Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah ANDI ( bermula )

Update penghabisan untuk chapter "bermula"

Kalau tidak ada halangan, akan berlanjut dengan chapter baru setelah lebaran.

Terimakasih buat semua suhu yang setia mantengin thread ane.

Maaf aja ya hu, kalo belum semua imajinasi suhu suhu belum bisa ane wujudkan di cerita ini




POV. ANDI

"Hoaaaamm"
Aku menguap panjang sekali. Rasanya tubuhku penat sekali. Pertempuranku dengan dua wanita cantik tadi berlangsung berkali - kali. Seperti orang kehausan di padang pasir, mereka terus mengerjaiku bergiliran tanpa henti. Aku sampai lupa, sudah enam atau tujuh kali aku merasakan kedutan nikmat yang orang bikang orgasme. Mereka juga tak ambil pusing sekalipun aku orssme di dalam vagina mereka, karena aku belum mengeluarkan sperma. Pertempuran kelamin tadi baru berhenti setelah satu persatu mereka bertumbangan. Kita semua tepar tergeletak di ranjang tanpa daya. Mereka masih tertidur dengan damai mengapitku. Entah sudah berapa lama kami tertidur. Rasa lapar sudah menyergap perutku.
"Astaga"
Aku terkejut melihat pintu kamar tak tertutup dengan baik. Memang tadi ada satu sesi kita main di ruang tengah. Sehabis itu kita tempur penghabisan sebelum tepar. Kalau ibu sudah kembali, berarti ibu tahu kelakuanku sekarang.
"Gubrak"
"Adoow"
Maksud hati langsung ingin bangun, apa daya kaki masih lemas. Aku terjatuh dari ranjang empuk ke lantai keras. Tapi benturan keras tadi tak cukuppu untuk membuat kedua wanitaku terbangun. Mereka masih terlelap dalam tidurnya. Dalam lemas aku mencoba memakai celanaku. Hanya celana kolor saja, itupun aku tak tahu punya siapa. Masih rapi seperti baru di setrika. Ada sempak dan kaos juga, tapi rasa penasaranku membuatku acuh terhadap sempak itu. Karena keberadaan pakaian ini juga terasa aneh buatku. Perlahan aku mengendap - endap ke arah pintu. Kulongokkam kepalaku ke luar. Sepi, tak ada siapapun. Tapi di ruang tamu, kuluhat ada beberapa kotak stereofoam dengan aroma yang bisa kucium dari sini. Aromanya sangat menggoda perutku yang lapar.sambil menuju ruang tamu, aku sempatkan mengintip ke kamar satunya. Tak kutemukan ibu, simbah, ataupun tante evie. Mungkin mereka masih di rumah utama bersama ki sabdo. Terserahlah, urusan orang dewasa tak seharusnya aku campuri. Aku buka saja kotak itu.
"Pantes laper, udah jam sembilan lewat. Lah, tadi tempur sampe jam berapa ya?"
Seruku saat melihat jarum jam di ruang tamu. Aku geleng - geleng kepala. Tak menyangka aku bisa segitu lamanya bercinta. Sampai larut malam baru terbangun.
"Yuhuu... Nasi sama rendang. Mantaaapp" seruku lagi.
Tanpa permisi aku lahap hidangan itu. Tak perlu waktu lama untuk menghabiskan seporsi nasi kotak itu. Perutku kenyang, tenaga pun terasa pulih kembali. Kakiku jadi lebihkuat berpijak menopang tubuhku. Istirahat sejenak membuat tubuhku terasa segar. Rasa penasaran kembali menyeruak. Entah mengapa aku penasaran dengan bagian belakang rumah. Aku berjalan biasa, toh mereka tak ada di rumah. Saat sampai di belakang, suasananya terasa sama sekali berbeda. Hawa dingin langsung menyambutku. Beberapa lampu neon jadul menyala diantara semak semak pinghir sungai. Seolah menjadi penanda lebar sungai. Aku turun dan menjajal suhubair sungai.
"Uuuhhh... Dingin juga" komentarku.
Tapi karena sudah sebulan aku berada di rumah simbah, membuatku terbiasa dengan suhu air yang dingin seperti ini. Hanya butuh beberapa detik sampai aku beradaptasi. Aku berjalan ke kanan, menyusuri aliran sungai. Hawanya enak buat menyendiri, menyepi, atau mencari inspirasi.
"Haaa... Apa itu"
Aku terkejut melihat sesuatu di tengah aliran sungai. Mengingat ini adalah rumah paranormal, pikiranku langsung tertuju pada makluk gaib. Terlebih posisinya sejajar dengan pohon beringin.
"Astaga"
Aku juga melihat sesuatu bergerak - gerak di batang pohon beringin. Kudekati dan kupertajam penglihatanku.
"Oh selendang" gumamku.
Aku tersenyum merasa bisa menguasai rasa takutku. Akupun merasa percaya diri untuk melihat pada sesuatu yang berada di tengah sungai tadi.
"Astaga"
Kali ini aku benar - benar terkejut. Nyaliku seketika menciut kembali. Bagaimana tidak, sosok yang aku lihat tadi tiba - tiba menghilang. Aku celingukan, aku masih berusaha mengumpulkan logikaku. Aku lihat ke sekeliling tapi aku tak melihat sesuatupun yang mirip dengan sesuatu yang tadi.
"HAAA"
"BYUUR"
Aku terkejut bukan main, sampai terjengkang jatuh ke dalam air. Yang aku cari ternyata muncul lagi di tpat semula. Yang itu berarti tepat di depanku. Aku masih mencoba mengumpulkan logikaku, mencoba mengusir anggapanku bahwa yang didepanku ini adalah jin, demit, atau sejenisnya. Aku masih mengumpulkan keyakinan bahwa aku hanya kelelahan, sehingga penglihatan dan respon otakku sedikit konslet. Aku amati dari atas sampai permukaan air. Aku bisa memastikan bahwa yang di depanku ini adalah sesosok manusia, wanita, yang sedang bersemedi. Yang hanya mengenakan jarik sebagai kemben, satu - satunya penutup tubuhnya.
"Ibu?"
Aku kembali terkejut saat ada angin berhembus dan menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajah wanita itu. Tak lain, tak bukan wanita itu adalah ibuku. Aku pikir dia sedang bersama simbah dan tante evie, tak tahunya lagi di sini. Apa yang ibu lakukan di sini?
"Aduh"
Aku sempat merasakan seperti ada yang mendorongku. Tapi tak ada siapapun di belakangku. Tapi aku merasa debit air sedikit meninggi. Aku pikir ini efek hempasan air. Beberapa lamanya aku memperhatikan satu ranting di pinggir sungai. Kalau airnya semakin tinggi, mau tidak mau, aku harus memindahkan ibu dari tengah sungai. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Debit air perlahan merendah. Bahkan beberapa senti lebih rendah dari sebelumnya.
"Ibu" gumamku.
Perubahn debit air tadienciptakan pergerakan yang menciptakan pemandangan langka buatku. Dalam semedinya ibu tampak tak merasakan apa yang sedang terjadi. Ibu yang tadi hanya terlihat pundak ke atas, kini muka air susah berada di perutnya. Bukan airnya yang yang aku bilang pemandangan langka, tapi apa yang tampak setelah air itu surut. Kemben yang ibu pakai rupanya terlepas ikatannya oleh pergerakan air. Entah bagaimana ceritanya, tapi aku bisa melihat dengan jelas, bagaimana payudara ibu menggantung indah tanpa penyangga dan penutup satupun. Reflek aku bergerak mendekat, kuraih jarik kembennya dan kupakaikan lagi untuk menutupi payudara ibu. Jangan sampai ada orang lain yang melihatnya.
"Aduuh"
Aku terkejut merasakan pergerakan air yang seperti berombak. Mirip kalau lagi main air di pantai. Aku tak sengaja memeluk karena tertarik arus air ke belakang. Tanganku secara tak sadar justru menggenggam payudara ibu. Mataku melotot menyadari apa yang telah aku lakukan.
"To.. to.. toked ibu"
Aku tergagap saat memyebut nama benda yang aku pegang. Setelah aku disapih, praktis aku tak pernah lagi bersentuhan dengan benda ini. Melihat saja susahnya minta ampun. Ibu bukanlah tipe wanita yang suka mengumbar kemolekan tubuhnya. Di rumah juga, aku jarangelihatnya berpakaian minim, seksi, atau longgar. Terus terang, aku sangat penasaran dengan bentuk payudara ibu. Karena aku pikir, oayudara ibu sangatlah montok untuk badan sekecil itu. Dan ternyata memang montok sekali. Bulat sempurna, pentil coklat dan aerola lebar. Dan yang lebih spesial lagi, tak kalah kenyal dengan payudara mbak yanti. Oh, penisku tegang lagi.
"Plek plek"
Seseorang menepuk pundak kananku. Reflek aku menoleh ke kanan, tidak ada orang di kananku. Aku lanjutkan ke belakang, tak ada siapa siapa juga.
"Ibu"
Betapa terkejutnya aku saat kembali menghadap ke depan, ibu sudah tidak ada di depanku. Seketika badanku menggigil.
"Ka.. ka... Kalo bukan ibu... Lalu... Lalu... Tadi itu apa?" Gumamku.
Aku celingukan ke sana ke mari. Aku masih berusaha berpikir posistif. Ya memang ini adalah ranahnya barang gaib. Sesuatu yang baru buatku. Tapi aku yakin sekali kalau itu tadi ibu. Aku tak bisa menjelaskannya bagaimana, tapi aku yakin tadi itu ibu. Sekilas aku melihat secercah cahaya muncul diantara rimbunnya akar gantung beringin. Kulangkahlan kakiku ke sana, berharap bisa menemukan ibu di sana. Namanya makluk gaib, pasti bisa saja memindahkan ibuku secepat kilat. Helai demi helai akar gantung aku sibakkan. Cahaya itu semakin jelas terlihat. Sumbernya berada jauh di dalam. Mungkin ada lampu di batang pohonnya. Semakin ke dalam rasanya semakin lebat saja akar gantung ini. Dan saat aku berhasil melewati rumpun akar gantung tadi, bukannya batang beringin yang aku dapati, melainkan sebuah pintu yang dalamnya terdapat sebuah ruangan. Sejenak aku berpikir, nyatakah yang aku lihat ini? Bukankah hanya ada lapangan bola di balik pohon beringin ini. Terus ini ruangan menuju kemana? Mungkin ruangan bawah tanah, seperti rumah aman yang aku tempati saat ini. Mungkin hanya efek gelap saja sehingga aku seperti orang tersesat. Yang sebenarnya aku menuju ruang bawah tanah. Ya, itulah yang aku pikirkan. Dengan kemantapan hati, aku melangkahkan kaki memasuki ruangan tersebut. Hanya satu ruangan besar yang entah seberapa besar. Hanya ada sedikit cahaya di dekat pintu masuk. Di depan sana, ada secercah cahaya lain. Bentuknya seperti lampu LED. Kuhampiri cahaya itu, tanpa tahu apa yang aku pijak sekarang. Setelah cukup dekat, aku bisa melihat kalau cahaya itu berada di ujung ruangan ini. Tapi tak jelas sumbernya dari mana cahaya itu. Sampai di sini hana dinding batu seperti di dalam goa yang terlihat. Seolah batu itulah yang memancarkan cahaya. Ada tanah yang datar dan luas, melintang seukuran setengah lapangan bola. Ketika aku pijak, aku bisa merasakan kalau dasarnya bukanlah tanah, melainkan batu. Dari keremangan cahaya itu, aku mencoba berjalan menghampiri dinding batu di ujung sana. Tapi mendekati tengah tanah lapang ini, aku seperti melihat sesuatu. Kupercepat langkahku.
"Ibu?"
Akhirnya aku menemukan ibu. Ingin aku membangunkannya atau sekedar memeluknya, sebagai tanda bahagia bisa menemukannya lagi. Tapi sikap semedi ibu saat ini lebih menuita perhatianku. Menurutku itu sangat aneh, dan melawan hukum alam. Posisi ibu seperti berlutut. Kalau penjahat, ketika disuruh berlutut, tangannya pasti disuruh diletakkan di belakang kepala. Nah, kalau ibu tidak. Posisi tangan ibu seperti orang menyembah raja. Mungkin itu tidak aneh kalau sikapnya selayaknya seorang kawula menyembah rajanya. Nah, jni badannya dicondongkan ke depan, seperti cara orang jepang memberi salam. Terlalu condong ke depan dan ke bawah, kurasa, untuk bisa ditahan dengan kakinya. Lagi - lagi aku masih mencoba menggunakan logikaku. Aku mencoba bersikap seperti ibu. Namun aku jatuh tersungkur. Kucoba lagi, tersungkur lagi. Kucoba lagi, tersungkur lagi. Itu memberi gambaran bahwa apa yang ibu lakukan itu mustahil dilakukan orang kebanyakan. Melawan hukum gravitasi. Tak hilang akal, aku mencoba berjalan ke depan ibu. Mungkin ada sesuatu yang bening yang tak tampak oleh mataku.
"Astaga"
Saat aku mencoba mencari apa kiranya yang menahan tubuh ibu, yang aku raba justru payudaranya lagi. Sama sekali tidak ada apa - apa di sepanjang dada sampai perut.
"Oh my God"
Niat hati mencari lebih ke bawah, aku malah menemukan sesuatu yang selama ini membuatku penasaran. Sesuatu yang menjadi jalanku lahir ke dunia ini. Kurasakan basah vagina ibu. Bukan sekedar basah oleh air, tapi ada sedikit pekat. Aku yakin itu lendir pelicin vagina ibu. Apakah dalam semedinya, ibu bisa merasakan remasan tanganku?
"Oh, maaf... Maafin andi, bu"
Kutarik tanganku kembali, lalu aku berdiri. Saat aku coba meraba bagian kepala, ya hana kepala ibu yang terasa di telapak tanganku. Aku berdiri sempurna menghadap ibu. Tanpa sadar aku berkacak pinggang. Kalau ada orang lewat, pasti mereka akan mengira ibu sedang menyembahku.
"SREEET"
"AHH"
Aku terkejut sekali saat merasakan ada yang menarik turun celana kolorku. Saat aku menoleh ke belakang, tak kulihat adasiapapun di sana. Aku celingukan ke kiri dan ke kanan. Barangkali bisa menemukan pelakunya. Tapi tetap tidak kutukan siapapun.
"Aaaahh.... Ibu?"
Belum hilang satu keterkejutan, aku sudah dikejutkan dengan hal lain. Tanpa aku tahu sebabnya, tiba - tiba tubuh ibu bergerak. Kedua tangannya bertumpu di kedua pahaku, dan, ya Tuhan.
"Sssttt... Aaahhh... Bu, hentikan"
Ibh memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Tanpa bantuan tangan, ibu bisa melahap penisku yang tadinya mengacung ke atas. Padahal matanya terpejam. Aku tak bisa memungkiri ada kenikmatan yang kurasakan. Bibirnya menekan kuat, disambut lidah yang menggelitik, dan sedotan kuat seperti vakum cleaner. Belum lagi ibu melahap penisku sampai habis tak bersisa. Mungkin kalau belum aku cukur, bibir ibu akan bertemu dengan jembutku.
"Bu hentikan bu, ini salah. Sadar bu" seruku setengah berteriak.
Tapi ibu tak bergeming. Bahkan untuk beberapa detik aku bisa merasakan palkonku menbus tenggorokan ibu. Tapi ibu masih bisa bernafas. Kemudian ibu menarik kembali kepalanya.
"Bu"
Aku berteriak seperti membentak, tapi ibu seolah tak mendengar suaraku sama sekali.
"Oeh, kenapa kakiku... Astaga"
Aku mulai panik, aku sama sekali tidak bisa menggerakkan kakiku. Seolah kakiku dicor ke lantai ini sampai pahakupun tak bisa aku gerakkan.
"Ah ah ah ah ah ah"
Ibu mulai menggerakkan kepalanya maju - mundur. Aku harus terus terang, hisapan ibu llpalinh nikmat kurasakan daripada mbak yanti, apalagi letisya. Sedotannya membuat darah di penisku seolah tersedot keluar.
"Ah ah ah ah ah.... Aaaaaaaaaaaaa"
Aku mendapatkan lagi kenikmatan lubang sempit di pangkal mulutnya. Palkonku seperti dibekap, dan batang penisku serasa dipijat - pijat.
"Haaaahhh"
Beberapa detik kemudian ibu melepas penisku. Rasanya birahiku lebih cepat menanjak dari sebelumnya. Kalau saja tidak dilepas beberapa detik lagi, pasti pertahananku ambyar. Kutarik nafas sesaat. Mataku masih terpejam merasakan sisa deepthroath yang diberikan ibu.
"Plek plek"
Lagi - lagi ada yang usil padaku. Pundak kananku terasa seperti ditepuk lagi. Kutolehkan kepalaku ke belakang.
"Ha?"
Sesuatu yang sangat aneh sedang terjadi. Entah bagaimana ceritanya, dinding batu di belakangku seperti menghilang begitu saja. Berganti pemandangan sungai dan bagian belakang rumah aman ki sabdo.
"Ibu" pekikku.
"Ha?"
Ibu menghilang lagi dari pandanganku. Fix, ini asli aku berada di sungai. Aku bisa melihat beringin tua itu ada di kananku.
"Ibu"
Saat kesadaranku sudah pulih dari keterkejutan, akulabgsung berlari kembali ke beringin tua itu. Terakhir aku ingat, ibu masih ada di dalam sana. Setengah berlari aku masuk menembus rimbunnya akar gantung. Tak ada keraguan lagi seperti sebelumnya. Karena cahaya itu masih ada di tempat sebelumnya. Pintu masuk yang tadi aku lewati juga masih teebuka lebar. Tanpa basa - basi aku masuk dan berlari menuju tengah tanah lapang.
"Ibu" panggilku.
Suaraku menggema di seantero ruangan. Kali ini ibu berpenampilan lain. Bukan jarik kemben seperti tadi. Masih dengan corak batik, tapi kali ini ibu terliat memakai setelan pramugari. Memang, kata simbah, ibu pernah mengenyam pendidikan pramugari sembari kuliah. Dan sempat menjadi pramugari walaupun hanya tiga tahun. Sebelum akhirnya dipinang bapak. Masih seksi saja tubuh ibuku ini. Memang gila bapak, meninggalkan wanita secantik dan semontok ibu. Apalagi saat ibu dalam posisi menungging begini. Siapa yang tidak ser - seran? Aku saja yang notabene anaknya, mulai lupa akal. Bulatnya pantat ibu sangat mengundangku untuk menjamahnya. Terlebih balutan setelan pramugari itu sangat ketat dan menonjolkan setiap lekuk tubuh ibu. Tapi pertanyaan mengapa ibu begitu, lebih menyita perhatianku. Ibu dalam posisi sujud,.dengan kedua tangannya lurus ke depan. Sampai sikunya pun menyentuh lantai. Keningnya menyentuh lantai tanpa alas. Pinggangnya sangat ramping, tapi pinggulnya lebar. Kemolekan tubuh wanita Idaman para pria.
"Kreek"
Terdengar suara kain sobek. Bukan dari mana - mana, sumbernya kudengar dari tubuh ibu.
"Oh my God"
Ternyata rok ketat ibu yang sobek. Mana posisinya pas lagi di bagian pangkal pahanya. Sobekan itu cukup panjang, dampai aku bisa melihat alur belahan pantat ibu. Ada seutas tali kecil menyelip di belahan pantat itu. Dari seutas, tali itu bercabang dua di ujungnya.
"Oh my God"
Aku menganga tak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Begitu fokus mataku aku turunkan, cabang tali dari belahan pantat ibu tadi melebar menjadi dua carik kain tipis yang menutupi sesuatu. Tanganku bergetar, tapi seperti ada yang menuntunku untuk menyentuh kain putih itu.
"Ooohhh"
Penisku menegang maksimal. Saat aku sibak kain itu, aku bisa dengan jelasnya melihat bibir vagina ibu. Begitu indah, begitu mulus dan tembem. Yang istimewa, itu vagina ibuku. Vagina yang selama ini hanya bisa aku bayangkan bagaimana bentuknya. Vagina yang selaku menggelitik imajinasiku saat ibu memakai pakaian ketat.
"Sreeettt"
Celana kolorku melorot lagi. Tapi kali ini aku yang menurunkannya sendiri.
"Aaaaahhhhh... Buuuu"
Rasanya seperti terbang ke awang - awang. Kenikmatan yang kurasakan dari menusukkan penisku ke vagina ibu belum ada bandingannya. Semua rangsangan sudah menumpuk menjadi satu.
"Buu... Maafin andi ya... Andi nggak kuat... Ibu seksi banget bu... Uuuhhh"
Aku melenguh merasakan vagina ibu seperti berkedut. Seperti memijat - mijat penisku.
"Ah ah ah ah ah ah ah"
Kupompakan penisku, menggenjot vahina yang sepertinya memang dipasrahkan untukku. Dipasrahkan untuk aku icipi rasanya. Sangat legit, sangat menggigit, dan sangat becek. Tak bosan rasanya aku menggenjot walau hanya dalam posisi nungging. Semakin kugenjot, rasanya seperti semakin nikmat. Seperti semakin sempit dan menjepit.
"Plok plok plok plok"
"Oh oh oh oh... Akhirnya... Aku bisa ngentotin ibu... "
"Plok plok plok plok"
"Bokongnya... Bokongnya... Montok banget kalo nungging... Uuuh... Ssttt"
Aku menghayati setiap gesekan penisku dengan vagina ibu. Semua isi hatiku aku tumpahkan di situ. Semua omongan vulgar tentang ibu yang selama ini aku simpan, aku keluarkan semua. Dan ibu seperti tahu apa yang aku bicarakan. Vaginanya berkedut setiap kali aku memuji kemontokan tubuhnya. Bahkan sesekali vagina ibu meremas kuat saat aku bicara nakal tentang imajinasiku bersamanya. Tapi entahlah, aku juga tak peduli lagi.
"Plok plok plok"
Aku mempercepat tempo genjotnku.
"Ibu ibu ibu... Numpang buang pejuh ya buuuu" Kataku asal
"AAAAAAAHHHH"
"CROOOOOOOTTTT"
Ternyata aku sudah bisa mengeluarkan sperma. Dan rasanya banyak sekali.
"AAAAAAAHHHH"
Aku masih memekik kencang karena ledakan sperma di penisku terasa jauh lebih nikmat daripada kedutan orgasme sebelum ini.
"CROOOOOOTTT"
"Eeeerrrgggmmmmhhhhh"
Aku sampai menggeram merasakan ledakan kenikmatan yang belum kunjung berhenti.
"CROOOOOTTTT"
"Oooooohhh"
"Bruukk"
Aku ambruk ke belakang. Seketika lepaslah sudah penisku dari cengkeramsn vagina ibu. Spermaku masih memancar beberapa kali. Sampai aku benar - benar kewalahan dengan orgasmeku sendiri. Aku tak mampu bergerak saking lemasnya. Aku hanya bisa memandangi spermaku yang mukai meleleh keluar dari vagina ibu. Pemandangan itu pun perlahan kabu, kabur, kabur, dan gelap.



POV. SANDRA

Aku sudah pasarah sepasrah - pasrahnya. Semua alur ritual aku jalani tanpa banyak mbantah. Bertanyapun aku tidak. Setelah ritual pertama sukses, aku lanjut ke ritual inti. Ada banyak sekali mantra yang harus aku rapalkan. Termasuk mandi kembang, minum air tujuh sumur, sama apa lagi tadi. Terakhir yang dibilang ki sabdo paling berat adalah tapa kungkum. Bayangkan saja, di saat malam dingin sampai berkabut, aku harus berendam di tengah sungai. Tapi demi andi, apapun akan aku lakukan. Kalaupun pada akhirnya aku terkena hipotermia, itu urisan nanti. Tapi yang terberat justru bukan hawa dinginnya. Gapi godaannya. Bagaimana tidak, godaan yang aku terima sama sekali tidak pernah aku bayangkan. Mendingan dikasih lihat jin, demit, atau apalah. Daripada digoda dengan nayangan anakku sendiri. Aku merasa seperti dimainkan. Di saat semedi, aku merasa ada andi di dekatku. Aku merasa dia menyapaku, membenahi kembenku yang melorot. Yang paling berat adalah saat aku dipaksa untuk berhubungan badan dengannya. Hatiku berkecamuk dengan berbagai macam perasaan. Jauh lebih dahsyat rasanya daripada saat aku harus memasukkan kelamin bapak kedalam vaginaku. Karena andi adalah anakku, anak yang aku lahirkan sendiri. Bagainana mungkin anakku sendiri menikmati ibunya sendiri. Menikmati jalan dimana dia keluar ke dunia ini. Apalagi menyemburkan benih yang tak seharusnya disebar di vagina ibunya sendiri.
"Bangunlah sandra"
Sebuah suara menyapaku. Suara yang masih asing buatku. Aku yakin itu hanya godaan untuk membuyarkan semediku.
"Bangunlah sandra, aku sekar kemuning"
Suara itu menggema lagi di telingaku. Tapi aku masih bersikukuh dalam semediku.
"Pakunjaran cokro gegono muspro. Sun aturke sembah panuwun klawan riko"
Bagai mendapat durian runtuh, air mata bahagiaku menyeruak tak bisa kubendung. Kalimat inilah yang aku tunggu sejak tadi. Kalimat yang diberitahukan ki sabddo hanya kepadaku. Sebagai sandi, bahwa yang menyampaikan kalimat itu adalah benar nyai sekar kemuning. Barulah perlahan aku membuka mataku. Di antara temeram lampu neon, aku melihat sesosok wanita anggun berdiri di depanku. Pakaiannya khas sekali wanita jaman kerajaan. Dia tersenyum padaku. Tapi kini aku tidak lagi berada di dalam sungai. Tapi sudah berpindah tempat, di samping pohon beringin.
"Permohonanmu aku terima nduk cah ayu" katanya sambil tersenyum.
Di belakangnya ada sesosok tinggi besar berwarna hitam. Hanya kakinya yang nisa aku lihat. Di sebelahnya ada seorang anak laki - laki seumuran andi. Tapi pakaiannya juga khas orang dari jaman kerajaan. Aku memberikan sembah hormat seperti yang di sarankan ki sabdo.
"Pulanglah, dan bukalah ruang bawah tanahmu. Aku sudah berikan apa yang kamu butuhkan" kata nyi sekar kemuning.
"Terimakasih nyi sekar atas pertolongannya"
"Sama sama sandra" jawab nyai sekar kemuning. Sesaat kemudian nyi sekar menoleh ke kiri. Aku tertarik melihat apa yang dia lihat.
"Andi" pekikku
Tanpa basa - basi aku langsung melompat ke tempat anakku tergeletak. Dia masih bernapas, tapi tidak merespon panggilanku.
"Biarkan dia beristirahat. Dia tidak apa - apa. Tadi, adalah pengalaman pertamanya menjadi laku - laki dewasa" kata nyai sekar.
"Laki - laki dewasa?"
"Ya, bukankah kamu juga merasakan itu?"
"Jadi... Jadi... Tadi itu?"
"Bukan, yang dia nikmati adalah tubuhku. Aku hanya meminjam bentuk tubuhmu. Karena penasaran sekali dengan tubuhmu. Dan rasa penasaran itu akan menimbulkan hasrat yang sangat tinggi, itu berarti akan menghasilkan energi yang lebih tinggi. Semakin tinggi energinya, semakin tinggi pula kemungkinan belenggu kutukan itu terlepas"
"Belenggu? Oh, iya. Kutukan" kataku tergagap.
Aku baru paham, memang setiap makluk yang terbelenggu pasti ingin merasakan kebebasan.
"Tetttt... Tteett... Tapi... Tapi... Tadi itu?"lanjutku masih tergagap.
"Itu hanya telepati saja, sandra. Aku menyelaraskan otakku dengan otakmu. Sehingga apa yang aku rasakan, bisa juga kamu rasakan"
"Oh... Baik... Maafkan saya nyai" kataku merendah.
"Tidak apa - apa sandra. Aku tahu kamu pemalu. Tapi yang jelas, anakmu akan menjadi lelananging jagad"
"Lelananging jagad?"
"Ya, dia akan dicintai banyak wanita, karena keberhasilannya menjadi saudagar besar, karena ketampanannya, kegagahannya, dan keperkasaannya"
"Berarti?"
"Ya, jangan kamu larang kalau dia lagi menggagahi perempuan. Itu sudah menjadi takdirnya"
"Tap... Tap... Tapi, apa harus begitu?"
"Ya, kalian sudah menyerap sebagian energi abadi dari alam gaib. Jika tidak disalurkan, dia malah bisa gila. Energi itulah yang akan melindunginya dari segala ancaman. Pusaka sesakti apapun tak akan sanggup melukainya. Santet, tenung sekuat apa juga, tak akan sanggup mendekatinya. Tapi seperti halnya danau buatan, ada saluran masuk, harus ada pula saluran buangnya. Kalau tidak, saat kemasukan air bah, danau buatan itu bisa jebol. Menggagahi wanita, adalah cara paling aman menyalurkan energinya. Jangan sampai dia berkelahi hanya karena sesuatu yang tidak penting. Sekali energinya keluar, tak ada manusia biasa yang sanggup menahannya. Jangan khawatir sandra, aku akan membimbingnya. Lagipula, dia anakmu, dia mewarisi rasa malumu. Dia tahu kapan harus mengumbar birahinya, dan kapan dia harus menahan diri"
"Sendiko dawuh nyai dewi" jawabku.
"Pulanglah, dan pulihkan kondisinya. Nanti aku kirimkan undangan untuknya" perintah nyai sekar.
"Undangan?" Tanyaku pendek.
"Sendiko nyai" lanjutku. Aku paham undangan apa itu.
"Tenang saja, aku tidak mungkin melukai pangeranku sendiri. Anakmu adalah anakku juga. Kamu adalah saudaraku. Kalian adalah pahlawanku. Aku dan pangeran gagak sedayu, bisa bebas karena kalian. Jadi, kamu tidak perlu khawatir, sandra"
"Baik nyai dewi. Maafkan kelancangan saya"
"Tak apa sandra, Aku mengerti. Pulanglah, dan selesaikan urusanmu"
"Baik nyai dewi" jawabku.
Kuberikan salam sembah saya untuknya. Perlahan tapi pasti, ada sekumpulan asap putih menyelimuti tempat aku bersimpuh. Beberapa detik lamanya asap itu memyelimuti kami. Dan saat asap itu menghilang, nyai dewi sekar kemuning, pangeran gagak sedayu dan makluk di belakang mereka tadi, ikut menghilang dari pandangan mataku. Kali ini perhatianku sepenuhnya tertuju pada anakku. Dia masih belum sadarkan diri.
"Sandra"
Sebuah suara memyita perhatianku. Tapi bukan suara nyai dewi.
"Evie? Ki sabdo?" Gumamku
"Kamu nggak papa san?" Tanya evie
"Mari, saya bantu bawa andi ke bangsal perawatan" kata ki sabdo. Aku lihat bapak juga ikutan mendekat.
"Mari ki" kata bapak.
Mereka berdua membopong andi ke bangsal perawatan. Aku sendiri harus dibantu evie untuk bisa berdiri. Berjalanpun aku sempoyongan. Sesampainya di bangsal perawatan, ternyata sudah ada dokter yang menunggu. Langsung andi diperiksa.
"Andi tidak apa - apa. Dia baik - baik saja. Dia hanya kelelahan dan butuh istirahat" kata dokter itu.
"Terimakasih dokter" kataku.
Lega hatiku mendengar penuturan dokter itu. Kupeluk andi di depan mereka. Aku tak peduli dengan pakaianku saat ini. Yang pasti aku lega sekarang.
"Ibu sebaiknya ganti pakaian dahulu, untuk kemudian saya periksa juga" kata dokter itu lagi.
"Oh, baik dok" jawabku.
Aku berlalu meninggalkan bangsal perawatan. Evie membimbingku menuju rumah aman. Di kamar depan, evie sudah menyiapkan pakaianku. Bahkan dengan telaten dia membantuku berpakaian.
"Makasih vie" kataku.
Kupeluk tubuhnya, tangisku pecah merasakan keharuan yang teramat sangat. Satu anugerah yang tak bisa tergantikan dengan apapun juga adalah andi dan evie. Aku tak tahu lagi bagaimana aku harus membalas budi baiknya.
"Iya san, sama - sama. Aku cuman punya tenaga. Dulu kalian ngasih segalanya buat aku. Sudah seharusnya kan aku balas kebaikan kalian? Meski hanya sekelumit aja" jawab evie.
"Makasih ev" kataku lagi.
Evi mengingatkanku kalau aku masih ditunggu sama pak dokter. Kulepaskan pelukanku dan kuikuti langkah evie kembali ke bangsal perawatan.
"Syukurlah, ibu juga baik - baik saja. Ada baiknya ibu juga istirahat di bangsal ini, agar bisa dipantau sama perawat. Dan juga, agar mudah mendapatkan akses kesehatan" saran pak dokter.
"Termakasih pak dokter" jawabku.
Dokter itupun pergi, meninggalkan beberapa perawat jaga di sini. Ki sabdo tersenyum padaku. Dia memberiku ucapan selamat. Aku bingung harus menjawab apa. Aku hanya bisa berterimakasih padanya.
Saat pagi menjelang, anakku andi sudah sadar. Saat melihatku tidur di sampingnya, dia sangat ketakutan sampai jatuh dari ranjang perawatan. Seisi bangsal terkejut dibuatnya. Rupanya kejadian semalam masih sangat lekat di ingatannya. Dan dia sangat takut kalau aku akan marah atas kelakuannya. Perlahan aku dekati dia, dia terus berlari tanpa arah. Sampai akhirnya dia tersudut di pojok ruangan. Dia meringkuk memghadap tembok. Dia tutupi kepalanya seolah bisa menyembunyikan keberadaannya. tubuhnya menggigil karena takut.
"Maafin andi, bu. Andi udah durhaka sama ibu" katanya. Tangisnya pecah.
"Andi, andi, lihat ibu, sayang!" Pintaku.
"Maafin andi, ibu. Andi durhaka sama ibu" katanya lagi.
"Sayang, lihat kemari nak" pintaku.
"Maafin andi bu... Maafin andi"
"Sayang, dengerin ibu, nak. Yang kamu gagahi semalam itu, bukan ibu. Itu nyai dewi sekar" kataku langsung pada intinya.
"Ha?"
Andi terkejut mendengar perkataanku. Wajahnya seketika memandang ke wajahku. Terlihat sekali raut ketakutan pada wajahnya.
"Andi.... andi.... andi nggak salah denger bu?" Tanyanya memastikan.
"Iya sayang. Itu hanya ilusi mata. Nyai dewi meminjam bentuk raga ibu, bukan tubuh ibu. Dengan kata lain, nyai dewi sedang menyamar menjadi ibu" jawabku.
"Tap... Tap... Tapi?"
"Apa? Ibu ngilang?"
"I... I... Iya... Andi... Andi... Andi sempet meluk ibu. Tapi ibu ngilang. Andi... Juga nggak bisa ngerasain ibu"
"Iya, ibu juga ngerasain kehadiran andi. Ibu juga masih bisa denger waktu andi kebingungan. Itu semua ilusi, sayang. Bisa juga dibilang sihir. Otak andi udah dipermainkan, seokah andi nggak liat dan nggak ngerasain tubuh ibu. Padahal ibu ada di sana, nggak kemana - mana"
"Tap... Tap... Tapi... Tapi bu... ?"
"Ibu juga sama bingungnya. Ibu juga ngerasain apa yang andi rasain"
"Astaga... Ampun bu" kata andi, dia bersujud lagi di pangkuanku.
"Itu semua hanya sihir sayang. Permainan syaraf dan otak. Andi sama ibu, nggak bener - bener nyatu dalam persetubuhan semalam. Ibarat komputer, komputer andi bisa ibu remote dari jauh. Seolah - olah, ibu lagi make komputer andi, padahal enggak"
"Ja... Ja... Jadi... Andi... Andi...?"
"Iya, andi nggak durhaka kok sama ibu. Andi tetep anak ibu, tetep kebanggaan ibu" sahutku.
"Ibu"
Kali ini tangisnya benar - benar pecah. Ketakutannya akan kemarahan ibunya membuat kalimat terakhirku tadi layaknya angin surga. Rasa lega dan haru dia tumpahkan semua dalam tangisnya. Aku bahagia sekali pagi ini, mendapati kenyataan bahwa aku mempunyai seorang anak yang begitu hormatnya padaku. Ketakutannya padaku melebihi ketakutannya pada maut yang kemarin mengincarnya.
"Nak, siap - siap yuk. Kita harus pulang. Kamu udah baikan apa masih butuh istirahat?" Tanyaku membuka suara.
Andi melepas pelukannya. Kuberikan seulas senyum untuknya. Dia hanya mengangguk dan mengacungkan jempol kanannya. Aku tersenyum laku berdiri. Kubantu dia berdiri meski dia sudah kuat berlari. Beberapa pasien dan keluarganya yang melihat kejadian ini, memberikan aplaus meriah. Mereka ikut bahagia melihat happy ending kami. Aku ucapkan terimakasih pada semua atas dukungannya.
Satu jam kemudian, aku, andi, bapak, evie, yanti, dan letisya, sudah selesai mandi. Kita semua ada di ruang tengah untuk bersiap pulang. Kulihat andi lebih ganteng dan gagah dengan baju baru pemberian evie. Letisya juga terlihat anggun dengan gaun biru. Seperti pekerja kantoran saja tampilannya.
"Emh, raisa punya saingan nih sekarang" celetuk evie.
Matanya menunjuk sebentar ke letisya. Yang ditunjuk bingung, sedangkan aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Tak lama kemudian, kita sudah siap untuk pulang. Ki sabdo sudah menyambut kita di meja resepsionis.
"Do, kita pamit dulu ya. Terimakasih udah nolongin kita" kata bapak pada ki sabdo.
"Kamu ngomong apa sih, gas?" Elak ki sabdo ramah.
"Benar ki, kami sangat berterimakasih atas pertolongan ki sabdo. Sekarang saya merasa lega, ki" sahutku.
"Syukurlah. Cepatlah pulang, msdih ada yang harus kalian selesaikan" jawab ki sabdo.
"Tapi, preman - preman itu, bagaimana?" Tanya letisya.
"Tenang cah ayu, aku sudah memagari rumah kalian. Untuk sementara, kalian akan aman. Kamu juga segera pulang ya nduk. Kasihan orang tuamu nungguin" jawab ki sabdo. Senyumnya merekah.
"Baik ki, maaf, saya lancang memyela pembicaraan"
"Tidak apa - apa nduk. Oh ya, jangan lupa bekalnya. Bukannya aku nggak mau menjamu kalian lagi, nih. Hahaha"
"Repot repot amat sih do" sahut bapak.
"Ya abisnya, kamu kalo laper galak. Kasihan bocah - bocah ini. Hahaha"
"Hahaha... Bisa aja. Ngomong - ngomong, makasih banget"
"Iya, bagas. Sama - sama. Dulu waktu aku masih blangsak, siapa yang nolongin? Kamu kan? Nasi kotak sih, apa, gas? Hahaha"
"Makasih do" kata bapak. Dia memeluk ki sabdo dengan hangatnya.
Kami berpamitan pada ki sabdo dan asistennya. Kali ini kita menumpang mobilnya evie. Ada supir kantor mengantarkan mobil itu sejam yang lalu. Dan kita langsung meluncur menuju rumah bapak.
"Sini aja tante, tisya pulang sendiri aja" kata letisya saat hendak diantar pulang.
"Nggak papa sayang. Nggak sopan kalau tante nggak anterin" sahut evie dari depan.
Akhirnya kita mengantarkan letisya sampai di rumah. Lagipula hanya di belakang rumah bapak. Ibarat kata, numpang parkir juga pasti dikasih. Betapa harunya pertemuan mereka pagi ini. Aku berkali - kali mengucapkan permintaan maaf. Dan ibunya letisya, yang notabene adalah sahabat kecilku, sahabat evie juga, tidak sungkan untuk memaafkanku. Mereka hanya khawatir saja, tapi percaya sepenuhnya padaku dan evie. Akhirnya kami pamit pulang. Dan benar, mobil kita parkir di halaman rumah letisya. Langsung saja kita masuk ke dalam rumah. Tak kupedulikan betapa berantakannya rumah ini akibat keganasan preman - preman kemarin. Bapak dan evie juga tak peduli. Hanya andi yang kulihat tertegun melihat rumah simbahnya hancur berantakan seperti ini. Tapi apa yang ada di ruang bawah tanah lebih menggodaku untuk mendekat. Kubiarkan andi di ruang tamu bersama yanti. Kita langsung menuju dapur.
"Kok nggak bisa dibuka, pak? Apa bapak kunci?" Tanyaku.
"Enggak. Bapak nggak pernah ngunci ruang bawah tanah" jawab bapak.
"Oglek oglek oglek"
"Nggak bisa pak" kataku lagi.
"Coba sini" kata bapak. Dia mengambil kunci dari lemari dapur.
"Loh kok nggak bisa?" Kata bapak setelah mencoba membuka beberapa kali.
"Coba aku lagi pak" kataku.
"Oglek oglek oglek"
"Kok nggak bisa sih?" Keluhku.
"Hei, kamu siapa?"
Suara andi mengagetkan kami semua. Dia menggertak seolah melihat orang asing bersama kami. Tapi dia meliat ke atas, seolah orang itu tinggi.
"Apa kamu nggak kenal siapa yang lagi buka pintu?" Tanya andi lagi. Tangannya dia acungkan sambil suaranya ditekan sampai selevel menantang duel. Matanya melotot seperti tak punya rasa takut.
"KLEK... KRIEEEEET" pintu terbua sendiri.
"Pak?" Tanyaku.
"Udah hayu" ajak bapak.
Kamipun turun ke ruang bawah tanah. Agak dalam ruang bawah tanah rumah ini. Bisa dibilang, satu setengah lantai ke bawah. Dan tangganya pun didesain spiral. Sampai di ujung tangga, aku melihat cahaya kuning memancar bagai lampu neon watt tinggi.
"Astaga" gumamku.
Mau pingsan rasanya melihat apa yang ada di depanku. Tapi aku kuatkan kakiku untuk bisa melangkah ke depan.
"Emas?" Gumamku
"Kreek" aku menggigitnya
"Asli, murni" kataku melihat adanya bekas gigitan di batangan emas itu.
"Hahahaha... Kamu berhasil nduk" kata bapak memelukku.
"Kamu berhasil sandra" pekik evie. Dia juga memelukku.
Kami bertiga menangis bahagia. Bagaimana tidak, ada ratusan, bahkan mungkin ribuah batangan emas memenuhi ruang bawah tanah. Satu batangnya sekitar satu kilogram. Satu batangnya saja bisa terjual hampir satu miliar. Kalau ada seratus batang saja, bayangkan apa yang bisa aku lakukan.
"Segera urus yang harus diurus bu. Waktu ibu nggak banyak"
Lagi - lagi Suara andi mengagetkan kami. Dia berdiri di ujung tangga. Dan wajahnya sama sekali tidak menggambarkan kesenangan atas ratusan batang emas ini. Dia hanya terlihat bahagia melihatku bisa tertawa lagi.
"Andi ingin tawa ibu benar - benar lepas" lanjutnya.
Serta merta aku peluk dia, diikuti bapak dan evie. Bahagia rasanya merasakan perjuanganku dari kemarin membuahkan hasil yang luar biasa.
"Hayu bu, bawa dua batang. Andi antar" kata andi lagi.
"Tunggu nak, belum saatnya kamu menjaga ibumu. Biar simbah saja" kata bapak.
"Iya ndi, mending kamu bantuin yanti beres - beres" sahut evie.
Andi malah tersenyum dan melihat ke kanan atas. Kita bingung dibuatnya.
"Tenang bu, andi nggak sendiri. Andi punya bodyguard" jawabnya cengengesan. Aku bingung dengan kalimatnya itu.
"Ya sudah, kita barengan aja" ajak simbah.
"Hayu"
Kuambil dua batang emas dari tumpukan. Kumasukkan ke dalam tas, dan beranjak naik ke lantai satu.
"Jaga baik - baik ya. Meleng dikit, bisa dipecat kamu" kata andi. Dia menunjuk ke arah pintu ruang bawah tanah. Aku jadi paham mengapa tadi pintu itu tidak bisa dibuka.
"Mau ngapain bu?"
"Oglek oglek oglek"
"Nggak bisa" gumamku. Andi hanya tersenyum dan malah mengajak tos.
"Plak"
"Astaga" pekikku kaget.
Tangan andi mengeluarkan suara persis orang lagi tos. Aku langsung lari ke depan. Sekilas aku melihat bapak dan evie menatap bingung ke andi. Kita langsung meluncur ke sarangnya para preman itu. Tempat para penjudi kumpul. Aku berjalan masuk dikawal andi. Tak sedikitpun dia terlihat takut dengan para preman itu.
"Braak"
andi melemparkan tasku ke atas meja bos preman itu.
"Udah kita lebihin dari apa yang kalian minta. Jadi, jangan ganggu kita lagi"
"Hmm... Boleh juga nyali lo bocah" jawab si bos preman itu. Asap dari rokoknya mengepul memenuhi ruangan.
"Oke, aku anggap selesai urusan kita. Tapi alu pengen tahu, apa nyalimu cukup buat nganterin kamu pulang anak kecil?" Lanjutnya. Seketika gerombolan preman penjaga di ruangan ini mengepung kami.
"GUBRAAAK... BAK BAK BAK.... BRAAAAKK"
Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Dalam waktu singkat, seisi ruangan menjadi kacau bak kapal pecah. Dan para preman yang mengepung kami, semuanya tergeletak bersimbah darah.
"Apa?"
Si kepala preman itu ternganga tak percaya.
Kami pun pulang tanpa ada yang berani menyentuh. Mereka pasti tidak mau menjadi korban dari makluk tak kasat mata. Lega rasanya bisa melunasi hutang mas beni. Andi terlihat bahagis sekali melihatku bisa tertawa lepas.
"Ndi, tadi itu apa?" Tanya evie
"Oh, itu bodyguard andi, tant?"
"Sejak kapan kamu punya bodyguard?"
"Sejak tadi pagi"
"Tadi pagi?"
"Iya. Tadi pas mandi, nyai dewi sekar datang sama pangeran gagak sedayu. Mereka memgenalkan diri dan cerita semua tentang ibu"
"Astaga, semua?" Tanyaku. Andi tersenyum.
"Ya" jawabnya kemudian.
"Terus, hubungannya?" Tanya evie
"Ya, nyai dewi memberiku tiga pengawal. Yang dua, cewek, dari tim mawar. satu lagi cowok, dari tim pendobrak"
"Ha, tim mawar?" Tanya simbah bingung.
"Hahaha... Itu istilah andi aja mbah, paspampres yang bersentuhan langsung sama presiden kan tim mawar" jawab andi.
"Kayaknya sekarang nggak dipake deh istilah itu. Ya tapi emang dulu begitu, jaman pak karno" kata bapak
"Hmm... Jangan dibuntingin ya, repot ibumu entar" celetuk evie
"Yang bener aja tant" jawab andi
"Iya ih, ada ada aja lu ev" sahutku.
Mobil evie meluncur tenang menuju rumah. Di tengah jalan evie memintaku menggantikannya menjadi sopir, karena ada berkas yang harus dia urus via online. Saat kita tiba di rumah, ternyata banyak orang sedang membereskan puing - puing perabotan. Ternyata warga sekitar berduyun - duyun datang membantu yanti. Sampai terharu aku melihatnya. Tak henti - hentinya aku ucapkan terimakasih pada mereka. Aku suguhkan teh hangat dan dingin sebagai jamuan. Kopi juga dan gorengan. Walau tak ada jamuan makan, tapi mereka senang bisa membantu kami. Hanya dalam waktu singkat, rumah bapak sudah kembali rapi. Walau banyak perabotan tak bisa digunakan lagi dan harus diganti. Tapi tak apa, besok kita ganti dengan yang lebih bagus. Bapak menyarankanku untuk berbagi dengan warga kampung. Karena menurut bapak, mentari pagi akan bersinar cerah, jika tidak ada mendung yang menghalangi. Ya, semakin banyak sinar mentari pagi kudapatkan, semakin cerah masa depanku nanti. Ayo nak, kita songsong masa depan kita.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd