Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MAYA ISTRIKU (COVER)

Siapa pasangan ideal menurut (harapan) kalian?

  • Gio - Maya

  • Gio - Frieska

  • Bazam - Maya

  • Anto - Maya

  • Gio - Farin


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 30

P E N D I N G I N A N


POV GIO

Cigetih, Sabtu, 3 Februari 2024….


Aku meninggalkan kota Ciraos, masih membawa rasa kesal, kemarahan dan dendam, waktu masih terlalu sore jika harus langsung pulang ke rumah, apalagi Maya kuyakin masih belum pulang, sementara aku butuh sesuatu untuk mendinginkan perasaanku… dan aku teringat pada Frieska.

Beberapa panggilan teleponku tidak dijawab, sepertinya dia masih marah karena aku tiba-tiba membatalkan janjiku untuk bertemu dengannya di hari ini. Namun entah di panggilan keberapa, teleponku akhirnya diangkat.

“Halo...” sapanya dengan nada datar.

“Halo Mama Frieska.” Jawabku mencoba merajuk.

“Haaah...”
dia seperti sedang menghela nafas, “Apa?!”

“Idih galak banget calon istri Papa Gio...”
Aku mencoba untuk menggodanya agar tak marah lagi.

“Mau apa?!” Tanya dia yang seolah tak peduli dengan caraku menaklukannya.

“Ketemu yuk.. sekarang, setengah jam lagi kira-kira...”

“Nggak….”

“Kenapa?”

“Pikir aja sendiri!”

“Ya udah Papa Gio ke rumah kamu sekarang!”

“Eh Jangan!”
Balasnya terdengar terkejut.

“Kenapa?”

“Ada Ambu, Abah… banyak sodara deh disini….”
Jawab Frieska yang nadanya melembut.

“Ketemu diluar aja ya berarti?”

“HIH! Kenapa sih semau-maunya sendiri!!! Udah sore baru ngajak ketemu… tadi pagi malah nggak tau pergi kemana!”
Jawab Frieska kembali kesal.

“Ketemu dimana sekarang?”
Balasku tak peduli dengan kekesalannya.

“Yaudah, ketemu di kafe deket tempat panti pijat aja dulu… sejam dari sekarang!”
Ucap Frieska akhirnya mengabulkan permintaanku meskipun dengan nada yang masih tak ramah.

“Asyik… makasih ya, Sayang…”

“Hmm..”
Jawabnya.

“Mpris?” panggilku lagi.

“Apa?!?!!”

“I Love You, Sayang…”

“Hmm..”
Jawabnya.

Lalu telepon pun terputus dan aku segera mengarahkan ke café tujuan yang dimaksud.


÷÷÷÷÷÷​



Aku sudah datang lebih dulu daripada Frieska, dia barusan kutelepon, masih di angkot, begitu katanya.

Aku duduk di sudut kafe yang nyaman, bisa dibilang ini adalah kafe terbaik di kota ini, interiornya cukup modern dan hampir sama dengan kafe-kafe tempat tongkrongan anak muda yang ada di Jakarta.

Aku menunggu dengan gelisah kedatangan Frieska. Di hadapanku, secangkir kopi hitam terabaikan. Hatiku tak bisa merasakan kedamaian yang sama dengan suasana sekitar. Pikiranku masih membayangkan tentang hal yang sudah terjadi di hari ini. Dan rasanya, hanya Frieska yang mampu meredakan segala kekalutanku.

Kemudian ponselku bergetar, hatiku berdebar-debar. Aku mengeluarkan ponsel dari saku dan membuka pesan singkat dari Frieska.

"Aku udah di depan kafe…."

Melihat pesan itu, senyum tak bisa aku tahan lagi. Hati ini seperti terbang menanti kehadirannya. Aku bangkit dari kursi dengan semangat. Langkahku ringan, seperti melayang di atas awan. Aku melangkah keluar dari kafe, pandanganku langsung tertuju pada sosok yang berdiri di luar pintu, Frieska….

Matanya bertemu dengan mataku, aku terjebak dalam pesonanya yang begitu indah. Aku akan menjadi pria paling beruntung di dunia ini karena bisa menyaksikan pesona kehadirannya, meskipun dia masih tak memberikan senyum terbaiknya, kurasa dia masih menyimpan kesal… tapi aku tahu itu bukan kesal yang benar-benar kesal, buktinya dia masih mau menemuiku.

Dan aku terpana. Perempuan ini benar-benar menunjukkan pesona kecantikannya yang mampu membuatku terdiam. Sama seperti Maya, tapi wajah Maya terlihat lebih dewasa. Sedangkan Frieska ini imut. Setiap wanita memang memiliki kelebihan yang berbeda-beda. Dan.... aku benar-benar menikmati paras cantiknya yang super imut ini.

Bagaimana tidak imut, dia ini usianya baru menginjak 18 tahun di bulan yang lalu. Kalau saja dia meneruskan sekolah, berarti dia itu masih kelas 2 SMA!! Apakah calon istriku sebelia ini?

Kekesalannya perlahan memudar, dengan mata yang berbinar-binar dan senyum yang tak pernah pudar, kami bertatapan, dan dalam tatapan itu, aku merasakan getaran cinta yang tak terkatakan.

"Mama Frieska...” Panggilku, dengan suara penuh kasih sayang.

Dia mendekat, dan aku langsung merangkulnya erat-erat, seolah lama tidak bertemu. Dalam pelukan itu, aku merasakan kehangatan yang tak bisa digantikan oleh apapun di dunia ini.

Aku kembali ke dalam ruangan kafe, tentu saja kali ini bersama calon istriku.

“Sayang aku nggak bisa pulang malem-malem tapinya….” Frieska sudah benar-benar kembali seperti Frieska yang aku kenal.

“Ya… nggak apa-apa, tapi....”

“Tapi apa?”
Tanya dia.

“Kalo besok bisa kan lama-lamaan?”

“Ah nanti bo’ong lagi!”
Balas Frieska kembali kesal.

“Nggak… janji… sekarang janji, besok dari siang ya, Sayang… mau ajak Dimas?”

“Ngggh… kayaknya nggak boleh keluar deh Dimas sama Ambu...”

“Hmm… ya udah… mama-nya aja deh..”

“Iyaaa…. Tapi kalo bo’ong lagi aku bakal beneran marah”
Ucapnya.

“Oh jadi sekarang marahnya bo’ongan?”

“Iiiihh!!!...”
Dia melotot namun sambil tersenyum, “Aku kangen Ayang…”

Kami pun memesan makanan dan berbincang dengan hangat, sudah layaknya sepasang kekasih atau bahkan suami istri. Perbincangan pun sampai pada kejadian di hari ini, tentang perselingkuhan Maya, namun tentu saja tak kuceritakan detail apalagi sampai proses eksekusi, bisa-bisa dia kabur dariku karena berpacaran dengan seorang psikopat!

“Lagi?.... Dia kayak gitu lagi?” Dahinya mengerut.

“Iya.”

“Apa Kak Maya..... ngghhh… sampe gitu? Sama orang nggak dikenal di tempat umum?”

“Iya.”

“Emangnya Papa Gio ngeliat...?”


Aku hanya bisa diam, terlalu bodoh jika kuceritakan yang sebenarnya, dimana aku mengintip istriku bersetubuh…. Dan bahkan aku terangsang melihatnya, jangan sampai Frieska tahu!!!

“Ngeliat cuma sampe dia masuk ke dalam toilet yang sama dengan 2 orang laki-laki…”
Kujawab saja dengan kebohongan.

“Oh....” Dia menundukkan kepalanya.

Dia kembali memandangku. Dan hujan di luar kafe akhirnya turun dengan deras. Di dalam hujan ini Frieska masih memandangku dan aku terus memandangnya. Karena aku tak tahu lagi harus memandang apa, jadi kupandang saja kecantikan yang ada di hadapanku ini.

“Pacarku ini, lelaki paling bodoh yang pernah aku temui….”

“Hmmm… mulai deh….”


Frieska lalu membaringkan kepalanya di pundakku.

“Ya emang bodoh…. aku jadi takut… kalo aku jadi istri Ayang, nanti Ayang malah nggak bereaksi apa-apa ngeliat aku digodain cowok lain.”

“Hmmm.. emangnya kamu mau kayak gitu juga? Mau gatel ke cowok lain juga?”

“Nggak lah!”

“Oh.... kalo kamunya bener, berarti aku juga pasti ngejaga kamu...”

“Janji ya, Sayang mau jagain aku?”

“Iya, Sayaaaang…..”


Setelah itu Frieska kembali ke posisinya semula.

“Eh..... emang aku bodoh ya....?”

“Kan tadi udah aku bilang...”
Frieska tertawa pelan.

“Mmmh. Terus kenapa kamu suka?”

“Yeee… siapa yang suka… aku kan cuma kasian!!”

“Oh...”
Jujur saja aku kecewa.

“Iiih Ayang maraaah…. Nggak Sayang… aku beneran suka kok, sayaaaaaaang banget!”

“Apa buktinya kalo beneran sayang?”


Frieska lalu memelukku semakin erat.

“Emang yang kemaren-kemaren udah aku lakuin ke Ayang, masih kurang buat buktiin perasaanku, ya?”

“Ngghhh…”

“Oooh… berarti kalo aku belum mau tidur sama Ayang, berarti Ayang nganggap aku belom sayang, gitu....?!”

“Eh… nggak gitu juga! Kamu aja yang pikirannya ngeres kesitu!”
Balasku sambil mencubit hidungnya.

“Jadi nggak pengen tidur sama aku kan....?”

“Nggghh....”

“Pengen apa nggak, jujur?!!!!”

“Ya itu mah….. bonus.... dikasih syukur, nggak dikasih juga nggak apa-apa, hahahaha”
Jawabku.

“Aku juga mau sebenernya…..” Ujarnya dengan wajah merona merah.

“Te-te.. russ...?” Aku mulai gagap.

Suara hujan masih terdengar deras diluar sana. Namun tak bisa mengalahkan suara Frieska yang baru saja kudengar sampai terngiang-ngiang di kepala.

“Mau banget, tapi kan Ayang udah punya istri.”

“Hmm…”
Gumamku lalu melanjutkan, “Jadi selama aku masih sama Kak Maya, kamu nggak mau ngelakuin itu?”

“Mmmhh…”
Kali ini Frieska yang tampak bingung.

“Jadi aku harus cerai dulu...?”

“Ayang!”
Potongnya.

Aku menghela nafas, “Kenapa?”

“Aku nggak minta Ayang buat cerai kok…..”
Jawabnya cemberut dan terlihat serba salah.

“Terus...”

“Aku takut aja kejadian kayak dulu terulang lagi…. aku udah ngasih segalanya…. Setelah hamil eh cowoknya pergi….”

“Ngg.... Jadi gitu cerita kamu sama mantan suamimu itu?”

“Iya..”

“Kalo jadi istri ke-2 mau nggak?”
Ucapku nekad mengajukan pertanyaan itu, karena memang aku belum punya tekad kuat untuk menceraikan Maya.

“Hmm… Ayang ini mau nikahin aku…. apa karena cuma pelampiasan atau jangan-jangan….. cuma pengen tidur sama aku aja?”

“Nggak… Sayang! Kak Gio beneran sayang sama kamu… tapi Kak Gio juga bingung dengan status pernikahan…. Jujur aja Kak Gio belum tega sampe ninggalin Maya dengan kondisinya yang kayak gini…. Dan untuk urusan ‘tidur’…. udah lupain aja!!! Kalo itu malah bikin kamu salah sangka sama Kak Gio…. Kak Gio nggak berharap tidur sama kamu kok…”
Ucapku jujur, sejujur-jujurnya.

Frieska tersenyum. Dan memelukku semakin erat.

“Maaf ya, Sayang. Beneran deh, aku juga nggak pernah kepikiran buat ngancurin rumah tangga kalian. Emang aku bodoh juga sih…. jatuh cinta sama orang yang udah punya istri…”

“Jadi....?”

“Jadi apanya?”

“Jadi kelanjutan hubungan kita gimana?”
Tanyaku sangat khawatir, aku pun tak siap kehilangannya.

Dia tersenyum, “Aku mau jadi istri ke-2…..”

DEGGGG!!!!


Lagi-lagi aku terdiam! Barusan dia bilang apa ya?

“Tapi kalo itu jadi ngancurin keluarga kalian, aku nggak mau…!”

“Jadi maksudnya…. Kita harus tetep jaga rahasia?”

“Mau dirahasiain… mau terang-terangan bilang sama Kak Maya… aku nggak masalah… yang penting jangan sampe kalian cerai….”

“Emmm.. kayaknya sih… buat awal-awal mending dirahasiain aja dulu….”

“Emang Ayang mau nikahin aku kapan?”

“Ngg…”

“Kenapa? Belom siap? Nggak usah dipaksain!”

“Bukan! Kalo ntar aku bilangnya mau cepet-cepet… ntar Ayang malah bilang aku udah nggak tahan buat nidurin”
Jawabku.

Frieska terdiam, cukup lama. Sampai akhirnya dia menahan tawanya.

“Hihihi…. Nggak deh nggak…. aku nggak akan bilang gitu…. jadinya kapan?”

“Tau orang yang bisa nikahin selain di KUA?”
Tanyaku.

“Mmmm... nggak tau sih… tapi nanti aku cari tau...”

Lalu dia mengangkat kepalanya dan menaruh dagunya di pundakku. Sehingga dia terus melihatku dari samping dalam posisinya memeluk itu. Aku tentu saja canggung dan mencoba berbicara untuk basa-basi.

“Kenapa ngeliatin terus?”

“Nggak nyangka aku bisa punya suami kayak Ayang….”

“Hah!... emang kenapa?”

“Baik… ganteng….”


Aku terdiam dan dahiku mengerut, aku memandang ke arahnya yang mana Frieska terus melihatku sambil tersenyum.

“Tapi bodoh?”

“Ya.... kalo itu sih tetep!”

“Hahahaha..”


Frieska lalu melepaskan pelukannya dan kembali dengan posisi duduknya yang normal. Dia tersenyum dan memegang wajahku dengan kedua tangannya. Sedangkan aku terdiam karena tak mengerti situasi ini.

“Papa Gio.....”

Frieska lalu mempertemukan kening kami, “Mpris cintaaa banget sama Papa Gio...”

Aku juga mencintainya, tapi berada di keadaan mesra-mesaraan dan romantis seperti ini membuatku kikuk, dari dulu aku tak terbiasa... Aku melihat ponselku, dan ini hanya untuk pengalihan, aku sendiri bingung mau melihat apa di ponselku ini. Tapi aku teringat rumahku, maka aku mau memonitoring rumah melalui CCTV disana.

Aku melihat Maya ternyata sudah pulang ke rumah, bersama Bu Farin dan Om Hartowo.

“Oh selama ini Ayang ngeliat Kak Maya melalui CCTV?” Ujarnya kaget saat ikut nimbrung melihat ponselku.

Aku menghela nafas, “Iya”

“Eh.. kok? Ada Tante Farin…. Emang Tante Farin di Cigetih juga?”

“Nggak lagi kebetulan kesini aja…”

“Terus itu siapa?”
Frieska jarinya menunjuk ke arah Om Hartowo.

Aku pun menceritakan siapa Om Hartowo dan hubungannya dengan ibu mertuaku itu, dan juga hubungan panasnya dengan istriku!!!

“HAH!!!!” Friseka melotot kaget.

“Begitulah…..”

“Ayang yang sabar ya....”

“Iya… Makasih…”

“Semoga nanti ada solusinya.”

“Semoga...”

“Kita pulang yuk… kasian Dimas…”
Ucapku.

“Kasian Dimas apa kasian Kak Maya?”
Sindir Frieska dengan nada cemburu.

“Dua-duanya… kan besok kita ketemu lagi….”

“Hm, gitu...”
dia kelihatannya mengerti.

Sedikit demi sedikit hujan pun reda. Maka kami pun memutuskan pulang, tentunya mengantar Frieska dulu.

“Mau dianter sampe rumah....?” Begitu kami sampai di jalan menuju desanya.

“Nggak usah…”

“Masih jauh kan dari sini....?”

“Lumayan sih, tapi nggak deh… kalo udah biasa mah kayak deket”

“Yaudah deh, ati-ati ya, Sayang..”


Sebelum turun dari mobil, dia menciumku dan berkata, “Besok aku udah siap....”

“Siap apa?”

“Apapun…. Apa yang Ayang mau, aku udah siap ngelakuinnya…”


Aku menghela nafas. Dia pun langsung turun dan tak berkata-kata lagi.


÷÷÷÷÷÷​



Sesampainya di rumah aku sudah melihat mobil Om Hartowo terparkir di garasi. Aku masuk ke dalam, tampak Bu Farin dan Om Hartowo sedang berada di ruang tamu.

“Dari mana Gio?” Tanya Bu Farin.

“Dari rumah temen dulu, Mam” Jawabku beralasan dengan senyum dan mencium tangannya.

Kutanya keberadaan Maya dan ibu mertuaku mengatakan kalau istriku ada di dapur. Aku masuk ke dalam dan melihat Maya sedang membuat teh dalam teko besar.

“Papah, udah pulang?” Sambutnya ceria.

“Ya….”

“Hm...”
Maya melihatku dengan seksama, “Papah kenapa?”

“Ng? Apanya?”


Maya menghampiriku dan terlihat cemas, “Papah ada masalah?”

“Masalah?”

“Papah kayak yang banyak pikiran….”


Aku terdiam. Sulit untuk mengungkapkan perasaanku, di satu sisi aku begitu kecewa pada sikapnya yang tak juga mau berubah, tapi di sisi lain aku sangat menyayangi dia. Dan perasaan kalutku hari ini, melihat dia bermain gila lagi, perasan bersalah setelah membunuh, bimbang tentang pernikahan dengan Frieska nanti, ternyata terbaca dari ekspresi wajahku dan itu mencemaskan Maya sebagai seorang istri.

“Cerita sama Mamah...” Ucapnya meminta tanpa rasa bersalah.

Tapi ya... bagaimana aku mau cerita? Aku memang ada beban pikiran, dan masalah utamanya ya kamu, Maya! Aku memang sudah mulai membenci dia.... namun melihatnya seperti ini, ada insting dariku yang tak mau melihatnya cemas seperti itu.

Aku memeluknya dan berkata, “Papah nggak ada masalah. Mungkin cuma capek aja.”

“Bener?”

“Bener….”
Kalau sudah begini aku terpaksa berbohong.

Malam ini karena sudah terlalu larut, sepertinya ibu mertuaku akan menginap disini, Bu Farin akan tidur di kamarku bersama Maya, Om Hartowo di kamar tamu, sementara aku… di sofa!!

Sebelum mereka masuk ke kamar yang disepakati, kami berkumpul di ruang tengah untuk menikmati hidangan khas Ciraos yang sepertinya tadi mereka beli ditambah teh hangat sambil menonton siaran TV.

Bu Farin seperti biasanya kalau dia datang ke rumahku, ngomel-ngomel pada Maya karena rumah berantakan.

Sementara aku terlalu lelah, dan tak ada rencana di malam ini untuk menghabisi seorang purnawirawan yang ada di hadapanku, apalagi dilakukan di rumahku, dimana ada Maya dan ibu mertuaku disini, meskipun perasaan marahku sebenarnya kembali datang, tapi aku berusaha untuk menahannya.

Tiba-tiba remote yang dipegang Om Hartowo memindahkan siaran ke sebuah berita yang memberitakan kebakaran besar di Ciraos. Hmmm….

“Kebakaran, Mas?” Tanya Bu Farin pada Om Hartowo.

“Iya….”

“Jangan-jangan itu kali ya suara sirine yang kita dengar tadi waktu di Ciraos?”
Maya ikut-ikutan berkomentar.

“Iya kayaknya. Kebakarannya di daerah yang tadi kita lewat….”

“Dimana ya kebakarannya?”
Tanya Bu Farin lagi semakin penasaran.

“Di deket Mall yang tadi kamu datengin lho, May….” Ucap Om Hartowo.

Aku hanya diam, berusaha untuk santai dan tidak terlalu fokus pada layar TV, sementara mereka begitu serius melihat berita tersebut dan kulihat wajah Maya terlihat sangat tegang ketika gambar memperlihatkan sebuah bangunan yang sedang terlalap api, lokasinya sepertinya masih dia kenali dengan baik. Maya melirik kepadaku, sepertinya dia sudah mulai curiga, namun aku pura-pura tak melihatnya.

“SAMPAI SAAT INI, PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN MASIH BERUSAHA UNTUK MEMADAMKAN API YANG MASIH BEGITU BESAR DAN SUDAH MEREMBET KE BANGUNAN DI BAGIAN DEPAN. PETUGAS BELUM BISA MEMASTIKAN BERAPA KORBAN JIWA DALAM PERISTIWA INI, NAMUN POLISI SUDAH MENEMUKAN BEBERAPA KEJANGGALAN…” Ucap reporter dari sebuah stasiun TV Swasta.

DEGGGG!!!

Aku dan Maya refleks berpandang-pandangan…. Kamera TV kemudian beralih pada seorang Polisi yang sudah siap untuk diwawancarai, perasaanku semakin tak enak.

“Kejanggalan apa yang Pihak Kepolisian temukan di peristiwa ini?”

“Untuk asal api dari kebakarannya sendiri, masih terlalu dini untuk menyimpulkan karena sampai saat ini masih dalam proses pemadaman setelah petugas pemadam terkendala kondisi cuaca dimana angin kencang di sekitar lokasi ditambah lagi beberapa bahan kimia yang ada di dalam pabrik membuat api menjadi sulit dikendalikan…. Namun untuk bangunan depan, sudah mulai diatasi dan kini dalam tahap pendinginan. Kami juga menemukan sebuah temuan yang entah ada kaitannya dengan peristiwa kebakaran ini atau tidak…… petugas kami menemukan sejumlah obat-obatan yang kami duga sebagai obat-obatan terlarang di satu gudang lainnya yang tidak ikut terbakar…. Namun untuk jenisnya, tentu kami harus melakukan pemeriksaan laboratorium terlebih dahulu..”

“Seberapa banyak, Pak? Apakah ini pabrik narkotika? Kira-kira narkotika jenis apa, Pak?”
Beberapa wartawan lain yang ikut mengerubuti polisi tersebut semakin gencar bertanya seperti lalat menemukan buah busuk.

“Jumlahnya cukup besar, kemungkinan sih iya… ini pabrik narkotika berkedok pabrik karet dan plastik.. jenisnya masih diteliti ya… sudah ya, sementara cukup…” Ucap Polisi yang sudah mau meninggalkan wawancara.

Aku menghela nafas panjang, bersyukur karena ada peristiwa yang lain, sehingga ini bisa mengaburkan perbuatanku.

“Pak.. Pak… apakah pemilik pabrik ini sudah diketahui?”

“Masih kami selidiki… sabar, ya….”

“Sudah ada yang diperiksa, Pak?”
Wartawan masih mencecar sampai mengejar Polisi yang sudah menjauhi mereka.

“Baru meminta keterangan saksi-saksi… yang pasti sampai saat ini belum ada satupun yang mengklaim sebagai pemilik pabrik… Sudah cukup, ya..”

“Berapa korban jiwa dalam peristiwa ini?”


Polisi tadi menghentikan langkahnya dan berbalik badan siap untuk menjawab kembali.

“Korban jiwa belum diketahui, namun sudah ada 3 laporan yang masuk, ada keluarga yang mengatakan kalau anggota keluarganya bekerja di pabrik ini, salah satunya sebagai satpam….”

“Apakah mereka berada di gedung yang terbakar?”

“Belum… belum tau… tapi kalau melihat posisi pintu gerbang bangunan yang terbakar habis itu terbuka lebar… seharusnya yang bersangkutan bisa melarikan diri… entahlah kalau dia sedang tertidur atau bagaimana..”


Siaran berita itu pun selesai dan berganti acara selanjutnya.

Hmmmm…… Om Hartowo, Kang Bazam…. kalian tinggal menunggu waktu saja!!!​



÷÷÷÷÷÷​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd