Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Paranada [Nada ke-6]

Status
Please reply by conversation.
Buset ini yang update rame bener malam ini

Tapi gapapa, Ane suka


Btw, adegan pagi bareng Nadila nya kok di skip hu :fiuh:
Adegan nadila mana nih aduh :(( :((
Kentang gilak wkwkwkwk
Hehe, stok kentang saya dirumah baru banyak nih, hehe :(

Adegan pagi udah di part 3 aja, hehehe

Siscanya kepo, tapi belum ngegas yak :tkp:
Hehe, belum keliatan

Dikira nadila sangean kaya lu apa :galak::galak:
Ya maaf kak :((

Nadila coli membuatku berfikir keras, mas~
Kepalaku juga jadi keras. :bingung::bingung:
 
Akhirnya lanjut
Hehe

Kentang dikit hu, tapi gk apa lah
 
Nada ke-5 : Major 7th



“Ehmm...” Gadis itu mengangguk setelah mendengar penjelasan lebih lanjut dariku mengenai kompetisi yang akan datang. Rona Anggreani, nama lengkap mahasiswi fakultas seni di universitas yang sama dengan Sisca. Dia terlihat manis, apalagi dengan gingsul yang membuatnya semakin menawan saat tersenyum lebar. Dia sebenarnya seumuran denganku, tapi entah kenapa dia lebih nyaman menambahkan ‘mas’ di depan namaku.

“Sibuk ngapain sekarang?”

“Emm, kuliah aja kok mas. Kebetulan enggak ikutan apa-apa, hehe.”

“Nah, kan. Malah lo yang paling nyantai berarti diantara mereka mereka ini kan? Hehe.”

Rona mengelus-elus lengannya. Pandangan bola matanya tidak fokus ke satu arah. Seperti masih menimbang-nimbang keputusannya. Padahal aku sudah membukakan pintu selebar-lebarnya, setelah ia menunjukkan padaku suaranya yang menurutku paling memiliki power diantara Sisca dan Nadila. Dia dulunya adalah vokalis band rock semasa sekolahnya dulu di Pemalang, begitu cerita yang sempat dia katakan tadi.

Memang suara mereka bertiga masih belum harmonis, namun kurasa dengan seringnya latihan bersama semua itu akan baik-baik saja.

“Gimana? Udah ada Sisca juga kan? Kasihan tuh ntar dia gak ada temen, haha,” tawarku lagi.

“Emm...”

“Ayolah, kak Rona. Kesempatan enggak datang dua kali lho, hehe,” ucap Sisca mencoba membantuku meyakinkan temannya itu.

“Lagian juga gue udah cocok sih sama suara lo. Bisa kok ini bagus kalau kalian sering ketemu sama latihan,” lanjutku.

“Emm... ehehe, jadi... ini ya, si Sisca sama ini, mbaknya ini-“

“Nadila.”

“Oh iya, Mbak Nadila-“

“Em, Nadila aja, aku lebih muda, mbak, hehe...” Koreksinya.

“-Ooh, iya iya, Nadila... Jadi... baru... dua ya?”

“Enggak. Tiga sama lo, Ron,” ucapku dengan sedikit terkekeh, memancingnya.

“Hadehh...”

Rona agak merundukkan kepalanya, dengan bibir bawahnya yang ia gigit. Lalu selang beberapa saat kami menunggu, Rona menepuk pahanya, mengangkat kepala, dan mengulurkan tangan. Jujur, senyuman yang ia berikan ini turut membuatku ikut melengkungkan senyum.

“Okedeh.”

Tentu saja aku menyambut hangat uluran tangan itu. Sisca terlihat bertepuk tangan dan bersorak ‘yeeaayy’ setelah melihat prosesi jabat tangan itu. Rona Ariesta Anggreani, anggota ketiga, resmi bergabung.

Dengan begini, tinggal 1 orang lagi. Dan sebenarnya, aku sudah tau siapa yang akan mengisinya. Aku rasa, saatnya aku tegas dengan keputusanku. Aurel tetap akan aku ajak.

“Eh, ngomong-ngomong, nama grupnya apa nih, kak?” Tanya Sisca.

“Ah, nama... belum ket-“

Lah kok...?!

Ucapanku terpotong setelah tiba-tiba saja melihat Aurel lewat di belakang Rona dan Sisca dengan membawa tas punggung juga plastik, sepertinya makan siang yang ia bungkus. Gerak-gerikku ini membuat mereka berdua menoleh ke belakang, dan seperti merasa diperhatikan banyak mata, Aurel yang mengenakan kemeja kotak-kotak motif biru-putih dan celana celana jeans itu berhenti dan menoleh kearah kami yang sedang duduk di sofa. Dari raut wajahnya, tak bisa dipungkiri kalau dia terkejut. Mungkin juga heran. Begitupun aku saat ini.

Sungguh sebuah kebetulan, atau... ini skenario yang telah disiapkan Tuhan, mungkin?

Aku melihat tatapan Aurel tepat kearah Nadila, namun gadis mungil itu sekarang sibuk dengan gawainya dan memasang muka yang kecut.

“Dari mana, Rel?” Tanya Rona.

“O-oh, ini, habis dari kampus ada acara. Ehe... dah ya.”

Buru-buru, dia berjalan cepat masuk kemudian menaiki tangga. Terlihat ia sekali menoleh kearah kami saat melangkah naik.

“Bentar... Tadi itu... namanya Aurel, kan?”

“Iya,” Rona dan Sisca menjawab nyaris berbarengan dan mengangguk.

“Kok kak Reza tau?”

“Ya orang dia anggota keempat kita,” jawabku.

“Hah? Serius?” Sekali lagi, mereka nyaris berbarengan.

“Emang dia bisa main musik, kak?” tanya Sisca.

“Lah dia ngisi di cafe, lho. Main gitar sama nyanyi. Masak lo berdua yang satu kos enggak tahu?”

Dua anggota baruku itu kompak menggeleng.

“Ya... dia soalnya emang baru pindah kemarin sih, kak. Belum ngobrol banyak,” jelas Sisca.

“Kamarnya juga jauhan sama kita berdua,” timpal Rona.

Oh bagus sekali, aku suka kekompakan mereka.

“Oohh...” Aku mengangguk. “Emm... tapi sebenernya belum bener-bener gabung, sih. Gue udah nawarin ke dia. Tapi dianya yang belum kasih jawaban.”

“Kok enggak dihubungin aja?”

“Enggak sempet minta kontaknya, hehe...”

“Yaudah sih, itu. Mau aku panggilin, kak? Biar sekalian dia kasih kepastian sekarang,” tawar Sisca padaku.

“Ah, boleh deh. Tolong ya.”

Setelahnya, gadis itu meninggalkan tempatnya dan berjalan menaiki tangga, sementara Rona tetap disini bersamaku dan Nadila, yang masih saja sibuk dengan gawainya.

“Nadila juga udah pernah ketemu berarti ya sama Aurel?”

Aku memperhatikannya, dan tak kusangka, dia menggelengkan kepala sebagai jawaban pada Rona.

“Oooh, eem, yaudah sambil nunggu nih, mau minum apa?”

“Ah, malah ngerepotin, Ron. Enggak usah, hehe.”

“Serius nih. Nadila mau minum apa?”

“E... enggak usah,” Nadila menggeleng.

“Yaudah deh, aku bawain air putih aja ya.”

“A-ah, iya.” Aku mengangguk, mempersilahkannya beranjak menuju dapur. Sehingga tersisa aku berdua dengan si gadis emosian ini.

“Nad,” Aku menoleh kearahnya, mengajaknya berdialog dan berharap mendapat kontak mata dengannya.

“Apa?”

“Kenapa lo sebenci itu sih sama dia?”

“Hah?” Nadila merendahkan gawainya dan menoleh kearahku.

“Itu si Aurel.”

“Ckh...” Nadila kembali menatap smartphone itu.

“Gini ya. Ini keputusan gue, Nad. Pokoknya gue maunya, gini udah komposisinya. Lo, Sisca, Rona, sama Aurel.”

Nadila tak merespon.

“Mau ya?”

“...”

“Katanya mau ngikut gue? lagian kita udah mau lengkap lho tinggal jalan. Sayang banget kalo enggak dilanj-“

“Ish. Iya. Serah.” Jawabnya ketus.

“Bener nih?”

“Iya. Tapi tetep dia enggak bakal aku anggep disini.”

“Heh, kok gitu?”

Dan Nadila tidak menjawabnya, sampai Rona kembali dengan sebuah nampan yang membawa 4 gelas kosong dan sebotol besar minuman bersoda yang berisi air putih.

“Kak. Kak Reza,” Sisca memanggilku, dengan hanya kepalanya saja yang muncul dari balik dinding.

“Kenapa?”

“Tadi dia bilangnya enggak mau ikut. Gitu.”

“Hah? Serius?”

“Iya,” kini ia menunjukkan seluruh tubuhnya dan berjalan masuk ke ruang tamu ini. “Dia cuma bilang enggak mau ikut. Udah. Pas aku tanyain alesannya, enggak dijawab.” Jelasnya.

“Yah... terus gimana dong?” Tanya Rona, yang juga sedang menuangkan air ke masing-masing gelas kosong itu.

“Hhh... Kamarnya nomer berapa?” Aku berdiri dan menghampiri Sisca.

“Heh! Heh! Mau ngapain?” Dan dia langsung menghentikan langkahku dengan menahan dadaku dengan tangan kanannya.

“Mau ngobrol langsung-“

“Kos cewek kak. Ruangan ini batas buat cowok,” ucapnya sambil menunjuk sebuah kertas peringatan yang tertempel di dinding.

“Hadeehh. Yaudah tolong panggilin lagi dong suruh kebawah. Dicariin gue gitu.”

Sisca menghela nafas pelan, kemudian kembali keatas dengan langkah yang lebih cepat. Sementara aku kembali duduk dan menegak air putih yang dibawakan Rona tadi. Nadila menyusul mengambil gelasnya dan meminum setengah isinya.

“Kuliah?” Rona nyeletuk.

“Hm?”

“Mas Reza kuliah?” Tanyanya sekali lagi, dengan lebih pasti.

“O-oh, iya. Tapi baru cuti.”

“Hah? Kenapa?”

“Emm... Enggak apa-apa sih, hehe. Lagi bosen aja,” jelasku sambil menggaruk-garuk ujung kepalaku.

“Idih, bosen. Bisa gitu ya.”

“Ehehe.”

“Kuliah dimana emang?”

“Di U-“

“Kak Reza. Kayaknya dia bener-bener enggak mau deh.”

“Enggak mau ketemu gue?”

“Iya. Dia bilang makasih buat tawarannya gitu.”

“Oh. Yaudah.”

“Terus gimana dong?”

“Eh, lo ada grup kos gitu enggak?” Tanyaku pada Rona.

“Ada.”

“Nah, ada kontaknya si Aurel kan? Kasih ke gue.”

“Mau ngapain, kak?” Tanya Sisca, yang kini menyusul kami duduk di tempatnya semula.

“Biar gue ajak lagi aja lewat chat. Pokoknya gue enggak mau kalau bukan dia.”

“Weitss, mantap. Hahaha. Eh tapi kan aku belum puny-“

“Dah aku aja kak,” sambar Sisca sebelum Rona selesai bicara.

“Oh iya tuh Sisca udah ada kontak gue. Tolong, ya.”

“Siap,” Sisca langsung mengambil smartphonenya yang sejak tadi tergeletak di meja ini.

“Yaudah gini aja, gue kasih dulu ya lagunya apa aja,” aku mengeluarkan gawaiku dan membuka sebuah catatan yang telah aku buat pada sebuah aplikasi.

“Lagunya... Just the Way You Are, itu lagu wajib, terus... sama ini, AKB48, Heavy Rotation. Satunya nanti bebas kalian deh gue ngikut.”

“Hah!?”

“Bentar-bentar, itu lagu apaan kak, Hebi- he... apa tadi?”

Heavy Rotation. Lah, kalian enggak tau AKB48?”

Dan ketiga gadis ini kompak menggeleng.

***​

Sudah kelima kalinya panggilanku ditolak oleh gadis itu. Bahkan sekarang kontaku sudah diblock olehnya. Namun tetap saja, itu tidak menghentikan niatku untuk menarik gadis itu kedalam grup akustik ini.

Eh, Sis, Ron, gw minta tolong dong” pesanku dalam ruang obrolan berisikan Rona dan Sisca.

“Gmn kak?” jawab Sisca.

“Gini, tolong salah satu dari kalian ngajakin si Aurel keluar ya ntar. Makan kek atau kemana gitu. Pokoknya sampe dia mau. Terus habis itu, kasih tau gue dimana, biar gue samper. Kayaknya emang gue harus ngobrol langsung.” Balasku dengan voice note karena malas mengetikkannya.

“Knp emang kak?”

“Gue diblock keknya”

“Wkwkwkwk”
balas Rona.

“Y udah, ntar kita kabarin lagi kak”

“Oke”

“Paling habis maghrib mas”


Aku akhiri percakapan itu dengan stiker berbentuk jempol.

Kuletakkan kasar handphone itu ke kasur tanpa sprei ini, dan aku merebahkan tubuh menatap keatas. Tubuhku terasa lelah sekali setelah seharian ini tadi berhasil mendapatkan dua anggota sekaligus. Jam dinding itu terlihat menunjukkan pukul 4 sore tepat padaku. Mas Rangga sudah bilang untuk meliburkan saja studio hari ini sehingga aku langsung menutup semua pintu begitu Nadila pamit pulang setelah sampai disini tadi.

Dan tiba-tiba saja, otak kotorku beraksi begitu mengingat si gadis mungil itu. Mataku terpejam, terbayang Nadila yang mengenakan kaos sleeveless ketat yang mencetak payudara bulatnya yang bersembunyi dibalik itu serta tubuh bawahnya yang hanya tertutup celana dalam, mengekspos kedua pahanya yang lumayan berisi dan membuatnya terlihat montok. Terpasang mata sayu dengan wajah yang menggoda darinya yang aku bayangkan terbaring di kasur sambil mengangkat tangannya sehingga ketiak mulusnya ikut terlihat. Celanaku terasa semakin sempit disini, aku bantu si batang yang sudah mulai tegang itu untuk bernafas lega dengan menurukan semua celanaku.

Perlahan aku usap batang kemaluanku itu seiring aku membayangkan menindih badan mungil Nadila dan mulai melumat nakal bibir tipisnya itu, tanganku juga dengan isengnya meraba-raba kedua payudaranya yang pas digenggam. Desahan manja Nadila yang walau hanya aku bayangkan bisa aku dengar dengan penuh nafsu sambil terus mengocok penisku. Ketiak putih bersih yang tercukur itu tak lewat dari jilatan lidahku, sembari aku memilin puting kemerahmudaannya yang mencuat keluar setelah aku menarik kaos juga membuka branya. Mata juga kepalaku tidak lupa dengan betapa menggoda dan menggemaskannya putingnya itu yang berada ditengah payudaranya yang membesar, tepat berbentuk bulat dan lembut saat diremas pagi tadi.

“Aahh... mmpfhh... m-maasshh... hhh...” terbayang bagaimana wajahnya yang begitu menggoda saat memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya saat kuberikan segala rangsangan itu.

Hampir 10 menit berlalu, dan aku sampai pada selangkangan Nadila. Menurunkan celana dalamnya, lalu terlihatlah selangkangannya yang bersih tercukur tanpa bulu. Dengan telapak tanganku, aku usap-usap memeknya yang tembem itu. Wajah gelisah namun merasa nikmat darinya itu benar-benar menggairahkan. Puas dengan sisi luarnya yang sudah terasa basah, aku buka lipatan bibir vaginanya dengan dua jariku, Nadila sudah membuka selangkangannya sendiri. Hingga terlihatlah pemandangan indah dengan warna kemerahmudaannya disana. Aku awali dengan menjilati vaginanya pelan dan membuat Nadila menggelinjang sambil terus mendesah.

“Mmpfh... terus maasshh... hmnghh...”

Desahannya semakin menjadi ketika aku bermain-main dengan klitorisnya. Sedikit aku pilin dan usap pelan, Nadila mencengkeram sprei karena kenikmatan yang ia rasakan. Tubuhnya semakin bergerak tidak karuan ketika dua jariku mulai masuk kedalam lubang itu dan pelan bergerak maju-mundur.

Kocokan pada penisku semakin kencang ketika fantasiku sampai pada menghujam lubang kenikmatan itu dengan penis ini. Sempit, hangat, basah. Semua nikmat dari Nadila itu terasa begitu nyata walau belum pernah sama sekali aku rasakan. Terbayang wajahnya yang berlinang air mata karena rasa sakit saat aku menembus selaput daranya. Namun ekspresinya yang terus memohon agar aku terus melanjutkannya. Desahan dan erangannya semakin kencang, terlihat wajahnya yang agak kesakitan namun juga menikmati keperawanannya yang direnggut olehku. Vaginanya yang sempit serasa memijit dan menggigit.

“Mmpfghh... Mmas Rezaakghh!!”

“Nadilaaaa!”


Aliran sperma itu mulai memuncak, cepat aku menarik celanaku kembali keatas dan,

Crot Crot Crot

Semburan itu tercecer dalam celanaku, sedangkan dalam fantasiku, semua sperma itu tersembur didalam vagina Nadila. Berakhir dengan senyum lebar penuh kepuasan darinya yang terengah hingga payudaranya naik turun. Nikmat sekali memanjakan diri. Nafasku sedikit kacau, keringat juga membasahi bajuku. Rasa kantuk semakin menjadi setelahnya. Perlahan mata ini tertutup, seiring dengan sedikit rasa menyesal karena memakai gadis mungil itu sebagai bahan masturbasi...

Tapi ya gimana...

Enak....

***​

Drrtt... Drrtt... Drrtt...

Drrtt... Drrtt... Drrtt...


Perlahan mataku terbuka, merasakan getaran dari handphoneku, cepat aku mengambilnya. Sebuah panggilan dari Sisca, dan langsung aku angkat.

“Halo-“

“Heh kak, jadi gak sih?! itu kak Rona udah ngajakin makan! Dibales kek!”

“...Dib-“

“Ish! Tidur ya?! Gimana sih!”

Seketika mataku langsung terbuka karena bentakan si gadis bergingsul itu. Perlahan aku posisikan diriku duduk di kasur ini.

“Heh... iya sori sori... capek... dimana dia sekarang?” tanyaku dengan suara yang masih berat, sambil melihat kearah jam dinding yang sekarang ternyata sudah menunjuk pukul delapan malam.

“Hhhuuhhh... cek LINE dia lah!”

Volumenya tidak menurun.

“Iye iyee... yaudah makasih.”

Dan dia langsung menutup panggilan itu.

Aku menghela nafas.

Bagus, ada dua anggota yang-jika-marah-jadi-menyeramkan. Tidak kusangka, padahal aku kira Sisca adalah seorang gadis penuh sopan santun dan penyabar. Ternyata dia bisa meledak juga.

Aku menggeleng melupakan yang telah terjadi, dan menyadari bahwa sudah ada lebih dari 7 panggilan tak terjawab darinya, dan juga lebih dari 20 pesan di ruang percakapanku bersama Rona dan Sisca. Disaat aku sedang menggulung layar sembari sedikit membaca pesan-pesan yang didominasi kekesalan Sisca itu, ada panggilan masuk dari Rona.

“Halo, Ron?” langsung saja aku mengangkat panggilan itu.

“Mas, ini Aurel mau ngomong.”

“Oh, iya.”

Tak lama setelahnya, handphone itu berpindah, dan suara Aurel yang berganti menyambutku.

“Halo, kak.”

“Halo, Rel. Gimana gimana?”

“Hhh... masih mau ngajakin aku?”

“Loh, iya lah. Berusaha ngehubungi lo begitu tau lo satu kosan sama Rona sama Sisca tapi malah diblock? Gue juga udah cerita ke Sisca sama Rona bahkan ke Nadila, kalau elo itu anggota terakhir yang harus gabung. Gue udah serius sejak pertama ketemu lo di cafe itu. Ini enggak cukup buat ngeyakinin lo buat join?”

“Kak, aku masih ada masalah sam-“

“Ya selesaiin. Ayo mau ketemu kapan. Gue bantu.” Tanpa mendengar semua ucapannya, aku sudah paham orang yang ia maksud itu adalah Nadila.

“Ya... emm... b-besok aja.”

“Oke. Jadi ini... lo mau gabung?”

“Y-ya... kak Reza masih nyari gitaris, kan?”

“HHAHAHA! Masih lah! Vokalis gue juga kurang satu nih.”

“Y-ya, yaudah, hehe... aku ikut.

“Mantap! Gitu kek dari kemarin! Hahaha!”

“Ehehe... yaudah, kak.”

“Yops. Jangan blok nomor gue lagi.”

“Ahaha, iya kak, sori sori. Habis ini deh.”

“Yayaya.”

Kemudian suara Rona yang kembali terdengar diseberang sana.

“Yey, udah lengkap berarti ya, mas? ehehe.”

“Iyap, hahaha. Kok dia tiba-tiba mau nelpon gue? Lo mulai duluan ya?”

“Ahaha, enggak. Tadi tiba-tiba aja dia cerita gitu. Tanya-tanya soal kita tadi siang. Yaudah sekalian aja aku ceritain juga gimana mas Reza maunya Aurel doang. Habis mas Reza lama banget gak ada kabar.”

“Hahaha, mantap lah. Yaudah, makasih ya, Ron. Maaf gue ketiduran tadi, ehehe.”

“Ih dasar. Sisca pasti marah-marah tadi.”

“Iya njir gue dibentak di telpon.”

“Hahaha, dia emang kalo lagi emosi suka gitu mas.”

“Hadeehhh, yaudah. Habis ini kasih tau aja lagu-lagu yang bakal kita mainin. Bisa tuh kalian latihan dikit-dikit di kosan kan.”

“Siap.”

“Tengkyu, Ron.”

“Oke mas Reza.”

Aku mentutup panggilan itu sambil tersenyum lebar. Dengan begini, sepertinya besok aku sudah bisa mendaftar untuk kompetisi itu. Semua orang yang aku butuhkan sudah terkumpul. Nadila, Sisca, Rona, dan Aurel. Ingin segera aku mempertemukan mereka berempat dan mulai latihan bersama. Besok, masalah antara Nadila dan Aurel, yang sampai sekarang aku belum tau apa itu dan seberapa besarnya, harus bisa diselesaikan.

Aku bangkit berdiri lalu mengambil handuk. Menyegarkan kembali tubuhku yang sekarang sudah lengket karena keringat adalah sebuah pilihan yang bagus.

Oh iya... aku jadi ingat.

Nama...

Grup ini butuh nama.

Kira-kira... apa ya...?



Bersambung....
 
Halo...

Segini dulu ya updatenya, ehehe...

Ada yang mau kasih saran ke Reza buat nama grup itu? hehe

.

.

.

.

Oh iya, btw. Saya masukin beberapa materi lirik lagu JKT48 lho di part ini, hehe *enggak penting sih, tapi yaudah lah kasih tau aja. Hehe*

8Q8UZ25y_t.jpg
YoTuPlZa_t.jpg
 
Menunggu adegan mantap mantap nya nih hu hehehe
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd