Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Paranada [Nada ke-6]

Status
Please reply by conversation.
take your time hu
kita disini setia menunggu
 
“Nad?”

“Hmm.” Jawaban dan respon yang sama darinya.

“Gimana nih?”

“Apanya?”

“Ya grup akustiknya.”

Nadila terdiam. Dan tak lama, ia meletakkan gawainya.

“Yaudah sih kalau susah nyari cewek, pake aja rencana yang satunya. Udah, kelar, besok bisa latihan.”

“Hhh... ya, tapi gimana ya...”

“Ya... Terserah mas Reza sih. Aku ngikut aja.”

Nadila kembali berkutat dengan gawainya.

“Gue ngajak Aurel ya?”

Gadis didepanku ini terdiam. Dia tidak merespon pertanyaanku tadi, hingga selang beberapa saat, dia menghela nafas pelan, lalu menggeleng.
 
Nada ke-4 : Anggota Kedua



“Ya ampun, Nad Nad... gak gitu juga sih sebenernya... kan bisa lo omongin aja baik-baik...”

“Hhh... y-ya...”

“Harusnya kan lo jadi cewek... jangan... gampang gitu lah. Apalagi sama gue yang baru ketem-“

“Ya mas Reza kenapa enggak nahan diri juga tadi?”

“Emm... y-ya... cowok mana yang tahan Nad kalau kayak tadi... baek baek lho enggak kebablasan...”

“Ya kan gara-gara aku pukul!”

“Hush! Hush! Udah udah... oke. Kita lupain soal tadi, oke? Intinya... lo minta maaf, mau balik gabung lagi, dan lo udah nemu personil. Ya kan?”

Gadis yang sudah berpakaian lengkap lagi itu mengagguk sambil mengelus-elus lengan kirinya.

Pagi yang aneh. Aku masih tidak habis pikir apa yang ada di kepala Nadila sampai-sampai dia tiba-tiba saja datang dan nyaris membuatku melakukan hal yang tidak tidak, hanya untuk minta maaf...

Dan sekarang aku terpaksa menutup studio karena kejadian itu dan perutku terasa sakit sekarang. Si mungil ini punya pukulan yang cukup kuat juga.

“Dah, deal?” Aku mengulurkan tangan padanya yang duduk diseberangku.

“Hhm..” Dia menyambut tanganku.

“Oke. Lo udah bilang ke dia tapi?“

“Belum.”

“Lah gimana sih?!”

“Ya kan aku doang enggak bisa ngajak. Mas Reza ikut bilang juga lah biar dianya yakin!” Jawab Nadila, dengan mukanya yang tidak santai.

“Weits, selow dikit napa oi. Iya iya ayo ke tempat dia.”

Dan begitulah, sekitar pukul 11 siang ini, kami berangkat menuju kos teman Nadila itu, si ‘calon’ anggota kedua. Dari video covernya yang Nadila sempat perlihatkan padaku tadi juga, memang gadis itu bisa cocok dengan suara Nadila. Apalagi katanya dia juga teman dekat gadis ini, akan lebih mudah nantinya untuk beradaptasi.

***
Kami sampai di sebuah kos putri, tempat teman Nadila itu berada. Kini kami duduk di sofa di ruang tamu, menunggunya.
“Kemarin kemarin kata lo enggak punya temen yang bisa diajak gabung?”

“Diem, mas.”

Aku langsung diam, wajahnya masih saja tidak santai bahkan baru dilihat dari samping.

“Halo,” sambut seorang gadis manis berambut panjang yang datang tak lama setelahnya. Nadila sudah menghubunginya tadi.

“Reza.”

“Rachel,” gadis itu memperkenalkan diri sembari berjabat tangan dengaku, dia lalu duduk di samping Nadila.

“Jadi... ada apa ya ini? Hehe,” Rachel memulai obrolan tanpa basa-basi.

Nadila langsung melirik kearahku.

“Oh, iya, Nadila belum bilang ya? Jadi gini, gue dari Melodia, studio musik. Gue baru mau mulai bikin project grup akustik gitu, nantinya bakal ikutan lomba. Hadiahnya lumayan juga, rekaman sama video klip. Lagian kayaknya grup akustik yang cewek semua gitu masih jarang kan.”

“Hah?”

“Iya, Nadila yang kasih tau gue, katanya lo bisa main gitar sambil nyanyi? Emm.... gini deh, ada gitar gak? Coba deh mainin satu lagu, hehe.”

“Ya ampun mas, Nadila mah tukang boong. Aku enggak bisa main gitar sambil nyanyi, haha.”

“Ah, enggak ah. Siapa bilang?” bantahku.

“Aku udah ngasih liat video cover di insta. Mas Reza tertarik, jadi dia pengen ajak kamu gabung,” kata Nadila.

“Ahahaha... aduuhh... Emm... gimana ya...” Rachel menggaruk-garuk ujung kepalanya. “Udah ada berapa emang yang gabung?”

“Nih, si mungil doang,” jawabku. Dan sepertinya Nadila tidak suka dengan sebutan itu. Pandangannya kembali tajam.

“Hhh... itu... btw kapan ya lombanya?”

“Sekitar sebulan lagi. Emm... tanggal 10.”

“Eh, iya?”

“Kenapa?”

“Tanggal itu... aku ada KKL, mas...”

“Aduh...”

“Serius?” Tanyaku.

“Ih, serius, mas. Bentar, bentar.” Rachel mengeluarkan smartphone-nya, terlihat sibuk dengan jari-jarinya. “Nih, grup angkatanku, mas.”

Gadis itu memperlihatkan layarnya yang menampilkan notes tentang KKLnya yang memang dimulai tanggal 10 bulan depan.

“Ijin lah.”

“Mas, gak usah ngawur. Kalau dosenku gampang sama enggak bakal pengaruh ke nilai mah aku juga enggak bakal ikut.”

Yah... kalau sudah begini, mau bagaimana lagi?

“Hadeehh... Yaudah lah...”

“Maaf, ya mas, Nad. Daripada ntar malah jadi beban, kan. Hehe...”

Nadila menahan dagunya dengan kedua tangannya.

“Ahaha... yaudah yaudah. Enggak apa-apa. Kita juga sih yang salah enggak tanya dulu ke lo lewat chat.”

“Hehehe... iya, mas...”

Sesaat setelahnya, aku menoleh kearah Nadila. Dia menaikkan kedua alisnya, lalu menggerakkan kepalanya ke kiri.

“Hhh... yaudah deh, Hel, kita pamit dulu aja, ya.”

“Lah. Yaampun, udah? Maaf ya...”

“Ahaha, iya iya. Eh tapi, besok besok dah kalau gue butuh lo, buat kolaborasi gitu bisa kali ya join?”

“Ahahaha, iya mas, boleh. Nadila ada nomerku kok.”

Nadila menaikkan jempol kanannya padaku, kemudian dia mengekoriku keluar setelah melambaikan tangan pada temannya itu.

“Hhh... Lo sih enggak bilang ke dia dulu,” aku mengenakan helm dan langsung naik ke motor.

“Lah, mas Reza nyalahin aku?”

Aku menoleh kearah Nadila yang masih berdiri disampingku namun sudah mengenakan helmnya.

“Eng-enggak... yaudah kita makan aja dulu. Lo laper kan? Gue bayarin.”

Nadila tidak menjawab, dia hanya membuang muka lalu duduk dibelakangku.

“Nad?”

“Iyaaaa... ayo makan.”

Ctak!

Dia membenturkan helmnya ke helmku.

“Ish, apasih, Nad?!”

“Enggak apa-apa.” Jawabnya singkat.

Aku lalu menghela nafas, kemudian memacu sepeda motor ini meninggalkan kos itu.

***
“Selamat datang kak, silahkan dipilih,” kata seorang pelayan yang mengenakan pakaian serba hitam, topi dengan warna senada dengan itu, dan celemek warna hijau. Seragam dari warung makan ini, kurasa.

Mataku menyusuri menu yang diberikan pelayan perempuan tadi, dia masih menunggu dengan notes kecil yang digenggamnya. Nadila juga sedang sibuk dengan menunya. Sebuah warung ayam geprek, meja-mejanya di-setting outdoor, dengan payung disetiap mejanya. Kami berdua baru sekali kesini, kebetulan kami menemukannya saat perjalanan tadi.

Suasana siang hari di warung ini terbilang sepi, hanya ada aku dan Nadila, serta satu meja yang diisi seorang laki-laki. Menyisakan 4 meja kosong.

“Geprek mozzarella,” ucap Nadila, yang masih terlihat membaca menu yang ia letakkan di meja.

“Gue juga deh.”

Si mungil itu melirikkan matanya keatas, tepat kearahku.

“Kenapa sih...”

“Minumnya, kak?”

“Es teh,” ucapku dan Nadila berbarengan.

Hening.

Terjadi saling pandang antar kami bertiga.

“O-oke... hehehe. Kalau pacaran emang kompak ya,” si pelayan itu menuliskan pesanan kami.

“Eh, eng-enggak kok. Kita enggak pacaran,” ucapku meluruskan. Sementara Nadila hanya diam sambil menggulung bibirnya.

“Ooohh, hehe, yaudah. Ditunggu ya kakak kakak,” pelayan bergingsul itu lantas mengambil menu itu lalu berjalan meninggalkan kami.

“Nad-“

“Hmm?” Nadila tak menoleh kearahku, matanya fokus ke layar gawainya.

“Gi-“

“Eh, kak kak. Maaf, hehe... level berapa ya?”

“Hhh... tiga,” jawab Nadila, yang masih sibuk dengan smartphonenya.

“Kakaknya?”

“Aku... level 1 aja.”

“Ih? Enggak sekalian 3? Sengaja biar enggak sama lagi ya? hehe,” Pelayan itu melirikku sambil tersenyum kecil.

“Enggak.”

Iya, aku sengaja...

“Hehe... yaudah, ditunggu ya kak, maaf kelupaan.”

Kembali dia meninggalkan kami.

“Nad?”

“Hmm.” Jawaban dan respon yang sama darinya.

“Gimana nih?”

“Apanya?”

“Ya grup akustiknya.”

Nadila terdiam. Dan tak lama, ia meletakkan gawainya.

“Yaudah sih kalau susah nyari cewek, pake aja rencana yang satunya. Udah, kelar, besok bisa latihan,” Ia mengambil selembar tisu di meja ini, lalu mengusap tangannya dengan itu.

“Hhh... ya, tapi gimana ya...”

“Ya... Terserah mas Reza sih. Aku ngikut aja.”

Nadila kembali berkutat dengan gawainya, begitupun aku, hingga keheningan tercipta diantara kami berdua karena sibuk dengan layar masing-masing. Beberapa menit diam di dunia masing-masing, aku berucap padanya.

“Gue ngajak Aurel ya?”

Gadis didepanku ini masih diam. Dia tidak merespon pertanyaanku tadi, hingga selang beberapa saat, dia menghela nafas pelan, lalu menggeleng.

“Nad...”

“Enggak.”

“Hei... katanya lo mau ngikut gue?” ucapku halus.

“Tapi mas... daripada ntar grup ini enggak jalan gara-gara aku sama dia, mendingan kami enggak disatuin kan?” Dia kembali menatapku serius, gawainya sudah tergeletak lagi di meja.

“Lho, justru kalau kalian disatuin, grup ini makin kuat k-“

“Kalau kita enggak ada masalah.”

“Nah makanya, ayolah. Cerita ke gue. Gue bantuin nyelesaiin masalah lo berdua.”

“Hhh...”

Nadila menghela nafas berat, lalu beranjak dari tempatnya menuju toilet yang ada di satu bangunan dengan dapur warung ini. Ia meninggalkan tas kecil dan gawainya.

Aku mengacak-acak rambutku sendiri dengan kedua tanganku, dan berakhir dengan merundukkan kepala yang ditahan kedua tanganku.

“Ya sudah... mau gimana lagi...”

“Kak.”

Aku mengangkat kepala. Ternyata pelayan tadi. Dia membawa dua gelas es teh berukuran jumbo dengan sebuah nampan.

“Ini ya es tehnya,” satu per satu ia letakkan gelas itu.

“Makasih.”

“Kakak ceweknya mana? Ngambek ya?”

“Ssstthh!” Aku memberi gerakan tangan untuk ‘mengusir’nya.

“Oh, hehe. maaf.”

Pelayan yang terlihat lebih muda dari Nadila itu lantas pergi. Aku menggeleng cepat, kemudian langsung mendinginkan badan dengan segarnya es teh jumbo ini lewat sedotan. Kembali aku buka smartphone, menjelajahi dunia twit**ter sembari menunggu Nadila dan ayam geprek yang belum datang.

Namun selang beberapa menit hingga pesanan datang, Nadila masih belum kembali dari toilet.

“Apa dia boker ya...?” batinku sambil masih menggulung-gulung layar timeline twit**ter.

“Eh, boker apa coli...”

“Tapi tadi pagi udah-“


Aku menggeleng cepat. Tiba-tiba saja visual Nadila yang telanjang dan kejadian pagi tadi muncul di pikiranku.

“Ah, boker kali ya. Pantes mukanya dari tadi enggak enak. Nahan-nahan pasti...”

Batinku berpikir positif.

Ayam geprek mozzarella yang sudah siap dihadapaku masih aku diamkan. Sepertinya aku akan menunggunya kembali.

“Ehm.. cek cek...”

Aku menoleh kearah kanan dekat dapur, si pelayan tadi sudah menggengam sebuah mic, dan disana ada sepaket peralatan, sepertinya untuk karaoke.

“Yah, kayak biasanya. Daripada sepi diem-diem, mending nyanyi bareng ya kan?”

Aku menelan ludah.

Dia terlihat berkutat sejenak dengan laptop di meja itu, kemudian tak lama, suara iringan Midi terdengar dari amplifier mini yang juga ada disana. Dan lagu ini, tidak salah lagi, Love of My Life dari Queen.

“Yak, yang lagi patah hati, ehm. Bisa ikut nyanyi ya.”

Aku yakin dia melirikku setelah berdehem tadi. Entah apa maksudnya, tapi aku sekarang lebih tertarik untuk memperhatikan bagaimana ia bernyanyi.

“Love of my life~
You’ve hurt me~”


Aku menahan nafas. Mataku membulat.

“You’ve broken my heart~
And now you leave me~”


Gawai yang semula aku genggam kini aku letakkan di meja. Gadis itu sepenuhnya telah mencuri perhatianku. Perasaan ini, perasaan yang sama seperti saat aku bertemu Nadila waktu itu. Sepertinya Tuhan masih memintaku untuk tidak menyerah sekarang, gadis bersuara alto yang sedang aku cari kini ada dihadapanku.

“Mas.”

Aku menoleh ke kiri, ternyata Nadila yang sudah kembali. Salah satu alisnya naik. Aku langsung menggoyangkan kepalaku ke kanan, mengisyaratkannya untuk ikut bernyanyi bersama gadis itu. Aku yakin dia merasakan apa yang aku rasakan. Nadila tersenyum tipis, kemudian ia melangkah mendekati gadis itu. Dan tepat setelah Nadila mendapatkan micnya dan interlude singkat lagu itu selesai, gadis itu kembali berdendang.

“You will remember~
When this is blown over~
And everything's all by the way~”


Kemudian, Nadila yang mengambil potongan lirik selanjutnya.

When I grow older~
I will be there at your side to remind you~
How I still love you~


Dan pada bagian akhirnya, mereka berdua menyanyikannya berbarengan, namun gadis itu mengambil suara kedua, sedangkan Nadila dengan nada tingginya.

“I still love you~”

Aku menggelengkan kepala. Bukan karena mereka tidak kompak, malah aku heran dan kagum. Dengan spontan, mereka berdua bisa mengkolaborasikan suara, dan itu sudah cukup bagus bagiku. Aku sudah gila jika menyianyiakan kesempatan untuk mengajak gadis bergingsul itu.

***
“Fransisca Saraswati, panggil aja aku Sisca, kak.” Ucapnya memperkenalkan diri padaku.

“Lo, udah sering nyanyi disini gitu?”

“Ahaha, ya... kalau pas lagi sepi kayak gini aku biasanya iseng ngisi nyanyi gitu, kak, hehe. Kan ini ceritanya aku kerja part-time kan, kebetulan ini warung punya temen gereja aku. Dia emang udah nyiapin alat-alat karaoke sama sound gitu disini, tapi udah gak ada yang ngisi. Ya... gitu, hehe.”

“Kuliah? Semester berapa?”

“Iya kak, hehe, aku maba.”

“Ooohh...” Aku mengangguk, diikuti juga oleh Nadila.

“Terus, ini... ada apa ya, kak?”

“Ini.” Aku menyodorkan brosur perlombaan itu, ditambah dengan penjelasan soal rencanaku padanya. Gadis bernama Sisca ini beberapa kali mengangguk mendengar penjelasanku, dan kini dia terlihat sedang berpikir sembari melihat kertas brosur itu. Nadila sejak tadi hanya diam, sepertinya dia berdoa, harap-harap cemas. Sama denganku.

“Gimana, Sis?”

Dia meletakkan brosur itu, memandangku lalu tersenyum lebar.

“Aku ikut,” Sisca memberikan tangan kanannya.

Aku yang juga ikut tersenyum itu menyambut tangannya, dan dengan goyangan tangan kami yang saling berjabat, resmi sudah. Anggota kedua, Fransisca Saraswati, bergabung.

z6sOtxRe_t.jpg


Nadila yang terlihat gembira itu juga berjabat tangan dengannya setelahku. Jujur, aku lega melihat wajahnya yang ceria setelah hampir setengah hari ini gadis itu terlihat muram.

“Ehehe... oh iya kak. Katanya kakak butuh minimal 4 orang kan?”

“Iya. Kenapa emang?”

“Aku ajak kenalanku ya, dia juga pinter nyanyi. Satu kos sama aku.”

“Hah? Serius?!”

“Iya. Masih bisa kan?”

“Masih! Kapan bisa ketemu?” Tanyaku antusias.

“Err... sekarang bisa sih kak, dia ada di kos jam jam segini.”

“Yaudah ayo sek-“

“Eh eh, bentar kak. Masak ini kerjaan aku tinggal? Lagian tuh, ayam gepreknya juga belum dimakan.”

Aku menoleh kebawah. Oh iya, benar juga. Aku bahkan lupa dengan makan siangku itu.

“Ahaha, yaudah. Kalau bener jadi, tunggu aku aja kak. Bentar lagi shiftku habis sih. Sekalian nunggu kalian makan dulu aja, oke? Nanti kita ke kos aku barengan.”

Sepertinya aku dan Nadila sepakat dengan Sisca. Dan akhirnya, Sisca pamit kembali ke kerjaannya karena terlihat beberapa orang datang kemari, sementara aku dan Nadila menikmati ayam geprek yang sepertinya sudah sejak tadi menunggu untuk disantap.

“Eh Nad.”

“Apa.”

“Tadi lo boker?”

Plak!

Beruntung aku sempat menangkis tangannya itu dengan lenganku. Jika tidak, aku rasa pipiku sudah merah sekarang.

“Aku lagi makan, ish!”

“Eh eh, i-iya maaf. Enggak usah gitu juga kali tangannya. Kan gue pengin tau aja.”

“Kepo. Udah makan aja. Ada lah.”

“Tuh kan... coli pasti...”

***
Setelah kami menunggu Sisca menghabiskan shift dan dia sudah berganti pakaian, kami bertiga akhirnya berangkat menuju kos Sisca yang katanya tidak jauh dari sini. Setelah sekitar 10 menit mengikutinya yang memakai jasa ojek online, aku dan Nadila sampai di sebuah kos bertingkat dua. Sisca mempersilahkan kami menunggu di ruang tengah, sementara dia naik keatas, memanggil temannya sekaligus menaruh tas yang ia bawa.

Dan tak lama berselang, Sisca kembali, dengan seorang gadis yang kurasa terlihat ada keturunan chinese. Gadis berambut sebahu dengan poni samping itu lantas tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya saat sampai di depanku.

fXubKiDf_t.jpg


“Rona,” ucapnya memperkenalkan nama.


Bersambung...
 
Buset ini yang update rame bener malam ini

Tapi gapapa, Ane suka


Btw, adegan pagi bareng Nadila nya kok di skip hu :fiuh:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd