Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kupu-kupu Patah Sayap

Chapter 4 : Pengadilan

Sebagian orang di dunia ini mengalami keberuntungan dalam hal ekonomi, sebagian lagi dalam karier pekerjaan, sebagian lagi dalam rumah tangga dan cinta. Diantara yang disebutkan itu, tak ada satupun yang menjadi keberuntungan saya. Pada usia muda itu saya belum pernah bekerja sama sekali jadi tak memiliki kesempatan dalam berkarier. Dalam hal ekonomi mungkin akhir-akhir itu saya mengalami peningkatan tetapi uang dan harta yang ada bukanlah milik saya melainkan milik suami yaitu Pak Haji Sarman. Dalam cinta, saya mengalami kegagalan dengan Bang Rudi. Dan rumah tangga ? rasanya hanya kesengsaraan yang saya alami.

Setelah mengalami sedikit kesenangan dan kebahagiaan bersama Bang Rudi di hari itu, hidup saya semakin tak karuan.
Terbangun dalam mobil setelah pingsan, kepala saya sakit sekali dengan badan yang lemah. Jantung ini berdebar tak keruan.
Kabin mobil pada saat itu gelap karena hari ternyata sudah malam.

“Nnnngggh……….” saya menggeliat siuman dari pingsan. Badan terasa sakit semua.

Ingin saya memegang kepala untuk memijitnya karena pusing tetapi kedua tangan saya tak dapat digerakkan.
Dua buah tangan kekar memegangi pergelangan saya kiri dan kanan. Rupanya saya didudukkan di tengah-tengah antara Bang Jek dan Bang Madi. Yang sedang nyupir didepan adalah Bang Jaya. Ketiganya centeng anak buah Pak Haji Sarman.

“Nah udah sadar tuh……” kata Bang Jaya yang menjadi supir. Matanya melirik dari kaca spion di tengah mobil.

“Dimana ini Bang ?” tanyaku lemah.

“Di jalan menuju rumah” jawab Bang Jek.

“Neng Nur Udah ditunggu Pak Haji” timpal Bang Madi.

“Hahahahaha…….” ketiganya tertawa keras bersamaan.

Jawaban-jawaban mereka membuat hati saya sungguh tak mampu menahan lagi debaran jantung yang lemah itu. Jadi berikutnya saya kembali pingsan.

*****

Ketika saya siuman lagi dari pingsan, pandangan mata langsung melihat langit-langit kamar. Saya hafal sekali dengan bentuk dan warna langit-langit beserta lampu nya. Di samping saya ada Bang Jek yang memegang botol minyak angin, rupanya dia yang berusaha membuat saya bangun dengan cara menciumkan minyak angin yang berbau tajam.

“Pak Hajiiii….. nih udah bangun” teriaknya.

Samar-samar saya melihat Pak Haji Sarman berjalan masuk ke kamar lalu berdiri disamping tempat tidur. Di belakangnya ada bapak saya berdiri dengan wajah penuh amarah. Di samping bapak juga ada ibu berdiri sambil terisak-isak menangis.

“Nah, sekarang kamu harus mempertanggung jawabkan kelakuanmu menghianati rumah tangga kita yang baru berumur sebulan. Juga bapak dan ibu sebagai orang tuanya, saya disini merasa dihianati habis-habisan oleh anaknya, jadi harus mempertanggung jawabkan juga. Bagaimana pertanggung jawaban kalian ???”

Saya tak bisa apa-apa selain dari menangis meneteskan air mata.
Cukup lama semua orang berdiam diri.

“Dasar tidak tahu diri…… tidak tahu berterima kasih….. sudah saya angkat kalian dari kehidupan kalian yang miskin balasannya kaya begini ?”

Kami semua diam tak bersuara.

“SETAN !!!!!! Jawab !!!!”

Kami masih diam, tak tahu harus menjawab apa.

PLAKKKKKKKKKK

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi saya.

Saya tak merasakan sakit, karena kemudian pandangan menjadi gelap pekat.
Saya pingsan lagi.

*****

Ketika saya siuman untuk kesekian kalinya, ternyata semua orang telah pergi dari rumah kecuali seseorang yang saat ini tidur di samping saya. Hati saya masih tak karuan, berbagai perasaan bercampuraduk menjadi satu. Perasaan takut, sedih, marah, kesal, dan sebagainya ada di hati ini.
Ada rasa menyesal begitu sesak terasa hingga menarik nafaspun berat sekali. Setelah berfikir banyak, akhirnya saya memutuskan untuk melupakan Bang Rudi dan akan memohon ampun pada suami saya.

Perlahan kuraba pipi kiri yang terasa masih panas bekas tamparan suami saya.
Saya pantas menerima ini, suami mana yang tidak akan marah kalau istrinya selingkuh ? biarpun saya cuma istri ketiganya tapi tetaplah saya istrinya.

Tangan saya menyelinap ke tubuhnya di balik selimut, memeluknya dari belakang.
Dekapan saya membuat dia bergerak, terbangun. Dia lalu berbalik ke arah saya.
Kami saling berpandangan, lalu tangannya meraba pipi saya.

Saya merasa hati ini sedang terkena silet tajam yang mengiris-iris.
Dia telah begitu baik pada saya, dan saya selama ini tak melihat kebaikannya.
Rasanya saya telah begitu berdosa.

“Iya pak….. saya yang salah….. Demi Tuhan saya mohon ampun sama bapak”

Dia tersenyum, walaupun senyumnya hambar.

Saya berinisiatif untuk mencium pipinya, dan dia diam saja sambil tetap memandang.

Kemudian saya menyelinap ke balik selimutnya, merapatkan tubuh.

Hmm… laki-laki….. segalak apapun dan semarah apapun pasti akan takluk kalau tubuh wanita sudah rapat seperti itu.
Suami saya juga sama, tangannya langsung memeluk pinggang ramping saya dan memeluk erat.
Mengambil moment itu dengan harapan dia akan mengampuni saya, maka saya langsung bergerak naik ke tubuhnya.
Saya mencium bibirnya.
Kami berpagutan bibir lama sekali sampai pelan-pelan saya merasakan ada sesuatu yang mengeras di selangkangannya. Kedua tangannya menelusup ke balik gamis saya dari bawah dan dengan erat menggenggam dua buah pantat saya yang ranum.

Dengan masih berpakaian lengkap, saya menempelkan belahan vagina saya ke kejantanannya yang mengeras.

“Mmmmh…….” dia mengerang seraya meremas pantat saya lebih kencang dan menekan lebih keras agar vagina saya yang masih terbalut celana dalam itu makin erat menempel di kejantanannya.

Saya menggoyangkan pantat secara pelan, hingga ujung kejantanannya tepat berada di belahan daging vagina saya.
Pasti rasanya empuk.

Dia mendelik, bola matanya keatas.

Lalu tubuh saya didorong kesamping dan ia memanjat, menindih tubuh saya.

“Hkkkkk…..” berat tubuhnya menimpa tubuh saya sepenuhnya. Berat sekali, tapi saya tidak protes.

Ciuman Pak Sarman bertubi-tubi menyerang seluruh wajah saya. Bukan hanya bibir ini, tetapi juga pipi, hidung, mata, dan meluncur ke balik kuping yang membuat merinding.
Pelan tapi pasti, vagina saya menjadi basah akibat diciumnya bagian belakang kuping. Disitu memang kelemahan saya.
Geli-geli enak gitu rasanya, hingga merinding merinding seluruh bulu tubuh.
Apalagi ketika bibirnya merayap ke leher dan ke dada, vaginaku lebih basah lagi.

Dia bangkit dari tindihannya ke tubuh saya, lalu menjawil ujung gamis saya dari bawah dan disingkapkan hingga sampai dada. Udara dingin AC langsung terasa di tubuh saya yang terbuka. Beha saya pun ditariknya keatas sampai dua payudara saya nyembul dari bawah bh krem. Mulut Pak Sarman langsung menggasaknya dengan rakus.
Satu tangannya meremasi buah dada saya yg sebelah, jemarinya terkadang memilin milin puting sampai puting saya tegang mencuat.

“Oooh……” desisku.

Pak Sarman tak berbicara, hanya kecipakan lidah dan air liurnya saja yang terdengar.
Saya diam, memberikan seluruh tubuh dan perhatian saya padanya sebagai tanda permohonan ampun.
Saya sudah berniat teguh dalam hati untuk melupakan Bang Rudi.
Inilah realita yang harus saya hadapi, Bang Rudi hanya mimpi. Realitanya saya harus menerima bapak tua ini sebagai suami saya, tak ada realita lain. Jadi mau tidak mau saya harus menerimanya dan menjalaninya

Pada saat mata saya terpejam kala Pak Sarman menikmati dua gumpal payudaraku yang membusung indah, jemari Pak Sarman kurasakan merayap ke selangkangan saya yang sedang ditekan oleh kejantanannya diatas celana dalam krem saya. Jemari itu menyelinap ke baliknya, lalu mengusapi celah vagina saya yang telah basah.

“Paaaak…….” desisku lagi
Suamiku, Pak Haji Sarman, seakan tak perduli. Hanya bagian atas kepalanya yang botak terlihat di dada saya.
Lampu oranye temaram dari samping tempat tidur membentuk bayang-bayang di dinding kamar menampilkan siluet tubuhnya yang sedang menggumuli tubuh saya.

Ujung jemari Pak Sarman menyentuh kelentit saya yang tegang dan sangat sensitif.

“Paaaak…… ngilu……” teriakku lirih.
Tapi Pak Sarman tak mengendur, dia malahan menggecak kelentit saya yang super sensitif itu dengan dua jemari. Terkadang dua jarinya itu dia masukkan kedalam celah vagina saya yang teramat basah untuk kemudian diusapkan lagi ke permukaan kelentit saya.

Rasa ngilu itu makin lama terasa menjadi enak, malahan saya merasa ingin lebih terasa ngilu lagi.
Seluruh tubuh sampai tergetar-getar merasakan ngilu yang nikmat itu.

Tak berapa lama kemudian Pak Sarman suami tuaku itu bangkit untuk melepaskan celana dalam saya yang bagian depannya sudah basah. Saya melihatnya memegang kejantanannya yang tegang berbentuk besar namun tidak terlalu panjang. Dia mengarahkannya ke celah vagina saya.

“Ayo paaak…. masukin…..” desahku. Sebagian karena terangsang, sebagian lagi adalah tanda pasrah saya untuk menebus kesalahan padanya.

“Masukin kemana Nur ?” tanya nya tanpa memanggil “Neng” seperti biasanya.

“Kesitu paaaak……” jawabku.

“Kemana….. ? bilang dong “ desaknya.

“Ke punya Nur paaak” kedengarannya memang saya seperti memohon, tapi sebetulnya biasa saja.

“Punya Nur namanya apa ?” desaknya lagi.

“Itu paaaak”

“Apa ? sebutin aja Nur” desaknya lagi.

“Vaginaaaaa” jeritku lirih

“Hahaha…. bilang ‘memek’ Nur… bukan Vagina”

“I… iya paaak…. memek”

Dan Blessss….. Pak Sarman menekannya sampai mentok.

“Heggggghhhhh….. “nafasku sedikit tertahan menerima kejantanannya yang melesak, membuka bibir vaginaku hingga cukup lebar terentang oleh kejantanannya yang memang besar. Kalau di kampung saya biasanya istilahnya adalah “Pondok Gede” yang artinya Pendek Besar”

Pak Sarman menikmati sebentar empotan vagina saya yang memang sengaja saya empot-empotkan.
Dia mengerang.

“Nggggghhhh……” lalu menariknya hingga lepas.

Plong….

Rasanya kosong. Vaginaku menagih untuk ditusuk lagi.

Blesss….

Pak Sarman menusukkan lagi kejantanannya sampai full.

Bret….

Di nggak-nggak juga vagina saya baru sebulan dinikmati olehnya. Belum terlalu lebar lah kalau ditusuk seperti itu ada rasa perih juga.

“Lagi Nur…. .?”

“Iya pak….”

“Kaya gini ?”

Slep… bret… slepp… bret….

Dia menusukkannya dua kali

“Aaaah…… enaaaaak….. memek pelacurrrrrrr “ katanya

Hah ????
Kok dia bilang begitu ? saya terperangah.

“Udah berapa kali kamu dientot lelaki lain Nur ?” pertanyaan yang mengagetkan.
Saya tidak merasa harus menjawab, jadi saya hanya memejamkan mata menerima genjotannya.

“Jawab Nur….. udah berapa kali memek kamu di entot orang ?”
Saya masih diam.

“JAWAB…..”

“Eh…. sekali pak….” jawabku setengah berbisik.

“Enak dientot orang ?” tanya nya.
Saya tak menjawab lagi.

“Pasti enak lah… kamu ketagihan dientot orang ?”

Ragu saya untuk menjawab.

“Saya sakit hati Nur….. “ katanya sambil menghunjam kembali dan dia menekan kuat-kuat didalam tubuhku.

Aduh pasti dia mau keluar lagi…. sebentar banget.
Saya mengempotkan otot vagina saya, sebagian karena saya sengaja, dan sebagian lagi karena respons vagina saya yang otomatis mengempot saat dihunjam.

Satu…. dua…. tiga….. saya menghitung dalam hati.

SROOOOOOOT……. srooot…. sroot….
Ada rasa hangat didalam rahim saya yang membuat saya otomatis berusaha juga meraih kenikmatan.
Tubuh Pak Sarman berkelojotan di atas tubuh saya lalu berguling ke samping dan telentang.
Terasa cairan hangat itu mengalir keluar cukup banyak, membasahi sprei.

Tadinya saya akan berusaha membersihkan cairan itu, namun Pak Sarman menghalanginya.

“Jangan…. “katanya.

“Kenapa pak ?”

“Bapak mau lagi”

Duh ? tumben….. tapi emangnya bisa ? saya meragukan.

“Emut punya bapak, Nur”

Wah, ada kemajuan.

Saya mengemut kejantanannya yang sudah layu, masih terasa aroma vaginaku di kejantanannya.
Namun sebagaimanapun usaha saya, barangnya tak juga berdiri.

“Sebentar Nur…. tunggu” katanya sambil bangkit dari tempat tidur dan mengenakan sarung.

“Kemana pak ?”

“Tunggu aja” katanya.

Pak Sarman keluar beberapa menit. Saat kembali dia tersenyum lebar.

“Ayo Jek cepetan” katanya pada seseorang di belakangnya.

Hah ? apa-apaan ini ?
Saya menarik selimut menutupi tubuh saya.

Bang Jek masuk ke kamar cengar cengir.

“Beneran Pak ?” tanya nya.

“Kalo kamu ngga mau terserah….” kata Pak Sarman.

Saya makin bingung.
Ketika Bang Jek naik ke tempat tidur, dia langsung membuka baju dan celananya semua sampai bugil.
Tubuhku mengkeret didalam selimut.

Pak Sarman naik juga ke tempat tidur lalu dia memelukku, dan mencium bibirku ganas.

“Paaaak……. ini apa-apaan paaaak ?” saya berontak.

“Udahlah Nur…. anggap aja ini hukuman kamu menghianati saya” katanya.

Ingin sekali rasanya berteriak, tapi tak mampu
Saya merasakan selimut saya ditarik dari bawah oleh Bang Jek.

“Ayo terusin Jek” kata suamiku sambil menarik diri lalu duduk di kursi yang ada dekat lemari.

Bang Jek tanpa ragu langsung menindih tubuhku yang telentang dengan gamis terangkat sampai dada.
Saya berontak dan menjerit, tetapi apa daya pada saat wanita sudah ditindih dengan posisi mengangkang begitu tak mungkin lagi melawan.

Sebentuk benda keras terasa menempel ketat di selangkanganku yang masih basah oleh sperma Pak Sarman.

“Jangan…. bang……” saya memohon.

“Hehehehe” dia hanya tertawa.

“Baaang jangaaaaan……” saya terisak.

“Hahahaha, terus Jek” Pak Sarman menyemangati dari atas kursi sambil menonton.

Kedua tangan saya ditahan oleh tangan kuat Bang Jek keatas kepala.

Duh Gustiiiii….. nasib saya kenapa seperti iniiiiiiii ???
Begitu tega nya suami saya memperlakukan seperti ini ?
Jika ini merupakan pengadilan atas dosa saya, tak sudi rasanya dibuat seperti ini.
Saya berhubungan dengan Pak Sarman karena dia suami saya.
Saya berhubungan dengan Bang Rudi karena saya mencintainya.
Tapi apakah saya harus melayani Bang Jek karena terpaksa ????

Air mata ini meleleh dan terus memohon.

“Baaaang…. ampun baaang… jangannnnnn” tapi Bang Jek tak peduli.
Saya ngerti, ini pasti kesempatan buat dia menikmati tubuh muda yang mulus, secara istrinya Bang Jek itu sudah cukup berumur dan berwajah jelek dengan tubuh gemuk.

“Baaang… .tolong…. jangan baaaang”

Tapi Bang Jek tak peduli omonganku yang memohon mohon, dia mengarahkan kejantanannya ke vaginaku yang masih basah oleh Pak Sarman.

SLEBBBB…..!!!

“HEKKKKKKKKKKKKKK”

Ya Gusti….. besar sekali.

Bibir vaginaku merekah lebar menampungnya.
Ujung kejantanannya membonggol besar, perlahan menyelinap menelusuri lorong vagina saya yang masih sempit.

SLEBBBBB !!!

Bang Jek menekan terus.
Mata saya sampai melotot merasakan begitu lebarnya vagina saya direkahkan.

“Gede banget barang lo Jek “ Pak Sarman komentar.

“Hehehehe” dia tak menjawab.

“Ayo terus Jek, entotin pelacur ini”

Aku bukan pelacur….

Bang Jek menarik kembali kejantanannya sampai lepas.

PLOP !

Dan vaginaku bersuara bagai botol yang sedang dibuka tutupnya.

Sesaat kemudian Bang Jek Memasukannya lagi namun kali ini perlahan.

Aaah….. rasa gatal yang tadi terasa ketika berhubungan dengan Pak Sarman, sekarang muncul lagi terpancing oleh kejantanan besar dan panjang itu.

Bang Jek menekan lagi.

“Gimana Neng….. enak ?” tanya nya. Aku tak menjawab. Air mataku mengalir merasa tak berdaya.

“Oooh…. ngga enak…. ya…. kalau ini ?” Bang Jek menggoyangkan pantatnya memutar, membuat kejantanannya yang sedang bersarang sampaike ujung rahimku itu ikut berputar.
Gerakan itu membuat sesuatu didalam sana tersentuh, entah apa … yang jelas rasanya……… enak.

Saya masih menangis terisak.
“Jangan Baaaang… udah baaaang… hik…. “ saya terus memohon.
Bang jek terus memutarkan pantatnya, sampai kejantanannya menggecak bagian dalam vaginaku hingga ke sudut-sudutnya.

“Nggggh….. nggggh… ngggh… hkkkkkkk” saya tak mampu menahan suara yang keluar dari mulut ini.

“Haha….. dia menikmati … Pak Haji….” katanya.

“Dasar Pelacur !!!!” desis Pak Haji Sarman.

Saya menahan semua rasa itu agar tidak bersuara, agar tidak menikmati. Namun vagina saya berkata lain.

Ketika Bang Jek menyudahi goyangannya, untuk kemudian berganti gerakan menjadi menusuk dan mencabut, dia melakukannya begitu lincah dan seperti bermain main. Terkadang menusuk setengah berkali kali lalu tiba-tiba menghunjam sampai mentok di rahim.

Saya tak kuat menahan suara.

“Aaaaaah……….. ngggh nggh nggh” suara saya beriringan dengan celepakan vagina saya yang tengah digecak.

“Udaaaaah Baaaang……. Amm….. puuuun….”

Namun kejantanan yang besar itu menghunjam-hunjam dan gesekannya di kelentitku membuat rasa itu menguat.
Saya sudah bertahan semampu saya, sumpah.
Tapi vagina saya seperti memiliki fikiran sendiri yang tak mau diatur.
Saya tak kuat menahan desakan dari dalam tubuh saya yang rasanya semakin intens dan memuncak.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHH”
Ketika saya menjerit, Bang Jek menarik kejantanannya dari vaginaku.
Dia mengocok kejantanannya sambil muncratin sperma di perut saya banyak sekali.

Serrrrr………. serrrrr……. serrrrrrr……
Ya Gustiiiii…… vagina saya memuncratkan air.
Tubuh saya bergetar hebat…..

“ooooooooooohhhhhhh……”
Tak mengerti kenapa tubuhku begini. Saya tak mampu mengontrolnya lagi.
Rasanya luar biasa…..
Tapi saya tetap menangis, dan itu ditertawakan oleh Pak Sarman dan Bang Jek.

“Waaah….. enak Pak Haji…… baru sekali ini saya nikmatin perempuan cakep kaya gini.. hehehe” kata Bang Jek disela tangisanku.
“Hahaha….. yaudah….. sana keluar Jek……” dan Bang Jek pun pergi keluar sambil cengengesan membawa semua bajunya.

Dan setelah itu saya melayani lagi Pak Sarman yang tetap sebentar juga melakukan hubungan sex dengan saya.


*****

Pada akhirnya setelah memuaskan diri dengan tubuhku yang terakhir kali Pak Haji Sarman menjatuhkan talak tiga. Saya merasa bahwa tindakan beliau memang pantas dilakukan karena biar bagaimanapun saya telah menghianati perkawinan kami. Semua memang salah saya dari sejak awal. Namun saya jujur tidak terima juga dengan perlakuan dia memberikan tubuh saya pada Bang Jek. Biar bagaimanapun saya bukan pelacur.

Menanggung malu yang tak tertahankan dari para tetangga setelah kejadian tersebut, saya dikirim ke salah seorang famili di Jakarta. Status saya di usia 18 tahun itu adalah Janda Kembang yang diceraikan suami gara-gara berzinah dengan mantan pacar. Di KTP, status saya masih “Belum Menikah” karena sejak menikah memang belum sempt merubah status baik di Kartu Keluarga maupun KTP. Maklum, usia perkawinan hanya satu bulan.

Masih untung bahwa Uwak Dadang masih mau menampung saya untuk sementara waktu. Namun kejadian di kampung tak diceritakan seluruhnya pada istri Uwak Dadang. Beliau hanya tahu bahwa saya baru lulus sekolah SMA dan sedang berusaha mencari pekerjaan. Untungnya juga Uwak Dadang yang baik itu bisa memasukkan saya bekerja di sebuah toko kelontong di Pasar Gembrong, Jakarta. Pemiliknya adalah Koh Aseng yang merupakan teman dari Uwak Dadang. Karena itu maka saya tidak tinggal terlalu lama di rumah Uwak Dadang yang ada di Jatinegara.

Koh Aseng ini adalah pemilik toko kelontong yang tradisional sekali. Usianya belum terlalu tua, katanya sih belum sampai 40 tahun tetapi badannya itu gemuk pendek sehingga terlihat sudah usia 50. Kacamata bulat selalu menghias wajahnya, menambah kesan pedagang keturunan Chinese yang tradisional. Apalagi dilengkapi dengan kaos singlet merk Swan yang selalu dikenakan, tak ketinggalan kipas tangan berbentuk setengah lingkaran bergambar bunga-bunga yang selalu dikibaskan ke tubuhnya ketika duduk di kursi.

Pegawai Koh Aseng ada empat orang, dan saya paling cantik diantara mereka karena semuanya laki-laki yang rata-rata berusia duapuluhan. Saya ingat sekali semua teman sesama karyawan Koh Aseng baik wajah, bentuk tubuh maupun sifat-sifatnya.

Yang namanya Misno, orang Brebes yang kalau ngomong lucu sekali. Dia hanya beda setahun diatas saya jadi dia termasuk yang paling dekat dengan saya. Tiap makan saya dan Misno selalu bareng. Orangnya berkulit gelap dan kurus sekali, tetapi tenaganya luar biasa. Karung beras seberat 25 kg mampu diangkat tiga karung sekaligus jika sedang mamasukkan beras kedalam mobil pelanggan. Dia baik dan menurut saya paling ndeso diantara semua. Tapi saya suka akan sikap rendah hati orang-orang culun seperti Misno. Tidak pernah macem-macem.

Ada lagi Mas Agus, yang juga orang Brebes tetapi mungkin karena sudah cukup lama di Jakarta maka medok ngapaknya sudah tak terlalu kentara. Dia paling malas kerja, tukang bohong, pinter ngakalin, tetapi paling senang bercanda. Kulitnya juga gelap seperti Misno, tetapi tubuh Mas Agus itu gempal pendek.

Yang terakhir adalah Mas Dewo, orang Surabaya yang juga berkulit paling gelap diantara semua karyawan. Dia ini paling keras kepala, galak, dan seringkali kasar. Tetapi dia adalah orang kepercayaan Koh Aseng. Usianya kemungkinan sudah mendekati 30 tahun dan sudah menikah dengan dua anak yang masih kecil-kecil. Diantara kami, hanya Mas Dewo yang tidak tinggal di toko. Saya, Misno dan Mas Agus tinggal di toko yang juga menjadi kediaman keluarga Koh Aseng. Saya menempati kamar paling kecil berukuran 2 x 1,75 meter yang dulunya sih katanya gudang tempat naruh barang-barang bekas. Lokasinya tepat berada dekat dapur dan kamar mandi. Misno dan Mas Agus menempati kamar yang lebih besar yang ada di sebelah kamar saya. Jadi kamar saya diapit oleh kamar mereka dan kamar mandi. Saya bersyukur sekali bisa bekerja di toko kelontong Koh Aseng sehingga bisa melupakan hal-hal buruk yang sudah saya alami. Yang membuat saya kurang nyaman adalah betapa panasnya udara di Jakarta. Apalagi jilbab dan gamis yang selalu saya kenakan membuat udara terasa lebih panas lagi.

Kalau tidur, saya terbiasa untuk berganti pakaian mengenakan celana pendek dan T-Shirt longgar. Kadang-kadang juga saya mengenakan hot pants atau daster longgar berbahan halus dan dingin. Dengan begitu, udara yang panas tidak terlalu menyiksa saya yang belum terlalu terbiasa. Sebuah kipas angin kecil sudah disediakan oleh Koh Aseng sebagai bagian dari peralatan di kamar. Tidak ada tempat tidur di kamar, hanya ada kasur yang digelar diatas karpet plastik tipis bergambar Teletubies.

Tok-tok-tok.
Ada ketukan perlahan di pintu kamar saya malam itu.

“Siapa ?” tanya saya.

“Misno, Nur” jawabnya.

“Tunggu bentas, saya pake jilbab dulu”

“Halah ra perlu Nur, sebentar ae” katanya dengan logat jawa medok.

Dipikir-pikir iya juga sih, ribet banget dan udara memang panas. Jadi saya buka pintu kamar tanpa berganti pakaian jilbab. Saya mengenakan celana pendek ketat hot pants dengan kaus oblong longgar warna putih.

Ceklek, pintu kamar saya buka. Ada wajah Misno yang sedang nyengir disana.

“Ada apa No ?”

“Nganu…. ini tadi aku makan nasi goreng diluar inget kamu Nur” katanya sambil memberikan sesuatu dalam bungkusan kresek hitam.

“Wih….. banyak duit ya ? kok ngga makan di sini aja ?” saya senang karena Misno memang kawan yang baik.

“Ah bosen makannya kangkung sama tempe melulu….. Koh Aseng pelit” katanya mbrengut.

“Hahaha… iya sih…. tapi kan gratis” komentarku.

“Gratis opo…… ora ono sing gratis Nuuuur, wong abis makan musti bersih-bersih semua piring mereka juga”

“Ih kan kamu mah kadang-kadang aja nyuci piringnya, seringnya kan saya” protesku.

“Hahaha….. ya uwis…. met makan yaaaa….. aku ke kamar…… “ katanya. Tapi dia bukannya langsung pergi, malah menatap dada saya.

“Ih katanya mau ke kamar, malah bengong” saya mengepruk wajahnya dengan jemari tangan.

“Hahaha……. iya…. anu Nur….. nanti…. diperiksa baik-baik ya kreseknya “

“Halah nasi goreng aja pake diperiksa baik-baik”

“Pokok’e periksa ya… jangan dibuang begitu aja”

“Iyaaaa…. ikan bawal” ledekku…. maksudnya adalah bawel, bukan bawal.

Jadi setelah menutup pintu yang kadang susah dikunci, saya membuka bungkusan kresek hitam itu. Isinya memang Nasi goreng dalam bungkusan kertas nasi warna coklat. Dengan senang hati saya makan di kamar sambil senyum-senyum.

Eh, tadi si Misno bilang suruh periksa kresek baik-baik. Apa ya maksudnya ?

Penasaran saya meraih kresek hitam itu lalu merogohnya. Gak ada apa-apa kok, maksudnya apa sih si Misno ?

Oh… ini ada secarik kertas kecil. Apa ya ?

Hmmm….. sambil mengunyah pelan, saya memperhatikan kertas tersebut. Ternyata ada tulisannya.

Nur yang baik….
bersama melayangnya surat ini saya memberanikan diri untuk bilang bahwa saya mencintai kamu.
Saya ingin jadi pacarnya Nur kalau boleh.

Tertanda
Misno


Rasanya mau keselek nasi goreng itu di tenggorokan saya.
Segera saya minum air putih yang memang selalu tersedia dalam gelas di kamar.

Gluk gluk gluk gluk…..
Yah…. jadi hilang nafsu makan saya.

Bukannya apa-apa sih, tapi Misno itu bukan tipe saya. Dia baik sih, tapi terlalu …… ah… apa ya….. tidak jantan gitu deh.
Hihihi….. lucu rasanya kalau pacaran sama Misno. Tapi kok bingung ya, harus gimana saya menjawabnya.
Saya tidak minat pacaran sama Misno.

Lagian….. dia belum tentu mau sama saya kalau tau kisah hidup saya.

Hmmm….. tapi saya bingung.
Pertama, gimana caranya menolak ? secara saya ngga tega.
Kedua, Misno itu baik.
Ketiga, ya…. saya memang udah ga punya siapa2 lagi disini.
Apakah lebih baik saya terima ?


Saya membungkus kembali nasi goreng kiriman Misno lalu menaruhnya di sudut kamar dekat segelas air minum yang selalu tersedia dengan teko plastiknya. Sambil merebahkan diri, saya memikirkan berbagai pertimbangan atas tembakan misno di surat.
Ih si Misno….. masa nembak cewek pakai surat ddi balik robekan buku Nota Kontan….. kesal juga saya.
Pikiran saya terus berputar sampai akhirnya hampir ketiduran kalau saja tidak terdengar ketukan lagi.

Tok-tok-tok.

Saya terperanjat dari kliyep-kliyep yang hampir ketiduran tadi.
Ih si Misno…… ngga sabaran banget sih.

Segera saya buka pintu, tapi ternyata bukan Misno melainkan Koh Aseng.

“Nur…. belum tidur kan ?” tanya koh Aseng yang bajunya itu-itu terus. Dia pasti gonta ganti kaos singlet Swan nya tapi semua modelnya kan sama, jadi kelihatannya ngga pernah ganti.

“Hampir tidur, Koh” jawab saya.

“Bantuin dulu si Enci dong…. dia masuk angin pengen diurut. Lu pasti bisa kan ?”

Haduh….. udah ngantuk gini disuruh ngurut si Enci.
Tapi sebagai pegawai baru, tentu saya tidak mungkin menolak.

“Yaudah…. boleh Koh”

“Okeh….. di kamar atas si Enci nya…… yuk ikut kokoh”

“Sebentar koh…. saya ganti baju dulu”

“Alah…. lu orang ngapain ganti baju… udah begitu aja cepetan”

Hmmm…. sebetulnya agak risi juga sih, soalnya biasanya saya kemana-mana pakai jilbab. Tapi, ya udahlah lagian memang serumah tiap hari dengan mereka.

“Lu jalan duluan” kata Koh Aseng.

Dan jadilah saya jalan duluan, diikuti Koh Aseng di belakang saya.
Sepanjang perjalanan ke kamar utama di lantai atas, saya agak risi juga terutama saat naik tangga. Saya merasa pandangan koh Aseng seperti menatap lekat ke bentuk tubuh bawah saya yang hanya bercelana hot pants ketat.

Sampai akhirnya kami masuk ke kamar, koh Aseng menutup pintu.

“Mana enci nya Koh ?” sambil memandang berkeliling kamar.

“Aduh… mana dia ya ? tadi ada…… oooh iya… kayanya lagi berak di kamar mandi” katanya.

Saya ketawa dalam hati, karena tidak terbiasa mendengar kata-kata “berak” diucapkan dengan bebas. Kalau di kampung saya selalu dengan istilah “ke belakang” atau “buang air”. Memang si kokoh ini rada-rada kasar ngomongnya kalau untuk ukuran orang Sunda seperti saya.

“Yaudah, sambil nunggu Enci selesai kamu pijitin kokoh dulu aja”

Bingung sih…. risih rasanya. Tapi, ya itulah nasib pegawai kecil yang baru bekerja. Serba takut untuk menolak.
Belum apa-apa si Koh Aseng sudah tiduran aja di atas kasur lipat kecil yang sudah digelar di lantai. Dia membuka kaos singletnya lalu menelungkup.

“Minyaknya dimana koh ?”

“Kaga usah minyak-minyakan….. gua kaga suka pake minyak… lengket…. lu orang pijit kering aja”

“Oooh… iya koh”

Dan jadilah saya berlutut di samping Koh Aseng, lalu mulai memijiti punggungnya dan kemudian betisnya sesuai dengan perintahnya.

Baru sekitar 15 menit, keluarlah Ci Hana dari kamar mandi yang ada didalam kamar.
Ci Hana ini orangnya gemuk, mirip banget tipe nya dengan Koh Aseng. Mungkin karena banyak makan enak jadinya badannya seperti itu. Coba kalau lebih diurus tuh pasti bagus, soalnya Ci Hana itu sebetulnya cantik.

“Loh…. elu duluin gua malahan ya…..” katanya pada Koh Aseng.

“Daripada nungguin elu lama, mending si Nur mijitin gua dulu” jawab Koh Aseng.

Jadi malam itu saya memijiti suami istri pemilik toko kelontong itu sampai sekitar jam 11 malam. Ngantuk dan capek sekali dengan hati agak kesal.
Tapi ada sedikit kebahagiaan yang saya dapatkan ketika selesai memijiti mereka ternyata Koh Aseng memberi uang 15 Ribu.

“Makasih ya Nur…..” Kata Ci Hana.

“Sama-sama Ci…….” jawabku gembira.

“Makasihnya sama gua Nur…… kan gua yang kasih duit…..” protes Koh Aseng.

“Iya Koh… makasih banyak…..”

Dan malam itu saya tidur nyenak dan bahagia sampai terlupa perihal jawaban buat tembakan si Misno.
Mudah-mudahan Koh Aseng dan Ci Hana sering nyuruh mijitin, biar nambah-nambah uang buat nabung.


BERSAMBUNG ke Chapter 5 : Koh Aseng dan Minyak Kelapa
 
Bimabet
misno patah hati...yg dapat malah si engkoh...lanjut bos
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd