Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
BAGIAN 20


Aku dan Angela berjalan jauh meninggalkan ruangan yang tadi digunakan untuk pemotretan Angela. Entah berapa meter aku berjalan, aku hanya mengikuti langkah Angela yang berjalan di depanku. Kira-kira jarakku dengan Angela sekitar lima meteran.

"Sini, Kak," panggil Angela mengayunkan tangan kiri menuju ke tangga yang berada di sebelah kiri. Setelah itu, ia berlari menaiki undakan tangga berlantaikan marmer.

"Hei, jangan cepat-cepat," ujarku dengan langkah yang sedikit kupercepat.

Baru empat langkah, Sosok Angela segera menghilang dan menyisakan suara reverb dan delay dari getaran yang dihasilkan dari tumbukan telapak kaki dan lantai.

Buset tuh anak, cepet banget larinya. Semangat sekali untuk mati. Hihihi.

Aku belok ke kiri dan kaki kanan kuangkat memijakkan undakan pertama pada tangga menuju ke lantai atas. Lantai marmer ini sangat cantik. Jenisnya berbeda dari lantai yang aku pijak di bawah. Tadi, saat aku melihat Angela naik, aku lihat lantainya tampak biasa, akan tetapi ketika kudekati dan diperhatikan secara seksama, bentuk dan coraknya menawan. Ada 15 anak tangga.

Langkah kakiku menaiki undakan. Pada undakan ke lima belas, lantainya lebih lebar. Ini baru setengah jalan menuju ke lantai atas. Aku pun melanjutkan langkah kakiku. Aku belok ke kiri, kemudian ke kiri lagi menyusuri tangga yang cukup lebar. Mungkin bisa untuk 5 orang berjalan berjajar.

30 anak tangga sudah aku lalui. Di atas ini aku menoleh ke kiri. Kulihat tidak ada Angela. Huff, di mana sih dia?

"Kak, lewat sini," panggil Angela dari arah kanan.

Oh, jalannya ke arah sana. Memang sih, mansion ini sangat luas. Saking luasnya, aku bisa tersesat. Hihihi. Walaupun begitu, aku masih hafal arahnya. Jalan dan lorong di dalam mansion ini hanya ada dua arah. Ke arah Timur ke Barat, dan Utara ke Selatan.

Angela berdiri menungguku. Aku cepatkan langkah kakiku menuju ke arah Selatan. Di sebelah kiri, yaitu di arah Timur, dinding dengan jendela kaca cukup lebar berjajar dari Utara ke Selatan. Sinar mentari masuk menembus jendela kaca menerangi koridor, menerpa pakaian olahraga yang kukenakan dari gazebo di belakang taman. Dari sini, aku bisa melihat taman labirin dan kolam air mancur tempat semalam chef Jessica diperkosa dan dibunuh dengan kejam. Kepalanya digorok sampai batang lehernya terbelah menjadi dua bagian. Memisahkan kepala dengan torso. Vino, sang penjagal chef Jessica mencengkram dan menjambak ubun-ubun, lalu mengangkat kepala juru masak cantik dengan tangan kiri. Vino berjalan ke arahku yang terikat di tiang lampu taman. Ia berjalan seraya menenteng kepala chef Jessica yang sepasang bola matanya membelalak dengan mulut terbuka bersimbah darah.

Mengingat kejadian itu, aku jadi sedih. Tidak pantas chef Jessica dibunuh dengan cara itu, harusnya aku yang dibunuh.

"Kak Siska, kenapa bengong?" tanya Angela yang sudah berdiri di depanku.

"Eh, nggak kok. Udah yuk, lanjut ke acaranya kamu. Masih jauh ya?"

"Dekat, kok. Bentar lagi sampai, Kak."

Angela berjalan beberapa langkah meninggalkanku, kemudian terhenti.

"Di sini sepi ya, Kak. Tidak ada pembantu pak Borgan," ucap Angela.

"Iya. Mungkin mereka tadi sudah membersihkan area ini. Lihat saja, tuh lantai dan jendelanya bersih," ujarku menunjuk lantai marmer kemudian ke jendela kaca.

"Benar juga."

"Hayoo, mau ngapain tanya-tanya sepi? Jangan bilang kalau kamu mau bugil di sini, hihihi," celetukku.

"Iihh, kak Siska. Kok tahu, sih?"

"Hahaha, ya tahu dong. Kamu sering eksib, kan?"

"Hihihi." Angela tertawa sembari membetulkan selembar handuk yang membalut tubuh sintalnya.

"Kalau mau bugil, bugil saja. Kamu tidak perlu cemas. Ada kak Siska yang menjagamu."

"Orang di sini kan beda sama yang lain. Mereka mana ada yang berani melecehkan aku?"

"Iya sih, tapi semalam ada penyusup yang hampir memperkosaku lho."

"Betul juga ya. Kalau begitu, aku bugilnya nanti saja,"

"Sekarang saja gak apa-apa kok. Kak Siska sering bugil, tapi apes aja kak Siska hampir mengalami dua kali pemerkosaan. Mereka semua sudah dihukum."

"Nggak deh, Kak. Nanti aja. Nanti kak Siska nafsu mau memperkosaku lagi, hihihi,"

"Hihihi, ngawur. Kalau kamu bugil yang ada malah aku ingin makan kamu, Weekk," ujarku menjulurkan lidah ke arahnya.

"Hihihi. Yuk, Kak. Cabut," ucap Angela kemudian berjalan ke arah Selatan.

"Okay," jawabku kemudian berjalan menyusulnya.

Kami berjalan di koridor menuju ke arah Selatan. Di depanku ada pertigaan ke arah Barat dan ke arah Selatan.

"Lewat sini, Kak," ucap Angela menarik pergelangan tangan kananku.

"Oh, kirain lurus."

"Ke sananya nanti aja, Kak. Setelah taxidermy aku selesai."

"Emang di sana ada apa ya?" tanyaku penasaran.

"Nanti kak Siska bakal tahu sendiri kok. Yuk, Kak," ujar Angela menarik tanganku berjalan ke arah Barat. Aku pun mengikutinya.

Kami berjalan di koridor yang tidak begitu panjang. Di perempatan di depan kami, Angela menuntunku belok ke kiri. Jarak dari pertigaan ke sini kira-kira sepuluh meteran.

Di hadapan kami, dua buah daun pintu berbahan kayu berukiran satu wanita memegang kendi berisi air dan sedang menuangkan kendi ke sebuah kolam. Pintu satunya seorang laki-laki melakukan hal yang sama seperti daun pintu satunya. Mirip zodiak Aquarius. Warna catnya putih gading. Angela memegang gagang pintu, kemudian menahannya.

"Ayo, Kak. Sini masuk," panggil Angela seraya jemari dan telapak tangan kanannya melambai sebagai isyarat agar aku ikut masuk ke dalam ruangan.

"Iya Angela sayang." Aku tersenyum, lalu masuk ke dalam.

Di dalam sini belum ada siapa-siapa. Hanya aku berdua dengan Angela. Ada satu lampu di tengah ruangan yang menyala menerangi ruangan ini. Luasnya sekitar 15 meter kali 15 meter dan tinggi dari lantai ke langit-langit sekitar enam meter. Tidak ada furnitur. Benar-benar kosong. Di sebelah Selatan arah jam 11 ada dua daun pintu seperti pintu yang baru saja kumasuki, lalu ada pintu di pojok di arah jam 2. Lantai dan dinding berbahan marmer yang warnanya serasi. Lapisan marmer mengkilap. Samar-samar aku dapat melihat bayanganku dan Angela yang terpantul di dinding marmer di depanku. Di sudut atas di dekat langit-langit dan dari berbagai arah terdapat kamera yang mengarah ke tengah ruangan. Ada kamera yang Aku hitung ada 8 kamera yang ada di atas. Selain itu, ada 8 kamera yang tingginya sekitar 3 meter dari lantai yang menempel di dinding seperti kamera CCTV. Ukurannya sedikit lebih besar dari kamera CCTV konvensional.

Di lantai tengah, ada sebuah saringan pembuangan air yang diameternya cukup besar. Kira-kira diameternya dua jengkal jari tanganku.

"Gimana, Kak? Bagus nggak tempat untuk eksekusiku?" tanya Angela di sebelah kiri.

"Iya, bagus. Tapi sepertinya ini mirip kamar mandi raksasa deh. Cuma di sini dikasih banyak kamera."

"Memang begitu sih, Kak. Nanti aku dikuliti di sini. Darah dan kotoran yang keluar dari tubuhku dibuang lewat saluran itu." Angela menunjuk ke saringan pembuangan di tengah ruangan.

"Oh, pantas. Sepertinya kamu tahu banyak ya?"

"Kan aku sudah ada di sini sebelum kak Siska datang," ujar Angela mencubit pinggang kiriku.

"Apaan sih cubit-cubit. Sakit tau," ujarku.

"Hihihi, maaf ya, Kak. Tapi, gak berbekas kan?"

"Nih lihat? Untung gak kenapa-napa. Coba berbekas, harga tubuhku di pelelangan bakal turun drastis," ujarku sambil memasang wajah manyun.

"Hihihihi. Lebih baik turun daripada gratis, kan? " Angela tertawa mendengar

"Jangan sampai deh gratis. Nasib yatim piatu nanti gimana? Soalnya uang hasil penjualan tubuh ini akan disumbangkan ke yayasan yatim piatu," seruku seraya mengelus bagian kulit yang dicubit oleh Angela.

"Ngomong-ngomong, mana yang lain? Hanya kita berdua?" ujarku sambil memasang wajah penasaran.

"Sabar, Kak. Bentar lagi datang. Menurut jadwal, proses live pengulitan tubuh aku dimulai pukul 10:45," ujar Angela.

"Bentar lagi dong," ucapku melihat jam dinding di depanku yang menunjukkan pukul 10:16.

"Iya." Angela pergi menuju ke arah Selatan.

Aku berdiri mengamati ruangan ini. Bersih dan luas. Ya, mungkin ini pilihan Angela untuk mati di tempat ini.

"Kamu orang yang keberapa yang dikuliti di tempat ini?" tanyaku.

"Hmmm… katanya sih aku orang yang ke-177. Kemarin ada lima laki-laki dan empat perempuan yang dikuliti di sini, Kak."

"Wah, sebanyak itu ya? Tapi tidak aroma amis dan anyir ya?"

"Iya. Kalau kak Siska kemarin ke sini, pasti kakak bisa lihat prosesnya bagaimana."

"Oh, kamu liat sendiri prosesnya?"

"Iya, aku lihat dan datang sendiri. Ada yang di syuting secara live stream, ada yang offline, ada yang sama sekali tidak disyuting."

"Lumayan banyak ya?"

"Banyak, Kak. Tadi pagi saja, sudah dua cewek yang dikuliti disini. Cuma, aku tidak bisa nonton."

"Apa karena pagi ini jadwal kamu syuting?"

"Iya, Kak. Kalau yang kemarin aku nonton. Itu sih terakhir kali aku nonton pengulitan di depan mata."

"Cowok atau cewek yang kamu lihat itu?"

"Cowok, Kak. Aku bahkan ikut bantu memegang kulit, menaruh ke baskom, lalu dibawa ke ruang pemrosesan untuk perkamen. Kontolnya besar lho kak. Aku aja mainin bangkai kontolnya sambil ngisep," ujarnya berdiri di ujung Selatan sambil mempraktekkan dengan tangan kanannya.

"Hihihi, gak horni?

"Ya horni dong, Kak. Hihihi."

"Aku bayangin juga horni, kok. Hihihi." Kami berdua tertawa bersama.

Tak disangka dari pintu di arah Selatan, muncul pak Borgan sambil membawa map hitam.

"Gimana dik Angela? Siapkan untuk acara syuting terakhir?"

"Siap, Pak. Pokoknya hari ini kulit aku harus lepas dari tubuh aku."

"Bagus. Sini, dik Angela tanda tangan di sini." Pak Borgan membuka dan menyodorkan map beserta pulpen ke Angela

"Siap." Angela menandatanganinya.

"Terima kasih ya, Dik." Pak Borgan menutup map.

"Dik Siska mau lihat di sini proses pengulitan dik Angela?" tanya pak Borgan kepadaku.

"Iya, Pak. Itu kalau boleh, hihihi."

"Boleh kok, Dik. Silakan kalau mau lihat. Sekarang Dik Siska ganti baju. Sebentar lagi akan dimulai syutingnya."

"Iya, Kak. Sekalian mandi kak, tuh kamar mandinya di situ," sambung Angela menunjuk pintu ke arah Barat.

TOK TOK TOK

Terdengar pintu dari belakangku yang tadi aku dan Angela masuk melaluinya, yaitu dari arah Utara.

"Masuk," ujar pak Borgan.

"Ini Pak, pakaiannya."

Seorang wanita masuk lalu menutup pintu.

"Itu dik Siska, ambilah dan kenakan."

"Iya, Pak."

Wanita itu datang menghadapku dan berjalan mendekatiku.

"Ini, Kak," ucapnya ramah menyerahkan tas berbahan kertas kepadaku.

Kalau tidak salah, dia orang yang aku temui tadi pagi sebelum aku berjumpa Angela. Namanya…

"Terima kasih. Kamu… Melinda, ya?" tanyaku.

"Eh, kok tahu? Padahal aku pakai pakaian ini, tapi kak Siska bisa mengenaliku."

Melinda mengenakan pakaian cardigan dengan paduan celana panjang bahan dan mengenakan sepatu. Penampilannya sangat berbeda saat dia kutemui di lantai bawah yang sedang bersih-bersih.

"Hihi, Iya. Aku ingat aja. Sepertinya pernah ketemu. Gitu," ujarku.

"Kalian sudah saling kenal toh," ujar Angela.

"Iya. Jangan tertipu pakaian, Kak. Gitu-gitu, dia lulusan doktor," ujar Angela.

"Iihh, kak Angela. Jangan rame-rame."

"Wooow. Doktor? Kita aja masih sarjana. Itu pun belum lulus, hahaha."

"Hahaha, bener kata kak Siska. Kita malah mau mati, hihihi," seloroh Angela.

"Tidak sekedar mati, tapi tubuh kakak-kakak berguna bagi klien pak Borgan," ujar Melinda.

"Banget, salah satunya mengenyangkan perut. Hahaha."

Kami bertiga tertawa. Pak Borgan yang berdiri dari jauh juga ikut tertawa.

Angela berjalan mendekat.

"Kak, dia adalah penemu vaksin penyakit Kuru dan pencipta alat jagal yang canggih," ujar Angela.

"Woaaw. Pengen deh lihat mesin jagalnya. Jangan-jangan kamu sudah lihat ya, Angela?" ujarku.

"Hihihi, iya."

"Iihh curang."

"Nanti kak Siska bisa lihat kok."

"Iya, dik Siska boleh lihat. Nanti bapak tunjukkan tempatnya. Sekarang dik Siska segera mandi dan ganti pakaian, sebentar lagi acaranya dimulai," ucap pak Borgan.

"Iya, Pak," jawabku.

"Kalau begitu, saya undur diri dulu," ucap Melinda kemudian balik badan.

"Makasih ya sudah bawain pakaian," ujarku ketika Melinda memegang gagang pintu.

"Sama-sama, Kak." Melinda pergi meninggalkan ruangan ini.

"Udah sana, Kak. Buruan ganti pakaian," ujar Angela.

"Ganti pakaiannya di mana ya? Di sini sajakah?"

"Bukan, Kak. Tuh di sana. Sekalian mandi, Kak! Bauk tau badan kak Siska." ucap Angela menunjuk ke pintu di sebelah Barat.

"Eh, apa iya?" ujarku menoleh ke kiri dan menunduk, lalu untuk mencium aroma pundak kiriku.

"Nggak begitu deh. Ya udah, aku sekalian mandi deh."

Aku pun bergegas menuju pintu yang ditunjuk oleh Angela.

"Saya pamit dulu ya," ujar pak Borgan pergi meninggalkan ruangan ini.

"Iya, Pak," jawab Angela dan aku bersamaan.

Aku buka pintu, lalu menutupnya. Di sini bukan sekedar ruang ganti pakaian, tapi kamar mandi yang ukurannya lumayan besar. Tidak sebesar kamar mandi di kamarku di mansion ini sih, tapi cukup banyak ruang untuk sekedar mandi bersama-sama dengan 6 orang. Kira-kira luasnya empat kali empat meter.

Aku berjalan lalu membuka isi tas ini. Di dalamnya terdapat pakaian swimsuit one piece berwarna hitam. Aku pegang dengan tangan kiri dan kananku hingga pakaian ini menggantung dan aku dapat melihat seluruhnya dari ujung atas ke ujung bawah. Awalnya aku kira bahannya latex, ternyata setelah aku amati dengan seksama, pakaian ini terbuat dari kulit manusia!. Tekstur dan kerutannya berbeda dari kulit hewan. Yang lebih meyakinkanku, sepasang puting di bagian dada pakaian ini tampak menonjol dan ukurannya besar. Ini pasti kulit perempuan. Terdapat zipper di bagian depan, dari belahan dada sampai sedikit di bawah pusar. Aku amati bagian selangkangannya. Ternyata memamng perempuan. Labia mayora dan labia minoranya masih menjadi satu kesatuan dan masih utuh. Hanya saja, pada lorong vaginanya dirapatkan dan dijahit. Lubang kencingnya masih ada. Tidak ikut dijahit. Klistorisnya mungil. Lubang anusnya juga ikut terjahit.

Di dalam tas, bukan hanya pakaian saja, tapi ada sepatu boot, dan sarung tangan. Semuanya itu berwarna hitam. Serasi dengan pakaian.

Aku tidak buang-buang waktu, aku gantung pakaian ini lalu segera mandi. Aku tanggalkan seluruh pakaianku. Mulai tanktop fitnes sampai celana training tiga perempat. Aku buka sepatu serta kaus kaki. Setelah itu, aku nyalakan shower.

Tubuh telanjangku terguyur oleh air yang menyegarkan. Aku ambil sabun cair yang sudah disediakan di samping kananku. Aku gosok dari leher sampai ujung kaki. Aku ulangi dua kali. Mungkin ini adalah mandi terakhirku sebelum malam ini aku dilelang. Entah nanti sore aku ada waktu untuk mandi atau tidak. Yang penting aku mandi. Hihihi.

Rambutku yang basah kukeramasi dengan shampo. Aku yakin, pakaian dan perlengkapan yang diberikan Melinda kepadaku bukan sekedar pakaian biasa. Aku nantinya bukan sebagai penonton, mungkin aku juga turut serta sebagai orang yang menemani eksekutor. Kalau sekedar nonton dan berdiri di pojokan, itu tidak mungkin. Di mana-mana ada kamera. Pasti orang-orang yang nonton live streaming akan salah fokus kepadaku.

Beberapa menit kemudian, aku selesai membersihkan tubuhku. Aku sudah membilas rambut dan kulit. Bagian pribadi tubuhku juga aku gosok.

Aku matikan shower, lalu mengambil pakaian swimsuit. Aku tarik zipper dari dada ke bawah, lalu aku masukkan kaki kanan, disusul tangan kiri. Aku tarik ke atas sambil memasukkan tangan kiri dan kananku melewati tali yang menempel di pundakku. Bukan tali sih, karena kalau tali kecil. Ini sedikit lebar dan tebal. Kira-kira lebarny sekitar 3 centimeter. Bagian punggungku juga terbuka. Bagian dada sedikit sesak, tapi pas dan ketat. Aku coba tarik zipper ke atas. Benar, belum sampai atas, sudah sedikit sesak. Akhirnya kuputuskan aku sedikit buka bagian dadaku. Bagian belahan dadaku terbuka. Biarin deh, daripada dipaksain terus susah nafas, bisa gawat entar. Hihihi

Untuk lubang lengannya tidak lerlalu lebar, tapi tetap saja ketiakku dan sebagian buah dadaku terlihat. Aku kenakan kaos kaki, lalu sepatu boot. Aku rasa bahannya juga dari kulit. Hanya saja bagian mid sole dan outer sole kuat banget. Pijakan kakiku juga terasa nyaman. Tidak menyakitkan dan pas. Aku menyisir kemudian mengikat rambutku ke belakang. Terakhir, aku kenakan sarung tangan.

Aku berjalan menuju cerming yang cukup besar. Bayangan tubuhku indah dan seksi. Lutut sampai tonjolan tulang pinggulku terlihat. Pahaku terlihat dan berisi. Malam ini paha ini akan dilelang dan dimasak. Entah bakal masuk ke perut siapa. Hihihi.

Aku rasa sudah cukup. Wajahku tidak dirias. Aku pikir ini jauh lebih baik. Natural tanpa make up. Kemudian, keluar dari ruangan ini menuju ke ruangan tempat Angela berada. Di sana Angela berdiri memunggungiku dan sedang berbicara dengan seorang pria paruh baya yang diperkirakan umurnya lebih tua dari umur pak Borgan. Pakaiannya berwarna hitam berupa kemeja lengan panjang dan celana panjang. Ujung kemeja dimasukkan ke dalam celana. Sabuk melilit di pinggangnya. Sepatu pantofel hitam membungkus sepasang kakinya.

“Kak, sebentar lagi dimulai. Aku keluar dulu bentar ya. Nanti aku balik lagi kok,” ujar Angela keluar dari ruangan ini ke pintu yang ada di Selatan.

“Ya.”

“Dik Siska ya? Kenalkan, saya Jono.”

Pria itu menjulurkan tangan.

“Iya, saya Siska.”

“Yuk!! Kita mulai livenya. Tolong pak Jono dan dik Siska ambil posisi menghadap ke Utara.”

Terdengar suara laki-laki dari pengeras suara. Aku sampai tidak sadar kalau ada pengeras suara. Aku kurang teliti sih. Yang kulihat tadi hanya kamera.

Pak Jono berdiri menghadap ke Utara, begitu juga dengan Aku. Dia ada di sebelah kananku. Jaraknya tidak jauh, cuma satu meter.

“Para pemirsa dimanapun anda berada. Mari kita saksikan bersama proses pengulitan Angela.”

Kali ini suaranya perempuan. Mungkin di control room tidak hanya laki-laki, tapi juga ada perempuan.

Beberapa saat kemudian, Angela masuk ke ruangan ini dengan mendorong trolly meja instrumen tiga tingkat berbahan stainless dan diatasnya terdapat beragam jenis peralatan. Ia mendorong dengan masih mengenakan handuk yang dibalut melingkar menutup tubuhnya dari dada sampai selangkangannya. Sepertinya handuknya kecil. Ketika berjalan, kulit pada paha kiri sampai kulit yang berada di tulang pinggul kirinya terlihat. Handuk itu pun masih sama seperti handuk yang tadi dikenakan saat di sesi pemotretan.

"Hai… kalian lama ya nunggunya.. maaf ya, tadi aku habis minum air putih dan bawain ini. Hihihi." ucap Angela sambil tersenyum ke arah Selatan menghadap ke salah satu kamera.

"Aku kenalkan ya, bapak ini yang akan menguliti seluruh kulit di tubuh aku. Nama kerennya itu dinamakan taxidermy. Biasanya dilakukan pada hewan, tapi aku ingin itu dilakukan pada kulit aku," ucapnya kemudian pak Jono yang berdiri disamping kiri Angela menunduk hormat.

"Namanya siapa pak?"

"Sujono, Dik."

"Umur bapak berapa?"

"58 tahun, Dik."

"Oohhh.. sudah tua ya. Hihihi.. sudah pernah melakukan taxidermy ke manusia pak?"

"Sudah."

"Sudah berapa kali pak?"

"Banyak tidak bisa dihitung."

"Waaaahh… itu cewek semua ya pak?"

"Ke cowok juga."

"Wooow… bapak bersedia kan menguliti tubuh aku?"

"Siap, Dik. Saya bersedia."

"Nanti jangan sungkan-sungkan. Kuliti saja seluruh kulit aku, Pak. Pokoknya harus lepas semua. Berikan yang terbaik untuk penonton di rumah."

"Siap, dik"

"Hihihi… sip pak. Kalian perlu tahu, aku memilih pak Sujono karena dia yang paling senior dari taxidermist yang ada di sini. Kalian siap-siap ya menyaksikan proses taxidermy aku? Yuk silakan ditonton terus," ujarnya kemudian menuntun pak Jono ke tengah ruangan ini.

"Nah, disinilah nanti aku dikuliti hidup-hidup," ujarnya.

Angela berjalan mendekatiku.

"Nah, kalau kakak cantik ini namanya siapa?" tanya Angela dengan ramah.

"Fransiska Creiya Putri," ujarku memasang wajah senyum semanis mungkin.

"Panggilannya apa?"

"Siska"

"Hihihi, nama yang bagus, Kak."

Aku tersenyum dengan sepasang tanganku berada di depan perut saling berpegangan.

"Di sini, kak Siska akan menemani dan sebagai asisten pak Jono yang akan menguliti kulit aku," jelasnya menghadap ke kamera disebelah Utara.

"Ayo, kak Siska. Ke sini," ajaknya seraya tangan kirinya memegang pergelangan tangan kananku.

Angela membawaku berdiri di tengah ruangan di dekat pak Joni. Ia kemudian kembali ke belakang untuk mendorong trolly ke tengah ruangan. Di rak bawah, Angela mengambil pengikat rambut berwarna merah jambu.

"Tolong, Kak. Ikatkan rambut aku ya?"

"Iya," ujarku mengambil mengikat rambut lalu berdiri di belakangnya. Aku mengikat rambutnya menjadi ponytail.

"Ikat juga sepasang pergelangan kaki dan tangan aku, Kak."

"Ini, Dik," ujar pak Jono membantu mengambil sabuk berwarna merah jambu. Aku pun menerimanya dengan tangan kanan, lalu tangan kiriku segera meraih tangan kanan Angela ke belakang untuk aku ikat dengan sabuk ini. Diameternya kira-kira 3,5 centimeter. Ada cincin besi stainless di sabuk ini. Cara memasangnya pun mudah. Tidak berkali-kali putar, cukup satu putaran mengelilingi pergelangan tangannya sudah selesai. Aku kunci dengan pengait. Mirip sabuk ikat pinggang, tapi bahannya berbeda. Mungkin sabuk ini sulit untuk putus.

Aku meraih tangan kiri Angela, lalu pak Jono menyerahkan sabuk pengikat. Aku segera melakukan hal yang sama dengan pergelangan tangan kirinya. Aku ikatkan ikatannya dengan menutup kunci.

"Sakit?" tanyaku.

"Nggak begitu, Kak," jawab Angela dengan tidak menoleh ke belakang.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara gemerincing dari atas. Aku mendongakkan kepala. Dari langit-langit, turun dua buah tali rantai stainless. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba keluar beginian. Aku lihat tangan kanan pak Jono memegang sebuat remot, lalu mengantonginya. Oh, aku yakin ini ulah pak Jono.

"Dik, tolong ambilkan itu. Satu saja," perintah pak Jono menunjuk ke sebelah Barat.

Di dinding bawah terdapat 4 pipa besi stainless yang tertidur di lantai. Aku pun segera berjalan dan mengambil salah satu. Ukuran kesemuanya sama, baik dari segi panjang dan diameter. Kira-kira panjangnya satu setengah meter. Diamaternya sekitar lima centimeter. Ada beberapa lubang dan juga pengait di ujung dan di tengah.

“Wuih, lumayan berat,” lirihku. Aku tidak tahu bahannya apa. Dengan kedua tangan, aku membawanya ke tengah ruangan.

Pak Jono mengambil pipa besi, lalu mengaitkannya ke rantai di ujung pipa. Ujung satunya juga dikaitkan ke rantai satunya. Pipa itu menggantung satu meter dari lantai, tapi posisinya agak miring. Tangan kanan pak Jono mengambil remot lalu salah satu rantai bergerak naik hingga pipa lurus horizontal, lalu kemudian bergerak naik ke atas kepala Angela.

“Tolong ikat tangan kirinya ya, Dik. Saya tangan kanan,” perintahnya.

Aku meraih tangan kiri Angela dan kulihat pak Jono juga meraih tangan kanannya. Aku lihat pak Jono mengangkat tangan kanan Angela, lalu mengaitkan sabuk pengikat pegerlangan ke ujung pipa. Aku mengikutinya. Aku angkat tangan kiri Angela, lalu mengaitkannya ke pengait pada ujung pipa. Setelahnya, Pak Jono bergeser ke belakang Angela lalu meraih rambut belakangnya yang sudah aku ikat ponytail. Ia mengikatkan ujung rambut ke pipa besi pada bagian tengah, yaitu di atas kepala Angela. Aku lihat wajah Angela sampai sedikit tertunduk akibat tarikan kuat yang diikat oleh pak Jono.

RRRRRRRRR

Suara rantai yang merenggang kemudian menarik pipa besi dan juga sepasang pergelangan tangan Angela. Jarak pergelangan tangan kiri dan kanan Angela sekitar satu setengah meter, sama seperti panjang pipa besi. Tubuh Angela tidak sampai terangkat. Telapak kakinya masih menginjak lantai.

"Saya mulai ya, Dik?" Tanya pak Jono.

"Iya pak, silakan," ucap Angela.

"Kalian pasti penasaran kan kulit aku bagaimana? Hati-hati kontol kalian ngaceng lho" lanjut Angela sambil tersenyum ke arah kamera.

"Yuk pak bugilin aku," ucap Angela menoleh ke pak Jono di samping kirinya.

"Siap, Dik," jawab pak Jono.

Aku hanya diam di sisi kiri Angela. Tangan kanan pak Jono meraih handuk yang melingkar pada tubuh Angela yang menutupi payudara sampai selangkangannya. Kemudian ia melepas dan menarik ke belakang handuk putih itu hingga tubuh Angela telanjang bulat. Tiap lekuk tubuh Angela tampak indah dan seksi. Buah dadanya tergolong padat dan berisi. Kulitnya kuning langsat, areola dan putingnya berwarna coklat muda. Kemaluannya bersih tanpa sehelai rambut pubis.

"Uuhhh… aku malu," ucap Angela.

"Malu kenapa?" tanya pak Jono.

"Aku baru pertama telanjang, direkam, dan live streaming seperti ini," ucap Angela.

"Hehehe wajar dik. Tapi kulit adik cantik kok, pasti nanti pakaian dari kulit adik bakal bagus," ucap pak Jono.

"Makasih. Tuh dengarkan. Kulit aku bagus lho. Kalian mau kan memakai pakaian dari kulit aku? Buruan ya di beli, hihihi," ucap Angela tersenyum.

“Malu? Biasa eksib kok malu, hihihi,” lirihku.

“Iihhh kak Siska, jangan bilang-bilang dong. Aku jadi malu tau.”

“Biarin, weeeek,” ujarku seraya menjulurkan lidah.

Aku lihat pak Jono dari arah Timur membawa sebuah water hose yang ujungnya tersambung ke salah satu kran di dinding. Tangan kanan pak Jono memegang gagang hose nozle.

“Tolong dik Siska singkirkan trolly itu ya?” pinta pak Jono.

“Iya, Pak,” jawabku kemudian segera mengambil handuk Angela di lantai. Aku melipatnya, lalu aku taruh ke rak trolly pada bagian bawah. Aku mendorong trolly ini menjauh ke arah Selatan sambil melihat peralatan mengerikan. Banyak scalpel berbagai macam ukuran. Jarum suntik, suntikan, juga jarum akupuntur. Beberapa botol plastik yang terdapat nama-nama obat. Aku lihat salah satunya ada alkohol. Mungkin itu digunakan untuk membersihkan peralatan yang akan digunakan untuk menguliti tubuh Angela. Gulungan perban, handuk kecil, dan tisu. Di bawah tingkat atas, yaitu di tengah trolly, ada gergaji listrik berbentuk lingkaran. Mengerikan, tapi aku horni. Ugghh parah!! Memekku terasa geli. >,<

“Kita akan mulai tahap pertama, yaitu membersihkan tubuh Angela,” ujar pak Jono menjelaskan.

“Dik, Siska. Tolong bantu sabuni dik Angela,” perintah pak Jono.

“Siap.”

Aku bergegas menuju ke tengah ruangan. Pak Jono menyerahkan sabun cair, dan menyuruhku mendekati Angela. Dari depan, pak Jono menekan tuas nozzle hose. Air muncrat mengenai tubuh depan Angela. Aku juga jadi ikutan basah. Tidak masalah, yang penting aku suka dan menikmatinya. Airnya tidak dingin, melainkan hangat. Aku baru sadar kalau pakaian swimsuit dari kulit ini anti air. Bukan hanya itu, kaos tangan dan seluruh pakaian yang kukenakan juga anti air. Syukurlah kalau begitu. Lagian kalau rusak, barang ini bukan punyaku. Hihihi.

Pak Jono mematikan semprotan air. Aku pun segera menuangkan sabun cair ke telapak tangan kananku, lalu aku usapkan ke tubuh Angela yang sudah basah. Aku mulai pada perut. Aku gosok-gosok secara merata. Aku menggosok tubuh Angela dari belakang supaya bagian depan Angela dapat terlihat. Sebenarnya sih tidak apa-apa aku berdiri di depan Angela, tapi aku ingin memperlihat tubuh telanjangnya yang kusabuni.

“Hihihi, geli,” ujar Angela sambil tubuhnya bergerak-gerak. Walaupun memberontak, tapi gerakannya terbatas karena sepasang pergelangan tangannya terikat ke atas.

Aku tidak mempedulikannya. Kugosok perutnya, lalu naik ke buah dada. Aku remas dengan lembut, sambil mengusap sepasang putingnya. Semua dan tiap milimeter tubuhnya harus aku bersihkan. Aku lakukan tidak lama tapi tidak sebentar, sedang-sedang saja. Aku ingin menyabuni secara efektif dan efisien. Aku naik ke tulang selangkanya, leher, lalu ketiak.

“Geli, aww.. Aahahaha. Geli.. geli, ahahaha.”

Angela tertawa saat ketiaknya tanpa bulunya aku gosok. Pak Jono tersenyum melihat tingkah Angela. Setelah kurasa cukup, aku pindah ke tangan kiri. Aku gosok tangannya dan hanya sampai di bawah pergelangan tangan di atas siku. Sepasang tanganku tidak sanggup menggapai telapak tangan Angela yang tinggi.

“Tidak apa-apa dik. Tidak perlu dipaksakan,” ujar pak Jono.

“Baiklah, Pak,” jawabku.

Tangan kiri angela sudah kusabun, lalu aku pindah ke tangan kanan. Aku gosok pundah, lengan, siku sampai hampir ke pergelangan tangan. Punggug leher aku sabuni secara melingkar ke depan leher.

“Wajah dan rambut tidak perlu dibersihkan, Karena kita butuh kulit tubuhnya saja sebagai bahan material utama pembuatan pakaian. Untuk kepala, itu belakangan setelah kita penggal dan diawetkan menjadi pajangan dinding,” jelas pak Jono.

Ya. Aku teringat ruangan kamar pribadi pak Borgan yang dindingnya dipenuhi kepala wanita cantik. Mungkin kepala Angela juga menjadi salah satu koleksi pak Borgan. Begitu pula nanti yang terjadi pada diriku. Setelah pelelangan, kepalaku akan terpajang menyusul Angela. Hihihi.

Aku sekarang menggosok punggung atas Angela. Aku gosok secara berputar-putar dan perlahan. Ketika tidak berbusa, aku tuang sabun cair, lalu aku gosokkan kembali. Dari punggung atas ke punggung bawah aku gosok. Pinggang juga tak luput dari sepasang tanganku yang terbungkus kaos tangan.

“Geli, kak. Hahaha.. geli.”

Angela tertawa ketika aku menggosok pinggangnya. Aku gosok dari pinggul sampai ke ketiak. Tiap pergerakan tanganku pada pinggul ke ketiak, tiap itu juga angela tertawa karena geli.

Kini, aku menggosok sepasang pantatnya. Bongkahan daging pada pantatnya kenyal. Sebentar lagi kulitnya akan lepas. Aku ingin tahu tubuh Angela tanpa kulit jadi seperti apa, hihihi.

Sepasang tanganku bergerak ke depan, yaitu ke kulit pubis yang tak ditumbuhi bulu. Aku gosok ke arah bawah ke lipatan rongga kewanitaannya. Jariku tidak sampai masuk. Aku tidak ingin menghilangkan keperawanannya.

“Mau, aku coblos memek kamu pakai jariku?” godaku dengan suara lirih.

“Jangan dong, Kak. Nanti saja kalau kulit aku sudah lepas. Semuanya terserah kakak deh,” ujarnya.

“Ok,” ujarku.

“Pak Jono tidak mau bantu?” tawarku ke pak Jono.

“Tidak. Biar dik Siska saja. Kalau grepe-grepe, nanti bapak juga bisa saat mengulitinya,” ujarnya.

Benar juga sih. Toh, lambat laun kulit Angela akan tersentuh oleh jemari tangan pak Jono.

“Pak, nanti habis kulit aku terlepas. Tubuhku ini aku pasrahkan ke kak Siska. Terserah mau diapakan tubuh aku yang tak berkulit. Dimakan boleh, dientot juga boleh,” ujar Angela.

“Dientot gimana? Kulit beserta lorong vagina juga lepas. Apanya yang dientot?” sangkalku.

“Hmmm, gimana ya?”

“Bukan hanya kulit dan vagina yang akan lepas dari tubuh dik Angela, tapi rahim dan ovarium juga ikut terlepas menjadi satu kesatuan dan selembar dengan kulit dik Angela,” jelas pak Jono.

“Wah iya ya. Anusku juga lepas,” ujar Angela.

“Tidak perlu khawatir, nanti kalau urusan itu bisa dipikirkan selanjutnya. Itu asal diperbolehkan sama dik Siska,” ujar pak Jono.

“Boleh kok pak. Kita makan sama-sama tidak apa-apa, kok. Hihihi. Nanti bapak juga boleh selipin kontol bapak diantara toket Angela yang tak berkulit.”

“Oh iya, bener juga. Seru tuh jepit kontol pakai toket aku yang kulitnya sudah terkelupas, hihihi,” ujar Angela.

“Membayangkan aja, aku jadi horni lho,” ujarku.

“Sama, kak,” kata Angela.

“Pantas, nih memek kamu basah, hihihi.”

Aku dan Angela tertawa. Aku tahu kalau memeknya basah. Soalnya setelah menggosok labia minora dan labia mayoranya, aku angkat tangan kiriku terdapat dua gumpalan lendir putih yang menempel di permukaan jari sarung tangan yang berwarna hitam ini. Salah satunya berukuran lebih besar. Hihihi, dasar maniak.

Anus Angela aku gosok dari belakang. Jariku tidak sampai masuk, hanya permukaannya saja. Setelahnya, aku beralih menggosok sepasang paha, lutut, betis, punggung kaki, dan telapak kaki. Aku menggosok sambil duduk. Untuk telapak kaki, aku meminta Angela untuk mengangkatnya, sehingga Angela berdiri dengan satu kaki. Lagi pula, berat badannya tidak hanya bertumpu pada satu kaki, tapi sepasang tangannya yang terikat di atas. Tiap ruas jemari kakinya juga aku gosok.

Akhirnya selesai. Entah berapa menit yang aku habiskan untuk menggosok tubuh Angela. Yang terpenting, tubuhnya sudah aku sabun dan aku gosok.

“Sekarang saya semprot. Dik Siska minggir saja,” ujar pak Jono.

“Iya, Pak.”

Aku menyingkir, lalu pak Jono mengarahkan nozzle hose dan menekan pelatuk. Air yang tidak begitu deras menyembur membasahi tubuh Angela. Ia semprot dari bagian depan Angela. Dari tangan kanan ke dada, dari tangan kiri ke dada. Rambut Angela beserta wajahnya turut basah. Payudara kiri dan kanannya dibilas oleh semburan air. Pak Jono berputar ke sebelah kanan Angela, lalu ke belakang seraya menyemprotkan air. Punggung atas sampai kaki dibersihkan. Saat menyemprot pantat, Angela membuka sepasang kakinya mengakang sampai ujung kakinya tidak menyentuh lantai dan tubuhnya menggantung pada sepasang tangannya. Pak Jono pun mendekat dan menyemprotkan air ke selangkangan dari belakang.

“Uhhhh, enak banget. Memek aku dihajar air, hihihi. Geli-geli gimana gitu.”

“Hihihi, dasar Angela,” ujarku.

Pak Jono tersenyum mendengarnya. Kulitnya sawo matang dan rambut yang didominasi oleh putih menandakan dia telah berumur. Aku penasaran, bagaimana performa seorang taxidermist yang telah memiliki jam terbang tinggi menguliti manusia. Tentu dia telah professional, bukan amatiran.

Aku lihat, ia beralih ke sebelah kiri Angela. Ia semprotnya air dari atas ke bawah. Sepasang kakinya Angela masih terbuka dan mengakang. Dari depan, Pak Jono mengakhiri dengan menyemprotkan dari perut ke kemaluan, lalu lanjut ke sepasang kaki.

Pak Jono melepas pelatuk nozzle hose, lalu menggulung selang ke arah Timur. Aku lihat Angela sudah menurunkan kakinya dan menginjak lantai. Air tidak menggenangi ruangan ini. Itu karena di bawah kaki angela terdapat lubang pembuangan air yang cukup besar. Saringan stainlessnya saja besar. Nanti, darah yang keluar saat proses pengulitan, pasti terbuang melalui saluran itu.

Pak Jono kemudian beranjak menuju trolly yang ada di sebelah Selatan. Ia mengambil beberapa alat, lalu berjalan mendekati Angela. Sambil berjalan, ia menyuruhku untuk mendekat.

“Dik Siska, kemari,” perintah pak Jono.

Aku mengangguk lalu menghampirinya. Aku dan pak Jono berdiri di belakang Angela, memunggunginya. Aku melihat tangan kiri pak Jono memegang tiga buah jarum akupuntur. Aku bisa mengenalinya karena jarum itu berbeda dari jarum lainnya. Tangan kanannya mengambil sebuah jarum di tangan kiri, lalu bergerak ke punggung leher Angela.

“Tahan sebentar ya, Dik. Ini pasti terasa sakit, tapi cuma sebentar,” ucap pak Jono sambil mengamati punggung leher Angela. Mungkin ia akan menancapkan jarum itu ke punggung leher. Entah apa fungsinya, aku penasaran.

“Iya, Pak.”

"Aaaaaahh….. Aaahh…." Angela meringis saat pak Jono menusukkan sebuah jarum di punggung leher Angela. Cukup dalam, kurang lebih setengah lebih dari seluruh panjang jarum yang panjangnya mencapai 12,5 centimeter.

"Sakit dik?" Tanya pak Jono.

"I… iya, Pak," ujar Angela.

"Itu hanya sebentar, Kalau sekarang bagaimana? Masih terasa sakit?" tanya pak Jono sambil menekan sedikit jarum di punggung leher Angela.

"AAAhhhhh.. Ma.. masih. Eh, sudah nggak begitu, Pak," ucap Angela menjerit di awal.

“Yakin? Beneran masih sakit? Coba sekarang apa yang dik Angela rasakan?” ujar pak Jono sambil menyuruhku menggelitiki Angela dengan isyarat mimik wajah dan tangan.

“Apa ya, Pak? Aku tidak merasakan apapun,” ujar Angela.

Angela tidak sadar kalau aku menggelitiki ketiak dan pinggangnya. Wuih, berarti Angela ini mati rasa. Jadi fungsi jarum tadi membuat Angela tidak merasakan apapun.

Pak Jono mengambil sebuah jarum lalu menusukkan ke punggung leher Angela. Posisinya tidak jauh dari jarum pertama. Saat jarum menusuk dan menembus kulit punggung leher, Angela tidak menjerit sama sekali.

“Sekarang, coba dik Angela gerakkan kakinya,” ujar pak Jono.

“Iya, Pak,” ujar Angela.

“Lho kok. Aku tidak bisa menggerakkannya?” tanyanya kebingungan.

"Barusan saya menusukkan dua buah jarum untuk menekan saraf sensorik dan motorik di belakang tulang leher adik. Itu supaya dik Angela tidak akan merasakan rasa sakit dan melakukan gerakan perlawanan saat proses pengulitan. Juga, menjaga kesadaran adik agar tetap sadar dan bisa berbicara. Saraf dari otak ke organ penting, seperti jantung, hati, pankreas, ginjal, limpa, paru-paru tetap berfungsi." ucap pak Jono.

“Dik Angela marasakan?” tanya pak Jono ketika tangan kirinya menggaruk pelipis kiri Angela.

“Terasa, Pak.”

“Bagus. Untuk leher ke atas, Angela bisa merasakan. Adik juga bisa berbicara, tapi untuk leher ke bawah, dik Angela tidak dapat merasakan dan tidak dapat menggerakkan anggota badan.”

"Oh gitu ya pak… Apa saya lumpuh?" tanya Angela.

“Iya, tapi sementara. Ketika jarum dicabut, dik Angela normal kembali,” ujar pak Jono.

“Ini dik Siska kalau mau coba nusukkan jarum ke dik Angela?” lanjutnya menawarkan dan menyerahkan sebuah jarum di tangan kirinya.

“Bo, boleh nih?”

“Boleh kok, Dik.”

“Angela, aku coba ya tusuk jarum ini ke badan kamu,” ujarku sambil mengambil jarum di tangan pak Jono.

“Hmm gimana ya, soalnya kulit aku mau dibikin pakaian. Tapi gak apa-apa deh, coba aja tusuk, Kak.”

“Baiklah, aku tusuk puting kamu ya?”

“Silakan, bikin tembus gak apa-apa kok, Kak.”

“Okay.”

Aku berdiri di depannya, lalu puting kirinya aku raih dan jepit dengan jari telunjuk dan ibu jari. Aku tarik ke arahku hingga bentuk buah dadanya sedikit mengerucut. Aku letakkan ujung jarum ke pangkal puting di dekat areolanya. Dengan cepat, aku menekan jarum itu. Tangan kananku mendorong jarum hingga menembus salah satu titik sensitif kaum hawa.

“Eh, iya. Tidak sakit dan tidak terasa sama sekali.”

Aku terperangah. Benar-benar mati rasa.

“Woow, ditusuk saja tidak sakit, apalagi nanti dikuliti nih,” ujarku.

"Kalian pasti sudah tidak sabar kan. Yuk pak langsung saja dimulai, pak. Cepetan kuliti tubuh aku," ucap Angela.

“Siap, Dik. Sekarang acara kedua yaitu proses pengulitan,” ujar pak Jono kemudian beranjak ke trolly berisi peralatan.

RRRRRRRRRRGGGGG

Terdengar suara rantai yang mengangkat tubuh Angela. Gerakannya lambat. Aku lihat pak Jono menekan remot kontrol untuk menaikkan tubuh Angela. Lambat laun, tubuh Angela terangkat dan ujung kakinya sudah tidak menginjak lantai hingga jarak dari ujung kaki ke lantai sekitar sejengkal lebih.

Rantai berhenti menarik. Mungkin bagi pak Jono, segini sudah cukup. Tidak perlu tinggi-tinggi.

Tubuh Angela tergantung membentuk huruf Y. Seluruh beban tubuh terangkat oleh sepasang tangannya. Di sepasang pergelangan tangan Angela terikat oleh sabuk yang tersambung ke pipa besi. Bagi sepasang rantai, mungkin beban Angela sangat ringan. Aku yakin tubuhnya tidak sampai 50 kilogram.

Pak Jono berjalan mendekat sambil tangan kanan memegang tiga jenis pisau scalpel dan tangan kiri memegang sesuatu. Ia berdiri di belakang Angela.

“Dik Angela siap saya kuliti? Setelah ini, dipastikan dik Angela mati. Kulit dik Angela tidak akan mungkin disambungkan kembali ke tubuh adik,” ujar pak Jono.

“Siap Pak. Jadikan kulit aku material pakaian yang bagus dan berkualitas.”

“Bagus,” ujar pak Jono.

SSSSSSSS

Terdengar suara desis.

“Eh, suara apa itu?” tanya Angela.

Aku cekikikan mendengarkannya. Ternyata pak Jono menyetempel pantat kiri Angela dengan besi panas. Aku baru tahu ternyata tangan kiri pak Jono adalah alat portable untuk menandai kulit. Pantat kiri Angela terdapat bekas luka bakar yang membentuk tulisan huruf B besar dan logo. Mungkin B itu adalah Borgan. Hihihihi.

“Udah, kamu tidak perlu tahu. Pokoknya, tubuh kamu sekarang sudah resmi jadi bahan material,” ujarku.

“Siap. Silakan ditonton ya sampai habis. Jangan sampai ada yang kehabisan kuota dan berkedip. Tiap detik sangat berharga,” ujar Angela.

“Hihihi, semangat nih yang mau jadi pakaian.”

“Iya dong, Kak.”

“Aku cabut nggak jarum di puting kamu?”

“Biarin aja deh. Tolong jangan dicabut sampai proses pengulitannya selesai ya, Pak?”

“Siap, Dik.” jawab pak Jono.





Bersambung ke bawah. Tinggal scroll aja.
 
Terakhir diubah:
wes ta Angel_a ngel... :D
Angel pripun? :p
Min gembok aja min masa iya update pas kena warning tok 🤣🤣🤣
Wihihi. Aku kena warning bukan karena lama rilis cerita, tapi karena bikin status berisi informasi akun twitku khusus untuk sisi lain dariku, termasuk nulis dan lain-lain. Beberapa sudah mutualan. Diantaranya juga penulis. Hihihi

Udah 1 bulan hu.. jgn 2 bulan donk..
Nih, dah rilis dan selamat berhari Minggu.
 
Angela panggang.

Angela rebus.

Angela kukus.

Angela goreng.

Angela asap.

Angela sashimi.

Banyak opsi menu.....
 
Bimabet
BAGIAN 21


Pak Jono berdiri tegak di belakang Angela. Jarak wajah Pak Jono berada sejajar dengan punggung di bawah sepasang tulang belikat Angela. Kulihat tangan kanan Pak Jono masih memegang tiga peralatan scalpel dengan berbagai ukuran. Ia kemudian letakkan pada sarung yang terikat di sabuknya sehingga scalpel-scalpel itu bergantungan secara vertikal di pinggang kirinya.

“Tahap pertama pembersihan objek sudah dilakukan,” ujar Pak Jono.

Kulihat Pak Jono mengambil handscoon berwarna putih dari dalam kantong celana, lalu mengenakannya.

“Selanjutnya, kita bersihkan terlebih dahulu peralatan-peralatan yang akan digunakan,” jelas Pak Jono menghadap ke kamera.

“Dik Siska, tolong bawakan troli itu ke sini,” perintah Pak Jono.

“Siap,” jawabku tegas.

Aku melangkahkan kaki berjalan menuju ke ujung ruangan untuk mengambil troli, lalu aku dorong dan aku dekatkan di sisi sebelah kanan Pak Jono.

“Cukup, Dik.” Pak Jono menahan laju troli agar tidak terlalu dekat dengan tubuh Angela.

Pak Jono mengambil botol alkohol lalu menuangkan di wadah baskom stainless. Scalpel-scalpel yang ada di sabuknya ia bersihkan menggunakan alkohol dan kapas. Satu persatu, peralatan itu dibersihkan. Bukan hanya scalpel, tapi seluruh peralatan di atas troli dibersihkan. Sterilisasi dibutuhkan agar menjaga kebersihan peralatan dari kuman dan bakteri. Sebagai asisten, aku ikut membantu membersihkan. Aku membersihkan gergaji, dan beberapa peralatan lain.

Beberapa menit kemudian, kami sudah membersihkannya. Aku masih berdiri di sebelah kanan Pak Jono dan dipisahkan oleh troli yang berisi peralatan taxidermy.

“Sekarang seluruh peralatan sudah steril, selanjutnya proses ke pengulitan,” jelas Pak Jono.

“Yang rapi ya, Pak? Jangan cepat-cepat, pokoknya hasilnya bagus,” kata Angela.

“Kamu mau mati aja cerewet, ya?” celetukku.

“Ihhh Kak Siska, aku kan cuma ngasih saran aja,” balas Angela.

“Kayaknya tadi kamu bilang deh kalau Pak Jono itu profesional, tapi sepertinya kamu ragu deh, hihihi,” ujarku.

“Eh, iya ya. Ya udah, kalau gitu silahkan kuliti tubuh aku, Pak. Jangan kasih kendor. Aku percaya Pak Jono profesional,” kata Angela.

“Nah, gitu dong,” ujarku.

Pak Jono hanya tersenyum mendengar percakapan kami tanpa menatap wajahku, melainkan menatap ke arah depan, ke punggung Angela.

Tangan kanan Pak Jono yang memegang scalpel bergerak ke atas menuju ke bawah punggung leher Angela, sedangkan tangan kirinya menekan pelan-pelan pada tulang belikat sebelah kiri.

"Gimana rasanya dik?" Tanya pak Jono menempelkankan ujung scalpel ke kulit tengkuk di punggung atas Angela, lalu dengan cepat menarik garis lurus ke bawah mengikuti tulang punggung sampai berhenti di bagian punggung bawah di atas sepasang pantat Angela. Seketika darah segar keluar dari garis sayatan scalpel yang berbentuk vertikal. Tidak ada gerakan dari Angela yang meronta maupun gerakan perlawanan. Angela benar-benar daging hidup seperti boneka yang tidak merasakan sakit. Raut wajahnya tidak meringis sama sekali. Ia tenang dan pasrah dengan tubuh menggantung.

"Rasa apa ya?" tanya Angela.

"Gak terasa sesuatu gitu?" kataku.

"Nggak kok, Kak. Gak terasa apa-apa nih," ucap Angela.

Darah yang keluar dari luka sayatan di punggung Angela merambat turun ke lembah di antara pantat, lalu merambat ke bagian paha dalam bagian atas. Sebagian ada yang merambat melalui paha kiri, sebagian lagi ke paha kanan.

Pak Jono tidak menunggu darah yang merambat ke sepasang kaki Angela menetes jatuh ke lantai, ia melanjutkan menyayat kulit Angela. Dari pantat atas, scalpel di tangan kanan Pak Jono yang ujungnya berlumuran darah membelah cekungan di antara pantat. Tangan kirinya beralih ke pantat. Ia menyibakkan sepasang gundukan daging pantat Angela dengan ibu jari dan jari telunjuk. Terlihat lubang anus di bagian lembah pantat itu.

Tangan kanan Pak Jono masih memegang scalpel dan bersarang di pantat, melanjutkan membelah kulit ke bawah. Pak Jono sampai menekukkan sepasang lutut dan sedikit membungkuk. Ia mengiris secara perlahan. Tidak seperti awal yang cukup cepat.

Di bawah ujung kaki Angela, genangan darah merah kental dan segar membasahi lantai. Darah itu mengalir perlahan ke lubang pembuangan melalui saringan stainless yang ada di dekatnya.

Pak Jono menghentikan laju scalpel di dekat lorong pembuangan feses Angela. Kira-kira jaraknya antara satu sampai dua centimeter. Ia kemudian berdiri tegak. Scalpel di tangan kanannya disentuhkan tengkuk Angela, yaitu di luka sayatan atas.

“Eh, aku mencium aroma darah,” celetuk Angela.

“Coba kamu lihat ke bawah,” ucapku yang ada di belakang di samping kanan Pak Jono.

Aku melihat kepala Angela menunduk. Sepertinya ia melihat lantai yang ada di bawah kakinya.

“Waaaw. Sudah dari tadi ya dikulitinya ya?” tanyanya.

“Udah. Memang kamu gak merasa gimana gitu?” kataku.

“Enggak, nih. Aku gak merasakan apapun..,” ungkapnya kemudian menoleh ke kanan melirik aku yang da di belakangnya.

“Awwwwww…. Sa.. sakit… pu.. Pungggungku sa.. sakit,” pekik Angela tiba-tiba.

“Tolong Dik Angela jangan menoleh. Jarum yang saya tusuk di punggung adik bisa patah dan fatal.

“Ba.. baiklah,” ujarnya sambil memposisikan kepalanya menghadap ke arah depan, yaitu ke arah Utara.

Pak Jono yang sedang menyayat kulit di tengkuk Angela ke kiri menuju pundak kiri atas menjadi terhenti. Ia membetulkan jarum akupuntur yang tertanam di punggung leher Angela.

“Awww,” jeritnya.

“Gimana? Masih terasa sakit?” tanya Pak Jono.

“Sudah nggak,” jawab Angela.

“Bagus. Tolong jangan diulangi ya, Dik? Nanti Dik Angela bisa mati sebelum saya selesai menguliti kulit adik,” jelas Pak Jono.

“I.. iya. Ma.. maafkan saya, Pak,” pungkasnya.

“Kamu sih. Udah nurut aja. Apa gak malu sama penonton yang liatin kita?” celetukku.

“Hihihi, iya deh. Kan aku duah minta maaf. Yuk, Pak. Silakan dilanjutin,” ujarnya.

Sempat-sempatnya dia cekikikan seperti itu. Tapi biarlah, toh dia masih hidup. Hihihi.

“Ngomong-ngomong, kulit di pungungku sudah dikuliti ya?” tanyanya penasaran.

“Belom. Kulitmu masih diiris membentuk garis,” jelasku.

“Oh, gitu,” lirih Angela.

“Garis yang saya lakukan ini bukan garis biasa. Ini pola garis sebagai permulaan untuk menguliti,” jelas Pak Jono sambil tangan kanannya mengerakkan scalpel menggores dari bahu kiri ke pergelangan kiri Angela.

Jadi begitu ya. Aku paham. Kalau dugaanku benar, sayatan itu nanti jadi tepian lembaran kulit utuh Angela.

Setelah menyayat ke arah kiri, sekarang Pak Jono kembali meletakkan bilah tajam scalpel ke tengkuk. Dari situ, scalpel menggoreskan garis sayatan ke arah tangan kanan Angela. Scalpel itu bergerak menuju pundak, lalu naik ke lengan atas, ke sisi siku, lalu berhenti di pergelangan tangan kanan Angela. Sama seperti yang ia lakukan pada tangan kiri Angela, saat menyayat dari siku, Pak Jono sedikit menjinjit. Karena posisi sepasang tangan Angela yang membentang membentuk huruf Y.

Pak Jono kemudian menuju ke troli. Ia meletakkan scalpel lalu mengambil scalpel lain yang mata pisaunya berukuran lebih kecil.

“Tadi saya menggunakan scalpel nomor sebelas. Kalau sekarang saya mengambil scalpel nomor lima belas,” jelas Pak Jono.

"Memang khusus gitu ya, Pak?" Tanyaku.

"Ya. Tapi tidak mutlak. Teman-teman yang lain ada yang pakai scalpel yang berbeda. Cuma kalau saya lebih nyaman pakai scalpel ini untuk menguliti manusia," terangnya.

"Hihihi, tanya-tanya mulu. Makanya, kakak mau juga dong dikuliti," celetuk Angela.

"Mungkin iya mungkin tidak, week," ujarku.

"Penonton, aku kasih tahu ya. Kak Siska, atau bernama Fransiska Creiya Putri malam ini tubuhnya akan dilelang," seloroh Angela menjelaskan ke arah kamera yang ada sebelah Utara.

"Ngiklan nih? Ya gapapa sih. Kenalin, aku Siska. Benar yang diucapkan Angela. Malam ini Siska akan dilelang. Tubuh Siska akan dijual terpisah. Nanti kalian datang ya?" Ujarku seramah mungkin.

"Ayo datang ya. Terutama yang beli kulit aku. Datang juga ya ke pelelangan Kak Siska," ujar Angela.

Iya sih. Kulit Angela memang diperuntukkan untuk bahan pakaian dan sebagian untuk furniture. Beda dengan aku yang untuk dikonsumsi dan berakhir di perut konsumen dan menjadi feses. Gak bisa bayangin gimana memek aku yang sudah matang dikunyah oleh manusia. Labia mayora, labia minora, klistoris, serta dinding lapisan lorong vaginaku dicabik-cabik oleh gigi seri, gigi taring, dan gigi geraham. Setelah hancur, mereka telan menuju lambung. Memekku yang sudah hancur dilumuri oleh enzim pepsin. Kandungan proterin klistorisku dipecah menjadi partikel lebih kecil, juga asam klorida pada lambung juga memecah protein memekku. Setelah hancur, memekku yang sudah terlumat oleh enzim disalurkan ke usus duabelas jari dan terguyur oleh lendir dari cairan empedu dan cairan pankreas. Entah, bakal jadi seperti apa memekku yang berlumuran cairan-cairan itu mungkin sudah tak berbentuk. Mungkin ada yang masih berbentuk, seperti labiaku ini. Hihihi.

Dari usus duabelas jari, memekku disalurkan ke usus halus. Jaringan di dalam usus halus mengambil protein memekku dan zat-zat yang dibutuhkan tubuh. Belum lagi dalam perjalan di usus halus, enzim tripsin dan kimotripsin ikut berlabuh di saluran usus halus yang lumayan panjang dan menyisakan ampas yang tidak dibutuhkan tubuh. Duh, membayangkan cacahan memekku jadi ampas dibawa ke usus besar, lalu dilumuri enzim pewarna berwarna kuning, memekku jadi basah. Apalagi, di dalam usus besar, ampas memekku terurai oleh cacing-cacing mikroorganisme sebelum keluar dari anus menuju ke toilet. Dari toilet, feses dari memekku bersemayam di dalam septic tank.

Memekku terasa berdesir kegelian membayangkan perjalanan dari dikunyah sampai berakhir di septic tank. >,<

"Sekarang, saya akan memisahkan hipodermis dengan lemak dan jaringan otot. Saya hanya mengambil bagian kulit saja, yaitu lapisan epidermis, dermis, dan hipodermis," terang Pak Jono membuyarkan lamunanku.

Aku lihat tubuh Angela sedikit berbeda. Untuk bagian punggung atas sampai ke tangan tetap sama. Terdapat sayatan membentuk huruf T di tengkuk. Garis vertikal dari tengkuk ke pantat, sedangkan garis horizontal melintang dari pergelangan tangan kiri ke tangan kanan, atau dari arah Barat ke arah Timur. Mungkin bukan membentuk huruf T, tapi Y. Itu karena sepasang tangan Angela tidak membentang horizontal, tapi sedikit ke atas.

Pak Jono yang tadinya ada di samping kanan belakang di bawah pergelangan tangan kanan Angela, sekarang telah berdiri di belakang menghadap punggung Angela. Tangan kiri Pak Jono memegang tengkuk dekat luka sayat di tengkuk Angela, sedangkan tangan kanannya ia arahkan ke luka sayat. Ibu jari tangan kiri yang di tempelkan di tengkuk sedikit menekan lalu menggeser ke arah kiri atau ke arah Barat. Luka sayat yang berupa garis vertikal menganga lebih lebar. Kira-kira diameter luka yang menganga sekitar empat milimeter.

Ujung scalpel yang dipegang tangan kanan Pak Jono menempel tepat di luka sayatan dengan mata scalpel menghadap ke arah kiri. Perlahan, scalpel itu bergerak dari atas ke arah bawah. Dengan sigap, tangan kiri Pak Jono mengambil lembaran kulit dengan menjepit menggunakan ibu jari dan jari telunjuk. Tangan kirinya menarik lembut ke arah kiri, membuat lapisan kulit di baliknya terlihat. Warnanya ada yang kuning, putih, serta merah. Aku yakin lapisan yang berwarna kuning itu adalah lemak, sedangkan warna merah itu darah dan daging.

Dengan teratur, Pak Jono kembali mengiris dan membelah jaringan kulit Angela. Gerakannya sama dengan yang tadi, yaitu dari atas ke arah bawah. Ujung terjauh scalpel membelah hanya sampai ke punggung. Gores demi gores Pak Jono lakukan tanpa simpati dan empati. Angela benar-benar dianggap bukan manusia, tapi bahan baku. Goresan cukup banyak, diselingi cucuran darah yang merambat turun ke ujung kaki, lalu menetes di lantai. Tidak ada darah yang muncrat dan memancar deras. Mungkin karena kondisi Angela yang tenang dan tidak stress, sehingga aliran darah dalam tubuhnya stabil.

Scalpel terus menyayat memisahkan lapisan kulit dengan lemak. Bagian kulit di tulang belikat sebelah kiri Angela sebagian besar sudah lepas. Kemudian tangan kiri Pak Jono memegang kulit di punggung Angela sebelah kiri. Scalpel juga ikut beralih dari tulang belikat ke punggung.

Tatapan mata Pak Jono tajam menatap ke bagian yang ia potong. Setiap gesekan scalpel memisahkan kulit, di sela-sela warna merah daging dan kuning warna lemak di balik kulit itu mengeluarkan darah segar.

"Sudah sampai mana nih?" tanya Angela.

"Baru di punggung kamu sebelah kiri," jawabku.

“Wow, lumayan cepat ya,” kata Angela.

“Iya dong. Pak Jono kan profesional, beda dengan penjagal pinggiran di pasar,” ujarku.

Aku menoleh dan menatap raut wajah Pak Jono tersenyum.

“Kok senyum, Pak?” tanyaku penasaran.

“Ucapan adik mengingatkanku tentang masa lalu,” ucapnya.

“Masa lalu apa, Pak?” tanyaku lebih dalam.

“Masa lalu sebelum ketemu Tuan Borgan. Dulu saya seorang peternak dan penjagal hewan,” jelasnya.

“Oh gitu. Maaf, Pak. Siska tidak bermaksud menghina Bapak,” ujarku.

“Makanya, Kak. Punya mulut dijaga. Sebelum ngomong dipikirkan dulu, hihihi,” timpal Angela.

“Issh.. kamu ini,” gerutuku sambil menepuk pantat kanannya.

Eh, percuma juga menepuk pantatnya. Toh Angela tidak merasakan apapun.

“Gak apa-apa, Dik. Masa lalu biarlah berlalu,” jawab Pak Jono.

Sekilas aku melihat matanya berkaca-kaca. Apa gerangan yang terjadi dengan masa lalunya? Kenapa dia bersedih? Aku penasaran. Kalau sebelumnya dia seorang penjagal, lalu kenapa dia bisa sampai jadi anak buah Pak Borgan?

Sambil melihat Pak Jono mengiris dan mengelupasi kulit punggung sebelah kiri Angela, aku terdiam. Aku ingin tahu masa lalunya, tapi kemudian aku putuskan untuk diam. Mungkin kalau aku bertanya lebih jauh dapat membuat emosi Pak Jono jadi tidak stabil. Ya, ini lebih baik.

Sebagian punggung kiri Angela sudah terkelupas. Scalpel di tangan Pak Jono bergerak di dekat tulang pinggul kiri. Lembah diantara bongkahan pantat Angela jadi muara aliran darah segar yang menetes jatuh ke lantai. Awalnya yang terlihat lambat, kini pergerakan scalpel yang mengiris dan memisahkan kulit Angela semakin cepat.

“Adik boleh pegang kok. Ini pegang saja,” ujar Pak Jono.

Ia sepertinya paham apa yang ada di benakku. Walaupun bukan pertama kalinya memegang kulit, aku penasaran sih gimana kulit segar adik tingkat di kampus yang baru terkelupas dari tubuh.

Aku berjalan melewati troli, melewati belakang Pak Jono, lalu tiba dan berdiri di samping pinggang kiri belakang tubuh Angela.

“Ini, Dik,” ujar Pak Jono.

“Siap,” jawabku.

Tangan kiriku kemudian memegang kulit punggung Angela. Wah, rasanya memang lembut. Mengingatkanku kejadian pagi tadi saat tawanan perempuan istri polisi yang payudaranya dikuliti oleh Pak Agil. Aku berbeda dengan Ayun, kulit Angela ini jauh lebih lembut. Mungkin karena umurnya lebih muda dari Ayun. Kuingat-ingat lagi, payudara Ayun sangat enak, lembut, dan meleleh di lidahku. Sayangnya, salah satu payudaranya hangus. Hihihi, padahal enak loh.

“Dik, tolong tarik pelan-pelan ke arah sana ya?” pinta Pak Jono.

“Siap,” tegasku.

Aku menarik kulit punggung Angela. Dengan cekatan, Pak Jono menyayat bagian punggung atas sebelah kiri di dekat tulang belikat ke arah bawah, yaitu ke pinggang. Pinggang di dekat punggung Angela masuk menempel dengan daging dan otot. Aku paham maksud Pak Jono. Ia ingin mengelupas kulit di pinggang Angela.

Sayatannya Pak Jono cepat dan terukur. Tanpa terasa, kulit diantara genggaman tangan kiri dengan tubuh Angela mengendur. Itu menandakan bahwa sebagian kulit Angela sudah tidak menempel di tubuhnya. Tangan kananku membantu meraih kulit dan memegangnya. Tangan kiri beralih memegang ke kulit atas, lalu tangan kanan memegang bagian bawah. Poseku memegang seperti paskibraka yang sedang memegang bendera yang akan dikibarkan. Perbedaannya, aku bukan memegang bendera, tapi kulit. Poseku memang seperti mengibarkan bendera, tapi posisi tangan saja yang terbalik. Harusnya tangan kanan berada di atas dan tangan kiri ada di bawah, kalau aku terbalik. Tangan kiri berada di atas sedangkan tangan kanan berada di bawah. Selain itu, aku tidak membentangkan lebar kulit Angela. Karena bagian kulit dari tulang belikat sampai punggul tidak sampai satu meter, hihihi. Unik juga sih mengibarkan kulit manusia. Kira-kira ada nggak ya, orang yang memesan bendera dari kulit manusia. Hihihi, aneh-aneh aja aku ini.

Makin lama, tanpa kusadari, Pak Jono sudah berhasil menguliti punggung kiri atas Angela. Kulit di pundak dekat tulang belikat sebelah kiri sudah lepas. Walaupun tulang belikat tampak timbul, tapi masih terbalut oleh jaringan lemak, teres minor, dan teres mayor. Sebagian besar jaringan otot latissimus dorsi sebelah kiri terlihat jelas. Dari sela-sela otot tersebut masih mengeluarkan darah segar.

Aku masih memegang kulit Angela. Pak Jono sekarang bergerak ke depanku. Tubuhku dan Pak Jono dibatasi oleh lembaran kulit punggung kiri Angela. Ia sedikit menunduk dan mengarahkan scalpel menyayat bagian punggung bawah sebelah kiri. Lembaran kulit yang kupegang tangan kananku sedang memegang kulit Angela yang menempel di tulang punggung bawah di atas pantat. Awalnya jarak tangan kananku yang memegang kulit ini sekitar belasan centimeter dari tubuh Angela, kini sudah agak menjauh. Mungkin sekitar dua puluh sampai tiga puluh centimeter. Hal itu karena bagian kulit yang masih menempel di jaringan otot Angela, sudah terpisah oleh scalpel Pak Jono.

Sekarang, scalpel Pak Jono bergerak ke lembah di antara pantat sebelah atas Angela. Mata scalpel menyentuh luka sayatan vertikal. Dengan lihai, tangan kanan Pak Jono menggerakkan scalpek ke kulit itu. Ia memisahkan gundukan pantat kiri Angela. Di mulai dari lembah kecil, scalpel bergerak menyelinap dibalik jaringan kulit dan otot.

Dari sepuluh persen kulit di pantat kiri Angela, dalam belasan detik hampir separuh kulit yang sudah dikelupas. Ternyata di pantat Angela banyak jaringan lemak. Warna kuning dan di antara lemak itu mengeluarkan darah. Aku lihat di balik tangan kanan yang memegang kulit Angela juga masih ada lemak yang menempel.

"Lemak yang nempel di kulit ini tidak dikelupas juga, Pak?" Tanyaku sambil menatap ke balik kulit.

"Oh iya, memang sebaiknya dipisahkan dari kulit. Seperti ini contohnya," ujar Pak Jono menelapak bagian depan kulit Angela dengan tangan kiri untuk menahan, lalu tangan kanannya menyayat lemak tersebut.

"Cepat ya?” lirihku.

“Beda lah, Kak. Pak Jono itu kan profesional, bukan amatiran seperti Kak Siska, hihihi,” ujar Angela.

“Hush, dasar kamu ini,” ujarku.

“Dik Siska mau nyoba? Buat buktikan ke Adik Angela. Ini coba saja,” ujar Pak Jono menyerahkan scalpel kepadaku.

“Udah gapapa, Pak. Bapak saja yang ngerjakan. Nanti kalau salah potong lalu kulitnya sobek dan berlubang gimana?” ucapku.

“Ya itu memang resiko, tapi kalau hati-hati bisa kok Dik,” ujar Pak Jono.

“Nggak deh, Pak. Biar Siska melihat dan bantu apa yang Siska bisa,” kataku.

Pak Jono tersenyum mendengar ucapanku. Ia kemudian meletakkan potongan lemak kecil yang baru saja dipotong ke atas troli, lalu melanjutkan mengiris kulit dalam Angela. Ia memisahkan bagian kulit yang terdiri dari epidermis, dermis, dan hipodermis dengan jaringan lemak yang ada di pantat kiri Angela. Tangannya yang terampil bergerak mengiris lapisan lemak terluar yang berhimpitan dengan kulit. Dalam belasan detik, seluruh kulit pantat kiri Angela sudah lepas. Kulit di pinggulnya sebagian masih menempel.

Aku melihat lubang pantat Angela masih berada di posisinya. Begitu juga dengan memeknya. Garis sayatan scalpel membelah lipatan di selangkangan sebelah kiri yang bersebelahan dengan labia mayora.

Menakjubkan! Bongkahan pantat Angela penuh lemak yang merupakan cadangan makanan bagi tubuh. Menurut ilmu pengetahuan, manusia sanggup tidak makan selama tiga minggu asal dia rutin minum air. Dalam tiga minggu, tubuh akan mengambil lemak sebagai sumber energi. Aku baru kali ini melihat lemak yang masih hidup. Pada Ayun, lemak di pantatnya langsung di masak sih sama Pak Agil dan kawan-kawannya. Hihihi.

Pak Jono berdiri. Ia menyayat kulit di lengan kiri Angela. Dimulai dari ketiak atas, lalu ke lengan. Kulit dibagian ini banyak pori-porinya. Bulu ketiak Angela yang sudah ia cabut menyisakan cekungan kecil. Lubang itu tempat tumbuhnya rambut dan juga cairan keringat. Ada juga lemak yang mengendap di ketiak Angela. Aku tahu setelah sebagian besar kulit ketiaknya sudah lepas. Hihihi.

Scalpel menyayat-nyayat lengan bawah di dekat siku. Pak Jono sedikit menjinjit, karena dari lengan atas Angela sampai ujung tangannya sedikit menanjak tinggi.

Cekatan, Teliti, dan Fokus. Pak Jono melakukan sayatan tanpa belas kasih. Kulit pada Siku Angela sudah lepas dan menggantung. Pak Jono berpindah di samping kiriku untuk memisahkan kulit di pergelangan kiri Angela. Dengan gerakan melingkar seperti gelang, kulit tangan kiri Angela sudah lepas seluruhnya. Pak Jono memotong kulit di pergelangan sedikit di bawah sabuk atau strap yang mengikat pergelangan tangan kiri.

Telapak tangan kiri Angela sedikit memerah. Hal itu karena aliran darah tertekan di pergelangan tangan kirinya. Mungkin sedikit ada aliran darah yang mengalir. Kalau benar-benar tidak ada aliran darah, telapak tangan dan jemari tangannya berwarna kebiru-biruan.

"Sekarang Dik Siska boleh lepas pegangannya," ujar Pak Jono.

"Beneran, Pak?" tanyaku.

"Iya. Ini, sekarang bantu pegang yang ini," kata Pak Jono menunjuk kulit punggung sebelah kiri.

"Baiklah," jawabku kemudian melepaskan genggaman tangan ke kulit punggung kiri Angela.

Saat aku lepas, kulit di punggung kiri serta kulit tangannya menggantung bebas seperti lembaran kain basah, menekuk dan menampilkan bagian dalam berada di luar. Sedikit sekali lemak yang menempel di kulit Angela. Memang Pak Jono profesional. Lembaran kulit Angela rapi dan tidak ada cacat akibat salah memotong. Ia tepat memotong dan memisahkan jaringan hipodermis dengan lemak dan otot.

Aku beranjak ke sisi Timur, atau sisi kanan. Aku memundurkan sedikit troli berisi peralatan ke belakang, atau ke arah Selatan karena menghalangi. Pak Jono kemudian menghampiri dan mulai menempelkan scalpel mengham ke arah kanan, atau ke arah Timur.

Scalpel mulai mengiris bagian kulit tengkuk sebelah kanan ke arah punggung. Tidak ada suara yang ditimbulkan akibat gesekan scalpel dengan kulit bagian dalam Angela. Benar-benar sunyi.

"Sudah sampai mana nih?" tanya Angela penasaran.

"Baru bagian kulit punggung kanan kamu," jawabku.

"Lumayan juga ya?" kata Angela.

"Iya," ujarku singkat.

"Dik, tolong pegang ini," pinta Pak Jono yang memegang lembaran kulit di punggung atas sebelah kanan Angela.

Aku pun memegang kulit itu. Lalu, Pak Jono melanjutkan menyayat kulit Angela. Scalpel bergerak dari tengkuk ke punggung. Ia lakukan berkali-kali hingga hampir separuh kulit punggung kanan Angela lepas dari tubuhnya. Jaringan otot yang membungkus tulang belikat di dekat tulang punggung atasnya terlihat jelas. Darah segar keluar dari sela-sela jaringan otot yang baru lepas dari kulit sebagai penutupnya. Genangan darah di bawah tubuh Angela juga lumayan banyak. Ini soal waktu Angela akan mati kehabisan darah.

Kulit punggung sebelah kanan Angela semakin lama semakin menampakkan bidang tanpa kulit. Otot merah, putih, dan jaringan lemak berwarna kuning menghiasi punggung Angela dari tengkuk sampai punggung bawah. Aku memegang lembaran kulit punggung kanan Angela dengan kedua tanganku bak pengibar bendera.

Kini, Pak Jono sedang mengiris untuk memisahkan kulit pada bongkahan pantat kanan Angela. Tubuh Pak Jono sedikit menunduk. Fokus tertuju kepada objek yang akan dipotong.

Scalpel mulai memotong jaringan kulit di dekat tulang lumbar vertebra ke lima menuju ke tulang ekor. Tangannya cekatan membelah jaringan di antara hipodermis dan otot. Mengiris tepat sasaran tanpa merusak kulit.

Detik demi detik bergerak sangat cepat. Kulit pantat kanan Angela mulai lepas dan menampakkan bongkahan lemak bergerinjal dengan tekstur cerah. Di sela-selanya ada yang mengeluarkan darah.

Pak Jono kemudian lanjut mengiris sayatan pada lipatan di selangkangan sebelah kanan, lalu menarik garis sayatan lurus ke paha dalam hingga ke dekat lutut. Ia lakukan juga pada sisi satunya, yaitu paha kiri sebelah kiri. Darah keluar dari sayatan itu, merambat turun dan menetes jatuh menyusul rekan sejawatnya.

Selanjutnya, Pak Jono lanjut memotong sisa-sisa kulit di punggung yang masih menempel. Di mulai dari tulang belikat kanan sampai ke dekat ketiak, lalu ke bawah memotong kulit di punggung dekat pinggang kanan. Scalpel menyayat ke arah bawah menuju pinggul kanan. Terakhir, kulit di bongkahan pantat kanan dikuliti hingga seluruhnya lepas dan menyisakan lipatan bagian bawah di atas paha. Jadi, paha atas yang berdekatan dengan lipatan pantat masih menempel. Hal yang sama juga dilakukan pada pantat kiri Angela.

Selesainya, Pak Jono berdiri di belakangku untuk menguliti lengan kanan. Dengan cekatan, scalpel memisahkan kulit lengan dengan otot yang ada di baliknya. Secara teratur, dari lengan sampai siku, scalpel membelah lapisan dibawah kulit. Pak Jono menjinjit. Ia lanjut menguliti dari siku sampai pergelangan tangan kanan. Di dekat strap atau sabuk, scalpel mengitari dan seluruh kulit tangan kanan Angela lepas dan menggantung bebas.

"Dik Siska, tolong pegang betis kanan Dik Angela ya? lepas saja kulit itu," pinta Pak Jono.

Aku pun melepaskan lembaran kulit punggung sisi kanan Angela.

"Eh, ini kulit tanganku ya?" tanya Angela mengetahui kulit tangan kanannya menjuntai di sisi depan samping kanan perutnya.

"Iya, tuh kalau kamu lihat kulit tangan kiri kamu ada di belakang," ujarku.

"Mana, mana?" tanyanya penasaran.

"Bentar ya, Pak," ujarku ke Pak Jono.

"Iya, Dik," jawabnya tersenyum.

Aku berjalan mendekat ke pinggang kiri Angela, lalu memegang lembaran kulit tangan kiri. Aku arahkan lembaran kulitnya yang tadinya ada di belakang ke depan wajahnya.

"Ini," jawabku singkat.

"Wah, benar-benar sudah lepas. Bakal bagus nih kalau jadi pakaian," katanya.

"Iya dong bagus, siapa dulu yang menguliti, hihihi," ucapku.

"Kak, coba perlihatkan dong sikuku. Di situ ada tahi lalatnya di dekat siku kiriku," pintanya.

Aku membalik lembaran kulit di sikunya yang sebagian berlumuran darah, lalu menunjukkannya.

"Wooaah, ada. Sekarang sudah selesai ya menguliti punggung aku?" tanyanya.

"Iya udah. Pantat kamu juga sudah tak berkulit tuh. Lemaknya banyak menumpuk disitu, Hihihi," ujarku tertawa kecil.

"Kalau punyaku aja banyak, pasti punya Kak Siska bakal lebih banyak. Pantat kakak aja lebih berisi dari punyaku," ujar Angela.

"Benar juga ya, hihihi," ujarku.

"Eh, Kak. Coba lihat dibalik kulitku dong," pintanya.

"Kulit tangan?" tanyaku

"He em," ujarnya.

Aku kemudian membalik lembaran kulit tangan kirinya untuk dia lihat.

"Gimana? Bagus nggak?"

"Iya bagus. Less fat, pure skin," ujarnya.

"Hihihi, kayak iklan aja," celetukku.

"Iya, Kak. Hihihi," tawanya.

"Ya udah, aku lanjut bantu Pak Jono," ujarku kemudian melepaskan lembaran kulit tangan kirinya.

"Kalau boleh tahu, Pak Jono mau nguliti apa?"

"Anus dan kemaluan Dik Angela, kemudian dilanjut ke paha sampai pergelangan kaki," ujarnya.

"Wah, bentar lagi memek aku bakal dikelupas nih," ujarnya.

"Seneng banget kamu ya? Gak sayang nih memek perawan kamu lepas? Diperawanin dulu gimana?" tanyaku.

"Jangan dong, Kak. Sayang sih, tapi biar harganya mahal, makanya biarin perawan," ujarnya.

"Hihihi, iya sih. Ya udah, selamat berpisah sama memek kamu ya? Bentar lagi memek kamu berpisah dengan selangkangan kamu," ujarku.

"Iya kak. Nanti kasih lihat ya kalau sudah lepas."

"Okay," jawabku.

Aku kemudian melepaskan kulit tangan kiri Angela kemudian beranjak ke sisi kanan tubuh Angela. Aku melewati belakang Pak Jono.

"Ini, tolong betis dik Angela diangkat biar saya mudah mengulitinya," pinta Pak Jonk

"Siap," jawabku kemudian dengan sepasang tanganku meraih betis Angela yang sebagian berdarah akibat dirambati kucuran darah dari punggung, lalu mengangkatnya.

Aku mengangkat kaki kanan Angela ke arah samping kanan, atau ke arah Timur. Jika dilihat dari arah Utara atau Selatan, dari paha kiri ke paha kanan membentuk sudut siku-siku.

"Sudah cukup, Pak? Atau masih kurang?" tanyaku.

"Cukup, Dik," jawabnya.

"Biar enak dan aku bisa lihat, aku tinggikan lagi ya, Pak? Seperti ini," ujarku dengan mengangkat lebih tinggi. Kira-kira sudut dari paha kiri dan paha kanan berkisar 130 derajat. Bukan split sih. Kalau split kan dari kaki kiri ke kaki kanan itu 180 derajat.

"Iya, seperti ini juga tidak apa-apa. Tapi, Dik Siska geser dikit ke depan atau ke belakang. Kamera di belakang Dik Siska tidak bisa melihat kemaluan Dik Angela," jawab Pak Jono.

"Oh iya," ujarku.

Aku sampai lupa kalau di belakangku, di arah Timur ada beberapa kamera beresolusi tinggi yang mengarah ke tubuh Angela. Netizen kan ingin lihat juga, hihihi. Mungkin mereka pada ngaceng ya.

Aku kemudian berganti posisi yang awalnya ada di sebelah Selatan dari kaki kanan Angela, sekarang berdiri di sebelah Utara. Jadi, aku saling berlawanan arah dengan arah hadap Angela. Aku menghadap ke arah Pak Jono, sedangkan Angela menghadap ke arah di belakangku. Kaki kanan Angela melintang dari pinggang kanan ke atas kepalaku. Aku memegang dengan kedua tangan. Wajah Angela yang sedikit menunduk menatap ke arah ketiak kananku.

“Ketiak kakak basah tuh,” ujar Angela.

“Basah karena keringat. Capek tau habis nahan megang kulit punggung kamu,” ujarku membela diri.

“Hihihi, iya. Semangat ya, Kak,” kata Angela menyemangatiku.

“Iya, dong. Hihihi,” jawabku.

Aku mengamati Pak Jono yang sedang menunduk, mengamati selangkangan Angela yang terpampang bebas. Sebentar lagi memeknya bakal lepas terkuliti dan terkelupas.

Sejenak, aku berpikir apa yang Angela rasakan saat ini. Aku tidak tahu efek dari beberapa jarum akupuntur yang menancap di punggung lehernya, karena aku belum merasakannya. Dengan posisi Angela yang seperti ini, rambutnya diikat ponytail yang dikaitkan dengan tali di langit-langit membuat kepalanya sedikit menunduk, sepasang tangannya ada terbentang di atas kepala membentuk huruf V, kaki kiri menjuntai ke bawah dan tidak menyentuh lantai, lalu yang terakhir adalah kaki kanannya yang aku pegang dan aku tahan seperti melakukan standing split atau Trivikramasana. Misalkan kalau jarum akupuntur itu dicabut semua, apa yang akan terjadi ya? Yang pasti Angela akan merasakan sakit dan perih. Sepasang tangannya, dari pundak ke pergelangan tangan sudah tak berkulit. Otot berwarna merah, putih, dan jaringan lemaknya tampak jelas. Masih dominan warna merah dan putih sih, soalnya tangan Angela sedikit lemak. Hihihi.

Setelah mengamati, Pak Jono berdiri dan mengambil scalpel nomor sebelas. Scalpel yang sebelumnya ia letakkan.

Pak Jono kemudian menunduk lalu mengarahkan tangan kanan yang memegang scalpel ke selangkangan Angela. Tangan kirinya meraih kulit yang berbentuk segitiga di atas lubang anus Angela. Ya, berbentuk segitiga. Karena pantat kiri dan kanannya sudah tak berkulit, menyisakan kulit di lembah kecil sedikit di atas anus dan dibawah tulang ekor.

Aku yang melihatnya sampai memiringkan tubuhku sedikit ke kanan agar dapat melihat bagian yang akan dikuliti oleh Pak Jono.

Dengan cekatan, Pak Jono mengiris dan memisahkan kulit di atas anus Angela, lalu bergerak ke bawah. Ia tekan scalpel itu sampai masuk dan menggerakkan seperti memotong. Ia lakukan hal yang sama dengan sisi satunya. Yang tadinya mengiris sisi kanan lubang anus, sekarang mengiris sisi kiri dari anus. Tangan kiri Pak Jono meraih lembaran kecil kulit di atas anus, lalu ditarik secara perlahan.

Wah!! Anus Angela sudah lepas dari tubuhnya!! Lubang anus Angela masih terhubung dengan rektum dan usus besar. Saat ditarik keluar, rektum dan usus besarnya ikut keluar. Tangan kiri Pak Jono tidak menarik lebih jauh, ia kemudian memotong solong dibalik anus. Perlahan, dengan scalpel tajam nomor sebelasnya, ia memotong rektum Angela. Seketika beberapa fesesnya berjatuhan. Dengan cepat, Pak Jono melepas kulit lalu meraih usus besarnya yang keluar lalu menjepit usus tersebut. Sambil memegang scalpel, tangan kanannya meraih sebuah jarum yang cukup besar. Mungkin besarnya seperti jarum kasur. Jarum tersebut ia arahkan ke usus besar bekas potongan scalpel, lalu tangan kirinya menarik sedikit keluar dan menusukkan jarum itu ke usus. Setelah ia tusukkan untuk kedua kali dengan jarum yang sudah menancap tersebut. Ususnya seperti dipincuk.

Tangan kirinya ia lepaskan, lalu ia meraih kulit yang menyatu dengan lubang anus Angela. Scalpe tersebut ia goreskan ke labia maroya Angela, kemudian beralih ke labia maroya sisi satunya. Sekarang sepasang labia mayora sudah lepas dan bergelantungan. Tak lama setelahnya, tangan kiri Pak Jono memegang sepasang labia mayora itu, lalu menusukkan scalpel tajam ke otot bekas labia mayora menempel, yaitu pada bulbospongiosus sebelah kanan. Agak dalam, bahkan lebih dalam dari yang ia lakukan ke anus. Ia lakukan hal yang sama dengan sisi satunya. Jaringan otot bulbospongiosus sebelah kiri ditusuk. Sambil menarik perlahan sepasang kulit labia mayora Angela, Pak Jono menusukkan scalpel. Gagang scalpel dan tangan kanannya sampai bisa masuk ke dalam rongga di dalam selangkangan Angela. Tangan kirinya ikut masuk dan bergerak-gerak seperti ingin mengambil sesuatu di dalam rongga selangkangan itu. Begitu pula dengan tangan kanannya yang juga bergerak-gerak.

Darah mengucur dari dalam rongga itu. Membasahi tangan dan pakaian Pak Jono. Namun, beberapa detik kemudian, kucuran darah keluar cukup deras bersamaan dengan tangan kiri yang keluar secara perlahan. Aku tidak menyangka. Tangan kiri Pak Jono memegang rahim Angela!!! Ya, seonggoh bongkahan uterus yang di sisi kiri dan kanannya dilengkapi tuba falopi yang terhubung dengan ovarium!

Pak Jono melepaskan genggaman tangan kirinya lalu memegang anus Angela. Bukan cuma organ kemaluan luar Angela yang lepas dari tubuhnya, melainkan juga organ reproduksi.

Lembaran memek beserta aksesorisnya, seperti labia minora, klistoris, uretra, vestibule, dan lain-lain telah lepas. Lorong vaginanya yang seperti seonggok daging panjang dan dibawahnya menggantung rahim menjuntai ke bawah. Tuba falopi juga terhubung pada ovarium juga ikut berjuntai.

Aku lihat pak Jono berdiri lalu meletakkan scalpel dan mengganti scalpel yang lain. Sepertinya ia menggunakan scalpel yang pertama tadi yang digunakan untuk menyayat dan menguliti punggung, tangan, serta pantat Angela. Ia kemudian menunduk dan sedang menguliti sisi paha kiri atas Angela yang sebagian penuh darah.

Di lantai, ceceran darah yang bercampur dengan feses berada di dekat saluran pembuangan. Sangat hebat. Pak Jono mampu mengeluarkan vagina dan rahim tanpa merusak kantung kemih. Padahal, lorong vagina sangat dekat dengan kantung kemih.

Oh, iya. Angela kan ingin lihat memeknya sendiri saat sudah lepas dari tubuhnya.

Tangan kanan aku lepas dari betis kanan Angela, dan menyisakan tangan kiri yang menahan dan memegang. Beberapa detik sebelum tangan kanan meraih memek Angela, Pak Jono bersuara.

“Dik Siska lepaskan saja kaki kanan Dik Angela,” ujarnya.

“Oh gitu, sudah gak apa-apa saya lepas, Pak?” tanyaku.

“Tidak apa-apa. Tujuannya tadi untuk mempermudah saya mengeluarkan rahim dan vaginanya,” terangnya.

“Eh, sudah selesai ya memekku lepas?” tanya Angela.

“Sudah,” singkatku.

“Coba sini lihat dong, Kak,” mohonnya.

“Iya-iya,” jawabku.

Mendengar penjelasan Pak Jono, aku kemudian melepaskan secara perlahan. Kulihat pak Jono memegang usus besar Angela yang menjuntai. Sepertinya ia mengarahkan agar jarum tersebut tidak mengenai paha Angela.

Benar sih, saat aku lepas, posisi jarum yang tadinya melintang dari arah Timur ke Barat menjadi ke arah Selatan ke Utara. Ujung jarumnya menghadap ke arahku.

Tangan kananku meraih memek Angela. Aku kemudian memegang seonggok memek yang baru saja lepas dari sangkarnya, menghadapkannya ke arah langit-langit dan ke wajah Angela yang menunduk.

“Nih, lihat!!,” ujarku.

“Waaaw, nggak nyangka memekku lepas juga. Bye-bye memek. Makasih ya udah menemani perjalanan hidup aku, Hihihi,” ujar Angela tersenyum.

“Memek kamu bagus deh Angela.”

“Iya dong. Nih penonton memek aku. Lihat baik-baik,” ujar Angela.

Aku mengarahkan memek Angela ke arah Utara, yaitu ke beberapa kamera di depan sana. Aku biarkan cukup lama agar mereka bisa mengamati atau mengambil gambar screenshot. Tangan kiriku juga ikut membantu memegang.

“Lihat nih memek imut Angela. Masih perawan loh,” ujarku sedikit merenggangkan labia mayoranya hingga menampakkan selaput daranya.

“Ini namanya klistoris, dibawahnya namanya labia minora. Imut dan masih ramping. Tidak menggelambir,” ujarku melanjutkan sambil menunjuk klistoris dan sepasang labia minoranya.

“Terus, dibawahnya itu apa, Pak?” tanya Angela.

“Oh ini namanya perineum, dan yang ini namanya lubang anus,” ucapku.

“Menurut Kak Siska, gimana anus aku?”

“Bagus tidak ambeien, hihihi,”

“Iiihh.. Kakak,” gerutunya.

“Bagus dan imut loh. Nah nih coba lihat, jariku bisa keluar dari anus kamu,” ujarku sambil jari tengah tangan kiri aku masukkan dari sisi dalam lalu keluar dari lubang anusnya.

“Hihihi, anus aku dimainin,” ujar Angela mengetahui jari tangan yang masuk ke anusnya aku gesek-gesek keluar masuk.

“Loh, kok bolong tidak mengatup?” ujarku saat melepaskan jariku dari cengkraman anusnya.

“Wajar, Kak. Anusku kan udah beda,” ujarnya.

Iya juga sih, lubang anusnya tidak bisa mengatup sendiri. Apalagi anus Angela sudah tidak terhubung lagi dengan saraf dan otot.

“Kak, kalau itu apa, Kak? Gumpalan merah yang itu, ” tanyaku lebih jauh.

“Ini vagina kamu dan yang ini rahim kamu. Kalau dari luar seperti ini vagina kamu, tapi kalau dari dalam bentuknya lain,” jelasku.

“Memangnya kakak tahu bagian dalam vagina seperti apa?” tanyanya seolah tidak percaya.

“Pernah. Lihat saja gyno atau cewek yang lagi main speculum. Bakal tahu bagian dalam dan rongga vagina seperti apa. Bahkan, lubang servik pun bisa terlihat,” jelasku.

“Kakak sudah pernah lihat servik dan lorong vagina?” tanyanya.

“Sudah, terakhir lihat punya Ayun. Hihihi,” ujarku.

“Pantes aja ngerti, hihihi,” jelasnya.

“Kamu juga bisa tahu kok, asalkan dibuka memek kamu ini,” kataku sambil membuka sedikit lebar labia minoranya.

“Jangan dong kak, nanti bakal rusak selaput daraku,” balasnya.

“Kalau mau, tinggal masukin beberapa jari, sudah robek selaput dara kamu,” ujarku.

“Kak, kok aku sedikit pusing ya. Pandanganku sedikit agak buram dan tidak fokus,” ucapnya.

“Hmmm kenapa ya?” ujarku ikut bertanya.

“Kenapa ya, Pak?” tanya Angela ke Pak Jono.

“Itu karena darah dari tubuh Adik banyak yang keluar. Nah, sudah selesai, ” jawab Pak Jono.

Aku sedikit terkejut saat melihat sepasang kaki Angela. Ternyata seluruh kulitnya sudah terkelupas. Menyisakan kulit di pergelangan kaki sampai ujung jari.

“Nih lihat kulit kaki kamu,” ujarku menunjukkan kulit paha sampai betisnya.

“Hihihi cepet juga ya?” ucap Angela.

“Nih, kamu gak memperhatikan. Di betis kamu masih ada bulu halus yang belum kamu cabutin,” ujarku menunjukkan bagian kulit tersebut.

“Mana, mana? Gak keliatan jelas,” jawabnya.

“Nih,” singkatku mendekatkan ke wajahnya. Kira-kira sejengkal dari sepasang matanya.

“Wah iya, aku kelupaan. Biarin deh, kenang-kenangan. Hihihi.”

“Kalau kenang-kenangan itu ini,” ujarku menunjukkan kulit pantat kiri Angela yang ada bekas cap dan stempel panas berlogo huruf B.

“Betul. Ternyata pantatku tadi yang berdesis itu suara pantatku yang terbakar ya, hihihi,” ujarnya.

“Ayo, Pak. Selanjutnya bagian apa? Kasihan kalau lama-lama, Angela bisa tidak bertahan lama. Bisa-bisa sebelum selesai dikuliti, Angela mati,” ujarku.

“Iya, Pak. Ayo buruan kuliti. Pening banget nih. Mana aku pingin lihat seluruh kulit aku lepas,” ujar Angela.

Pak Jono tersenyum mendengar apa yang terucap dari mulut Angela. Tinggal sedikit lagi, yaitu tubuh depan Angela yang belum dikuliti. Seluruh tangan, punggung, dan sepasang kakinya sudah dikuliti. Tubuhnya berwarna merah dan masih mengeluarkan darah. Apa mungkin jarum di punggung Angela bisa membuatnya bisa bertahan sampai sekarang? Bisa jadi begitu.

Aku melihat Pak Jono berjalan di sisi sebelah kiri Angela. Tangan kirinya menggapai kulit di pundak kiri sisi depan, yaitu di atas tulang selangka. Ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri Pak Joni memegang kulit Angela, sedangkan tangan kanan yang memegang scalpel diarahkan ke pundak kiri. Mata scalpel yang tajam bagaikan silet itu mulai mengiris membelah kulit putih Angela. Memisahkan kulit pundak dengan otot dan daging yang menempel di tubuhnya. Perlahan tapi pasti, sayatan demi sayatan kulit Angela mulai lepas dari jaringan lemak dan otot.

Sekarang pak Jono mulai menyayat memisahkan sia-sisa kulit ketiak kiri Angela. Ketiak yang bersih tak berbulu mulai lepas dibelah oleh scalpel. Cukup cepat. Hasilnya pun bagus. Terlihat lemak yang menempel di kulit yang baru saja lepas dari tubuh Angela tampak sedikit.

Scalpel it mengarah ke bawah, memisahkan kulit yang menempel di tulang selangka sebelah kiri. Turun lagi dan turn ke gundukan buah dada sebelah Atas. Dari sini, tampak terlihat lemak yang berkerumun. Aku bahkan mendekat di sisi kanan Pak Jono. Aku perhatikan lagi sayatan demi sayatan scalpel memisahkan kulit payudara atas Angela. Turun lagi ke bawah di atas areolanya. Pak Jono meraih puting kiri Angela dengan hati-hati, lalu menariknya. Di pangkal puting kirinya, masih tertancap jarum yang tadi aku tancapkan. Sesuai permintaan Angela, ia ingin jarum itu masih tertancap sampai seluruh kulitnya lepas dari tubuhnya.

Bak pakaian yang dilepas secara paksa. Kulit Angela seperti pakaian. Aurat terindahnya sebentar algi lepas dan ia telanjang. Ya, telanjang dalam arti yang sesungguhnya. Telanjang tanpa kulit dan menyisakan jaringan otot dan lemak. Hihihi

Pak Jono berhati-hati saat memotong kulit dibalik areola. Dengan seksama, scalpel memotong areola dan dilanjut ke jaringan di balik puting. Saluran persusuan yang menghubungkan puting dengan mammary duct telah dipotong. Scalpel mengarah ke bawah ketiak. Memotong jaringan kulit di dekat payudara kiri yang berdekatan dengan ketiak bawah.

Turun dan bergerak sambil menyayat. Hampir seluruh bongkahan payudara kiri Angela lepas. Aku lihat wajah Angela menatap ke bawah, memperhatikan mahkota kewanitaannya terkelupas.

“Gimana rasanya? Masak sih gak ada rasa sesuatu, geli atau nyeri?” tanyaku.

“Gak ada, Kak. Mungkin Kak Siska mau coba?” tawarnya.

“Issh nggak. Hihihi.”

“Sayang loh kak, coba dikit aja.”

“Nggak deh, tuh lihat kulit toket kanan kamu sudah lepas,” ujarku.

“Iya, Kak. Ternyata dalaman toket aku warnanya kuning ya?”

“Ini namanya suspensory ligament, warnanya memang kuning,” ujarku menunjuk ke payudara kiri Angela yang tak berkulit.

“Di dalamnya ada jaringan mammary duct, kelenjar yang bikin kamu bisa memproduksi air susu,” terangku.

“Bisa tolong ditunjukkan jaringan itu, Kak?”

“Bisa dong, tapi beneran gak apa-apa ya?”

“Santai saja, Kak. kulit aku dijual, tapi tubuhku milik kakak. Tadi kan aku sudah bilang, jangan pikun dong, Kak. Masih muda sudah pikun, hihihi.”

“Isshh, kamu ini. Ya udah, kakak akan perlihatkan ke kamu,” ujarku kemudian pergi mengambil scalpel yang runcing yang tadi digunakan Pak Jono untuk memotong dan mengeluarkan organ reproduksi Angela.

“Nih, aku tunjukkan ke kamu dan juga penonton,” ujarku dengan memegang tangan bongkahan payudra kiri tak berkulit. Tangan kananku yang memegang scalpel mendekat dan aku arahkan di atas buah dadanya. Aku tarik garis lurus ke bawah, yaitu dari suspensory ligament ke tengah di bekas puting dan areola. Terus sampai ke bawah hingga terbelah menjadi dua. Garis vertikal sayatanku cukup lurus. Hihihi. Gak apa-apa dong memuji diri sendiri.

“Aku potong separuh gak apa-apa, kan?”

“Silakan, Kak” ucapnya.

Aku kemudian memotong payudara kirinya yang sisi dekat ketiak. Lalu, dari atas, aku potong bongkahan payudara ini dari cangkang tulang rusuknya. Sebelum jatuh, aku meraihnya dengan tangan kiriku.

Sekarang, separuh bongkahan payudara kiri Angela ada di telapak tangan kiriku.

“Ini jaringan mammary duct kamu,” ujarku menunjuk dengan scalpel dan menusukkan sedikit ke jaringan mammary duct yang berwarna merah segar tersebut.

“Wah, keluar warna putih, kok bisa ya?” ujarnya mengetahui jaringan persusuannya mengeluarkan carian putih.

“Nih, kamu coba rasakan,” ujarku.

“Boleh. Sini, sini dekatin ke mulut aku, Kak,” pinta Angela.

“Okay.”

Aku mendekatkan tangan kiriku ke mulutnya. Lidahnya menjulur keluar, bersentuhan dan merasakan carian putih yang disekitarnya ada darahnya.

Angela memasukkan lidahnya, lalu mengecap perlahan, seolah meresapi dan merasakan carian itu.

“Gak begitu kak, coba tusuk lagi, Kak,” pintanya.

Dengan senang hati, aku menurutinya. Aku tusuk-tusukkan jaringan mammary duct Angela. Beberapa diantaranya banyak yang keluar.

“Nih coba rasain lagi,” ujarku.

Angela kemudian menjulurkan lidahnya, lalu mengecap.

“Gimana?”

“Iya, Kak. Itu susu. Kok bisa ya?”

“Itu karena kamu horny sih,”

“Iya, kak?”

“Kamu bisa memproduksi air susu kalau lagi horny. Terutama seorang maniak seperti kamu, hihihi,” ejekku.

“Hihihi, Kakak tahu aja,” ujarnya.

“Tuh lihat, hampir sebagian besar kulit depan kamu sudah lepas. Perut sampai kulit pubis kamu sudah lepas, tinggal toket kanan kamu,”

“Hihihi, bagus dong. Lebih cepat lebih bagus. Sebentar lagi kulitku pisah dari aku,” ujarnya santai.

“Kamu mau nggak nyoba merasakan toket kamu sendiri,” ujarku.

“Maksud kakak, makan gitu?” ujarnya.

“Iya. Makan mentah-mentah. Anggap aja sushi. Aku iris, halus seperti sushi gimana?” tawarku.

“Nnggak deh kak, potong aja ukurannya yang tidak besar dan tidak kecil,” jawanya.

“Sip, pakai potongan toket ini aja ya?” tanyaku menunjukkan separuh payudara kirinya yang ada ditelapak tangan kiriku.

“Iya. Boleh, Kak. Segitu aja cukup, gak perlu banyak-banyak,”

“Banyak gak apa-apa kok, lagian aku sudah pernah makan dua toket utuh yang sudah dimasak,” ujarku sambil memotong toket ini menjadi lima bagian.

“Eh, kapan.”

“Waktu pertama kali datang ke sini. Aku disuguhkan cewek guling oleh Chef Yongki. Klau gak salah namanya Vivi,” ujarku.

“Wuih, hebat. Toketnya gede nggak. Kak.”

“Lumayan lah, sedikit lebih besar dia dari toket kamu, hihihi,” ejekku.

“Ihh kakak ngejek mulu,” rengeknya.

“Udah.. udah. Nih aaaaaa… buka mulutnya,” ujarku menyuapi potongan toketnya sendiri.

Ia membuka mulut, lalu mengunyahnya. Ia tampak melirik kesana-kemari.

“Enak kan? Toket mentah kamu sendiri pasti enak dong,” ujarku.

“Engak.. Engak, Kak,” ujarnya.

“Udah habisin dulu, baru ngomong. Pamali makan sambil ngomong,” ujarku.

Aku lihat sepertinya ia sudah menelan tiga kali.

“Enak, Kak.”

“Sip, kalau gitu kak Siska yang nyoba rasain toket kamu. Sekarang nyoba area puting dan areola kamu deh. Nih lihat, ada saluran penghubung ke puting menuju jaringan kelenjar susu kamu,” ujarku menunjukan bagian potongan tengah.

Aku pun memakan potongan payudara adik tingkatku. Benar sekali. Rasanya lembut dan kenyal. Beda rasanya saat dimasak. Mungkin bagian ini adalah bagian terenak. Walaupun banyak lemaknya, tapi tekstur bagian dalamnya ada manis-manisnya. Mungkin rasa manis dari air susunya.

“Gimana? Enak, kan?”

“Mak nyossss,” ujarku.

“Hahahaha, kakak bisa-bisa saja,” ujar Angela tertawa.

Aku lihat Pak Jono tersenyum sambil terkikih-kikih.

“Coba deh. Kasihkan ke Pak Jono. Aku juga ingin review toket aku gimana,” lanjut Angela.

“Nih Pak, coba rasakan toket Angela ini, Pak,” ujarku menyerahkan sepotong daging buah dada Angela.

Pak Jono membuka mulut, lalu mengunyahnya. Sampai-sampai, ia menghentikan aktifitas memotong kulit Angela. Padahal kurang dikit lagi, yaitu area dada di dekat sepasang tulang selangka.

“Aduh gustiii…” ujar Pak Jono yang menirukan logat dan dialek seperti acara di TV.

“Anjay.. Hahahahaha.”

Angela dan aku tertawa.

“Berarti toket kamu enak, tuh lihat ekspresi Pak Jono sampai seperti itu,” ujarku.

“Bener, Pak? Enak?” tanya Angela.

“Iya, enak. Mantapos bin lezatos,” ujarnya.

“Jiah, Pak Jono malah ngiklan produk minuman, hihihi,” ujarku.

“Hahahaha.” Pak Jono tertawa.

“Udah sana, Pak. Lanjutin nguliti tubuh aku. Tinggal dikit lagi beres,” ujar Angela.

“Emangnya kamu mau kemana kok buru-buru?” tanyaku.

“Biar cepet mati, kak. Menuju ke neraka, hihihi.”

“Jangan buru-buru mati dong, kak Siska ingin main-main sama tubuh kamu yang masih hidup dan tanpa kulit, hihihi,”

“Hihhihi, ngarep banget.”

Angela tersenyum.

“Nih habisin toket kamu, sisa dua potong.”

“Ok, sini-sini, Aaaaaaa…”

Angela membuka mulut. Ia kemudian memakan potongan daging buah dada yang aku suapkan. Setelah habis, aku suapkan lagi sampai di tangan kiriku tidak ada potongan buah dada yang tersisa. Hanya meninggalkan cairan berwarna merah.

Aku lihat Pak Jono sudah selesai memotong dan memisahkan jaringan keseluruhan kulit Angela. Tinggal bagian leher saja. Seluruh kulit yang sudah dikuliti menggantung pada leher Angela.

Pak Jono mengarahkan scalpel ke leher, di posisi dua sampai tiga centimeter di atas tulang selangkanya. Scalpel tersebut memotong kulit di lehernya. Memisahkan seluruh kulit di tubuh dengan leher. Lembaran kulit utuh one piece Angela tidak sampai jatuh ke lantai, Pak Jono sudah mengantisipasinya dengan memegang kulit Angela dengan tangan kiri.

Tubuh Angela masih tergantung tanpa kulit. Walaupun banyak mengeluarkan darah, Ia masih sepenuhnya sadar.

"Nih lihat kulit dik Angela" ucap pak Jono membentangkan kulit Angela, menghadapkan kulit tubuhnya kehadapannya dengan bagian kulit luar menghadap dirinya, sedangkan sisi kulit bagian dalam yang masih dilapisi lemak dan beberapa bercak darah menghadap ke sisi sebaliknya.

"Woaaaaah. Gak nyangka kulit cantikku dan kurawat bisa lepas. Bisa dekatkan kesini pak? Aku ingin lihat kulit toketku," ucap Angela dengan wajah sumringah. Tidak sedikit pun ia menyesal dan sedih.

"Waah… Putingku tegang banget" ucapnya.

"Iya nih tegang," ucapku.

"Gimana kulit aku kak?" Tanya Angela.

"Bagus banget. Gak nyangka kulit kamu jadi selembar one piece begini. Lengkap dari leher bawah, lengan, ketiak, punggung, toket, perut, paha, lutut, betis, pantat, memek, anus, vagina, rahim, dan ovarium semuanya rapi," ucapku.

"Nih, dik Siska boleh pegang," ucap pak Jono menyerahkan kulit segar Angela kepadaku. Untuk pertama kalinya aku memegang kulit segar yang utuh atau one piece. Sebelumnya, aku memegang sebagian kulit saja, yaitu kulit payudara kanan Ayun. Yang menguliti ialah pak Agil. Kulit payudara kanan Ayun lembut dan segar.
“Karena sudah lepas, aku cabut jarum di puting kiri kamu ya?” pintaku.

“Iya kak, boleh.”

Aku pun mencabutnya lalu Pak Jono meminta jarum itu. Kulihat Pak Jono menaruh jarum ke troli.

Beberapa saat kemudian, aku mengangkat dan menggulung bagian atas kulitnya hingga sepasang kulit toketnya terlipat dengan posisi menghadap ke arah Barat. Bagian lipatan atas yang horizontal adalah bagian kulit perut Angela.

"Liat nih memek kamu," ucapku menunjukkan kulit selangkang ke wajah Angela.

"Waaaw.. Gak nyangka aku bisa melihat memek aku sedekat ini," ucap Angela.

"Bukan hanya memek aja lho, nih lihat lorong vagina, rahim, dan ovarium kamu juga ikut dikeluarkan" ucapku menunjukkan bagian sisi luar lorong onggokan daging vaginanya. Kuperlihatkan bagian gumpalan daging dan lemak ini yang pada sisi dalamnya terdapat lorong vaginanya. Aku baru tahu dan melihat jelas bagian luar dinding vagina bagian dalam dipenuhi lemak dan otot seperti ini. Rahim dan ovariumnya juga masih menempel di gumpalan daging ini. Potongan pak Jono benar-benar rapi.

Wajah Angela sedikit pucat. Matanya seperti mengantuk. Apakah ini akhir dari hidupnya?

“Angela? Angela?” tanyaku.

“Eh.. I.. iya.. Kak?” ujarnya mulai terbata-bata.

“Jangan mati dulu, aku ingin main-main sama tubuh kamu,” ujarku.

“He.. hee.. He. I.. iya, aku pusing banget kak.”



Bersambung ke halaman 25
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd