Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Terlahir Kembali! (No Sara)

tidak mungkin serba kebetulan :ngupil:
pasti ada sesuatu dibalik itu semua :confused:

jadi mahasiawa........ hmm ......
saatnya belajar :baca: ........ :bata:
 
Bab 4 – Universitas Bima Sakti Indonesia


Beberapa hari setelahnya.

“Sial! Sial! Sial!”


Aku terus berlari sekuat tenaga menuju gedung fakultas MIPA, kalau tidak salah. Jarak antara tempat parkir mahasiswa dengan gedung fakultas emang agak jauh sih. Terutama fakultas MIPA. Itu yang kudengar saat Technical Meeting.


“Sekarang keluarkan air mineralnya!” Teriak seseorang dari salah satu halaman gedung.


Aku menoleh dan segera berlari kesana menuju asal suara. Bodo amat itu fakultas apaan aku tidak peduli.


“Kamu berhenti disitu!”


Langkahku terhenti dan aku mematung ditempat, seseorang yang meneriaki ku adalah seorang pria berkulit khas bagian timur yang dstang entah dari mana.


“Siapa nama kamu hah?”


“Dimas putra, kak.”


“Dari fakultas mana kau?” Tampak suaranya mengintimidasiku.


“MIPA, kak.” Ucapku lirih.


Dia tampak tersenyum melecehkan, lalu berbalik dan memanggil seseorang.


“Hei, Jennie! Kau mau ke fakultas MIPA kan? Ini aku titip ingus satu ini!” Ia melihatku sebentar dan pergi tanpa berkata-kata lagi.


“Iya, sebentar!” Jawab seseorang dari kejauhan.


Sempak. Judes banget.


Aku masih berdiam diri menunggu seseorang yang dipanggil Jennie datang. Rasanya menegangkan!


Cuaca hari ini cukup panas padahal setauku ini masih jam 9 pagi, yah saat aku berangkat tadi sih.


“Jadi kamu ya yang terlambat? Baru pertama masuk sudah terlambat. Mau jadi apa kamu? Hah?!” Ucap seorang perempuan cukup tinggi sambil memegang sebuah kertas.


Bangsat. Cantik sekali.


“Ma-maaf kak.” Aku tertunduk bersalah.


Kakak tingkatku yang satu ini benar-benar gila. Cantik, seksi, dan kacamatanya yang terlihat serius malah menambah kesan sexy namun tegas. Buah dadanya yang padat dan berisi tertutup almamater merah darah tersebut.


“Lihat apa kamu!”


“Eng-enggak kak.” Aku gelagapan.


“Kamu anak MIPA kan?”


“Iya, kak.”


Dia berbalik, dan berjalan menuju keluar dari halaman. Rambut sebahunya bergoyang sensual seakan menggodaku untuk membelainya. Mesum sekali aku.


“Kenapa masih diam? Sini cepat!”


“Iya-maaf kak.”


Sepanjang jalan aku masih mengekor di belakangnya, melihat salah satu bidadari dunia didepanku saat ini.


“Kenapa telat?”


“Aku tidak ingat kak.”


“Kau pikir aku bercanda?”


Dia membalikkan badannya dan menatap tajam diriku. Tatapannya benar-benar membuat nyaliku menciut.


“Saya benar-benar lupa kak. Mungkin karena kesiangan.”


Dasar malu-maluin. Ngomong apaan sih aku.


Dia melihatku seperti aku ini orang aneh dan kemudian berbalik melanjutkan jalan. Dalam hati aku mengumpati kebodohanku sendiri.


Bodoh! Umpatku pada diri sendiri.


Hening.


Sesampainya di sebuah fakultas yang cukup megah, ia berhenti dan melihatku lagi dengan pandangan yang sama saat itu, tajam.


“Ini fakultas MIPA, diingat-ingat! Haikal! Mabamu ini! Huft!”


“Iya, iya bentar!” Hah. Lagi.


Seseorang kating(Kakak Tingkat) lagi yang akan menemuiku. Hah. Sudah 2, ini yang ketiga semoga gak terlalu kejam.


Ia berjalan santai, tampak kharismanya yang luar biasa dari dalam dirinya, senyumnya yang santai dan simpel benar-benar penuh kedewasaan.


“Terlambat?”


“Iya, maaf kak.”


“Yasudah, tidak apa-apa. Habis dimakan kamu ya sama perempuan itu?” Tunjuknya kearah Kak Jennie.


Kak Jennie tampak sedang menyusun beberapa berkas dan membenarkan kacamatanya. Jika dilihat lagi ia memang memiliki badan yang nyaris sempurna, padat dan seksi.


“Enggak kok, kak.”


“Hahaha, kau tidak pandai berbohong ya. Yah, biasa sih aku juga sering kena.” Ucapnya sambil menggaruk belakang kepalanya.


Apa-apaan katingku yang satu ini?


“Oh iya namamu?” Tanyanya.


“Dimas putra, kak.”


Ia tampak sedikit terkejut sebelum kembali tenang dan menulis sesuatu. Kakak tingkatku yang ini mungkin tidak terlalu galak, malah ia lebih tenang dan berkarisma, mungkin saja dia ketum BEM? Yah siapa tau kan.


“Nih, izin masuk barisan.”


Sembari memberikan selembar kertas dan tersenyum. Ia kemudian pergi sambil melambaikan tangannya pelan. Kating yang ini ramah sih menurutku.


“Terima kasih, kak!”


Kak Haikal tampak bergabung dengan beberapa orang termasuk Kak Jennie disana. Mataku sempat bertemu mata dengan mata indah Kak Jennie yang membuatku segera berlari menuju barisan didepan gedung.


3 Hari Kemudian.


Ospek berjalan dengan sangat-sangat lama dan membosankan, setelah hari pertama usai hari selanjutnya hanyalah berisi kegiatan penyuluhan dan sosialisasi tentang narkotika atau sebagainya.


Dan setelah beberapa hari, besok malam akan ada acara malam keakraban atau makrab, yaitu acara penutupan yang katanya sih happy-happy gitu. Yah, semoga saja begitu


“Hooaaahhmm..”


Aku saat ini sedang berjalan menuju kantin, dan sesampainya di kantin, ada sebuah meja berbentuk bulat dengan 8 kursi yang mengelilinginya. Dari apa yang kudengar tidak sembarang orang yang bisa duduk disana dan hanyalah orang-orang elite kampus atau selebgram terkenal. Dan, saat ini salah satu kursi meja itu sedang diduduki oleh Kak Haikal yang sedang tenang membaca buku.


“Permisi kak.” Ucapku seramah mungkin saat melewatinya.


“Eh, Dimas! Sini, sini sebentar.”


Aku menoleh dan segera menghampiri Kak Haikal yang melambaikan tangannya padaku, lalu ia memundurkan sebuah kursi disebelahnya kemudian ia menepuk-nepuk alas kursi tersebut.


“Ada yang bisa saya bantu kak?”


“Duduk dulu sini.”


Ia menarik pelan tanganku, dan mengarahkanku duduk di sebelahnya. Aku sebenarnya merasa sedikit takut sih, apalagi beberapa mahasiswa yang lain tampak tidak menyukaiku duduk di meja khusus ini tapi Kak Haikal tampak biasa saja dan melanjutkan membaca buku yang ia bawa.


“Emm.. Kak, ada apa ya?”


Haikal tersenyum.


“Gak ada apa-apa, elu gak mesen, dim?”


Eh.


Aku terkejut dengan perubahan cara bicara dari seniorku satu ini, apa saat ini aku sudah dianggap teman oleh seniorku satu ini? Wah gila sih.


“Haikal bodoh!”


Aku hampir terjungkal kebelakang, mendengar seniorku yang tenang dan ramah ini, dikatai bodoh oleh seseorang.


“Kamu itu ya, bolos rapat lagi kan!”


“Bentar, bisaku jelaskan..”


Wanita itu membuat raut wajah marah yang malah menambah kesan cantik dan tegas miliknya. Ya, dia adalah Kak Jennie, seniorku yang paling menggairahkan di kampus selama 3 hari aku menjalani ospek di kampus. Kuping Kak Haikal tampak sangat memerah karena dijewer oleh Jennie dengan kuat, jujur saat itu tatapan dari Jennie benar-benar mengerikan bahkan aku pun sampai takut dan kasihan sama Haikal.


“Tau gak! Rapat kali ini itu sangat penting tau! Dan, elu dengan santainya baca buku di meja bundar ha'?!”


“I-iya ampun, maaf Jen.”


“Maaf-maaf, elu pikir proposalnya bakal ditandatangani kalau maaf doang.”


“Udahlah, Jen. Toh, Pak Setyo juga udah setuju kan. Dan, siap membantu segala sesuatu tentang acaranya.” Ucap seseorang mahasiswi cantik berkacamata bulat.


Saat mereka sedang seru-serunya saking ribut di kompleks kantin. Tampak beberapa orang muncul dari belakang Kak Jennie dan satu-persatu mulai mengisi meja bundar di sekitarku, tentu aku merasa tak nyaman. Dan benar saja tampak beberapa orang merasa risih ketika melihatku duduk di situ, dengan cepat aku bangkit berdiri dan segera pamit meninggalkan mereka yang mulai terlihat akrab lagi.


“Wuih, gila lu bro. Elu duduk disana bersama para mahasiswa elit itu?”


“Eh iya, aku diajak sih sama Kak Haikal.” Balasku.


Dia adalah teman kelasku besok namanya Theo, sama-sama masuk angkatan ini denganku dan dia sangat terobsesi dengan Kak Jennie karena banyak hal.


“Sumpah, cok. Kalo diliat bagaimana pun juga Si Jennie emang seksi banget, ye gak?”


Yah, kumat.


“Iya ya.”


Jawabku sekenanya, toh kenyataan bahwa Jennie adalah bidadari kampus emang benar dan itu ditunjang dengan posisinya sebagai Wakil Ketua Dewan Elit Mahasiswa “Central” atau kalau dilain kampus dikenal dengan nama BEM, sedangkan untuk ketuanya adalah Kak Haikal, yang saat ini malah terlihat seperti kacung yang dimarahin bosnya, tapi untuk beberapa kejadian kharisma pemimpin milik Kak Haikal benar-benar keluar dengan kuatnya.


Selesai makan siang, ada pengarahan kelas dan aku ternyata sekelas dengan Theo, jumlah laki-lakinya hanyalah bertiga dan untuk perempuan sekitar 12, kalah telak! Untuk pertama kalinya memang canggung karena kelas baru terbentuk dan beberapa udah berteman seperti aku dan Theo, serta satu lagi pejantan di kelas cewek ini, yaitu Faisal. Dan, beberapa mahasiswi yang sudah kuhapal namanya Sarah, Icha, Erika, Ratna, Ulin dan satu lagi yang cukup ceria yaitu Citra. Sisa waktu kelas itu hanyalah untuk pengenalan saja dan beberapa sibuk mainan ponsel hingga jam pulang sudah tiba.


“Hah, mau ngapain ya?”


Saat ini aku sedang berjalan menuju kost tempatku tinggal semenjak kejadian “terlahir kembali” dan untuk seluruh biaya sewa sudah dilunasi oleh Pak Setyo selama aku kuliah di UBSI. Benar-benar orang kaya.


“Kalo butuh apa-apa lagi, temuin saya saja ya.” Ucap Pak Setyo saat itu.


“Eitss bro, main PS yok?”


Tiba-tiba Theo merangkulku dari belakang, dan segera mengajakku bermain game, ia tampak sangat bosan semenjak dikelas tadi. Sebenarnya aku tidak masalah kalau bermain game saat ini, toh aku sendirian di kost. Tapi permasalahannya, aku belum pernah main di game net seperti itu karena kehidupanku yang dulu sedikit suram.


“Ah, sorry bro. Kayaknya gue gak bisa, ada acara nih.”(Tidur) Ucapku sedikit kecewa.


Tampak raut wajah Theo sedikit mendung dan beberapa saat segera menepuk pundak ku beberapa kali kemudian pamit pergi.


“Yasudah, gue duluan ya.”


“Oke.”


Kembali, pikiranku terbang saat berjalan pulang. Setiap hari setelah kelas terakhir selesai aku selalu membayangkan diriku yang berubah menjadi seorang artis dengan fisik yang sempurna saat masih SMA dulu. Tapi saat ini, aku merasa bahwa hal itu biasa saja. Mengingat beberapa hari belakangan ini, aku belum akrab dengan seorang gadis pun di perguruan tinggi ini. Yah, masih terlalu cepat untuk mengharapkan seorang pacar. Dan, kalau perlu mengingat aku belum melihat Diana di kampus ini, apa mungkin ia bersekolah ditempat lain? Hah. Nasib.


“Tolong! Hentikan pencopet itu!”


Kupingku bergidik dengan cepat dan secara refleks aku berbalik dan menangkap kedua lengan orang yang berlari kearahku, secepatnya aku memutar badan searah dengan arah orang itu dan membanting keras badan kerempengnya dengan padatnya trotar pinggir jalan.


Brakh!


Seketika orang tersebut langsung pingsan akibat benturan itu dan membuatku merasa bersalah sekaligus panik jika malah membuat tulangnya patah. Sejujurnya, aku tidak berniat membantingnya hingga terpental tapi kenyataannya sekarang pencopet itu diam tak bergerak sama sekali.


“Eh aduh! Maaf pak.” Ucapku spontan pada pencopet yang sudah tak sadarkan diri itu.


Semua orang yang mengejarnya malah hendak menghakimi pencopet itu, membuatku semakin merasa pusing apa yang harus kulakukan.


“Pak, cukup! Dia sudah pingsan pak!” Tegasku sambil menghadang mereka.


Beberapa orang sangat marah yang terlihat dari raut wajahnya bahkan ada yang melemparinya dengan kerikil dan botol air, sejujurnya aku kewalahan saat ini. Dan, untungnya ada polisi yang datang dan langsung menengahi kejadian ini.


“Hahh..” Aku lega.


“Terima kasih ya, nak. Pria ini akan kami urus di kantor.”


Seorang pria berbadan tegap dan besar menyalamiku, tubuhnya benar-benar berisi.


“Kalau boleh tau, siapa namamu?”


Semua orang mulai berpencar melakukan kegiatan mereka masing-masing.


“Dimas, pak. Dimas Putra Pratama.”


Polisi berbadan tinggi itu mengangkat sebelah alisnya kemudian tersenyum dan pergi sambil menepuk bahuku beberapa kali. Semua orang mulai berpencar melakukan kegiatan mereka masing-masing.


“Permisi, mas.. Tas saya dimana ya?”


“Eh iya, ini.” Serahku.


“Loh? Dimas?”


“Heh?”


Aku terdiam. Siapa gadis ini? Tubuhnya mungil, kulitnya berwarna putih mulus dan wajahnya terkesan imut dengan balutan kerudung dan baju berwarna pink serta rok kain bewarna agak cerah. Ia tersenyum manis, sangat manis! Kepadaku membuatku panas dingin dan kebingungan.


“Dimas benerkan? Dimas Putra?”


“Eh, iya sih.”


“Yauda sini. Kenalin namaku Nira Putri Safitri, panggil aja Nira. Kita satu kampus kok.”


“Oh iya ya, Nira ya.”


Tangan kami berjabat, kupikir aku tidak perlu memperkenalkan diri karena gadis yang bernama Nira ini sudah tau. Tapi darimana ia bisa tau ya? Ah bikin pusing.


“Gak dilepasin nih?”


“Eh iya maaf hehe.” Aku menggaruk kepalaku grogi.


“Dim, anterin aku pulang dong.”


Siapa yang akan menolak!


“Emm gimana ya? Nira ke utara atau selatan? Kalo ke selatan aku juga di sana kosku.”


“Ke selatan kok, di Kost Delima.”


Delima ya? Hmm.. Lumayan deket.


“Yaudah, yuk.” Ajakku.


Nira tersenyum manis, saking manisnya bisa-bisa aku meleleh! Pakaiannyabyang serba pink dengan roknya yang berbahan kain benar-benar cocok. Ah, sore yang sempurna. Sejujurnya, melihat Nira sekilas mengingatkanku sama Diana yang lembut dan kalem. Dimana ya dia? Selama 3 hari ini aku jarang bertemu dengannya apa jangan-jangan dia kuliah di tempat lain?


“Dim! Dimas! Dimas nyebelin ih!”


Lamunanku buyar karena lengan jaketku ditariknya, bibirnya mengerucut karena sebal. Sial! Imut sekali! Aku berusaha memberikan perhatian terbaikku padanya.


“Kenapa, Nir?”


Ia masih tampak sedikit marah, karena tidak menanggapi pertanyaanku barusan, meski begitu tangannya masih memegang lengan jaketku. Dan beberapa saat suasana begitu canggung saat berbelok melewati sebuah gang yang lumayan lebar.


“Jangan marah atuh, cantiknya nambah.” Gombalku spontan.


Ia melirikku tajam dan menakutkan, dengan secepat kilat aku rangkul badannya mendekat hingga menempel dengan badanku. Aku tak tau apa yang kulakukan! Semua terjadi secara spontan.


1 detik.


2 detik..


3 detik. Jantungku berdebar menunggu reaksinya. Suasana sore yang damai dan angin berhembus pelan membelai tubuh kami, benar-benar seperti adegan romantis dalam film! Tubuhku memanas dan berkeringat saat ini.


“Apaan sih Dim! Modus!” Ucapnya sambil mendorongku menjauh.


Dan ia pun mempercepat langkahnya dengan hentakan yang dibuat-buat, hingga jarakku kini tertinggal beberapa langkah di belakangnya. Namun anehnya tangan kanannya masih memegang ujung lengan jaketku.


“Bodo!”


Suasana canggung itu harus berakhir dengan sampainya di Kost Delima ujung gang, ingatanku kembali saat malam aku menyelamatkan Diana dari para preman dan aku pin mengantarnya pulang hingga mencapai tempat kosannya. Ah, benar-benar deja vu. Padahal baru seminggu yang lalu.


“Terima kasih ya, Dim. Masuk duluan ya. Bye.” Pamitnya dengan cepat.


“Eh, i-iya. Ehmm. Byee.” Balasku sedikit gugup.


Saatnya pulang! Yey, tidur! Tidur! Tidur!


Aku melihat kearah belakang tempat kost milik Nira tinggal. Sepertinya aku pernah kesana deh, kapan ya? Hmm. Aku terus berjalan santai dengan pikiran yang melayang, setidaknya aku harus mempersiapkan bahan-bahan untuk acara makrab besok malam. Karena kalau besok mungkin tidak sempat.


Saat sedang asyik-asyiknya berpikir, tiba-tiba saja suasana sekitar menjadi mencekam dan gelap. Suasana sore yang hangat berubah menjadi gelap dan mencekam seperti kulitku ditusuk dengan hawa dingin dari segala arah.


Jam berapa sekarang? 17:26!


Bahkan belum maghrib, langkahku terhenti karena aku tak bisa melihat kedepan dan kebelakang. Apa yang terjadi! Kepalaku pusing karena suatu hal. Aku harus keluar dari sini. Suasana ini membuatku ingin muntah..


Pandanganku langsung berfokus pada suara yang datang dari arahku berjalan. Sebuah suara langkah kaki berjalan mendekat dengan pelan namun sangat jelas. Mataku berkedut dan nafasku terengah-engah.


Seseorang dengan pakaian yang aneh berjalan kearahku. Seluruh tubuhnya tampak pucat meski wajahnya belum terlihat tapi aku bisa merasakan hawa membunuh dari kedua matanya. Seorang pria tampan dengan kulit pucat tersenyum menjijikan kearahku. Tangannya yang ramping menyibak pelan poni panjangnya kesamping.


“Haloo, Satan.”


Bersambung.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd