Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Bimabet
Mantap critanya asik.. ga lebay.. di tunggu lanjutanya.. salam juuuutttt..
 
Kehilangan perjaka lewat mulut mba wati sudah bagus sayang si ujang kehilangan sensasi nusuk mem*k pertama kali. Thanks updatenya, tetap lancar sampai tamat
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Masih ada typo dan terburu-buru dalam penulisan....
Tapi tetep yahudd suhu
 
lanjut suhu, skedar saran si wati dianal juga sama ujang
 
Chapter 3 : Malam Pertama, Kisah Mbak Wati



"Leherku sakit, Mbak seperti drakula." kataku teringat dengan film drakula yang menggigit mangsanya setelah berhubungan sex seperti yang aku alami sekarang.

"Maaf, ennnak banget Jang, rasanya belum pernah aku merasakan ngentot sedahsyat ini." kata Mbak Wati memelukku. Kami berpelukan setelah selesai mengayuh birahi yang melelahkan dan penuh kenikmatan. Aku dapat mencium aroma rambut Mbak Wati yang lembut dan wangi sampo yang dipakainya.

"Mbak, Mas Gatot kok bisa ngijinin Mbak melakukan ritual pesugihan ?" tanyaku penasaran, kenapa Mas Gatot mengizinkan istrinya dientot olehku.

"Karena ingin cepat, kaya. Lagi pula Mas Gatot punya kelainan." jawab Mbak Wati membuatku heran, kelainan apa yang dimaksud oleh Mbak Wati.

"Maksud Mbak, kelainan apa?" tanyaku tidak bisa menahan rasa ingin tahuku.

____________________

Kisah Mbak Wati dimulai.

"Mas Gatot tidak pernah marah setiap kali ada orang yang terang terangan memperhatikan bentuk tubuhku, tadinya aku menganggap itu sebagai hal yang biasa, Mas Gatot tentu merasa bangga mempunyai istri secantik aku hingga suatu hari aku tahu ternyata hal yang kuanggap biasa itu adalah kelainan.

Hingga suatu hari Mas Gatot pulang jualan bersama seseorang yang membuatku sangat terkejut, Paijo mantan pacar yang menghamiliku dan lenyap seperti ditelan setelah mengetahui aku hamil.

"Paijo!" kataku tidak percaya melihat sosok yang berdiri di samping suamiku. Pria yang sudah menghancurkan masa depanku sehingga harus menikah dengan Mas Gatot.

"Wati..!"Paijo tersenyum mengajakku bersalaman setelah hampir 18 tahun dia menghilang. Menghilang dari tanggung jawab, untung saja Mas Gatot yang diam diam mencintaiku bersedia menikahiku dan menutup aib keluargaku.

"Duduk, Jo. Dek kamu bukannya bikin kopi buat tamu!" kata Mas Gatot tersenyum menyadarkanku dari pesona masa lalu yang telah menguras air mata hingga tidak tersisa sedikitpun.

Tanpa bicara aku menyalakan kompor yang berada tepat di samping Paijo yang menggeser duduknya menjauhi kompor. Ini Dek airnya..!" kata Mas Gatot memberikanku panci kecil yang sudah terisi air mentah.

"Ke mana saja, kamu? Kupikir kamu sudah mati, tinggal tulang belulang yang dimakan cacing." tanyaku tanpa menoleh ke arah Paijo, aku tidak mampu menahan rasa ingin tahuku kenapa dia meninggalkanku bersama anak dalam kandunganku.

"Kamu ini dek, tamu jauh malah dibilang sudah mati." Mas Gatot tertawa untuk mencairkan suasana yang berubah menjadi tegang.

"Gak apa apa, Tot. Kalian sudah lama tinggal di sini?" tanya Paijo tidak menggubris pertanyaanku yang mungkin menyinggung perasaannya tapi itu semua tidak sebanding dengan penderitaanku selama belasan tahun.

"Sudah hampir 10 tahun Tot, kami merasa nyaman di sini." jawab Mas Gatot membuatku tersenyum sinis dengan kebohongan besar yang diucapkan Mas Gatot. Mungkin buat Mas Gatot dia merasa nyaman bisa memamerkan istrinya yang cantik kepada temannya yang sering kali menatapku dengan bernafsu seakan akan mereka ingin menelanjangi tubuh indahku.

Tapi bagiku, belasan tahun menjadi istri Mas Gatot adalah penderitaan yang berkepanjangan, sekuat apapun aku untuk bisa menerima dan mencintainya, ternyata aku gagal. Kalaupun aku bisa bertahan hingga kini, karena aku sudah berhutang budi padanya, terutama keluargaku. Ayahku adalah seorang Ustad yang cukup terpandang, apa kata masyarakat kalau tahu anak seorang Ustad hamil di luar nikah, sungguh aib yang sangat besar.

"Jo, aku ke rumah Bos dulu mau setor." kata Mas Gatot berpamitan meninggalkan kami berdua di ruangan sempit yang tidak layak menjadi rumah tinggal, tapi aku terpaksa tinggal di sini jauh dari orang tuaku, jauh dari anak anakku yang tidak boleh kami bawa dengan alasan mereka perlu didikan agama agar tidak mengikuti jejakku

"Kamu kenapa tinggal di sini? Orang tuamu kaya." Paijo menatapku heran, aku adalah anak tunggal seorang Ustad yang bisa dikatakan kaya untuk ukuran desa.

"Karena tidak mungkin aku tinggal bersama mereka setelah memberikan aib yang mencoreng wajah terhormat mereka." jawabku sinis. Aku menyuguhkan kopi yang sengaja aku beri gula. Dia tahu betapa pahit hidupku atas perbuatannya.

"Aku tidak tahu kalau kamu hamil, aku baru tahu tadi setelah Gatot menceritakan sepanjang perjalanan ke sini." kata Paijo berusaha menutupi kesalahannya atau dia pura pura pilon. Sungguh bodoh aku terbuai oleh rayuan gombalnya sehingga mahkota kesucianku hilang.

"Och ya!" jawabku sinis." mustahil dia tidak mengetahui kehamilanku, setelah aku menitipkan surat ke Mas Gatot untuk diberikan kepadanya.

"Aku bersumpah, aku tidak tahu. Kamu tidak pernah memberitahukannya kepadaku." jawab Paijo menggoyahkan hatiku.

"Aku sudah menitipkan surat ke Mas Gatot untukmu." kataku memandangnya tajam berusaha mencari kejujuran dari matanya.

"Aku tidak pernah menerimanya, Gatot tidak pernah menyinggung masalah suratmu. Dia datang mengabarkan ada pekerjaan di Jakarta, makanya waktu itu aku langsung ke Jakarta. Saat aku pulang setelah uang yang kumiliki cukup, aku pulang berniat melamarmu tapi ternyata kamu sudah menikah dengan Gatot." kata Paijo dan aku tidak melihat dusta di matanya.

"Kamu bohong..!" kataku lirih.

"Aku mencintaimu, sampai sekarang aku belum menikah karena cintaku hanya untukmu. Aku bersumpah tidak akan menikah kalau bukan denganmu." kata Paijo menggeser duduknya ke sampingku. Aku diam tidak berusaha menjauh darinya. Apakah benar apa yang dikatakannya.

"Lihat KTP ku, masih lajang." kata Paijo memperlihatkan KTP yang dikeluarkannya dari dompet. Ragu ragu aku mengambilnya dan apa yang dikatakannya benar.

"Kenapa Mas Gatot tidak memberikan suratku padamu..?" tanyaku heran.

"Karena dia mencintaimu seperti halnya diriku." jawab Paijo tangannya merangkul pundakku, aku ingin menepiskan tangannya tapi aku tidak mempunyai tenaga untuk melakukannya. Aku tahu Mas Gatot dan Paijo adalah dua sahabat yang sama sama mencintaiku tapi aku lebih memilih Paijo yang gagah dan atletis dibandingkan Mas Gatot.

"Aku mencintaimu..!" bisik Paijo, tangannya meraih daguku. Kutatap matanya mencari kejujuran yang jelas jelas terlihat dari matanya, aku percaya mata tidak pernah berdusta. Entah siapa yang memulai, bibir kami bertautan saling mengulum. Bibir yang dulu sering menciumku, bibir pertama yang merasakan kehangatan bibirku kembali memberiku kehangatan yang sudah sangat lama aku rindukan.

Aku benar benar terbuai oleh kenangan masa laluku bahkan saat Paijo meremas payudara yang pernah menyusui anaknya, aku tidak berusaha menolaknya. Aku menikmatinya seperti dulu dia meremas payudaraku untuk pertama kalinya.

"Jangan, Jo. Nanti Mas Gatot datang..!" kataku lirih membiarkan tangan Paijo menyusup masuk lewat belahan atas bajuku dan menyentuh payudara dan mempermainkan puting nya, aku tak kuasa menolaknya.

"Gatot nggak akan marah..!" bisik Paijo tangannya semakin gencar memelintir puting payudaraku, tangan pertama yang bebas menjamah tubuhku di rumahnya yang sedang sepi.

"Jangan macam macam kamu, aku sudah bersuami..!" kataku berusaha menyadarkan Paijo yang semakin di luar kendali. Bukan hanya tangan kirinya saja yang aktif mempermainkan payudaraku, bahkan tangan kanannya menyusup masuk ke selangkanganku, menjamah memek yang pernah direnggut keperawanannya.

"Ssstttt..!" Paijo kembali melumat bibirku dengan bernafsu, tangannya semakin kurang ajar mengorek ngorek itilku.

"Joooo...!" aku mengerang nikmat, tidak bisa memungkiri rasa nikmat yang sangat jarang aku rasakan. Mas Gatot sangat jarang menyentuhku.

"Jo, jangannn,!" kataku berusaha menahan tangan Paijo yang bergerak masuk memekku. Rasa nikmat membuat tenagaku melemah, jari Paijo semakin dalam menusuk memekku, Paijo semakin melampaui batas, dia mendorongku roboh ke kasur, tak peduli dengan penolakanku dia menarik celana dalamku lepas dari tempatnya.

"Jangannnnn!" aku berusaha meronta melepaskan diri dari Paijo yang semakin kesetanan. Tapi bayang bayang kenikmatan yang akan kurasakan membuat tenagaku menjadi lemah. Paijo berhasil membenamkan wajahnya di selangkanganku, menjilati memekku yang semakin basah tidak bisa berdusta.

"Kalian...!" suara Mas Gatot menghentikan aksi Paijo yang bernafsu menjilati memekku. Paijo memandang wajah Mas Gatot dengan wajah pucat, perbuatan yang akan membuat kalap setiap suami melihat istrinya dilecehkan pria lain.

Mas Gatot menutup pintu perlahan lahan setelah melihat keadaan di luar yang masih sepi karena tetangga kontrakan kami masih belum pulang berjualan. Pantas saja keributan yang terjadi antara aku dan Paijo tidak mengundang perhatian orang, baru aku sadar jam di dinding masih menunjukkan angka 2 : 30.

"Kalian ini kalau mau mesum jangan berisik, untung yang lain belum pada pulang." kata Mas Gatot membuatku shock, aku tidak melihat kemarahan yang seharusnya terjadi, aku malah melihat gairah dalam nada suara Mas Gatot, gila."


_____________________

Mas Gatot sama sekali tidak marah melihat Mbak diperlakukan seperti itu?" tanyaku heran, nyaris tidak percaya dengan cerita Mbak Wati, mana mungkin ada suami seperti itu. Sepertinya Mbak Wati sengaja berbohong untuk membuatku lebih tenang dalam melakukan ritual.

"Memang selama ini Mas Gatot sering bertanya pengalamanku saat aku kehilangan perawan oleh Paijo, petualangan sex kami hingga akhirnya aku hamil. Mas Gatot selalu mendesakku menceritakan semuanya sedetail detailnya, setelah aku bercerita biasanya Mas Gatot mengajakku berhubungan sex, gairahnya akan semakin meninggi bahkan dia bisa bertahan lebih lama dari biasanya. Setelah kejadian itu aku baru tahu Mas Gatot mempunyai kelainan jiwa, dia akan terangsang saat membayangkan aku ngentot dengan pria lain, bahkan dia pernah terang terangan menyuruhku memilih salah satu di antara kalian untuk ngentot denganku, tentu saja aku sangat marah mendengarnya." kata Mbak Wati semakin mempererat pelukannya. Kepalanya bersandar di dadaku yang kurus, nyaris tanpa otot.

"Mas Gatot pernah nanya begitu, Mbak?" tanyaku kaget. Tidak mungkin, Mbak Wati pasti sedang berbohong padaku.

"Ya, pernah." jawab Mbak Wati, tangannya menggelitik puting dadaku, membuatku menggelinjang geli.

"Mbak jawab apa?" tanyaku penasaran, jawaban Mbak Wati saat ditanya begitu.

"Aku cuma mau ngentot sama kamu, kamu yang paling ganteng di antara mereka, kamu juga yang paling kurus dan paling tinggi. Badan seperti kamu biasanya punya kontol gede." kata Mbak Wati membuatku tersanjung.

"Sok tahu Mbak Wati kan waktu itu Mbak belum pernah melihat kontolku." jawabku tertawa geli dengan argumen Mbak Wati yang kuanggap ngawur dan asal asalan.

"Ibu ibu langganan mie ayam kamu sering ngegosip begitu, katanya tukang mie ayam ganteng kontolnya gede. Hihihihi." kata Mbak Wati tertawa terbahak bahak, ternyata bukan cuma cowok yang piktor, kaum ibu pun begitu.

"Bohong..!" jawabku ikut tertawa geli membayangkan para ibu ibu ngegosipin kontolku, Mbak Wati ternyata bisa juga bercanda.

"Aku nggak bohong, langganan mie ayam kamu bilang begitu soalnya pernah ada yang lihat kamu kencing di kebun, kamu gak sadar ibu itu lagi memetik daun katuk, dia yang nyebarin gosip." kata Mbak Wati dengan mimik wajah serius.

"Siapa, Mbak?" tanyaku penasaran siapa yang sudah melihat kontolku.

"Bu Dedeh..!" jawab Mbak Wati membuat wajahku memerah, pantas saja dia sering menggodaku, ternyata itu sebabnya.

"Mbak, masih sering berhubungan dengan Paijo?" tanyaku teringat dengan cerita Mbak Wati yang masih menggantung. Aku semakin penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Cerita yang sangat menarik, sayang kalau tidak sampai tamat.

"Senang amat kamu dengar cerita mesum, jangan jangan kamu punya kelainan jiwa seperti Mas Gatot?" tanya Mbak Wati menggodaku.

"Enggaklah, Mbak...!"

_____________

Mbak Wati kembali meneruskan ceritanya.

"Wat, kenapa kamu tidak meminta cerai biar kita bisa menikah?" tanya Paijo saat Mas Gatot belum pulang berjualan, dia semakin sering mengunjungiku bahkan kami sering bermalam di penginapan bertiga dengan Mas Gatot untuk memuaskan nafsu birahi kami yang seperti tidak pernah terpuaskan.

"Kamu gila, aku tidak mungkin bercerai dengan Mas Gatot. Dia yang sudah menutup aib keluargaku, dia juga memperlakukan anakmu seperti anaknya sendiri." kataku ketus, aku tidak bisa menghianati Mas Gatot.

"Tapi dia yang merebutmu dengan akal liciknya sehingga kita tidak bisa menikah, dia sengaja tidak memberikan suratmu malah menyuruhku ke Jakarta untuk bekerja. Ini semua adalah tipu dayanya, seharusnya kamu menjadi istriku, kita hidup tenang di Desa." kata Paijo menatapku tajam.

"Aku tidak tahu, Jo..!" jawabku lemah, kenyataan yang aku hadapi membuatku tidak mampu berpikir lagi.

"Apa yang kamu katakan, Jo? Setelah aku dengan besar hati memberikanmu kesempatan menikmati memek istriku, sekarang kamu mau merebut istriku? Pergi, Jo dan jangan pernah muncul di hadapan kami." kata Mas Gatot yang sudah berdiri di ambang pintu membuat kami menoleh kaget. Kami tidak menyadari kehadiran Mas Gatot yang ikut mendengar percakapan kami.

"Wati harus tahu kejadian yang sebenarnya, Tot. Kamu sudah merebut Wati dari tanganku dan aku mengalah menikmati memeknya di hadapanmu untuk memuaskan hasrat abnormal mu." kata Paijo dengan suara dingin, keadaan menjadi sangat panas, aku takut akan terjadi pertengkaran di antara mereka sehingga orang tahu masa lalu kami.

"Jo, pergilah..!" kataku dengan suara memelas sebelum orang mendengar keributan yang terjadi.

"Aku pergi karena permintaan Wati, bukan karena aku takut padamu, Rot..!" kata Paijo berjalan melebarkan Mas Gatot yang menyisi memberinya jalan.

Mas Gatot tidak bicara sedikitpun malam itu, keesokan harinya dia tidak berjualan dan pergi tanpa berpamitan membuatku merasa was was.

"Mau ke mana, Mas?" tanyaku sepulangnya berjualan jamu, mas Gatot sama sekali tidak menoleh.

"Bukan urusanmu." jawab Mas Gatot dingin, dia pergi meninggalkanku yang menatapnya heran. Selama 18 tahun menikah, belum pernah dia berlaku seaneh itu."


___________________

"Terus Mbak?" tanyaky semakin penasaran melihat Mbak Wati terdiam tidak meneruskan ceritanya.

"Ya sudah begitu saja, sejak kejadian itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan Paijo, sudah hampir dua tahun, terakhir aku mendengar kabar dia mati dalam sebuah kecelakaan. Aku lelah, Jang. Mau tidur." kata Mbak Wati membelakangiku, perlahan pundaknya bergerak disertai isak tangis yang sekuat tenaga ditahannya.

"Mbak, kenapa?" tanyaku kaget melihat Mbak Wati yang tiba tiba menangis.

"Paijo.... Seharusnya kami tidak perlu bertemu lagi.....!" Mbak kembali terisak, suaranya semakin lemah hingga akhirnya menghilang. Perlahan lahan suara nafasnya semakin teratur. Aku melihat ke arah wajahnya untuk memastikan Mbak Wati sudah tidur. Setelah yakin Mbak Wati tidur, aku menyelimutinya.

Perutku terasa lapar, perlahan lahan aku memakai pakaianku dan meninggalkan Mbak Wati yang tidur. Di depan aku melihat ibu pemilik warung sedang mengobrol dengan seorang gadis cantik yang masih sangat muda.

"Kok keluar sendiri, Mas?" tanya Ibu warung menyambutku dengan senyum yang dibuat semanis mungkin karena aku dan Mbak Wati adalah tamu satu satunya di tempat ini, gadis yang sedang mengobrol dengan Ibu warung, pasti bukan tamu di sini.


“Sudah tidur, Bu. Bu, tolong bikinin kopi dan makannya." kataku sambil tersenyum ke arah gadis cantik yang duduk berhadapan denganku.

"Wajah kamu sangat mirip dengan Pakde Karwo, mungkin kamu Pakde Karwo muda." kata gadis itu tanpa berkedip menatapku.

"Iya Las, sangat mirip. Tadinya juga Bu Yem kaget waktu melihat Masnya datang, benar benar mirip dengan Pakde Karwo, cuma bedanya Pakde Karwo sudah tua dan berkumis dan tubuh Pakde Karwo lebih berotot dibandingkan Masnya yang kurus." kata ibu warung meneruskan perkataan gadis remaja yang duduk di hadapanku.

"Wajahku memang pasaran, makanya banyak yang mirip." jawabku. Perkataan mereka mengingatkanku perkataan orang orang di desaku, bahwa aku sangat mirip dengan almarhum ayahku, kami seperti pinang dibelah dua dan sekarang ternyata ada lagi yang wajahnya sangat mirip denganku, Pakde Karwo. Aku jadi penasaran ingin melihat orang yang bernama Pakde Karwo.

"Nama kamu siapa?" tanya gadis cantik itu sambil tersenyum geli mendengar pengakuanku, padahal aku tidak melihat ada yang lucu dengan perkataanku tadi.

"Ujang, kalau kamu siapa?" tanyaku balik bertanya. Rasanya aneh, gadis secantik dia berada di tempat ini.

"Lastri, kamu sudah berapa kali ke sini?" tanya gadis itu kembali bertanya.

"Baru sekali, Las. Kalau kamu di sini mau ritual?" tanyaku lagi seperti sebuah sesi tanya jawab. Kaku dan berkesan formal.

"Aku tinggal di sini, sayang kamu sudah punya pasangan. Kalau kamu datang sendiri, aku bisa jadi pasangan ritual mu, tapi nggak gratis.

"Tolong...tolong.. Jangan Mas...!" suara teriakan Mbak Wati membuat kami semua terkejut.


Bersambung
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd