Nada ke-2 : Interval
“Satu lagu lagi ya.” Ucapku sambil menunjukkan jari telunjukku pada si gitaris band bocah SMP yang tengah bermain dari pintu yang kubuka sedikit. Tanda yang biasa aku lakukan untuk mengingatkan kalau waktu sewa studio mereka sudah habis.
Aku mengawali hari baru ini dengan
mood yang bagus. Bagaimana tidak? Salah satu komponen grup akustikku telah aku dapatkan. Dan entah mengapa, aku punya firasat baik hari ini. Akan kucoba mengunjungi Pong cafe. Semoga disana telah menunggu anggota keduaku. Dengan sudah adanya Nadila sebagai gitaris, sepertinya aku akan fokus pada vokalis bersuara
Alto. Orang-orang ini harus segera terkumpul. Aku tidak ingin nantinya waktu latihan hanya sedikit dan tidak bisa maksimal untuk tampil dalam kompetisi itu.
Suara yang teredam dari dalam studio itu pun tak terdengar lagi. Disusul dengan satu per satu bocah yang masih mengenakan seragam itu keluar dari dalam sana.
“Berapa bang?” tanya salah satu dari mereka.
“Tiga puluh.”
Kemudian mereka terlihat merogoh saku masing-masing, mencari uang untuk mereka gabungkan.
“Nih bang.” Dia yang pertama bertanya tadi menyerahkan beberapa lembar uang kertas dan empat recehan lima ratusan.
Dengan cepat aku hitung lembaran uang lima ribu, dua ribu, dan seribu itu.
“Yak.
Thanks ya.”
“Yo i.” Ucapnya, agak songong. Sambil menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu berjalan menuju pintu.
Sekian detik setelah bocah terakhir itu keluar, seorang gadis yang aku nantikan datang dari balik pintu yang terbuka itu.
“Halo, mas,” sapa Nadila, yang sekarang mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans.
“Eh, halo, Nad.” Aku beranjak dari tempatku dan menghampirinya. “Sendirian aja?” Kami berjabat tangan.
“Ah, enggak kok, mas. Ini sama temen,” Nadila menolehkan kepalanya kearah pintu tadi. Dan tak lama setelahnya, seorang gadis berambut pendek masuk dengan langkah yang terlihat malu-malu. Parasnya ayu, bahkan sekarang aku dibuatnya menahan nafas saat senyum manisnya itu diberikan saat mata kami bertemu.
“Viny, kak.” Gadis bernama Viny itu mengulurkan tangannya. Tak lama aku sambut tangan halusnya itu, memberikan jabat tangan.
“Reza,” aku juga berikan senyum hangat untuknya. “Ini Nad anggota kedua?” tanyaku antusias pada Nadila yang sekarang ada di sampingku. Sesaat kemudian aku kembali menoleh ke Viny, dan terlihat jelas ekspresi heran dari wajahnya.
“E-eh? A-“
“Ah, enggak, mas hehe. Dia kesini nemenin aku doang. Kita kan satu kos nih, jadi ya aku biasanya nebeng kalau jam selesai kuliah kita bareng kayak sekarang,” jelas Nadila.
“Oohh.”
Jelas aku tidak tahu apa-apa soal temannya ini. Nadila, lewat pesannya tadi hanya bilang bahwa dia mau mampir kesini selepas kuliah.
Sebentar setelahnya, aku mengetahui kalau gadis bernama lengkap Ratu Vienny Fitrilya ini lebih suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan seni rupa, sejalan dengan jurusan yang ditempuhnya saat ini, Desain Komunikasi Visual. Namun dia juga suka musik, Viny sedikit bercerita ayahnya sering memainkan lagu-lagu dari
Mr.Big di rumahnya sejak kecil, bahkan sampai sekarang. Sayang sekali, padahal gadis
fashionable yang ada di hadapanku ini cukup menarik. Tapi aku juga tidak bisa memaksakannya. Grup ini sedang membutuhkan vokalis, bukan desainer. Belum, aku rasa.
Sementara itu, Nadila Cindi Wantari, aku cukup takjub dengannya yang ternyata sedang menempuh masa kuliahnya di jurusan Hubungan Internasional. Sedikit cerita, dulu aku sangat ingin kuliah di jurusan itu. Gadis asli Bogor ini memasuki semester ketiganya, sama seperti gadis Jogja yang duduk disampingnya itu.
“Gimana mas perkembangannya?”
“Anggotanya maksudnya? Emm... ntar malem sih gue mau mampir ke Pong Cafe,” jawabku sambil meletakkan dua gelas air putih di meja.
“Lo tau tempatnya?”
Aku meraih kursi duduk lalu meletakkannya di seberang dua gadis berumur 21 tahun itu.
“Oh, tau mas. Deket kosku itu. Tapi... emang disana ada
live musicnya juga, ya?”
Aku yang sudah duduk ini terdiam, Nadila menatapku heran. Sementara Viny hanya
plonga-plongo, lalu memilih mengambil segelas air itu untuk diminum.
“Lho?”
“I-iya, soalnya aku kesana kemarin Senin. Dan enggak ada yang tampil.”
“Ada, Nad...” Bantahku padanya. “Emang lo jam berapa kesana?”
“Jam enam, hehe.”
“Yaelah. Disana kan mulai ada
perform jam delapan.”
“Oohh, hehehe.” Nadila nyengir, malu. “Yaudah, mau aku temenin?”
Aku agak mengangkat alis.
“Mau?”
Dia mengangguk cepat.
“Boleh.” Jawabku. “Viny mau ikut sekalian?”
“Hah? Emm...”
Viny menggeleng cepat.
“Enggak, kak. Aku nanti ada kerja kelompok di kampus,” jelasnya.
“Ooh, yaudah deh, santai. Eh, bentar ya gue ngingetin ini dulu.”
Aku yang sempat melihat jam dinding itu lantas mendekati pintu studio, dan memberi isyarat pada band yang sedang latihan itu setelah membuka pintunya.
Sayang Nadila dan Viny harus beranjak tak lama setelahnya. Viny kedatangan tamu di kost, dan mau tidak mau, Nadila juga harus ikut karena berboncengan.
***
“Halo?”
“Halo, Nad. Gerbangnya warna item kan? Gue di depan, nih.”
“Ah, iya mas. Bentar aku turun.”
“Oke, siap,” aku menutup panggilan
LINE dengan Nadila.
Sesuai janji, aku menjemput Nadila dan akan pergi ke Pong cafe. Setelah tadi sore sempat bertemu dengan mas Rangga, dia berkata kalau ada satu
performer perempuan disana. Sama seperti Nadila, sepaket gitaris-vokalis. Tentu saja antusiasmeku langsung mengajak raga ini untuk meluncur ke lokasi itu. Akan lebih baik juga sebenarnya bila Nadila bukan satu-satunya gitaris di grup ini nantinya. Itu pun jikalau gadis ini mau bergabung. Yah, walaupun mas Rangga tidak memberikan informasi yang detail. Nama, misalnya. Namun dengan jadwal
perform gadis itu yang bersamaan dengan rencanaku untuk datang ke Pong cafe, aku rasa memang dia jodoh untuk grup ini.
Tak berselang lama, Nadila muncul dari balik gerbang yang dibukanya. Jaket hitam dengan corak kuning emas dan celana jeans dia kenakan untuk badan mungilnya.
“Ehehe, nunggu lama, mas?” tanyanya dengan senyum manis yang datang setelahnya. Nadila membiarkan wajahnya telanjang tanpa
make-up, begitupun dengan bibirnya yang tidak terbalut
lipstick. Tentu saja, kami bukan akan mendatangi kondangan.
“Ah, enggak.
Cuss.”
“Okee!” Nadila lantas mengenakan helm bogo warna merahnya.
***
“Nad.”
“Iya, mas?”
“Katanya temen gue nih, yang
perform hari ini cewek. Mirip lo juga. Gitaris-vokalis gitu.”
“Oh iya? Keren dong. Ntar bagi tugas aja main gitarnya, hehe.”
“Boleh, itu kalau si dia ini mau ikutan ya.”
“Ye, pesimis, mas?”
“Err... bukan gitu...”
“Ahaha, ya ntar aku bantu buat ngomongnya. Biar cepet juga kita ngumpulnya kan. Ini kalau dia gabung, tinggal cari dua lagi kan, ya? Maaf ya mas, aku enggak punya kenalan yang bi-eh mas, belok kiri!”
“Eh?!”
Aku reflek menghentikan laju motor ini. Beruntung jalan ini sepi dan di belakang kami tidak ada kendaraan lain.
“Ehehe, maaf, maaf. Puter balik aja, mas. Udah deket kok,” Nadila menepuk-nepuk bahuku, sambil terkekeh.
“Hadeehh, iya bentar.”
Kini kami sudah berada di jalan yang benar (?)
Dan benar kata Nadila, cafe itu kini ada di depan mata. Sederet sepeda motor telah terparkir rapi, terlihat juga hampir semua meja telah terisi dari deretan jendela yang terpampang sebagai dinding depan cafe ini. Begitu kami masuk melewati pintu kaca, panggung kecil di pojok kanan ruangan yang cukup lebar ini masih belum dihiasi dengan
performer yang kami nantikan, namun
stand mic dan
amplifier terlihat sudah siap disana. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Jujur, aku mulai cemas.
Nadila dan aku memilih satu meja yang berjarak cukup jauh dari panggung kecil itu, beberapa meja yang kosong memang hanya ada di sekitar situ.
“Nad, kok enggak ada ya...?”
“Mas Reza boongin aku ya...” Nadila mengangkat satu alisnya.
“E-eh?! Enggak kok enggak. Tunggu deh aku tanyain.”
Tak lama, seorang pelayan datang dan memberikan buku menu untuk kami.
“Mas, ini gak ada
live music ya?” Tanyaku.
“Oh, ada kak. Bentar lagi. Yang main masih di jalan katany- oh itu tuh udah dateng,” pelayan itu menunjuk kearah pintu, dan sontak mata ini ikut melihat kearah yang ia tunjuk. Sesosok gadis yang menjinjing tas gitar itu menjadi kelegaan yang aku dapati. Sesaat aku mengangguk antusias kearah Nadila, dan dia memberiku senyum kecil dan anggukan.
Berbarengan dengan kami yang selesai memesan, gadis di panggung itu siap untuk tampil.
“Selamat malam semuanya, maaf telat tadi macet, hehe,” sapanya sambil melihat sekitar. Mata kami bertemu sekilas, aku sempat melihat parasnya yang ayu. Gadis berambut sebahu itu kurasa bukanlah gadis Jawa.
“Oke, langsung aja ya, daripada kelamaan. Selamat datang di Pong cafe semuanya. Lagu pertama, EndahNRhesa,
When You Love Someone,” dan senar-senar gitar
Gibson Hummingbird Cherry Burst itu mulai ia petik.
Intro dengan permainan
fingerstyle gadis ini rapi dan bersih. Satu poin ditambahkan.
“
I love you but it’s not so easy~
To make you here with me~”
I wanna touch and hold you forever~
But you’re still in my dream~”
Aku tersenyum lebar. Sepertinya satu slot anggota di grup ini akan segera terisi. Memang dia bukanlah gadis bersuara
alto yang aku cari. Namun
timbre suaranya itu bisa mewarnai vokal grup ini nantinya. Range vokalnya pun masih belum bisa aku pastikan, entah itu dibawah Nadila, atau bahkan bisa lebih tinggi.
“When you love someone~
Just be brave to say~
That you want him~
To be with you~”
Petikan senar yang rapi dan bersih itu benar-benar melengkapi vokalnya yang merdu. Baiklah, aku akan mengajaknya bergabung.
“Ehe, gimana, Nad? Masuk gak nih?”
“Enggak,” jawab Nadila sinis, sambil menggeleng. Dia bahkan tidak menatap mataku dan memandang kearah yang berlawanan dengan panggung itu.
“Eh? Lu kenapa?"
Aku merasakan satu hal yang aneh pada Nadila,
moodnya tiba-tiba saja terasa tidak seriang tadi.
“Hhh... mas. Jangan ajak dia gabung. Aku enggak mau urusan sama dia lagi.”
“H-hah? Maksud lo ap-“
“Pokoknya, kalau dia sampai gabung, aku
out. Titik.”
Tatapan Nadila serius. Dan sekarang aku malah bingung, tentang hubungan Nadila dengan gadis itu. Apakah mereka pernah berseteru?
“Eh eh, Nad.
Slow... Oke, gini dulu. Jelasin. Lu ada masalah apa sama cewek itu?”
“Udah, pokoknya ada masalah. Terserah mas Reza deh sekarang. Aku pulang duluan, maaf. Udah enek liat dia,” tiba-tiba saja, Nadila berdiri, dan beranjak dari tempatnya.
“Nad. Nad, oi!”
Tanganku tidak sempat meraih lengan yang ia masukkan kedalam saku jaketnya. Aku yang malah bingung sendiri itu pada akhirnya ikut beranjak juga dan berhasil menangkap tangan kirinya ketika sudah ada di luar cafe ini.
“Nad!”
“Sinetron banget sih anjir...” batinku.
“Apasih mas?! Kan aku udah bilang, terserah mas Reza mau gimana. Tapi kalau sampai dia gabung, aku keluar.”
“Enggak! Gue mau lo berdua ada di grup ini.”
“Hhh... maaf mas, itu enggak mungkin.” Nadila menggeleng, dan melepaskan cengkraman tanganku yang tidak terlalu erat.
“Plis... Nad, kalau dia mau gabung, gue juga mau lo
stay.”
“Enggak.”
Sejurus setelahnya, ia menghampiri tukang ojek berjaket hijau yang ada di pinggir jalan. Sepertinya memang sejak tadi Nadila sudah memesan ojek
online itu. Dan aku menghela nafas sambil terdiam. Nadila perlahan menghilang dari pandanganku bersama ojek itu. Aku memilih tidak menghalangi atau mengejar ojek itu. Kalian bisa tahu alasannya, ya.
Kini aku mulai berpikir. Tidak mungkin grup ini bisa berjalan nantinya jika saja ada anggota sedang bermasalah seperti ini. Dalam keinginanku, gadis itu akan tetap aku ajak bergabung. Dan jika memang dia mau, sepertinya aku harus ikut campur dalam ‘masalah’ mereka, yang sebenarnya aku masih belum tau itu seperti apa. Aku tidak mau kehilangan Nadila, begitupun juga melewatkan kesempatan menggaet gadis ini.
***
“H-hai...” Sapaku pada gadis ini saat dia selesai merapikan gitarnya.
“Siapa, ya?”
“Ah, gue Reza Wardhana. Dari studio musik Melodia,” aku mengulurkan tangan.
“Oh, iya. Aurel. Perlu apa ya, kak?” Dia menyambut uluran tanganku. Raut wajahnya bingung, tentu saja.
“Gue, ada penawaran...” Aku mengambil brosur dari tas kecilku. “...Ini, ada kompetisi grup akustik. Dan gue mau lo gabung di grup akustik yang lagi gue kumpulin orangnya.”
“Bareng cewek tadi itu, kak?”
Aku menghela nafas, mataku masih menatap kedua mata belonya itu.
“I-iya. Nadila ada. Lo kenal?”
“Kenal. Dulu... kita pernah bikin duo.”
“H-hah?”
Bersambung...