Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Paranada [Nada ke-6]

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
“Ngapain kesini?” tanya Nadila dingin, kepalanya menoleh kearah kanan, menghindari kontak mata dengan Aurel.

“A-aku... mau... ngobrol,” mata Aurel tidak bisa fokus pada satu titik sekarang.

“Hhh...” Nadila melangkah melewati Aurel, namun cepat lengannya ditahan oleh Aurel.

“Nadila. tolong, kali ini dengerin aku...”

Nadila terdiam di posisinya.

“Ayo, Nad...” pinta Aurel lagi, sambil sedikit menariknya.

Si gitaris kidal itu menghela nafas, menggoyangkan lengannya sehingga Aurel mau melepaskan genggamannya. Kemudian, dia mengikuti Aurel yang berjalan menuju meja tempatnya duduk tadi. Nadila menyenderkan gitarnya di sisi meja, kemudian duduk menyamping di depan Aurel, ia masih tidak mau menatap wajah mantan partnernya itu, seperti yang sudah Aurel duga.

“Hhh... jadi... aku, minta maaf, Nad,” ucap Aurel, pada Nadila yang saat ini ia hanya melihat wajah sampingnya. “Soal lagu kamu it-“

“Gak usah dibahas.”
 
Nada ke-6 : Al Fine



“Bener nih? Yakin enggak jadi gue bantu?” tanyaku pada Aurel setelah mendegarnya bersikeras untuk menemui Nadila sendiri.

Sore ini Aurel datang ke studio setelah pulang dari kuliah. Hoodie putihnya sudah ia lepas sehingga kini di badan atasnya jadi melekat kaos warna hitam dengan inisial namanya di bagian atas dada kirinya. Agak menonjol, dan dari ukurannya, sepertinya dua buah dada itu pas digenggam, lebih besar sedikit dari Nadila.

Err... tunggu... kenapa mataku malah tertuju kesana...

Untuk bawahan, dia mengenakan sebuah rok panjang warna coklat terang. Ni Made Ayu Aurellia, gadis yang dari namanya aku sudah tahu ia berasal ini ternyata terlihat sangat manis bila bertemu dari dekat. Walau aku sudah pernah bertemu sebelumnya. Kulitnya yang eksotis itu jadi daya tarik tersendiri buatku. Gadis berambut pendek sebahu yang terlihat memiliki tinggi yang sama dengan Nadila ini juga punya senyum yang manis.

Aurel bertemu denganku setelah kemarin aku memintanya datang kesini. Menindaklanjuti keinginannya untuk membuat Nadila “berdamai” dengannya sebab Aurel sudah jadi anggota keempat di project akustik yang aku buat. Nadila pasti sudah menyadarinya juga karena Aurel sudah bergabung di grup LINE yang kubuat.

Setelah basa-basi, Aurel tiba-tiba memintaku untuk tidak ikut campur dalam hal ini. Padahal kemarin malam setelah aku menghubunginya lagi, Aurel memintaku untuk membantu dan ada saat mereka bertemu. Kenapa dua perempuan itu suka sekali membuatku bingung....

“Jadi nanti gue enggak perlu ke tempatnya Nadila kan?”

“Enggak usah, kak.” Katanya meyakinkanku.

Ya, semalam aku menghubungi Nadila, dan dia bilang ada jadwal tampil. Dari sana, aku berencana untuk bertemu dengannya seusai itu, tentu Aurel akan aku ajak. Namun setelah Aurel bilang seperti tadi, yasudah. Aku harap dia benar-benar bisa menyelesaikan masalah yang bahkan dia masih tidak mau memberitahukannya.

“Hmm... yaudah.” Aku mengalah.

“Soalnya ya itu tadi, kak. Kayaknya memang ini enaknya kami berdua yang selesaiin sendiri.” Jelasnya lagi.

“Ya ya. Yaudah. Gue juga enggak tau sih apa masalah kalian, yang penting pesen gue, cepet diselesaiin... biar nanti grup ini bisa lancar lancar jalannya.”

Aurel mengangguk, lalu menyedot teh botol yang aku berikan untuknya sebagai suguhan. Setelah itu, setelah beberapa saat, Aurel menguap dan ‘ngulet’ sehingga dadanya membusung dan semakin mencetak dengan jelas ukuran dua payudaranya itu. Aku menelan ludah, sebisa mungkin aku menahan partnerku agar tidak memberontak.

“Hoamm... hhuuhh... eh, maaf kak hehe. Emm... kalau gitu, aku pulang dulu, ya. Mau tidur dulu.” Ijinnya sembari mengambil hoodienya.

“O-oh, udah? Iya iya.”

“Berapa nih ka-“

“O-oh enggak enggak usah, hehe.” Jawabku padanya yang menunjuk botol yang barusan ia sedot habis isinya. Karena minuman itu aku ambilkan dari show case disini.

“Serius?”

“Iya,”

“Ooh, hehe. Yaudah, makasih ya kak, pamit,” Aurel tersenyum, kemudian bangkit berdiri lalu mengulurkan tangannya. Aku yang duduk di seberangnya ini lantas ikut berdiri dan menyambut uluran tangannya itu.

Kemudian, Aurel melangkah keluar studio, aku mengekorinya dan menunggu di ambang pintu sementara Aurel menyalakan motornya.

“Ati-ati.”

“Iya kak.”

“Sukses ya ntar.”

“Hehe, iya. Doain kak.”

***​

20.28, Saung Idola.



Aurel tiba sendirian, dia sengaja datang mepet dengan waktu Nadila selesai bermain agar tidak menunggu terlalu lama dan menghindari temannya itu tidak fokus bila melihatnya datang. Sudah terdengar alunan merdu permainan gitar dan vokal dari Nadila saat dia ada di parkiran. Dia menghela nafas dalam, berharap malam ini dia bisa mengungkapkan permintaan maafnya dan Nadila bisa menerima itu.

Gadis itu mengenakan kupluk hoodienya, ia juga memakai masker agar Nadila sulit mengenalinya nanti. Setelah siap, ia turun dari motor dan masuk kedalam. Setelah memesan minuman, ia mengeluarkan handphonenya, dan seolah-olah sibuk dengannya sambil berjalan, untuk menghindari kontak mata dengan Nadila yang saat ini masih memainkan lagu di panggung kecil yang ada di tengah tempat makan ini. Kemudian Aurel duduk di meja nomor 5, terletak di sisi kiri panggung itu.

Dua lagu berlalu, dan Nadila sampai di lagu terakhir.

“Wah, udah mau jam sembilan nih ya? yaahh... udahan dong? Hehe.” Ucap Nadila lewat microphone. Aurel menyedot lagi jus alpukat yang tadi ia pesan, menyisakan setengah dari isi gelas itu. “Hhh... lagu terakhir ya ini. Semoga terhibur.”

Aurel melirik kearah panggung, ia tersenyum kecil begitu matanya menangkap sosok Nadila dengan rambut kuncir kudanya. Aurel jadi teringat, sekitar 3 tahun yang lalu, semasa SMA, saat dia dan Nadila masih menjadi partner dalam bermusik.

***​

“Nad.”

“Hm? Oh Aurel. Kenapa?”

Nadila agak terkejut, karena tiba-tiba saja seseorang melepas headset di telinga kirinya. Normalnya, ia akan marah karena ketenangannya, dengan duduk sendirian di pinggir lapangan basket sambil mendengarkan musik-musik favoritnya, diusik. Namun karena ini adalah Aurel, satu dari sedikit temannya yang tidak menganggapnya aneh dan menjadi sahabat baiknya yang juga adalah partnernya dalam bermusik, Nadila maklum. Ia pun menghentikan lagu yang ia putar di handphonenya dan melepas headset yang masih ada di telinganya.

“Ini... udah lihat belom selebaran di mading depan perpus?”

“Hah? Selebaran apaan?”

“Itu, Acoustival. Udah mau ada lagi.”

“Hah?! Serius?” Wajah Nadila memancarkan antusiasme.

“Iya, ayo dah lihat dulu!” Aurel yang sudah lebih dulu berdiri itu menarik lengan Nadila yang agak berisi itu, memaksanya untuk berdiri. Nadila merapikan headsetnya, lalu memasukkannya kedalam kantong rok SMAnya bersama dengan handphonenya. Kemudian mereka melangkah cepat meninggalkan tempat itu.

Sesampainya di depan perpustakaan, Aurel menunjuk selebaran yang tertempel di mading.

“Tuh Nad. Coba deh baca. Kita harus ikutan.”

Nadila membaca seksama selebaran itu. mulai dari persyaratan, tanggal, hingga hadiah yang ditawarkan. Tak tanggung tanggung, rekaman gratis dan uang tunai akan jadi rebutan. Tentu bagi mereka, itu sesuatu yang sangat menguntungkan. Tahun lalu, mereka berdua hanya sekedar tau event itu, dan sekarang, karena mereka sudah membentuk sebuah duo, ini adalah kesempatan mereka. Beruntung pada akhir tahun kedua, ada ajang pencarian bakat di SMA mereka, dan kebetulan mereka berdua menjadi perwakilan untuk kelas mereka, dari sana, Aurel mengenal Nadila, begitupun sebaliknya, dan mereka jadi teman baik setelah itu. Kemudian, Aurel yang punya inisiatif membentuk sebuah duo bersama Nadila.

Tak disangka, ‘keisengan’ mereka itu membuahkan hasil yang positif. Kombinasi suara dan permainan gitar mereka bisa membuat mereka jadi cukup terkenal di daerah sana. Mulai dari kompetisi antar sekolah, hingga festival kecil-kecilan yang diadakan studio musik mereka ikuti, dan beberapa berhasil mereka menangkan.

“Hmm...” Nadila melipat tangan kirinya dibawah dada, dan jemari kanannya mengusap-usap dagunya. Walau semua syarat disana sudah mereka penuhi, dia merasa masih ragu karena ini kompetisi yang bisa dibilang lumayan besar.

“Kenapa, Nad?”

“Siap?”

“Siap dong!”

“Yaudah, nanti daftar, sekalian latihan?”

“Weits, mantap! Hayuklah!”

Dan bel tanda istirahat selesai pun berbunyi, Nadila dan Aurel berpisah disana menuju kelas mereka masing-masing.

Sekitar tiga minggu berlalu, mereka berhasil lolos ke tahap berikutnya, sekarang mereka sedang bersiap-siap untuk semifinal, bersaing empat grup lainnya agar bisa masuk ke babak final nanti. Rumah Nadila jadi tempat latihan mereka dan sebenarnya memang sudah jadi hal yang biasa bagi Aurel bermain ke rumah sahabatnya itu.

“Hhh...seminggu lagi, ya.”

“Iyanih...” Nadila meletakkan gelas teh hangat yang sudah ia seruput sedikit itu ke nampan.

“Deg degan gak sih?”

“Hahaha, santai aja kali,” Nadila menopang badannya dengan kedua tangannya di belakang, membuat matanya menatap kearah langit cerah. “...Tapi tetep kita serius. Ini bisa jadi kenang-kenangan kita sebelum kelulusan, Rel.” Ucapnya penuh harap.

“Iya...”

“Kamu jadi pulang ke Bali ya berarti?”

“Iya Nad... Tapi sebenernya, aku belum yakin sih mau ambil apa enggak.”

“Hah? Kenapa?” Nadila menoleh kearah Aurel, yang sekarang sedang menatap langit sore itu.

“ Masih belum suka sama jurusannya, hehe...”

“Oohh... ya, t-“

“Kamu ke Jakarta kan ya?”

“Iya,” Nadila menangguk sambil masih menatap langit.

“Hahaha, emang ya. Orang pinter itu serem. Jurusannya keren, kuliah di Jakarta lagi.” Aurel memukul pelan lengan Nadila sembari tertawa.

“Ahahaha, apasih? Biasa aja kali.”

Kembali mereka menatap langit, menikmati hembusan angin. Mereka sadar, sewaktu kuliah nanti, bisa jadi mereka tidak lagi melanjutkan duo ini. Karena itu, semangat mereka semakin menjadi. Mereka ingin punya kenangan yang manis sebelum mereka berpisah seusai masa SMA ini.

Namun impian itu karam, setelah persahabatan mereka pecah, semalam sebelum kompetisi itu. Diam-diam, Aurel mendaftarkan lagu Nadila, dan meng-claimnya sebagai lagunya dalam lomba cipta lagu. Padahal rencananya, lagu itu yang akan direkam jika mereka menang nanti. Nadila yang mengetahui hal itu marah besar pada Aurel, ia merasa sangat dikecewakan oleh orang yang sangat dekat dengannya itu. Bahkan pada hari kompetisi itu, hanya Aurel yang datang, akibatnya, mereka otomatis didiskualifikasi.

Setelah itu, mereka berdua tidak lagi berhubungan. Nadila yang sangat kesal benar-benar menutup diri dari Aurel. Bahkan hingga kelulusan, tidak ada komunikasi diantara mereka. Memang mereka masih sering berpapasan di sekolah, namun mata mereka tak pernah bertemu. Nadila selalu saja melengos, dan Aurel sampai tidak berani mendekatinya lagi karena rasa bersalah itu.

***​

Aurel menggeleng, mengusap-usap wajahnya, kemudian ia mengumpulkan nyalinya untuk bertatap dan berbincang dengan teman lamanya itu. Nadila terlihat sudah selesai mengemasi gitar dan peralatannya. Perlahan, sembari menghela nafas, Aurel berdiri, kemudian berjalan menghampiri Nadila.

“N-Nad...” Aurel menepuk pundak Nadila.

“Iya?” Nadila berbalik.

Untuk beberapa saat, mata mereka bertemu, pertama kalinya semenjak mereka berpisah bisa berada sedekat ini. Mata Nadila membulat, ketika Aurel melepas masker dan menarik kupluk hoodienya. Diam, mereka berdua tak ada yang bersuara. Aurel menggulung bibir, ia menelan ludah. Semua yang ingin ia katakan jadi terasa tertahan. Ia gusar.

“Ngapain kamu kesini?” tanya Nadila dingin, kepalanya sudah berpaling kearah kanan, ia menghindari kontak mata dengan Aurel.

“A-aku... mau... ngobrol,” mata Aurel tidak bisa fokus pada satu titik sekarang.

“Hhh...” Nadila melangkah melewati Aurel, namun cepat lengannya ditahan oleh Aurel.

“Nadila. Tolong dengerin aku...”

Nadila terdiam di posisinya.

“Ayo, Nad...” pinta Aurel lagi, sambil sedikit menariknya.

Si gitaris kidal itu menghela nafas, menggoyangkan lengannya sehingga Aurel mau melepaskan genggamannya. Kemudian, dia mengikuti Aurel yang berjalan menuju meja tempatnya duduk tadi. Nadila menyenderkan gitarnya di sisi meja, kemudian duduk menyamping di seberang Aurel. Ia masih tidak mau menatap wajah mantan partner musiknya itu, seperti yang sudah Aurel duga.

“Hhh... jadi... aku, minta maaf, Nad,” ucap Aurel tanpa basa-basi pada Nadila yang saat ini hanya terlihat wajah sampingnya. “Soal lagu kamu it-“

“Gak usah dibahas.”

“Nad, maaf. A-aku dulu itu... cemburu sama kamu... kamu itu pinter, jago main gitar, selera musikmu keren, terus... lagu yang kamu buat juga enak banget. Walau kita itu main musik sama-sama, tapi aku selalu ngerasa di belakang kamu...“ Aurel mulai bercerita, suaranya semakin berat. “A-aku akuin... aku emang bodoh waktu itu... kelakuanku itu emang enggak bisa dimaafin. Kamu juga pasti kecewa banget sama aku.... Hhh... sekali lagi, aku bener-bener minta maaf... gara-gara aku, keinginan kamu buat me-“

“Aku bilang enggak usah dibahas lagi!” ucapnya geram. Aurel terdiam.

“Kenapa sih kamu ada di Jakarta?! Hiks...” Nadila menggulung bibir, pipinya mulai basah dengan air mata. “Aku itu...hiks... udah berusaha ngelupain kamu gara-gara masalah itu...hiks...” Nadila terisak. Ia berusaha mengusap air mata itu dengan punggung tangannya.

“Iya, bodo... kamu itu emang bodo tau gak... pake nyuri nyuri lagu orang segala!” Kata Nadila ketus, kini dia menatap tajam kearah Aurel dengan wajah yang memerah. Aurel menelan ludah, dan menjawab hanya dengan anggukan karena tidak bisa berkata-kata lagi. Mata itu bertemu beberapa saat, namun Aurel yang tidak tahan dan sesekali melirik kearah lain. Kata ‘bodo’ itu terus saja berputar di kepalanya.

“I-iya, Nad... aku... bener-bener nyesel...” Aurel tertunduk.

“Hhh...”

Nadila kembali memalingkan wajahnya, kemudian rambutnya kini terurai setelah kucir itu dia lepas. Perlahan, isak Nadila mulai hilang. Aurel yang belum mengangkat kepalanya itu masih merenung.

“Tapi, Rel... Setelah pertama kali ketemu kamu lagi... waktu di cafe itu, aku ngerenung, bahkan sampai beberapa hari ini. Jujur... suliiittt banget aku maafin kamu. Tapi... di sisi lain... aku... juga pengen... kita main bareng lagi...”

Aurel perlahan mengangkat kepalanya, kemudian matanya membulat, ia melihat kecil senyuman dari wajah samping Nadila.

“Kamu udah ikutan projectnya mas Reza, iya kan?”

“I-iya...”

Nadila mengucek matanya. Kemudian dia menghelakan nafas panjang.

“Hhh... yaudah lah ya, Rel... Yang lalu biar berlalu. Lagian, setelah aku pikir-pikir... aku itu emang kekanak-kanakan banget sampai sekarang, ya?”

“N-Nadila...?”

“Udah deh, itu enggak usah dibahas lagi. Sekarang, ayo kita coba sekali lagi, Rel.” Nadila tersenyum lebar. “Kita menangin kompetisi itu, bareng temen-temen baru kita.”

Air mata Aurel tak terbendung lagi ketika melihat senyuman lebar dari Nadila itu. Sebenarnya sudah dari tadi ia ingin meluapkan air mata ini.

“Huuaaa...!”

Reflek, Aurel memeluk erat Nadila. Itu juga dibalas oleh Nadila dengan pelukan yang tak kalah erat. Mereka berdua jatuh dalam haru, melepas rindu yang mereka pendam, melupakan semua yang pernah terjadi. Pada akhirnya, Nadila memilih untuk kembali berdamai dengan sahabatnya semasa SMA ini. Mereka berdua kembali ke awal, kini dengan semangat yang baru untuk bermusik bersama lagi.

Orang-orang yang ada di sekitar mereka sesekali mengalihkan mata ke dua gadis ini. Walau suara tangis mereka tidak keras, namun itu cukup menarik perhatian mereka walau sebentar.

“Heh, udah. Ngapain nangis sih?” Ucap Nadila selepas pelukan itu berakhir. Lucunya, dia sedang menyeka air matanya yang kembali jatuh.

“Ngeselin kamu tuh, tau gak...? hiks...” Aurel masih terisak sambil mengusap air matanya dengan tisu di meja itu.

“Ehehe... kamu enggak makan?”

Aurel hanya menggeleng.

“Aku traktir.” Tawar Nadila serius.

“Enggak usah...hiks...”

“Ahahaha... yaudah, aku pesen makan dulu ya, laper.”

Aurel mengangguk. Isak tangisnya masih sesekali terdengar.

Malam itu, mereka habiskan untuk saling melepas rindu, obrolan-obrolan ringan hingga yang berat. Sesekali tawa mereka lepas terdengar, menertawakan hal-hal yang pernah mereka lalui berdua semasa putih abu-abu. Mungkin orang-orang disana heran karena perubahan suasana mereka itu. Hingga akhirnya, mereka harus pulang karena cafe akan segera tutup. Nadila, yang biasa menggunakan jasa ojek online, spesial untuk hari ini, Aurel yang mengantarnya sampai kost.

Sementara Reza, yang sedang tiduran di kasur kamarnya, tiba-tiba tersenyum lebar setelah melihat foto yang dikirim oleh Nadila. Wajah berseri dari dua gadis itu terpampang jelas di foto selfie yang sekarang memenuhi layar smartphonenya. Akhirnya, dua gitaris itu sudah menyelesaikan masalah mereka, dari pesan yang dikirim Nadila setelahnya. Ia semakin optimis untuk memenangkan kompetisi akustik itu. Reza juga jadi tidak sabar, bertemu dengan keempat gadis yang sudah ia kumpulkan hanya dalam beberapa hari ini. Perjalanannya bersama Nadila, Aurel, Rona, dan Sisca akan dimulai besok.



Bersambung...
 
Mantap kak akhirnya update juga

Ceritanya simpel, banyak mainin detil tapi aku rasa cukup to the point ke masalah nya, ga banyak yang melebar

Jadi makin penasaran, dan ngerasa, eh kenapa udah abis lagi?

Ditunggu kelanjutannya kak
 
Duh ditunggu banget ini hehe
 
“Sshh...”

Kembali terdengar desis dari mulut gadis mungil ini. Tubuh bagian atasnya sudah bebas tanpa ada sehelai benang pun, sedangkan rok jeans pendeknya masih ia kenakan. Kedua tangannya menyilang didepan dadanya, menutupi payudara berukuran pasnya, yang tidak terlalu mungil juga besar. Dia merunduk, rambut panjangnya terurai jatuh kedepan, sehingga punggung putih mulusnya itu tak terhalang. Disanalah lidahku sejak tadi menari, menjilati tiap senti bagian belakang tubuhnya itu dengan penuh gairah. Kedua tanganku sesekali mengelus pundaknya. Halus lembut kulit gadis ini terasa menghangat.

Aku lantas mencoba menyingkirkan tangannya dari dua buah dada ranum itu, tanganku mulai gatal ingin meremas-remas salah satu bagian tubuhnya yang menjadi daya tarik bagiku itu. Awalnya dia masih menolak dan menguatkan tangannya itu.

“Nad... Tenang... rileks aja...” Bisikku di telinga kanannya.
 
“Sshh...”

Kembali terdengar desis dari mulut gadis mungil ini. Tubuh bagian atasnya sudah bebas tanpa ada sehelai benang pun, sedangkan rok jeans pendeknya masih ia kenakan. Kedua tangannya menyilang didepan dadanya, menutupi payudara berukuran pasnya, yang tidak terlalu mungil juga besar. Dia merunduk, rambut panjangnya terurai jatuh kedepan, sehingga punggung putih mulusnya itu tak terhalang. Disanalah lidahku sejak tadi menari, menjilati tiap senti bagian belakang tubuhnya itu dengan penuh gairah. Kedua tanganku sesekali mengelus pundaknya. Halus lembut kulit gadis ini terasa menghangat.

Aku lantas mencoba menyingkirkan tangannya dari dua buah dada ranum itu, tanganku mulai gatal ingin meremas-remas salah satu bagian tubuhnya yang menjadi daya tarik bagiku itu. Awalnya dia masih menolak dan menguatkan tangannya itu.

“Nad... Tenang... rileks aja...” Bisikku di telinga kanannya.

Weeey paw paw gua mau diapain lagi :galak: :galak:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd