BAGIAN 21
Pak Jono berdiri tegak di belakang Angela. Jarak wajah Pak Jono berada sejajar dengan punggung di bawah sepasang tulang belikat Angela. Kulihat tangan kanan Pak Jono masih memegang tiga peralatan scalpel dengan berbagai ukuran. Ia kemudian letakkan pada sarung yang terikat di sabuknya sehingga scalpel-scalpel itu bergantungan secara vertikal di pinggang kirinya.
“Tahap pertama pembersihan objek sudah dilakukan,” ujar Pak Jono.
Kulihat Pak Jono mengambil handscoon berwarna putih dari dalam kantong celana, lalu mengenakannya.
“Selanjutnya, kita bersihkan terlebih dahulu peralatan-peralatan yang akan digunakan,” jelas Pak Jono menghadap ke kamera.
“Dik Siska, tolong bawakan troli itu ke sini,” perintah Pak Jono.
“Siap,” jawabku tegas.
Aku melangkahkan kaki berjalan menuju ke ujung ruangan untuk mengambil troli, lalu aku dorong dan aku dekatkan di sisi sebelah kanan Pak Jono.
“Cukup, Dik.” Pak Jono menahan laju troli agar tidak terlalu dekat dengan tubuh Angela.
Pak Jono mengambil botol alkohol lalu menuangkan di wadah baskom stainless. Scalpel-scalpel yang ada di sabuknya ia bersihkan menggunakan alkohol dan kapas. Satu persatu, peralatan itu dibersihkan. Bukan hanya scalpel, tapi seluruh peralatan di atas troli dibersihkan. Sterilisasi dibutuhkan agar menjaga kebersihan peralatan dari kuman dan bakteri. Sebagai asisten, aku ikut membantu membersihkan. Aku membersihkan gergaji, dan beberapa peralatan lain.
Beberapa menit kemudian, kami sudah membersihkannya. Aku masih berdiri di sebelah kanan Pak Jono dan dipisahkan oleh troli yang berisi peralatan taxidermy.
“Sekarang seluruh peralatan sudah steril, selanjutnya proses ke pengulitan,” jelas Pak Jono.
“Yang rapi ya, Pak? Jangan cepat-cepat, pokoknya hasilnya bagus,” kata Angela.
“Kamu mau mati aja cerewet, ya?” celetukku.
“Ihhh Kak Siska, aku kan cuma ngasih saran aja,” balas Angela.
“Kayaknya tadi kamu bilang deh kalau Pak Jono itu profesional, tapi sepertinya kamu ragu deh, hihihi,” ujarku.
“Eh, iya ya. Ya udah, kalau gitu silahkan kuliti tubuh aku, Pak. Jangan kasih kendor. Aku percaya Pak Jono profesional,” kata Angela.
“Nah, gitu dong,” ujarku.
Pak Jono hanya tersenyum mendengar percakapan kami tanpa menatap wajahku, melainkan menatap ke arah depan, ke punggung Angela.
Tangan kanan Pak Jono yang memegang scalpel bergerak ke atas menuju ke bawah punggung leher Angela, sedangkan tangan kirinya menekan pelan-pelan pada tulang belikat sebelah kiri.
"Gimana rasanya dik?" Tanya pak Jono menempelkankan ujung scalpel ke kulit tengkuk di punggung atas Angela, lalu dengan cepat menarik garis lurus ke bawah mengikuti tulang punggung sampai berhenti di bagian punggung bawah di atas sepasang pantat Angela. Seketika darah segar keluar dari garis sayatan scalpel yang berbentuk vertikal. Tidak ada gerakan dari Angela yang meronta maupun gerakan perlawanan. Angela benar-benar daging hidup seperti boneka yang tidak merasakan sakit. Raut wajahnya tidak meringis sama sekali. Ia tenang dan pasrah dengan tubuh menggantung.
"Rasa apa ya?" tanya Angela.
"Gak terasa sesuatu gitu?" kataku.
"Nggak kok, Kak. Gak terasa apa-apa nih," ucap Angela.
Darah yang keluar dari luka sayatan di punggung Angela merambat turun ke lembah di antara pantat, lalu merambat ke bagian paha dalam bagian atas. Sebagian ada yang merambat melalui paha kiri, sebagian lagi ke paha kanan.
Pak Jono tidak menunggu darah yang merambat ke sepasang kaki Angela menetes jatuh ke lantai, ia melanjutkan menyayat kulit Angela. Dari pantat atas, scalpel di tangan kanan Pak Jono yang ujungnya berlumuran darah membelah cekungan di antara pantat. Tangan kirinya beralih ke pantat. Ia menyibakkan sepasang gundukan daging pantat Angela dengan ibu jari dan jari telunjuk. Terlihat lubang anus di bagian lembah pantat itu.
Tangan kanan Pak Jono masih memegang scalpel dan bersarang di pantat, melanjutkan membelah kulit ke bawah. Pak Jono sampai menekukkan sepasang lutut dan sedikit membungkuk. Ia mengiris secara perlahan. Tidak seperti awal yang cukup cepat.
Di bawah ujung kaki Angela, genangan darah merah kental dan segar membasahi lantai. Darah itu mengalir perlahan ke lubang pembuangan melalui saringan stainless yang ada di dekatnya.
Pak Jono menghentikan laju scalpel di dekat lorong pembuangan feses Angela. Kira-kira jaraknya antara satu sampai dua centimeter. Ia kemudian berdiri tegak. Scalpel di tangan kanannya disentuhkan tengkuk Angela, yaitu di luka sayatan atas.
“Eh, aku mencium aroma darah,” celetuk Angela.
“Coba kamu lihat ke bawah,” ucapku yang ada di belakang di samping kanan Pak Jono.
Aku melihat kepala Angela menunduk. Sepertinya ia melihat lantai yang ada di bawah kakinya.
“Waaaw. Sudah dari tadi ya dikulitinya ya?” tanyanya.
“Udah. Memang kamu gak merasa gimana gitu?” kataku.
“Enggak, nih. Aku gak merasakan apapun..,” ungkapnya kemudian menoleh ke kanan melirik aku yang da di belakangnya.
“Awwwwww…. Sa.. sakit… pu.. Pungggungku sa.. sakit,” pekik Angela tiba-tiba.
“Tolong Dik Angela jangan menoleh. Jarum yang saya tusuk di punggung adik bisa patah dan fatal.
“Ba.. baiklah,” ujarnya sambil memposisikan kepalanya menghadap ke arah depan, yaitu ke arah Utara.
Pak Jono yang sedang menyayat kulit di tengkuk Angela ke kiri menuju pundak kiri atas menjadi terhenti. Ia membetulkan jarum akupuntur yang tertanam di punggung leher Angela.
“Awww,” jeritnya.
“Gimana? Masih terasa sakit?” tanya Pak Jono.
“Sudah nggak,” jawab Angela.
“Bagus. Tolong jangan diulangi ya, Dik? Nanti Dik Angela bisa mati sebelum saya selesai menguliti kulit adik,” jelas Pak Jono.
“I.. iya. Ma.. maafkan saya, Pak,” pungkasnya.
“Kamu sih. Udah nurut aja. Apa gak malu sama penonton yang liatin kita?” celetukku.
“Hihihi, iya deh. Kan aku duah minta maaf. Yuk, Pak. Silakan dilanjutin,” ujarnya.
Sempat-sempatnya dia cekikikan seperti itu. Tapi biarlah, toh dia masih hidup. Hihihi.
“Ngomong-ngomong, kulit di pungungku sudah dikuliti ya?” tanyanya penasaran.
“Belom. Kulitmu masih diiris membentuk garis,” jelasku.
“Oh, gitu,” lirih Angela.
“Garis yang saya lakukan ini bukan garis biasa. Ini pola garis sebagai permulaan untuk menguliti,” jelas Pak Jono sambil tangan kanannya mengerakkan scalpel menggores dari bahu kiri ke pergelangan kiri Angela.
Jadi begitu ya. Aku paham. Kalau dugaanku benar, sayatan itu nanti jadi tepian lembaran kulit utuh Angela.
Setelah menyayat ke arah kiri, sekarang Pak Jono kembali meletakkan bilah tajam scalpel ke tengkuk. Dari situ, scalpel menggoreskan garis sayatan ke arah tangan kanan Angela. Scalpel itu bergerak menuju pundak, lalu naik ke lengan atas, ke sisi siku, lalu berhenti di pergelangan tangan kanan Angela. Sama seperti yang ia lakukan pada tangan kiri Angela, saat menyayat dari siku, Pak Jono sedikit menjinjit. Karena posisi sepasang tangan Angela yang membentang membentuk huruf Y.
Pak Jono kemudian menuju ke troli. Ia meletakkan scalpel lalu mengambil scalpel lain yang mata pisaunya berukuran lebih kecil.
“Tadi saya menggunakan scalpel nomor sebelas. Kalau sekarang saya mengambil scalpel nomor lima belas,” jelas Pak Jono.
"Memang khusus gitu ya, Pak?" Tanyaku.
"Ya. Tapi tidak mutlak. Teman-teman yang lain ada yang pakai scalpel yang berbeda. Cuma kalau saya lebih nyaman pakai scalpel ini untuk menguliti manusia," terangnya.
"Hihihi, tanya-tanya mulu. Makanya, kakak mau juga dong dikuliti," celetuk Angela.
"Mungkin iya mungkin tidak, week," ujarku.
"Penonton, aku kasih tahu ya. Kak Siska, atau bernama Fransiska Creiya Putri malam ini tubuhnya akan dilelang," seloroh Angela menjelaskan ke arah kamera yang ada sebelah Utara.
"Ngiklan nih? Ya gapapa sih. Kenalin, aku Siska. Benar yang diucapkan Angela. Malam ini Siska akan dilelang. Tubuh Siska akan dijual terpisah. Nanti kalian datang ya?" Ujarku seramah mungkin.
"Ayo datang ya. Terutama yang beli kulit aku. Datang juga ya ke pelelangan Kak Siska," ujar Angela.
Iya sih. Kulit Angela memang diperuntukkan untuk bahan pakaian dan sebagian untuk furniture. Beda dengan aku yang untuk dikonsumsi dan berakhir di perut konsumen dan menjadi feses. Gak bisa bayangin gimana memek aku yang sudah matang dikunyah oleh manusia. Labia mayora, labia minora, klistoris, serta dinding lapisan lorong vaginaku dicabik-cabik oleh gigi seri, gigi taring, dan gigi geraham. Setelah hancur, mereka telan menuju lambung. Memekku yang sudah hancur dilumuri oleh enzim pepsin. Kandungan proterin klistorisku dipecah menjadi partikel lebih kecil, juga asam klorida pada lambung juga memecah protein memekku. Setelah hancur, memekku yang sudah terlumat oleh enzim disalurkan ke usus duabelas jari dan terguyur oleh lendir dari cairan empedu dan cairan pankreas. Entah, bakal jadi seperti apa memekku yang berlumuran cairan-cairan itu mungkin sudah tak berbentuk. Mungkin ada yang masih berbentuk, seperti labiaku ini. Hihihi.
Dari usus duabelas jari, memekku disalurkan ke usus halus. Jaringan di dalam usus halus mengambil protein memekku dan zat-zat yang dibutuhkan tubuh. Belum lagi dalam perjalan di usus halus, enzim tripsin dan kimotripsin ikut berlabuh di saluran usus halus yang lumayan panjang dan menyisakan ampas yang tidak dibutuhkan tubuh. Duh, membayangkan cacahan memekku jadi ampas dibawa ke usus besar, lalu dilumuri enzim pewarna berwarna kuning, memekku jadi basah. Apalagi, di dalam usus besar, ampas memekku terurai oleh cacing-cacing mikroorganisme sebelum keluar dari anus menuju ke toilet. Dari toilet, feses dari memekku bersemayam di dalam septic tank.
Memekku terasa berdesir kegelian membayangkan perjalanan dari dikunyah sampai berakhir di septic tank. >,<
"Sekarang, saya akan memisahkan hipodermis dengan lemak dan jaringan otot. Saya hanya mengambil bagian kulit saja, yaitu lapisan epidermis, dermis, dan hipodermis," terang Pak Jono membuyarkan lamunanku.
Aku lihat tubuh Angela sedikit berbeda. Untuk bagian punggung atas sampai ke tangan tetap sama. Terdapat sayatan membentuk huruf T di tengkuk. Garis vertikal dari tengkuk ke pantat, sedangkan garis horizontal melintang dari pergelangan tangan kiri ke tangan kanan, atau dari arah Barat ke arah Timur. Mungkin bukan membentuk huruf T, tapi Y. Itu karena sepasang tangan Angela tidak membentang horizontal, tapi sedikit ke atas.
Pak Jono yang tadinya ada di samping kanan belakang di bawah pergelangan tangan kanan Angela, sekarang telah berdiri di belakang menghadap punggung Angela. Tangan kiri Pak Jono memegang tengkuk dekat luka sayat di tengkuk Angela, sedangkan tangan kanannya ia arahkan ke luka sayat. Ibu jari tangan kiri yang di tempelkan di tengkuk sedikit menekan lalu menggeser ke arah kiri atau ke arah Barat. Luka sayat yang berupa garis vertikal menganga lebih lebar. Kira-kira diameter luka yang menganga sekitar empat milimeter.
Ujung scalpel yang dipegang tangan kanan Pak Jono menempel tepat di luka sayatan dengan mata scalpel menghadap ke arah kiri. Perlahan, scalpel itu bergerak dari atas ke arah bawah. Dengan sigap, tangan kiri Pak Jono mengambil lembaran kulit dengan menjepit menggunakan ibu jari dan jari telunjuk. Tangan kirinya menarik lembut ke arah kiri, membuat lapisan kulit di baliknya terlihat. Warnanya ada yang kuning, putih, serta merah. Aku yakin lapisan yang berwarna kuning itu adalah lemak, sedangkan warna merah itu darah dan daging.
Dengan teratur, Pak Jono kembali mengiris dan membelah jaringan kulit Angela. Gerakannya sama dengan yang tadi, yaitu dari atas ke arah bawah. Ujung terjauh scalpel membelah hanya sampai ke punggung. Gores demi gores Pak Jono lakukan tanpa simpati dan empati. Angela benar-benar dianggap bukan manusia, tapi bahan baku. Goresan cukup banyak, diselingi cucuran darah yang merambat turun ke ujung kaki, lalu menetes di lantai. Tidak ada darah yang muncrat dan memancar deras. Mungkin karena kondisi Angela yang tenang dan tidak stress, sehingga aliran darah dalam tubuhnya stabil.
Scalpel terus menyayat memisahkan lapisan kulit dengan lemak. Bagian kulit di tulang belikat sebelah kiri Angela sebagian besar sudah lepas. Kemudian tangan kiri Pak Jono memegang kulit di punggung Angela sebelah kiri. Scalpel juga ikut beralih dari tulang belikat ke punggung.
Tatapan mata Pak Jono tajam menatap ke bagian yang ia potong. Setiap gesekan scalpel memisahkan kulit, di sela-sela warna merah daging dan kuning warna lemak di balik kulit itu mengeluarkan darah segar.
"Sudah sampai mana nih?" tanya Angela.
"Baru di punggung kamu sebelah kiri," jawabku.
“Wow, lumayan cepat ya,” kata Angela.
“Iya dong. Pak Jono kan profesional, beda dengan penjagal pinggiran di pasar,” ujarku.
Aku menoleh dan menatap raut wajah Pak Jono tersenyum.
“Kok senyum, Pak?” tanyaku penasaran.
“Ucapan adik mengingatkanku tentang masa lalu,” ucapnya.
“Masa lalu apa, Pak?” tanyaku lebih dalam.
“Masa lalu sebelum ketemu Tuan Borgan. Dulu saya seorang peternak dan penjagal hewan,” jelasnya.
“Oh gitu. Maaf, Pak. Siska tidak bermaksud menghina Bapak,” ujarku.
“Makanya, Kak. Punya mulut dijaga. Sebelum ngomong dipikirkan dulu, hihihi,” timpal Angela.
“Issh.. kamu ini,” gerutuku sambil menepuk pantat kanannya.
Eh, percuma juga menepuk pantatnya. Toh Angela tidak merasakan apapun.
“Gak apa-apa, Dik. Masa lalu biarlah berlalu,” jawab Pak Jono.
Sekilas aku melihat matanya berkaca-kaca. Apa gerangan yang terjadi dengan masa lalunya? Kenapa dia bersedih? Aku penasaran. Kalau sebelumnya dia seorang penjagal, lalu kenapa dia bisa sampai jadi anak buah Pak Borgan?
Sambil melihat Pak Jono mengiris dan mengelupasi kulit punggung sebelah kiri Angela, aku terdiam. Aku ingin tahu masa lalunya, tapi kemudian aku putuskan untuk diam. Mungkin kalau aku bertanya lebih jauh dapat membuat emosi Pak Jono jadi tidak stabil. Ya, ini lebih baik.
Sebagian punggung kiri Angela sudah terkelupas. Scalpel di tangan Pak Jono bergerak di dekat tulang pinggul kiri. Lembah diantara bongkahan pantat Angela jadi muara aliran darah segar yang menetes jatuh ke lantai. Awalnya yang terlihat lambat, kini pergerakan scalpel yang mengiris dan memisahkan kulit Angela semakin cepat.
“Adik boleh pegang kok. Ini pegang saja,” ujar Pak Jono.
Ia sepertinya paham apa yang ada di benakku. Walaupun bukan pertama kalinya memegang kulit, aku penasaran sih gimana kulit segar adik tingkat di kampus yang baru terkelupas dari tubuh.
Aku berjalan melewati troli, melewati belakang Pak Jono, lalu tiba dan berdiri di samping pinggang kiri belakang tubuh Angela.
“Ini, Dik,” ujar Pak Jono.
“Siap,” jawabku.
Tangan kiriku kemudian memegang kulit punggung Angela. Wah, rasanya memang lembut. Mengingatkanku kejadian pagi tadi saat tawanan perempuan istri polisi yang payudaranya dikuliti oleh Pak Agil. Aku berbeda dengan Ayun, kulit Angela ini jauh lebih lembut. Mungkin karena umurnya lebih muda dari Ayun. Kuingat-ingat lagi, payudara Ayun sangat enak, lembut, dan meleleh di lidahku. Sayangnya, salah satu payudaranya hangus. Hihihi, padahal enak loh.
“Dik, tolong tarik pelan-pelan ke arah sana ya?” pinta Pak Jono.
“Siap,” tegasku.
Aku menarik kulit punggung Angela. Dengan cekatan, Pak Jono menyayat bagian punggung atas sebelah kiri di dekat tulang belikat ke arah bawah, yaitu ke pinggang. Pinggang di dekat punggung Angela masuk menempel dengan daging dan otot. Aku paham maksud Pak Jono. Ia ingin mengelupas kulit di pinggang Angela.
Sayatannya Pak Jono cepat dan terukur. Tanpa terasa, kulit diantara genggaman tangan kiri dengan tubuh Angela mengendur. Itu menandakan bahwa sebagian kulit Angela sudah tidak menempel di tubuhnya. Tangan kananku membantu meraih kulit dan memegangnya. Tangan kiri beralih memegang ke kulit atas, lalu tangan kanan memegang bagian bawah. Poseku memegang seperti paskibraka yang sedang memegang bendera yang akan dikibarkan. Perbedaannya, aku bukan memegang bendera, tapi kulit. Poseku memang seperti mengibarkan bendera, tapi posisi tangan saja yang terbalik. Harusnya tangan kanan berada di atas dan tangan kiri ada di bawah, kalau aku terbalik. Tangan kiri berada di atas sedangkan tangan kanan berada di bawah. Selain itu, aku tidak membentangkan lebar kulit Angela. Karena bagian kulit dari tulang belikat sampai punggul tidak sampai satu meter, hihihi. Unik juga sih mengibarkan kulit manusia. Kira-kira ada nggak ya, orang yang memesan bendera dari kulit manusia. Hihihi, aneh-aneh aja aku ini.
Makin lama, tanpa kusadari, Pak Jono sudah berhasil menguliti punggung kiri atas Angela. Kulit di pundak dekat tulang belikat sebelah kiri sudah lepas. Walaupun tulang belikat tampak timbul, tapi masih terbalut oleh jaringan lemak, teres minor, dan teres mayor. Sebagian besar jaringan otot latissimus dorsi sebelah kiri terlihat jelas. Dari sela-sela otot tersebut masih mengeluarkan darah segar.
Aku masih memegang kulit Angela. Pak Jono sekarang bergerak ke depanku. Tubuhku dan Pak Jono dibatasi oleh lembaran kulit punggung kiri Angela. Ia sedikit menunduk dan mengarahkan scalpel menyayat bagian punggung bawah sebelah kiri. Lembaran kulit yang kupegang tangan kananku sedang memegang kulit Angela yang menempel di tulang punggung bawah di atas pantat. Awalnya jarak tangan kananku yang memegang kulit ini sekitar belasan centimeter dari tubuh Angela, kini sudah agak menjauh. Mungkin sekitar dua puluh sampai tiga puluh centimeter. Hal itu karena bagian kulit yang masih menempel di jaringan otot Angela, sudah terpisah oleh scalpel Pak Jono.
Sekarang, scalpel Pak Jono bergerak ke lembah di antara pantat sebelah atas Angela. Mata scalpel menyentuh luka sayatan vertikal. Dengan lihai, tangan kanan Pak Jono menggerakkan scalpek ke kulit itu. Ia memisahkan gundukan pantat kiri Angela. Di mulai dari lembah kecil, scalpel bergerak menyelinap dibalik jaringan kulit dan otot.
Dari sepuluh persen kulit di pantat kiri Angela, dalam belasan detik hampir separuh kulit yang sudah dikelupas. Ternyata di pantat Angela banyak jaringan lemak. Warna kuning dan di antara lemak itu mengeluarkan darah. Aku lihat di balik tangan kanan yang memegang kulit Angela juga masih ada lemak yang menempel.
"Lemak yang nempel di kulit ini tidak dikelupas juga, Pak?" Tanyaku sambil menatap ke balik kulit.
"Oh iya, memang sebaiknya dipisahkan dari kulit. Seperti ini contohnya," ujar Pak Jono menelapak bagian depan kulit Angela dengan tangan kiri untuk menahan, lalu tangan kanannya menyayat lemak tersebut.
"Cepat ya?” lirihku.
“Beda lah, Kak. Pak Jono itu kan profesional, bukan amatiran seperti Kak Siska, hihihi,” ujar Angela.
“Hush, dasar kamu ini,” ujarku.
“Dik Siska mau nyoba? Buat buktikan ke Adik Angela. Ini coba saja,” ujar Pak Jono menyerahkan scalpel kepadaku.
“Udah gapapa, Pak. Bapak saja yang ngerjakan. Nanti kalau salah potong lalu kulitnya sobek dan berlubang gimana?” ucapku.
“Ya itu memang resiko, tapi kalau hati-hati bisa kok Dik,” ujar Pak Jono.
“Nggak deh, Pak. Biar Siska melihat dan bantu apa yang Siska bisa,” kataku.
Pak Jono tersenyum mendengar ucapanku. Ia kemudian meletakkan potongan lemak kecil yang baru saja dipotong ke atas troli, lalu melanjutkan mengiris kulit dalam Angela. Ia memisahkan bagian kulit yang terdiri dari epidermis, dermis, dan hipodermis dengan jaringan lemak yang ada di pantat kiri Angela. Tangannya yang terampil bergerak mengiris lapisan lemak terluar yang berhimpitan dengan kulit. Dalam belasan detik, seluruh kulit pantat kiri Angela sudah lepas. Kulit di pinggulnya sebagian masih menempel.
Aku melihat lubang pantat Angela masih berada di posisinya. Begitu juga dengan memeknya. Garis sayatan scalpel membelah lipatan di selangkangan sebelah kiri yang bersebelahan dengan labia mayora.
Menakjubkan! Bongkahan pantat Angela penuh lemak yang merupakan cadangan makanan bagi tubuh. Menurut ilmu pengetahuan, manusia sanggup tidak makan selama tiga minggu asal dia rutin minum air. Dalam tiga minggu, tubuh akan mengambil lemak sebagai sumber energi. Aku baru kali ini melihat lemak yang masih hidup. Pada Ayun, lemak di pantatnya langsung di masak sih sama Pak Agil dan kawan-kawannya. Hihihi.
Pak Jono berdiri. Ia menyayat kulit di lengan kiri Angela. Dimulai dari ketiak atas, lalu ke lengan. Kulit dibagian ini banyak pori-porinya. Bulu ketiak Angela yang sudah ia cabut menyisakan cekungan kecil. Lubang itu tempat tumbuhnya rambut dan juga cairan keringat. Ada juga lemak yang mengendap di ketiak Angela. Aku tahu setelah sebagian besar kulit ketiaknya sudah lepas. Hihihi.
Scalpel menyayat-nyayat lengan bawah di dekat siku. Pak Jono sedikit menjinjit, karena dari lengan atas Angela sampai ujung tangannya sedikit menanjak tinggi.
Cekatan, Teliti, dan Fokus. Pak Jono melakukan sayatan tanpa belas kasih. Kulit pada Siku Angela sudah lepas dan menggantung. Pak Jono berpindah di samping kiriku untuk memisahkan kulit di pergelangan kiri Angela. Dengan gerakan melingkar seperti gelang, kulit tangan kiri Angela sudah lepas seluruhnya. Pak Jono memotong kulit di pergelangan sedikit di bawah sabuk atau strap yang mengikat pergelangan tangan kiri.
Telapak tangan kiri Angela sedikit memerah. Hal itu karena aliran darah tertekan di pergelangan tangan kirinya. Mungkin sedikit ada aliran darah yang mengalir. Kalau benar-benar tidak ada aliran darah, telapak tangan dan jemari tangannya berwarna kebiru-biruan.
"Sekarang Dik Siska boleh lepas pegangannya," ujar Pak Jono.
"Beneran, Pak?" tanyaku.
"Iya. Ini, sekarang bantu pegang yang ini," kata Pak Jono menunjuk kulit punggung sebelah kiri.
"Baiklah," jawabku kemudian melepaskan genggaman tangan ke kulit punggung kiri Angela.
Saat aku lepas, kulit di punggung kiri serta kulit tangannya menggantung bebas seperti lembaran kain basah, menekuk dan menampilkan bagian dalam berada di luar. Sedikit sekali lemak yang menempel di kulit Angela. Memang Pak Jono profesional. Lembaran kulit Angela rapi dan tidak ada cacat akibat salah memotong. Ia tepat memotong dan memisahkan jaringan hipodermis dengan lemak dan otot.
Aku beranjak ke sisi Timur, atau sisi kanan. Aku memundurkan sedikit troli berisi peralatan ke belakang, atau ke arah Selatan karena menghalangi. Pak Jono kemudian menghampiri dan mulai menempelkan scalpel mengham ke arah kanan, atau ke arah Timur.
Scalpel mulai mengiris bagian kulit tengkuk sebelah kanan ke arah punggung. Tidak ada suara yang ditimbulkan akibat gesekan scalpel dengan kulit bagian dalam Angela. Benar-benar sunyi.
"Sudah sampai mana nih?" tanya Angela penasaran.
"Baru bagian kulit punggung kanan kamu," jawabku.
"Lumayan juga ya?" kata Angela.
"Iya," ujarku singkat.
"Dik, tolong pegang ini," pinta Pak Jono yang memegang lembaran kulit di punggung atas sebelah kanan Angela.
Aku pun memegang kulit itu. Lalu, Pak Jono melanjutkan menyayat kulit Angela. Scalpel bergerak dari tengkuk ke punggung. Ia lakukan berkali-kali hingga hampir separuh kulit punggung kanan Angela lepas dari tubuhnya. Jaringan otot yang membungkus tulang belikat di dekat tulang punggung atasnya terlihat jelas. Darah segar keluar dari sela-sela jaringan otot yang baru lepas dari kulit sebagai penutupnya. Genangan darah di bawah tubuh Angela juga lumayan banyak. Ini soal waktu Angela akan mati kehabisan darah.
Kulit punggung sebelah kanan Angela semakin lama semakin menampakkan bidang tanpa kulit. Otot merah, putih, dan jaringan lemak berwarna kuning menghiasi punggung Angela dari tengkuk sampai punggung bawah. Aku memegang lembaran kulit punggung kanan Angela dengan kedua tanganku bak pengibar bendera.
Kini, Pak Jono sedang mengiris untuk memisahkan kulit pada bongkahan pantat kanan Angela. Tubuh Pak Jono sedikit menunduk. Fokus tertuju kepada objek yang akan dipotong.
Scalpel mulai memotong jaringan kulit di dekat tulang lumbar vertebra ke lima menuju ke tulang ekor. Tangannya cekatan membelah jaringan di antara hipodermis dan otot. Mengiris tepat sasaran tanpa merusak kulit.
Detik demi detik bergerak sangat cepat. Kulit pantat kanan Angela mulai lepas dan menampakkan bongkahan lemak bergerinjal dengan tekstur cerah. Di sela-selanya ada yang mengeluarkan darah.
Pak Jono kemudian lanjut mengiris sayatan pada lipatan di selangkangan sebelah kanan, lalu menarik garis sayatan lurus ke paha dalam hingga ke dekat lutut. Ia lakukan juga pada sisi satunya, yaitu paha kiri sebelah kiri. Darah keluar dari sayatan itu, merambat turun dan menetes jatuh menyusul rekan sejawatnya.
Selanjutnya, Pak Jono lanjut memotong sisa-sisa kulit di punggung yang masih menempel. Di mulai dari tulang belikat kanan sampai ke dekat ketiak, lalu ke bawah memotong kulit di punggung dekat pinggang kanan. Scalpel menyayat ke arah bawah menuju pinggul kanan. Terakhir, kulit di bongkahan pantat kanan dikuliti hingga seluruhnya lepas dan menyisakan lipatan bagian bawah di atas paha. Jadi, paha atas yang berdekatan dengan lipatan pantat masih menempel. Hal yang sama juga dilakukan pada pantat kiri Angela.
Selesainya, Pak Jono berdiri di belakangku untuk menguliti lengan kanan. Dengan cekatan, scalpel memisahkan kulit lengan dengan otot yang ada di baliknya. Secara teratur, dari lengan sampai siku, scalpel membelah lapisan dibawah kulit. Pak Jono menjinjit. Ia lanjut menguliti dari siku sampai pergelangan tangan kanan. Di dekat strap atau sabuk, scalpel mengitari dan seluruh kulit tangan kanan Angela lepas dan menggantung bebas.
"Dik Siska, tolong pegang betis kanan Dik Angela ya? lepas saja kulit itu," pinta Pak Jono.
Aku pun melepaskan lembaran kulit punggung sisi kanan Angela.
"Eh, ini kulit tanganku ya?" tanya Angela mengetahui kulit tangan kanannya menjuntai di sisi depan samping kanan perutnya.
"Iya, tuh kalau kamu lihat kulit tangan kiri kamu ada di belakang," ujarku.
"Mana, mana?" tanyanya penasaran.
"Bentar ya, Pak," ujarku ke Pak Jono.
"Iya, Dik," jawabnya tersenyum.
Aku berjalan mendekat ke pinggang kiri Angela, lalu memegang lembaran kulit tangan kiri. Aku arahkan lembaran kulitnya yang tadinya ada di belakang ke depan wajahnya.
"Ini," jawabku singkat.
"Wah, benar-benar sudah lepas. Bakal bagus nih kalau jadi pakaian," katanya.
"Iya dong bagus, siapa dulu yang menguliti, hihihi," ucapku.
"Kak, coba perlihatkan dong sikuku. Di situ ada tahi lalatnya di dekat siku kiriku," pintanya.
Aku membalik lembaran kulit di sikunya yang sebagian berlumuran darah, lalu menunjukkannya.
"Wooaah, ada. Sekarang sudah selesai ya menguliti punggung aku?" tanyanya.
"Iya udah. Pantat kamu juga sudah tak berkulit tuh. Lemaknya banyak menumpuk disitu, Hihihi," ujarku tertawa kecil.
"Kalau punyaku aja banyak, pasti punya Kak Siska bakal lebih banyak. Pantat kakak aja lebih berisi dari punyaku," ujar Angela.
"Benar juga ya, hihihi," ujarku.
"Eh, Kak. Coba lihat dibalik kulitku dong," pintanya.
"Kulit tangan?" tanyaku
"He em," ujarnya.
Aku kemudian membalik lembaran kulit tangan kirinya untuk dia lihat.
"Gimana? Bagus nggak?"
"Iya bagus. Less fat, pure skin," ujarnya.
"Hihihi, kayak iklan aja," celetukku.
"Iya, Kak. Hihihi," tawanya.
"Ya udah, aku lanjut bantu Pak Jono," ujarku kemudian melepaskan lembaran kulit tangan kirinya.
"Kalau boleh tahu, Pak Jono mau nguliti apa?"
"Anus dan kemaluan Dik Angela, kemudian dilanjut ke paha sampai pergelangan kaki," ujarnya.
"Wah, bentar lagi memek aku bakal dikelupas nih," ujarnya.
"Seneng banget kamu ya? Gak sayang nih memek perawan kamu lepas? Diperawanin dulu gimana?" tanyaku.
"Jangan dong, Kak. Sayang sih, tapi biar harganya mahal, makanya biarin perawan," ujarnya.
"Hihihi, iya sih. Ya udah, selamat berpisah sama memek kamu ya? Bentar lagi memek kamu berpisah dengan selangkangan kamu," ujarku.
"Iya kak. Nanti kasih lihat ya kalau sudah lepas."
"Okay," jawabku.
Aku kemudian melepaskan kulit tangan kiri Angela kemudian beranjak ke sisi kanan tubuh Angela. Aku melewati belakang Pak Jono.
"Ini, tolong betis dik Angela diangkat biar saya mudah mengulitinya," pinta Pak Jonk
"Siap," jawabku kemudian dengan sepasang tanganku meraih betis Angela yang sebagian berdarah akibat dirambati kucuran darah dari punggung, lalu mengangkatnya.
Aku mengangkat kaki kanan Angela ke arah samping kanan, atau ke arah Timur. Jika dilihat dari arah Utara atau Selatan, dari paha kiri ke paha kanan membentuk sudut siku-siku.
"Sudah cukup, Pak? Atau masih kurang?" tanyaku.
"Cukup, Dik," jawabnya.
"Biar enak dan aku bisa lihat, aku tinggikan lagi ya, Pak? Seperti ini," ujarku dengan mengangkat lebih tinggi. Kira-kira sudut dari paha kiri dan paha kanan berkisar 130 derajat. Bukan split sih. Kalau split kan dari kaki kiri ke kaki kanan itu 180 derajat.
"Iya, seperti ini juga tidak apa-apa. Tapi, Dik Siska geser dikit ke depan atau ke belakang. Kamera di belakang Dik Siska tidak bisa melihat kemaluan Dik Angela," jawab Pak Jono.
"Oh iya," ujarku.
Aku sampai lupa kalau di belakangku, di arah Timur ada beberapa kamera beresolusi tinggi yang mengarah ke tubuh Angela. Netizen kan ingin lihat juga, hihihi. Mungkin mereka pada ngaceng ya.
Aku kemudian berganti posisi yang awalnya ada di sebelah Selatan dari kaki kanan Angela, sekarang berdiri di sebelah Utara. Jadi, aku saling berlawanan arah dengan arah hadap Angela. Aku menghadap ke arah Pak Jono, sedangkan Angela menghadap ke arah di belakangku. Kaki kanan Angela melintang dari pinggang kanan ke atas kepalaku. Aku memegang dengan kedua tangan. Wajah Angela yang sedikit menunduk menatap ke arah ketiak kananku.
“Ketiak kakak basah tuh,” ujar Angela.
“Basah karena keringat. Capek tau habis nahan megang kulit punggung kamu,” ujarku membela diri.
“Hihihi, iya. Semangat ya, Kak,” kata Angela menyemangatiku.
“Iya, dong. Hihihi,” jawabku.
Aku mengamati Pak Jono yang sedang menunduk, mengamati selangkangan Angela yang terpampang bebas. Sebentar lagi memeknya bakal lepas terkuliti dan terkelupas.
Sejenak, aku berpikir apa yang Angela rasakan saat ini. Aku tidak tahu efek dari beberapa jarum akupuntur yang menancap di punggung lehernya, karena aku belum merasakannya. Dengan posisi Angela yang seperti ini, rambutnya diikat ponytail yang dikaitkan dengan tali di langit-langit membuat kepalanya sedikit menunduk, sepasang tangannya ada terbentang di atas kepala membentuk huruf V, kaki kiri menjuntai ke bawah dan tidak menyentuh lantai, lalu yang terakhir adalah kaki kanannya yang aku pegang dan aku tahan seperti melakukan standing split atau Trivikramasana. Misalkan kalau jarum akupuntur itu dicabut semua, apa yang akan terjadi ya? Yang pasti Angela akan merasakan sakit dan perih. Sepasang tangannya, dari pundak ke pergelangan tangan sudah tak berkulit. Otot berwarna merah, putih, dan jaringan lemaknya tampak jelas. Masih dominan warna merah dan putih sih, soalnya tangan Angela sedikit lemak. Hihihi.
Setelah mengamati, Pak Jono berdiri dan mengambil scalpel nomor sebelas. Scalpel yang sebelumnya ia letakkan.
Pak Jono kemudian menunduk lalu mengarahkan tangan kanan yang memegang scalpel ke selangkangan Angela. Tangan kirinya meraih kulit yang berbentuk segitiga di atas lubang anus Angela. Ya, berbentuk segitiga. Karena pantat kiri dan kanannya sudah tak berkulit, menyisakan kulit di lembah kecil sedikit di atas anus dan dibawah tulang ekor.
Aku yang melihatnya sampai memiringkan tubuhku sedikit ke kanan agar dapat melihat bagian yang akan dikuliti oleh Pak Jono.
Dengan cekatan, Pak Jono mengiris dan memisahkan kulit di atas anus Angela, lalu bergerak ke bawah. Ia tekan scalpel itu sampai masuk dan menggerakkan seperti memotong. Ia lakukan hal yang sama dengan sisi satunya. Yang tadinya mengiris sisi kanan lubang anus, sekarang mengiris sisi kiri dari anus. Tangan kiri Pak Jono meraih lembaran kecil kulit di atas anus, lalu ditarik secara perlahan.
Wah!! Anus Angela sudah lepas dari tubuhnya!! Lubang anus Angela masih terhubung dengan rektum dan usus besar. Saat ditarik keluar, rektum dan usus besarnya ikut keluar. Tangan kiri Pak Jono tidak menarik lebih jauh, ia kemudian memotong solong dibalik anus. Perlahan, dengan scalpel tajam nomor sebelasnya, ia memotong rektum Angela. Seketika beberapa fesesnya berjatuhan. Dengan cepat, Pak Jono melepas kulit lalu meraih usus besarnya yang keluar lalu menjepit usus tersebut. Sambil memegang scalpel, tangan kanannya meraih sebuah jarum yang cukup besar. Mungkin besarnya seperti jarum kasur. Jarum tersebut ia arahkan ke usus besar bekas potongan scalpel, lalu tangan kirinya menarik sedikit keluar dan menusukkan jarum itu ke usus. Setelah ia tusukkan untuk kedua kali dengan jarum yang sudah menancap tersebut. Ususnya seperti dipincuk.
Tangan kirinya ia lepaskan, lalu ia meraih kulit yang menyatu dengan lubang anus Angela. Scalpe tersebut ia goreskan ke labia maroya Angela, kemudian beralih ke labia maroya sisi satunya. Sekarang sepasang labia mayora sudah lepas dan bergelantungan. Tak lama setelahnya, tangan kiri Pak Jono memegang sepasang labia mayora itu, lalu menusukkan scalpel tajam ke otot bekas labia mayora menempel, yaitu pada bulbospongiosus sebelah kanan. Agak dalam, bahkan lebih dalam dari yang ia lakukan ke anus. Ia lakukan hal yang sama dengan sisi satunya. Jaringan otot bulbospongiosus sebelah kiri ditusuk. Sambil menarik perlahan sepasang kulit labia mayora Angela, Pak Jono menusukkan scalpel. Gagang scalpel dan tangan kanannya sampai bisa masuk ke dalam rongga di dalam selangkangan Angela. Tangan kirinya ikut masuk dan bergerak-gerak seperti ingin mengambil sesuatu di dalam rongga selangkangan itu. Begitu pula dengan tangan kanannya yang juga bergerak-gerak.
Darah mengucur dari dalam rongga itu. Membasahi tangan dan pakaian Pak Jono. Namun, beberapa detik kemudian, kucuran darah keluar cukup deras bersamaan dengan tangan kiri yang keluar secara perlahan. Aku tidak menyangka. Tangan kiri Pak Jono memegang rahim Angela!!! Ya, seonggoh bongkahan uterus yang di sisi kiri dan kanannya dilengkapi tuba falopi yang terhubung dengan ovarium!
Pak Jono melepaskan genggaman tangan kirinya lalu memegang anus Angela. Bukan cuma organ kemaluan luar Angela yang lepas dari tubuhnya, melainkan juga organ reproduksi.
Lembaran memek beserta aksesorisnya, seperti labia minora, klistoris, uretra, vestibule, dan lain-lain telah lepas. Lorong vaginanya yang seperti seonggok daging panjang dan dibawahnya menggantung rahim menjuntai ke bawah. Tuba falopi juga terhubung pada ovarium juga ikut berjuntai.
Aku lihat pak Jono berdiri lalu meletakkan scalpel dan mengganti scalpel yang lain. Sepertinya ia menggunakan scalpel yang pertama tadi yang digunakan untuk menyayat dan menguliti punggung, tangan, serta pantat Angela. Ia kemudian menunduk dan sedang menguliti sisi paha kiri atas Angela yang sebagian penuh darah.
Di lantai, ceceran darah yang bercampur dengan feses berada di dekat saluran pembuangan. Sangat hebat. Pak Jono mampu mengeluarkan vagina dan rahim tanpa merusak kantung kemih. Padahal, lorong vagina sangat dekat dengan kantung kemih.
Oh, iya. Angela kan ingin lihat memeknya sendiri saat sudah lepas dari tubuhnya.
Tangan kanan aku lepas dari betis kanan Angela, dan menyisakan tangan kiri yang menahan dan memegang. Beberapa detik sebelum tangan kanan meraih memek Angela, Pak Jono bersuara.
“Dik Siska lepaskan saja kaki kanan Dik Angela,” ujarnya.
“Oh gitu, sudah gak apa-apa saya lepas, Pak?” tanyaku.
“Tidak apa-apa. Tujuannya tadi untuk mempermudah saya mengeluarkan rahim dan vaginanya,” terangnya.
“Eh, sudah selesai ya memekku lepas?” tanya Angela.
“Sudah,” singkatku.
“Coba sini lihat dong, Kak,” mohonnya.
“Iya-iya,” jawabku.
Mendengar penjelasan Pak Jono, aku kemudian melepaskan secara perlahan. Kulihat pak Jono memegang usus besar Angela yang menjuntai. Sepertinya ia mengarahkan agar jarum tersebut tidak mengenai paha Angela.
Benar sih, saat aku lepas, posisi jarum yang tadinya melintang dari arah Timur ke Barat menjadi ke arah Selatan ke Utara. Ujung jarumnya menghadap ke arahku.
Tangan kananku meraih memek Angela. Aku kemudian memegang seonggok memek yang baru saja lepas dari sangkarnya, menghadapkannya ke arah langit-langit dan ke wajah Angela yang menunduk.
“Nih, lihat!!,” ujarku.
“Waaaw, nggak nyangka memekku lepas juga. Bye-bye memek. Makasih ya udah menemani perjalanan hidup aku, Hihihi,” ujar Angela tersenyum.
“Memek kamu bagus deh Angela.”
“Iya dong. Nih penonton memek aku. Lihat baik-baik,” ujar Angela.
Aku mengarahkan memek Angela ke arah Utara, yaitu ke beberapa kamera di depan sana. Aku biarkan cukup lama agar mereka bisa mengamati atau mengambil gambar screenshot. Tangan kiriku juga ikut membantu memegang.
“Lihat nih memek imut Angela. Masih perawan loh,” ujarku sedikit merenggangkan labia mayoranya hingga menampakkan selaput daranya.
“Ini namanya klistoris, dibawahnya namanya labia minora. Imut dan masih ramping. Tidak menggelambir,” ujarku melanjutkan sambil menunjuk klistoris dan sepasang labia minoranya.
“Terus, dibawahnya itu apa, Pak?” tanya Angela.
“Oh ini namanya perineum, dan yang ini namanya lubang anus,” ucapku.
“Menurut Kak Siska, gimana anus aku?”
“Bagus tidak ambeien, hihihi,”
“Iiihh.. Kakak,” gerutunya.
“Bagus dan imut loh. Nah nih coba lihat, jariku bisa keluar dari anus kamu,” ujarku sambil jari tengah tangan kiri aku masukkan dari sisi dalam lalu keluar dari lubang anusnya.
“Hihihi, anus aku dimainin,” ujar Angela mengetahui jari tangan yang masuk ke anusnya aku gesek-gesek keluar masuk.
“Loh, kok bolong tidak mengatup?” ujarku saat melepaskan jariku dari cengkraman anusnya.
“Wajar, Kak. Anusku kan udah beda,” ujarnya.
Iya juga sih, lubang anusnya tidak bisa mengatup sendiri. Apalagi anus Angela sudah tidak terhubung lagi dengan saraf dan otot.
“Kak, kalau itu apa, Kak? Gumpalan merah yang itu, ” tanyaku lebih jauh.
“Ini vagina kamu dan yang ini rahim kamu. Kalau dari luar seperti ini vagina kamu, tapi kalau dari dalam bentuknya lain,” jelasku.
“Memangnya kakak tahu bagian dalam vagina seperti apa?” tanyanya seolah tidak percaya.
“Pernah. Lihat saja gyno atau cewek yang lagi main speculum. Bakal tahu bagian dalam dan rongga vagina seperti apa. Bahkan, lubang servik pun bisa terlihat,” jelasku.
“Kakak sudah pernah lihat servik dan lorong vagina?” tanyanya.
“Sudah, terakhir lihat punya Ayun. Hihihi,” ujarku.
“Pantes aja ngerti, hihihi,” jelasnya.
“Kamu juga bisa tahu kok, asalkan dibuka memek kamu ini,” kataku sambil membuka sedikit lebar labia minoranya.
“Jangan dong kak, nanti bakal rusak selaput daraku,” balasnya.
“Kalau mau, tinggal masukin beberapa jari, sudah robek selaput dara kamu,” ujarku.
“Kak, kok aku sedikit pusing ya. Pandanganku sedikit agak buram dan tidak fokus,” ucapnya.
“Hmmm kenapa ya?” ujarku ikut bertanya.
“Kenapa ya, Pak?” tanya Angela ke Pak Jono.
“Itu karena darah dari tubuh Adik banyak yang keluar. Nah, sudah selesai, ” jawab Pak Jono.
Aku sedikit terkejut saat melihat sepasang kaki Angela. Ternyata seluruh kulitnya sudah terkelupas. Menyisakan kulit di pergelangan kaki sampai ujung jari.
“Nih lihat kulit kaki kamu,” ujarku menunjukkan kulit paha sampai betisnya.
“Hihihi cepet juga ya?” ucap Angela.
“Nih, kamu gak memperhatikan. Di betis kamu masih ada bulu halus yang belum kamu cabutin,” ujarku menunjukkan bagian kulit tersebut.
“Mana, mana? Gak keliatan jelas,” jawabnya.
“Nih,” singkatku mendekatkan ke wajahnya. Kira-kira sejengkal dari sepasang matanya.
“Wah iya, aku kelupaan. Biarin deh, kenang-kenangan. Hihihi.”
“Kalau kenang-kenangan itu ini,” ujarku menunjukkan kulit pantat kiri Angela yang ada bekas cap dan stempel panas berlogo huruf B.
“Betul. Ternyata pantatku tadi yang berdesis itu suara pantatku yang terbakar ya, hihihi,” ujarnya.
“Ayo, Pak. Selanjutnya bagian apa? Kasihan kalau lama-lama, Angela bisa tidak bertahan lama. Bisa-bisa sebelum selesai dikuliti, Angela mati,” ujarku.
“Iya, Pak. Ayo buruan kuliti. Pening banget nih. Mana aku pingin lihat seluruh kulit aku lepas,” ujar Angela.
Pak Jono tersenyum mendengar apa yang terucap dari mulut Angela. Tinggal sedikit lagi, yaitu tubuh depan Angela yang belum dikuliti. Seluruh tangan, punggung, dan sepasang kakinya sudah dikuliti. Tubuhnya berwarna merah dan masih mengeluarkan darah. Apa mungkin jarum di punggung Angela bisa membuatnya bisa bertahan sampai sekarang? Bisa jadi begitu.
Aku melihat Pak Jono berjalan di sisi sebelah kiri Angela. Tangan kirinya menggapai kulit di pundak kiri sisi depan, yaitu di atas tulang selangka. Ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri Pak Joni memegang kulit Angela, sedangkan tangan kanan yang memegang scalpel diarahkan ke pundak kiri. Mata scalpel yang tajam bagaikan silet itu mulai mengiris membelah kulit putih Angela. Memisahkan kulit pundak dengan otot dan daging yang menempel di tubuhnya. Perlahan tapi pasti, sayatan demi sayatan kulit Angela mulai lepas dari jaringan lemak dan otot.
Sekarang pak Jono mulai menyayat memisahkan sia-sisa kulit ketiak kiri Angela. Ketiak yang bersih tak berbulu mulai lepas dibelah oleh scalpel. Cukup cepat. Hasilnya pun bagus. Terlihat lemak yang menempel di kulit yang baru saja lepas dari tubuh Angela tampak sedikit.
Scalpel it mengarah ke bawah, memisahkan kulit yang menempel di tulang selangka sebelah kiri. Turun lagi dan turn ke gundukan buah dada sebelah Atas. Dari sini, tampak terlihat lemak yang berkerumun. Aku bahkan mendekat di sisi kanan Pak Jono. Aku perhatikan lagi sayatan demi sayatan scalpel memisahkan kulit payudara atas Angela. Turun lagi ke bawah di atas areolanya. Pak Jono meraih puting kiri Angela dengan hati-hati, lalu menariknya. Di pangkal puting kirinya, masih tertancap jarum yang tadi aku tancapkan. Sesuai permintaan Angela, ia ingin jarum itu masih tertancap sampai seluruh kulitnya lepas dari tubuhnya.
Bak pakaian yang dilepas secara paksa. Kulit Angela seperti pakaian. Aurat terindahnya sebentar algi lepas dan ia telanjang. Ya, telanjang dalam arti yang sesungguhnya. Telanjang tanpa kulit dan menyisakan jaringan otot dan lemak. Hihihi
Pak Jono berhati-hati saat memotong kulit dibalik areola. Dengan seksama, scalpel memotong areola dan dilanjut ke jaringan di balik puting. Saluran persusuan yang menghubungkan puting dengan mammary duct telah dipotong. Scalpel mengarah ke bawah ketiak. Memotong jaringan kulit di dekat payudara kiri yang berdekatan dengan ketiak bawah.
Turun dan bergerak sambil menyayat. Hampir seluruh bongkahan payudara kiri Angela lepas. Aku lihat wajah Angela menatap ke bawah, memperhatikan mahkota kewanitaannya terkelupas.
“Gimana rasanya? Masak sih gak ada rasa sesuatu, geli atau nyeri?” tanyaku.
“Gak ada, Kak. Mungkin Kak Siska mau coba?” tawarnya.
“Issh nggak. Hihihi.”
“Sayang loh kak, coba dikit aja.”
“Nggak deh, tuh lihat kulit toket kanan kamu sudah lepas,” ujarku.
“Iya, Kak. Ternyata dalaman toket aku warnanya kuning ya?”
“Ini namanya suspensory ligament, warnanya memang kuning,” ujarku menunjuk ke payudara kiri Angela yang tak berkulit.
“Di dalamnya ada jaringan mammary duct, kelenjar yang bikin kamu bisa memproduksi air susu,” terangku.
“Bisa tolong ditunjukkan jaringan itu, Kak?”
“Bisa dong, tapi beneran gak apa-apa ya?”
“Santai saja, Kak. kulit aku dijual, tapi tubuhku milik kakak. Tadi kan aku sudah bilang, jangan pikun dong, Kak. Masih muda sudah pikun, hihihi.”
“Isshh, kamu ini. Ya udah, kakak akan perlihatkan ke kamu,” ujarku kemudian pergi mengambil scalpel yang runcing yang tadi digunakan Pak Jono untuk memotong dan mengeluarkan organ reproduksi Angela.
“Nih, aku tunjukkan ke kamu dan juga penonton,” ujarku dengan memegang tangan bongkahan payudra kiri tak berkulit. Tangan kananku yang memegang scalpel mendekat dan aku arahkan di atas buah dadanya. Aku tarik garis lurus ke bawah, yaitu dari suspensory ligament ke tengah di bekas puting dan areola. Terus sampai ke bawah hingga terbelah menjadi dua. Garis vertikal sayatanku cukup lurus. Hihihi. Gak apa-apa dong memuji diri sendiri.
“Aku potong separuh gak apa-apa, kan?”
“Silakan, Kak” ucapnya.
Aku kemudian memotong payudara kirinya yang sisi dekat ketiak. Lalu, dari atas, aku potong bongkahan payudara ini dari cangkang tulang rusuknya. Sebelum jatuh, aku meraihnya dengan tangan kiriku.
Sekarang, separuh bongkahan payudara kiri Angela ada di telapak tangan kiriku.
“Ini jaringan mammary duct kamu,” ujarku menunjuk dengan scalpel dan menusukkan sedikit ke jaringan mammary duct yang berwarna merah segar tersebut.
“Wah, keluar warna putih, kok bisa ya?” ujarnya mengetahui jaringan persusuannya mengeluarkan carian putih.
“Nih, kamu coba rasakan,” ujarku.
“Boleh. Sini, sini dekatin ke mulut aku, Kak,” pinta Angela.
“Okay.”
Aku mendekatkan tangan kiriku ke mulutnya. Lidahnya menjulur keluar, bersentuhan dan merasakan carian putih yang disekitarnya ada darahnya.
Angela memasukkan lidahnya, lalu mengecap perlahan, seolah meresapi dan merasakan carian itu.
“Gak begitu kak, coba tusuk lagi, Kak,” pintanya.
Dengan senang hati, aku menurutinya. Aku tusuk-tusukkan jaringan mammary duct Angela. Beberapa diantaranya banyak yang keluar.
“Nih coba rasain lagi,” ujarku.
Angela kemudian menjulurkan lidahnya, lalu mengecap.
“Gimana?”
“Iya, Kak. Itu susu. Kok bisa ya?”
“Itu karena kamu horny sih,”
“Iya, kak?”
“Kamu bisa memproduksi air susu kalau lagi horny. Terutama seorang maniak seperti kamu, hihihi,” ejekku.
“Hihihi, Kakak tahu aja,” ujarnya.
“Tuh lihat, hampir sebagian besar kulit depan kamu sudah lepas. Perut sampai kulit pubis kamu sudah lepas, tinggal toket kanan kamu,”
“Hihihi, bagus dong. Lebih cepat lebih bagus. Sebentar lagi kulitku pisah dari aku,” ujarnya santai.
“Kamu mau nggak nyoba merasakan toket kamu sendiri,” ujarku.
“Maksud kakak, makan gitu?” ujarnya.
“Iya. Makan mentah-mentah. Anggap aja sushi. Aku iris, halus seperti sushi gimana?” tawarku.
“Nnggak deh kak, potong aja ukurannya yang tidak besar dan tidak kecil,” jawanya.
“Sip, pakai potongan toket ini aja ya?” tanyaku menunjukkan separuh payudara kirinya yang ada ditelapak tangan kiriku.
“Iya. Boleh, Kak. Segitu aja cukup, gak perlu banyak-banyak,”
“Banyak gak apa-apa kok, lagian aku sudah pernah makan dua toket utuh yang sudah dimasak,” ujarku sambil memotong toket ini menjadi lima bagian.
“Eh, kapan.”
“Waktu pertama kali datang ke sini. Aku disuguhkan cewek guling oleh Chef Yongki. Klau gak salah namanya Vivi,” ujarku.
“Wuih, hebat. Toketnya gede nggak. Kak.”
“Lumayan lah, sedikit lebih besar dia dari toket kamu, hihihi,” ejekku.
“Ihh kakak ngejek mulu,” rengeknya.
“Udah.. udah. Nih aaaaaa… buka mulutnya,” ujarku menyuapi potongan toketnya sendiri.
Ia membuka mulut, lalu mengunyahnya. Ia tampak melirik kesana-kemari.
“Enak kan? Toket mentah kamu sendiri pasti enak dong,” ujarku.
“Engak.. Engak, Kak,” ujarnya.
“Udah habisin dulu, baru ngomong. Pamali makan sambil ngomong,” ujarku.
Aku lihat sepertinya ia sudah menelan tiga kali.
“Enak, Kak.”
“Sip, kalau gitu kak Siska yang nyoba rasain toket kamu. Sekarang nyoba area puting dan areola kamu deh. Nih lihat, ada saluran penghubung ke puting menuju jaringan kelenjar susu kamu,” ujarku menunjukan bagian potongan tengah.
Aku pun memakan potongan payudara adik tingkatku. Benar sekali. Rasanya lembut dan kenyal. Beda rasanya saat dimasak. Mungkin bagian ini adalah bagian terenak. Walaupun banyak lemaknya, tapi tekstur bagian dalamnya ada manis-manisnya. Mungkin rasa manis dari air susunya.
“Gimana? Enak, kan?”
“Mak nyossss,” ujarku.
“Hahahaha, kakak bisa-bisa saja,” ujar Angela tertawa.
Aku lihat Pak Jono tersenyum sambil terkikih-kikih.
“Coba deh. Kasihkan ke Pak Jono. Aku juga ingin review toket aku gimana,” lanjut Angela.
“Nih Pak, coba rasakan toket Angela ini, Pak,” ujarku menyerahkan sepotong daging buah dada Angela.
Pak Jono membuka mulut, lalu mengunyahnya. Sampai-sampai, ia menghentikan aktifitas memotong kulit Angela. Padahal kurang dikit lagi, yaitu area dada di dekat sepasang tulang selangka.
“Aduh gustiii…” ujar Pak Jono yang menirukan logat dan dialek seperti acara di TV.
“Anjay.. Hahahahaha.”
Angela dan aku tertawa.
“Berarti toket kamu enak, tuh lihat ekspresi Pak Jono sampai seperti itu,” ujarku.
“Bener, Pak? Enak?” tanya Angela.
“Iya, enak. Mantapos bin lezatos,” ujarnya.
“Jiah, Pak Jono malah ngiklan produk minuman, hihihi,” ujarku.
“Hahahaha.” Pak Jono tertawa.
“Udah sana, Pak. Lanjutin nguliti tubuh aku. Tinggal dikit lagi beres,” ujar Angela.
“Emangnya kamu mau kemana kok buru-buru?” tanyaku.
“Biar cepet mati, kak. Menuju ke neraka, hihihi.”
“Jangan buru-buru mati dong, kak Siska ingin main-main sama tubuh kamu yang masih hidup dan tanpa kulit, hihihi,”
“Hihhihi, ngarep banget.”
Angela tersenyum.
“Nih habisin toket kamu, sisa dua potong.”
“Ok, sini-sini, Aaaaaaa…”
Angela membuka mulut. Ia kemudian memakan potongan daging buah dada yang aku suapkan. Setelah habis, aku suapkan lagi sampai di tangan kiriku tidak ada potongan buah dada yang tersisa. Hanya meninggalkan cairan berwarna merah.
Aku lihat Pak Jono sudah selesai memotong dan memisahkan jaringan keseluruhan kulit Angela. Tinggal bagian leher saja. Seluruh kulit yang sudah dikuliti menggantung pada leher Angela.
Pak Jono mengarahkan scalpel ke leher, di posisi dua sampai tiga centimeter di atas tulang selangkanya. Scalpel tersebut memotong kulit di lehernya. Memisahkan seluruh kulit di tubuh dengan leher. Lembaran kulit utuh
one piece Angela tidak sampai jatuh ke lantai, Pak Jono sudah mengantisipasinya dengan memegang kulit Angela dengan tangan kiri.
Tubuh Angela masih tergantung tanpa kulit. Walaupun banyak mengeluarkan darah, Ia masih sepenuhnya sadar.
"Nih lihat kulit dik Angela" ucap pak Jono membentangkan kulit Angela, menghadapkan kulit tubuhnya kehadapannya dengan bagian kulit luar menghadap dirinya, sedangkan sisi kulit bagian dalam yang masih dilapisi lemak dan beberapa bercak darah menghadap ke sisi sebaliknya.
"Woaaaaah. Gak nyangka kulit cantikku dan kurawat bisa lepas. Bisa dekatkan kesini pak? Aku ingin lihat kulit toketku," ucap Angela dengan wajah sumringah. Tidak sedikit pun ia menyesal dan sedih.
"Waah… Putingku tegang banget" ucapnya.
"Iya nih tegang," ucapku.
"Gimana kulit aku kak?" Tanya Angela.
"Bagus banget. Gak nyangka kulit kamu jadi selembar one piece begini. Lengkap dari leher bawah, lengan, ketiak, punggung, toket, perut, paha, lutut, betis, pantat, memek, anus, vagina, rahim, dan ovarium semuanya rapi," ucapku.
"Nih, dik Siska boleh pegang," ucap pak Jono menyerahkan kulit segar Angela kepadaku. Untuk pertama kalinya aku memegang kulit segar yang utuh atau one piece. Sebelumnya, aku memegang sebagian kulit saja, yaitu kulit payudara kanan Ayun. Yang menguliti ialah pak Agil. Kulit payudara kanan Ayun lembut dan segar.
“Karena sudah lepas, aku cabut jarum di puting kiri kamu ya?” pintaku.
“Iya kak, boleh.”
Aku pun mencabutnya lalu Pak Jono meminta jarum itu. Kulihat Pak Jono menaruh jarum ke troli.
Beberapa saat kemudian, aku mengangkat dan menggulung bagian atas kulitnya hingga sepasang kulit toketnya terlipat dengan posisi menghadap ke arah Barat. Bagian lipatan atas yang horizontal adalah bagian kulit perut Angela.
"Liat nih memek kamu," ucapku menunjukkan kulit selangkang ke wajah Angela.
"Waaaw.. Gak nyangka aku bisa melihat memek aku sedekat ini," ucap Angela.
"Bukan hanya memek aja lho, nih lihat lorong vagina, rahim, dan ovarium kamu juga ikut dikeluarkan" ucapku menunjukkan bagian sisi luar lorong onggokan daging vaginanya. Kuperlihatkan bagian gumpalan daging dan lemak ini yang pada sisi dalamnya terdapat lorong vaginanya. Aku baru tahu dan melihat jelas bagian luar dinding vagina bagian dalam dipenuhi lemak dan otot seperti ini. Rahim dan ovariumnya juga masih menempel di gumpalan daging ini. Potongan pak Jono benar-benar rapi.
Wajah Angela sedikit pucat. Matanya seperti mengantuk. Apakah ini akhir dari hidupnya?
“Angela? Angela?” tanyaku.
“Eh.. I.. iya.. Kak?” ujarnya mulai terbata-bata.
“Jangan mati dulu, aku ingin main-main sama tubuh kamu,” ujarku.
“He.. hee.. He. I.. iya, aku pusing banget kak.”
Bersambung ke halaman 25