuai akal budi yang diberikan kepadamu.”

“Kau benar, ki Buwana. Sebaik-baiknya orang adalah mereka yang menjalani takdirnya. Baiklah, aku rasa aku harus menjalani takdirku. Menyelesaikan yang harus aku selesaikan!”

“Oh, itu bagus. Aku suka cerita yang kau tulis. Tapi itu terlihat terlalu…. Bagaiamana kalian menyebutnya, kejam?”

“Oh, ya… tapi aku hanya menulis yang aku saksikan Ki. Sama seperti kau, bedanya aku mampu menuliskan perasaanku.”

“Ya, beruntung kau, nak. Ketika marah aku hanya memendamnya. Jika tak kuat, maka kulampiaskan dengan cara meledakkan gunung-gunung atau menggoyang samudera. Itulah mengapa kadang aku iri dengan kalian.”

“Tidak Ki, semua dari kita sudah memiliki peran masing-masing.”

“Ya, benar. Ada yang bajingan seperti Pras, namun sebenarnya berhati lembut. Ya, Pras. Aku suka tokoh itu. Kenapa kau mematikannya?”

“Sebenarnya aku juga menyukainya. Ia hanyalah produk dari kerasnya jaman. Hidupnya yang kejam telah merampas sesuatu yang paling berharga dari dirinya, kakaknya.”

“Jadi Pras inces dengan kakaknya?”

“Tentu saja. Sayang setelah kakaknya meninggal, ia jadi membenci seluruh dunia.”

“Maksudmu membenciku juga?”

“Oh Ki Buwana, sang penjaga dunia, tentu saja bukan…”

“Lalu bagaimana dengan tokoh utamamu, Wira yang perkasa itu. Apa ia akan beraksi sebentar lagi?”

“Ya tentu saja. Ia sudah tak sabar untuk turun tangan.”

“Baiklah nak, akan kunikmati kembali ceritamu yang absurd itu. Aneh juga kau memulai episode yang mendebarkan ini dengan sebuah percakapan bersama tokoh imajiner yang bahkan tak pernah ada dalam kisahmu.”

“Ya, jujur aku kesulitan mengakhiri cerita ini Ki. Untuk itulah aku menciptakanmu. Setidaknya sebagai pembuka. Kau adalah Ki Buwana, yang pertama setelah bumi tercipta.”

“Dan jika boleh, jangan masukkan aku ke dalam cerita itu. Kecuali jika aku berperan sebagai Arif Chaniago, perwira tampan yang saleh itu.”

“Tidak, tidak. Lakon kali ini tidak akan dimulai dari dia. Ingat Ki, dia sudah terluka. Abdul menembak kedua kakinya.”

“Lalu akan kau mulai darimana kisah ini, wahai penciptaku”

“Bagaimana dengan yang ini…”




























Amukan Wira Surapita

Seperti yang sudah-sudah, kedatangan Wira selalu ditandai dengan hal-hal yang mengerikan. Serigala melolong bersahut-sahutan, burung gagak dan elang jawa terbang kesana-kemari, kelelawar menyerbu perkampungan dan segala macam serangga berkeriapan tiada henti. Hewan ternak pun seperti kebingungan.

Lalu secara perlahan tapi pasti, suhu di Suramenggala menjadi naik. Langit yang semula berhiaskan bintang kini tertutup mendung kelam sepenuhnya. Angin berdesir kencang, sekencang payudara Vena Melinda yang masih aduhai saja.

Aura ini tak mungkin dirasakan oleh mereka yang tidak peka. Berbeda dengan kedatangan Wira di perkampungan Bambang Kijang tempo lalu, kali ini Wira tidak turun dari langit. Ia juga tidak datang dengan mengendarai abang gojek, mengingat mereka sedang sibuk berdemo. Ya, Wira datang dengan cara yang tidak kalah keren. Ia datang dengan menunggang seekor kuda hitam.

“Hei, siapa kau?” Seorang anggota LTH menghentikan laju Wira.

Wira tetap setenang gunung Kerinci. Ia turun dari kudanya, lalu ia tepuk badan kuda itu dua kali. Sang kuda, yang ternyata adalah penjelmaan Ki Jembud Mambu, seekor siluman peliharaan Wira, langsung paham. Ia berlari menuju hutan dan menghilang dari pandangan para penjaga.

“Jangan diam saja, cepat jawab siapa kau!”

“Dimana markas Jalal Ahmad?”

“Ha… aku tahu. Kau pasti ingin membebaskan orang-orang terkutuk itu ya. Jangan mimpi bajingan. Apa dengan bertato seperti yakuza, kau lantas bisa menakuti kami. Lalu lihat antingmu itu, pasti kau punya kelainan.”

Wira tetap tenang. Ketenanganya merupakan sebuah serangan psikologis tersendiri bagi musuhnya.

“Berhenti atau kutusuk badanmu dengan tombak ini.”

Wira tak peduli. Ia tetap melangkah maju.

Sloooobbbb……

Sebuah tusukan tombak menghujam. Wira menghindar.

“Pergi atau kami bunuh kau.”

Wira kemudian berpikir. Jika diteruskan maka ini akan membuang banyak waktunya yang berharga.

“Pergilah, kuampuni kalian.”

Dua orang penjaga itu melongo.

Lalu salah satu dari mereka memisuh, “Bangsat kubunuh kau…..”

Wira menghunus pedangnya. Begitua tusukan itu menyerangnya, ia mentahkan dengan satu gerakan indah.

“Anjing, jangan sok, bangsat!”

Larrr………..ciannng…………teng teng teng………tingg…………ciattttt……..diaaaasssss…..

Sang penyerang tersungkur. Tombaknya patah.

“Aku tidak akan menyerah. Mulan, cepat lari. Beritahu saudari yang lain kalau kita diserang. Aku akan menahan pria ini sekuat tena….”

Crottttt….

Pedang Wira menembus hidung wanita itu.

Slaat………….

Wira mencabut pedangnya, lalu bergerak ke arah wanita yang satunya.

Slabbb…salbbb…

Dua gerakan dan wanita itu terbelah jadi tiga.

“Kemana ya aku harus pergi? Ha...mungkin ke sana….”

Wira bergerak ke barat.

Tak beberapa lama, dua belas wanita bersenjata pedang dan tombak menghadangnya…

Pertarunganpun tak bisa dihindari.

“Pasti dia anak buah Jalal Ahmad. Mari kita penggal kepalanya dan kita serahkan pada ketua!”

“Hu…Ha..!”

“Serbu….”

Wira kembali menghunus pedangnya. Kali ini pertarungan agak lebih sulit.

Seorang melakukan sebuah tebasan.

Slarrrppp…

Wira berhasil menghindar, lalu menendang dada montok sang penyerang. Tapi di saat yang bersamaan tiga orang menyerang Wira dari samping.

Buk….bukk…..classshhh…

Wira terjatuh. Sabetan pedang salah seorang penyerang membuat pinggangnya berdarah.

“Bunuh………..hidup revolusi!”

Wira mulai marah. Para penyerang itu berlari menyerbu. Tapi begitu mendekat, dua orang dari mereka langsung terbelah jadi dua. Wira menyabet dengan serius.

Slassss….larr…..jegleerrrrr…

Wira mengkombinasikan tahanan kaki naga, sabetan maut pembelah ombak dan labrakan simo gendheng. Pertarungan berlangsung seru. Menit ke tujuh, enam orang ambruk. Empat diantaranya mati dengan perut terbelah. Dua lagi mati dengan kepala retak dan mulut sobek hingga ke belakang.

Wira berjalan terus.

Setelah tiga ratus meter, sampailah ia di sebuah rumah. Sebuah rumah yang besar dengan lambang Partai Penegak Kebenaran terpampang di depannya. Ya, itulah markas tempat Jalal dan anak buahnya berkumpul.

Sedang di dalam, Fida asyik berpidato. Ia berpidato layaknya seorang pemimpin besar. Semua orang kagum padanya.

Hampir saja Wira masuk ke dalam rumah itu, sebelum dua belas anak buah LTH kembali menghadang.

“Siapa kau dan apa maumu!”

Wira hanya membisu. Ia melihat orang-orang yang di depannya itu satu persatu. Apakah ia terpaksa harus membantai mereka lagi?

Ternyata ia harus.

Wira memasang kuda-kuda. Bersiap menggunakan jurus labrakan simo gendheng yang kali ini ia kombinasikan dengan naga sakti menghadirkan prahara.

Slabbbbb…. Satu gerakan, satu musuh roboh.

Ting…………….ting……….ciat…………….

Dua orang menyerang. Golok mereka beradu dengan pedang Wira.

Ciat….. des……….tinggg……………..

Tendangan Wira memakan korban. Seorang ksatria wanita LTH tersungkur. Tapi ia tak mau menyerah. Ia bangkit lagi dan kembali menyerang Wira.

Hampir setengah jam Wira bertarung. Musuhnya masih tersisa delapan. Wira mulai kelelahan.

“Ada apa kisanak. Kau mulai kelelahan tampaknya.”

Akhirnya Wira habis kesabaran. Ia cabut kerisnya. Keris sakti peninggalan leluhurnya.

“Kau tampak putus asa ya? Keris sekecil itu untuk menghadapi kami?” Semua berusaha tertawa, tetapi tawa mereka tertahan. Itu karena mereka tak sanggup menutupi kengerian yang timbul dari aura yang Wira pancarkan.

Wira berdiam. Ia fokuskan pikirannya. Setelah itu ia membaca mantra dengan khidmat. Lalu kemudia, ia pandangi delapan musuhnya satu persatu.

Cloooooroooootttt………………

“Ah…..apa ini……………”

Keris itu meluncur dengan keras. Seperti punya nyawa, ia mencincang semua musuh Wira. Satu persatu mereka roboh. Sungguh jurus ini sangat mengerikan.

Teriakan dan jeritan para pengawal LTH itu terdengar hingga ke dalam.

Wira, yang sudah dikuasai amarah langsung menendang pintu depan.

Jedaaaattt………….

Pintu terpelanting jauh.

Wira masuk. Di dalam, sepuluh pasukan LTH dan dua pemimpin mereka sudah bersiap.

Rasa kegentaran menyelimuti mereka semua, demi melihat sosok Wira.

Layaknya malaikat maut, Wira menebarkan aroma kematian yang pekat.

Dari semua yang ada disana, ada dua orang yang terkejut dengan kehadiran Wira. Mereka adalah Jalal. Dan Ratri.

“Siapa kau dan mau apa kau kemari?”

Wira memandang Fida dengan pandangan menakutkan. Bukan hanya Fida, bahkan Asmi yang terkenal tak punya rasa takut langsung gemetar. Kengerian menyelimuti jiwa mereka.

Wira melihat sekeliling. Semua orang yang ia lihat langsung bergedik ngeri. Ketika ia melihat Ratri ia tersenyum. Sedang Ratri tetap dalam rasa kagetnya. Ia tahu bahwa lelaki yang sedang menebar bau kematian itu adalah Wira, tapi ia tak bisa mengerti kenapa Wira bisa sangat mengagumkan seperti itu.

Wira berjalan menuju sel tempat Ratri ditawan.

“Berhenti, atau aku bunuh kau.”

Wira menoleh ke sumber suara. Asmi mengerjapkan mata. Bau kematian terpancar dari tubuh Wira. Asmi tak bisa menyembunyikan ketakutannya.

Wira melempar kerisnya.

Slaoooooopppp…….

Asmi mampu menghindar. Tapi dari pipinya keluar darah segar. Keris itu sendiri menancap di tembok. Rasa ketakukan Asmi makin bertambah.

“Serbu dia, demi revolusi! Jangan takut!”

Sepuluh orang menyerbu dan sepuluh orang tersebut langsung meregang nyawa.

Dengan jurus serangan kilat naga mabuk Wira secepat kilat menghabisi mereka semua. Ia terjang seseorang yang membawa pedang itu, lalu Wira mencekiknya dan membantingnya keras-keras. Kemudian ia tendang dada seorang lagi lalu menebas kedua tangannya. Darah memuncrat mengerikan.

Seorang mencoba menyerang Wira dari belakang, tapi sial Wira mengetahuinya. Ia lalu berputar sambil menyabetkan pedangnya.

Slaaaassshhh.

Wanita itu terbelah. Isi perutnya keluar semua. Wira berharap yang lain akan menyerah. Tetapi ternyata para pejuang LTH terus menyerang tanpa henti.

Setengah jam yang mendebarkan berlalu. Fida dan Asmi sebagai pimpinan merasa tercekam. Mereka kini hanya memiliki tiga anak buah saja.

Wira bersemedi. Ia mengeluarkan jurus barunya, jurus dewa singa berlengan delapan. Tiba-tiba Wira berputar sedemikian rupa, lalu lengannya bertumbuh baru, menjadi delapan. Ia berputar seperti gasing.

Clapppp…………slabbbbb……….

Seorang anak buah Fida ambruk. Lehernya tersayat. Seorang lagi mencoba melempar pedangnya. Naas, Wira menangkis pedang itu dan justru pedang itu meluncur ke arah dirinya sendiri. Jantungnya tertusuk sampai tembus. Tinggal satu anak buah lagi. Wira tampak tidak sabar. Ia meloncat. Ia gunakan jurus singa muda memangsa lawannya.

Hoppppp….

Wira menerjang dan menindih wanita itu. Dengan buas Wira menggigit lehernya dan meminum darahnya.

“Huaaaaa…………tidak…………….”

Setelah itu Wira berdiri. Ia tinggalkan korbannya yang menggelepar kesakitan, dan kemudian mati dengan mata terbelalak.

Wira membersihkan mulutnya yang penuh darah.

Fida, Asmi dan semua yang melihat berdiri ngeri. Abdul bahkan sempat mengompol Makhluk macam apa Wira ini? Semua seakan tak percaya ada makhluk sekuat ini.

Fida mencoba tenang.

“Ki sanak, aku tidak tahu siapa engkau. Jika kami berdosa padamu, kami mohon maaf. Mari kita bicarara…………………..”,

Slabbbbbb…

Wira yang tak sabar dan sudah dikuasai amarah, mengayunkan pedangnya. Kepala Fida terpisah, berguling-guling di tanah.

“Kakakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk…………….”

Wira dengan mata merah padam membersihkan pedangnya dengan tangannya.

“Kau pikir kau siapa, dewa? Kubunuh kau!” dengan air mata berurai di pipinya, Asmi menyerang. Susunya yang gondal-gandul karena tak memakai baju.

Serangannya membabi buta.

Tang………….tang……….ting…………..

Dua gerakan, salah satunya mengenai leher Wira. Wira terpancing. Kini giliran ia menyerang.

Slappp …………… ciat……………ciat………….. wusssssssssssss….

Sebuah sabetan melukai perut Asmi. Lalu tiga buah tendangan dan sebuah pukulan pas mengenai wajah dan tubuh Asmi.

Asmi mundur, lalu kembali maju. Kali ini ia lepaskan sebuah tendangan dengan kaki kiri. Wira menangkapnya dengan sempurna mengangkat tubuh Asmi dan membantingnya dengan telak.

Jeglaaaar………

Asmi terbanting. Wira tak menyianyiakan kesempatan. Ia lepaskan jurus injakan kaki butho.

Laaaapppppph………..

Asmi terbelalak matanya. Injakan itu tepat mengenai perutnya.

Wira lalu mengambil pedangnya.

Sluppppppppppppp………..

“Ah…………….”

Sebuah tusukan maut. Pedangnya menghujam perut Asmi. Tamatlah riwayat kesatria terakhir Teratai Hitam itu.

Semua berdecak kagum sekaligus bergidik ngeri. Wira berdiri. Ia menoleh dan mencari ibunya. Lalu kemudian terdengar suara memanggil namanya.

“Wira………….”

“Ibu………..”

Mata Wira berbinar bahagia. Ia menuju ke salah satu sel. Ia lihat sel itu tergembok.

Ia lalu bersemedi sambil berdiri, lalu mengucapkan mantra.

Ia pandangi tajam gembok itu.

Awalnya tidak terjadi apapun, tetapi kemudian muncul asap dari gembok itu. awalnya hanya kepulan kecil. Lalu kemudian gembok itu memerah.

Lassss………

Dengan satu kali tendangan, gembok itu hancur. Wira membuka pintu sel itu. Semua orang kecuali Ratri mundur ketakutan. Hawa kematian masih terpancar kuat dari Wira. Sangat kuat. Sampai akhirnya hawa kematian yang mengerikan itu menghilang, sejurus ketika Ratri keluar dan memeluk tubuh Wira.

“Ibu………”

“Wira………….”

Aura kematian WIra menghilang. Berganti menjadi aura bocah yang rindu belaian kasih ibunya.

Wira memegang wajah Ratri dengan lembut, lalu mengusap mata indah itu.

“Ibu………”

“Wira………….”

Wira memandang mesra wajah ibunya. Mesra dan dalam. Ada cinta disana. Ada rindu yang tertahan. Lalu membuncah. Wira kemudian mendekatkan bibirnya. Tanpa diperintah, mereka berciuman mesra.

Sangat mesra.

Seakan sudah tak sabar, Wira menggigit agak kasar bibir Ratri. Ratri tersentak. Wira tersenyu. Ia kini ganti mengecup kening Ratri, lalu pipinya, lalu lehernya,

Sedang tangan kanan Wira memegang pinggang Ratri, tangan kirinya mengelus dan meremas susu Ratri.

“Ibu….ah..ah…….”

Ratri diam tapi mencoba mengimbagi gerakan Wira. Dua menit kemudian Ratri menggandeng tangan Wira. Ia tersenyum. Wira mengangguk.

“Mari ibu kita pulang…”

Ratri tersenyum.

Nampaknya kisah ini akan berakhir bahagia. Setidaknya sebelum seseorang memanggil nama Wira.

Seperti tersentak, Wira menoleh.

Tampaklah si pemilik suara. Seorang yang tadi memanggil Wira. Wira terkejut. Ia ternganga. Tampak seorang wanita berada diantara beberapa orang. Ia masih terpenjara dalam sel.

Wira begitu mengenal orang itu. Ya seorang yang sangat tidak asing.

“Ibu?”
 
Terakhir diubah:
Ahhhh, hirup dulu aroma Jembud Mambu...jauh lebih nikmat daripada ngelem..:racun:

Gilaaak, muantabh pisan....:mantap:

Wahai warga semprot kalau kau memang cabul, mesum, durjana jangan tanggung2... buktikan...baca kisah suhu Dark_Thinker...cabul, mesum, dan durjananya kental sekali, lebih kental daripada saripati peju manapun....:cim:
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd