Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kisahku, yang....!!!!

Siapakah yang akan menjadi pendamping hidup Ivan..?

  • Risya

    Votes: 243 68,3%
  • Alya

    Votes: 75 21,1%
  • Dinni

    Votes: 73 20,5%
  • Nadira

    Votes: 49 13,8%
  • Karakter baru

    Votes: 61 17,1%

  • Total voters
    356
  • Poll closed .

SEBUAH KENYATAAN



Alya Alvira Darmawan

42630077_321738835042618_3251902588761101061_n.jpg
"Apa yang kamu lakukan dengan ADIKKU...!!!" kata Alya dengan suara yang keras dan tatapan tajamnya pun di arahkan ke matanya Ivan. Dia seperti mengetahui apa yang dilakukan Ivan pada Risya, karena dia dapat merasakan sesuatu yang berada di dalam mulut Ivan saat mereka melakukan ciuman beberapa menit yang lalu.



DEGH...!!!



"Kamu tak bisa membohongiku, Rey. Aku bisa mencium aroma cairan wanita saat terangsang dari dalam mulutmu itu.." kata Alya dalam hati sambil mengeratkan giginya, seperti orang yang sedang menahan emosi.


"Adikku...? maksud kakak apa..?" tanya Ivan merasa heran dengan kalimat yang dilontarkan oleh Alya.

Ivan mencoba untuk bangun dari posisinya yang masih tidur terlentang di atas ranjang kamar hotel. Namun, kedua telapak tangan Alya dengan cepat menahan dada Ivan, hingga membuat tubuh Ivan kembali dalam posisi tidur terlentang. Selain dadanya yang ditahan, Alya yang masih duduk di atas pahanya juga makin membuat Ivan sulit untuk bangun.

"Kamu jangan mencoba mengalihkan pembicaraan, Rey.." kata Alya tegas dan masih menatap mata Ivan dengan sangat tajamnya. Namun Ivan yang juga masih dilanda rasa bingung, mencoba tetap santai menatap mata kakaknya yang berprofesi sebagai dokter itu.

"...." Ivan hanya bisa diam, tak bisa menjawab apa yang dilakukannya pada Risya di kamar hotel miliknya ini.

"Apa yang kamu lakukan pada Risya di kamar tadi..?" tanya Alya dan kedua tangannya pun menekan dengan kuat dada Ivan, hingga membuat Ivan yang awalnya terlihat masih santai, kini agak kesulitan mengeluarkan nafasnya.

"Heeuup... Haash... Heeuup... Haash..."

"Jawab Rey, kamu jangan diam aja.." kata Alya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Ivan menahan kedua pergelangan tangan Alya yang menekan dadanya, agar Alya sedikit mengurangi tekanan pada dadanya. Sehingga Ivan pun kini dapat menarik nafas panjang dan mengeluarkannya dengan rasa lega.

"Huufff Haashh..."

"Ma..ma.. maaf Rey.."

"Kakak terlalu kuat ya nekan dada kamu..?"

"Huufff Haashh... Huufff Haashh..."

"Udah. Gak apa-apa kok kak.."


"Rey..?"

"Apa yang kamu lakukan dengan Risya..?"

"...." kembali Ivan hanya diam tak menjawab pertanyaan dari Alya.

"Kak... Rey gak mungkinlah ngomongin apa yang sudah Rey lakukan dengan kak Risya di kamar tadi. Masa Rey harus bilang kalau Rey tadi mau memerawani kak Risya, ya gak mungkinlah kak. Pasti nanti kakak bakal lapor sama mama kan..?? Haahh.. Asemmlah, suasananya gak enak banget ini...!!!" kata Ivan dalam hati.


"Hikss.. Tolong jawab dengan jujur.."

"Hikss.. Hikss.."

"Rey tidak melakukan apa-apa dengan kak Risya.."

"Tolonglah Rey.."

"Jawab dengan jujur.."

"Apa yang telah kamu lakukan pada Risya.." kata Alya, kemudian seketika tubuhnya lemas dan jatuh di atas tubuh Ivan dengan kepalanya mendarat di atas dada Ivan.

"Kak Alya..? kak..? kakak gak apa-apa kan..?" tanya Ivan khawatir melihat tubuh Alya yang tiba-tiba jatuh di atas tubuhnya. Ivan memegang kedua sisi pipi Alya, kemudian dia sedikit mengangkat wajah Alya dan melihat raut wajah kakak sepupunya itu yang sudah pucat.

"Wajah kakak pucat banget. Kakak sakit ya..? Kita ke klinik terdekat aja yuk..?" ajak Ivan yang kini semakin khawatir melihat kondisi Alya yang tubuhnya semakin lemas.

"Bukan itu jawaban yang ingin kakak dengar dari mulutmu, Rey.." kata Alya dengan deraian air mata yang mulai mengalir membasahi wajah cantiknya itu.

"Ini bukan waktu yang tepat untuk bahas masalah yang gak penting kayak gitu. Sebaiknya sekarang kita ke klinik dulu ya..? Aku gak mau kakak sampai sakit hanya karena mikirin masalah yang gak penting gitu.." kata Ivan terus membujuk Alya agar mau pergi ke klinik.

"Apa kamu bilang..?"

"Hikss.. Itu tidak penting..?"

"Itu sangat penting buat kakak, Rey.."

Dan untuk yang kesekian kalinya, Ivan tetap bersikap cuek dengan perkataan yang keluar dari mulut Alya. Ivan lalu menggerakkan tangan kanannya ke arah pantat Alya dan tangan kirinya ke arah leher bagian belakang Alya. Dia berniat membaringkan tubuh Alya di atas kasur yang sedang di tempatinya itu. Dan dengan secara perlahan, dia membalikkan tubuh Alya hingga posisinya kini berubah. Saat Ivan membalikkan tubuh kakaknya itu, Alya langsung memeluk tubuh Ivan karena takut jatuh. Tetapi itu makin membuat Ivan dengan mudah untuk membalikkan tubuh Alya. Kini tubuh Ivan yang berada di atas dengan menindih tubuh Alya.


"Kakak mohon, Rey.." kata Alya memelas, kemudian melonggarkan pelukannya pada tubuh Ivan.

"Kakak janji kalau kamu mau bicara dengan jujur, kakak tidak akan marah sama kamu.." kata Alya lagi sambil memegang tangan Ivan yang kini sedang memegang pipi kirinya.

"Oke, Ivan akan bicara dengan jujur. Tapi beneran kak Alya gak apa-apa..?" tanya Ivan yang khawatir akan kondisi kakaknya itu.

"...." Alya pun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sangat pelan sekali sambil menatap wajah Ivan.

Ivan bergerak ke samping dan duduk tepat di sebelah Alya yang masih tiduran. Melihat Ivan yang telah duduk bersila di sebelahnya sambil memandangi Alya dengan wajah yang serius, Alya pun ikutan duduk di atas ranjang dengan bergerak secara perlahan. Tak lama kemudian mereka telah duduk dengan saling berhadapan.


"Hmmm.. hmm.. Rey memang ingin melakukannya tadi kak.." kata Ivan kemudian menundukkan wajahnya.

"Maksudnya..?" tanya Alya dengan bibir bergetar. Alya sebenarnya sudah paham arah pembicaraan dari Ivan, namun Alya masih berusaha memastikan kalimat yang baru diutarakan oleh adiknya itu.

"Aa.. aaa.. anu kak.."

"Katakanlah..!!"

"Tadi Rey memang ingin meniduri Kak Risya. Ivan jr baru sempat masuk, tapi belum sampai mengambil perawannya kak Risya.." kata Ivan menjelaskan kemudian menundukkan wajahnya lagi.

"Mati aku... Ini pasti kak Alya bakal laporin aku sama mama atas apa yang aku lakukan pada kak Risya tadi.." kata Ivan dalam hati. Tubuh Ivan kini bergetar dengan hebatnya, dia seperti merasa ketakutan kalau-kalau sampai si Alya melaporkan tentang pengakuannya tadi pada mamanya.


"APAAA...!!!" kata Alya terkejut dengan kedua mata yang membelalak.

Kini kembali dari kedua matanya Alya mengalir air hingga turun membasahi pipinya. Alya tak menyangka kalau Ivan tega ingin memerawani Risya, wanita yang selama ini secara diam-diam selalu di pantau olehnya, yang dari sejak lama dia tak mau sebenarnya berpisah dari wanita tersebut. Wanita yang paling disayanginya setelah ibunya sendiri.


"Hiks.. Hiks.. Hiks.."

"Kenapa Rey..?"

"Kenapa..?"

"Kenapa kamu tega melakukan itu pada Risya..?"

"Kenapa kamu ingin menyetubuhinya..?"

"Tidakkah kamu tahu, kalau apa yang kamu lakukan tadi itu bisa merusak masa depannya.."

"Tidakkah kamu sadar akan hal itu..?"

"Kamu nodain dia, sama aja kamu mau menghancurkan masa depannya, Rey.."

"Lalu, apa bedanya kamu dengan orang yang menculik Risya dulu..?"

"Haaah..?"

"Jangan diam aja.."

"JAWAB...!!" kata Alya dengan emosinya yang sudah memuncak, dia tak mampu lagi menahan emosinya agar tidak keluar.

"Kamu mau melakukan seperti apa yang dilakukan Bram..?"

"Ternyata kamu sama bejatnya kayak dia.."

"Asemmlah... Tadi kakak bilang kalau aku bicara dengan jujur kakak gak akan marah sama aku, namun lihatlah sekarang. Kak Alya bukan hanya marah sama aku, tapi ini sudah berada di level emosi paling tinggi. Masa kakak tega sih bilang adeknya sendiri bejat seperti bajingan laknat satu itu. Haahh, tahu gini aku gak usah cerita aja tadi. Asemm..!!!" kata Ivan kesal dalam hati.


"Kak.." panggil Ivan pada kakaknya itu sambil mengangkat sedikit wajahnya menatap Alya.

"Apa..?" jawab Alya dengan intonasi yang sedikit keras.

"Cukup kak, cukup sudah.." kata Ivan dengan mata mulai berkaca-kaca.

"Aku gak akan berhenti melihatmu yang sudah kelewatan gini.." kata Alya yang memanggil dirinya sendiri 'Aku' di depan Ivan, tidak dengan sebutan kakak seperti biasanya.

"Jangan samakan aku dengan bajingan itu, aku gak suka.." balas Ivan yang juga menggunakan kata aku.

"Heeh, kamu tidak suka ya..? tapi perbuatanmu sama kayak dia.." kata Alya yang seperti membunuh Ivan melalui perkataannya tadi.

Ivan menarik nafas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan. Dia berusaha menenangkan dirinya agar tidak mudah tersulut emosi dari kata-kata kakaknya yang mulai tidak enak di dengar oleh telinganya.

"Aku sangat menyayangi kak Risya, kak.."

"Aku gak mau lagi menyakiti hatinya.."

"Kami saling mencintai dan kakak pasti tahu akan hal itukan..?"

"Lagian kak Risyanya sendiri bersedia kok melakukannya denganku tanpa adanya paksaan sedikit pun.." kata Ivan mencoba membela diri.

"PLAAAKK..."

Sebuah tamparan keras mendarat dengan telak di pipi sebelah kiri Ivan hingga wajahnya pun tertoleh ke arah kanan. Pandangan Ivan hanya tertuju pada sebuah meja yang terdapat di sudut kamar hotel itu. Ivan hanya berdiam diri dan tak melakukan gerakan sedikit pun. Namun beda halnya dengan Alya setelah tangan kanannya secara reflek menampar pipi Ivan dengan kuat, tubuhnya pun langsung bergetar hebat..

"Ma.. ma.. maafin kakak, Rey.."

"Kakak benar-benar gak sengaja menampar pipi kamu tadi.." kata Alya sambil memegang kedua pipi Ivan dan sedikit menarik wajah Ivan hingga pandangan mereka pun bertemu. Mata Alya kembali berkaca-kaca setelah melihat bekas tangannya yang memerah di pipi bagian kiri Ivan.

"Sakit ya, Rey..?" tanya Alya dan secara bersamaan mengelus pipi Ivan dengan jari tangannya.

"Gak.." jawab Ivan sedikit ketus.

Kemudian Ivan sedikit menggeserkan posisi duduknya, lalu menurunkan kedua kakinya di salah satu sisi ranjang hingga kedua telapak kakinya menyentuh lantai. Ivan lalu berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar hotel. Namun baru beberapa langkah Ivan berjalan, Alya dengan gerakan yang cepat sudah berada di belakang Ivan dan menahan tangan Ivan yang hendak berjalan. Seketika itu juga Ivan menghentikan langkahnya dan hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Rey, kamu marah ya..?"

"...." Ivan hanya diam sambil memandangi pintu kamar hotel yang berada tak jauh di depannya. Sambil memegang tangan Ivan, Alya sedikit berjalan hingga berada di hadapan Ivan.

"Hubungan kalian sebenarnya sudah salah, Rey.."

"Kamu sadar gak sih akan hubungan kalian berdua itu..?" tanya Alya dengan mata yang mulai sembab.

"Rey dan kak Risya serius akan hubungan kami. Bila perlu setelah kak Risya menyelesaikan kuliahnya, Rey segera akan menikahinya.." kata Ivan tegas sambil menatap mata Alya.

"Dan...."

"Tapi tante Indah gak akan merestui hubungan kalian yang salah itu.." kata Alya memotong pembicaraan Ivan.

"Hubungan kami sudah dapat lampu hijau dari mama kok.." balas Ivan dengan lembut dan sebuah senyuman tersungging dari kedua sudut bibirnya.

"Haaa..? Apa kakak gak salah dengar ini..?" kata Alya dengan suara yang sangat pelan dan bibirnya pun bergetar.

"Ja.. jadi tan.. tante Indah merestui hubungan kalian berdua..?" tanya Alya terkejut.

"...." Ivan hanya menganggukkan kepalanya berulang-ulang.

"Terus gimana dengan kakak, Rey..? Kakak juga sayang sama kamu. Apa kakak harus berusaha untuk mengejar cintamu itu..? Tapi, bagaimana dengan Risya kalau kakak sampai merebutmu dari dia..? Haruskah kakak merelakanmu untuk Risya..?" tanya Alya dengan banyaknya pertanyaan dalam hatinya.

Alya sebenarnya ingin menangis setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Ivan tadi, tapi dia berusaha menahan agar air matanya tidak keluar lagi didepan orang yang baru-baru ini telah tinggal di relung hatinya yang paling dalam dan selalu ada di dalam pikirannya. Dan lihatlah sekarang, Alya dilanda rasa dilema yang sangat besar. Secara bersamaan dia harus memikirkan kebahagiaannya sendiri atau merelakan kebahagiaan itu untuk Risya.

"Kakak merestui hubungan kami berdua kan..?" tanya Ivan sedikit memelas meminta restu dari kakaknya itu.

"Aku harus jawab apa kalau sudah begini, Reyvan..? Aku itu sayang sama kamu, jadi aku harus gimana..?" tanya Alya dalam hati dan matanya kembali berkaca-kaca.

Sakit.. Hati Alya seperti ditikam dengan pisau yang tajam setelah mendengar permintaan dari orang yang dicintainya malah meminta restu untuk berhubungan dengan wanita lain. Tangan Ivan yang masih dipegangnya dari tadi dilepaskannya perlahan. Namun saat dia ingin mengungkapkan sesuatu, tapi mulutnya seperti sulit untuk berbicara. Dia terus mencoba beberapa kali hanya untuk mengatakan tiga kata saja "Kakak tidak setuju". Tapi apa daya, Alya seperti orang bisu yang tak mampu untuk mengungkapkannya meski sudah berusaha beberapa kali.

Tiba-tiba Alya memeluk erat tubuh Ivan, dia seakan tak mau jauh-jauh dari lelaki yang saat ini ada di dalam pelukannya. Namun beda halnya dengan Ivan yang heran melihat sikap kakaknya itu yang tak seperti biasanya.

"Aneh.. Ada yang berubah sepertinya dari kak Alya. Kenapa kak Alya jadi sama kayak kak Risya gini ya..? Jadi sama-sama manja.." kata Ivan dalam hati lalu menaikkan salah satu alisnya, dia seperti mengingat ucapan Alya setelah mereka melakukan persetubuhan beberapa waktu yang lalu.

"Aku jadi semakin sayang sama kamu.."

"Kamu mau gak jadi kekasihku, Reyvan..?"


Apa yang diucapkan Alya dulu pada Ivan kini terngiang-ngiang di dalam memori kepalanya. Dulunya Ivan mengira yang dikatakan kakaknya itu hanya candaan saja, tapi sekarang Ivan seolah bisa merasakan semua itu bahkan hanya melalui pelukan yang erat ini. Pelukan yang seakan mampu meredakan emosinya tadi.

Saat masih berada dalam pelukan, Alya yang mendaratkan kepalanya di bahu kirinya Ivan seperti menangis terisak. Dan Ivan yang mendengar isakan dari Alya mencoba melepas pelukannya, tapi Alya tidak mau melepaskan pelukannya. Dia malah makin mengeratkan pelukannya lagi. Hingga Ivan pun merasakan ada getaran dari dadanya Alya yang bersentuhan langsung dengan dadanya karena isakan dari Alya.

"Kakak kenapa..?" tanya Ivan yang masih berpelukan dengan Alya.

"...."

"Kak Alya..?"

"Kenapa kakak malah nangis..?"

"Kakak tidak apa-apa kok.."

"Lah, terus kenapa malah nangis..?"

"Kakak hanya mikirin Risya aja.."

"Kenapa dengan kak Risya..?" tanya Ivan.

"Kakak hanya mengkhawatirkan Risya.."

"Kakak takut kamu memanfaatkan kepolosannya Risya demi keinginanmu yang macam-macam itu.."

"Ya Ampun kak, Rey gak sejahat itulah.."

"Kenapa kakak sampai punya pikiran kayak gitu dengan Ivan..?"

"Kakak tidak mau terjadi hal yang tak kakak inginkan dengan dia, Rey.."

"Kakak sayang sama Risya.."

"Kak.. Rey sangat sayang dengan kak Risya, jadi Rey akan terus menjaganya dari apapun. Rey janji sama kakak.." kata Ivan, kemudian Alya pun langsung melepaskan pelukannya dan menatap mata Ivan.

"Bener kamu akan terus menjaganya..?" tanya Alya.

"...." Ivan menganggukkan kepalanya.

"Janji..?" tanya Alya lagi sambil mengangkat tangan kanannya dengan hanya jari kelingking yang tegak.

"Rey janji.." kata Ivan mengaitkan jari kelingkingnya dengan jarinya Alya.

"Kakak senang dengarnya.." kata Alya dan jari kelingking mereka berdua pun dilepaskan.

"Kamu tahu sebenarnya kakak juga cinta sama kamu. Tapi demi kebahagiaan Risya, kakak rela mengorbankan cinta kakak.." kata Alya dan kembali air matanya mengalir lagi.

"Segitu sayangnya kah kakak dengan kak Risya..? Sampai rela mengorbankan cinta kakak untuk kak Risya.." kata Ivan dalam hati.

"Kakak hanya ingin kamu menjaganya dengan sebaik mungkin. Karena hanya dialah satu-satunya adik kandung kakak.." kata Alya dan secara reflek dia langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Tanpa disadari oleh Alya, dia malah mengatakan apa yang seharusnya tak boleh untuk diucapkan.



DEGH...!!!



"Ahhh... Ngomong apa aku barusan..? Kenapa aku malah sampai keceplosan..? Rahasia besar yang telah tertutup rapat selama 20 tahun belakangan, malah dengan gampangnya aku buka pada Rey. Yahh, walaupun dia adikku juga, tapi pesan mama dan tante Indah (mama Rey) agar jangan informasi tentang statusnya Risya sebagai anak kandungnya mama sampai terbongkar. Aduuh, gimana ini..? Ivan bukan orang yang mudah untuk dibohongi jika aku berkilah.." kata Alya dalam hati. Kini Alya dilanda rasa takut yang luar biasa, apalagi jika sampai ketahuan mama dan tantenya bahwa rahasia besar ini sudah bocor akibat mulutnya yang keceplosan.






POV Ivan


"Haaa..? A.. a.. apa maksud kakak..?" tanyaku dengan sangat terkejutnya setelah mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut kak Alya barusan.

"...." kulihat kak Alya merasa ketakutan dan menurunkan arah pandangan matanya ke bawah setelah melihat sorot mataku yang tajam, dia tak berani menatap mataku lagi.

"Kak Alya..." panggilku dengan sangat lembut, aku tak ingin membuatnya lebih takut lagi setelah melihat keadaannya seperti itu.

Seluruh tubuh kak Alya kulihat jadi bergetar seperti orang yang kedinginan. Dengan wajahnya yang tertunduk aku jadi semakin sulit menebaknya, apakah dia sedang menangis atau memang karena takut.

"Kak..."

"Kak Alya.."

Dua kali aku memanggilnya, tapi sama sekali tak dihiraukan kak Alya, dia tetap saja diam tertunduk sambil berdiri di depanku. Karena aku tidak mau nantinya menjadi semakin emosi karena panggilan dariku tidak direspon, maka aku pun berniat meninggalkan kak Alya dan berjalan melewatinya untuk keluar dari kamar ini. Namun, saat aku masih memegang gagang pintu, kak Alya memanggilku dengan suara yang sedikit serak.

"Rey...van.."

Aku langsung menghentikan niatku yang hendak keluar dari kamar dan membalikkan badan menatap kak Alya yang perlahan berjalan mendekatiku dengan muka yang masih tertunduk. Setelah kak Alya berdiri di depanku, dia makin mendekatiku lagi dan mengangkat wajahnya menatapku.

"Ka.. kamu marah ya..?" tanya kak Alya.

"Gak kok biasa aja.." ucapku cuek sambil melihat ke arah lain, tapi kak Alya kemudian memegang kedua sisi pipiku dengan kedua tangannya, lalu menarik wajahku hingga pandangan kami kembali bertemu.

"Rey, kakak paling gak bisa melihat orang yang kakak sayangi marah seperti ini sama kakak.." kata kak Alya dengan wajahnya yang kelihatan sangat sedih.

"Asemmlah.. Wajah kak Alya dan kak Risya tiba-tiba jadi mirip banget disaat mereka lagi sedih kayak gini.." ucapku dalam hati sambil masih menatap wajah kak Alya.

"Maafin kakak Rey.."

"Kenapa kakak harus minta maaf..?"

"Aneh.. Gak ada salah, tapi pakai acara minta maaf segala.."

"Maaf karena kakak tidak bisa ceritain soal yang tadi sama kamu.."

"Ya sudah gak apa-apa kok. Rey bisa tanyain langsung sama mama atau tante Sinta.." ucapku lalu melepaskan tangan kak Alya yang masih menempel di pipiku, kembali membalikkan badanku dan membuka pintu, melangkah keluar dari kamar.

Baru beberapa langkah aku berjalan, badanku kembali dipeluk kak Alya dari belakang dengan erat. Isakan tangisnya kembali dapat kudengar, tapi untuk yang satu ini kak Alya jauh berbeda dari kak Risya.

"Sama-sama manja, tapi kakak lebih banyak nangisnya daripada kak Risya.." kataku dalam hati membandingkan mereka berdua.


"Hiks.. Hikss.." isakan tangis kak Alya dan secara bersamaan ada seorang petugas Room Service yang berjalan ke arahku sambil mendorong Trolley, mungkin dia baru saja mengantarkan makanan ke kamarku. Seketika petugas Room Service tadi berhenti di hadapanku dan membungkukkan sedikit badannya.

"Maaf pak, makan malamnya sudah saya antar ke kamar bapak, dan tadi sudah diterima oleh ibu.." ucapnya sambil melihat ke arah tangan kak Alya yang sedang memelukku. Aku pun berusaha melepaskan tangan kak Alya, tapi kak Alya tetap menahan tangannya di perutku, bahkan kini makin mengencangkan pelukannya diperutku.

"Haahh.. Ini kalau petugas Room Service nya berpikiran macem-macem, dikiranya aku selingkuh pula dengan janda muda di belakangku ini. Asemm... Padahal aku sudah punya pacar juga, cantik dan seksi pula lagi, jadi apa kurangnya coba dari kak Risya..? Tapi, kalau dua-duanya aku pacarin mantap juga ya..?? Kak Alya si janda muda yang montok dan kak Risya si gadis manjaku yang cantik dan seksi.." kataku dalam hati yang malah punya pikiran untuk kujadikan keduanya menjadi kekasihku. Bajingan...

"Ok, terima kasih banyak ya.." ucapku pada petugas Room Service.

"Sama-sama pak.."

"Saya permisi pak.." kata petugas Room Service sopan, kemudian berjalan melewatiku sambil mendorong Trolley.

Setelah kepergian petugas Room Service tadi, seketika di lorong hotel tempat aku dan kak Alya berdiri menjadi sunyi sepi. Karena aku dan kak Alya hanya diam berdiri di lorong hotel itu. Lalu Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, aku mengelus punggung tangan kanannya, lalu kupegang tangannya dan melepaskan pelukannya dari perutku tanpa ditahan olehnya seperti tadi. Kemudian aku membalikkan badanku menghadap ke arah kak Alya. Kupegang kedua pipi kak Alya dengan lembut.

"Kalau kakak emang gak mau menceritakannya, sebaiknya kakak pulang saja.." ucapku menatap mata kak Alya.

"Kamu ngusir kakak..?" tanya kak Alya dengan mata berkaca-kaca.

"Kakak hanya mengganggu acara liburannya Rey aja.."

"Dan untuk soal yang tadi, Rey bisa tanya langsung sama mama aja nanti.."

"Ja.. jangan Rey, kakak mohon kamu jangan tanyakan soal Risya tadi sama tante Indah atau pun mama kakak ya..? Kakak mohon.." kata kak Alya lalu melepaskan tangan kananku di pipinya, kemudian digenggamnya tanganku dengan kedua tangannya.

"Karena yang tahu tentang rahasia itu hanya orang tua kita, almarhum kakek kamu dan mungkin mas Kevin.."

"Lah terus aku harus tanya sama siapa dong..?"

"Ok kakak akan ceritain, tapi gak bisa cerita secara keseluruhan ya. Dan sebelumnya kakak mohon sama kamu untuk jangan tanya-tanya atau cerita sama orang tua kita masing-masing atau pun mas Kevin ya"

"...." aku hanya menganggukkan kepalaku.

Kak Alya kemudian menarik tangan kananku yang digenggamnya tadi dan masuk ke dalam kamar hotel yang kami masuki tadi. Setelah memasuki kamar, kak Alya pun mengunci pintu kamar dan kembali menarik tanganku menuju sofa.

"Tapi janji ya gak bakalan tanya-tanya sama tante Indah..?" tanya kak Alya yang makin membuatku geram saja karena tidak sabar.

Karena kesal, aku langsung menarik leher belakang kak Alya dan mencium bibirnya dengan lembut.

"Muaccchhh... Muaaaccchhhh..."

"Sekali lagi gak mau langsung cerita, beneran aku akan langsung perkosa kakak sampai pagi.."

"Iihhh takut.. Hihihi.." kata kak Alya melepaskan tanganku yang berada di leher belakangnya dan sedikit memundurkan tubuhnya.

"Busyet... Disaat seperti ini dia masih menggodaku.." kataku dalam hati.

"Hmmm.. nantangin ya..?"

"Hihihi.." kak Alya hanya tertawa cekikikan.

Dengan gerakan yang cepat, aku sudah menindih tubuh kak Alya dan kedua tangannya pun aku pegang dengan kuat di atas kepalanya. Aku langsung mendaratkan ciumanku di ketiaknya hingga kak Alya sedikit berontak karena merasa kegelian.

"Hihihi.. Ampun Rey.. Ampun.. Iya iya kakak akan ceritain.." kata kak Alya kegelian dan berusaha melepaskan tangannya. Namun sayang, pegangan tanganku yang hanya menggunakan satu tangan masih terlalu kuat untuknya.

"Bener..?" tanyaku menatap mata kak Alya, lalu aku mencium lehernya perlahan dan sedikit lama bermain di lehernya.

"Aaahh.. hhmmm.. i.. iyaa Rey.. Aaaahhh..."

"Muuuaacchhh.."
sebelum melepaskan peganganku pada tangannya, aku mencium bibirnya dengan lembut dan mesra terlebih dahulu.

"Kalau kakak gak ada shift malam ini, pasti kakak gak bakalan nolak deh diperkosa sama kamu.." kata kak Alya lalu menutup mulutnya dan dari matanya yang seolah menggodaku dengan pandangan matanya yang sayu.

"Asemmlah.. Aku yang ngancam mau memperkosa dia, malah aku pula yang digodain ujung-ujungnya.." kesalku dalam hati.

"Hehe.. Jangan marah dong sayang, masa pacar aku gitu aja marah sih.. Hihihi.." kata kak Alya lagi-lagi masih menggodaku.

"Haahh.. Pakai ngaku-ngaku aku pacarnya pula lagi.. Besok-besok apa lagi..? Bilang aku ini suaminya..? Asemm.." kataku dalam hati.

"Kalau kakak gak mau cerita, aku bisa tanya sama mama aja nanti di rumah.." ucapku hendak beranjak dari atas ranjang, tapi dengan cepat tanganku di pegang kak Alya.

"Ya ampun... Suami aku cepat banget ngambeknya.. Hihihi.."

"Kurang ajar.." gumamku. Tapi tak lama kulihat kak Alya menatapku dengan raut muka yang serius. Kami sama-sama duduk bersila dan saling berhadapan. Sebelum berbicara, kak Alya sejenak mengambil nafas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan.




"Rey.. sebenarnya, Risya adalah adik kandungku.." kata kak Alya lalu menundukkan wajahnya. Aku kemudian menyentuh dagunya dan menaikkannya hingga pandangan kami bertemu lagi. Dari sudut mata kak Alya mengalir setetes air mata, aku pun dengan cepat menyeka air matanya.

"Jangan nangis lagi kak.." ucapku.

"He eeh.." kata kak Alya sambil menganggukkan kepalanya.


"20 tahun yang lalu disaat usia pernikahan tante Indah dan om Aldi baru menginjak satu tahun, tetapi belum dikaruniakan seorang anak yang menjadi impian mereka. Padahal almarhum kakekmu dulu sangat mendambakan seorang cucu, apalagi jika yang lahir adalah laki-laki yang akan menjadi penerus di keluarga Ararya. Namun saat itu keinginan almarhum kakekmu belum dikabulkan yang maha kuasa.."

"Terus hubungannya dengan kak Risya apa..? tanyaku memotong pembicaraan kak Alya.

"Huuh.. Dengerin kakak cerita dulu, belum waktunya kamu bertanya.." kata kak Alya geregetan.

"Iya iya, maaf.. Haahh.."

"Kakak sebenarnya dari awal sudah mengetahui jika Risya adalah adik kandung kakak, tapi kakak baru dua tahun yang lalu mengetahui alasannya kenapa Risya diadopsi tante Indah.."

"Saat itu kakak berusia 5 tahun, sedangkan Risya masih berusia 3 bulanan. Papanya kakak dulu pindah tugas dari kota kembang ke kota ini. Namun, karena kami belum memiliki tempat tinggal di sini, tante Indah menawarkan untuk tinggal sementara waktu di rumahnya kalian sampai kami memiliki rumah.."

"Beberapa hari kami tinggal di rumah kalian, barulah mama dan papanya kakak mengetahui desakan dari almarhum kakekmu yang ingin cepat-cepat memiliki cucu dari tante Indah. Karena merasa kasihan adiknya didesak terus-terusan sama almarhum kakekmu, mama pun meminta pada tante Indah untuk merawat dan menjaga Risya sampai tante Indah memiliki anak.."

"Setelah kamu lahir, mama kakak sebenarnya ingin merawat Risya kembali. Tapi tante Indah menolak memberikan Risya, karena sudah terlanjur sangat menyayanginya. Dengan hati yang berat mama pun merelakan Risya dirawat oleh tante Indah sampai sekarang ini.." kata kak Alya menjelaskan panjang lebar.

"Kalau mama yang merawat kak Risya saat berusia 3 bulanan, terus asi nya gimana kak..?" tanyaku dengan polosnya.

"Haahh.. kamu ini ya Rey.." kata kak Alya sedikit kesal.

"Kami itu tinggal di rumah kalian sampai Risya berusia 1 tahun, jadi mamanya kakak itu tetap memberikan asinya untuk Risya hingga asinya pun sudah tidak bisa keluar lagi.."

"Setelah itu baru kami pindah ke rumah yang sekarang kakak tempati itu, tante Indah yang membelinya untuk kami dan asal kamu tahu juga, seluruh biaya sekolah dari kakak duduk di bangku sekolah dasar sampai kakak kuliah di kedokteran semuanya dibiayai oleh mama kamu.." kata kak Alya dengan mata yang berkaca-kaca, aku pun langsung memeluk kak Alya dan kak Alya pun menangis di dalam pelukanku.

"Hikss.. makasih banyak Rey.. keluargamu selama ini sudah terlalu baik sama kami...."

"Huush.. kakak ngomong apa, haah..?" ucapku kesal dan langsung melepaskan pelukan kami.

"Tante Sinta itu kakaknya mama, jadi keluarga kakak itu keluarga kami juga. Ingat ya, Rey gak mau dengar lagi kakak ngomong kayak gitu.." ucapku dengan suara yang sedikit keras tapi tetap tegas sambil menatap wajah kak Alya yang sedikit menunduk karena takut.

"I..iya Rey maaf.. Kamu jangan bentak kakak seperti itu, kakak jadi takut.." kata kak Alya yang masih menunduk dan air matanya jatuh mengenai telapak tangannya yang terbuka keatas tepat di atas pangkuannya.

"Maafin Rey kak, gak ada maksud Rey sedikit pun untuk membentak kakak. Rey hanya tidak suka kalau kakak ngomong kayak tadi.." ucapku lembut dan memegang tangan kak Alya yang berada di atas pangkuannya tadi. Lalu kak Alya pun mengangkat wajahnya yang mana air matanya masih mengalir dan menatapku.

"Kamu janji akan selalu jagain Risya kan..?" tanya kak Alya.

"...." aku hanya menganggukkan kepala.

"Kakak gak mau terjadi sesuatu dengannya, jadi kamu harus bisa menjaganya ya..? Dan kamu jangan pernah menyakiti hatinya.." katanya lagi.

"Iya kak. Rey pasti akan jagain kak Risya kok.." ucapku lalu tersenyum dan kak Alya pun membalasnya dengan sebuah senyuman yang manis. Kemudian kak Alya malah maju mendekati wajahku dan malah mencium bibirku.

"Muaccchhh... Muaaaccchhhh..."

"Muuacchhh... Muuuaacchhhh.."

"Dan jangan kamu rusakin segelnya Risya ya..? kakak sudah periksa keperawanannya setelah diculik sama Bram tempo hari, dan segelnya masih utuh.." kata kak Alya.

"Kalau pun kamu pengen, datang aja ke rumah kakak, biar kakak yang akan melayanimu. Lagian kakak siap kok jadi pacar kamu walau hanya nomor dua.. Hihihi.."

"Bajingan...!! Tadi kerjanya nangis-nangis aja, tapi sekarang malah ketawa cekikikan gini menggodaku.." kataku dalam hati.

"Dasar... Disatu sisi mereka berdua terlihat sangat mirip disaat sedang menangis. Tapi disisi yang lain kak Alya lebih suka menggodaku, dibandingkan dengan kak Risya yang pemalu.." kataku lagi dalam hati.

"Kak...." ucapku terhenti setelah mendengar bunyi hp kak Alya yang berdering.

"Kring... Kriing... Kriiing...!!!

"Astaga.." kata kak Alya seperti mengingat sesuatu dan dengan cepat turun dari ranjang.

"Ada apa kak..? kok jadi panik gitu..?" tanyaku yang bingung melihatnya.

"Kakak sudah telat ini.." jawab kak Alya panik sambil mengambil tas dan hpnya di atas meja kecil di sebelah ranjang, kemudian melihat layar hpnya.

"Tuh kan.. Mampus gue nih, si tua bangka pula yang telpon.. Haahh, kena omel nanti ini sama dia.." kata kak Alya yang tiba-tiba merepet sendirian sambil tetap mengemas barang bawaannya.

"Mau Rey anterin kak..?" tanyaku menawarkan untuk mengantarnya.

"Memangnya kamu bawa mobil..?" tanya kak Alya balik tanpa menjawab pertanyaanku.

"Gak bawa sih, tapi Rey bisa pinjam mobil pihak hotel.."

"Kamu mau ninggalin Risya sendirian di hotel..?" kata kak Alya melotot ke arahku.

"Hehe.. Iya deh iya.."

"Kakak bisa pergi sendiri aja, lagian kakak ada bawa mobil kok.."

"Kakak berangkat dulu ya..? Kamu hati-hati dan jangan lupa jagain Risya.." kata kak Alya yang entah sudah berapa kali dia memintaku untuk menjaga kak Risya.

"Muuuaacchhh..."

Kak Alya pamit dan mengecup bibirku sesaat, lalu pergi meninggalkanku di kamar ini.





Risya Zhahira Ararya
67363466_424232791511641_4066156683168983057_n.jpg

Aku membuka pintu kamar hotel dan masuk ke dalam. Di dalam kamarku yang luas ini, pandanganku langsung tertuju pada sofa yang terletak di sudut kamar dekat dinding kaca, yang mana kekasihku tertidur pulas di atasnya dengan baju tidur daster berwarna merah muda.

Entah kenapa setelah melihat kak Risya, aku jadi terus-menerus memikirkan dia, seolah-olah memori kebersamaanku dengan kak Risya berputar di kepalaku seperti video, dari semenjak kami kecil sampai sebelum aku bertemu kak Alya barusan.

Aku lalu duduk dengan perlahan di tepi sofa yang masih ada tempat buat aku duduk. Kukecup keningnya sesaat, kemudian mengelus rambut panjangnya yang indah itu. Dan mataku pun tak bisa berpaling dari wajahnya yang cantik.


"Sampai waktunya tiba nanti, carilah seorang wanita yang benar-benar mencintaimu untuk menjadi istrimu, Van. Jangan pernah kamu menyakiti hati dan perasaannya.."

"Jagalah kakakmu Ivan, jangan pernah kamu menyakiti hatinya. Dan ingat, jangan pernah berbuat macem-macem lagi dengan kakakmu.."

"Kakak gak mau terjadi sesuatu dengannya, jadi kamu harus bisa menjaganya ya..? Dan satu lagi, kamu jangan pernah menyakiti hatinya.."


Kembali aku mengingat kata-kata yang pernah diucapkan kakek, mama dan kak Alya tadi. Aku sampai heran dengan apa yang mereka katakan padaku, yang mana intinya sama saja. "Jangan pernah kamu menyakiti hatinya..."

"Ya Allah, kenapa pesannya bisa sampai sama begitu. Apakah memang benar bahwa kak Risya nantinya akan menjadi pendamping hidupku kelak..?"
ucapku dalam hati.


"Ya ampun...!!! Kenapa aku bisa jatuh cinta dengan wanita ini..? Aku malah baru mengetahui bahwa dia bukanlah kakak kandungku. Tapi, cintaku tak sedikit pun berkurang setelah mengetahui semuanya dari kak Alya. Aku malah jadi semakin mencintainya sekarang. Namun, salahkah jika kami itu saling mencintai..?" ucapku lagi di dalam hati.

"Selama ini belum ada yang menentang hubungan kami. Namun, mengingat sekarang aku sudah mengetahui jika kak Risya anak dari tante Sinta dan om Fauzan, akankah mereka merestui hubungan kami nantinya..?" tanyaku dalam hati sambil sedikit menjambak rambutku karena tiba-tiba dilanda rasa kebingungan.

"Ivan janji akan berusaha menjaga hubungan kita ini sampai aku nantinya bisa nikahin kamu, Bee.." ucapku pelan dan mata kak Risya malah terbuka perlahan, lalu tersenyum setelah melihat aku yang sedang memandanginya.


"Oopss... Maafin Ivan ya..? Sayang jadi terbangun pula gara-gara Ivan.." ucapku sambil memegang pipi sebelah kanannya dan kak Risya pun memejamkan matanya, karena dia sangat senang jika aku memegangi pipinya.

"Eh sayang, gak apa-apa kok. Tadi memang Risya nungguin sayang, tapi malah ketiduran pula.." kata kak Risya setelah membuka matanya dan memegang tanganku yang ada di pipinya.

"Yuk kita makan dulu sayang.." katanya sambil bangun dan menarik tanganku menuju meja yang di atasnya sudah dipenuhi dengan makanan.

"Lho, kamu belum makan Bee..? tanyaku melihatnya duduk, kemudian aku pun ikut duduk di sebelahnya.

"Belumlah sayang. Risya kan nungguin suami pulang dulu, masa Risya nya makan sendirian sih.." katanya lalu memberikanku sebuah senyuman manis melalui bibirnya yang merah itu.

"Makasih ya, Bee.."

"Sama-sama sayang.."

"Bee, kamu yang pesan semua makanan ini..?"

"Iya. Ini semua kan makanan kesukaan sayang.."

"Terus siapa yang makan coba, dengan makanan sebanyak ini..?"

"Sayanglah... Hihihi..."

"Pokoknya harus dihabiskan lho ini makanannya.."

"Ta.. tapi Ivan lagi gak selera makan ini.."

"Hmmm, tumben banget. Banyak masalah ya..?" tanya kak Alya sambil memiringkan sedikit kepalanya, menatapku dengan pandangan yang menyelidik.

"Sedikit.." ucapku singkat, kemudian mulai memakan nasi goreng yang ada di hadapanku.

"Cepetan cerita sama Risya, dari kemarin-kemarin lagi banyak masalah tapi gak mau cerita.." kata kak Risya dengan mulut yang dimanyunkan.

"Huuffttt. Iya-iya, kita makan dulu ya sayang.." ucapku dan kemudian melanjutkan acara makan kami.

"Janji...?" tanya kak Risya dengan memasang wajah melasnya.

"...." aku hanya membalasnya dengan anggukan.





Kak Risya lebih dulu menyelesaikan acara makannya, karena dia memang tidak terlalu banyak makan. Biasalah kalau untuk ukuran seorang gadis, pasti terlalu menjaga bentuk tubuhnya. Sedangkan aku..? Harus menghabiskan beberapa jenis makanan yang sudah dipesannya begitu banyak, sampai membuatku kekenyangan seperti ini. Benar sih semua makanan yang dipesan kak Risya tadi adalah menu favorit aku, tapi tidak seperti ini caranya hingga membuatku tersiksa. Asemmlah..!!!




"Sayang..." ucapku memanggil kak Risya.

"Hemmm.." sahutnya begitu keluar dari kamar mandi.

"Bantuin Ivan dulu.." ucapku yang kesulitan berjalan karena sangking kekenyangannya, hingga perutku pun jadi kelihatan buncit.

"Sial... Kalau begini terus bisa hilang perut six pack ku.." kataku dalam hati.

"Lho, kenapa emangnya sayang..? Hihihi.." katanya lalu tertawa cengengesan.

"Haahh... Ivan gak sanggup jalan lagi ini. Bantuin napa.."

"Kenyang ya sayang..? Hihihi.." katanya yang malah menggodaku, tapi kemudian membantuku dengan memapah tubuhku untuk berjalan ke ranjang.

"Kamu benar-benar menyiksaku, Bee.."

"Gak kok sayang. Risya cuma ingin kamu banyak makan dulu untuk beberapa hari ke depan. Karena kamu kan baru pulih, jadi harus makan banyak biar tenaga kamu pulih juga.."

"Alesan aja kamu itu.." ucapku. Akhirnya sampai juga ke ranjang, setelah berjalan secara perlahan-lahan dengan kondisiku yang seperti ini.

"Hihihi..."

"Ya sudah, sekarang ceritain.."

"Haduuhh... Aku harus cerita apa pula ini sama kamu, Bee..?" tanyaku dalam hati yang kebingungan.

"Sayang.."

"Iya.." sahut kak

"Ivan punya kabar gembira buat kamu, Bee.."

"Apa sayang..?" tanya kak Risya bersemangat.

"Mama......"

"Kenapa dengan mama..?"

"Hmmm... Hubungan kita ini sudah dapat lampu hijau dari mama, Bee.."

"Haaa..? Yang bener sayang..?" tanya kak Risya terkejut.

"...." tapi hanya kujawab dengan anggukan. Kak Risya dengan cepat memeluk tubuhku, namun aku berusaha menahan pelukannya agar jangan terlalu erat memelukku.

"Ke.. kenapa sayang..? Sayang kok kayak gak mau meluk Risya.." kata kak Risya setelah melepaskan pelukannya sambil menatapku dengan wajahnya yang sedih.

"Jangan terlalu erat sayang, perut Ivan sakit.." ucapku tersenyum padanya, dia pun tersenyum lebar dan kembali memelukku lagi.

"Kamu senang, Bee..?" bisikku di dekat telinganya.

"Banget sayang... Hikss.."

"Tapi kenapa mama menyetujuinya, Ivan..? Bukankah sebenarnya hubungan kita ini salah..?" tanya kak Risya.

"Terus kan ini baru mama yang setuju, bagaimana dengan keluarga besar kita..?" tanya kak Risya lagi.

"Sebenarnya kamu mau gak sih menikah sama Ivan..?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan kak Risya.

"Kok kamu ngomongnya gitu sih, yang..? Ya jelas Risya mau bangetlah menikah dengan sayang.." katanya setelah melepaskan pelukan kami.

"Kalau kamu mau, gak usah punya pikiran yang gak-gak kayak tadi, mengerti...?"

"Kamu kok gitu sih sayang..?" katanya menunduk.

"Mungkin nantinya terlalu banyak masalah yang akan kita hadapi, tapi biarkan Ivan yang akan menyelesaikannya sendirian ya.."

"Bukannya Ivan tak mengizinkan 'tuk kita menghadapinya bersama, tapi biarkan Ivan saja yang mengatasi semuanya. Percayakan saja pada Ivan ya sayang..?"

"He eeh.."

"Tenang aja sayang, aku janji akan membuat semuanya lebih mudah. Apapun itu, termasuk yang berkaitan denganmu.." kataku dalam hati.

"Ya sudah, sekarang kita tidur ya, Bee.."

"Kamu gak cuci tangan sama kaki dulu.."

"Hehe... Ivan susah geraknya kalau kenyang gini.."

"Ishhh jorok. Cuci dulu tangannya sana, Risya kan pengen tidurnya sambil dipeluk sama sayang.." katanya manja.

"Ya udah kalau gitu, malam ini tidurnya gak ada pakai acara pelukan.." ucapku cuek lalu rebahan di ranjang dengan membelakanginya.

"Ihhh gak mau.." kata kak Risya dengan manja.

"Sayang, hadap sini tidurnya.." perintah kak Risya.

"Gak mau.." ucapku tegas sambil mengulum bibirku menahan tawa.

"Sayang.."

"Gak apa-apa deh walaupun gak cuci tangan dulu meluknya.." kata kak Risya yang nada suaranya seperti memohon.

Karena tidak tega mendengar permintaannya itu, aku pun membalikkan badanku menghadap ke arahnya yang saat itu sudah rebahan juga menghadap ke arahku. Raut wajahnya seketika berubah setelah melihatku berbalik.

"Risya gak bisa tidur kalau gak dipeluk sayang.." kata kak Risya setelah dia berbalik dan aku memeluknya dari belakang.

"Muuuaacchhhh.." aku mengecup pipinya.

"Ada-ada saja alesan kamu itu, Bee.." ucapku lalu mencubit pipinya.

"Iihhh, biarin.." kata kak Risya kesel.

"Tidur terus ya sayang.."

"Kamu juga ya.." balasnya dan gak lama aku mendengar dengkuran halus dan suara hembusan napasnya yang teratur.

"Aku sayang kamu wanita manjaku.." ucapku pelan.





Risya Zhahira Ararya
91100386_3211304199094108_7436207683680922134_n.jpg

Sentuhan halus yang kurasakan dari jari-jemari seseorang yang terus menyentuh seluruh permukaan wajahku. Jari itu lebih lama mengelus tepat di tengah-tengah permukaan dahiku (di atas hidung), seperti menyentuh bagian tertentu di daerah itu terlalu lama. Kemudian jari itu turun dengan perlahan menuju hidungku dan berhenti sejenak. Tapi kemudian turun lagi mengelus bibirku dan merabainya dari sudut sebelah kiri menuju ke sudut sebelah kanan. Namun, begitu jarinya tepat berada di tengah bibirku..

"Haappp.."

"Aauuwww.."
dia kaget setelah aku menggigit jari telunjuknya.

"Aduhhh.. Sayang lepasin.." rengeknya manja dan aku pun kemudian melepaskan jarinya dari gigitanku.

"Kamu sih, lagi enak-enak tidur malah digangguin.." ucapku memberi alasan dan aku pun duduk dengan kepala yang masih sedikit pusing karena baru bangun.

"Tidur aja kerjanya.." kata kak Risya yang duduk bersila di sebelahku dengan mulut dimanyunkan.

"Kenapa sih sayang pagi-pagi udah sewot aja..?" tanyaku heran melihatnya di pagi hari ini.

"...." namun dia hanya diam saja tak menjawab pertanyaanku.

"Huuufftt... Ya udah kalah gitu, Ivan sambung tidur lagi ya...!!" ucapku, lalu hendak merebahkan tubuhku lagi.

"Kamu gimana sih sayang..? Katanya kita ke puncak buat liburan, tapi sekarang kok kamu malah tiduran aja kerjanya.." kata kak Risya dan aku seketika menegakkan tubuhku lagi, kemudian menatap wajahnya yang kelihatan sedih.

"Iya-iya. Kita mau kemana lagi hari ini emangnya Risya-ku..?" aku bertanya tujuan kami nantinya.

"Kita ke mall dekat sini aja ya..?"

"Oke, Ivan mandi dulu ya.."

"Kita sarapannya di mall itu aja ya..?"

"Iyaa sayang.."

"Tunggu bentar ya.."

"He eeh.."





Begitu aku keluar dari kamar mandi, kulihat kak Risya berdiri menyamping dari posisiku sekarang dan masih dengan baju daster yang digunakannya saat tidur semalam. Kak Risya memegang dua buah baju di masing-masing tangannya. Dia seperti bingung mau menggunakan baju yang akan dipakainya.

"Kamu mau keluar dengan daster gitu sayang..?" tanyaku berjalan menuju lemari untuk mengambil baju dan memakainya. Kak Risya pun kemudian berjalan mendekatiku.

"Hmmm.. sayang kira-kira Risya bagusnya pakai baju yang mana..?" tanya kak Risya meminta pendapatku menunjukkan dua baju yang dipegangnya ke arahku.

"Mau pakai baju yang mana pun, kamu tetap kelihatan cantik kok, istriku.." ucapku, seketika pipi kak Risya berubah merah merona setelah mendengar kalimat yang kuucapkan. Tapi aku hanya cuek dan melepaskan handuk yang sedang kupakai.

"IVAN....!! Pakai lagi handuknya.." kata kak Risya sambil memejamkan matanya.

"Ivan mau pakai celana, kenapa mesti dipakai lagi handuknya.." ucapku sambil memakai celana.

"Ya tapi jangan di depan Risya juga, di kamar mandi kan bisa.."

"Lho, memangnya kenapa..? Kamu kan istriku, Bee.." ucapku lalu mendekatinya yang masih memejamkan mata.

"Muuuacchhh.. Hhhhmmm.. Muuachh.. Hemmmhh.." aku mengecup bibirnya yang merah dan aku sangat menyukai saat-saat aku mencium bibirnya seperti ini. Karena inilah salah satu bagian yang ada pada dirinya yang paling kusukai.

"Kenapa sih suka banget cium bibir aku.." ucapnya dengan bibir yang dimanyunkan setelah membuka kedua matanya.

"Karena bibir ini menjadi salah satu bagian dari tubuh kamu yang paling Ivan sukai.." ucapku sambil menyentuh bibirnya dengan jari telunjuknya.

"Ja.. jadi Risya harus pakai yang mana ini..?" tanya kak Risya mengalihkan pembicaraan karena malu. Aku semakin merapatkan tubuhku lagi.

"Sayang, Ivan lebih suka melihatmu saat polos tanpa menggunakan pakaian.." ucapku lalu berlari mengambil parfum dan keluar dari kamar.

"IVAAANN..." teriak kak Risya.





Saat ini aku dan kak Risya baru saja keluar dari sebuah kafe yang tak terlalu besar, namun tetap bernuansa klasik seperti yang digemari anak-anak muda zaman sekarang. Dua buah milk shake dan beberapa potong cake sudah cukup untuk mengganjal perut kami berdua di waktu pagi menjelang siang ini.

"Sayang, Ivan ke toilet dulu ya.." ucapku setelah kami memasuki sebuah mall yang berada di seberang jalan dari kafe tadi.

"Jangan lama, Van. Risya tunggu di sana ya.." kata kak Risya sambil menunjuk ke arah sebuah gerai yang menjual alat kosmetik.

"Oke.." ucapku singkat.

Aku pun berjalan menuju toilet pria yang berada di sudut mall di lantai satu. Perutku tiba-tiba saja jadi gak enak setelah memakan cake dari kafe tadi yang rasanya sedikit pedas. Aku langsung memegang perutku yang terasa nyeri seakan seperti ditusuk-tusuk. Dengan mempercepat langkah kaki, aku pun masuk ke dalam toilet.

"Haahh.. lega rasanya.." ucapku setelah keluar dari toilet dan berjalan keluar untuk menemui kak Risya. Namun langkahku seketika berhenti melihat kak Risya berdiri tertunduk seperti dimarahi oleh seorang pria tua tepat di depan gerai alat kosmetik. Dan di belakang pria tua itu ada tiga orang lelaki, tapi aku seperti mengenal dua orang dari mereka. Aku pun berusaha mengingat siapa dua pria itu.

"Bajingan...!!! Pria itu ternyata anak buahnya Bram yang aku hajar saat duet dengan mas Kevin, dan pria yang satunya lagi adalah orang yang membuatku emosi setelah mobil yang dikendarainya dengan sengaja melintas di tempat yang banyak genangan air hingga membuat bajuku kotor." kataku dalam hati setelah mengingatnya.

Aku dengan cepat berjalan menghampiri kak Risya yang terlihat ketakutan dengan pria tua di hadapannya itu.

"Siapa pria yang menolongmu waktu itu, haaa..?" tanya pria tua itu dengan suara yang keras hingga membuat kak Risya tambah ketakutan.

"...." Kak Risya hanya diam saja.

"Kenapa kamu nangis..? JAWAB...!!!" bentak pria tua itu sambil hendak mendorong kening kak Risya dengan jari telunjuknya. Namun aku yang sudah berada di sebelah kak Risya dengan cepat menangkap jari pria tua itu sebelum menyentuh kening kak Risya. Pria itu langsung kaget saat aku memegang jarinya. Melihat posisi lengannya berdiri tegak lurus, aku lalu memutar jari telunjuk pria tua itu ke arahnya dengan kuat.

"Kraaaaakkkkk.." bunyi jarinya yang patah.

"Aaaarrrgghhhh.." teriaknya dan tubuhnya pun sedikit membungkuk akibat kesakitan. Dia berusaha menarik jarinya yang kupegang dengan sekuat tenaga hingga terlepas dan pria tua itu termundur beberapa langkah kebelakang.

"Jangan kau sentuh dia dengan tangan kotormu itu, pak tua.." ucapku tegas padanya. Tiga orang pria yang berada di belakang pak tua itu pun langsung emosi, tapi aku hanya tetap santai melihat ekspresi mereka semua.

"Ivan.." kata kak Risya pelan. Aku dapat melihat dari sudut mataku bahwa kak Risya menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Aku lalu menggenggam tangan kak Risya untuk menenangkannya.

"Ivan... Sudah cukup.." ucap kak Risya pelan sekali.

"Diamlah.." ucapku dengan bibir yang bergetar, kemudian seakan sekujur tubuhku juga ikut bergetar karena emosi.

"Kurang ajar...!!! Bajingan...!!!" maki anak buah Bram dan seorang pria yang memiliki tato kalajengking di lehernya. Mereka berdua maju bermaksud untuk menyerangku, namun ditahan oleh pria tua itu.

"Dani, Joe, sabar. Kita jangan membuat keributan di tempat keramaian. Ingat, ini bukan tempat kita untuk beraksi.." kata pria tua itu sambil memegangi jarinya yang patah.

"Tapi dialah orangnya yang membuat Bram babak belur, Tuan.." kata anak buah Bram menatapku tajam dan menahan emosinya.

"Ooohh, jadi dia orang yang membuat anakku langsung masuk ke ruang UGD.." kata pria tua itu menegakkan kembali tubuhnya.

"Pak tua, seharusnya kamu bersyukur aku gak membuat anakmu itu masuk ke dalam kubur.." ucapku menahan emosi padanya. Tapi dia menatap wajahku begitu lama, sampai raut wajahnya kulihat berubah seperti terkejut, tak lama kemudian dia tersenyum padaku.

"Prok... Prok... Prok..."

S
uara tepuk tangan dari pria tua itu, tapi dia seperti tidak merasakan sakit lagi di jarinya yang patah tadi. Aku hanya menaikkan alis kananku karena heran melihat sikapnya itu.

"Orang yang aku cari selama empat tahun belakangan, kini malah datang dan berdiri di hadapanku.."

"Dari wajah dan cara berbicara, kalian sangat mirip sekali. Tak salah lagi, kamu adalah cucu kesayangan si tua bangka itu.." kata pria tua itu yang makin membuatku tambah emosi.

"Kurang Ajar.. Siapa yang kau maksud si tua bangka..? Kakek..? Bajingan kau.." makiku dalam hati.

Kak Risya yang mengetahui aku sudah sangat emosi, menggenggam dengan kuat tangan kananku hingga keinginanku untuk menghajar pria tua itu pun kutahan. Aku pun hanya bisa berusaha untuk menenangkan emosiku ini.

"Sungguh sangat sayang sekali, anak muda. Kau merusak pertemuan pertama kita dengan mematahkan jariku. Tapi tidak apa-apa, aku akan menganggapnya sebagai salam perkenalan darimu.."

"Kau sangat beruntung kita bertemunya di tempat keramaian seperti ini, anak muda. Kalau tidak, aku pasti dengan sangat mudah dapat menghabisimu.." kata pria tua itu dengan ekspresi yang datar-datar saja.

"Kau pikir aku takut, pak tua..?" ucapku yang kubuat sesantai mungkin.

"Heeh... Sombong sekali kamu anak muda.."

"Suatu saat nanti, aku akan menghancurkan segala yang kau miliki. Tunggulah saat itu tiba, Putra Mahkota Ararya...!!!" kata pria tua itu lagi.

"Ayo kita pulang.." kata pria tua itu pada ketiga orang dibelakangnya, kemudian pergi meninggalkan aku dan kak Risya.


Selepas kepergian mereka, emosiku pun secara perlahan mereda. Aku melihat kak Risya diam dengan pandangannya yang kosong, dia seperti memikirkan sesuatu, hingga dia sama sekali tak menyadari bahwa aku masih terus menatapnya.

"Kamu mikirin apa sih, sayang..?" tanyaku memegang pipinya hingga dia tersentak kaget.

"Eh, gak ada apa-apa kok sayang.."

"Kalau emang ada yang mengganjal di pikiranmu, cerita sama Ivan.."

"Risya cuma takut terjadi apa-apa sama kamu.." katanya gelisah, aku hanya memegang tangannya dan kami pun berjalan pelan-pelan untuk sekedar berkeliling, mana tahu ada sesuatu yang kak Risya sukai supaya aku dapat membeli barang itu untuknya.

"Lho, memangnya kenapa dengan Ivan..?"

"Kamu gak kenal dengan lelaki tua tadi..?" tanya kak Risya sambil menoleh ke arahku, tapi aku hanya menggelengkan kepalaku.

"Dia salah satu pesaing bisnis keluarga kita. Orang tuanya Bram, yang kamu hajar tempo hari saat Risya diculik.."

"Dia pasti akan balas dendam.."

"Dan Risya dengar dari mas Kevin, kamu menjadi targetnya untuk dibunuhnya sejak empat tahun yang lalu.." kata kak Risya dengan bibir yang bergetar. Aku hanya menatapnya sebentar, lalu menatap ke depan lagi.

"Terus..?" tanyaku dengan polosnya dan tanganku tertahan karena kak Risya yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. Aku lalu berbalik dan menatap wajahnya yang terlihat sedih itu.

"Kenapa lagi sih, Bee..?"

"Kenapa kamu hanya santai aja..?"

"Lah, terus Ivan harus gimana sih sayang..?"

"Capek Risya ngomongnya sama kamu, kamu itu jadi target mereka untuk dibunuh tahu gak sih.." kata kak Risya kesal dengan mata yang berkaca-kaca.

"Ngapain juga harus dipikirin, gak ada kerjaan lain apa..?" ucapku cuek.

"Risya gak mau kehilangan kamu.."

"Ya kalau memang nantinya sampai terjadi begitu, ya apa boleh buat sayang.." ucapku tersenyum padanya.

"Jadi kamu bermaksud mau meninggalkan Risya gitu..?" tanya kak Risya yang menatap tajam ke arahku dan matanya terlihat memerah. Para pengunjung yang ada di sekitar kami pun melihat ke arah kami berdua, karena suara kak Risya yang sedikit tinggi.

"Sayang, bukan maksud Ivan be....." ucapku terpotong ketika aku hendak memeluk kak Risya, tapi dadaku didorongnya kuat hingga aku pun termundur ke belakang. Dan kak Risya pun pergi meninggalkanku.

"Sayang... Tunggu dulu.." ucapku memanggilnya, tapi kak Risya tak menghiraukan panggilanku dan tetap pergi menuju pintu keluar mall.

Aku pun berjalan di belakang kak Risya dengan tetap menjaga jarak, agar dia masih tetap berada di dalam pantauanku. Karena aku takut terjadi apa-apa dengannya. Harus kuakui, bahwa apa yang kuucapkan tadi padanya sedikit banyak pasti mengganggu jalan pikiran kak Risya. Awalnya aku tak mau jika hal itu malah mengganggu pikirannya, namun arah pembicaraan tadi yang seperti mengancam keselamatanku malah membuyarkan semuanya.

Kak Risya berjalan memasuki lobby hotel. Aku yang masih terus mengikutinya sedikit memperlambat langkahku, karena mbak Dina yang berjalan mendekatiku sambil memegang sebuah dokumen.

"Maaf pak, ini ada beberapa lokasi yang harus kita pilih untuk pembangunan hotel di kota kembang.." kata mbak Dina sambil menyerahkan dokumen yang dipegangnya padaku.

"Pak Ivan ada waktu, agar kita bisa membicarakan tentang lokasinya..?" tanya mbak Dina sopan.

"Maaf mbak, nanti biar Ivan atur dulu waktunya ya. Soalnya besok Ivan rencananya akan pulang.." ucapku setelah menerima dokumen yang diberikannya.

"Saya permisi dulu, mbak.." pamitku.

"Baik pak.." sahut mbak Dina tersenyum.

Aku pun berjalan menuju lift dan harus menunggu sejenak, karena dari atas pintu lift menunjukkan bahwa liftnya sedang turun.

"Berarti kak Risya sudah sampai di kamar sepertinya.." kataku dalam hati.

"Ting..." suara pintu lift yang terbuka. Aku pun masuk, tak lama kemudian pintu lift tertutup. Dengan cepat aku menekan angka 20..

Lift yang aku naiki ini memang khusus hanya untuk keluargaku saja. Tapi mbak Dina juga menggunakan lift ini, karena ruangan dia bekerja juga berada di lantai 20. Kakek dulu mengusulkan agar mbak Dina juga menggunakan lift yang aku tempati ini, karena dia sudah kami anggap menjadi bagian dari keluarga kami.

"Ting..." pintu lift pun terbuka. Aku pun berjalan menuju kamarku yang berada di ujung sebelah kanan.

Aku langsung membuka pintu kamarku, masuk ke dalam dan kulihat kak Risya tidur terlentang di ranjang sambil memeluk guling hingga menutupi wajahnya. Dia sepertinya menangis, karena aku melihat dari punggungnya yang bergetar. Aku lalu berjalan mendekatinya dan duduk di tepi ranjang.

"Maafin Ivan ya.." ucapku mengelus punggungnya.

"Hiks... Kenapa sih yang kamu sama sekali gak mikirin keselamatan kamu sendiri..?" tanya kak Risya disela tangisannya.

"Aku itu khawatir sama kamu, tapi kamunya malah cuek-cuek aja.." kata kak Risya lagi setelah melepaskan guling yang dipeluknya tadi. Dan aku melihat air matanya yang terus mengalir membasahi pipinya yang chubby itu.

"Kring... Kriing... Kriiing..." suara dering hpku.

"Matikan hpnya, kita belum selesai bicara.." katanya tegas, kemudian duduk di atas ranjang dan guling tadi ditaruh di atas pahanya yang tak sepenuhnya tertutupi oleh baju yang dikenakannya.

Tanpa melihat di bagian atas siapa yang menelponku, aku lalu menggeser icon merah yang berada di bagian bawah layar ponselku.

"Sudah.." ucapku singkat.

"Ivan minta maaf ya sayang.." ucapku mengambil tangan kak Risya dan mencium punggung tangannya.

"Kejadian tadi pokoknya harus kita kasih tahu dengan mas Kevin ya sayang.."

"Iyaa Bee.."

"Kring... Kriing... Kriiing..." suara dering hpku lagi.

"Boleh Ivan terima telponnya..?"

"...." anggukan dari kak Risya.

"Dari mas Kevin sayang.." ucapku memberitahukan siapa yang menelpon.

"Cepetan angkat telponnya, siapa tahu ada yang penting.."

"Halo.. Ada apa mas Kevin..?" ucapku membuka obrolan.

"Loe dimana Van..?"

"Ivan masih berada di puncak mas.."

"Kapan loe baliknya..? Biar gue jemput.."

"Tumben banget ini. Mas Kevin tak pernah seperti ini biasanya.."
kataku dalam hati yang heran dengan mas Kevin.

"Besok siang Ivan baliknya. Gak usah mas, Ivan bisa naik bus aja pulangnya.." ucapku menolak bila dijemput mas Kevin. Kak Risya memperhatikanku yang sedang menelpon dengan memegang tanganku.

"Gue gak terima penolakan dari loe. Pokoknya besok pagi gue berangkat untuk jemput loe.."

"Mas, ada apa sih sebenarnya..?" tanyaku yang mulai merasa aneh dengan mas Kevin. Dia seperti memaksa agar aku pulangnya besok dijemput saja.

"Kamu sedang diburu oleh Bambang Sutedja, pesaing utama keluarga Ararya..!!" kata mas Kevin yang dari nada suaranya seperti khawatir. Aku pun reflek menoleh ke arah kak Risya yang juga sedang menatapku. Tapi aku hanya tersenyum melihatnya, karena aku tak ingin membuatnya khawatir lagi.

"Berhati-hatilah jika loe keluar dari hotel, karena gue takut anak buahnya ada juga di daerah puncak.."

"Ivan sudah bertemu dengannya.." ucapku yang kubuat sesantai mungkin.

"APA...? Tapi loe gak apa-apa kan..? Apa terjadi keributan diantara kalian..?" tanya mas Kevin khawatir.

"Sedikit.." ucapku singkat.

"Ingat Van, loe jangan keluar dulu dari hotel sebelum gue jemput.."

"Kalau loe gak mau dengerin gue, nasib loe bakal sama seperti ketiga sahabat loe.."


"Apa maksud mas..? Kenapa dengan mereka..?" tanyaku dengan suara yang agak meninggi, hingga kak Risya pun menatapku dengan tatapannya yang penuh tanda tanya.

"Adrian, Dino dan Lucky kondisinya parah setelah dihajar anak buahnya Bambang Sutedja. Gue barusan jengukin mereka, katanya mereka dihajar karena tidak mau memberitahukan keberadaan loe pada anak buahnya Bambang.." kata mas Kevin menjelaskan.

"APA....!!!"






DEGH...!!!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd