Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Mid-Life Love Story

Sore Suhu-suhu. sori baru bisa ngupdate. Lagi banyak kerjaan.

Cheers & Enjoy Sex...
MB

“Halo Karin cantik. Udah sehat?”
Aku menyambut anak kecil manis berambut sebahu yang meloncat naik ke pelukanku begitu melihatku.
“Om Dion coklatnya mana?” anak kecil ini seperti punya indera ke 6 soal camilan. Tapi ya emang aku sering nyogok coklat kalo pas ke sini sih...
Aku merogoh saku tas dan mengeluarkan sebatang coklat yang kuulurkan ke depan tangannya. Langsung disambar sambil kemudian mengecup pipiku.
“Mkacih Om.” Katanya
“Sama-sama.” Jawabku
“Mama dan Papa mana Rin?”
Yang ditanya sibuk membuka pembungkus coklat dan menghap baru menjawab dengan menunjuk ke belakang.
“Panggil dong.” Pintaku
“Mamaaaa, ada om Diooon.” Si kecil berteriak.
“Eeh ke belakang lah. Masa teriak.” Tegurku tersenyum melihat tingkahnya.
“Eh Dion kirain agak sorean baru datang. Kamu dah pulang kantor?”
DEG.
Rileks, rileks…
***
“Imajinasi itu Lo sendiri yang ciptain di kepala Lo tau.” Kata-kata stefan di cafemya terngiang.
“Imajinasi tuh kalau ga punya gambaran asli dodol, gua ga perlu imajinasi lagi.” Jawabku kala itu
“Ya lu alihin dong memori lo. Pikirin gue telanjang kek.” Si garang nyaut
“Jijay.”
“Exactly.”
Lalu kami diam dalam petikan guaranteed nya Eddie Vedder. Mataku fokus menatap jariku bergerak lincah tak berani mematap Stefan yang menatapku tajam menggumamkan lirik.
“Ada yang belum pernah gue ceritain sama lo soal si Yurika Stef.” Jawabku akhirnya.
Belum sempat aku buka mulut, Stefan mengangkat tangannya menyetop kata-kataku.
“…” dia hati-hati memilih kata
“Kejadiannya…”
“Stop Yon.” Stefan memotong.
“Tapi lo ga tau masalahnya stef.” Jawabku
“Dan gue ga mau tahu kayanya Yon. Sori.” Jawabnya.
“Lo minta gue ngasih justifikasi kenapa lo harus selingkuh. Dan gue ga bisa ngasih itu man.” Jawabnya.
“Sebenci-bencinya dia sama gue, Yuni temen gue juga. Gue ga bakal mau mengamini sesuatu yang punya potensi nyusahin dia.” Dia berkata pendek.
“Tapi lo sodara gue. Lo mau tau gimana caranya main api tapi ga ngebakar orang lain. Gue kasih tau.”
“Tapi jangan minta gue setuju.” Kata-katanya tajam.
“Dan asal Lo tau, yang pertama kebakar saat maen api itu ya yang megang obor. Lo Cuma bisa ngontrol siapa orang berikut yang bakal kebakar kalo lo ga tahan sama panasnya.” Katanya tertawa.
Jadilah siang itu aku termenung menimbang untung atau buntung sebelum akhirnya memutus sabung.
***
“Pulang cepat Kak. Tadi sekalian ke lapangan.” Jawabku tersenyum.
“Masuk Yon. Duduk dulu” Katanya.
“Cuma mau ngambil baju kok, Kak.” Jawabku cepat.
“Yaa Om Dion ga makan dulu? Mama masak kue.” Karin yang menjawab sambil menggelayut di kakiku.
“Masuk dulu deh. Karin dah rindu tuh, lama ga ketemu” Suara rendah teduh yang berwibawa.
“Muffin blueberry loh.” Sambungnya.
Aku mau tak mau tersenyum Dan mengangguk.
“Emang masih bisa bikin kue Kak?” kataku meledek
“Idih, emang Yuni, ga bisa bikin kue.” Katanya sambil meletin lidah.
“Tapi kok bisa blueberry muffin kak.” Kataku.
Yang ditanya cuma ngangkat bahu.
“Ya soalnya itu…”
“Iya Aku inget kok.” Jawabnya tersenyum manis.
Kue kesukaanku…
Dia masih ingat…
“Hoi, ngelamun. Yuk, dimakan.” Kata-kata Kak Ika menyentakku kembali ke dunia nyata.
Aku meraih kue yang disodorkan Karin dan menggigit. Rasa segar blueberry menyergap mulutku. Seenak wanginya.
Lalu dengan rakus kumasukkan potongan lebih besar sambil tersenyum pada Karin yang juga asyik mengunyah sampai-sampai blueberrynya lumer ke dagu.
“Hahaha, Karin jorok.” kataku ngakak dan mengambil tissue melap tumpahan di dagunya.
Lalu sentuhan tissue di daguku membuat aku tersadar menoleh.
Kak Ika...
“Mirip ya Yon.” Katanya melap tumpahan blueberry di daguku yang nyantol tanpa aku sadar.
Aku terdiam menatapnya yang tersenyum lembut menatapku dalam.
“Hahah, om Dion jorook.” Karin ganti mentertawakan Aku.
Aku tersenyum dan mengambil tissue dari tangan Kak ika dan melemparnya ke kepala Karina. Becanda...
Yang dilempar ketawa ngakak dan ganti melempar sisa alas kertas muffin ke wajahku.
Ini yang namanya keluarga lengkap yah...
Ah sial. Ga usah mikir itu. Alihkan, alihkaaan…
Aku menghela nafas dan menyender ke kursi makan.
“Yon, yang kemarin, sori yah.” Kata Kak Ika.
“Yang mana kak?” Aku usil menjawab.
“Yang aku mbentak kamu.” Jawabnya ringan.
“Oh kirain yang abis itu.”
Yang kudapat pelototannya.
“Becanda Kak.” Jawabku
Tapi dia juga tertawa. Akhirnya kami tertawa bareng.
“Kaya yang belum pernah liat aja ya.” Sambungnya.
Giliran aku yang melotot. Tergagap malah, tidak bisa menjawab.
“Kan cuman sekali. Bantuin aja kan Kak.” Kataku akhirnya.
“Sekali yang berkesan seumur hidup” Katanya mengedipkan mata.
Aku hilang kata lagi.
“Iya gitu kak?” aku menjawab rada jumawa.
“itu kesannya. Duh belepotan lagi.” Katanya melirik Karina kemudian mengambil tissue melap mulut Karina yang sudah kembali belepotan melahap muffin ke tiga nya.
Akhirnya Karin kekenyangan dan beranjak ke ruang keluarga menyalakan TV.
“Sama kayak bapaknya.” Kali ini Kak Ika berbisik saat ganti mengelap mulutku yang ternyata sama belepotannya.
Aku terhenyak.
Bukannya kita sudah janji tidak akan ngungkit itu lagi?
Pelan aku menggenggam tangan kak Ika, menatapnya dalam.
Wajah yang kutatap berubah warna dari kuning langsat menjadi kemerahan.
Aku maju mendekatkan wajahku ke wajahnya.
DEG.
Lalu kak Ika memajukan wajahnya menggenapi.
DEG.
Bibir kami bersentuhan. Menggantung dulu, sama-sama mencoba merasakan tekstur. Mengenali kembali lebih tepatnya.
Kemudian bibir bertaut erat membelit. Lalu lidah kami yang berkenalan kembali. Merasakan kenyamanan yang dulu pernah dirasakan tapi lama hilang.
Aku menarik tubuh Kak Ika berdiri dan saling menatap.
Dengan menggigit bibir ia menarik Aku ke dinding yang membelakangi pintu dapur. Aman dari lirikan Karina.
Dan kami kembali berciuman dalam peluk erat.
Detak jantung kami yang berpacu terasa benar karena dadaku menghimpit dadanya.
Ciumanku beralih ke pipi, telinga, turun ke lehernya menghirup aroma yang dulu pernah sekali kuhirup dan lama kurindu.
Lalu tangannya mulai menjelajah punggungku, turun ke pinggul sebelum bertandang ke depan celanaku meremas lembut isinya.
Aku tak mau kalah dan meraba selangkangannya dari balik daster.
“ssh” desahannya pelan menusuk.
Kami akhirnya, saling menatap dengan pandangan berapi, saling meremasi.
Aku ga tahan melihat bibir yang digigit nakal, dan kembali menciumnya.
“I miss u.” pelan terlontar dari mulutku.
Lalu secepat kedipan semuanya selesai.
“Ayah pulaang.” Teriakan Karina memecah konsentrasi kami.
Buru-buru Kak Ika mendorongku masuk ke kamar mandi.
Aku duduk tersandar di kloset menatap langit-langit.
Di balik pintu celoteh Karina dan ayahnya membuatku menunduk.
“Ini ga boleh.” Aku menggeleng kepala.
Aku menenangkan diri beberapa detik lagi sebelum menyiram kloset, merapihkan pakaian dan membuka pintu.
“Nah, ini dia si Dion. Pa kabar bro?” sapa Iwan.
Iya Iwan. Si anomali pemerkosa.
“Baik Kak. Kakak gimana?” Tanyaku balik
“Baik aja Bro. Eh udah nyobain kue?”
“Udah yaah. Om Dion makan empat.” Karina yang nyaut.
“Makannya belepotan lagi.” Sambungnya ketawa sambil meletin lidah.
“Halah, sama-sama belepotan aja, pake ngelapor.” Aku balas memeletkan lidah.
Kami semua tertawa. Satu tertawa lepas, satu tertawa senang, aku tertawa kecut.
“Yon, ini baju yang kemaren kebasahan.” Kak Ika masuk menyerahkan bungkusan plastik berisi bajuku yang sudah rapih dicuci sterika.
Aku mengambilnya sambil berterimakasih.
“Eh makasih loh Yon kemarin jadi ngerepotin kamu. Aku lagi lembur soalnya.” Iwan yang menjawab.
“Gapapa Kak. Pas lagi sempat kok.” Jawabku datar.
“Om Dion, ajarin Karin matematika lagi dong.” Kata Karina manja.
“Om Dion harus pulang sayang.” Mamanya yang menjawab.
“Iya kasian tante Yuni di rumah.” Tambahku.
“Belajar sama mama saja.” Kali ini Ayahnya yang menambahkan.
“Ayah aja yang ngajarin.” Rengek Karin manyun.
“Mama aja. Kalo sama Ayah kamu suka ga nyambung.” Kata ayahnya membuat Karin makin manyun dan akhirnya beranjak ke depan.
“Heran deh, kalo sama Elo kok cepet nyambung yah Bro?” tanya Iwan.
Aku Cuma nyengir sambil angkat bahu. Mau dijawab ga enak hahah.
“Eh tapi emang dasarnya dia pinter kok. Guru-gurunya bilang gitu kan Ka?” Iwan nyambung lagi.
“Anak siapa duluu.” Yang ditanya Cuma senyum sambil jawab.
“Anak gue doong.” Iwan jumawa menjawab.
"Anak gue laah." jawab mamanya ga mau kalah.
“Anak gue, dodol.” Yang ini aku yang jawab dalam hati sambil mangkel menghela nafas.
“Yon, Lo kapan dong punya anak. Cepetan laah si Yuni diisi. Kelamaan ntar si Yurika duluin lagi” Iwan lanjut lagi menatapku sambil nyengir.
Kak Ika menatapku kuatir menunggu perubahan raut mukaku.
“Udah punya tauk.” Yang ini dalam hati lagi tapi udah diujung lidah pengen dikeluarin.
“Ya udah, aku pamit ya Kak.” Kataku akhirnya memutuskan pulang.
“Ya udah, Yurika yang nganter ya. Aku salin dulu. Salam buat Yuni.” Kata Iwan.
Aku hanya mengangguk dan berjalan cepat ke arah pintu. Sempetin dulu pamit sama Karina juga yang mulai asik dengan buku pelajarannya.
“Jalan ya Kak.” Kataku pendek.
“Yon, makasih ya.” Kak Ika menjawab menatapku dengan wajah bersalah.
Aku ga menjawab hanya tersenyum dan cepat-cepat melangkah ke arah motorku, menstart cepat meninggalkan rumah itu.
Pahit tapi ya gitulah…
Pengen teriak rasanya tapi aku tahu ga mungkin ngancurin keluarga orang.
Motor kusetop mendekati perempatan.
Aku memang perlu pengalihan. Bener kata Stef si sangar berhati lembut itu.
“Kalo Lo emang ga mau sampe kebayang-bayang Yurika, caranya 2 aja. Lo sikat atau lo cari penggantinya.” Katanya siang tadi.
Aku meraih HP, mencari-cari nama di phonebook, menimbang sejenak dan memencet tombol call.
“Halo, siapa ni?” suara di ujung sana lembut tapi tegas.
“Halooo, sapa sih? Gue tutup ni.” Jawabnya karena aku masih diam menimbang.
“Halo Weny, Dion nih.” Jawabku memutuskan menyabung nasib.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd