Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Satria Piningit Nusantara

BAB 3
Preman Kampung



Setelah selesai memandikan Satria, Ningsih menggendongnya dan membawanya ke teras rumah. Wajah Satria yang putih semakin putih, saat Rahma memberikannya bedak.

Melihat kedatangan Ningsih dan Rahma, Karta dan Ambar segera berdiri dan buru-buru melihat putranya. Mata mereka berbinar-binar dengan kasih sayang, nampak mulut mereka mengembangkan senyuman bahagia.

"Ini baru pria cantik... Hahaha" Karta memuji ketampanan anaknya dan tertawa lepas karena bahagia.

"Huoamm..." Satria akhirnya terbangun saat mendengar suara tawa, dia menguap dengan merentangkan kedua tangannya yang kecil.

"Lihat Satrio terbangun... Hahaha. Ya Tuhan.. lihat itu matanya yang indah." Karta berseru kagum melihat mata indah milik Satria yang memiliki dua warna hitam dan putih, dua bola matanya seperti terbelah dengan warna tiap sisi yang berbeda.

Warga desa segera berbondong-bondong datang di sekitarnya, hanya untuk melihat Satria yang sudah mandi. Mereka yang baru datang juga terpesona dengan wajah Satria yang semakin tampan.

"Lihat juga dahinya... Apa itu sebuah tanda lahir ?" ujar Ambar yang baru menyadari jika Satria memiliki tanda lahir di dahinya yang seperti mata.

"Bisa jadi. Anak ini luar biasa, aku yakin dia bakalan jadi pria yang hebat sesuatu saat nanti." jawab Karta dengan menatap Putranya.

Namun ada juga yang saling berbisik, menduga bahwa Satria merupakan jelmaan Dajjal.

Satria melihat semua wajah-wajah baru ini, ia mengerutkan keningnya melihat wajah Ningsih yang sedang menggendongnya, ia juga merasakan buah kenyal yang terasa lembut milik Ningsih yang menghimpitnya.

"Siapa kalian?" tanya Satria kepada mereka semua, dengan tangan kiri menunjuk satu demi satu orang yang mengelilinginya.

Sontak Ningsih dan semua orang terkejut saat mendengar Satria bisa berbicara, kemudian menempelkan telapak tangannya di depan mulut beberapa wanita yang dekat dengan jangkauannya.

Sedangkan para pria hanya membuka mulut berbentuk oval.

"Hallo… Kakek, Nenek, Paman, Bibi, siapa kalian? Apa kalian adalah keluarga ku?" sekali lagi Satria bertanya kepada mereka semua.

"A.. a.. aku ibumu sayang, dan kami memang keluargamu sekarang." Ningsih yang pertama kali menjawab dengan sedikit terbata-bata, ia tersenyum dengan menatap wajah Putranya.

"Ibu? Ibu... Ibu, ya...!" sahut Satria yang sedikit kebingungan, sebab aura wanita yang mengaku ibunya berbeda dari sebelumnya.

Satria mengerutkan kening, untuk mengingat lagi aura ibunya, tapi tetap saja tak mengingatnya. Karena tak kunjung pulih ingatannya, Satria akhirnya meyakinkan diri jika orang yang sedang menggendongnya adalah Ibunya.

"Iya, aku Ibumu, Sayang" jawab Ningsih dengan suara lembut yang penuh kasih, ia tersenyum lebar dengan membelai wajah Putranya.

Karta tersadar dari keterkejutannya, dan segera memperkenalkan dirinya.

"Aku Ayahmu, Nak... Hahaha. Putraku memang hebat." Karta merasa bahagia mendapatkan Putra yang ajaib.

"Itu bibi Rahma, itu bibi Juju, itu bibi Ayu. Sekarang kamu adalah bagian dari keluarga kita." ujar Ningsih memperkenalkan yang lain penuh kasih saat melihat mata indah Satria.

"Aku mang Ambar, Paman kamu."
Akhirnya semua warga memperkenalkan satu per satu pada Satria yang sudah mereka anggap bayi ajaib, dan juga sudah menjadi bagian keluarga kecil desa Kumejing.

"Aku Satria" ucapnya dengan jari jempol menepis mulut mungilnya. Membuat orang yang melihatnya menjadi gemas.

"Hahaha, anak kita Satrio memang anak ajaib." Karta tertawa melihat kelucuan Putranya.

"Aku Satria, SAT.. RI.. AAA bukan Satrio jelas terdengar berbeda kan bu?"

"Tapi Le.. ibu sudah memberikan nama Satrio untukmu, tak apa ya, cuman beda sedikit" ujar Ningsih mengusal rambut Satrio dengan lembut.

"Hm.. Oke lah tak masalah" Satria menganggukan kepalanya tanda setuju, lantas membenamkan wajahnya yang imut kedalam gumpalan buah kenyal Ningsih, seakan itu adalah mainan barunya yang mengasikan.

"Kepala Desa jamuan kita sudah siap" seorang wanita dewasa memberitahukan kepada Karta.

Segera semua orang merayakan kehadiran anggota baru yang sangat ajaib. Semua orang tertawa gembira, hingga salah satu wanita bertanya kepada Ningsih.

Wanita itu berusia 29 tahun yang sedang menggandeng putrinya yang baru berusia 5 tahun.
Wanita itu cukup cantik, dengan tinggi 167 cm, rambut hitam sebahu, kulitnya kuning langsat, pinggulnya lebar. Wanita itu bernama bu Ayu. Sedangkan putrinya bernama Ayi dengan rambutnya yang dikuncir menjadi dua.

Ayi selalu menatap wajah tampan Satria sambil memakan ayam goreng di tangan kanannya, Ayahnya meninggal terantuk ular berbisa saat mencari rumput untuk kambing miliknya di pekarangan.

"Siapa yang akan menyusui bayi ajaib ini, Satrio kan baru berusia 1 tahun?" tanya bu Ayu.

Semua orang baru sadar, jika Satria juga butuh asupan gizi setelah wanita itu bertanya. Semua orang saling bertukar pandang, karena sedang memikirkan siapa yang harus memberikan air susu ibu kepada Satria.

"Aku akan beri Satrio susu bubuk dan itu mudah mencarinya di warung-warung kan?" jawab Karta.

Sedangkan Satria tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan mereka, dia hanya melihat potongan ayam goreng di depan matanya, dengan air liur yang sudah menetes.
Kemudian Satria menggerakkan tangan kirinya, dengan mengeluarkan energi Qi untuk menghisap ayam goreng itu.

Wuush.. Plak

"Yes, aku dapat!" Satria kegirangan dan langsung menggigit ayam goreng itu secara acak.

Aksinya sudah pasti dilihat banyak orang, mereka hanya melongo saat melihat Satria bisa memakan ayam goreng itu, ia mengunyah daging itu dengan lahap. Berbeda dengan Ayi yang menangis saat ayam gorengnya telah berpindah tangan.

"Hahaha... Kita rasa sudah tidak perlu lagi kebingungan dengan apa yang akan dimakan Putra ku." ujar Karta setelah tertawa terbahak-bahak saat melihat kelakuan Putra ajaibnya yang sedang makan.

"Jangan gitu, Sayang...!" Ningsih segera men suir-suir ayam goreng itu menjadi potongan kecil kepada Putranya.

Anak-anak kecil segera mendekati Satria, dan banyak ocehan yang terlontar dari mulut mereka. Termasuk Ayi yang paling dekat dengan Satria, matanya berkaca-kaca seolah tak rela ayam gorengnya direbut.

"Satrio, ayo bermain..." ajak Ayi pada Satrio yang masih berada di gendongan Ningsih.

"Nyam..nyam..nyam.. Oke, ayo..."

Wushhhh... Tap

"Satrio!" Melihat Satria melompat dari gendongannya dengan sangat cepat, sontak Ningsih terkejut dan hampir berteriak keras.

"Astagaaa… Bayi ini... Hahaha."

Jelas tidak hanya Ningsih saja yang kaget dengan kecepatan Satria dengan kelincahannya, jantung mereka hampir dibuat berhenti saat melihat aksinya yang melompat dan mendarat dengan selamat.

"Ayo kejar aku..." tantang Satria kepada teman barunya dengan mulut yang masih belepotan minyak saat dia makan ayam goreng tadi. Tangan kirinya bersilat pinggang dan jari telunjuk kanannya digerakkan ke depan dan belakang.

"Hahaha... Aku pasti menangkapmu pencuri ayam" Ayi segera menanggapi dengan berlari ke arah Satria, teman-teman yang lain yang usianya lebih tua segera mengikuti.

"Rahma, kami serahkan Satria kepadamu untuk belajar membaca dan menulis. Kami percayakan pada kamu, karena kamu adalah guru di kampung ini.

"Justru aku tidak yakin menjadi gurunya, bayi itu jelas berbeda dari umumnya. Potensi Satria sangat besar, jika diajar dengan baik, dia akan menjadi sosok hebat di masa depan, dan juga menjadi kebanggaan desa Kumejing" terang Rahma yang mengagumi dan selalu memperhatikan Satria yang sedang bermain.

"Kamu harus yakin, mestinya kamu bangga menjadi gurunya dari seorang anak ajaib. Di usianya yang masih 1 tahun sudah mampu berbicara lancar, berdiri sendiri bahkan berlarian. Saya pikir.. dia setara dengan anak 8 tahun yang sudah mandiri untuk melakukan sesuatu. Cepat atau lambat Satria akan menjadi viral" timpal Ningsih, ia berhenti berbicara untuk menarik nafas dan menghembuskan secara alami.

Rahma terus menatap Satria yang sedang kejar-kejaran dengan teman-temannya, lalu dia melihat ke arah Karta dan kembali berbicara.

"Setelah usianya mencapai 17 tahun, aku tidak tahu sampai seberapa tinggi pengetahuannya. Tetapi, menurut perkiraan ku, dia akan berada di level kecerdasan Profesor. Disaat itu, dia sudah siap mengguncang dunia."

Mendengar penjelasan masuk akal Rahma membuat orang-orang berspekulasi mengenai Satria.

"Mungkinkah ini ramalan Jayabaya? yang tertuang dalam buku Jangka Jayabaya. Terhadap lahirnya Satria Piningit, seorang pemimpin besar Nusantara." ujar Karta mengejutkan.

"Jika benar yang kamu katakan Karta, maka bersiaplah negeri ini menyambut kejayaan Nusantara. Seorang pemimpin Agung yang akan membawa kesejahteraan untuk rakyatnya." timpal Ambar dengan semangat menggebu.

"Saat itu tiba, kita akan kesulitan untuk melihat punggungnya lagi, aku harap kelahirannya di desa Kumejing akan selalu diingat tempat asalnya." Setelah berbicara, Ningsih terlihat sedih, merasa kehilangan jika Satria melangkah jauh keluar dari desa Kumejing.

Semua orang yang mendengarkan Ningsih berbicara, juga ikut merasa sedih.

"Seekor burung elang tidak mungkin berdiam di satu tempat, dia pasti akan menjelajahi setiap tempat yang berbeda." ujar Karta yang merasa akan kehilangan Putra angkatnya yang sudah dia sayangi. Dia tahu jika sosok yang hebat tidak mungkin berdiam diri di tempat kelahirannya.

"Tidak, jangan biarkan putraku pergi... Hiks" Ningsih tersugesti perasaannya, segera berlari menghampiri Satria lalu buru-buru memeluknya dengan erat diiringi isak tangis.

Walaupun Ningsih baru sehari menjadi ibu, dia sudah sangat mencintai Satria seperti anak kandungnya sendiri.

"Kenapa Ibu menangis?" tanya Satria yang heran, melihat ibu angkatnya yang jongkok dengan memeluknya sambil menangis tersedu-sedu.

"Jangan tinggalkan Ibu, Nak." jawab Ningsih yang masih memeluk putranya.

"Aku tidak pergi kemana-mana Bu, aku kan sedang bermain..." ucap Satria dengan polos sambil mengusap air mata Ibunya, dia tidak mengerti apa yang Ibunya maksudkan.

"Iya, iya... Kamu boleh bermain dengan sepuasnya, kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau, asal jangan pergi jauh dari Ibu, oke." tutur Ningsih yang sedikit reda dari rasa kekuatiran akan di tinggal Putra yang dia cintai.

"Tentu, aku tidak akan tinggalkan ibu dan kalian. Lihat aku ini kuat, aku akan selalu jaga Ibu dan kalian semua. Jika ada orang yang jahat, aku akan memukulnya hingga menangis, percayalah. Tapi, apa yang ibu ucapkan itu benar, kan…? Hehehe." jawab Satria kepada Ibunya.

Satria terlihat tersenyum mesum saat dia ingin Ibunya untuk menepati janjinya. Naluri binatangnya segera keluar, feromon kebinatangannya merembes keluar dari tubuhnya, saat merasakan kembali sepasang buah kenyal Ibunya yang menempel di wajah.

Ningsih yang berusia 38 tahun, dengan wajah yang terlihat keibuan meski belum pernah melahirkan, masih nampak padat berisi. Seandainya saja jika ia mau merawat wajahnya, dia pasti akan terlihat lebih cantik.

Merasakan aroma wangi dan menggugah birahi, Ningsih semakin memeluk erat Putranya di antara kedua payudaranya. Dia juga terheran melihat wajah Putranya yang terlihat senang dipeluk.

"Istriku, kamu jangan terlalu banyak berpikir. Disaat waktu itu tiba, kamu pasti akan berubah pikiran. Jika Putramu ingin menjadi orang besar, kamu harus merelakan kepergiannya. Saat ini kamu bisa selalu bersamanya hingga puas." Karta segera mendekati istri dan berbicara dengan lembut.

"Bibi Ning, apa yang dikatakan mang Karta itu benar, aku juga tidak ingin berpisah dari Satrio. Saat ini kita akan menikmati kebersamaan dengannya. Jika saat itu tiba, pasti semua akan berubah dan nanti bibi akan mengerti sendiri" ujar Rahma yang berusaha menenangkan Ningsih.

Semua orang juga ikut menenangkan Ningsih yang mengelilingi mereka berdua yang sedang berpelukan erat dengan Satria.
Yang mereka semua tidak ketahui, sepasang mata Satrio mengeluarkan cahaya dan dalam sekejap cahaya itu menghilang, ia tersenyum aneh sambil terus membenamkan wajahnya di kedua gunung kembar milik ibu angkatnya.

"Maaf, aku mengerti apa yang kalian bicarakan. Aku hanya saja tidak ingin kehilangan Putraku satu-satunya" jawab Ningsih setelah menenangkan pikiran dan hatinya.

"Bibi, kamu tidak usah kuatir, rencana ini masih lama, dan saatnya tiba, biarkan Satrio sendiri yang memutuskan, saat dia besar nanti" sekali lagi Rahma meyakinkan Bibinya agar tidak terlalu banyak berpikir.

"Aku masih lapar Bu.." ujar Satria dengan melepaskan pelukan Ibunya, lalu dia segera berlari menuju meja yang dipenuhi makanan lezat.

Melihat tingkah bayi ajaib ini, semua orang hanya tersenyum dan melanjutkan acaranya. Saat acara menyambut keluarga baru, hari sudah gelap dan terlihat bulan selalu tertutupi awan.

Di balik dinding rumah terlihat banyak sepasang mata mengintai, sedang mengamati situasi desa Kumejing. Mereka datang karena mendengar suara tawa dan juga mencium bau daging yang dipanggang.
Terlihat air liur menetes dari mulutnya, terlihat juga wajah-wajah sange yang tak berkedip melihat pantat-pantat semok. Mereka adalah preman cap kecoa yang selalu membuat keributan di desa Kumejing.

Satria yang memiliki garis darah Ksatria, dari darah Naga 12 elemen sedari tadi merasakan kehadiran mereka, hanya saja dia diam dan tidak ingin mengganggu kebahagiaan keluarga barunya.
Biarpun Satria baru berusia 1 tahun, dia memiliki kecerdasan diatas rata-rata orang dewasa. Selain garis darah Naga 12 elemen, dia juga memiliki garis darah Ksatria dari kedua orang tuanya.

Walaupun tadi Satria sempat pingsan, dia masih bisa melihat di sekitarnya dengan kesadaran penuh, dan sengaja tidak segera bangun untuk melihat situasi saat ini, sambil bermain-main dengan Inti Api Bumi.

Para preman itu perlahan-lahan mulai bergerak dari tempat persembunyiannya, dengan menyembunyikan tubuhnya di balik pepohonan, tembok, bahkan ada juga yang bersembunyi di balik semak.

Warga masih belum mengetahui jika desa Kumejing akan mendapatkan teror dari para preman karena rata-rata warganya penakut.




Bersambung…
Umur 18 tahun semua wanita di desa kecuali bocil dan nenek² habis semua sama satria hahahahhaha
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd